Sunday, August 26, 2012

AGAMA : ANTARA TEKS LITERAL DAN PESAN SUBSTANSIAL


Keputusasaan intelektual : semakin mengkristal!
Mohamad Asrori Mulky (Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan/PSIK Universitas Paramadina Jakarta) dalam tulisannya yang berjudul “Substansialisasi Pesan Agama” me-nyatakan : beberapa dekade terakhir ini, melalui televisi, radio, dan surat kabar cetak, tak henti-hen-tinya kita disuguhkan sejumlah berita memilukan mengenai aksi kekerasan berlatar agama. Kenyataan ini seakan-akan memperteguh anggapan orang yang sinis terhadap agama, bahwa agama tak lebih se-bagai penyulut api perang dan pengobar bara dendam antarumat beragama dan intra-agama sendiri. Agama sudah tidak lagi berfungsi sebagai medium dalam perjumpaannya dengan agama dan kelom-pok lain. Ia lebih menjadi alat provokasi dan destruksi untuk menghancurkan kelompok di luar dirinya. Padahal, dalam catatan sejarah agama-agama dunia, sejatinya agama membawa misi kedamaian dan kerukunan, bukan perselisihan dan pertarungan (Karen Amstrong, The History of God). Tentunya kita sepakat bahwa ketika agama menjadi pemicu aksi kekerasan, terorisme, brutalisme, dan barbarisme, maka saat itu agama menjadi candu umat. Dan pada saat bersamaan pula ia berada di ujung tanduk kepunahan, akan dicibir dan ditinggalkan pemeluknya, cepat ataupun lambat. Sebagai umat beragama kita harus menangkap substansi agama dalam memahami pesan yang terkandung di dalamnya. Jangan sampai kita memahami agama hanya pada bentuknya saja, berhenti pada ritual keagamaan, dan menghamba pada ucapan ulama. Jika selama ini umat beragama menghamba dan memuja sabda para ulama dan teks literal dari sebuah kitab suci, maka sesungguhnya mereka telah terjebak ke dalam apa yang disebut dengan praktik bibliolatry, yaitu sebuah sikap di mana para pemeluk agamanya hanya memuja “aksara”, tanpa ada proses kritis dan analitis untuk menyibak hakikat di balik aksara itu sen-diri. Bila itu terjadi maka agama akan menjadi monster yang menakutkan bagi pemeluknya dan keke-rasan atas nama agama akan selalu muncul di permukaan.
Sejumlah kegelisahan bahkan keputusasaan intelektual sangat tergambar jelas dalam berbagai bentuk ungkapan atau gagasan atau pemikiran yang dicurahkan oleh Asori Mulky dalam tulisannya ter-sebut. Dia telah benar-benar mengimplementasikan ide yang sudah lama dicetuskan oleh para pegiat pragmatisme yakni : realitas sebagai sumber berpikir (اَلْوَاقِعُ مَصْدَرُ التَّفْكِيْرِ) atau realitas adalah sumber peraturan/sistema (نَأْخُذُ نِظَامَنَا مِنْ وَاقِعِنَا) atau kesediaan untuk menerima tuntutan realitas (اَلرِّضَا بِأَمْرِ الْوَاقِعِ). Pada tulisannya tersebut, dia menjadikan agama atau posisi agama atau eksistensi agama sebagai objek yang dijadikan sasaran bidik analisis yang dilakukannya dengan menggunakan pisau bedah (diakui atau tidak oleh yang bersangkutan) ketiga konsep pragmatisme itu. Ketika dia menyatakan :
1.       Kenyataan ini seakan-akan memperteguh anggapan orang yang sinis terhadap agama, bahwa aga-ma tak lebih sebagai penyulut api perang dan pengobar bara dendam antarumat beragama dan in-tra-agama sendiri. Agama sudah tidak lagi berfungsi sebagai medium dalam perjumpaannya de-ngan agama dan kelompok lain. Ia lebih menjadi alat provokasi dan destruksi untuk menghancur-kan kelompok di luar dirinya. Maka sebenarnya sejak awal dia telah memutuskan bahwa agama tak lebih sebagai penyulut api perang dan pengobar bara dendam antarumat beragama dan intra-aga-ma sendiri alias agama hanyalah sebagai sumber konflik baik intra maupun antar agama. Hal itu di-tunjukkan oleh ungkapan pengantar : beberapa dekade terakhir ini, melalui televisi, radio, dan su-rat kabar cetak, tak henti-hentinya kita disuguhkan sejumlah berita memilukan mengenai aksi ke-kerasan berlatar agama. Inilah salah satu bentuk pengejawantahan ide pragmatis : realitas sebagai sumber berpikir (اَلْوَاقِعُ مَصْدَرُ التَّفْكِيْرِ).
2.       Tentunya kita sepakat bahwa ketika agama menjadi pemicu aksi kekerasan, terorisme, brutalisme, dan barbarisme, maka saat itu agama menjadi candu umat. Dan pada saat bersamaan pula ia ber-ada di ujung tanduk kepunahan, akan dicibir dan ditinggalkan pemeluknya, cepat ataupun lambat. Artinya dia telah memutuskan bahwa agama apa pun harus ditinggalkan oleh siapa pun karena fak-tanya hanya akan menjadi pemusnah bagi keberadaan agama itu sendiri berikut para pemeluknya bahkan seluruh manusia. Sehingga harus ditetapkan sebuah peraturan (اَلنِّظَامُ) yang wajib diterapkan kepada agama agar tidak menjadi pemicu aksi kekerasan, terorisme, brutalisme maupun barbaris-me, serta supaya tidak ditinggalkan oleh manusia. Inilah bentuk pelaksanaan dari ide realitas ada-lah sumber peraturan/sistema (نَأْخُذُ نِظَامَنَا مِنْ وَاقِعِنَا).
3.       Sebagai umat beragama kita harus menangkap substansi agama dalam memahami pesan yang ter-kandung di dalamnya. Jangan sampai kita memahami agama hanya pada bentuknya saja, berhenti pada ritual keagamaan, dan menghamba pada ucapan ulama. Ini adalah seruan kepada semua pi-hak untuk bersedia menerima tuntutan realitas (اَلرِّضَا بِأَمْرِ الْوَاقِعِ) yakni bila diinginkan agar agama ti-dak menjadi monster yang menakutkan bagi pemeluknya dan kekerasan atas nama agama akan se-lalu muncul di permukaan, maka umat beragama harus menangkap substansi agama dalam mema-hami pesan yang terkandung di dalamnya dan jangan sampai memahami agama hanya pada ben-tuknya saja, yakni berhenti pada ritual keagamaan dan menghamba pada ucapan ulama maupun memuja teks literal dari sebuah kitab suci, alias melakukan praktik bibliolatry, yaitu sebuah sikap para pemeluk agama yang hanya memuja “aksara”, tanpa ada proses kritis dan analitis untuk me-nyibak hakikat di balik aksara itu sendiri.
Lebih dari itu, walaupun secara eksplisit dia tidak menuding satu agama tertentu namun dari pernyata-an : beberapa dekade terakhir ini, melalui televisi, radio, dan surat kabar cetak, tak henti-hentinya kita disuguhkan sejumlah berita memilukan mengenai aksi kekerasan berlatar agama, maka dapat dipasti-kan bahwa agama yang dimaksudkan adalah Islam. Hal itu terutama karena dia merumuskan gagasan-gagasannya (dalam tulisan “Substansialisasi Pesan Agama”) adalah tidak lama setelah terjadinya insi-den 1 Juni 2008 di Monas Jakarta. Harus diingat bahwa dia tidak sendirian dalam mengaktualisasikan konsep-konsep pragmatisme tersebut melainkan memposisikan diri sebagai “teman” atau “pendukung” bagi sejumlah intelektual muslim sebelumnya seperti : Muhammad Said As-Asymawi seorang cende-kiawan Mesir yang menyerukan konsep untuk kembali kepada جَوْهَرُ الدِّيْنِ, yakni kembali kepada subs-tansi agama yaitu cinta, kasih dan damai, yang ketiganya lazim terkandung dalam setiap agama dunia; atau Hassan Hanafi (juga berasal dari Mesir) yang menggagas bahwa agama itu tidak hanya اِلَهِيَّةٌ, tapi juga اِنْسَانِيَّةٌ.
    Jadi, bagi asrori Mulky ( juga muhamad Said Al-Asymawi, Hasan Hanafi atau lainnya yang sejenis dengan mereka) suatu agama layak dianut atau dipeluk oleh manusia hanya bila memenuhi sejumlah syarat berikut : (a) di dalam agama itu minimal ada seruan kepada atau bahkan harus mewajibkan pelaksanaan tiga elemen: cinta, kasih, dan damai, (b) harus melarang keras aksi kekerasan dalam bentuk apapun apalagi atas nama agama yang bersangkutan dan (c) harus mengedepankan penegakan spirit penghormataan terhadap yang lain maupun penghargaan terhadap kelompok diluar dirinya. Apabila ketiga syarat dapat terpenuhi maka suatu agama ( apapun dan berasal dari manapun) maka agama tersebut  sangat layak untuk di anut dan dipeluk oleh manusia, hanya bila memenuhi sejumlah syarat berikut : (a) didalam agama itu minimal ada seruan kepada atau bahkan harus mewajibkan pelaksanaan tiga elemen : cinta, kasih dan damai, (b) harus melarang keras aksi kekerasan dalam bentik apapun serta dengan alasan apapun apalagi atas nama agama yang bersangkutan dan (c) harus mengedepankan penegakan spirit penghormatan terhadap yang lain  maupun penghargaan terhadap kelompok diluar dirinya. Apabila ketiga syarat tersebut dapat terpenuhi maka suatu agama ( apapun dan berasal dari manapun ) maka agama tersebut sangat layak untuk dianut dan dipeluk oleh manusia, sebaliknya bila suatu agama ( apapun ) tidak dapat memenuhi salah satu syarat tersebut ( apalgi ketiganya ) maka agama tersebut sangat tidak layak untuk dan dipeluk oleh manusia walaupun diklaim berasal dari tuhan, bahkan seluruh manusia wajib meninggalkan nya: tentunya kita sepakat bahwa ketika agama menjadi pemicu aksi kekerasan , terorisme, brutalisme, dan barbarisme, maka saat itu agama menjadi candu umat . Dan pada saat bersamaan pula ia berada diujung tanduk kepunahan , akan dicibir, dan ditinggalkan pemeluknya , cepat ataupun lambat. Tentu saja hakikat yang dimaksudkan oleh Asrori Mulky adalah : bila islam sebagai agama ternyata tidak dapat memenuhi syarat kelayakan suatu agama ( terutama bagian point B dan C ), maka islam wajib ditinggalkan oleh umat islam bahkan seluruh manusia tanpa harus mempertimbangkan lagi eksistensi islam itu sendiri yang diklaim berasal dari Allah SWT. Keputusan  Inilah yang dimaksudkan dan diinginkan untuk terjadi dengan sebuah agenda tersembunyi ( hidden agenda ) berupa : (1) agar semua umat islam sepakat untuk memformat ulang seluruh pemikiran, konsep, ide, gagasandalam islam terutama yang berkenaan dengn perang ( aksi kekerasan terhadap pihak luar: kaum kufar) maupun sikap intoleransi, bila memang islam tetap akan dipertahankan sebagai agama yang layak pantas untuk dianut serta dipeluk oleh manusia atau (2) agar semua umat islam berada dalam keadaan putus asa bahkan skeptis terhadap kelayakan islam sebagai agama, karena mereka mendapati sangat sulit bahkan tidak mungkin memformat  ulang maupun menghilangkan konsep kekerasan ( perang) dan sikp intoleransi yang ada dalam islam , lalu pada gilirannya keputusasan dan sikap skeptis tersebut dipastikan akan menggiring opini umat islam untuk meninggalkan agama mereka tersebut dengan sukarela.
Dengan demikian, kristalisasi keputusan  yang terjadi pada para intelektual muslim tersebut ( yang diwakili oleh mohamad asrory Mulky, Muhamad Said Al-asymawi, Hasan hanafi) memiliki dua buah mata anak panah yang mengarah kedalam diri mereka sendiri dan kepada umat islam. Setiap saat mereka berusaha keras membuat proses kristalisasi  tersebut semakin keas supaya dapat menopang kepercayan diri mereka untuk membela meti-matian gagasan pengebirian dan pelumpuhan terhadap islam. Pada saat yang bersamaan mereka pun berusaha keras untuk menggiring opini umat islam ka arah keputusan secara sadar dan sukarela untuk meninggalkan islam sebagai agama mereka selama ini sekaligus mengumumkan kepada dunia bahwa islam adalah satu-satunya agama yang tidak layak dan tidak pantas dianut serta dipeluk oleh manusia , karena a-humanisme. Wal hasil inilah manusia –manusia yang dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah saw : (   )
Lalu,apa yang menjadikan : (a) agama ( apapun) seolah menjadi  atau bahkan menurut faktanya memang menjadi sumber  atau pemicu konflik dan kekerasan dan (b) seorang muslim saat mendapati fakta agama seperti itu (point a) maka serta merta saja dia membuat rumusan bahwa seharusnya agama itu tidak boleh dan tidak mungkin menjadi sumber konflik atau pemicu kekerasan.
      Perjalanan panjang manusia memastikan  bahwa secara naluriah mereka sangat membutuhkan suatu aturan (tidak bisa tidak alias harus ada) yang bukan berasal dari dirinya maupun sesama manusia lainya. Dorongan kearah hal bersifat endogenous ( dari daam manusia sendiri) dan dipicuoleh penginderan manusia sendiriterhadap realitas kehidupan mereka baik secara perorangan maupun scara keseluruhan , yaitu mereka mendapati bahwa menusia itu lemah ( ) , berkekurangan ( ) dan membutuhkan pihak lain ( ) . inilah keadaan yang akan mengantarkan manusia kepada tuhan  yang sejati  bila disertai dengan penggunaan aqal mereka untuk melekukan sejumlah pembuktiaan dan pengujian , yakni penggunaan dalil aqliy. Al-Quran memberikan gambaran proses penggunaan aqal ( )  dalam membuktkan eksistensi Tuhan berupa kisah ibrahim muda :
  (   )
Apa yang terjadi atau dilakukan oleh ibrahim muda harus juga dapat dilakukan oleh semua manusia hingga saat berakhirnya ke hidupan dunia itu sendiri, sebeb antar ibrahim muda dengan manusia lainya adalah sama saja yaitu sama-sama memiliki naluri ( ), indera terutama penglihatan dan pendengaran ( )  dan aqal beserta fungsinya ( ) . artinya , jika ibrahim muda dapat melakukan nya dan berhasil sampai  kepada ( ), maka siapapun dari manusia wajib dan harus melakukan hal yang serupa, sebab ( sekali lagi ) realitas ibrahim muda adalah sama dan sebangun alias identik-persis dengan manusia lainnya. Pencapaian  ( ) yang terjadi pada ibrahim muda dan manusia manapun, secara aqliy (   ) menuntut bahwa seluruh peraturan bagi kehidupan manusia di dunia wajib beasal dari Allah SWT dan mustahil datang dari manusia sendiri ( siapapun dia, baik manusia biasa maupun calon nabi atau Rasul). Inilah yang terungkap dari bagian kisah ibrahim muda : (    ) .begitu juga aqal manusia mendapati kenyataan bahwa Allah SWT menetapkan adanya pergantian para Rasul berikut risalahnya masing-masing yang berakibat risalah seorang rasull otomatis akan berakhir masa berlakunya dalam kehidupan manusia bersamaan dengan wafatnya Rasull yang bersangkutan. Dengan kata lain, berakhirnya risalah ( agama ) seorang rasull ( seiring wafatnya Rasull tersebut ) dan diganti oleh rasul berikutnya beserta risalah yang dia bawa, adalah perkara/persoalan /realitas yang juga diharuskan oleh aqal manusia. Hal itu karena aqal manusia telah berhasil memutuskan perkara besar yang paling mendasar ( ) yaitu (   ), sehingga apapun yang ditetapkan oleh Allah SWT termasuk pergantian para rasull berikut risalah nya masing-masing adalah perkara cabang disepakati oleh aqal manusia (   ) . inilah realitas ideal dan sikap orsinil manusia dalam menanggapi ketetapan Allah SWT berkenaan dengan pergantian Rasul berikut risalah nya ( agama)  masing-masing. Oleh karena itu, berdasarkan realtas ideal dan sikap orsinil manusia tersebut maka seharusnya (menurut aqal manusia sendiri) risalah atau agama yang ada di dunia dan dianut serta dipeluk oleh seluruh manusia saat ini hingga saat berakhirnya dunia itu sendiri adalah hanya dan hanya islam. Hal itu karena fakta kemanusiaan memastikan bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus oleh Allah SWT untuk manusia di dunia, sehingga risalah yang beliau bawa ( islam ) adalah agama terakhir yang menggantikan agama langit sebelumnya : Yahudi dan Nasrani. Jadi, bila realitas ideal dan sikap orsinil inilah yang disifati oleh semua manusia ( yahudi, nasrani dan yang lainnya ) maka dapat dipastikan tidak akan pernah ada konflik bernuansa atau berlatar belakang agama sebab hanya satu agama yang beredar dan dianut serta dipeluk oleh semua manusia di dunia. Begitu juga hal nya dengan aksi kekerasan atas nama suatu agama berikut penganutnya terhadap agama lain beserta penganutnya dapat dipastikan tidak akan pernah terjadi. Tegasnya, konflik bernuansa atau berlatar agama maupun aksi kekerasan atas nama suatu agama terhadap agama lain yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia adalah merupakan akibat dari satu sebab yang pasti yakni manusia telah tidak lagi mensifati dirinya dengan realitas ideal dan sikap orsinil tersebut. Keadaan kemanusiaan semakin diperburuk dengan adanya keputusan sebagian sangat besar mereka untuk memberlakukan ide aneh dan tidak manusiawi yaitu sekularisme yang mewajibkan agama dipisahkan dari kehidupan, poltik, dan negara, sehingga bilapun agama masih digunakan oleh manusia maka itu pun harus tunduk dan patuh kepada koridor/pakem/tatanan/sistema yang digariskan oleh sekularime: agama adalah urusan paling pribadi seorang manusia dengan tuhan nya alias agama itu hanyalah berada dalam entitas spiritualistik ritualistik. Sekularime juga mewajibkan para pengusung nya untuk selalu patuh kepada ketentuan lainnya yakni semua agama adalah sama saja dan tidak boleh diklaim paling benar dari suatu agama. Inilah konsep pluralisme yang merupakan pemikiran turunan dari konsep pokok sekularisme.
    Adapun sikap seorang muslim yang secara spontan menyimpulkan bahwa agama-agama sejatinya tidak boleh dan tidak mungkin menjadi sumber konflik atau pemicu kekerasan , ketika dia mendapati fakta ternyata agama justru berposisi seperti demikian, maka sifat tersebut adalah bukti pasti dan riil dari keterjebakan yang bersangkutan dalam kosef (    ) , yakni menjadikan fakta sembagai sumber pikr. Tentu saja konsef ini adalah sangat salah, karena fakta itu dari sisinya atau aspeknya yang manapun tidak lebih hanya fakta yang merupakan  : (a) akibat dari suatu sebab atau (b) bentuk penerapan riil ( baik utuh maupun sebagian, baik murni maupun ada penyimpangan ) dari suatu konsep atau (c) sikap/perbuatan/tingkah laku/sepak terjang manusia yang muncul dari dorongan naluriahnya. Artinya, bila dijadikan sumber berpikir maka dapat dipastikan hasil proses berpikirnya  yakni pemikiran (   ) akan salah, tidak mungkin benar. Sebagai contoh : bila fakta konflik atas nama agama dijadikan sebagai sumber berpikir maka dapat dipastikan bahwa penyelasaiannya ( hasil berpikir ) adalah : (a) melakukan dialog antar umat beragama atau (b) memaksa semua agama supaya lebih mengedepankan cinta, kasih dan damai. Padahal baik penyelesaian point a maupun point b , keduanya adalah sebentuk kedustaan dan kepura-puraan, sebab pada kenyataannya adalah tidak mungkin untuk melakukan dialog antar umat beragama dengan tujuan agar dapat menghilangkan sumber konflik kareana setiap agama tidak diragukan lagi memiliki klaim sebagai paling benar. Demikian juga memaksakan konsep cinta, kasih dan damai kepada semua agama adalah sebuah kemustahilan , sebab walau setiap agama memang sama-sama memiliki konsep tentang cinta, kasih dan damai namun realitas maupun realisasi dari konsep tersebut berbeda-beda dalam setiap agama. Namun, apabila fakta itu dijadikan objek berpikir ( ) , yakni memposisikan fakta sebagai persoalan atau permasalahan yang harus diselesaikan dengan cara menerapkan hukum /aturan/konsep/ketentuan yang telah terjamin keberadaanya maka hasilnya pasti akan benar, tidak mungkin salah . Sebagai contoh : fakta konflik atas nama agama atau antar umat beragama itu ternyata akibat manusia telah meninggalkan ideal maupun sikap orsinil mereka. Dengan demikian penyelasaiannya adalah : (a) menyadarkan pemikiran semua semua manusia supaya mereka kembali kepada realitas ideal  dan sikap orsinil atau (b) bila upaya penyadaran ternyata gagal maka dilakukan cara penyelesaian terakhir  yakni pemusnahaan dengan memerangi mereka sebanyak apapun jumlahnya, inilah solusi manusiawi yang ditetapkan dalam islam serta disepakati oleh aqal manusia.

No comments:

Post a Comment