Sunday, August 26, 2012

AL-QURAN TELAH DITINGGALKAN


Umat Islam dan Al-Quran
Ketika Bulan Ramadlan datang menghampiri umat Islam, maka seketika itu juga mereka begitu sangat bergairah untuk menunjukkan sikap kepemilikan mereka terhadap Al-Quran kepada publik. Se-bagian mereka langsung memamerkan Mushaf Al-Quran berukuran raksasa dengan bahan dasar temba-ga dan memerlukan waktu tahunan (2-3 tahun) untuk menyelesaikan proses penulisannya. Sebagian la-innya justru mempertontonkan harta pusaka mereka yang selama ini (ratusan tahun secara turun temu-run) dijaga dan dipelihara dengan penuh khidmat, yakni berupa Mushaf Al-Quran berusia ratusan tahun yang ditulis dengan tangan oleh pimpinan komunitas tersebut yang sangat dimuliakan.
Komunitas tertentu dari umat Islam melakukan ritual penuh nuansa magis pada tengah malam di Bulan Ramadlan dalam rangka “meruwat dan membersihkan” Mushaf Al-Quran yang mereka anggap sangat istimewa serta keramat. Prosesi ruwatan dan pembersihan tersebut sangat panjang, rumit dan memerlukan waktu yang sangat lama yakni bisa saja berlangsung berhari-hari, layaknya meruwat dan membersihkan benda-benda pusaka lainnya seperti keris, tombak, pedang dan sebagainya.
Lalu, sebagian sangat besar kaum muslim lainnya ramai-ramai melakukan “khataman” Al-Quran sebanyak mungkin sepanjang Bulan Ramadlan, bahkan di pesantren tertentu khataman tersebut dipim-pin oleh Sang Kyai yang melakukannya tanpa membaca Mushaf alias berdasarkan hapalannya. Semen-tara itu, stasiun televisi pun tidak mau ketinggalan untuk ikut serta meramaikan kegairahan umat Islam dalam membaca dan konon kabarnya “memahami” Al-Quran, misal rubrik Tafsir Al-Misbah di Metro-TV atau tele tilawah di TVRI dan lainnya. Kemudian, nun jauh di sana yakni di Kerajaan Saudi Arabia shalat tarawih di Masjid Al-Haram Makkah diselenggarakan dengan membaca ayat-ayat Al-Quran se-telah membaca Al-Fatihah sedemikian rupa sehingga saat malam terakhir dari Bulan Ramadlan seluruh Al-Quran telah selesai dibaca.
Demikianlah aneka rupa sikap umat Islam terhadap Al-Quran setiap kali Bulan Ramadlan tiba dalam kehidupan mereka. Sekali lagi, mereka menganggap sikap tersebut ditampakkan atau bahkan di-elaborasikan sebagai wujud nyata penghormatan dan pemuliaan terhadap Al-Quran sekaligus keserius-an mereka untuk memahaminya. Kepastiannya adalah anggapan, sikap dan tindakan umat Islam terse-but selalu diulang setiap tahun ketika Bulan Ramadlan datang menemui mereka. Artinya ratusan juta orang (bahkan mungkin saja mendekati satu miliar) umat Islam di seluruh dunia, selalu dan selalu me-ngulang “tradisi” tersebut setiap tahun dan itu mereka lakukan selama satu Bulan Ramadlan penuh. Ja-di ada sebagian umat Islam yang mungkin baru pertama kalinya menjalankan tradisi Bulan Ramadlan itu tapi ada juga yang telah melakukannya lebih dari 50 kali sesuai dengan usia mereka yang telah di atas 70-an tahun. Lalu, apakah hasil akhir yang dicapai oleh umat Islam baik secara orang per orang maupun secara komunal, dari melakukan tradisi tahunan tersebut? Apakah menjadikan mereka semakin loyal dan taat (alias taqwa) kepada Allah SWT atau justru sama sekali tidak ada pengaruh apa pun dan sedikit pun ke arah sana?
Kenyataan kehidupan umat Islam di seluruh dunia hingga saat ini pasca runtuhnya Khilafah Isla-miyah Ustmaniyah pada 3 Maret 1924 yang lalu, adalah :
1.       mereka hidup dalam batas teritorial negara kebangsaan masing-masing yang jumlahnya hampir 200 buah negara. Realitas hidup mereka tersebut telah berlangsung lebih dari 85 tahun sehingga secara otomatis menjadikan pikiran, perasaan maupun sikap mereka sepenuhnya telah menerima negara kebangsaan sebagai bentuk keniscayaan hidup di dunia. Bahkan mereka menganggap bentuk nega-ra kebangsaan adalah harus dipertahankan dan dibela mati-matian supaya tetap ada dan berlaku dalam kehidupan manusia di dunia. Mereka yang seluruhnya belum pernah hidup walau satu detik dalam Khilafah Islamiyah, sama sekali tidak pernah memikirkan mengapa Khilafah runtuh dan ba-gaimana metode untuk mengembalikannya. Mereka tidak pernah bertanya apakah Islam mengha-lalkan hidup dalam wadah negara kebangsaan ataukah justru mengharamkannya dan mereka juga tidak pernah peduli apakah Islam mewajibkan Khilafah itu seperti halnya mewajibkan shalat lima waktu, shaum Bulan Ramadlan, haji, zakat dan sebagainya.
2.       kapitalisme adalah sistem perekonomian yang diberlakukan secara paksa dari dulu hingga kini oleh kaum kufar yang tergabung dalam simbol hegemoni mereka : G-8 (Amerika Serikat/AS, Kanada, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Rusia). Demokrasi adalah sistem pemerintahan seluruh negara kebangsaan tempat bermukimnya seluruh umat Islam yang diberlaku-paksakan oleh kaum kufar di bawah komando sang adidaya : AS. Realitas tersebut tidak pernah dipersoalkan oleh umat Islam yakni apakah halal ataukah haram menurut Islam, lalu bagaimana metode Islami untuk me-lepaskan diri dari realitas kehidupan itu jika ternyata diharamkan. Bahkan yang tampak sangat jelas dan pasti adalah mereka betul-betul “menikmati” hidup dengan kedua sistema tersebut tanpa peduli apakah halal ataukah haram menurut Islam yang penting dapat berkhidmat kepada kepentingan na-luriah mereka.
3.       kehidupan Islami mereka telah dianggap cukup, memadai bahkan sempurna dengan hanya bertum-pu pada pelaksanaan dari Rukun Iman dan Rukun Islam. Sebagai contoh seorang yang kaya dan te-lah melaksanakan haji maka, otomatis orang itu beserta semua orang lain yang ada di sekitarnya memastikan bahwa yang bersangkutan telah sempurna “ke-Islamannya”. Mereka tidak pernah am-bil pusing terhadap suara-suara yang masih mempertanyakan apakah hanya itu yang ditetapkan se-bagai kewajiban dalam Islam ataukah masih banyak kewajiban lainnya. Bahkan mereka justru me-nyimpulkan bahwa orang-orang yang meributkan hal itu adalah manusia yang mencari sensasi, ma-salah dan kesulitan serta tidak bersedia menerima kenyataan hidup alias manusia-manusia ambisius nan serakah dan haus kekuasaan.
4.       mereka lebih suka dan merasa sangat nyaman berhimpun dalam firqah seperti organisasi massa (ormas) maupun organisasi politik (orpol) tanpa pernah bertanya apakah firqah itu berikut sikap tersebut dihalalkan oleh Islam ataukah diharamkan. Bahkan eksistensi mereka dalam firqah ter-sebut dijadikan sebagai wasilah atau wahana atau kendaraan untuk merealisir seluruh kepentingan naluriahnya baik yang menyangkut harta maupun kekuasaan. Sekali lagi, semuanya mereka laku-kan tanpa sedikit pun bertanya apakah itu halal ataukah haram menurut Islam, padahal sering mulut berbasa basi bahwa mereka bukan ahli agama atau tidak banyak mengerti tentang agama dan seba-gainya. Artinya, sikap mereka itu tampak dilakukan dengan sangat penuh percaya diri padahal pada saat yang sama mereka memposisikan diri sebagai orang awam yang sangat tidak banyak tahu ten-tang ketentuan Islam.
5.       mereka akan lebih suka mengaktualisasikan diri sebagai politisi atau pebisnis atau pengamat atau pesohor atau ilmuwan atau figur publik lainnya, daripada menampakkan ciri khas mereka selaku umat Islam. Hal itu sangat terbukti saat ada sesuatu atau kejadian atau peristiwa yang menuntut komitmen Islam mereka maka segera saja mereka menyatakan diri dalam posisi netral, tidak mau ikut campur, tidak berpihak bahkan menganggap dirinya tidak dalam kapasitasnya untuk memberi-kan tanggapan maupun pendapat terhadap realitas tersebut. Artinya mereka sangat menyimpan dan menutup rapa-rapat identitas Islamnya sedemikian rupa sehingga hanya sebagai bagian dari rahasia hidup mereka secara pribadi. Inilah hakikat yang terjadi dan melekat erat pada pemikiran maupun sikap umat Islam baik yang hidup di negeri-negeri Islam maupun di Dunia Barat.
Dengan demikian hasil akhir dari tradisi tahunan setiap Bulan Ramadlan tersebut sama sekali tidak menjadikan umat Islam semakin loyal dan taat kepada Allah SWT, melainkan justru sebaliknya pe-mikiran dan sikap mereka semakin loyal dan taat kepada kekufuran berikut kaum kufar pengusung utamanya. Tegasnya, pelaksanaan tradisi tahunan tersebut sama sekali tidak ada pengaruh apa pun dan sekecil apa pun terhadap pemikiran dan sikap umat Islam, bahkan seolah antara gairah mereka memba-ca Al-Quran secara berulang ulang sepanjang Bulan Ramadlan dengan pemikiran dan sikapnya sama sekali tidak berhubungan apa pun (مُنْفَصِلاً غَيْرَ مُتَّصِلٍ). Jadi, realitas mereka adalah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُونَ إِلَيْكَ أَفَأَنْتَ تُسْمِعُ الصُّمَّ وَلَوْ كَانُوا لَا يَعْقِلُونَ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْظُرُ إِلَيْكَ أَفَأَنْتَ تَهْدِي الْعُمْيَ وَلَوْ كَانُوا لَا يُبْصِرُونَ (يونس : 42-43)
Dan di antara mereka (kaum kufar) ada yang seolah mengarahkan pendengarannya kepada mu (Mu-hammad), apakah kamu dapat memperdengarkan sesuatu kepada orang yang tuli dan walau pun mere-ka itu keadaannya tidak beraqal. Dan di antara mereka (kaum kufar) ada yang seolah mengarahkan pandangannya kepada mu (Muhammad), apakah kamu dapat memberikan petunjuk kepada orang yang buta dan walau pun mereka itu keadaannya tidak dapat melihat
Objek yang dibidik oleh ayat ini saat diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah kaum kufar yang ada saat itu yakni Yahudi, Nashara dan Quraisy dan sama sekali bukan umat Islam. Lalu mengapa bidi-kan seruan dalam ayat tersebut saat ini diarahkan kepada umat Islam? Tentu saja demikian sebab saat ini (berdasarkan realitas kehidupan mereka pada nomor 1 hingga 5) mereka telah sepenuhnya berpikir dan bersikap yang sama persis dengan kaum kufar walaupun tidak bersedia murtad dari Islam alias ma-sih ingin beragama Islam. Hal itu karena ciri khas kaum kufar adalah كَانُوا لَا يَعْقِلُونَ dan كَانُوا لَا يَفْقَهُوْنَ, akibat seluruh indera mereka (pendengaran dan penglihatan) tidak berfungsi akibat terjadinya dominasi kepentingan naluriah terhadap seluruh pemikiran maupun sikap mereka. Mereka hakikatnya tidak layak disebut manusia melainkan lebih tepat dan lebih pantas disebut sebagai binatang.
Umat Islam dan kaum kufar : adakah perbedaan sikap mereka?
Ketika Al-Quran diserukan oleh Nabi Muhammad saw kepada seluruh manusia termasuk kaum kufar yang ada saat itu, maka tanggapan mereka digambarkan oleh Allah SWT dalam ayat :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ نُؤْمِنَ بِهَذَا الْقُرْءَانِ وَلَا بِالَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ (سبأ : 31)
Dan orang-orang kafir itu berkata : kami tidak akan pernah beriman kepada Al-Quran ini dan tidak juga kepada orang yang membawanya
Lalu supaya klaim mereka itu seolah memiliki argumen pembenar maka mereka pun mengajukan se-jumlah syarat kepada Nabi Muhammad saw dan jika dapat dipenuhi oleh beliau saw maka barulah me-reka akan beriman. Realitas kaum kufar inilah yang diungkapkan oleh Allah SWT sebagai berikut :
الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ عَهِدَ إِلَيْنَا أَلَّا نُؤْمِنَ لِرَسُولٍ حَتَّى يَأْتِيَنَا بِقُرْبَانٍ تَأْكُلُهُ النَّارُ قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالَّذِي قُلْتُمْ فَلِمَ قَتَلْتُمُوهُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (آل عمران : 183)
Orang-orang yang berkata : sungguh Allah telah berjanji kepada kami bahwa kami tidak akan ber-iman kepada seorang Rasul hingga dia dapat mendatangkan kepada kami qurban yang dimakan api. Katakanlah (olehmu Muhammad) : telah datang kepada kalian para Rasul sebelumku dan dengan membawa serta apa yang kalian katakan itu, lalu mengapa kalian justru membunuh mereka, jika ka-lian memang benar
وَإِذَا جَاءَتْهُمْ ءَايَةٌ قَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتَى مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُوا صَغَارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا كَانُوا يَمْكُرُونَ (الأنعام : 124)
Dan ketika datang suatu ayat kepada mereka, mereka pun berkata : kami tidak akan pernah beriman hingga didatangkan kepada kami seperti apa yang telah didatangkan oleh para Rasul Allah. Allah mengetahui bagaimana menjadikan risalah Nya, sungguh orang-orang yang bertindak kufur itu akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan juga adzab yang dahsyat akibat segala hal yang mereka lakukan
وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعًا أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيرًا أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ قَبِيلًا أَوْ يَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا (الإسراء : 90-93)
Dan mereka (kaum kufar) berkata : kami tidak akan pernah beriman kepadamu hingga kamu dapat memancarkan mata air dari bumi bagi kami atau kamu punya kebun kurma dan anggur lalu kamu da-pat menyemburkan sungai dari tengah kebun itu dengan deras atau kamu dapat menjatuhkan langit berkeping-keping seperti yang selama ini kamu angan-angankan kepada kami atau kamu dapat men-datangkan Allah dan malaikat lalu berhadapan dengan kami atau kamu punya rumah yang terbuat da-ri emas atau kamu dapat naik ke langit dan kami tidak akan pernah percaya naiknya kamu ke langit itu hingga kamu dapat menurunkan kepada kami sebuah kitab yang kami dapat membacanya. Katakanlah (olehmu Muhammad) : Maha Suci Rab ku, aku ini tiada lain kecuali manusia yang dijadikan Rasul
Seluruh permintaan kaum kufar yang aneh-aneh tersebut ditolak oleh Allah SWT walaupun sangat mu-dah bagi Allah SWT untuk memenuhinya bahkan yang lebih aneh lagi dari itu. Hal itu karena Allah SWT Maha Tahu bahwa jika seluruh permintaan kaum kufar itu dipenuhi maka tetap saja mereka tidak akan pernah beriman kepada Al-Quran maupun Nabi Muhammad saw. Inilah yang ditunjukkan oleh bagian ayat قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالَّذِي قُلْتُمْ فَلِمَ قَتَلْتُمُوهُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ dari آل عمران : 183. Arti-nya Allah SWT menuntut seluruh manusia beriman kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad saw bukan karena beliau saw adalah manusia “super” yang dapat melakukan tindakan spektakuler, kolosal dan aneh di luar kemampuan manusia umumnya, melainkan mereka dituntut untuk beriman berdasarkan bukti-bukti yang dapat dipikirkan oleh aqal mereka selaku manusia : قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا.
Itulah sikap kaum kufar terhadap seruan Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw se-panjang 13 tahun beliau berada di Negeri Makkah yakni sebelum berdirinya wadah pelaksanaan Islam itu sendiri (اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ). Lalu bagaimana halnya dengan sikap umat Islam saat ini yang telah lama hi-dup dalam wadah negara kebangsaan?
Kepastiannya adalah umat Islam saat ini sangat marah dan tidak rela jika mereka dipersamakan dengan kaum kufar alias mereka akan sangat meradang jika dianggap selama ini bersikap yang sama dengan kaum kufar. Namun demikian realitas kehidupan dan sikap hidup mereka menunjukkan dengan pasti bahwa tidak alasan apa pun bagi mereka untuk tidak suka dan tidak rela dicap bersikap yang sama dengan kaum kufar, sebab realitas kehidupan mereka justru menyodorkan bukti tak terbantahkan yang memastikan sikap mereka sama sekali tidak berbeda dengan kaum kufar. Memang masih ada perbeda-an antara umat Islam saat ini dengan kaum kufar yakni kaum kufar akan sangat bangga dituduh dan diposisikan sebagai anti serta musuh Islam, sedangkan kaum muslim akan sangat marah dan tidak rela jika tuduhan tersebut diarahkan kepada mereka. Selebihnya adalah mustahil mendapatkan perbedaan sikap antara umat Islam dan kaum kufar yang masih hidup hingga sekarang.
Ketika kaum kufar (salah satunya adalah Kaisar Heraklius) diseru kepada Islam :
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (آل عمران : 64)
maka segera saja mereka menyatakan diri menolak tegas seruan tersebut :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ نُؤْمِنَ بِهَذَا الْقُرْءَانِ وَلَا بِالَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ (سبأ : 31)
Lalu ketika umat Islam diseru untuk segera kembali kepada pola kehidupan mereka yang orisinal me-nurut Islam (دِيْنُهُمُ الأَصْلِيُّ) dengan memberlakukan seluruh syariah Islamiyah di dunia :
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (النور : 51)
maka segera saja mereka menngungkapkan gagasan ngawur bahwa syariah Islamiyah itu telah dipasti-kan akan ditinggalkan oleh manusia satu per satu, sehingga tidak perlu dicegah karena telah ditaqdir-kan demikian seperti yang terungkap dalam pernyataan Rasulullah saw sendiri :
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)
Padahal maksud dari pernyataan Rasulullah saw tersebut adalah justru tuntutan yang pasti kepada umat Islam untuk tidak melakukan hal itu (نَقْضُ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً), dengan kata lain beliau saw mengha-ramkan mereka tindakan tersebut yakni meninggalkan satu demi satu syariah Islamiyah hingga hampir seluruh bagiannya tidak berlaku lagi dalam arena kehidupan mereka dan yang tersisa tinggal shalat li-ma waktu saja.
Selanjutnya ketika kaum muslim diseru kesadaran mereka untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah yang telah lebih dari 85 tahun hilang dari kehidupan dunia dan itu adalah kewajiban mereka yang utama serta asasi seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
maka dengan tegas mereka katakan bahwa Khilafah itu sama sekali bukan syariah Islamiyah karena ti-dak dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, bahkan itu hanyalah perbuatan bid’ah para sahabat saja. Mereka pun berargumen bahwa Rasulullah saw diutus bukan sebagai kepala negara melainkan untuk menyempurnakan akhlak manusia seperti yang beliau katakan :
اِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
atau jika pun mereka tidak secara terang-terangan menolak Khilafah Islamiyah, maka mereka pun ber-dalih bahwa persoalan negara, pemerintahan dan kekuasaan adalah perkara yang sangat berat dan tidak semua orang mampu melaksanakannya dan Allah SWT melarang tindakan yang akan menjerumuskan diri kepada kebinasaan :
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (البقرة : 195)
Tentu saja mereka lupa atau pura-pura lupa bahwa akhlaq adalah bagian dari syariah Islamiyah dan pemberlakuan seluruh bagian syariah Islamiyah tersebut (termasuk akhlaq) dengan sempurna, menye-luruh dan utuh adalah hanya dapat dilakukan oleh Khalifah yang mengendalikan Khilafah secara tung-gal. Realitas itu bukan hanya akan mampu dilakukan oleh umat Islam bahkan telah terbukti secara em-piris sejak Nabi Muhammad saw hingga  Khalifah terakhir dari barisan Khulafa Rasyidun (jika mem-pertimbangkan kesempurnaan dan keutuhan 100 persen) atau hingga Khalifah terakhir dari Utsmaniyah (Abdul Hamid II). Artinya, beban perintah wajib bagi umat Islam untuk hidup kembali secara Islam da-lam wadah Khilafah Islamiyah adalah pasti 100 persen sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan menjerumuskan diri dalam kebinasaan. Hal itu karena ayat Al-Baqarah 195 justru berkenaan dengan kewajiban umat Islam untuk membiayai jihad semaksi-mal mungkin hingga jihad tersebut dapat diselenggarakan dengan sempurna (musuh dapat dikalahkan dan Islam menyebarluas ke seluruh dunia). Jika mereka tidak melakukannya maka itulah yang akan mengantarkan mereka kepada kebinasaan (اَلْهَلاَكُ) akibat musuh yakni kaum kufar semakin kuat. Inilah maksud dari bagian ayat وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ seperti yang disampaikan dalam tafsir Jalalain :
اَلْهَلاَكُ بِالإِمْسَاكِ عَنِ النَّفَقَةِ فِيْ الْجِهَادِ أَوْ تَرْكِهِ ِلأَنَّهُ يَقْوِيْ الْعَدُوُّ عَلَيْكُمْ
Kebinasaan akibat berhenti membiayai pelaksanaan jihad atau bahkan meninggalkannya, hal itu kare-na akan menjadikan musuh semakin kuat atas kalian
Lagipula, mereka harus menjawab satu pertanyaan mendasar yakni sudahkah mereka mencoba beru-paya keras dan serius hingga batas kemampuan paling akhir (يَسْتَفْرِغُوْنَ وُسْعَهُمْ) ketika mereka menya-takan bahwa menegakkan Khilafah Islamiyah itu (persoalan negara, pemerintahan dan kekuasaan) adalah perkara yang sangat berat dan tidak semua orang mampu melaksanakannya? Fakta sikap dan sepak terjang mereka selama ini memastikan bahwa jika mereka jujur maka jawabannya adalah ka-mi memang belum pernah sama sekali dan dengan kadar paling ringan sekali pun mencoba berupa-ya keras dan serius hingga batas kemampuan kami paling akhir untuk menegakkan kembali Khila-fah Islamiyah tersebut! Inilah realitas sikap umat Islam yang sangat identik dengan sikap Bani Israil ketika Nabi Musa as berkata untuk menyampaikan perintah Allah SWT kepada mereka :
يَاقَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (المائدة : 21)
Wahai kaumku, masuklah kalian ke bumi Al-Muqaddasah yang telah Allah tetapkan bagi kalian dan janganlah kalian berbalik ke belakang kalian, maka (jika itu kalian lakukan) kalian akan kembali se-bagai orang-orang yang merugi
maka dengan spontan mereka berkata :
قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ (المائدة : 22)
Mereka (Bani Israil) berkata : wahai Musa, sungguh di dalamnya ada suatu kaum yang bengis dan ka-mi tidak akan pernah memasukinya hingga mereka keluar dari bumi itu, lalu jika mereka telah keluar dari dalamnya maka barulah kami akan memasukinya
bahkan mereka dengan sikap sombongnya menyatakan :
قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ (المائدة : 24)
Mereka (Bani Israil) berkata : wahai Musa, sungguh kami tidak akan pernah memasukinya hingga ka-pan pun selama mereka (kaum bengis) ada di dalamnya. Oleh karena itu, pergilah kamu dan Rab ka-mu lalu berperanglah kalian berdua (melawan mereka), sementara itu kami di sini saja duduk me-nunggu
Sungguh identik sikap umat Islam saat ini dengan Yahudi saat masih dipimpin oleh Nabi Musa as, yak-ni mereka semua berani menyimpulkan diri sebagai tidak mampu atau tidak dalam kapasitasnya pa-dahal mereka sama sekali belum pernah sedikit pun mencoba melakukannya. Akhirnya Nabi Musa menyatakan kepada Allah SWT :
قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (المائدة : 25)
Dia (Musa) berkata : wahai Rab saya, sungguh saya tidak menguasai apa pun selain diri saya dan saudara saya (Harun), oleh karena itu pisahkanlah kami dengan kaum fasiq itu
Bukankah ucapan Nabi Musa tersebut sama persis dengan ucapan Nabi Muhammad saw :
وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا (الفرقان : 30)
Dan Rasul itu (Muhammad) berkata : wahai Rab saya, sungguh kaum ku (Bangsa Arab) telah menjadi-kan Al-Quran ini sebagai perkara yang mereka tinggalkan jauh-jauh
Dapatkah umat Islam saat ini menyodorkan bukti pasti bahwa mereka tidak pernah meninggalkan atau membuang jauh-jauh Al-Quran dari kehidupan mereka? Pastilah mereka tidak akan dapat menghadir-kan bukti itu, sebab seluruh bukti yang ada melekat pada diri mereka yakni sikap dan perbuatan mereka memastikan bahwa telah sangat lama mereka meninggalkan dan membuang jauh-jauh Al-Quran dari kehidupan mereka di dunia. Lalu, mengapa mereka tidak rela, tidak suka dan sangat marah ketika si-kap mereka selama ini disamakan dengan sikap kaum kufar?
Al-Quran dan aqal manusia
Oleh karena itulah, Allah SWT menjadikan aqal manusia sebagai objek yang diseru oleh seluruh ketentuan Allah SWT yang ada dalam Al-Quran. Tiga gugus besar ayat dalam Al-Quran yakni ayat-ayat berkenaan dengan aqidah, ayat-ayat kisah umat sebelum Al-Quran berikut para Nabi dan syariah yang diturunkan khusus kepada mereka, serta ayat-ayat tentang hukum dalam Islam, seluruhnya tidak pernah luput dari menyeru aqal manusia yang ada saat Al-Quran diturunkan hingga tibanya اَلسَّاعَةُ. Bah-kan Allah SWT memilih Bahasa Arab (لُغَةً عَرَبِيَّةً) sebagai media penyampaian wahyu Al-Quran kepada Nabi Muhammad saw (yang mewakili manusia) dan selanjutnya harus beliau sampaikan kepada selu-ruh manusia, adalah supaya manusia selalu dapat memelihara dan menjaga fungsi aqal mereka yakni untuk berpikir berdasarkan informasi yang ada dalam Al-Quran tersebut. Allah SWT menyatakan :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَذَا الْقُرْءَانَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ (يوسف : 2-3)
Sungguh Kami (Allah) telah menurunkan dia (Al-Quran) sebagai Quran berbahasa Arab supaya kalian tetap dapat beraqal. Kami mengkisahkan kepadamu sebaik-baiknya kisah bersamaan dengan Al-Quran ini yang telah Kami wahyukan kepadamu dan walau keadaan kamu sebelumnya adalah sungguh bagian dari orang-orang yang lupa tentang itu
Nampak sekali bahwa baik bagian ayat لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ maupun وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ, keduanya menja-dikan aqal manusia sebagai objek dialogis dalam rangka menyadarkannya. Sebagai contoh :
1.       ketika aqal mendapatkan informasi tentang sikap Adam dan istrinya yang lebih memilih ucapan Ib-lis sebagai asas berpikir dan sikap mereka daripada pernyataan Allah SWT sendiri :
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ (الأعراف : 20)
maka aqal memutuskan bahwa betapa salahnya keputusan Adam dan istrinya menjadikan hasutan Iblis (yang tidak sesuai dengan faktanya) sebagai asas berpikir dan bersikap mereka berdua yakni dengan mendekati dan memakan pohon terlarang yang telah ditetapkan demikian oleh Allah SWT dan keduanya juga melupakan atau membuang jauh-jauh informasi dari Allah SWT tentang posisi Iblis bagi keduanya :
وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف : 22)
Oleh karena itu aqal memastikan hukumnya bahwa memang ketetapan Allah SWT mengusir Adam dan istrinya (juga Iblis) dari اَلْجَنَّةِ adalah benar dan adil serta sama sekali bukan tindakan zhalim.
2.       ketika aqal membaca kisah perjalanan Bani Israil bersama Nabi Musa selepas mereka diselamatkan oleh Allah SWT dari cengkeraman sadis brutal Fir’aun :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَامُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ (الأعراف : 138)
maka aqal memastikan persetujuannya terhadap ucapan Nabi Musa إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ kepada mereka sebab memang rengekan mereka kepada Nabi Musa يَامُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةٌ, benar-benar si-kap yang bodoh sebab baru saja mereka memperoleh bukti pasti dari Allah SWT sebagai Tuhan mereka yakni dengan menyelamatkan mereka dari cengkeraman sadis brutal Fir’aun. Lalu apakah yang telah dilakukan oleh tuhan selain Allah yang mereka inginkan itu bagi mereka? Inilah yang diingatkan oleh Nabi Musa sendiri kepada mereka :
قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ وَإِذْ أَنْجَيْنَاكُمْ مِنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُقَتِّلُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ (الأعراف : 140-141)
3.       ketika aqal memperoleh informasi dari Allah SWT :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة : 48)
maka aqal sangat memahami mengapa Allah SWT menurunkan syariah yang beragam kepada se-tiap generasi dari bangsa manusia (لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا), yakni supaya masing-masing dapat membuktikan sikap loyal dan taat mereka kepada Allah SWT : وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ. Oleh karena itu aqal sangat setuju dengan realitas yang penting dalam keragaman tersebut yakni :
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Artinya, syariah Taurah adalah ketentuan bagi Yahudi untuk bersikap dan berbuat yang terbaik se-suai dengan syariah tersebut : فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ. Demikian juga ketika masa berlakunya Taurah telah berakhir maka sikap yang benar yang wajib diambil oleh Yahudi adalah segera saja mentaati Nabi Isa dengan memberlakukan syariah Injil dalam kehidupan mereka sebaik mungkin : فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ. Kemudian ketika syariah yang bersumber dari Injil berakhir masa berlakunya seiring dengan diu-tusnya Nabi Muhammad saw dengan membawa syariah Islamiyah yang bersumber dari Al-Quran, maka aqal memutuskan bahwa sikap yang normal, pantas, layak dan ideal dari seluruh manusia yang ada saat itu termasuk Yahudi dan Nashara, adalah segera saja sepakat meninggalkan syariah mereka masing-masing (seharusnya telah lama ditinggalkan) lalu bersama-sama masuk ke dalam Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Dengan demikian aqal sepakat dengan wahyu bahwa umat Islam harus mengikuti syariah Islamiyah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan haram mengikuti kepentingan naluriah manusia (أَهْوَاءَهُمْ) termasuk ahlul kitab sekali pun : فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ. Hal itu karena bagaimana mungkin umat Islam dihalalkan mengikuti syariah umat masa lalu, sedang-kan umat-umat penganut syariah masa lalu pun (Yahudi dan Nashara) diwajibkan untuk mengikuti syariah Islamiyah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Inilah yang mendorong aqal para fuqaha untuk merumuskan qaidah : شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا لَيْسَ شَرْعًا لَنَا.
4.       ketika aqal mendapati sejumlah ayat dalam Al-Quran :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (آل عمران : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (المائدة : 50)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ (الأنفال : 24)
maka aqal dapat dengan mudah memastikan bahwa dalam Islam itu berlaku sifat eksklusif yakni realitas جَامِعًا مَانِعًا, yaitu hanya menghimpun (يَجْمَعُ) segala hal yang memang pasti berasal dari Islam sendiri dan menolak secara total (يَمْنَعُ) segala hal yang berasal dari luar Islam apa pun itu : syariah, aturan, perundangan, sistema, tatanan dan sebagainya.
Wal hasil, jika umat Islam tetap menggunakan aqal mereka sebagai alat satu-satunya yang mere-ka miliki untuk memahami seluruh informasi wahyu dalam Al-Quran (juga As-Sunnah), maka realitas kehidupan mereka yang tengah dijalani saat ini tidak akan pernah terjadi. Mereka tidak akan pernah loyal dan taat kepada sistema kufur (sekularisme, kapitalisme, demokrasi, nasionalisme) berikut kaum kufar pengusungnya (AS dan sekutunya baik di Barat maupun di Timur), sebab aqal mereka memasti-kan bahwa seluruhnya adalah tidak layak, tidak pantas dan tidak cocok bagi kehidupan manusia di du-nia serta hanya akan mengantarkan mereka kepada kebinasaan kemanusiaan itu sendiri yakni berubah jadi binatang walau tubuh mereka tetap berwujud manusia :

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (الأعراف : 179)

No comments:

Post a Comment