Al-Quran pun disimpan di bawah kepentingan naluriah
Ketidak berdayaan umat Islam saat ini telah mengantarkan mereka
bukan ke arah kesadaran un-tuk mencari penyebab keadaan itu terjadi, melainkan
justru telah sangat mendorong mereka untuk se-makin mengedepankan kepentingan
naluriah baik itu yang muncul dari dirinya maupun dari komunitas pemilik
otoritas memaksa yakni para penguasa. Mereka menjadi semakin rajin mencari
sesuatu dari Al-Quran maupun As-Sunnah yang dianggap berhubungan dengan atau
sebagai dalil bagi sejumlah reali-tas yang dirasakan begitu besar, dahsyat dan
membuat semua manusia tidak berdaya. Lalu mereka ko-munikasikan secara paksa
“temuan itu” kepada publik bahwa “ayat ini adalah dalil bagi persoalan ini”
atau “hadits ini adalah dalil untuk permasalahan ini” atau “kan ada ayatnya dan
haditsnya” atau “kan ada dalam Al-Quran” atau “kan ada dalam hadits”. Sebagai
contoh :
1.
ketika mereka begitu kesal terhadap tingkah laku umat Islam yang
dianggap tidak juga mau bersyu-kur kepada Allah SWT, maka segera saja mereka
gunakan ayat Al-Quran :
لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
(ابراهيم : 7)
Lalu mereka katakan bahwa شَكَرْتُمْ adalah اَلشُّكْرُ بِالنِّعْمَةِ dan كَفَرْتُمْ
adalah اَلْكُفْرُ بِالنِّعْمَةِ, sehingga menu-rut
mereka jika umat Islam bersyukur kepada nikmat Allah SWT maka pastilah Allah
akan menam-bah nikmat itu dan jika kufur kepada nikmat Allah SWT maka pastilah
Allah akan mengadzab um-at Islam dengan adzab yang sangat keras.
2.
ketika mereka menyaksikan betapa umat Islam lebih mementingkan
kehidupan dunia daripada ke-hidupan akhirat, lalu mereka simpulkan bahwa sikap
itu adalah salah berdasarkan ayat Al-Quran yang menyatakan :
وَابْتَغِ
فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا (القصص : 77)
3.
ketika mereka mendapati sejumlah orang yang mendapatkan
keistimewaan atau kepandaian atau kedigjayaan atau kesaktian dan sebagainya
dengan begitu saja atau lewat mimpi yakni tanpa mela-lui proses belajar yang
normal dan lumrah, maka mereka pun dengan lantang menyimpulkan bahwa peristiwa
tersebut adalah akibat ilmu laduni, seperti yang terjadi pada seseorang
(yang dianggap bernama Khidlir) yang bertemu dengan Nabi Musa as :
فَوَجَدَا
عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا ءَاتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ
مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (الكهف : 65)
4.
ketika mereka menyaksikan terjadinya bencana alam berupa banjir
bandang, gempa bumi, angin to-pan, badai, tanah longsor, kemarau panjang,
serangan hama yang meluas, pandemi penyakit dan se-bagainya, maka segera saja
bencana tersebut dijadikan bukti bahwa Allah SWT tengah murka ke-pada manusia
karena mereka telah banyak berbuat maksiat. Lalu supaya anggapan tersebut
seolah berdasarkan dalil, maka mereka gunakan berbagai kisah diadzabnya umat di
masa sebelum Islam yang tercantum dalam Al-Quran.
5.
ketika mereka membaca ayat :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ
لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (التوبة : 103)
dan hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ
مُعَاذًا قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى
شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ
أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ
صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ
أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ
فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ
لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ (رواه مسلم)
yang keduanya memastikan
bahwa zakat itu wajib diambil dari para muzakki serta dikelola
pendis-tribusiannya oleh negara (Khilafah Islamiyah), maka segera saja mereka
membentuk sejumlah ba-dan atau lembaga yang bermerek zakat seperti BAZNAS,
LAZNAS, Rumah Zakat Nasional dan sebagainya, lalu mereka pastikan bahwa jika
umat Islam membayarkan zakatnya kepada badan atau lembaga tersebut maka itu
adalah lebih sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Mereka pun meng-klaim bahwa
eksistensi badan atau lembaga tersebut adalah wujud pelaksanaan dari perintah
Allah SWT yang ditunjukkan oleh kedua dalil tersebut.
6.
ketika mereka mendapati dalam Islam ada shalat, shaum, haji,
zakat, infaq, shadaqah, memuliakan tetangga, memuliakan tamu, tolong menolong,
saling memberi dan sebagainya, maka mereka sim-pulkan bahwa dalam Islam itu ada
ibadah ritual dan ada ibadah sosial atau dalam Islam itu ada ke-salehan
individual dan ada kesalehan sosial. Lalu mereka mencari dalil untuk mendasari
kesimpul-an tersebut dan menurut mereka ayat Al-Quran berikut adalah dalilnya :
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ
أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ
حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (آل عمران : 112)
Menurut mereka maksud dari بِحَبْلٍ
مِنَ اللَّهِ adalah ibadah ritual atau kesalehan individual sedangkan وَحَبْلٍ
مِنَ النَّاسِ adalah ibadah sosial atau kesalehan sosial.
Demikianlah contoh sikap umat Islam tersebut
dan lainnya (masih banyak) seluruhnya memastikan te-lah terjadinya penempatan
atau penggunaan Al-Quran sebagai asas legalitas bagi kepentingan naluriah
mereka, baik itu berkenaan dengan kekesalan, kemarahan, keuntungan, penggalian
dana, eksploitasi ketidak berdayaan, pengokohan kekuasaan dan bahkan hingga
pada batas Islamisasi kekufuran atau mempertahankan kekufuran dengan menjadikan
Islam sebagai alatnya.
Selain itu, mereka pun semakin mudah
melemparkan tuduhan penyebab terjadinya suatu peristi-wa atau keadaan atau
bencana atau fenomena kepada Allah SWT. Artinya menurut mereka gempa bu-mi yang
dahsyat hingga merenggut nyawa manusia ratusan bahkan ribuan orang, atau banjir
bandang yang menenggelamkan apa pun (termasuk manusia) yang ada di atas tanah,
atau angin topan maupun badai yang menimbulkan kerusakan harta serta nyawa,
atau tanah longsor yang mengubur hidup-hidup sekian orang manusia, atau lainnya
seluruhnya adalah taqdir Allah SWT yang tidak mungkin ditolak atau dihindari
oleh siapa pun. Lalu mereka klaim bahwa kesimpulan tersebut sesuai dengan
pernyataan Allah SWT sendiri dalam Al-Quran :
الَّذِي
لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ
لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
(الفرقان : 2)
Lalu,
bagaimanakah mengurai kekisruhan dan kekalutan pemikiran berbalut kepentingan
naluriah ter-sebut?
Kekisruhan dan kekalutan pemikiran umat Islam
tersebut berawal dari telah tergantikannya selu-ruh pemikiran Islami (اَلأَفْكَارُ الإِسْلاَمِيَّةُ)
dari kedudukannya sebagai asas berpikir mereka oleh sekularisme berikut
pemikiran cabang maupun turunannya dan itu telah lama berlangsung yakni paling
tidak sejak awal abad ke-20 atau menjelang 100 tahun. Perjalanan kehidupan umat
Islam tanpa Islam yang hampir satu abad itu ternyata dibarengi oleh proses lain
yakni penggunaan, pengadopsian, asimilasi maupun akulturasi aneka pemikiran,
filosofi dan sebagainya yang berakhir pada terbentuknya mozaik konsepsi seperti
yang melandasi, menguasai dan mendominasi pola berpikir mereka saat ini. Oleh
karena itu un-tuk mengurai kekisruhan dan
kekalutan pemikiran umat Islam saat ini sebenarnya sangat mudah dan sederhana
yakni mencerabut sekularisme dari akarnya hingga tidak lagi bercokol sebagai
asas berpikir mereka. Upaya tersebut harus dibarengi secara simultan oleh
penempatan kembali seluruh pemikiran Islami (aqidah, pemikiran, hukum, ide-ide)
sebagai asas satu-satunya bagi proses berpikir maupun ber-perasaan mereka dalam
sisa kehidupannya di dunia. Inilah yang dituntut oleh pernyataan Rasulullah saw
:
لَا
يَجِدُ أَحَدٌ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ
إِلَّا لِلَّهِ وَحَتَّى أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ
يَرْجِعَ إِلَى الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ وَحَتَّى يَكُونَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا (رواه البخاري)
Seseorang tidak akan mendapati manisnya iman hingga dia
mencintai seseorang semata karena perin-tah Allah dan hingga dia lebih menyukai
untuk dijebloskan ke dalam neraka daripada dia kembali ke-pada kekufuran setelah
Allah menyelematkannya dari kekufuran itu dan hingga Allah beserta Rasul Nya
lebih dia cintai daripada selain keduanya
Sikap
وَحَتَّى أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ
يَرْجِعَ إِلَى الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ (dan hingga
dia lebih menyukai un-tuk dijebloskan ke dalam neraka daripada dia kembali
kepada kekufuran setelah Allah menyelemat-kannya dari kekufuran itu) adalah
wajib melekat pada diri umat Islam sebab menjadi bukti pasti dari sikap pokok
yakni وَحَتَّى يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا (dan hingga Allah beserta Rasul
Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya). Dengan demikian seluruh
umat Islam akan menjelma kembali seba-gai manusia yang cerdas, handal serta
antisipatif persis seperti pendahulu mereka di masa kepemimpin-an Khulafa
Rasyidun.
Memahami realitas حَبْلٌ مِنَ اللهِ وَحَبْلٌ مِنَ النَّاسِ
Istilah Islam (اِصْطِلاَحٌ اِسْلاَمِيٌّ) yang paling tragis disalahgunakan oleh umat
Islam saat ini adalah is-tilah yang tercantum dalam ayat :
ضُرِبَتْ
عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ
مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ
وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ (آل عمران : 112)
Menurut
mereka bagian ayat بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ
مِنَ النَّاسِ merupakan dalil tentang adanya konsep hubungan dengan Allah
SWT dan hubungan dengan sesama manusia bahkan mereka dengan sangat berani
me-nambahkan istilah buatan mereka sendiri yakni وَحَبْلٍ
مِنَ الْعَالَمِ (hubungan dengan lingkungan). Gagasan tersebut muncul ke
permukaan dipicu oleh propaganda opini dunia yang menantang semua agama un-tuk
banyak berkiprah dan berperan aktif dalam menyelamatkan dan berpihak kepada
kemanusiaan beri-kut lingkungan hidup. Lalu dengan adanya program dari
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) Millennium Development Goals (MDG’S) yang
salah satunya adalah tentang climate changes dengan slogan stop
global warming, maka umat Islam pun ditantang untuk menunjukkan bahwa agama
mereka juga sangat memperhatikan tentang lingkungan hidup. Inilah yang semakin
memberikan ruang gerak bagi gagasan وَحَبْلٍ
مِنَ الْعَالَمِ (hubungan dengan lingkungan). Lalu, bagaimana memahami
ayat tersebut dengan sebe-narnya yakni sesuai dengan مَدْلُوْلُ الأَفْكَارِ yang ditunjukkan oleh ayat tersebut?
Pemikiran
yang ditunjukkan (مَدْلُوْلُ الأَفْكَارِ) oleh lafadz حَبْلُ
اللهِ tidak boleh lagi bertumpu kepada makna
bahasa (لُغَوِيًا) yakni اَلسَّبَبُ الَّذِيْ يُوْصِلُ بِهِ إِلَى الْبُغْيَةِ وَالْحَاجَةِ.
وَالْحَبْلُ: حَبْلُ الْعَاتِقِ (sebab
yang mengantar-kan kepada sesuatu yang dicari/dituntut dan kepada yang dibutuhkan.
الْحَبْلُ : urat/tali
leher), karena
seluruh nash syar’iy memastikan makna atau realitas syar’iy (مَعْنًى شَرْعِيًّا اَوْ حَقِيْقًا شَرْعِيًّا) bagi lafadz terse-but :
1.
Al-Quran dan makna ini ditunjukkan secara pasti oleh sejumlah
pernyataan Rasulullah saw :
أَلَا وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ
ثَقَلَيْنِ أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ مَنْ
اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ (رواه
مسلم)
أَلَا إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ
فَقُلْتُ مَا الْمَخْرَجُ مِنْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كِتَابُ اللَّهِ
فِيهِ نَبَأُ مَا كَانَ قَبْلَكُمْ وَخَبَرُ مَا بَعْدَكُمْ وَحُكْمُ مَا
بَيْنَكُمْ وَهُوَ الْفَصْلُ لَيْسَ بِالْهَزْلِ مَنْ تَرَكَهُ مِنْ جَبَّارٍ
قَصَمَهُ اللَّهُ وَمَنْ ابْتَغَى الْهُدَى فِي غَيْرِهِ أَضَلَّهُ اللَّهُ وَهُوَ
حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ وَهُوَ الصِّرَاطُ
الْمُسْتَقِيمُ هُوَ الَّذِي لَا تَزِيغُ بِهِ الْأَهْوَاءُ وَلَا تَلْتَبِسُ بِهِ
الْأَلْسِنَةُ وَلَا يَشْبَعُ مِنْهُ الْعُلَمَاءُ وَلَا يَخْلَقُ عَلَى كَثْرَةِ الرَّدِّ
وَلَا تَنْقَضِي عَجَائِبُهُ هُوَ الَّذِي لَمْ تَنْتَهِ الْجِنُّ إِذْ سَمِعَتْهُ
حَتَّى قَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ
فَآمَنَّا بِهِ مَنْ قَالَ بِهِ صَدَقَ وَمَنْ عَمِلَ بِهِ أُجِرَ وَمَنْ حَكَمَ
بِهِ عَدَلَ وَمَنْ دَعَا إِلَيْهِ هَدَى إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ خُذْهَا
إِلَيْكَ يَا أَعْوَرُ (رواه الترمذي)
كِتَابُ اللهِ
هُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَمْدُوْدُ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ (رواه الحافظ
أبو جعفر الطبري)
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ هُوَ
حَبْلُ اللهِ الْمَتِيْنُ وَهُوَ النُّوْرُ الْمُبِيْنُ وَهُوَ الشِّفَاءَ
النَّافِعُ عِصْمَةٌ لِمَنْ تَمَسَّكَ بِهِ وَنَجَاةٌ
لِمَنِ اتَّبَعَهُ (رواه ابن مردويه)
Seluruh pernyataan Nabi Muhammad saw tersebut (كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللَّهِ atau وَهُوَ حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ atau كِتَابُ
اللهِ هُوَ حَبْلُ اللهِ الْمَمْدُوْدُ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى اْلأَرْضِ) memberikan
penjelasan yang pasti tentang realitas yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah
SWT :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ
جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (آل عمران
: 103)
Sehingga وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيْعًا
adalah وَاعْتَصِمُوا بِالْقُرْآنِ جَمِيْعًا (berpegang teguhlah kalian kepada
Al-Quran) dan sebetulnya bagian akhir ayat كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ juga memastikan bahwa realitas حَبْلُ اللهِ
adalah Al-Quran.
2.
Islam dan makna ini muncul dari realitas kedudukan Al-Quran
sebagai sumber hukum (مَصْدَرُ الْحُكْمِ) dalam Islam, sehingga ketika Allah SWT menyatakan وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيْعًا maka itu
berarti Allah SWT memerintahkan untuk وَاعْتَصِمُوا
بِالإِسْلاَمِ جَمِيْعًا. Makna حَبْلُ
اللهِ adalah Islam juga ditunjukkan se-cara دَلاَلَةً oleh seluruh perintah Allah SWT yang
tercantum dalam ayat Ali Imran 103 itu sendiri, te-rutama bagian ayat وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ
مِنْهَا yang dipastikan maksudnya oleh pernyataan
Rasulullah saw : وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ
فِي النَّارِ (رواه مسلم) (dan dia benci kembali kepada
kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu seperti halnya dia
benci dijebloskan ke dalam neraka). Tentu saja seseorang yang bersikap وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ adalah tengah berada dalam haribaan Islam dan telah terlepas
bebas dari kekufuran (اَلْكُفْرُ) sehingga otomatis dia terbebas dari neraka (فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا).
Lalu bagaimana cara memahami atau apa
yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT dalam ayat :
ضُرِبَتْ
عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ
مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ
وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ (آل عمران : 112)
Hal-hal
yang harus dipastikan realitasnya dalam memahami ayat tersebut adalah :
1.
manusia (هُمْ) yang diseru (اَلْمُخَاطَبُوْنَ) oleh ayat
adalah Ahlul Kitab yakni Yahudi dan Nashara dan itu ditunjukkan oleh pernyataan
Allah SWT pada ayat :
وَلَوْ
ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (آل عمران : 110)
Sehingga
pernyataan ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ bermakna ضُرِبَتْ
عَلَى أَهْلِ الْكِتَابِ الذِّلَّةُ
(ditimpakkan kepada Ahlil Kitab kehinaan itu).
2.
bagian ayat أَيْنَ مَا ثُقِفُوْا atau أَيْنَ
مَا كَانُوْا atau أَيْنَ مَا وَجَدُوْا, menunjukkan
kehidupan Ahlul Kitab baik di masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw maupun
di masa setelah diutus sebagai Rasulullah dengan membawa Islam yang wajib
didakwahkan kepada seluruh manusia termasuk mereka. Oleh karena itu, bagian بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ bermakna :
a.
pada masa sebelum
Islam tentu saja adalah semua ketentuan Allah SWT yang diberlakukan ke-pada
mereka melalui Nabi Musa as (Kitab Taurah) dan Nabi Isa as (Kitab Injil).
Inilah yang di-ungkapkan oleh Al-Quran dengan istilah ketentuan perjanjian (مِيْثَاقٌ اَوْ عَهْدٌ) :
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي
إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا
مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ (البقرة : 83)
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ
فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا
يَشْتَرُونَ (آل عمران : 187)
وَلَقَدْ
أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ
نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ
وَءَاتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَءَامَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ
وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ
سَوَاءَ السَّبِيلِ (المائدة : 12)
لَقَدْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي
إِسْرَائِيلَ وَأَرْسَلْنَا إِلَيْهِمْ رُسُلًا كُلَّمَا جَاءَهُمْ رَسُولٌ بِمَا
لَا تَهْوَى أَنْفُسُهُمْ فَرِيقًا كَذَّبُوا وَفَرِيقًا يَقْتُلُونَ (المائدة :
70)
يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا
نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ
بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ (البقرة : 40)
Sehingga ketika mereka tidak melaksanakan seluruh ketentuan Allah SWT,
maka ditimpakan kepada mereka الذِّلَّةُ. Al-Quran juga
menjelaskan sikap mereka yang terkategori sebagai me-langgar مِيْثَاقٌ اَوْ عَهْدٌ yakni antara lain :
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ
وَكُفْرِهِمْ بِآيَاتِ اللَّهِ وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ
وَقَوْلِهِمْ قُلُوبُنَا غُلْفٌ بَلْ طَبَعَ اللَّهُ عَلَيْهَا بِكُفْرِهِمْ فَلَا
يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا (النساء : 155)
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا
يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ
بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (آل عمران : 112)
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ
الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا
يَامُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ
تَجْهَلُونَ (الأعراف : 138)
b.
pada masa Islam yakni
setelah Nabi Muhammad saw menjadi Kepala Negara Islam pertama di Madinah
Al-Munawarah, maka realitas بِحَبْلٍ
مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ yang berlaku atas Ahlul Kitab adalah
ketentuan Allah SWT (حَبْلٌ مِنَ اللهِ) berupa
kewajiban mereka untuk membayar jizyah ke-pada Negara Islam sebagai konsekuensi
dari posisi mereka sebagai اَهْلُ الذِّمَّةِ. Sedangkan
realitas حَبْلٌ مِنَ النَّاسِ adalah seluruh ketentuan yang
mengatur interaksi mereka dengan Negara Islam dan kaum muslim seperti yang
tercantum dalam Piagam Madinah saat Negara Islam dipimpin oleh Rasulullah saw
maupun dalam perjanjian lainnya yang telah dibuat sepanjang kepemimpinan
Khulafa Rasyidun. Lalu jika mereka melanggar seluruh ketentuan tersebut maka
dipastikan ja-minan dari Allah dan Rasul Nya (ذِمَّةُ
اللهِ وَذِمَّةُ رَسُوْلِهِ) secara otomatis batal dan status
mereka ber-ubah menjadi kaum kufar yang wajib diperangi (اَهْلُ الْحَرْبِيَّةِ). Inilah realitas الذِّلَّةُ yang akan ditim-pakkan kepada mereka saat kehidupan Islami
(Khilafah Islamiyah), baik di masa lalu maupun di masa depan ketika Khilafah
kembali tegak berdiri dalam arena kehidupan dunia.
3.
bagian ayat ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ
وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ memastikan bahwa حَبْلٌ
مِنَ اللهِ وَحَبْلٌ مِنَ النَّاسِ adalah seluruh ketentuan Allah SWT
yang bersumber dari Taurah maupun Injil yang diberlakukan khusus kepada Bani
Israil, lalu mereka melanggarnya yang beraki-bat ضُرِبَتْ
عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا.
Wal
hasil maksud dari ungkapan حَبْلٌ مِنَ اللهِ وَحَبْلٌ
مِنَ النَّاسِ adalah : (a) seluruh ketentuan Allah
SWT yang bersumber dari Taurah dan Injil yang diberlakukan secara khusus kepada
Bani Israil dan (b) selu-ruh ketentuan Islam yang diberlakukan kepada Bani
Israil (Ahlul Kitab) sehubungan dengan status me-reka sebagai اَهْلُ الذِّمَّةِ dalam kehidupan
Khilafah Islamiyah dan bukan saat ini ketika Khilafah telah ti-dak ada lagi
dalam arena kehidupan dunia dan itu telah berlangsung lebih dari 85 tahun. Dengan demi-kian ungkapan
tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan ibadah ritual vs ibadah
sosial atau kesalehan individual vs kesalehan sosial atau hubungan
vertikal vs hubungan horizontal atau aturan hubungan dengan Allah vs
aturan hubungan dengan sesama manusia, atau lainnya apalagi jika kemu-dian
ditambah dengan ungkapan super aneh حَبْلٌ
مِنَ الْعَالَمِ. Inilah realitas yang dimaksudkan dan
ditetap-kan oleh Allah SWT dalam ayat Ali Imran 112 tersebut sesuai dengan مَدْلُوْلُ الأَفْكَارِ yang
ditunjukkan oleh bagian per bagian dari ayat itu sendiri maupun oleh sejumlah
dalil lainnya yang ada dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Tentu saja realitas
syar’iy (حَقِيْقًا شَرْعِيًّا) tersebut haram
diganggu gugat atau dirubah atau ditarik ulur dengan pertimbangan apa pun sebab
itu berhubungan dengan penetapan sifat suatu fakta (تَعْيِيْنُ
وَصْفٍ لِوَاقِعٍ مُعَيَّنٍ) yang
adalah mustahil bagi aqal untuk menetapkannya kecuali jika Allah
SWT memberikan informasi yang lengkap tentang itu kepada manusia.
Khatimah
Kelemahan pemikiran umat Islam untuk memahami
اَلنُّصُوْصُ الشَّرْعِيَّةُ yang ada di dalam Al-Quran maupun As-Sunnah
memang semakin parah seiring dengan berlalunya masa. Lebih mengerikannya la-gi
adalah mereka tidak pernah berusaha untuk menyadari kelemahan sangat asasi
tersebut bahkan seba-liknya mereka mengaku diri عَلَى
فِعْلِهِمْ وَمَوْقِفِهِمْ (secara aksi) sangat dapat memahami segala
hal yang me-reka baca dari Al-Quran maupun As-Sunnah.
Mereka katakan bersyukur itu adalah wajib
dengan dalil لَئِنْ شَكَرْتُمْ
لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ, padahal ketentuan yang
dimuat dalam ayat tersebut adalah hanya berlaku bagi Bani Israil melalui
per-nyataan Nabi Musa as kepada mereka (وَإِذْ
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ).
Mereka menyatakan bahwa seorang muslim wajib
menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat berdasarkan dalil yang tercantum
dalam Al-Quran : وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا. Padahal ungkapan
tersebut merupakan nasihat kaum Qarun kepada Qarun yang memang saat itu de-ngan
begitu sombongnya mengklaim bahwa harta sangat melimpah yang dia miliki itu
adalah hasil dari kepandaiannya sendiri : قَالَ
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي (القصص : 78).
Seluruh Nabi dan Rasul memperoleh ilmu
langsung dari Allah SWT. Memang ada juga manusia tertentu selain mereka yang
dipilih oleh Allah SWT untuk memperolehnya, seperti seseorang yang
di-pertemukan dengan Nabi Musa as atau Luqman atau Maryam binti Imran atau Dzul
Qarnain atau pe-muda Ashhabul Kahfi dan lainnya yang dicantumkan dalam
Al-Quran. Seluruhnya mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT : وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا. Namun kepastian mereka telah mengalami hal
itu baru dapat diketahui setelah ada pemberitahuan langsung dari Allah SWT
kepada yang bersangkutan jika mereka itu para Nabi dan Rasul. Sedangkan selain
para Nabi dan Rasul tentu saja baru dapat dipastikan setelah ada wahyu yang
memberitakan kisah orang-orang tersebut kepada Rasul tertentu. Misalnya
se-luruh kisah manusia sebelum masa Islam yang mengalami وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا, baru dapat diketahui oleh manusia generasi
berikutnya (umat Islam) setelah Allah SWT mewahyukan kisah mereka kepada
Rasu-lullah saw. Jadi, setelah wahyu berhenti seiring dengan telah lengkapnya
Al-Quran, maka jika ada ma-nusia yang mengklaim mengalami hal seperti itu tentu
saja akan mustahil dapat dibuktikan secara naq-liy apalagi aqliy.
Mereka menganggap
terjadinya bencana alam yang dahsyat adalah adzab kemurkaan Allah SWT kepada
manusia karena mereka banyak melakukan maksiat. Anggapan tersebut adalah tepat
jika terjadi pada masa sebelum Islam yakni dari sejak Nabi Isa ke belakang
hingga Nabi Nuh as, namun anggapan itu adalah salah fatal bila dihubungkan
dengan umat Islam atau masa setelah Islam diturunkan hingga beberapa saat
menjelang tibanya اَلسَّاعَةُ. Hal itu karena nash
Al-Quran yang قَطْعِيًّا جَازِمًا memastikan bah-wa Allah
SWT tidak akan mengadzab manusia mana pun selama masih ada umat Islam yang
sejati :
وَمَا
كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ
مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (الأنفال : 33)
Klaim
BAZNAS, LAZNAS, Rumah Zakat Nasional, BAZIS dan lainnya bahwa mereka adalah
representasi resmi dari lembaga yang diberi wewenang oleh Islam untuk
mengumpulkan dan mendistri-busikan harta zakat, tentu saja kedustaan yang
diatasnamakan kepada Allah SWT dan Rasulullah saw. Hal itu karena baik ayat
At-Taubah 103 maupun hadits Mu’adz bin Jabal adalah dalil tentang pemberi-an
wewenang dari Allah SWT kepada Khalifah (langsung atau dengan mengangkat وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا) untuk
mengumpulkan zakat dari para muzakkiy serta mendistribusikannya kepada delapan
golongan yang te-lah ditetapkan dalam Islam (At-Taubah : 60).
Wal
hasil sangat nyata bahwa umat Islam baik yang jujur mengaku
sebagai orang awam maupun yang dengan penuh kedustaan mengaku
diri sebagai ulama, fuqaha, mujtahid dan sebagainya, seluruh-nya adalah sangat
lemah kemampuan berpikir dengan benar sehingga mereka dapat dengan mudah
me-lakukan berbagai kesalahan fatal baik secara konsepsi maupun apalagi dalam
bentuk aksi. Rasulullah saw menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ
الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ
مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ
فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)