Umat Islam dan Al-Quran
Ketika Bulan Ramadlan datang menghampiri umat
Islam, maka seketika itu juga mereka begitu sangat bergairah
untuk menunjukkan sikap kepemilikan mereka terhadap Al-Quran kepada publik.
Se-bagian mereka langsung memamerkan Mushaf Al-Quran berukuran raksasa dengan
bahan dasar temba-ga dan memerlukan waktu tahunan (2-3 tahun) untuk
menyelesaikan proses penulisannya. Sebagian la-innya justru mempertontonkan
harta pusaka mereka yang selama ini (ratusan tahun secara turun temu-run)
dijaga dan dipelihara dengan penuh khidmat, yakni berupa Mushaf Al-Quran
berusia ratusan tahun yang ditulis dengan tangan oleh pimpinan komunitas
tersebut yang sangat dimuliakan.
Komunitas tertentu dari umat Islam melakukan
ritual penuh nuansa magis pada tengah malam di Bulan Ramadlan dalam rangka
“meruwat dan membersihkan” Mushaf Al-Quran yang mereka anggap sangat istimewa
serta keramat. Prosesi ruwatan dan pembersihan tersebut sangat panjang, rumit
dan memerlukan waktu yang sangat lama yakni bisa saja berlangsung berhari-hari,
layaknya meruwat dan membersihkan benda-benda pusaka lainnya seperti keris,
tombak, pedang dan sebagainya.
Lalu, sebagian sangat besar kaum muslim
lainnya ramai-ramai melakukan “khataman” Al-Quran sebanyak mungkin sepanjang
Bulan Ramadlan, bahkan di pesantren tertentu khataman tersebut dipim-pin oleh
Sang Kyai yang melakukannya tanpa membaca Mushaf alias berdasarkan hapalannya.
Semen-tara itu, stasiun televisi pun tidak mau ketinggalan untuk ikut serta
meramaikan kegairahan umat Islam dalam membaca dan konon kabarnya “memahami”
Al-Quran, misal rubrik Tafsir Al-Misbah di Metro-TV atau tele tilawah di TVRI
dan lainnya. Kemudian, nun jauh di sana yakni di Kerajaan Saudi Arabia shalat
tarawih di Masjid Al-Haram Makkah diselenggarakan dengan membaca ayat-ayat
Al-Quran se-telah membaca Al-Fatihah sedemikian rupa sehingga saat malam
terakhir dari Bulan Ramadlan seluruh Al-Quran telah selesai dibaca.
Demikianlah aneka rupa sikap umat Islam
terhadap Al-Quran setiap kali Bulan Ramadlan tiba dalam kehidupan mereka.
Sekali lagi, mereka menganggap sikap tersebut ditampakkan atau bahkan
di-elaborasikan sebagai wujud nyata penghormatan dan pemuliaan terhadap
Al-Quran sekaligus keserius-an mereka untuk memahaminya. Kepastiannya adalah
anggapan, sikap dan tindakan umat Islam terse-but selalu diulang setiap tahun
ketika Bulan Ramadlan datang menemui mereka. Artinya ratusan juta orang (bahkan
mungkin saja mendekati satu miliar) umat Islam di seluruh dunia, selalu dan
selalu me-ngulang “tradisi” tersebut setiap tahun dan itu mereka lakukan selama
satu Bulan Ramadlan penuh. Ja-di ada sebagian umat Islam yang mungkin baru
pertama kalinya menjalankan tradisi Bulan Ramadlan itu tapi ada juga yang telah
melakukannya lebih dari 50 kali sesuai dengan usia mereka yang telah di atas
70-an tahun. Lalu, apakah hasil akhir yang dicapai oleh umat Islam baik secara
orang per orang maupun secara komunal, dari melakukan tradisi tahunan tersebut?
Apakah menjadikan mereka semakin loyal dan taat (alias taqwa)
kepada Allah SWT atau justru sama sekali tidak ada pengaruh apa pun dan sedikit
pun ke arah sana?
Kenyataan kehidupan umat Islam di seluruh
dunia hingga saat ini pasca runtuhnya Khilafah Isla-miyah Ustmaniyah pada 3
Maret 1924 yang lalu, adalah :
1.
mereka hidup dalam batas teritorial negara kebangsaan
masing-masing yang jumlahnya hampir 200 buah negara. Realitas hidup mereka
tersebut telah berlangsung lebih dari 85 tahun sehingga secara otomatis
menjadikan pikiran, perasaan maupun sikap mereka sepenuhnya telah menerima
negara kebangsaan sebagai bentuk keniscayaan hidup di dunia. Bahkan mereka
menganggap bentuk nega-ra kebangsaan adalah harus dipertahankan dan dibela
mati-matian supaya tetap ada dan berlaku dalam kehidupan manusia
di dunia. Mereka yang seluruhnya belum pernah hidup walau satu
detik dalam Khilafah Islamiyah, sama sekali tidak pernah memikirkan mengapa
Khilafah runtuh dan ba-gaimana metode untuk mengembalikannya.
Mereka tidak pernah bertanya apakah Islam mengha-lalkan hidup
dalam wadah negara kebangsaan ataukah justru mengharamkannya dan mereka juga
tidak pernah peduli apakah Islam mewajibkan Khilafah itu seperti
halnya mewajibkan shalat lima waktu, shaum Bulan Ramadlan, haji, zakat dan
sebagainya.
2.
kapitalisme adalah sistem perekonomian yang diberlakukan secara
paksa dari dulu hingga kini oleh kaum kufar yang tergabung dalam simbol
hegemoni mereka : G-8 (Amerika Serikat/AS,
Kanada, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Rusia). Demokrasi
adalah sistem pemerintahan seluruh negara kebangsaan tempat bermukimnya seluruh
umat Islam yang diberlaku-paksakan oleh kaum kufar di bawah komando sang
adidaya : AS. Realitas tersebut tidak pernah dipersoalkan oleh umat Islam yakni
apakah halal ataukah haram menurut Islam, lalu bagaimana metode Islami untuk
me-lepaskan diri dari realitas kehidupan itu jika ternyata diharamkan. Bahkan
yang tampak sangat jelas dan pasti adalah mereka betul-betul “menikmati” hidup
dengan kedua sistema tersebut tanpa peduli apakah halal ataukah haram menurut
Islam yang penting dapat berkhidmat kepada kepentingan na-luriah mereka.
3.
kehidupan Islami mereka telah dianggap cukup, memadai bahkan
sempurna dengan hanya bertum-pu pada pelaksanaan dari Rukun Iman dan Rukun
Islam. Sebagai contoh seorang yang kaya dan te-lah melaksanakan haji maka,
otomatis orang itu beserta semua orang lain yang ada di sekitarnya memastikan
bahwa yang bersangkutan telah sempurna “ke-Islamannya”. Mereka tidak pernah
am-bil pusing terhadap suara-suara yang masih mempertanyakan apakah
hanya itu yang ditetapkan se-bagai kewajiban dalam Islam ataukah masih banyak
kewajiban lainnya. Bahkan mereka justru me-nyimpulkan bahwa orang-orang yang
meributkan hal itu adalah manusia yang mencari sensasi, ma-salah dan kesulitan
serta tidak bersedia menerima kenyataan hidup alias manusia-manusia ambisius
nan serakah dan haus kekuasaan.
4.
mereka lebih suka dan merasa sangat nyaman berhimpun dalam firqah
seperti organisasi massa (ormas) maupun organisasi politik (orpol) tanpa pernah
bertanya apakah firqah itu berikut sikap tersebut dihalalkan oleh
Islam ataukah diharamkan. Bahkan eksistensi mereka dalam firqah ter-sebut
dijadikan sebagai wasilah atau wahana atau kendaraan untuk merealisir seluruh
kepentingan naluriahnya baik yang menyangkut harta maupun kekuasaan. Sekali
lagi, semuanya mereka laku-kan tanpa sedikit pun bertanya apakah itu halal
ataukah haram menurut Islam, padahal sering mulut berbasa basi bahwa mereka
bukan ahli agama atau tidak banyak mengerti tentang agama dan seba-gainya.
Artinya, sikap mereka itu tampak dilakukan dengan sangat penuh percaya diri
padahal pada saat yang sama mereka memposisikan diri sebagai orang awam yang
sangat tidak banyak tahu ten-tang ketentuan Islam.
5.
mereka akan lebih suka mengaktualisasikan diri sebagai politisi
atau pebisnis atau pengamat atau pesohor atau ilmuwan atau figur publik
lainnya, daripada menampakkan ciri khas mereka selaku umat Islam. Hal itu
sangat terbukti saat ada sesuatu atau kejadian atau
peristiwa yang menuntut komitmen Islam mereka maka segera saja mereka
menyatakan diri dalam posisi netral, tidak mau ikut campur, tidak berpihak
bahkan menganggap dirinya tidak dalam kapasitasnya untuk memberi-kan tanggapan
maupun pendapat terhadap realitas tersebut. Artinya mereka sangat menyimpan dan
menutup rapa-rapat identitas Islamnya sedemikian rupa sehingga hanya sebagai
bagian dari rahasia hidup mereka secara pribadi. Inilah hakikat yang terjadi
dan melekat erat pada pemikiran maupun sikap umat Islam baik yang hidup di
negeri-negeri Islam maupun di Dunia Barat.
Dengan demikian
hasil akhir dari tradisi tahunan setiap Bulan Ramadlan tersebut sama
sekali tidak menjadikan umat Islam semakin loyal dan taat
kepada Allah SWT, melainkan justru sebaliknya pe-mikiran dan sikap mereka
semakin loyal dan taat kepada kekufuran berikut kaum kufar
pengusung utamanya. Tegasnya, pelaksanaan tradisi tahunan tersebut sama sekali
tidak ada pengaruh apa pun dan sekecil apa pun terhadap pemikiran dan sikap
umat Islam, bahkan seolah antara gairah mereka memba-ca Al-Quran secara
berulang ulang sepanjang Bulan Ramadlan dengan pemikiran dan sikapnya sama
sekali tidak berhubungan apa pun (مُنْفَصِلاً
غَيْرَ مُتَّصِلٍ). Jadi, realitas mereka
adalah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمِنْهُمْ
مَنْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ أَفَأَنْتَ تُسْمِعُ الصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا لَا
يَعْقِلُونَ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْظُرُ إِلَيْكَ أَفَأَنْتَ تَهْدِي الْعُمْيَ
وَلَوْ كَانُوا لَا يُبْصِرُونَ (يونس : 42-43)
Dan di antara mereka (kaum kufar) ada yang seolah
mengarahkan pendengarannya kepada mu (Mu-hammad), apakah kamu dapat
memperdengarkan sesuatu kepada orang yang tuli dan walau pun mere-ka itu
keadaannya tidak beraqal. Dan di antara mereka (kaum kufar) ada yang seolah
mengarahkan pandangannya kepada mu (Muhammad), apakah kamu dapat memberikan
petunjuk kepada orang yang buta dan walau pun mereka itu keadaannya tidak dapat
melihat
Objek
yang dibidik oleh ayat ini saat diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah kaum
kufar yang ada saat itu yakni Yahudi, Nashara dan Quraisy dan sama sekali bukan
umat Islam. Lalu mengapa bidi-kan seruan dalam ayat tersebut saat ini diarahkan
kepada umat Islam? Tentu saja demikian sebab saat ini (berdasarkan realitas
kehidupan mereka pada nomor 1 hingga 5) mereka telah sepenuhnya berpikir dan
bersikap yang sama persis dengan kaum kufar walaupun tidak bersedia murtad dari
Islam alias ma-sih ingin beragama Islam. Hal itu karena ciri khas kaum kufar
adalah كَانُوا لَا يَعْقِلُونَ dan كَانُوا لَا يَفْقَهُوْنَ, akibat seluruh indera mereka
(pendengaran dan penglihatan) tidak berfungsi akibat terjadinya dominasi
kepentingan naluriah terhadap seluruh pemikiran maupun sikap mereka. Mereka
hakikatnya tidak layak disebut manusia melainkan lebih tepat dan lebih
pantas disebut sebagai binatang.
Umat Islam dan kaum kufar : adakah
perbedaan sikap mereka?
Ketika Al-Quran diserukan oleh Nabi Muhammad
saw kepada seluruh manusia termasuk kaum kufar yang ada saat itu, maka tanggapan
mereka digambarkan oleh Allah SWT dalam ayat :
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ نُؤْمِنَ بِهَذَا الْقُرْءَانِ وَلَا بِالَّذِي بَيْنَ
يَدَيْهِ (سبأ : 31)
Dan orang-orang kafir itu berkata : kami tidak akan pernah
beriman kepada Al-Quran ini dan tidak juga kepada orang yang membawanya
Lalu supaya klaim mereka itu seolah memiliki argumen
pembenar maka mereka pun mengajukan se-jumlah syarat kepada Nabi Muhammad saw
dan jika dapat dipenuhi oleh beliau saw maka barulah me-reka akan beriman.
Realitas kaum kufar inilah yang diungkapkan oleh Allah SWT sebagai berikut :
الَّذِينَ
قَالُوا إِنَّ اللَّهَ عَهِدَ إِلَيْنَا أَلَّا نُؤْمِنَ لِرَسُولٍ حَتَّى
يَأْتِيَنَا بِقُرْبَانٍ تَأْكُلُهُ النَّارُ قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ
قَبْلِي بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالَّذِي قُلْتُمْ فَلِمَ قَتَلْتُمُوهُمْ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ (آل عمران : 183)
Orang-orang yang berkata : sungguh Allah telah berjanji
kepada kami bahwa kami tidak akan ber-iman kepada seorang Rasul hingga dia
dapat mendatangkan kepada kami qurban yang dimakan api. Katakanlah (olehmu
Muhammad) : telah datang kepada kalian para Rasul sebelumku dan dengan membawa
serta apa yang kalian katakan itu, lalu mengapa kalian justru membunuh mereka,
jika ka-lian memang benar
وَإِذَا
جَاءَتْهُمْ ءَايَةٌ قَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتَى مِثْلَ مَا أُوتِيَ
رُسُلُ اللَّهِ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ
أَجْرَمُوا صَغَارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا كَانُوا يَمْكُرُونَ
(الأنعام : 124)
Dan ketika datang
suatu ayat kepada mereka, mereka pun berkata : kami tidak akan pernah beriman
hingga didatangkan kepada kami seperti apa yang telah didatangkan oleh para
Rasul Allah. Allah mengetahui bagaimana menjadikan risalah Nya, sungguh
orang-orang yang bertindak kufur itu akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan
juga adzab yang dahsyat akibat segala hal yang mereka lakukan
وَقَالُوا
لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعًا أَوْ تَكُونَ
لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا
تَفْجِيرًا أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ
تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ قَبِيلًا أَوْ يَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ
زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى
تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ
إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا (الإسراء : 90-93)
Dan mereka (kaum
kufar) berkata : kami tidak akan pernah beriman kepadamu hingga kamu dapat
memancarkan mata air dari bumi bagi kami atau kamu punya kebun kurma dan anggur
lalu kamu da-pat menyemburkan sungai dari tengah kebun itu dengan deras atau
kamu dapat menjatuhkan langit berkeping-keping seperti yang selama ini kamu
angan-angankan kepada kami atau kamu dapat men-datangkan Allah dan malaikat
lalu berhadapan dengan kami atau kamu punya rumah yang terbuat da-ri emas atau
kamu dapat naik ke langit dan kami tidak akan pernah percaya naiknya kamu ke
langit itu hingga kamu dapat menurunkan kepada kami sebuah kitab yang kami
dapat membacanya. Katakanlah (olehmu Muhammad) : Maha Suci Rab ku, aku ini
tiada lain kecuali manusia yang dijadikan Rasul
Seluruh permintaan kaum kufar yang aneh-aneh
tersebut ditolak oleh Allah SWT walaupun sangat mu-dah bagi Allah SWT untuk
memenuhinya bahkan yang lebih aneh lagi dari itu. Hal itu karena Allah SWT Maha
Tahu bahwa jika seluruh permintaan kaum kufar itu dipenuhi maka tetap saja
mereka tidak akan pernah beriman kepada Al-Quran maupun Nabi Muhammad saw.
Inilah yang ditunjukkan oleh bagian ayat قُلْ قَدْ
جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالَّذِي قُلْتُمْ فَلِمَ
قَتَلْتُمُوهُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
dari آل عمران : 183.
Arti-nya Allah SWT menuntut seluruh manusia beriman kepada Al-Quran dan Nabi
Muhammad saw bukan karena beliau saw adalah manusia “super” yang dapat
melakukan tindakan spektakuler, kolosal dan aneh di luar kemampuan manusia
umumnya, melainkan mereka dituntut untuk beriman berdasarkan bukti-bukti yang
dapat dipikirkan oleh aqal mereka selaku manusia : قُلْ
سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا.
Itulah sikap kaum kufar terhadap seruan Islam yang disampaikan
oleh Nabi Muhammad saw se-panjang 13 tahun beliau berada di Negeri Makkah yakni
sebelum berdirinya wadah pelaksanaan Islam itu sendiri (اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ).
Lalu bagaimana halnya dengan sikap umat Islam saat ini yang telah lama hi-dup
dalam wadah negara kebangsaan?
Kepastiannya adalah umat Islam saat ini sangat marah dan tidak
rela jika mereka dipersamakan dengan kaum kufar alias mereka akan sangat
meradang jika dianggap selama ini bersikap yang sama dengan kaum kufar. Namun
demikian realitas kehidupan dan sikap hidup mereka menunjukkan dengan pasti
bahwa tidak alasan apa pun bagi mereka untuk tidak suka dan tidak rela dicap bersikap
yang sama dengan kaum kufar, sebab realitas kehidupan mereka justru menyodorkan
bukti tak terbantahkan yang memastikan sikap mereka sama sekali tidak berbeda
dengan kaum kufar. Memang masih ada perbeda-an antara umat Islam saat ini
dengan kaum kufar yakni kaum kufar akan sangat bangga dituduh dan
diposisikan sebagai anti serta musuh Islam, sedangkan kaum muslim akan sangat
marah dan tidak rela jika tuduhan tersebut diarahkan
kepada mereka. Selebihnya adalah mustahil mendapatkan perbedaan sikap antara
umat Islam dan kaum kufar yang masih hidup hingga sekarang.
Ketika kaum kufar (salah satunya adalah
Kaisar Heraklius) diseru kepada Islam :
قُلْ
يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ
بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا
اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (آل عمران : 64)
maka segera saja mereka menyatakan diri menolak tegas
seruan tersebut :
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ نُؤْمِنَ بِهَذَا الْقُرْءَانِ وَلَا بِالَّذِي بَيْنَ
يَدَيْهِ (سبأ : 31)
Lalu ketika umat Islam diseru untuk segera kembali kepada
pola kehidupan mereka yang orisinal me-nurut Islam (دِيْنُهُمُ
الأَصْلِيُّ) dengan memberlakukan seluruh syariah Islamiyah di dunia :
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(النور : 51)
maka segera saja
mereka menngungkapkan gagasan ngawur bahwa syariah Islamiyah itu telah
dipasti-kan akan ditinggalkan oleh manusia satu per satu, sehingga tidak perlu
dicegah karena telah ditaqdir-kan demikian seperti yang terungkap dalam
pernyataan Rasulullah saw sendiri :
لَيُنْقَضَنَّ
عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ
النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ
الصَّلَاةُ (رواه احمد)
Padahal maksud dari pernyataan Rasulullah saw
tersebut adalah justru tuntutan yang pasti kepada umat Islam untuk tidak
melakukan hal itu (نَقْضُ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً
عُرْوَةً), dengan kata lain beliau saw mengha-ramkan
mereka tindakan tersebut yakni meninggalkan satu demi satu syariah Islamiyah
hingga hampir seluruh bagiannya tidak berlaku lagi dalam arena kehidupan mereka
dan yang tersisa tinggal shalat li-ma waktu saja.
Selanjutnya ketika kaum muslim diseru
kesadaran mereka untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah yang telah lebih
dari 85 tahun hilang dari kehidupan dunia dan itu adalah kewajiban mereka yang
utama serta asasi seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه
البخاري)
maka
dengan tegas mereka katakan bahwa Khilafah itu sama sekali bukan syariah
Islamiyah karena ti-dak dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, bahkan itu hanyalah
perbuatan bid’ah para sahabat saja. Mereka pun berargumen bahwa Rasulullah saw
diutus bukan sebagai kepala negara melainkan untuk menyempurnakan akhlak
manusia seperti yang beliau katakan :
اِنَّمَا
بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
atau jika pun mereka tidak secara terang-terangan menolak
Khilafah Islamiyah, maka mereka pun ber-dalih bahwa persoalan negara,
pemerintahan dan kekuasaan adalah perkara yang sangat berat dan tidak semua
orang mampu melaksanakannya dan Allah SWT melarang tindakan yang akan
menjerumuskan diri kepada kebinasaan :
وَأَنْفِقُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (البقرة : 195)
Tentu saja mereka lupa atau pura-pura lupa
bahwa akhlaq adalah bagian dari syariah Islamiyah dan pemberlakuan seluruh
bagian syariah Islamiyah tersebut (termasuk akhlaq) dengan sempurna,
menye-luruh dan utuh adalah hanya dapat dilakukan oleh Khalifah yang
mengendalikan Khilafah secara tung-gal. Realitas itu bukan hanya akan mampu
dilakukan oleh umat Islam bahkan telah terbukti secara em-piris sejak Nabi
Muhammad saw hingga Khalifah terakhir
dari barisan Khulafa Rasyidun (jika mem-pertimbangkan kesempurnaan dan keutuhan
100 persen) atau hingga Khalifah terakhir dari Utsmaniyah (Abdul Hamid II).
Artinya, beban perintah wajib bagi umat Islam untuk hidup kembali secara Islam
da-lam wadah Khilafah Islamiyah adalah pasti 100 persen sesuai dengan kemampuan
manusia itu sendiri dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan menjerumuskan
diri dalam kebinasaan. Hal itu karena ayat Al-Baqarah 195 justru berkenaan
dengan kewajiban umat Islam untuk membiayai jihad semaksi-mal mungkin hingga
jihad tersebut dapat diselenggarakan dengan sempurna (musuh dapat dikalahkan
dan Islam menyebarluas ke seluruh dunia). Jika mereka tidak melakukannya maka
itulah yang akan mengantarkan mereka kepada kebinasaan (اَلْهَلاَكُ) akibat musuh yakni kaum kufar semakin kuat.
Inilah maksud dari bagian ayat وَلَا
تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ seperti yang disampaikan dalam tafsir
Jalalain :
اَلْهَلاَكُ
بِالإِمْسَاكِ عَنِ النَّفَقَةِ فِيْ الْجِهَادِ أَوْ تَرْكِهِ ِلأَنَّهُ يَقْوِيْ
الْعَدُوُّ عَلَيْكُمْ
Kebinasaan akibat berhenti membiayai pelaksanaan jihad atau
bahkan meninggalkannya, hal itu kare-na akan menjadikan musuh semakin kuat atas
kalian
Lagipula, mereka harus menjawab satu pertanyaan mendasar
yakni sudahkah mereka mencoba beru-paya keras dan serius hingga batas
kemampuan paling akhir (يَسْتَفْرِغُوْنَ
وُسْعَهُمْ) ketika mereka menya-takan bahwa menegakkan Khilafah
Islamiyah itu (persoalan negara, pemerintahan dan kekuasaan) adalah perkara
yang sangat berat dan tidak semua orang mampu melaksanakannya? Fakta
sikap dan sepak terjang mereka selama ini memastikan bahwa jika mereka jujur
maka jawabannya adalah ka-mi memang belum pernah sama sekali dan dengan
kadar paling ringan sekali pun mencoba berupa-ya keras dan serius hingga batas
kemampuan kami paling akhir untuk menegakkan kembali Khila-fah Islamiyah
tersebut! Inilah realitas sikap umat Islam yang sangat identik dengan
sikap Bani Israil ketika Nabi Musa as berkata untuk menyampaikan perintah Allah
SWT kepada mereka :
يَاقَوْمِ
ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا
تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (المائدة : 21)
Wahai kaumku, masuklah kalian ke bumi Al-Muqaddasah yang
telah Allah tetapkan bagi kalian dan janganlah kalian berbalik ke belakang
kalian, maka (jika itu kalian lakukan) kalian akan kembali se-bagai orang-orang
yang merugi
maka dengan spontan mereka berkata :
قَالُوا
يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى
يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ (المائدة : 22)
Mereka (Bani Israil) berkata : wahai Musa, sungguh di
dalamnya ada suatu kaum yang bengis dan ka-mi tidak akan pernah memasukinya
hingga mereka keluar dari bumi itu, lalu jika mereka telah keluar dari dalamnya
maka barulah kami akan memasukinya
bahkan mereka dengan sikap sombongnya menyatakan :
قَالُوا
يَامُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ
وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ (المائدة : 24)
Mereka (Bani Israil) berkata : wahai Musa, sungguh kami tidak akan
pernah memasukinya hingga ka-pan pun selama mereka (kaum bengis) ada di
dalamnya. Oleh karena itu, pergilah kamu dan Rab ka-mu lalu berperanglah kalian
berdua (melawan mereka), sementara itu kami di sini saja duduk me-nunggu
Sungguh identik sikap umat Islam saat ini dengan Yahudi
saat masih dipimpin oleh Nabi Musa as, yak-ni mereka semua berani menyimpulkan diri
sebagai tidak mampu atau tidak dalam kapasitasnya pa-dahal mereka
sama sekali belum pernah sedikit pun mencoba melakukannya. Akhirnya Nabi Musa
menyatakan kepada Allah SWT :
قَالَ
رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ
الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (المائدة : 25)
Dia (Musa) berkata : wahai Rab saya, sungguh saya tidak
menguasai apa pun selain diri saya dan saudara saya (Harun), oleh karena itu pisahkanlah
kami dengan kaum fasiq itu
Bukankah ucapan Nabi Musa tersebut sama persis dengan
ucapan Nabi Muhammad saw :
وَقَالَ
الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا
(الفرقان : 30)
Dan Rasul itu (Muhammad) berkata : wahai Rab saya, sungguh
kaum ku (Bangsa Arab) telah menjadi-kan Al-Quran ini sebagai perkara yang
mereka tinggalkan jauh-jauh
Dapatkah
umat Islam saat ini menyodorkan bukti pasti bahwa mereka tidak pernah
meninggalkan atau membuang jauh-jauh Al-Quran dari kehidupan mereka? Pastilah
mereka tidak akan dapat menghadir-kan bukti itu, sebab seluruh
bukti yang ada melekat pada diri mereka yakni sikap dan perbuatan mereka
memastikan bahwa telah sangat lama mereka meninggalkan dan membuang
jauh-jauh Al-Quran dari kehidupan mereka di dunia. Lalu, mengapa mereka
tidak rela, tidak suka dan sangat marah
ketika si-kap mereka selama ini disamakan dengan sikap kaum
kufar?
Al-Quran dan aqal manusia
Oleh karena itulah, Allah SWT menjadikan aqal
manusia sebagai objek yang diseru oleh seluruh ketentuan Allah SWT yang ada
dalam Al-Quran. Tiga gugus besar ayat dalam Al-Quran yakni ayat-ayat berkenaan
dengan aqidah, ayat-ayat kisah umat sebelum Al-Quran berikut para Nabi dan
syariah yang diturunkan khusus kepada mereka, serta ayat-ayat tentang hukum
dalam Islam, seluruhnya tidak pernah luput dari menyeru aqal manusia yang ada
saat Al-Quran diturunkan hingga tibanya اَلسَّاعَةُ. Bah-kan Allah SWT memilih Bahasa Arab (لُغَةً عَرَبِيَّةً)
sebagai media penyampaian wahyu Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw (yang
mewakili manusia) dan selanjutnya harus beliau sampaikan kepada selu-ruh
manusia, adalah supaya manusia selalu dapat memelihara dan menjaga fungsi aqal
mereka yakni untuk berpikir berdasarkan informasi yang ada dalam Al-Quran tersebut.
Allah SWT menyatakan :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا
عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ
بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْءَانَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ
لَمِنَ الْغَافِلِينَ (يوسف : 2-3)
Sungguh Kami (Allah) telah menurunkan dia (Al-Quran)
sebagai Quran berbahasa Arab supaya kalian tetap dapat beraqal. Kami
mengkisahkan kepadamu sebaik-baiknya kisah bersamaan dengan Al-Quran ini yang
telah Kami wahyukan kepadamu dan walau keadaan kamu sebelumnya adalah sungguh
bagian dari orang-orang yang lupa tentang itu
Nampak
sekali bahwa baik bagian ayat لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ maupun وَإِنْ كُنْتَ مِنْ
قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ, keduanya menja-dikan aqal manusia
sebagai objek dialogis dalam rangka menyadarkannya. Sebagai contoh :
1.
ketika aqal
mendapatkan informasi tentang sikap Adam dan istrinya yang lebih memilih ucapan
Ib-lis sebagai asas berpikir dan sikap mereka daripada pernyataan Allah SWT
sendiri :
فَوَسْوَسَ
لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا
وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا
مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ (الأعراف : 20)
maka aqal
memutuskan bahwa betapa salahnya keputusan Adam dan istrinya
menjadikan hasutan Iblis (yang tidak sesuai dengan faktanya) sebagai asas
berpikir dan bersikap mereka berdua yakni dengan mendekati dan memakan pohon
terlarang yang telah ditetapkan demikian oleh Allah SWT dan keduanya juga
melupakan atau membuang jauh-jauh informasi dari Allah SWT tentang posisi Iblis
bagi keduanya :
وَنَادَاهُمَا
رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف : 22)
Oleh karena itu aqal memastikan hukumnya bahwa memang
ketetapan Allah SWT mengusir Adam dan istrinya (juga Iblis) dari اَلْجَنَّةِ adalah benar dan adil serta sama sekali bukan
tindakan zhalim.
2.
ketika aqal membaca
kisah perjalanan Bani Israil bersama Nabi Musa selepas mereka diselamatkan oleh
Allah SWT dari cengkeraman sadis brutal Fir’aun :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ
الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا
يَامُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ
تَجْهَلُونَ (الأعراف : 138)
maka aqal
memastikan persetujuannya terhadap ucapan Nabi Musa إِنَّكُمْ
قَوْمٌ تَجْهَلُونَ kepada mereka sebab memang rengekan mereka kepada Nabi Musa يَامُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةٌ, benar-benar
si-kap yang bodoh sebab baru saja mereka memperoleh bukti pasti dari Allah SWT
sebagai Tuhan mereka yakni dengan menyelamatkan mereka dari cengkeraman sadis
brutal Fir’aun. Lalu apakah yang telah dilakukan oleh tuhan selain Allah yang
mereka inginkan itu bagi mereka? Inilah yang diingatkan oleh Nabi Musa sendiri
kepada mereka :
قَالَ
أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
وَإِذْ أَنْجَيْنَاكُمْ مِنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ
يُقَتِّلُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ
مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ (الأعراف : 140-141)
3.
ketika aqal memperoleh
informasi dari Allah SWT :
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ
شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى
اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ
تَخْتَلِفُونَ (المائدة : 48)
maka aqal sangat
memahami mengapa Allah SWT menurunkan syariah yang beragam kepada se-tiap
generasi dari bangsa manusia (لِكُلٍّ
جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا), yakni supaya masing-masing dapat
membuktikan sikap loyal dan taat mereka kepada Allah SWT : وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ. Oleh karena itu
aqal sangat setuju dengan realitas yang penting dalam keragaman tersebut yakni
:
فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ
فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Artinya,
syariah Taurah adalah ketentuan bagi Yahudi untuk bersikap dan berbuat yang
terbaik se-suai dengan syariah tersebut : فَاسْتَبِقُوا
الْخَيْرَاتِ. Demikian juga ketika masa berlakunya Taurah telah berakhir
maka sikap yang benar yang wajib diambil oleh Yahudi adalah segera saja
mentaati Nabi Isa dengan memberlakukan syariah Injil dalam kehidupan mereka
sebaik mungkin : فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ. Kemudian ketika
syariah yang bersumber dari Injil berakhir masa berlakunya seiring dengan
diu-tusnya Nabi Muhammad saw dengan membawa syariah Islamiyah yang bersumber
dari Al-Quran, maka aqal memutuskan bahwa sikap yang normal,
pantas, layak dan ideal dari seluruh
manusia yang ada saat itu termasuk Yahudi dan Nashara, adalah segera saja
sepakat meninggalkan syariah mereka masing-masing (seharusnya telah lama
ditinggalkan) lalu bersama-sama masuk ke dalam Islam yang dibawa oleh
Rasulullah saw.
Dengan demikian aqal sepakat dengan wahyu bahwa umat Islam
harus mengikuti syariah Islamiyah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan
haram mengikuti kepentingan naluriah manusia (أَهْوَاءَهُمْ) termasuk ahlul
kitab sekali pun : فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ. Hal itu karena bagaimana
mungkin umat Islam dihalalkan mengikuti syariah umat masa lalu,
sedang-kan umat-umat penganut syariah masa lalu pun (Yahudi dan Nashara) diwajibkan
untuk mengikuti syariah Islamiyah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Inilah yang
mendorong aqal para fuqaha untuk merumuskan qaidah : شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا لَيْسَ شَرْعًا لَنَا.
4.
ketika aqal mendapati
sejumlah ayat dalam Al-Quran :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ
مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ
فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (آل عمران : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ
دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل
عمران : 85)
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (المائدة :
50)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ (الأنفال :
24)
maka aqal dapat
dengan mudah memastikan bahwa dalam Islam itu berlaku sifat eksklusif
yakni realitas جَامِعًا مَانِعًا, yaitu hanya
menghimpun (يَجْمَعُ) segala hal yang memang pasti berasal
dari Islam sendiri dan menolak secara total (يَمْنَعُ) segala hal yang
berasal dari luar Islam apa pun itu : syariah, aturan, perundangan, sistema,
tatanan dan sebagainya.
Wal hasil, jika umat Islam tetap menggunakan aqal mereka sebagai
alat satu-satunya yang mere-ka miliki untuk memahami seluruh informasi wahyu
dalam Al-Quran (juga As-Sunnah), maka realitas kehidupan mereka yang tengah
dijalani saat ini tidak akan pernah terjadi. Mereka tidak akan pernah loyal dan
taat kepada sistema kufur (sekularisme, kapitalisme, demokrasi, nasionalisme)
berikut kaum kufar pengusungnya (AS dan sekutunya baik di Barat maupun di
Timur), sebab aqal mereka memasti-kan bahwa seluruhnya adalah tidak layak,
tidak pantas dan tidak cocok bagi kehidupan manusia
di du-nia serta hanya akan mengantarkan mereka kepada kebinasaan kemanusiaan
itu sendiri yakni berubah jadi binatang walau tubuh mereka tetap berwujud
manusia :
No comments:
Post a Comment