Keputusasaan intelektual : semakin
mengkristal!
Mohamad Asrori Mulky (Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam
dan Kenegaraan/PSIK Universitas Paramadina Jakarta) dalam tulisannya yang
berjudul “Substansialisasi Pesan Agama” me-nyatakan : beberapa dekade
terakhir ini, melalui televisi, radio, dan surat kabar cetak, tak
henti-hen-tinya kita disuguhkan sejumlah berita memilukan mengenai aksi
kekerasan berlatar agama. Kenyataan ini seakan-akan memperteguh anggapan orang
yang sinis terhadap agama, bahwa agama tak lebih se-bagai penyulut api perang
dan pengobar bara dendam antarumat beragama dan intra-agama sendiri. Agama
sudah tidak lagi berfungsi sebagai medium dalam perjumpaannya dengan agama dan
kelom-pok lain. Ia lebih menjadi alat provokasi dan destruksi untuk
menghancurkan kelompok di luar dirinya. Padahal, dalam catatan sejarah
agama-agama dunia, sejatinya agama membawa misi kedamaian dan kerukunan, bukan
perselisihan dan pertarungan (Karen Amstrong, The History of God). Tentunya
kita sepakat bahwa ketika agama menjadi pemicu aksi kekerasan, terorisme,
brutalisme, dan barbarisme, maka saat itu agama menjadi candu umat. Dan pada
saat bersamaan pula ia berada di ujung tanduk kepunahan, akan dicibir dan
ditinggalkan pemeluknya, cepat ataupun lambat. Sebagai umat beragama kita harus
menangkap substansi agama dalam memahami pesan yang terkandung di dalamnya.
Jangan sampai kita memahami agama hanya pada bentuknya saja, berhenti pada ritual
keagamaan, dan menghamba pada ucapan ulama. Jika selama ini umat beragama
menghamba dan memuja sabda para ulama dan teks literal dari sebuah kitab suci,
maka sesungguhnya mereka telah terjebak ke dalam apa yang disebut dengan
praktik bibliolatry, yaitu sebuah sikap di mana para pemeluk agamanya hanya
memuja “aksara”, tanpa ada proses kritis dan analitis untuk menyibak hakikat di
balik aksara itu sen-diri. Bila itu terjadi maka agama akan menjadi monster
yang menakutkan bagi pemeluknya dan keke-rasan atas nama agama akan selalu
muncul di permukaan.
Sejumlah kegelisahan bahkan keputusasaan intelektual sangat
tergambar jelas dalam berbagai bentuk ungkapan atau gagasan atau pemikiran yang
dicurahkan oleh Asori Mulky dalam tulisannya ter-sebut. Dia telah benar-benar
mengimplementasikan ide yang sudah lama dicetuskan oleh para pegiat pragmatisme
yakni : realitas sebagai sumber berpikir (اَلْوَاقِعُ
مَصْدَرُ التَّفْكِيْرِ) atau realitas adalah sumber peraturan/sistema (نَأْخُذُ نِظَامَنَا مِنْ وَاقِعِنَا) atau kesediaan
untuk menerima tuntutan realitas (اَلرِّضَا
بِأَمْرِ الْوَاقِعِ). Pada tulisannya tersebut, dia menjadikan agama atau posisi
agama atau eksistensi agama sebagai objek yang dijadikan sasaran bidik analisis
yang dilakukannya dengan menggunakan pisau bedah (diakui atau tidak oleh yang
bersangkutan) ketiga konsep pragmatisme itu. Ketika dia menyatakan :
1.
Kenyataan ini seakan-akan memperteguh anggapan orang yang sinis
terhadap agama, bahwa aga-ma tak lebih sebagai penyulut api perang dan pengobar
bara dendam antarumat beragama dan in-tra-agama sendiri. Agama sudah tidak lagi
berfungsi sebagai medium dalam perjumpaannya de-ngan agama dan kelompok lain.
Ia lebih menjadi alat provokasi dan destruksi untuk menghancur-kan kelompok di
luar dirinya. Maka sebenarnya sejak awal dia telah memutuskan bahwa agama
tak lebih sebagai penyulut api perang dan pengobar bara dendam antarumat
beragama dan intra-aga-ma sendiri alias agama hanyalah sebagai sumber
konflik baik intra maupun antar agama. Hal itu di-tunjukkan oleh ungkapan
pengantar : beberapa dekade terakhir ini, melalui televisi, radio, dan
su-rat kabar cetak, tak henti-hentinya kita disuguhkan sejumlah berita
memilukan mengenai aksi ke-kerasan berlatar agama. Inilah salah satu bentuk
pengejawantahan ide pragmatis : realitas sebagai sumber berpikir (اَلْوَاقِعُ مَصْدَرُ التَّفْكِيْرِ).
2.
Tentunya kita sepakat bahwa ketika agama menjadi pemicu aksi
kekerasan, terorisme, brutalisme, dan barbarisme, maka saat itu agama menjadi
candu umat. Dan pada saat bersamaan pula ia ber-ada di ujung tanduk kepunahan,
akan dicibir dan ditinggalkan pemeluknya, cepat ataupun lambat. Artinya dia
telah memutuskan bahwa agama apa pun harus ditinggalkan oleh siapa pun karena
fak-tanya hanya akan menjadi pemusnah bagi keberadaan agama itu sendiri berikut
para pemeluknya bahkan seluruh manusia. Sehingga harus ditetapkan sebuah
peraturan (اَلنِّظَامُ) yang wajib diterapkan
kepada agama agar tidak menjadi pemicu aksi kekerasan, terorisme, brutalisme
maupun barbaris-me, serta supaya tidak ditinggalkan oleh manusia. Inilah bentuk
pelaksanaan dari ide realitas ada-lah sumber peraturan/sistema (نَأْخُذُ نِظَامَنَا مِنْ وَاقِعِنَا).
3.
Sebagai umat beragama kita harus menangkap substansi agama dalam
memahami pesan yang ter-kandung di dalamnya. Jangan sampai kita memahami agama
hanya pada bentuknya saja, berhenti pada ritual keagamaan, dan menghamba pada
ucapan ulama. Ini adalah seruan kepada semua pi-hak untuk bersedia menerima
tuntutan realitas (اَلرِّضَا بِأَمْرِ الْوَاقِعِ) yakni bila diinginkan
agar agama ti-dak menjadi monster yang menakutkan bagi pemeluknya dan
kekerasan atas nama agama akan se-lalu muncul di permukaan, maka umat
beragama harus menangkap substansi agama dalam mema-hami pesan yang terkandung
di dalamnya dan jangan sampai memahami agama hanya pada ben-tuknya saja, yakni
berhenti pada ritual keagamaan dan menghamba pada ucapan ulama maupun memuja
teks literal dari sebuah kitab suci, alias melakukan praktik bibliolatry, yaitu
sebuah sikap para pemeluk agama yang hanya memuja “aksara”, tanpa ada proses
kritis dan analitis untuk me-nyibak hakikat di balik aksara itu sendiri.
Lebih dari itu, walaupun secara eksplisit dia
tidak menuding satu agama tertentu namun dari pernyata-an : beberapa dekade
terakhir ini, melalui televisi, radio, dan surat kabar cetak, tak
henti-hentinya kita disuguhkan sejumlah berita memilukan mengenai aksi kekerasan
berlatar agama, maka dapat dipasti-kan bahwa agama yang dimaksudkan adalah
Islam. Hal itu terutama karena dia merumuskan gagasan-gagasannya (dalam tulisan
“Substansialisasi Pesan Agama”) adalah tidak lama setelah terjadinya insi-den 1
Juni 2008 di Monas Jakarta. Harus diingat bahwa dia tidak sendirian dalam
mengaktualisasikan konsep-konsep pragmatisme tersebut melainkan memposisikan
diri sebagai “teman” atau “pendukung” bagi sejumlah intelektual muslim
sebelumnya seperti : Muhammad Said As-Asymawi seorang cende-kiawan Mesir yang
menyerukan konsep untuk kembali kepada جَوْهَرُ
الدِّيْنِ, yakni kembali kepada subs-tansi agama yaitu cinta, kasih
dan damai, yang ketiganya lazim terkandung dalam setiap agama dunia;
atau Hassan Hanafi (juga berasal dari Mesir) yang menggagas bahwa agama itu
tidak hanya اِلَهِيَّةٌ, tapi juga اِنْسَانِيَّةٌ.
Jadi, bagi asrori Mulky
( juga muhamad Said Al-Asymawi, Hasan Hanafi atau lainnya yang sejenis dengan
mereka) suatu agama layak dianut atau dipeluk oleh manusia hanya bila memenuhi
sejumlah syarat berikut : (a) di dalam agama itu minimal ada seruan kepada atau
bahkan harus mewajibkan pelaksanaan tiga elemen: cinta, kasih, dan damai, (b)
harus melarang keras aksi kekerasan dalam bentuk apapun apalagi atas nama agama
yang bersangkutan dan (c) harus mengedepankan penegakan spirit penghormataan
terhadap yang lain maupun penghargaan terhadap kelompok diluar dirinya. Apabila
ketiga syarat dapat terpenuhi maka suatu agama ( apapun dan berasal dari
manapun) maka agama tersebut sangat
layak untuk di anut dan dipeluk oleh manusia, hanya bila memenuhi sejumlah
syarat berikut : (a) didalam agama itu minimal ada seruan kepada atau bahkan
harus mewajibkan pelaksanaan tiga elemen : cinta, kasih dan damai, (b) harus
melarang keras aksi kekerasan dalam bentik apapun serta dengan alasan apapun
apalagi atas nama agama yang bersangkutan dan (c) harus mengedepankan penegakan
spirit penghormatan terhadap yang lain
maupun penghargaan terhadap kelompok diluar dirinya. Apabila ketiga
syarat tersebut dapat terpenuhi maka suatu agama ( apapun dan berasal dari manapun
) maka agama tersebut sangat layak untuk dianut dan dipeluk oleh manusia,
sebaliknya bila suatu agama ( apapun ) tidak dapat memenuhi salah satu syarat
tersebut ( apalgi ketiganya ) maka agama tersebut sangat tidak layak untuk dan
dipeluk oleh manusia walaupun diklaim berasal dari tuhan, bahkan seluruh
manusia wajib meninggalkan nya: tentunya kita sepakat bahwa ketika agama
menjadi pemicu aksi kekerasan , terorisme, brutalisme, dan barbarisme, maka
saat itu agama menjadi candu umat . Dan pada saat bersamaan pula ia berada
diujung tanduk kepunahan , akan dicibir, dan ditinggalkan pemeluknya , cepat
ataupun lambat. Tentu saja hakikat yang dimaksudkan oleh Asrori Mulky adalah :
bila islam sebagai agama ternyata tidak dapat memenuhi syarat kelayakan suatu agama
( terutama bagian point B dan C ), maka islam wajib ditinggalkan oleh umat
islam bahkan seluruh manusia tanpa harus mempertimbangkan lagi eksistensi islam
itu sendiri yang diklaim berasal dari Allah SWT. Keputusan Inilah yang dimaksudkan dan diinginkan untuk
terjadi dengan sebuah agenda tersembunyi ( hidden agenda ) berupa : (1) agar
semua umat islam sepakat untuk memformat ulang seluruh pemikiran, konsep, ide,
gagasandalam islam terutama yang berkenaan dengn perang ( aksi kekerasan
terhadap pihak luar: kaum kufar) maupun sikap intoleransi, bila memang islam
tetap akan dipertahankan sebagai agama yang layak pantas untuk dianut serta
dipeluk oleh manusia atau (2) agar semua umat islam berada dalam keadaan putus
asa bahkan skeptis terhadap kelayakan islam sebagai agama, karena mereka
mendapati sangat sulit bahkan tidak mungkin memformat ulang maupun menghilangkan konsep kekerasan (
perang) dan sikp intoleransi yang ada dalam islam , lalu pada gilirannya
keputusasan dan sikap skeptis tersebut dipastikan akan menggiring opini umat
islam untuk meninggalkan agama mereka tersebut dengan sukarela.
Dengan demikian, kristalisasi keputusan yang terjadi pada para intelektual muslim
tersebut ( yang diwakili oleh mohamad asrory Mulky, Muhamad Said Al-asymawi,
Hasan hanafi) memiliki dua buah mata anak panah yang mengarah kedalam diri
mereka sendiri dan kepada umat islam. Setiap saat mereka berusaha keras membuat
proses kristalisasi tersebut semakin
keas supaya dapat menopang kepercayan diri mereka untuk membela meti-matian
gagasan pengebirian dan pelumpuhan terhadap islam. Pada saat yang bersamaan
mereka pun berusaha keras untuk menggiring opini umat islam ka arah keputusan
secara sadar dan sukarela untuk meninggalkan islam sebagai agama mereka selama
ini sekaligus mengumumkan kepada dunia bahwa islam adalah satu-satunya agama
yang tidak layak dan tidak pantas dianut serta dipeluk oleh manusia , karena
a-humanisme. Wal hasil inilah manusia –manusia yang dimaksudkan oleh
pernyataan Rasulullah saw : ( )
Lalu,apa yang menjadikan : (a) agama (
apapun) seolah menjadi atau bahkan
menurut faktanya memang menjadi sumber
atau pemicu konflik dan kekerasan dan (b) seorang muslim saat mendapati
fakta agama seperti itu (point a) maka serta merta saja dia membuat rumusan
bahwa seharusnya agama itu tidak boleh dan tidak mungkin menjadi sumber
konflik atau pemicu kekerasan.
Perjalanan panjang manusia memastikan
bahwa secara naluriah mereka sangat membutuhkan suatu aturan (tidak bisa
tidak alias harus ada) yang bukan berasal dari dirinya maupun sesama manusia
lainya. Dorongan kearah hal bersifat endogenous ( dari daam manusia sendiri)
dan dipicuoleh penginderan manusia sendiriterhadap realitas kehidupan mereka
baik secara perorangan maupun scara keseluruhan , yaitu mereka mendapati bahwa
menusia itu lemah ( ) , berkekurangan ( ) dan membutuhkan pihak lain ( ) .
inilah keadaan yang akan mengantarkan manusia kepada tuhan yang sejati
bila disertai dengan penggunaan aqal mereka untuk melekukan sejumlah
pembuktiaan dan pengujian , yakni penggunaan dalil aqliy. Al-Quran memberikan
gambaran proses penggunaan aqal ( )
dalam membuktkan eksistensi Tuhan berupa kisah ibrahim muda :
( )
Apa yang terjadi atau dilakukan oleh ibrahim
muda harus juga dapat dilakukan oleh semua manusia hingga saat berakhirnya ke
hidupan dunia itu sendiri, sebeb antar ibrahim muda dengan manusia lainya
adalah sama saja yaitu sama-sama memiliki naluri ( ), indera terutama
penglihatan dan pendengaran ( ) dan aqal
beserta fungsinya ( ) . artinya , jika ibrahim muda dapat melakukan nya dan
berhasil sampai kepada ( ), maka
siapapun dari manusia wajib dan harus melakukan hal yang serupa, sebab ( sekali
lagi ) realitas ibrahim muda adalah sama dan sebangun alias identik-persis
dengan manusia lainnya. Pencapaian ( )
yang terjadi pada ibrahim muda dan manusia manapun, secara aqliy ( ) menuntut bahwa seluruh peraturan bagi
kehidupan manusia di dunia wajib beasal dari Allah SWT dan mustahil datang dari
manusia sendiri ( siapapun dia, baik manusia biasa maupun calon nabi atau
Rasul). Inilah yang terungkap dari bagian kisah ibrahim muda : ( ) .begitu juga aqal manusia mendapati
kenyataan bahwa Allah SWT menetapkan adanya pergantian para Rasul berikut
risalahnya masing-masing yang berakibat risalah seorang rasull otomatis akan
berakhir masa berlakunya dalam kehidupan manusia bersamaan dengan wafatnya
Rasull yang bersangkutan. Dengan kata lain, berakhirnya risalah ( agama )
seorang rasull ( seiring wafatnya Rasull tersebut ) dan diganti oleh rasul
berikutnya beserta risalah yang dia bawa, adalah perkara/persoalan /realitas
yang juga diharuskan oleh aqal manusia. Hal itu karena aqal manusia telah
berhasil memutuskan perkara besar yang paling mendasar ( ) yaitu ( ), sehingga apapun yang ditetapkan oleh
Allah SWT termasuk pergantian para rasull berikut risalah nya masing-masing
adalah perkara cabang disepakati oleh aqal manusia ( ) . inilah realitas ideal dan sikap orsinil
manusia dalam menanggapi ketetapan Allah SWT berkenaan dengan pergantian Rasul
berikut risalah nya ( agama)
masing-masing. Oleh karena itu, berdasarkan realtas ideal dan sikap
orsinil manusia tersebut maka seharusnya (menurut aqal manusia sendiri) risalah
atau agama yang ada di dunia dan dianut serta dipeluk oleh seluruh manusia saat
ini hingga saat berakhirnya dunia itu sendiri adalah hanya dan hanya islam. Hal
itu karena fakta kemanusiaan memastikan bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi dan
rasul terakhir yang diutus oleh Allah SWT untuk manusia di dunia, sehingga
risalah yang beliau bawa ( islam ) adalah agama terakhir yang menggantikan
agama langit sebelumnya : Yahudi dan Nasrani. Jadi, bila realitas ideal dan
sikap orsinil inilah yang disifati oleh semua manusia ( yahudi, nasrani dan
yang lainnya ) maka dapat dipastikan tidak akan pernah ada konflik bernuansa
atau berlatar belakang agama sebab hanya satu agama yang beredar dan dianut
serta dipeluk oleh semua manusia di dunia. Begitu juga hal nya dengan aksi
kekerasan atas nama suatu agama berikut penganutnya terhadap agama lain beserta
penganutnya dapat dipastikan tidak akan pernah terjadi. Tegasnya,
konflik bernuansa atau berlatar agama maupun aksi kekerasan atas nama suatu
agama terhadap agama lain yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia adalah
merupakan akibat dari satu sebab yang pasti yakni manusia
telah tidak lagi mensifati dirinya dengan realitas ideal dan sikap orsinil
tersebut. Keadaan kemanusiaan semakin diperburuk dengan adanya keputusan
sebagian sangat besar mereka untuk memberlakukan ide aneh dan tidak
manusiawi yaitu sekularisme yang mewajibkan agama dipisahkan dari
kehidupan, poltik, dan negara, sehingga bilapun agama masih digunakan oleh
manusia maka itu pun harus tunduk dan patuh kepada
koridor/pakem/tatanan/sistema yang digariskan oleh sekularime: agama adalah
urusan paling pribadi seorang manusia dengan tuhan nya alias agama itu
hanyalah berada dalam entitas spiritualistik ritualistik. Sekularime
juga mewajibkan para pengusung nya untuk selalu patuh kepada ketentuan lainnya
yakni semua agama adalah sama saja dan tidak boleh diklaim paling benar dari
suatu agama. Inilah konsep pluralisme yang merupakan pemikiran turunan dari
konsep pokok sekularisme.
Adapun sikap seorang muslim yang secara spontan menyimpulkan bahwa
agama-agama sejatinya tidak boleh dan tidak mungkin menjadi sumber konflik atau
pemicu kekerasan , ketika dia mendapati fakta ternyata agama justru berposisi
seperti demikian, maka sifat tersebut adalah bukti pasti dan riil dari
keterjebakan yang bersangkutan dalam kosef (
) , yakni menjadikan fakta sembagai sumber pikr. Tentu saja konsef ini
adalah sangat salah, karena fakta itu dari sisinya atau aspeknya yang manapun
tidak lebih hanya fakta yang merupakan :
(a) akibat dari suatu sebab atau (b) bentuk penerapan riil
( baik utuh maupun sebagian, baik murni maupun ada penyimpangan ) dari suatu
konsep atau (c) sikap/perbuatan/tingkah laku/sepak terjang manusia yang
muncul dari dorongan naluriahnya. Artinya, bila dijadikan sumber berpikir maka
dapat dipastikan hasil proses berpikirnya
yakni pemikiran ( ) akan salah,
tidak mungkin benar. Sebagai contoh : bila fakta konflik atas nama agama
dijadikan sebagai sumber berpikir maka dapat dipastikan bahwa penyelasaiannya (
hasil berpikir ) adalah : (a) melakukan dialog antar umat beragama atau (b)
memaksa semua agama supaya lebih mengedepankan cinta, kasih dan damai. Padahal
baik penyelesaian point a maupun point b , keduanya adalah
sebentuk kedustaan dan kepura-puraan, sebab pada kenyataannya adalah tidak
mungkin untuk melakukan dialog antar umat beragama dengan tujuan agar dapat
menghilangkan sumber konflik kareana setiap agama tidak diragukan lagi memiliki
klaim sebagai paling benar. Demikian juga memaksakan konsep cinta, kasih dan
damai kepada semua agama adalah sebuah kemustahilan , sebab walau setiap agama
memang sama-sama memiliki konsep tentang cinta, kasih dan damai namun realitas
maupun realisasi dari konsep tersebut berbeda-beda dalam setiap agama. Namun,
apabila fakta itu dijadikan objek berpikir ( ) , yakni memposisikan fakta
sebagai persoalan atau permasalahan yang harus diselesaikan dengan cara
menerapkan hukum /aturan/konsep/ketentuan yang telah terjamin keberadaanya maka
hasilnya pasti akan benar, tidak mungkin salah . Sebagai contoh : fakta konflik
atas nama agama atau antar umat beragama itu ternyata akibat manusia telah
meninggalkan ideal maupun sikap orsinil mereka. Dengan demikian penyelasaiannya
adalah : (a) menyadarkan pemikiran semua semua manusia supaya mereka kembali
kepada realitas ideal dan sikap orsinil
atau (b) bila upaya penyadaran ternyata gagal maka dilakukan cara penyelesaian
terakhir yakni pemusnahaan dengan
memerangi mereka sebanyak apapun jumlahnya, inilah solusi manusiawi yang
ditetapkan dalam islam serta disepakati oleh aqal manusia.
No comments:
Post a Comment