Adagium
demokrasi yang sangat klise dan usang
Toeti Adhitama (Anggota
Dewan Redaksi Media Group) dalam tulisannya berjudul “Atas Nama Rakyat” (Media
Indonesia, 24 April 2009, OPINI) menyatakan : sekalipun demikian, karena
politisi dan partai politik yang menjadi kendaraan mereka selalu
mengatasnamakan rakyat untuk segala tinda-kan politik yang mereka ambil,
rasanya layak bila ada transparansi, atau bahkan sikap terus terang dalam
menghadapi rakyat. Jangan rakyat diminta main tebak untuk manuver-manuver
politik rumit yang membingungkan. Ketidaktahuan dan main tebak itu bisa
menimbulkan asumsi dan proyeksi yang keliru, atau yang tidak pada tempatnya,
yang bermuara kepada kesalahapahaman antarbanyak pihak, dan pada akhirnya
merugikan semuanya. Selama ini terasa ada jarak yang lumayan jauh antara
poli-tisi dan / atau partai-partai politiknya, dengan rakyat banyak. Boleh jadi
karena kalangan politik me-nempatkan diri di menara gading. Rakyat sekadar
menjadi objek. Hanya lima
tahun sekali rakyat dian-jurkan menjadi subjek. Namun, bagaimana rakyat bisa
menjadi subjek yang baik tanpa pendidikan po-litik yang memadai? Pendidikan
politik untuk rakyat idealnya bukan yang berbentuk pelajaran-pela-jaran di kelas
atau dari buku yang membosankan. Desiderius Erasmus (humanis dari zaman
Renai-sans) berkata, “Kalau topeng dan hiasan ditanggalkan dari para aktor yang
sedang bermain di pang-gung, terungkaplah wajah dan ekspresi sebenarnya para
aktor ini, dan sandiwara pun bubar”. Eras-mus bukan yang pertama berkata bahwa
hidup hanya sandiwara. Selama ratusan tahun para pemikir sudah menyadari, hidup
adalah suatu drama besar, dan kita masing-masing diberi peran. Sebagian di-beri
peran besar, selebihnya hanya sebagai figuran. Maka, yang sedang diberi peran
besar seyogianya jangan arogan, sebaliknya yang sedang diberi peran figuran pun
jangan terlalu kecil hati karena jalan kehidupan ibarat roda pedati.
Memang benar, semua jargon
politik yang saat ini sangat kencang berhembus kepada pengindera-an rakyat
adalah pesta rakyat, demi kesejahteraan rakyat, atas nama
rakyat, atas nama kedaulatan rak-yat, kepentingan rakyat di atas
kepentingan pribadi dan golongan dan sebagainya. Seluruh partai poli-tik
yang ikut serta dalam pemilu legislatif 9 April 2009 lalu, apa pun asas maupun
ideologi partainya, sepakat untuk “seolah” mengusung dan memperjuangkan seluruh
isyu “atas nama rakyat” terebut. Te-gasnya, antara Demokrat dan PDIP, antara
PDS dan PKS, antara PPP dan PDKB dan seterusnya, ada-lah sama saja yakni
sama-sama mengeksploitasi “habis-habisan” perasaan rakyat yang memang fakta-nya
tidak sejahtera, tidak memiliki posisi tawar, tidak pernah
terpenuhi kepentingannya, tertindas, ter-pinggirkan dan
sebagainya dari realitas kengerian hidup di dunia.
Para politisi jalur
legislatif maupun eksekutif beserta tim suksesnya masing-masing, sepanjang masa
prosesi pemilu hingga detik-detik terakhir menjelang hari “pencontrengan” (9
April yang lalu dan 8 Juli 2009 mendatang), benar-benar mengaktualisasikan
jatidiri mereka dalam “dunia sandiwara di atas panggung”. Mereka semua
menggunakan topeng supaya hadir secantik, semenarik, sesantun dan seanggun
mungkin di hadapan pandangan rakyat. Ucapan mereka juga “bertopeng” agar keluar
suara yang memastikan keberpihakan dan pembelaan kepada rakyat serta upaya
serius untuk mensejahtera-kan kehidupan mereka. Koalisi bahkan konspirasi antar
partai politik (bipartai maupun multi partai) yang “sejujurnya” adalah untuk
memastikan kedudukan di DPR maupun pemerintahan, mereka kemas sehebat mungkin
supaya 100 persen terkuak sebagai upaya serius mereka mengedepankan
kepenting-an rakyat dan mensejahterakan mereka. Begitu juga,
“perceraian” di antara dua atau lebih partai poli-tik (parpol) maupun
perpecahan dalam tubuh satu parpol selalu diatasnamakan
“kepentingan rakyat” minimal yang menjadi konstituennya masing-masing. Singkat
kata, apa pun yang mereka ucapkan, si-kapi dan lakukan seluruhnya dipastikan
secara manipulatif sebagai aksi riil keberpihakan dan pembe-laan mereka
kepada nasib rakyat.
Penghamburan dana maupun
harta lainnya yang tercurahkan secara niscaya selama prosesi pemi-lu hingga
puncaknya pada pelantikan presiden baru, juga tak pernah terlupakan untuk
diseolahkan bagi upaya terencana dan terstruktur demi kesejahteraan rakyat.
Penguasa saat mempertahankan kekuasaan yang tengah digenggamnya maupun oposisi
ketika mereka mencoba keras mendongkel secara “konsti-tusional” pihak lawannya
(penguasa), kedua pihak selalu dan selalu mengatasnamakan rakyat dan di-kliam
sebagai usaha mereka yang sistemastis dan terukur untuk mensejahterakan rakyat.
Bahkan black campaign maupun negative campaign yang dilakukan
oleh kedua pihak tidak pernah dinyatakan secara jujur sebagai serangan
mematikan bagi pihak lawan, melainkan aksi hitam itu dilakukan demi dan un-tuk
membela kepentingan rakyat, sesuai dengan konsep dasar demokrasi sendiri yakni from
the people, by the people and for the people.
Pertanyaannya adalah apakah
seluruh ucapan, sikap maupun perbuatan mereka itu (baik pe-nguasa
maupun oposisi) jujur ataukah sekedar sandiwara?
Serpihan-serpihan kasus
mulai dari arena pilkada (kasus Ponorogo) hingga ajang pemilu legislatif
(pileg) yakni stres, frustasi, depresi, gila, bunuh diri, menarik kembali
sumbangan yang telah diberikan selama masa kampanye (alat musik, karpet, bahan
bangunan, alat-alat elektronik dan lainnya) maupun ekspresi marah, tidak puas
atau tudingan adanya kecurangan yang menjadi biang kekalahan dan seba-gainya,
adalah bukti tak terbantahkan bahwa para politisi tersebut
seluruhnya tengah bertopeng di atas panggung sandiwara dan sama sekali tidak
membawa sikap kejujuran sedikit pun. Justru sikap jujur mereka baru
sangat nampak kepada penginderaan rakyat saat mereka telah mengalami kegagalan
(ka-lah dalam pilkada atau pileg) atau keberhasilan (menang dalam
pilkada atau pileg). Ketika mereka ga-gal, maka muncul secara tak
terkendali sikap-sikap stres, frustasi, depresi, gila, bunuh diri,
menarik kembali sumbangan yang telah diberikan selama masa kampanye maupun ekspresi
marah, tidak puas atau tudingan adanya kecurangan. Lalu mereka yang mengalami
keberhasilan, sama juga muncul dari sosok-sosok mereka sikap-sikap tak
terkendali baik jangka pendek (spontanitas) maupun jangka pan-jang (saat mereka
telah duduk di DPR maupun pemerintahan). Sikap sponitas yang lazim mengemuka
adalah serta merta saja mereka “menutup pintu rumah dan perasaannya” agar
menjadi dinding pengha-lang antara dirinya dengan rakyat. Adapun sikap yang
lumrah mencuat dalam jangka panjang adalah mereka sangat tidak peduli
dengan seluruh pernyataan yang telah mereka “hamburkan dari mulut” se-lama masa
kampanye, yakni mereka sama sekali tidak pernah merencanakan untuk merealisir
semua janji-janji selama kampanye mereka tersebut.
Jadi, memang seperti
gagasan filosofis Erasmus : “Kalau topeng dan hiasan ditanggalkan dari para
aktor yang sedang bermain di panggung, terungkaplah wajah dan ekspresi
sebenarnya para aktor ini, dan sandiwara pun bubar”, setelah pemilu usai
dan masing-masing baik yang kalah maupun yang menang telah menempati kembali
“habitat” orisinalnya, maka wajah dan ekspresi sebenarnya dari para
politisi tersebut nampak secara otomatis dan tidak dapat ditutupi lagi (dengan
apa pun) dari pandangan rakyat yang selama ini mereka “tipu dengan cara sistemik
dan terencana”. Wal hasil, ungkapan pesta rakyat, demi kesejahteraan
rakyat, atas nama rakyat, atas nama kedaulatan rakyat, kepentingan
rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan, keberpihakan dan kepedulian
kepada rakyat dan sebagainya adalah adagium demokrasi yang sangat
sudah klise dan usang serta imajinatif (khayalan) sebab ti-dak pernah dan tidak
akan pernah bertemu dengan kenyataannya dalam kehidupan manusia.
Filosofi
Erasmus dan realitas sikap para politisi
Hidup adalah suatu
drama besar masing-masing diberi peran. Sebagian diberi peran besar,
sele-bihnya hanya sebagai figuran. Sehingga yang sedang diberi peran besar
seyogianya jangan arogan, sebaliknya yang sedang diberi peran figuran pun
jangan terlalu kecil hati karena jalan kehidupan iba-rat roda pedati. Ini adalah ringkasan dari filsafat para filosof baik yang
sezaman dengan Erasmus mau-pun yang mendahuluinya. Mereka sepakat bahwa hidup
manusia di dunia hanya sandiwara yang adalah lumrah apa pun yang diucapkan
maupun yang diperbuat di dalamnya hanyalah kepura-puraan alias on-ly the
acting no more.
Memang gagasan tersebut
awalnya adalah imajinatif filosofis yakni bukan dirumuskan dari atau
berdasarkan fakta terindera (اَلْوَاقِعُ
الْمَحْسُوْسُ) dan sama persis dengan filosofi Tanah Jawa : hidup manu-sia
ibarat pewayangan semuanya ditentukan secara pasti oleh dalang, namun
seiring dengan perjalan-an waktu seolah mengalami perubahan 180 derajat menjadi
pemikiran yang ditetapkan berdasarkan ke-nyataan hidup manusia itu sendiri.
Mengapa seolah terjadi perubahan mendasar seperti itu?
Apabila ditelusuri tentang
mana yang lebih dahulu terjadi, konsep filosofis tersebut ataukah reali-tas
kehidupan manusia yang seolah berposisi sebagai fakta dari konsep itu sendiri,
maka akan secara pasti memberikan informasi bahwa konsep tersebut sama sekali
tidak bersesuaian dengan fakta dan fakta kehidupan justru tidak berhubungan apa
pun dengan konsep itu. Jadi, persoalannya bukan mana yang lebih dahulu ada dan
mana yang belakangan, melainkan bersesuaian ataukah tidak antara konsep itu
dengan fakta dan adakah hubungan antara fakta dengan konsep tersebut.
Konsep filosofis Erasmus
atau yang sejenis dengannya, muncul atau dirumuskan sebagai sebuah tanggapan
menentang (antithesis) dari para filosof tersebut terhadap realitas
ketidakberdayaan rakyat pada masa itu di hadapan para penguasa (Kaisar) yang
bersekongkol dengan para agamawan. Penen-tangan tersebut karena dilakukan
secara masif dan intensif maka pada akhirnya memang mewujudkan perubahan
mendasar dalam kehidupan, yakni rakyat memperoleh sedikit peningkatan posisi
tawarnya di hadapan para Kaisar. Inilah yang dikenal sebagai era Renaisans (Renaissance)
yakni telah terjadinya pencerahan pemikiran rakyat jelata yang dimotori oleh
para filosof, sehingga mereka memiliki sedikit kekuatan untuk melakukan
penentangan secara terang-terangan kepada keabsolutan para penguasa.
Walau demikian, ternyata
masih ada bagian kehidupan mereka yang telah dijalankan secara sa-ngat lama
tersebut yang tidak mengalami perubahan yakni anggapan bahwa hidup adalah
suatu drama besar dan masing-masing orang diberi peran serta jalan kehidupan
itu ibarat roda pedati. Artinya, mereka (filosof, penguasa, rakyat) tetap
sepakat bahwa ada suatu kekuatan Maha Besar yang kendali-nya terhadap kehidupan
manusia tidak dapat ditolak, yaitu kekuatan Tuhan. Mereka masih memperta-hankan
thesis bahwa Tuhan dengan Kekuatan Maha Besarnya itu menentukan perjalanan
kehidupan manusia, sehingga berjalan seperti roda pedati. Sebagian manusia ada
yang berperan di bagian atas ro-da (penguasa, agamawan), sebagian ada yang di
bagian kedua sisi pinggir kiri dan kanan (para filosof) serta sebagian lainnya
ada di bagian bawah (rakyat). Demikianlah seterusnya dan hanya kekuatan Tu-han
yang dapat memutarkan roda pedati kehidupan tersebut.
Ketidakberdayaan manusia
pada umumnya (seluruh rakyat, kecuali penguasa) terhadap kekuatan kendali Tuhan
tersebut ternyata telah menjadi opini umum seluruh manusia termasuk umat Islam
dan itu terjadi akibat mereka terjebak dalam pemikiran filosofis tersebut saat
menterjemahkan buku-buku filsafat Yunani ke dalam Bahasa Arab. Keadaan buruk
mengerikan itu semakin parah lagi ketika diteri-manya Islam di negeri-negeri
yang juga memiliki konsep-konsep filsafat seperti Persia, Hindustan, Asia
Tenggara, tidak disertai dengan upaya pembersihan konsep-konsep imajinatif
tersebut. Akibatnya adalah “seolah” konsep-konsep tersebut merupakan bagian
dari atau memang berasal dari Islam sendiri sehingga diterima begitu saja
sebagai satu paket yang utuh. Inilah mengapa walau penduduk negeri Persia telah
menjadi umat Islam, namun mereka tetap bersikukuh terhadap filsafat yang
memposisikan agamawan sebagai penjelmaan dari atau wakil Tuhan di dunia yang
sangat begitu nampak dalam ham-pir keseluruhan konsep teologis Syiah (sekte apa
pun terutama Syiah 12 Imam). Hal serupa terjadi di negeri Hindustan, yakni
walau penduduknya telah beragama Islam namun tetap melekat pada kehidup-an
mereka filsafat karma, reinkarnasi maupun ketidakberdayaan manusia di hadapan
kuasa Tuhan, bah-kan seluruh filsafat tersebut mereka pertahankan serta
dianggap bagian tak terpisahkan dari Islam. De-mikian pula umat Islam di Asia
Tenggara terutama Tanah Jawa mengalami hal yang benar-benar iden-tik yakni
realitas keIslaman mereka tercampur baur dan terkisruhkan oleh sejumlah konsep
filsafat baik yang orisinal Tanah Jawa (animisme, dinamisme) maupun yang
berasal dari Hindustan (agama Hindu) juga semakin disempurnakan dengan adanya sikap
pensakralan umat Islam terhadap konsep-konsep filsafat Yunani yang diresmikan
dan dibakukan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di perguruan tinggi
(PT), termasuk PT yang bermerek Islam (UIN dan sejenisnya).
Oleh karena itu, sangat
wajar dan tidak mengejutkan jika pola pikir maupun sikap para politisi di mana
pun di Dunia Islam termasuk di Indonesia, tidak dapat melepaskan diri dari
konsep-konsep filsa-fat serupa dengan gagasan Erasmus atau konsep-konsep
filsafat tersebut sangat mendominasi pemikir-an maupun sikap mereka. Sebagai
contoh pada suatu kesempatan pidato (tepatnya konferensi pers) pas-ca pemilu
legislatif 2009 dan ternyata Demokrat semakin dapat dipastikan sebagai pemilik
perolehan suara terbanyak (lebih dari 20 persen), Presiden SBY menyatakan
dengan lantang antara lain : hampir dapat dipastikan bahwa Ibu Megawati akan
kembali berkompetisi dengan saya dalam pilpres Juli 2009 nanti, begitu juga
capres-capres yang lainnya. Marilah kita berkompetisi dengan baik dan menang
atau kalah, semuanya Tuhan, Allah SWT
yang menentukan.
Pola
pikir yang kisruh dan sikap yang kacau balau tersebut tentu saja bukan hanya
“milik” SBY, melainkan melekat erat pada seluruh politisi bahkan seluruh umat
Islam di negeri Indonesia termasuk yang berhimpun dalam parpol yang saat ini
dianggap paling “Islami” yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tragisnya
adalah kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap mereka tersebut dianggap bahkan
sangat mungkin dipastikan sebagai bentuk عَمَلُهُمُ
الصَّالِحُ yang diperintahkan oleh Islam. Padahal tentu sa-ja pada
faktanya mereka telah berlaku sesat dalam sistema kufur demokrasi yang
diharamkan oleh Is-lam dan mereka telah sepenuhnya kufur terhadap segala
ketentuan Allah SWT tersebut. Allah SWT menyatakan :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا أُولَئِكَ الَّذِينَ
كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ
لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (الكهف : 103-105)
“katakanlah
oleh engkau (Muhammad) apakah perlu kami sampaikan kepada kalian tentang
orang-orang yang seluruh perbuatannya paling rugi, yakni orang-orang yang sesat
tingkah laku mereka dalam kehidupan dunia namun mereka mengira bahwa mereka
telah berbuat yang benar. Itulah orang-orang yang bersikap kufur kepada
ayat-ayat Rab mereka maupun pertemuan dengan Nya, maka pasti hancur seluruh
perbuatan mereka lalu Kami (Allah) tidak akan memberikan sedikit pun nilai bagi
me-reka di hari kiamah”
Inilah
akibat mereka lebih mendahulukan suatu sikap dan perbuatan tanpa terlebih
dahulu memastikan berpikir terhadap realitas yang ada atau akan disikapi
tersebut.
Konsep
atas nama rakyat, adakah dalam realitas pemikiran Islami?
Bai’at
Aqabah I dan II adalah bai’at umat Islam dari Madinah kepada Nabi Muhammad saw
un-tuk memposisikan beliau sebagai penguasa. Begitu juga ketika Rasulullah saw
telah bermukim di Ne-geri Madinah, selalu terjadi prosesi bai’at dari kaum
muslim (para sahabat) baik secara perorangan maupun bersama-sama yang dilakukan
untuk mengukuhkan beliau sebagai kepala Negara Islam yang pertama kalinya ada
dalam realitas kehidupan dunia. Hal itu seperti yang ditunjukkan oleh sejumlah
riwayat di antaranya sebagai berikut :
عَنْ
جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ
وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ
بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ
فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي
مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ
لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا
عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Dari
Junadah bin Abi Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah
sakit, lalu kami berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah
kepada kami sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits
tersebut yang engkau telah dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi
saw telah menyeru kami lalu kami pun membai’at beliau, lalu beliau pun
memberitahukan dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar
didengar dan ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan
maupun adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan
supaya kami tidak merebut kekuasaan dari tangan pemiliknya kecuali (kata
beliau) : kalian melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian
dari Allah
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
قَالَ بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ فَلَقَّنَنِي فِيمَا اسْتَطَعْتُ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ (رواه
البخاري)
Dari
Jarir bin Abdillah berkata, saya telah membai’at Nabi saw untuk mendengar dan
mentaati. Lalu beliau menuntun saya bahwa semua itu akan saya lakukan sekuat
kemampuan saya dan nasihat bagi setiap muslim
عَنْ عَتَّابٍ قَالَ سَمِعْتُ
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ بَايَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيمَا اسْتَطَعْتُ (رواه احمد)
Dari
‘Attab berkata saya telah mendengar Anas bin Malik berkata, saya telah
membai’at Nabi saw untuk mendengar dan mentaati sekuat kemampuan saya
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا إِذَا بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ يَقُولُ لَنَا فِيمَا
اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Dari Abdillah bin Umar ra berkata, kami semua ketika kami
membai’at Rasulullah saw untuk mende-ngar dan mentaati, maka beliau berkata
kepada kami : lakukanlah itu semua sekuat kemampuan kalian
Dengan
demikian dari pemikiran yang ditunjukkan oleh keseluruhan dalil tentang bai’at
serta perjalan-an pemerintahan dan kekuasaan baik selama kepemimpinan
Rasulullah saw maupun ketika telah bera-lih kepada Khulafa Rasyidun, nampak
dengan jelas hal-hal sebagai berikut :
1.
Islam menetapkan bahwa
kekuasaan itu (اَلسُّلْطَانُ) milik umat
Islam dan diberikan oleh mereka kepa-da seseorang yang mereka ridhai untuk
menjadi Khalifah melalui bai’at.
2.
pola interaksi (شَكْلُ الْعَلاَقَاتِ) antara umat Islam dengan Khalifah
adalah :
اَلْخَلِيْفَةُ
هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ الأُمَّةِ فِيْ الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ وَفِيْ
تَنْفِيْذِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ ذَلِكَ اَنَّ الإِسْلاَمَ قَدْ جَعَلَ الْحُكْمَ
وَالسُّلْطَانَ لِلأُمَّةِ تُنِيْبُ فِيْهِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ نِيَابَةً عَنْهَا
Khalifah adalah yang mewakili umat dalam pemerintahan dan
kekuasaan serta dalam pelaksanaan hukum syara’. Hal itu karena Islam telah
menjadikan pemerintahan dan kekuasaan milik umat yang akan mereka wakilkan
kepada seseorang yang akan melaksanakannya sebagai wakil dari me-reka.
Realitas inilah yang juga ditunjukkan oleh pernyataan
Khalifah Umar bin Khaththab :
يَا
مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا
بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ
فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ
سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه
الدارمي)
“wahai
masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Islam itu tidak
ada kecu-ali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya
imarah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja
yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasarkan pemahaman maka orang itu
adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mereka dan sia-pa saja yang dijadikan
pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah
kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka”
3.
setelah bai’at
sempurna diberikan oleh umat Islam kepada Khalifah maka Khalifah wajib
menerap-kan dan melaksanakan seluruh ketentuan Islam kepada mereka dan ahlul
dzimmah. Kedudukan Khalifah tersebut bukan berarti dia mengatasnamakan rakyat
dalam memberlakukan hukum syara’ melainkan sebaliknya dia melakukan
kewajibannya itu atas nama Allah SWT, yakni dalam rangka memberlakukan seluruh
ketentuan Nya yang ada dalam Islam.
4.
umat Islam tidak boleh
(haram) memerangi Khalifah dalam keadaan apa pun, kecuali ketika Khali-fah
telah memperlihatkan kekufuran yang nyata (كُفْرًا
بَوَاحًا). Jika realitas كُفْرًا
بَوَاحًا belum nampak terbukti, walau Khalifah bertindak sadis terhadap
rakyat (menganiaya dan merampas harta) maka seluruh rakyat Khilafah Islamiyah
tetap wajib mendengar dan mentaatinya. Rasulullah saw menya-takan :
يَكُونُ
بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي
وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ
إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ
قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
فَاسْمَعْ وَأَطِعْ (رواه مسلم)
Akan ada
setelahku para Imam yang tidak menggunakan hidayahku dan tidak memberlakukan
sun-nahku dan akan memimpin di tengah-tengah mereka orang-orang yang pemikirannya
adalah pemi-kiran para syetan dalam tubuh manusia. Dia (Hudzaifah) berkata,
saya bertanya wahai Rasulullah apa yang harus saya lakukan jika saya mendapati
hal itu? Beliau menjawab : kamu harus tetap mendengar dan mentaati Amir
tersebut walau dipukul punggungmu dan dirampas hartamu, maka tetap dengarlah
dan taatilah!
Dengan
demikian, dalam pemikiran Islami tidak didapati adanya konsep atas nama
rakyat dan yang ditetapkan dalam Islam adalah pola atau bentuk
interaksi (شَكْلُ الْعَلاَقَاتِ) antara rakyat
dengan penguasa (Khalifah). Lalu, bagaimana dengan upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat (رِفَاهِيَاتُ الرَّعِيَّةِ)?
Posisi
Khalifah sebagai satu-satunya manusia di dunia yang diberi otoritas penuh oleh
Islam un-tuk memberlakukan syariah Islamiyah atas kehidupan manusia di dunia,
secara otomatis menjadikan dia bertanggungjawab penuh terhadap perintah Islam
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Khilafah Islamiyah. Inilah realitas
Khalifah yang dituntut harus direalisir oleh sejumlah dalil di antaranya :
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي
سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ
لَهُ الدُّنْيَا (رواه الترمذي)
“siapa saja di
antara kalian yang pada pagi hari keluarga dan jalannya berada dalam aman,
sehat ja-sadnya dan kekuatan harinya ada dalam genggamannya, maka seakan
dihimpunkan baginya seluruh dunia”.
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ
مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا (رواه
البخاري)
“perumpamaan
hidayah dan ilmu yang Allah telah mengutus diriku dengan membawa keduanya,
se-perti hujan deras yang menimpa bumi”
bahkan apa pun
yang dipandang oleh Khalifah akan dapat mempermudah upaya pemenuhan kebutuhan
rakyat orang per orang demi terwujudnya kesejahteraan mereka, maka hal itu
wajib atas Khalifah untuk diadakan atau diselenggarakan sesegera mungkin.
Rasulullah saw menyatakan :
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ
مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Lalu, Imam itu adalah pemelihara dan dialah yang pasti
dimintai pertanggungjawaban tentang rak-yatnya
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ
مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ
مِنْهُ (رواه مسلم)
Hanya
sesungguhnya Imam adalah perisai, berperang di belakang perisai dan berlindung
dengan pe-risai itu. Lalu bila dia memerintah dengan asas taqwa kepada Allah
‘Azza wajalla dan memberlakukan hukum Allah pastilah itu adalah pahala baginya
dan jika dia memerintah dengan asas lainnya pastilah itu adalah dosa baginya
No comments:
Post a Comment