Sunday, August 26, 2012

ATAS NAMA RAKYAT : JUJURKAH ATAU SANDIWARA?


Adagium demokrasi yang sangat klise dan usang
Toeti Adhitama (Anggota Dewan Redaksi Media Group) dalam tulisannya berjudul “Atas Nama Rakyat” (Media Indonesia, 24 April 2009, OPINI) menyatakan : sekalipun demikian, karena politisi dan partai politik yang menjadi kendaraan mereka selalu mengatasnamakan rakyat untuk segala tinda-kan politik yang mereka ambil, rasanya layak bila ada transparansi, atau bahkan sikap terus terang dalam menghadapi rakyat. Jangan rakyat diminta main tebak untuk manuver-manuver politik rumit yang membingungkan. Ketidaktahuan dan main tebak itu bisa menimbulkan asumsi dan proyeksi yang keliru, atau yang tidak pada tempatnya, yang bermuara kepada kesalahapahaman antarbanyak pihak, dan pada akhirnya merugikan semuanya. Selama ini terasa ada jarak yang lumayan jauh antara poli-tisi dan / atau partai-partai politiknya, dengan rakyat banyak. Boleh jadi karena kalangan politik me-nempatkan diri di menara gading. Rakyat sekadar menjadi objek. Hanya lima tahun sekali rakyat dian-jurkan menjadi subjek. Namun, bagaimana rakyat bisa menjadi subjek yang baik tanpa pendidikan po-litik yang memadai? Pendidikan politik untuk rakyat idealnya bukan yang berbentuk pelajaran-pela-jaran di kelas atau dari buku yang membosankan. Desiderius Erasmus (humanis dari zaman Renai-sans) berkata, “Kalau topeng dan hiasan ditanggalkan dari para aktor yang sedang bermain di pang-gung, terungkaplah wajah dan ekspresi sebenarnya para aktor ini, dan sandiwara pun bubar”. Eras-mus bukan yang pertama berkata bahwa hidup hanya sandiwara. Selama ratusan tahun para pemikir sudah menyadari, hidup adalah suatu drama besar, dan kita masing-masing diberi peran. Sebagian di-beri peran besar, selebihnya hanya sebagai figuran. Maka, yang sedang diberi peran besar seyogianya jangan arogan, sebaliknya yang sedang diberi peran figuran pun jangan terlalu kecil hati karena jalan kehidupan ibarat roda pedati.
Memang benar, semua jargon politik yang saat ini sangat kencang berhembus kepada pengindera-an rakyat adalah pesta rakyat, demi kesejahteraan rakyat, atas nama rakyat, atas nama kedaulatan rak-yat, kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan dan sebagainya. Seluruh partai poli-tik yang ikut serta dalam pemilu legislatif 9 April 2009 lalu, apa pun asas maupun ideologi partainya, sepakat untuk “seolah” mengusung dan memperjuangkan seluruh isyu “atas nama rakyat” terebut. Te-gasnya, antara Demokrat dan PDIP, antara PDS dan PKS, antara PPP dan PDKB dan seterusnya, ada-lah sama saja yakni sama-sama mengeksploitasi “habis-habisan” perasaan rakyat yang memang fakta-nya tidak sejahtera, tidak memiliki posisi tawar, tidak pernah terpenuhi kepentingannya, tertindas, ter-pinggirkan dan sebagainya dari realitas kengerian hidup di dunia.
Para politisi jalur legislatif maupun eksekutif beserta tim suksesnya masing-masing, sepanjang masa prosesi pemilu hingga detik-detik terakhir menjelang hari “pencontrengan” (9 April yang lalu dan 8 Juli 2009 mendatang), benar-benar mengaktualisasikan jatidiri mereka dalam “dunia sandiwara di atas panggung”. Mereka semua menggunakan topeng supaya hadir secantik, semenarik, sesantun dan seanggun mungkin di hadapan pandangan rakyat. Ucapan mereka juga “bertopeng” agar keluar suara yang memastikan keberpihakan dan pembelaan kepada rakyat serta upaya serius untuk mensejahtera-kan kehidupan mereka. Koalisi bahkan konspirasi antar partai politik (bipartai maupun multi partai) yang “sejujurnya” adalah untuk memastikan kedudukan di DPR maupun pemerintahan, mereka kemas sehebat mungkin supaya 100 persen terkuak sebagai upaya serius mereka mengedepankan kepenting-an rakyat dan mensejahterakan mereka. Begitu juga, “perceraian” di antara dua atau lebih partai poli-tik (parpol) maupun perpecahan dalam tubuh satu parpol selalu diatasnamakan “kepentingan rakyat” minimal yang menjadi konstituennya masing-masing. Singkat kata, apa pun yang mereka ucapkan, si-kapi dan lakukan seluruhnya dipastikan secara manipulatif sebagai aksi riil keberpihakan dan pembe-laan mereka kepada nasib rakyat.
Penghamburan dana maupun harta lainnya yang tercurahkan secara niscaya selama prosesi pemi-lu hingga puncaknya pada pelantikan presiden baru, juga tak pernah terlupakan untuk diseolahkan bagi upaya terencana dan terstruktur demi kesejahteraan rakyat. Penguasa saat mempertahankan kekuasaan yang tengah digenggamnya maupun oposisi ketika mereka mencoba keras mendongkel secara “konsti-tusional” pihak lawannya (penguasa), kedua pihak selalu dan selalu mengatasnamakan rakyat dan di-kliam sebagai usaha mereka yang sistemastis dan terukur untuk mensejahterakan rakyat. Bahkan black campaign maupun negative campaign yang dilakukan oleh kedua pihak tidak pernah dinyatakan secara jujur sebagai serangan mematikan bagi pihak lawan, melainkan aksi hitam itu dilakukan demi dan un-tuk membela kepentingan rakyat, sesuai dengan konsep dasar demokrasi sendiri yakni from the people, by the people and for the people.
Pertanyaannya adalah apakah seluruh ucapan, sikap maupun perbuatan mereka itu (baik pe-nguasa maupun oposisi) jujur ataukah sekedar sandiwara?
Serpihan-serpihan kasus mulai dari arena pilkada (kasus Ponorogo) hingga ajang pemilu legislatif (pileg) yakni stres, frustasi, depresi, gila, bunuh diri, menarik kembali sumbangan yang telah diberikan selama masa kampanye (alat musik, karpet, bahan bangunan, alat-alat elektronik dan lainnya) maupun ekspresi marah, tidak puas atau tudingan adanya kecurangan yang menjadi biang kekalahan dan seba-gainya, adalah bukti tak terbantahkan bahwa para politisi tersebut seluruhnya tengah bertopeng di atas panggung sandiwara dan sama sekali tidak membawa sikap kejujuran sedikit pun. Justru sikap jujur mereka baru sangat nampak kepada penginderaan rakyat saat mereka telah mengalami kegagalan (ka-lah dalam pilkada atau pileg) atau keberhasilan (menang dalam pilkada atau pileg). Ketika mereka ga-gal, maka muncul secara tak terkendali sikap-sikap stres, frustasi, depresi, gila, bunuh diri, menarik kembali sumbangan yang telah diberikan selama masa kampanye maupun ekspresi marah, tidak puas atau tudingan adanya kecurangan. Lalu mereka yang mengalami keberhasilan, sama juga muncul dari sosok-sosok mereka sikap-sikap tak terkendali baik jangka pendek (spontanitas) maupun jangka pan-jang (saat mereka telah duduk di DPR maupun pemerintahan). Sikap sponitas yang lazim mengemuka adalah serta merta saja mereka “menutup pintu rumah dan perasaannya” agar menjadi dinding pengha-lang antara dirinya dengan rakyat. Adapun sikap yang lumrah mencuat dalam jangka panjang adalah mereka sangat tidak peduli dengan seluruh pernyataan yang telah mereka “hamburkan dari mulut” se-lama masa kampanye, yakni mereka sama sekali tidak pernah merencanakan untuk merealisir semua janji-janji selama kampanye mereka tersebut.
Jadi, memang seperti gagasan filosofis Erasmus : “Kalau topeng dan hiasan ditanggalkan dari para aktor yang sedang bermain di panggung, terungkaplah wajah dan ekspresi sebenarnya para aktor ini, dan sandiwara pun bubar”, setelah pemilu usai dan masing-masing baik yang kalah maupun yang menang telah menempati kembali “habitat” orisinalnya, maka wajah dan ekspresi sebenarnya dari para politisi tersebut nampak secara otomatis dan tidak dapat ditutupi lagi (dengan apa pun) dari pandangan rakyat yang selama ini mereka “tipu dengan cara sistemik dan terencana”. Wal hasil, ungkapan pesta rakyat, demi kesejahteraan rakyat, atas nama rakyat, atas nama kedaulatan rakyat, kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan, keberpihakan dan kepedulian kepada rakyat dan sebagainya adalah adagium demokrasi yang sangat sudah klise dan usang serta imajinatif (khayalan) sebab ti-dak pernah dan tidak akan pernah bertemu dengan kenyataannya dalam kehidupan manusia.

Filosofi Erasmus dan realitas sikap para politisi
Hidup adalah suatu drama besar masing-masing diberi peran. Sebagian diberi peran besar, sele-bihnya hanya sebagai figuran. Sehingga yang sedang diberi peran besar seyogianya jangan arogan, sebaliknya yang sedang diberi peran figuran pun jangan terlalu kecil hati karena jalan kehidupan iba-rat roda pedati. Ini adalah ringkasan dari filsafat para filosof baik yang sezaman dengan Erasmus mau-pun yang mendahuluinya. Mereka sepakat bahwa hidup manusia di dunia hanya sandiwara yang adalah lumrah apa pun yang diucapkan maupun yang diperbuat di dalamnya hanyalah kepura-puraan alias on-ly the acting no more.
Memang gagasan tersebut awalnya adalah imajinatif filosofis yakni bukan dirumuskan dari atau berdasarkan fakta terindera (اَلْوَاقِعُ الْمَحْسُوْسُ) dan sama persis dengan filosofi Tanah Jawa : hidup manu-sia ibarat pewayangan semuanya ditentukan secara pasti oleh dalang, namun seiring dengan perjalan-an waktu seolah mengalami perubahan 180 derajat menjadi pemikiran yang ditetapkan berdasarkan ke-nyataan hidup manusia itu sendiri. Mengapa seolah terjadi perubahan mendasar seperti itu?
Apabila ditelusuri tentang mana yang lebih dahulu terjadi, konsep filosofis tersebut ataukah reali-tas kehidupan manusia yang seolah berposisi sebagai fakta dari konsep itu sendiri, maka akan secara pasti memberikan informasi bahwa konsep tersebut sama sekali tidak bersesuaian dengan fakta dan fakta kehidupan justru tidak berhubungan apa pun dengan konsep itu. Jadi, persoalannya bukan mana yang lebih dahulu ada dan mana yang belakangan, melainkan bersesuaian ataukah tidak antara konsep itu dengan fakta dan adakah hubungan antara fakta dengan konsep tersebut.
Konsep filosofis Erasmus atau yang sejenis dengannya, muncul atau dirumuskan sebagai sebuah tanggapan menentang (antithesis) dari para filosof tersebut terhadap realitas ketidakberdayaan rakyat pada masa itu di hadapan para penguasa (Kaisar) yang bersekongkol dengan para agamawan. Penen-tangan tersebut karena dilakukan secara masif dan intensif maka pada akhirnya memang mewujudkan perubahan mendasar dalam kehidupan, yakni rakyat memperoleh sedikit peningkatan posisi tawarnya di hadapan para Kaisar. Inilah yang dikenal sebagai era Renaisans (Renaissance) yakni telah terjadinya pencerahan pemikiran rakyat jelata yang dimotori oleh para filosof, sehingga mereka memiliki sedikit kekuatan untuk melakukan penentangan secara terang-terangan kepada keabsolutan para penguasa.
Walau demikian, ternyata masih ada bagian kehidupan mereka yang telah dijalankan secara sa-ngat lama tersebut yang tidak mengalami perubahan yakni anggapan bahwa hidup adalah suatu drama besar dan masing-masing orang diberi peran serta jalan kehidupan itu ibarat roda pedati. Artinya, mereka (filosof, penguasa, rakyat) tetap sepakat bahwa ada suatu kekuatan Maha Besar yang kendali-nya terhadap kehidupan manusia tidak dapat ditolak, yaitu kekuatan Tuhan. Mereka masih memperta-hankan thesis bahwa Tuhan dengan Kekuatan Maha Besarnya itu menentukan perjalanan kehidupan manusia, sehingga berjalan seperti roda pedati. Sebagian manusia ada yang berperan di bagian atas ro-da (penguasa, agamawan), sebagian ada yang di bagian kedua sisi pinggir kiri dan kanan (para filosof) serta sebagian lainnya ada di bagian bawah (rakyat). Demikianlah seterusnya dan hanya kekuatan Tu-han yang dapat memutarkan roda pedati kehidupan tersebut.
Ketidakberdayaan manusia pada umumnya (seluruh rakyat, kecuali penguasa) terhadap kekuatan kendali Tuhan tersebut ternyata telah menjadi opini umum seluruh manusia termasuk umat Islam dan itu terjadi akibat mereka terjebak dalam pemikiran filosofis tersebut saat menterjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam Bahasa Arab. Keadaan buruk mengerikan itu semakin parah lagi ketika diteri-manya Islam di negeri-negeri yang juga memiliki konsep-konsep filsafat seperti Persia, Hindustan, Asia Tenggara, tidak disertai dengan upaya pembersihan konsep-konsep imajinatif tersebut. Akibatnya adalah “seolah” konsep-konsep tersebut merupakan bagian dari atau memang berasal dari Islam sendiri sehingga diterima begitu saja sebagai satu paket yang utuh. Inilah mengapa walau penduduk negeri Persia telah menjadi umat Islam, namun mereka tetap bersikukuh terhadap filsafat yang memposisikan agamawan sebagai penjelmaan dari atau wakil Tuhan di dunia yang sangat begitu nampak dalam ham-pir keseluruhan konsep teologis Syiah (sekte apa pun terutama Syiah 12 Imam). Hal serupa terjadi di negeri Hindustan, yakni walau penduduknya telah beragama Islam namun tetap melekat pada kehidup-an mereka filsafat karma, reinkarnasi maupun ketidakberdayaan manusia di hadapan kuasa Tuhan, bah-kan seluruh filsafat tersebut mereka pertahankan serta dianggap bagian tak terpisahkan dari Islam. De-mikian pula umat Islam di Asia Tenggara terutama Tanah Jawa mengalami hal yang benar-benar iden-tik yakni realitas keIslaman mereka tercampur baur dan terkisruhkan oleh sejumlah konsep filsafat baik yang orisinal Tanah Jawa (animisme, dinamisme) maupun yang berasal dari Hindustan (agama Hindu) juga semakin disempurnakan dengan adanya sikap pensakralan umat Islam terhadap konsep-konsep filsafat Yunani yang diresmikan dan dibakukan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di perguruan tinggi (PT), termasuk PT yang bermerek Islam (UIN dan sejenisnya).
Oleh karena itu, sangat wajar dan tidak mengejutkan jika pola pikir maupun sikap para politisi di mana pun di Dunia Islam termasuk di Indonesia, tidak dapat melepaskan diri dari konsep-konsep filsa-fat serupa dengan gagasan Erasmus atau konsep-konsep filsafat tersebut sangat mendominasi pemikir-an maupun sikap mereka. Sebagai contoh pada suatu kesempatan pidato (tepatnya konferensi pers) pas-ca pemilu legislatif 2009 dan ternyata Demokrat semakin dapat dipastikan sebagai pemilik perolehan suara terbanyak (lebih dari 20 persen), Presiden SBY menyatakan dengan lantang antara lain : hampir dapat dipastikan bahwa Ibu Megawati akan kembali berkompetisi dengan saya dalam pilpres Juli 2009 nanti, begitu juga capres-capres yang lainnya. Marilah kita berkompetisi dengan baik dan menang atau kalah, semuanya Tuhan,  Allah SWT yang menentukan.
Pola pikir yang kisruh dan sikap yang kacau balau tersebut tentu saja bukan hanya “milik” SBY, melainkan melekat erat pada seluruh politisi bahkan seluruh umat Islam di negeri Indonesia termasuk yang berhimpun dalam parpol yang saat ini dianggap paling “Islami” yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tragisnya adalah kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap mereka tersebut dianggap bahkan sangat mungkin dipastikan sebagai bentuk عَمَلُهُمُ الصَّالِحُ yang diperintahkan oleh Islam. Padahal tentu sa-ja pada faktanya mereka telah berlaku sesat dalam sistema kufur demokrasi yang diharamkan oleh Is-lam dan mereka telah sepenuhnya kufur terhadap segala ketentuan Allah SWT tersebut. Allah SWT menyatakan :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (الكهف : 103-105)
“katakanlah oleh engkau (Muhammad) apakah perlu kami sampaikan kepada kalian tentang orang-orang yang seluruh perbuatannya paling rugi, yakni orang-orang yang sesat tingkah laku mereka dalam kehidupan dunia namun mereka mengira bahwa mereka telah berbuat yang benar. Itulah orang-orang yang bersikap kufur kepada ayat-ayat Rab mereka maupun pertemuan dengan Nya, maka pasti hancur seluruh perbuatan mereka lalu Kami (Allah) tidak akan memberikan sedikit pun nilai bagi me-reka di hari kiamah”
Inilah akibat mereka lebih mendahulukan suatu sikap dan perbuatan tanpa terlebih dahulu memastikan berpikir terhadap realitas yang ada atau akan disikapi tersebut.
Konsep atas nama rakyat, adakah dalam realitas pemikiran Islami?
Bai’at Aqabah I dan II adalah bai’at umat Islam dari Madinah kepada Nabi Muhammad saw un-tuk memposisikan beliau sebagai penguasa. Begitu juga ketika Rasulullah saw telah bermukim di Ne-geri Madinah, selalu terjadi prosesi bai’at dari kaum muslim (para sahabat) baik secara perorangan maupun bersama-sama yang dilakukan untuk mengukuhkan beliau sebagai kepala Negara Islam yang pertama kalinya ada dalam realitas kehidupan dunia. Hal itu seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah riwayat di antaranya sebagai berikut :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah sakit, lalu kami berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits tersebut yang engkau telah dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi saw telah menyeru kami lalu kami pun membai’at beliau, lalu beliau pun memberitahukan dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar didengar dan ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan maupun adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari tangan pemiliknya kecuali (kata beliau) : kalian melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian dari Allah

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَلَقَّنَنِي فِيمَا اسْتَطَعْتُ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ (رواه البخاري)
Dari Jarir bin Abdillah berkata, saya telah membai’at Nabi saw untuk mendengar dan mentaati. Lalu beliau menuntun saya bahwa semua itu akan saya lakukan sekuat kemampuan saya dan nasihat bagi setiap muslim

عَنْ عَتَّابٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيمَا اسْتَطَعْتُ (رواه احمد)
Dari ‘Attab berkata saya telah mendengar Anas bin Malik berkata, saya telah membai’at Nabi saw untuk mendengar dan mentaati sekuat kemampuan saya

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا إِذَا بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ يَقُولُ لَنَا فِيمَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Dari Abdillah bin Umar ra berkata, kami semua ketika kami membai’at Rasulullah saw untuk mende-ngar dan mentaati, maka beliau berkata kepada kami : lakukanlah itu semua sekuat kemampuan kalian
Dengan demikian dari pemikiran yang ditunjukkan oleh keseluruhan dalil tentang bai’at serta perjalan-an pemerintahan dan kekuasaan baik selama kepemimpinan Rasulullah saw maupun ketika telah bera-lih kepada Khulafa Rasyidun, nampak dengan jelas hal-hal sebagai berikut :
1.       Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu (اَلسُّلْطَانُ) milik umat Islam dan diberikan oleh mereka kepa-da seseorang yang mereka ridhai untuk menjadi Khalifah melalui bai’at.
2.       pola interaksi (شَكْلُ الْعَلاَقَاتِ) antara umat Islam dengan Khalifah adalah :
اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ الأُمَّةِ فِيْ الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ وَفِيْ تَنْفِيْذِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ ذَلِكَ اَنَّ الإِسْلاَمَ قَدْ جَعَلَ الْحُكْمَ وَالسُّلْطَانَ لِلأُمَّةِ تُنِيْبُ فِيْهِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ نِيَابَةً عَنْهَا
Khalifah adalah yang mewakili umat dalam pemerintahan dan kekuasaan serta dalam pelaksanaan hukum syara’. Hal itu karena Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan milik umat yang akan mereka wakilkan kepada seseorang yang akan melaksanakannya sebagai wakil dari me-reka.
Realitas inilah yang juga ditunjukkan oleh pernyataan Khalifah Umar bin Khaththab :
يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
“wahai masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Islam itu tidak ada kecu-ali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya imarah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mereka dan sia-pa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka”
3.       setelah bai’at sempurna diberikan oleh umat Islam kepada Khalifah maka Khalifah wajib menerap-kan dan melaksanakan seluruh ketentuan Islam kepada mereka dan ahlul dzimmah. Kedudukan Khalifah tersebut bukan berarti dia mengatasnamakan rakyat dalam memberlakukan hukum syara’ melainkan sebaliknya dia melakukan kewajibannya itu atas nama Allah SWT, yakni dalam rangka memberlakukan seluruh ketentuan Nya yang ada dalam Islam.
4.       umat Islam tidak boleh (haram) memerangi Khalifah dalam keadaan apa pun, kecuali ketika Khali-fah telah memperlihatkan kekufuran yang nyata (كُفْرًا بَوَاحًا). Jika realitas كُفْرًا بَوَاحًا belum nampak terbukti, walau Khalifah bertindak sadis terhadap rakyat (menganiaya dan merampas harta) maka seluruh rakyat Khilafah Islamiyah tetap wajib mendengar dan mentaatinya. Rasulullah saw menya-takan :
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ (رواه مسلم)
Akan ada setelahku para Imam yang tidak menggunakan hidayahku dan tidak memberlakukan sun-nahku dan akan memimpin di tengah-tengah mereka orang-orang yang pemikirannya adalah pemi-kiran para syetan dalam tubuh manusia. Dia (Hudzaifah) berkata, saya bertanya wahai Rasulullah apa yang harus saya lakukan jika saya mendapati hal itu? Beliau menjawab : kamu harus tetap mendengar dan mentaati Amir tersebut walau dipukul punggungmu dan dirampas hartamu, maka tetap dengarlah dan taatilah!
Dengan demikian, dalam pemikiran Islami tidak didapati adanya konsep atas nama rakyat dan yang ditetapkan dalam Islam adalah pola atau bentuk interaksi (شَكْلُ الْعَلاَقَاتِ) antara rakyat dengan penguasa (Khalifah). Lalu, bagaimana dengan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat (رِفَاهِيَاتُ الرَّعِيَّةِ)?
Posisi Khalifah sebagai satu-satunya manusia di dunia yang diberi otoritas penuh oleh Islam un-tuk memberlakukan syariah Islamiyah atas kehidupan manusia di dunia, secara otomatis menjadikan dia bertanggungjawab penuh terhadap perintah Islam untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Khilafah Islamiyah. Inilah realitas Khalifah yang dituntut harus direalisir oleh sejumlah dalil di antaranya :
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا (رواه الترمذي)
“siapa saja di antara kalian yang pada pagi hari keluarga dan jalannya berada dalam aman, sehat ja-sadnya dan kekuatan harinya ada dalam genggamannya, maka seakan dihimpunkan baginya seluruh dunia”.
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا (رواه البخاري)
“perumpamaan hidayah dan ilmu yang Allah telah mengutus diriku dengan membawa keduanya, se-perti hujan deras yang menimpa bumi”
bahkan apa pun yang dipandang oleh Khalifah akan dapat mempermudah upaya pemenuhan kebutuhan rakyat orang per orang demi terwujudnya kesejahteraan mereka, maka hal itu wajib atas Khalifah untuk diadakan atau diselenggarakan sesegera mungkin. Rasulullah saw menyatakan :
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Lalu, Imam itu adalah pemelihara dan dialah yang pasti dimintai pertanggungjawaban tentang rak-yatnya
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ (رواه مسلم)
Hanya sesungguhnya Imam adalah perisai, berperang di belakang perisai dan berlindung dengan pe-risai itu. Lalu bila dia memerintah dengan asas taqwa kepada Allah ‘Azza wajalla dan memberlakukan hukum Allah pastilah itu adalah pahala baginya dan jika dia memerintah dengan asas lainnya pastilah itu adalah dosa baginya

No comments:

Post a Comment