Ulama adalah konseptor kekufuran : tuduhan yang sangat keji!
Husein Ja’far Al Hadar (Peminat Studi Agama dan Filsafat) dalam
tulisannya berjudul Mengem-bangkan Islam ‘Tinta’ (Republika,
Jumat 22 Januari 2010, OPINI, halaman 4) menyatakan :
Darah merupakan
simbol dari corak keberislaman yang cenderung berbasis ekstremis-militan yang
ditopang oleh pemahaman keislaman yang bersifat eksklusif-tekstualis. Corak
keberislaman ‘darah’ ini biasanya menjadikan pedang -simbol anarkisme- sebagai
media dakwah dan syiarnya. Corak keberislaman seperti itu banyak berkembang di
kawasan Timur Tengah, khususnya Afgha-nistan, Pakistan, dan Yaman.
Adapun tinta
merupakan simbol dari corak keberislaman berbasis moderat-pluralis yang
ber-fondasikan pemahaman keislaman yang bersifat inklusif-kontekstualis. Corak
keislaman ‘tinta’ ini biasanya menjadikan pena -simbol dialog dan toleransi-
sebagai media dakwah dan syiarnya. Islam yang bercorak ‘tinta’ inilah yang
berkembang di Indonesia. Pasalnya, sejak awal penyebarannya di Indonesia, Islam
memang disyiarkan dengan manajemen ‘tinta’, khususnya oleh Wali Songo.
Pada dasarnya,
Islam cenderung lebih mendorong umatnya untuk mengembangkan corak ke-berislaman
berbasis ‘tinta’. Hadis dan kisah yang diriwayatkan merupakan indikasi kuat dan
signi-fikan atas hal itu. Selain itu, Alquran pun selalu menjunjung tinggi dan
memuliakan kalangan ula-ma dibandingkan kalangan Muslim yang telah berpredikat
Mukmin sekalipun.
Bertolak dari
sini, sejatinya terlihat bahwa Islam cenderung menekankan umatnya untuk
me-ngembangkan corak keberislaman yang moderat, toleran, serta pluralis. Selain
itu, hal tersebut juga mengindikasikan bahwa sejatinya Islam cenderung
mengarahkan umatnya untuk berpikir dan me-mahami Islam secara kontekstualis
yang menjadi ciri khas kalangan ulama. Dalam artian, berbagai teks dan doktrin
Islam tidak dibaca dan dipraktikkan secara gegabah dan apa adanya. Namun,
seba-gaimana ciri kalangan ulama, teks dan doktrin-doktrin Islam itu dipahami
dan direnungkan secara mendalam dan komprehensif serta dikontekstualisasikan
dengan konteks diri atau pun umat Islam saat ini. Oleh karena itu, dalam
pandangan penulis, sejatinya Islam lebih menekankan umatnya un-tuk mensyiarkan
Islamnya secara toleran, moderat, serta damai berbasis dialog.
Dalam pandangan penulis, itulah yang membuat Islam dalam Alquran
dan hadis cenderung lebih mengarahkan dan mendidik umatnya untuk menjadi ulama
(Muslim yang pandai) dengan co-rak dan manajemen keberislaman berbasis ‘tinta’.
Hal itu bukan untuk menciptakan dualisme. Na-mun, karena ulama, tanpa harus
mengangkat pedang, ia niscaya akan mati dan dikenang sebagai se-orang syahid.
Selain itu, juga karena dengan corak dan manajemen keberislaman berbasis
‘tinta’, Islam akan tampak lebih ‘cerah’ dan mencerahkan umat manusia dengan
berbagai kreasi pena umatnya, sebagaimana terjadi dan berkembang di masa
Abbasiyah. Sehingga dengan begitu, Islam akan benar-benar menjadi rahmatan
lil alamin. Wallahualam.
Nampak jelas sejelas matahari di waktu zhuhur, Husein Ja’far Al
Hadar tengah berusaha keras memaksakan opini kepada umat Islam bahwa Allah SWT sangat
menekankan atau sangat merestui atau sangat
mengarahkan atau sangat mendorong mereka untuk menyebarluaskan
Islam atau meng-informasikan Islam kepada seluruh manusia dengan
corak dan manajemen keberislaman berbasis ‘tin-ta’ yakni corak keberislaman
berbasis moderat-pluralis yang berfondasikan pemahaman keislaman yang bersifat
inklusif-kontekstualis. Alasan untuk itu (menurut dia) adalah karena
dengan corak dan manajemen keberislaman berbasis ‘tinta’, Islam akan tampak
lebih ‘cerah’ dan mencerahkan umat manusia dengan berbagai kreasi pena umatnya,
sebagaimana terjadi dan berkembang di masa Abbasi-yah. Sehingga dengan begitu,
Islam akan benar-benar menjadi rahmatan lil alamin. Oleh karena itu
(sekali lagi menurut dia), Allah SWT lebih menekankan umatnya untuk mensyiarkan
Islamnya secara toleran, moderat, serta damai berbasis dialog : dalam
pandangan penulis, sejatinya Islam lebih mene-kankan umatnya untuk mensyiarkan
Islamnya secara toleran, moderat, serta damai berbasis dialog.
Al Hadar memang menyatakan : Namun, tulisan ini tidak hendak
menarik garis pemisah yang bersifat paradoks antara syuhada (corak dan
manajemen keberislaman berbasis ‘darah’) vis a vis ula-ma (corak dan manajemen
keberislaman berbasis ‘tinta’). Tulisan ini juga tidak hendak menciptakan
dualisme corak keberislaman yang paradoks, yang kemudian menuntut umat Islam
untuk memilih sa-lah satunya. Bagi penulis, dua corak keberislaman -baik
‘tinta’ maupun ‘darah’- tersebut dipahami se-bagai salah satu bentuk kekayaan
dan keragaman khazanah keberislaman. Namun demikian, secara kasar dan
vulgar dia telah mengingkari pernyataannya tersebut dan itu ditunjukkan secara
pasti oleh ucapannya yang lain : Pada dasarnya, Islam cenderung lebih
mendorong umatnya untuk mengembang-kan corak keberislaman berbasis ‘tinta’,
atau Bertolak dari sini, sejatinya terlihat bahwa Islam cende-rung
menekankan umatnya untuk mengembangkan corak keberislaman yang moderat,
toleran, serta pluralis, atau sejatinya Islam cenderung
mengarahkan umatnya untuk berpikir dan memahami Islam secara kontekstualis yang
menjadi ciri khas kalangan ulama, atau Oleh karena itu, dalam
pandangan penulis, sejatinya Islam lebih menekankan umatnya untuk mensyiarkan
Islamnya secara toleran, mode-rat, serta damai berbasis dialog, atau
Dalam pandangan penulis, itulah yang membuat Islam dalam Alquran dan hadis
cenderung lebih mengarahkan dan mendidik umatnya untuk menjadi ulama (Mus-lim
yang pandai) dengan corak dan manajemen keberislaman berbasis ‘tinta’, atau
Selain itu, juga ka-rena dengan corak dan manajemen keberislaman berbasis
‘tinta’, Islam akan tampak lebih ‘cerah’ dan mencerahkan umat manusia dengan
berbagai kreasi pena umatnya, sebagaimana terjadi dan berkem-bang di masa
Abbasiyah.
Jadi dapat dipastikan bahwa posisi Al Hadar sendiri adalah
pengusung corak dan manajemen keberislaman berbasis ‘tinta’ dan hal itu
ditunjukkan oleh pernyataan : Oleh karena itu, dalam panda-ngan penulis,
sejatinya Islam lebih menekankan umatnya untuk mensyiarkan Islamnya secara
toleran, moderat, serta damai berbasis dialog. Pernyataan ini pun
memastikan bahwa yang dimaksudkan de-ngan corak dan manajemen keberislaman
berbasis ‘tinta’ adalah mengembangkan corak keberislaman yang moderat,
toleran, serta pluralis, atau mensyiarkan Islamnya secara toleran,
moderat, serta damai berbasis dialog. Sehingga, walaupun Al Hadar
menyatakan : Namun, menurut penulis, umat Islam jus-tru dituntut untuk
mengakomodasi keduanya secara apik, tetapi ucapan ini hanyalah kamuflase
dan manipulatif sebab hakikatnya dia secara tegas menolak dan
menentang adanya corak dan manajemen keberislaman berbasis ‘darah’.
Penolakan dan penentangan tersebut semakin ditegaskan dengan ada-nya sifat
“mengerikan” yang dengan sengaja dia tempelkan kepada corak dan manajemen
keberislam-an berbasis ‘darah’ yakni : Darah merupakan simbol dari corak
keberislaman yang cenderung berba-sis ekstremis-militan yang ditopang oleh
pemahaman keislaman yang bersifat eksklusif-tekstualis. Co-rak keberislaman
‘darah’ ini biasanya menjadikan pedang -simbol anarkisme- sebagai media dakwah
dan syiarnya, atau Selain itu, hal tersebut juga mengindikasikan
bahwa sejatinya Islam cenderung me-ngarahkan umatnya untuk berpikir dan
memahami Islam secara kontekstualis yang menjadi ciri khas kalangan ulama.
Dalam artian, berbagai teks dan doktrin Islam tidak dibaca dan dipraktikkan
secara gegabah dan apa adanya.
Ucapan Al Hadar : Dalam artian, berbagai teks dan doktrin Islam
tidak dibaca dan dipraktikkan secara gegabah dan apa adanya, merupakan
vonis sekaligus ultimatum pendiskreditan bagi siapa saja yang “berani”
mengusung corak dan manajemen keberislaman berbasis ‘darah’, bahwa
mereka adalah bukan bagian dari ulama dan juga mereka adalah umat
Islam yang gegabah alias sembarangan dalam membaca dan
mempraktikkan Islam. Begitu juga ucapan Al Hadar lainnya : Dalam pandangan
penu-lis, itulah yang membuat Islam dalam Alquran dan hadis cenderung lebih
mengarahkan dan mendidik umatnya untuk menjadi ulama (Muslim yang pandai)
dengan corak dan manajemen keberislaman ber-basis ‘tinta’, merupakan
tudingan sadis bagi para pengusung corak dan manajemen keberislaman
ber-basis ‘darah’ bahwa mereka adalah komunitas Muslim yang bodoh
karena telah memilih corak mau-pun manajemen yang salah dalam
membaca, mempraktikkan serta mendakwahkan Islam.
Gagasan Al Hadar yang lebih mengerikan lagi adalah dia telah
menuding ulama sebagai konsep-tor sejumlah ide yang nyata-nyata bukan berasal
dan tidak bersumber dari Islam alias datang dari luar Islam, tegasnya ide-ide
kekufuran yakni : sikap moderat, toleran, pluralis, serta cinta damai
berbasis dialog. Bahkan lebih sadis dan brutal lagi dari itu, Al Hadar
telah menuding Allah SWT mewajibkan umat Islam untuk menjadikan seluruh ide
kufur tersebut sebagai sikap mereka dalam kehidupan dunia. Al Hadar dengan
tegas menyatakan : Bertolak dari sini, sejatinya terlihat bahwa Islam
cenderung me-nekankan umatnya untuk mengembangkan corak keberislaman yang
moderat, toleran, serta pluralis. Oleh karena itu, dalam pandangan penulis,
sejatinya Islam lebih menekankan umatnya untuk mensyi-arkan Islamnya secara
toleran, moderat, serta damai berbasis dialog.
Sadisnya lagi, ternyata Nabi Muhammad saw sama sekali tidak
mengindahkan dan melaksanakan ketentuan Allah SWT tersebut, karena beliau
beserta umat Islam saat itu (اَلسَّابِقُوْنَ
الأَوَّلُوْنَ) justru memi-lih,
mengusung dan memberlakukan Islam yang menurut Al Hadar sebagai corak dan
manajemen ke-berislaman berbasis ‘darah’ yakni corak keberislaman yang
cenderung berbasis ekstremis-militan yang ditopang oleh pemahaman keislaman
yang bersifat eksklusif-tekstualis dan biasanya menjadikan pedang -simbol
anarkisme- sebagai media dakwah dan syiarnya. Keanehannya adalah walaupun
Nabi Muhammad saw dan umat Islam telah maksiat kepada Allah SWT namun ternyata
justru Allah SWT memberikan pujian, penghargaan dan keistimewaan yang luar
biasa baik kepada Nabi saw (bahkan ti-dak mencopot kedudukannya sebagai
Rasulullah) maupun kepada اَلسَّابِقُوْنَ
الأَوَّلُوْنَ. Allah SWT berkata :
يس
وَالْقُرْءَانِ الْحَكِيمِ إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ عَلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ تَنْزِيلَ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ (يس : 1-5)
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ (التوبة : 100)
Wal hasil, Husein Ja’far Al Hadar telah menggiring opini umat Islam
sedemikian rupa sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain harus
menyimpulkan bahwa Allah SWT, Nabi Muhammad saw, para sahabat, para tabi’in dan
para tabi’ut tabi’in, semuanya telah salah dalam mengatur kehidup-an dunia.
Allah SWT telah salah dalam menetapkan Muhammad sebagai manusia
yang menerima wahyu yakni Islam, sebab ternyata Muhammad telah secara prinsip
dan mendasar menyalahi wahyu itu sendiri. Nabi Muhammad saw telah salah
karena justru membangkang perintah Allah SWT yang me-wajibkan beliau untuk
memilih, mengusung dan mempraktikkan corak dan manajemen keberislaman
berbasis ‘tinta’, namun justru beliau memilih, mengusung dan mempraktikkan corak
dan manajemen keberislaman berbasis ‘darah’. Tentu saja apalagi para ulama
(para sahabat, para tabi’in dan para ta-bi’ut tabi’in) seluruhnya telah salah
sebab mereka justru berpegang teguh kepada seluruh ucapan, per-buatan maupun
taqrir Nabi Muhammad saw selama mereka hidup di dunia, padahal Nabi Muhammad
saw telah salah karena menyalahi ketentuan Allah SWT tersebut. Lalu, siapa
yang masih bersikap be-nar kemudian berhasil menjalankan serta
memberlakukannya? Lebih mendasar lagi adalah siapa yang
berwewenang (صَاحِبُ الصَّلاَحِيَّاتِ) menetapkan realitas “benar” setelah Allah
SWT sendiri ternyata “salah dan bersalah”.
Nampaknya (jika memang bukan), Al Hadar telah secara sadar
mengadopsi filsafat yang telah lama dikembangkan lalu dipertahankan di kalangan
Syi’ah yakni Jibril itu telah salah menyampaikan wahyu yakni seharusnya
kepada Ali bin Abi Thalib dan bukan kepada Muhammad bin Abdillah!
Entahlah, yang pasti adalah seluruh curahan pikiran Al Hadar dalam tulisannya
tersebut Mengembang-kan Islam ‘Tinta’ memang secara eksplisit (مَنْطُوْقًا) telah melemparkan
tuduhan sangat keji, sadis dan brutal kepada para ulama (para sahabat, para
tabi’in dan para tabi’ut tabi’in) bahwa mereka adalah kon-septor ide-ide kufur sikap
moderat, toleran, pluralis, serta cinta damai berbasis dialog. Lalu
secara im-plisit (مَفْهُوْمًا), dia telah menempatkan Allah SWT dan Nabi
Muhammad saw sebagai telah bersalah da-lam menetapkan maupun memberlakukan
Islam sebagai peraturan bagi kehidupan manusia di dunia.
Mengapa Al Hadar bersikap demikian? Terlepas dari apakah dia
adalah seorang Syi’ah sejati atau bukan (sama sekali tidak penting),
kepastiannya adalah dia telah mempertelakan dan memastikan diri-nya sebagai
bagian dari barisan umat Islam yang mempraktikkan ide pragmatis realitas
sebagai sum-ber berpikir (اَلْوَاقِعُ
مَصْدَرُ التَّفْكِيْرِ) dan kesediaan untuk
menerima tuntutan realitas (اَلرِّضَا
بِأَمْرِ الْوَاقِعِ).
Al Hadar adalah bagian dari umat Islam yang telah lebih dari satu
abad menjalani kehidupan bu-kan dalam pola kehidupan Islami dengan wadah Khilafah
Islamiyah. Tentu saja, dia sebagaimana pen-dahulunya (bapaknya, ibunya,
saudaranya, teman sebayanya, gurunya, maupun tokoh yang diidolakan-nya seperti
Suhrawardi, Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar, Murtadha Muthahhari, Ali Syari’ati,
Ibnu Sina, Al-Ghazali, Mulla Shadra, Khomaeni, Gus Dur) adalah generasi umat
Islam yang dilahirkan lalu dewasa serta berpikir dalam kehidupan berbasis
sekularisme dengan wadah negara kebangsaan. Sekularisme di satu sisi,
mewajibkan posisi dan eksistensi agama hanya sebagai urusan pribadi (private
business) dan terlarang bertandang ke ranah publik (negara dan politik).
Pada saat yang sama di sisi lainnya, sekula-risme memaksa semua agama untuk
menyamakan diri yakni sama-sama benar serta berunjuk kerja ber-basis konsep
spiritualistik ritualistik. Padahal hakikat agama (empiris) memastikan bahwa
setiap agama itu berbeda satu sama lainnya dan pada setiap agama itu dipastikan
ada klaim paling benar yang harus dibela, dipertahankan bahkan diperjuangkan
hingga mati sekali pun.
Fakta kehidupan dunia sekularistik tersebut telah memaksa umat
Islam termasuk Al Hadar untuk bersikap pragmatis ketika dihadapkan kepada :
1.
realitas Islam (agama yang mereka anut) yang menyatakan klaim
kepastian sebagai paling benar sekaligus menetapkan seluruh agama
lain (termasuk yang bersumber dari Taurah dan Injil) sebagai salah dan
harus dihentikan pemberlakuannya. Islam pun memastikan bahwa siapa pun
orangnya yang menolak masuk Islam secara sadar dan menolak membayar jizyah
sebagai bukti ketundukkan-nya kepada kekuasaan Islam (walau mereka tetap dalam
agamanya masing-masing), seluruhnya adalah manusia yang wajib diperangi hingga
terwujud kondisi hanya Islam yang diberlakukan da-lam kehidupan dunia secara
sempurna, menyeluruh dan utuh. Mereka menemukan fakta tersebut paling tidak
dari pernyataan Allah SWT :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ
فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ
بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
2.
kesepakatan manusia pengusung utama sistema kufur sekularisme
yakni kaum kufar berikut para loyalis setia mereka termasuk dari kalangan umat
Islam sendiri untuk menyingkirkan agama (apa pun, apalagi Islam) dari interaksi
antar manusia dalam kehidupan. Lalu kehidupan sendiri hanya bi-sa diatur oleh
sistema yang formulasinya disepakati oleh paling tidak sebagian besar manusia
di du-nia, yakni demokrasi dan kapitalisme.
Konsep pragmatisme yang mereka adopsi lalu
dijadikan sebagai sikap harian dalam menghadapi dua kenyataan diametral
tersebut adalah : (a) realitas sebagai sumber berpikir (اَلْوَاقِعُ مَصْدَرُ التَّفْكِيْرِ)
dan (b) اَلرِّضَا بِأَمْرِ الْوَاقِعِ (kesediaan untuk menerima tuntutan
realitas). Inilah yang mendorong Al Hadar untuk memang tidak menolak fakta
bahwa Islam wajib disebarluaskan alias didakwahkan kepada seluruh manusia,
namun metode yang menurut dia lebih ditekankan, lebih diridlai dan lebih
direstui oleh Allah SWT untuk tujuan itu adalah corak dan manajemen
keberislaman berbasis ‘tinta’ yang akan menjadi-kan Islam tampak lebih
‘cerah’ dan mencerahkan umat manusia dengan berbagai kreasi pena umat-nya,
sebagaimana terjadi dan berkembang di masa Abbasiyah.
Sikap berbasis konsep pragmatisme yang serupa dengan Al Hadad juga
ditunjukkan oleh sebagi-an sangat besar umat Islam pengusung humanisme dan
pluralisme, seperti :
1.
Komaruddin Hidayat yang menyatakan : Jadi, meskipun gerakan agama
kembali bangkit, masih ada pertanyaan besar, apa jaminannya bahwa kebangkitan
agama akan memberikan kehidupan le-bih baik di masa depan? Atau : Jadi, tanpa
melibatkan Tuhan saja potensi konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan
itu sudah terjadi. Terlebih lagi jika memperoleh amunisi tambahan berupa
ketidakadilan ekonomi dan pendidikan serta sentimen agama, maka proses
demokratisasi yang kita perjuangkan akan digerogoti oleh konflik antarkelompok
kepentingan yang tidak rasional. (“Senja Kala Sekularisme”, Kompas Jumat 15
Januari 2010, OPINI, halaman 6).
2.
Nasaruddin Umar (Dirjen Bimas Islam Depag) yang menyatakan : Kata Islam
itu sendiri mengisya-ratkan jalan tengah atau moderat. Dari segi bahasa saja, Islam
sudah mengisyaratkan jalan tengah, moderat, dan tentu menolak kekerasan.
Seorang muslim sejatinya mengedepankan kedamaian, ke-tundukan, kepasrahan, dan
pada akhirnya mengejawantahkan ketenangan lahir batin. Agaknya ku-rang pas jika
panji-panji Islam dibawa-bawa untuk sesuatu yang menyebabkan lahirnya kekacauan
dan ketidaknyamanan. Apalagi jika nama Islam digunakan untuk melayangkan
nyawa-nyawa orang yang tidak berdosa. Sesuai dengan namanya, Islam adalah agama
kedamaian dan agama kemanu-siaan. Penggunaan kata Islam dalam Alquran
dan hadis sesungguhnya lebih dominan sebagai fe-minine word ketimbang masculine
word. Alquran sendiri lebih menonjol sebagai the feminine book
ketimbang the masculine word. Bahkan, Alquran melukiskan Allah lebih
menonjol sebagai The Mother God ketimbang sebagai The Father God.
(“Islam”, Republika Senin 18 Januari 2010, hik-mah, halaman 1).
Nampak sekali, seorang Dirjen Bimas Islam Depag NKRI bersedia
mengorbankan dirinya untuk menghinakan Allah SWT demi menyenangkan kaum kufar
sekaligus meyakinkan mereka bahwa Islam adalah agama yang anti perang
dan justru sangat mencintai perdamaian. Dia begitu sombong,
angkuh dan sembrono dengan menyatakan : Bahkan, Alquran melukiskan Allah lebih
menonjol sebagai The Mother God ketimbang sebagai The Father God.
Demi tujuan pragmatis, dia tidak lagi peduli
terhadap perkara yang diharamkan yakni membahas sifat-sifat Allah SWT atau
mempermisalkan Allah SWT dengan makhluq, bahkan dia begitu jumawa dengan
menuding Allah SWT sebagai The Mother God atau The Father God.
Padahal Allah SWT sen-diri menyatakan :
فَلَا
تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ (النحل : 74)
فَاطِرُ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ
الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (الشورى : 11)
مَا
اتَّخَذَ اللَّهُ مِنْ وَلَدٍ وَمَا كَانَ مَعَهُ مِنْ إِلَهٍ إِذًا لَذَهَبَ
كُلُّ إِلَهٍ بِمَا خَلَقَ وَلَعَلَا بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ سُبْحَانَ اللَّهِ
عَمَّا يَصِفُونَ (المؤمنون :91)
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
وَكِيلٌ لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ
اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (الأنعام : 102-103)
Realitas ulama dan syuhada dalam kehidupan
Islami
Al Hadar menyatakan : Dalam pandangan penulis, itulah yang
membuat Islam dalam Alquran dan hadis cenderung lebih mengarahkan dan mendidik
umatnya untuk menjadi ulama (Muslim yang pandai) dengan corak dan manajemen
keberislaman berbasis ‘tinta’.
Menurut Al Hadar realitas ulama adalah muslim
yang pandai. Benarkah realitas ulama yang di-tunjukkan oleh Al-Quran
dan As-Sunnah seperti demikian? Allah SWT menyatakan :
أَلَمْ
تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ
مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ
أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ
مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ
الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (فاطر : 27-28)
Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya menyampaikan penjelasan
sebagai berikut berkenaan dengan per-nyataan Allah SWT : إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
قَالَ
اَلرَّبِيْعُ بْنُ أَنَسٍ مَنْ لَمْ يَخْشَ اللهَ تَعَالَى فَلَيْسَ بِعَالِمٍ.
وَقَالَ مُجَاهِدٌ: إِنَّمَا الْعَالِمُ مَنْ خَشِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ. وَعَنِ
أبْنِ مَسْعُوْدٍ: كَفَى بِخَشْيَةِ اللهِ تَعَالَى عِلْمًا وَبِاْلاِغْتِرَارِ
جَهْلاً. وَقِيْلَ لِسَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ: مَنْ أَفْقَهُ أَهْلِ
الْمَدِيْنَةِ؟ قَالَ أَتْقَاهُمْ لِرَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَعَنْ مُجَاهِدٍ
قَالَ: إِنَّمَا الْفَقِيْهُ مَنْ يَخَافُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ. وَعَنْ عَلِيٍّ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ الْفَقِيْهَ حَقُّ الْفَقِيْهِ مَنْ لَمْ
يُقْنِطِ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ, وَلَمْ يَرْخُصْ لَهُمْ فِيْ مَعَاصِي
اللهِ تَعَالَى, وَلَمْ يُؤَمِّنْهُمْ مِنْ عَذَابِ اللهِ, وَلَمْ يَدْعُ
الْقُرْآنَ رَغْبَةً عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ; إِنَّهُ لاَ خَيْرَ فِيْ عِبَادَةٍ
لاَ عِلْمَ فِيْهَا, وَلاَ عِلْمَ لاَ فِقْهَ فِيْهِ, وَلاَ قِرَاءَةَ لاَ
تَدَبُّرَ فِيْهَا.
Ar-Rabii’ bin
Anas berkata : siapa saja yang tidak takut kepada Allah SWT, maka dia bukanlah
seo-rang alim. Mujahid berkata : hanya sesungguhnya seorang alim itu adalah
seseorang yang takut ke-pada Allah ‘Azza wajalla. Dari Ibnu Mas’ud : cukuplah
dengan takut kepada Allah SWT sebagai bukti berilmu dan dengan kecongkakan
menjadi bukti kebodohan. Dikatakan kepada Sa’ad bin Ibrahim : siapakah yang
paling faqih dari penduduk Madinah? Dia menjawab : dia adalah yang paling taqwa
kepada Rabnya ‘Azza wajalla. Dari Mujahid berkata : hanya sesungguhnya seorang
yang faqih itu adalah seseorang yang takut kepada Allah ‘Azza wajalla. Dari Ali
ra berkata : sungguh seorang faqih yang sejati itu adalah seseorang yang tidak
membuat manusia putus asa dari rahmat Allah, tidak mem-berikan dispensasi
(rukhshah) kepada mereka dalam maksiat kepada Allah SWT, tidak menjadikan
me-reka merasa aman dari adzab Allah, tidak menyerukan Al-Quran sedemikian rupa
sehingga memaling-kan manusia dari Al-Quran; ingatlah tidak ada kebaikan apa
pun dalam ibadah tanpa disertai ilmu dalam melaksanakannya dan tidak ada ilmu
yang tanpa disertai pemahaman dalam ilmu tersebut dan tidak ada pembacaan (qiraah)
yang tidak disertai tadabbur dalam pembacaan itu.
Dengan demikian berdasarkan pendapat para
ulama sejati (خِيَارُ الْعُلَمَاءِ اَوِ
الْفَقِيْهُ حَقُّ الْفَقِيْهِ)
tersebut yakni sa-habat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, memastikan bahwa realitas
ulama adalah bukan seperti yang diklaim oleh Al Hadar yaitu sekedar muslim
yang pandai. Realitas ulama sepanjang kehidupan Islami dalam wadah
Khilafah Islamiyah terutama pada masa Khulafa Rasyidun, ditunjukkan secara
pasti oleh sikap dan sepak terjang umat Islam saat itu yang sepenuhnya taat
kepada Allah SWT dengan aksi riil berupa pemberlakuan Islam secara sempurna,
menyeluruh dan utuh. Sehingga sangat mudah untuk menunjuk secara inderawi bahwa
seluruh sahabat Nabi Muhammad saw adalah ulama, seluruh tabi’in adalah ula-ma
dan sebagian sangat besar tabi’ut tabi’in adalah ulama. Lalu pada saat ini
ketika Khilafah Islamiyah telah hampir 86 tahun hilang dari arena kehidupan
dunia, adakah seorang alim atau para ulama itu?
Jawabannya tentu saja tidak boleh bertumpu atau didasarkan kepada
sejumlah gelar atau predikat atau sertifikasi atau lainnya yang saat ini sangat
lumrah dilekatkan kepada seseorang : KH, Ustadz, Ajengan, Pengersa, Prof., DR.,
MAg., SAg., MA., Hadratusy Syaikh, Mu’allim dan sebagainya, mela-inkan wajib dikembalikan
atau distandardisasikan kepada realitas yang berlaku faktual ketika
umat Islam berada dalam kehidupan Islami, terutama masa pemerintahan Khulafa
Rasyidun. Jika hasil peme-taan dengan realitas tersebut ternyata ada umat Islam
yang tercakup dalam peta realitas, maka dapat di-pastikan dia atau mereka
itu adalah ulama. Sebaliknya jika hasil pemetaan dengan peta realitas terse-but
sama sekali tidak ada satu orang pun yang tercakup di dalamnya,
maka tidak perlu diragukan lagi bahwa saat ini memang tidak ada seorang
alim pun apalagi sekelompok ulama.
Pemetaan untuk menetapkan kepastian tersebut adalah sangat
penting dan krusial sebab sangat erat kaitannya dengan keabsahan ucapan
maupun perbuatan seluruh umat Islam saat ini yang pada fak-tanya selalu
dinisbahkan kepada pendapat serta penjelasan seseorang atau sekelompok
orang yang di-posisikan atau diklaim sebagai ulama. Aspek krusialnya adalah
terletak pada keharusan Islami bahwa ilmu itu harus berpindah secara runut dan
urut bersambung hingga kepada Rasulullah saw alias ilmu itu wajib manqul : لاَبُدَّ اَنْ يَكُوْنَ الْعِلْمُ مَنْقُوْلاً.
Lalu, bagaimana halnya dengan realitas syuhada? Apakah pernyataan
Al Hadar tentang syuhada yakni : Seorang Muslim dituntut untuk menjadi ulama
(orang yang berilmu) atau setidaknya ber-Islam secara pandai. Sebab, dengan
begitu, ketika mati pun ia akan mati dan dikenang sebagai seorang sya-hid. Ia
akan menjadi ulama yang berlayar dengan bahtera syuhada menuju Tuhannya,
dapat dibenar-kan atau sesuai dengan realitas syuhada yang ditunjukkan oleh
sumber dalil dalam Islam?
Syahadah adalah realitas naqliyah dan bukan
aqliyah yakni hakikat yang ditetapkan sifatnya oleh wahyu (دَلِيْلٌ نَقْلِيٌّ)
dan aqal sama sekali tidak akan mampu menjangkau hakikat tersebut karena masuk
dalam kategori hakikat ruhiyah (اَلْحَقِيْقَةُ
الرُّوْحِيَّةُ) dan bukan hakikat
terindera (اَلْحَقِيْقَةُ الْحِسِّيَّةُ). Sehingga ji-ka aqal dipaksakan untuk
menetapkan hakikat syahadah maka dapat dipastikan hasilnya akan salah se-bab di
luar peruntukkan aqal itu sendiri bahkan di luar batas kemampuannya. Inilah
yang diperingatkan dengan keras oleh Allah SWT kepada manusia sehubungan dengan
penggunaan aqal :
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا
وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (البقرة : 216)
Tanggapan manusia bahwa perang itu adalah كُرْهٌ لَهُمْ
(sesuatu yang mereka benci) tentu saja manusiawi yakni muncul dari
naluri mempertahankan diri (غَرِيْزَةُ
الْبَقَاءِ) yang melekat dalam
diri mereka secara pasti sejak lahir ke dunia. Lalu karena indera manusia
mendapati realitas perang sebagai aktivitas pembunu-han, pengrusakan bahkan
penghancuran massal, maka aqal pun memastikan bahwa perang itu adalah شَرٌّ لَهُمْ
(sesuatu yang buruk bagi mereka). Jadi ada kesepakatan antara
respon naluriah dengan keputus-an aqal (حُكْمُ
الْعَقْلِ) terhadap perang yakni كُرْهٌ وَشَرٌّ.
Ternyata kesepakatan naluri dan aqal manusia ten-tang perang adalah salah,
sehingga dikoreksi oleh Allah SWT dengan sebuah kepastian bahwa keputus-an
salah tersebut (الْقِتَالُ كُرْهٌ وَشَرٌّ) terjadi karena aqal sama sekali tidak
memiliki informasi apa pun ten-tang realitas perang : وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ. Kepastian kesalahan dalam keputusan itu
semakin jelas bagi aqal sendiri ketika mendapati dua fakta yakni perang atas
perintah Allah SWT (اَلْقِتَالُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ) dan perang atas perintah selain Allah SWT (اَلْقِتَالُ فِيْ سَبِيْلِ الطَّاغُوْتِ).
Kedua jenis perang itu sama saja secara realitas terindera yakni rangkaian
aktivitas pembunuhan, pengrusakan dan pemusnahan massal sehing-ga aqal dengan
sendirinya memutuskan bahwa kedua jenis perang itu sama persis. Namun kemudian
datanglah informasi wahyu kepada aqal yang menyatakan bahwa اَلْقِتَالُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ خَيْرٌ وَوَاجِبٌ, sedangkan اَلْقِتَالُ
فِيْ سَبِيْلِ الطَّاغُوْتِ شَرٌّ وَحَرَامٌ.
Penetapan realitas خَيْرٌ وَوَاجِبٌ maupun شَرٌّ
وَحَرَامٌ itulah yang tidak akan
per-nah mungkin dijangkau oleh aqal apalagi naluri manusia, sehingga harus
dikembalikan kepada Allah SWT Pencipta sekaligus Pemilik semua realitas yang
berlaku di dunia.
Demikian juga dalam penetapan realitas
syahadah (orangnya اَلشَّهِيْدُ atau اَلشُّهَدَاءُ) baik aqal apalagi naluri adalah mustahil
mampu menetapkannya dan itu sangat jelas ditunjukkan oleh ayat Al-Quran :
الَّذِينَ
ءَامَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ
فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ
الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا (النساء : 76)
Syahadah
dipastikan terjadi pada realitas الَّذِينَ
ءَامَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ,
sehingga seluruh kaum mukmin yang terbunuh di sana adalah syuhada berdasarkan
pernyataan Rasulullah saw :
مَا
تَعُدُّونَ الشَّهِيدَ فِيكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ قُتِلَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ قَالَ إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ
قَالُوا فَمَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي
الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ (رواه
مسلم)
وَمَا تَعُدُّونَ الشَّهَادَةَ
قَالُوا الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ
وَالْغَرِيقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْهَدَمِ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ
شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرَقِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدَةٌ
(رواه النسائي)
خَمْسٌ
مَنْ قُبِضَ فِي شَيْءٍ مِنْهُنَّ فَهُوَ شَهِيدٌ الْمَقْتُولُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْمَطْعُونُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ
وَالنُّفَسَاءُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ (رواه النسائي)
مَا
تَعُدُّونَ الشَّهِيدَ قَالُوا الَّذِي يُقَاتِلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى
يُقْتَلَ قَالَ إِنَّ الشَّهِيدَ فِي أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيلٌ الْقَتِيلُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالطَّعِينُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْغَرِيقُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْخَارُّ عَنْ دَابَّتِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
شَهِيدٌ وَالْمَجْنُوبُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ (رواه احمد)
sedangkan kaum kufar itu secara sikap
orisinal mereka adalah tidak mungkin berperang selain atas pe-rintah thaghut (وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ) dan jika mereka terbunuh tentu saja bukan
syahadah yang diraih melainkan kepastian identitas diri mereka sebagai أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ.
Lalu, bagaimana status umat Islam yang berperang dalam rangka menjalankan tugas
dari pemerintah negara kebangsaannya masing-masing saat ini? Jawabannya adalah
singkat saja yakni umat Islam tersebut telah melakukan perbuatan yang diharamkan
oleh Islam dan kematian mereka adalah pasti sia-sia alias konyol
sekaligus memas-tikan status mereka sebagai أَوْلِيَاءَ
الشَّيْطَانِ.
Wal hasil, untuk persoalan realitas syahadah pun Al Hadar memaksa
aqal memutuskan perkara yang berada di luar jangkauannya dan nampaknya yang
mendorong dia untuk menetapkan realitas sya-hadah seperti yang ditunjukkan
dalam tulisannya tersebut sama sekali bukan aqalnya melainkan kepen-tingan
naluriahnya, yakni keinginan dirinya supaya Islam itu akan tampak lebih
‘cerah’ dan mencerah-kan umat manusia dengan berbagai kreasi pena umatnya,
sebagaimana terjadi dan berkembang di ma-sa Abbasiyah. Jadi, Al
Hadar telah mengingkari dan menyalahi ucapannya sendiri saat menyatakan
: Selain itu, hal tersebut juga mengindikasikan bahwa sejatinya Islam
cenderung mengarahkan umatnya untuk berpikir dan memahami Islam secara
kontekstualis yang menjadi ciri khas kalangan ulama. Da-lam artian, berbagai
teks dan doktrin Islam tidak dibaca dan dipraktikkan secara gegabah dan apa
adanya. Hal itu karena ternyata dialah yang paling awal melakukan aksi yang
dia hina sendiri yakni membaca dan mempraktikkan Islam secara gegabah dan
apa adanya. Fakta kekisruhan pikiran dan kekacauan sikap dia semakin
memastikan bahwa dirinya adalah sama sekali bukan bagian dari ulama
melainkan yang pasti dia adalah pengikut setia sekaligus loyalis
sejati para murtadin seperti Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar, Ibnu Sina,
Gus Dur dan lainnya masih banyak.
Lalu, bagaimana posisi ulama dan syuhada yang
benar dalam kehidupan Islami dengan wadah Khilafah Islamiyah? Kepastiannya yang
tidak mungkin ditakwilkan dengan cara apa pun adalah selu-ruh dalil (ayat
maupun hadits) yang menunjukkan kewajiban perang alias jihad dalam rangka
menye-barluaskan Islam ke seluruh dunia, ditujukan kepada dan pelakunya adalah
Nabi Muhammad saw dan para sahabat yang saat itu hidup bersama dengan beliau,
antara lain :
يَاأَيُّهَا
النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ
عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ
يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
(الأنفال : 65)
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ (التوبة : 29)
انْفِرُوا
خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (التوبة : 41)
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (التوبة : 122)
عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ
أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
خَيْرًا ثُمَّ قَالَ اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ
كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا
وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ
فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ
فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ
أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى
التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ
أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا
عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا
فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي
عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ
لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ
الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ
أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ
بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ (رواه مسلم)
Kepastian lainnya adalah seluruh umat Islam yang ada saat
seluruh dalil tersebut disampaikan oleh Ra-sulullah saw, tentu saja mereka
adalah ulama sejati (خِيَارُ الْعُلَمَاءِ اَوِ
الْفَقِيْهُ حَقُّ الْفَقِيْهِ). Realitas tersebut ter-bukti dari
keberhasilan mereka melaksanakan bahkan memberlakukan seluruh kewajiban perang
dan jihad tersebut dengan sempurna dan utuh. Artinya, mereka nyata-nyata telah
berhasil menundukkan se-luruh kepentingan naluriahnya (هَوَاهُمْ وَنَفْسُهُمْ) kepada ketentuan Allah SWT yang ada
dalam Islam dan telah disampaikan oleh Rasulullah saw kepada mereka. Jadi,
merekalah yang dimaksudkan oleh per-nyataan Rasulullah saw berikut :
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِالْمُؤْمِنِ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى أَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ النَّاسُ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ
هَجَرَ الْخَطَايَا وَالذَّنُوبَ (رواه احمد)
الْمُجَاهِدُ
مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه احمد)
Wal hasil, karena mereka adalah wujud riil dari إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ, maka berhasil merea-lisir realitas mujahid
yakni الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي
طَاعَةِ اللَّهِ atau الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ.
Khatimah
Mengapa realitas toleran, moderat, cinta damai, pluralis, humanis dan
lainnya selalu dipaksakan kepada Islam?
Tentu saja, upaya pemaksaan tersebut tidak akan pernah berhenti
dilakukan baik secara langsung oleh kaum kufar maupun oleh para pengikut setia
mereka dari manusia-manusia yang mengaku diri se-bagai umat Islam, seperti
Husein Ja’far Al Hadar. Hal itu karena, walaupun wadah kemuliaan dan ke-kuatan
kaum muslim (عِزَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ
وَمَنْعَتُهُمْ) yakni Khilafah
Islamiyah telah berhasil mereka runtuhkan bahkan lebih dari itu hingga saat ini
mereka pun berhasil menghalangi (dengan berbagai cara) kemba-linya Khilafah
tersebut, namun kaum kufar masih mendapati adanya sekelompok umat Islam yang
te-rus menerus berjuang secara ideologis mengembalikan kehidupan dunia Islami
lagi dalam wadah pe-laksanaan tersebut.
Aneka rupa modus operandi telah dan tengah mereka gunakan dalam
upaya penempelan secara paksa realitas toleran, moderat, cinta damai, pluralis,
humanis dan lainnya kepada Islam dan umat Is-lam. Modus operandi paling
mutakhir adalah seperti yang tengah digunakan oleh Al Hadar yakni de-ngan
menggiring paksa opini kaum muslim bahwa ulama adalah konseptor ide-ide tersebut.
Bahkan lebih dari itu, dia telah dengan sadar menggunakan filsafat berbau
Syi’ah (Jibril itu telah salah me-nyampaikan wahyu yakni seharusnya
kepada Ali bin Abi Thalib dan bukan kepada Muhammad bin Abdillah) untuk
memaksa aqal umat Islam yang pada umumnya terbelekang untuk menyimpulkan bah-wa
Allah SWT, Nabi Muhammad saw dan para ulama (sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in)
telah salah da-lam menetapkan corak dan manajemen keberislaman berbasis
‘darah’ yang menjadikan pedang (ditu-ding oleh Al Hadar sebagai simbol
anarkisme) sebagai media dakwah dan syiarnya. Dengan demikian dapat mudah
diduga ke mana tujuan sebenarnya dari penggiringan opini tersebut, yakni tentu
saja me-maksa umat Islam (secara halus, santun, lembut namun tegas) agar
meninggalkan sumber-sumber Is-lam yang orisinal dan otentik yakni Al-Quran dan
As-Sunnah.
وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ
يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (الأنعام : 116)
No comments:
Post a Comment