Saturday, November 9, 2013

PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM : HARUSKAH DILAKUKAN?


Konservatisme : adakah dalam kehidupan Islami?
Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, dalam diskusi “Masa Depan Pembaha-ruan Islam di Indonesia” yang diselenggarakan di Universitas Paramadina Jakarta pada hari Kamis 7 Januari 2010 menyatakan :
Pembaruan terhadap pemikiran Islam adalah panggilan zaman atas setiap perubahan masyara-kat yang terjadi. Hambatan terbesar untuk melakukan pembaruan itu adalah sikap konservatif atas pandangan keagamaan yang kuat. Jika hasil pembaruan pemikiran itu justru dianggap kontroversi-al, itu hanya efek samping.
Pembaruan pemikiran Islam itu juga telah dilakukan para ulama dan cendekiawan Islam ter-dahulu. Walaupun pembaruan itu adalah hukum alam, ada pula hukum alam yang melawan pemba-ruan, yaitu konservatisme terhadap pandangan keagamaan.
Namun, pembaruan pemikiran itu sekarang dihadapkan pada lingkungan sosial masyarakat yang ingin sukses secara sosial dan religius serta sukses secara materi. Kondisi itu membuat ma-syarakat lebih mementingkan integritas umat, tetapi abai dengan pembaruan dan penyegaran pemi-kiran.
Staf Program Senior The Asia Foundation, Lies Marcoes Natsir dalam acara yang sama menyata-kan :
Proses konservatisme itu telah merasuk ke sekolah dan perguruan tinggi umum. Upaya itu bi-sa dilakukan oleh guru maupun para senior di sekolah.
Kondisi itu membuat para siswa sekolah dihadapkan pada dua tantangan yang berbeda, yaitu obat-obatan dan fundamentalisme agama. Siswa tidak mendapat pilihan sebagai jalan tengah yang menjembatani di antara kedua hal itu.
Sementara itu, Direktur Kelompok Mizan, Haidar Bagir menyatakan : Ijtihad atau upaya berpikir mencari hukum atas sesuatu berdasarkan Al Quran dan hadis merupakan sumber dari gerakan pemba-ruan Islam.
Pada hari yang sama di tempat yang berlainan yakni Gedung DPR RI Jakarta, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKAPMII) Effen-dy Choirie (bersama dengan Ketua PB IKAPMII : Muchtar Effendi dan Wakil Sekretaris Jenderal A. Malik Haramain) menyatakan : PB IKAPMII menjajagi pendirian Universitas Internasional Abdurrah-man Wahid. Universitas itu diharapkan jadi wadah pengembangan pemikiran mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid tentang pluralisme dan Islam inklusif. Ada ide, pemikiran Gus Dur menjadi mata kuliah dua semester di setiap jurusan. Universitas itu akan menggunakan konsep asrama. Dalam satu kamar, mahasiswa Muslim bercampur dengan non-Muslim.
Itulah realitas mutakhir pasca kematian Gus Dur yang sangat diopinikan oleh hampir semua pi-hak terutama para pengusung pluralisme maupun Islam inklusif, sebagai “kehilangan yang luar biasa dan seakan belum saatnya Gus Dur untuk meninggal”. Sejumlah gagasan yang mengemuka sangat kuat adalah :
1.       pembaruan terhadap pemikiran Islam adalah panggilan zaman atas setiap perubahan masyarakat yang terjadi.
2.       konservatisme adalah lawan alami dari gerakan pembaruan dan telah memaksa para siswa harus berhadapan dengan dua tantangan yang berbeda, yaitu obat-obatan dan fundamentalisme agama.
3.       munculnya pemikiran kontroversial adalah efek samping dari hasil pembaruan pemikiran.
4.       lingkungan sosial masyarakat yang ingin sukses secara sosial dan religius serta sukses secara mate-ri adalah kondisi penghambat bagi pembaruan dan penyegaran pemikiran.
5.       ijtihad adalah sumber dari gerakan pembaruan Islam.
6.       pelembagaan ide pluralisme dan Islam inklusif secara formal dalam bentuk pengajaran di universi-tas.
Lalu, bagaimana menelusuri keabsahan gagasan-gagasan tersebut? Penelusurannya adalah sebagai beri-kut :
1.       pemikiran Islam atau tepatnya pemikiran Islami (Islamic Thought atau اَلأَفْكَارُ الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah :
كُلُّ الْفِكْرِ مِنَ الأَفْكَارِ تَدُلُّ عَلَيْهِ الأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةَ الإِسْلاَمِيَّةُ وَهِيَ الْقُرْآنُ وَالسُّنَّةُ صَرَاحَةً كَانَتْ اَوْ دَلاَلَةً اَوِ اسْتِنْبَاطًا
Semua pemikiran yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syara’ Islami yakni Al-Quran dan As-Sunnah, baik itu secara sharahah atau dalalah atau istimbath
Seluruh pemikiran Islami tersebut tiada lain adalah hukum Allah SWT (حُكْمُ اللهِ تَعَالَى) yang berwu-jud دِيْنُ الإِسْلاَمِ, seperti yang ditunjukkan صَرَاحَةً oleh pernyataan Allah SWT sendiri :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (آل عمران : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
Hukum Allah SWT dalam Islam tersebut diperuntukkan bagi kehidupan manusia di dunia sejak sa-at Islam diturunkan hingga tibanya waktu kehancuran kehidupan itu sendiri (اَلسَّاعَةُ). Realitas kehi-dupan manusia tidak akan pernah lepas dari atau berkurang dari atau bertambah dari tiga bentuk interaksi yakni :
عَلاَقَةُ الإِنْسَانِ بِخَالِقِهِ تَشْمُلُ الْعَقَائِدَ وَالْعِبَادَاتِ وَعَلاَقَتُهُ بِنَفْسِهِ تَشْمُلُ الأَخْلاَقَ وَالْمَطْعُوْمَاتِ وَالْمَلْبُوْسَاتِ وَعَلاَقَتُهُ بِغَيْرِهِ مِنْ بَنِيْ الإِنْسَانِ تَشْمُلُ الْمُعَامَلاَتِ وَالْعُقُوْبَاتِ
Interaksi manusia dengan Khaliqnya yang mencakup aqidah dan ibadah, dan interaksinya dengan dirinya sendiri yang mencakup akhlaq, makanan dan pakaian, serta interaksinya dengan sesama anak manusia yang mencakup muamalah dan uqubat
Oleh karena itu, selama Islam diberlakukan dan diterapkan secara sempurna, menyeluruh dan utuh dalam kehidupan mereka (Khilafah Islamiyah) maka dapat dipastikan walaupun terjadi perubahan maupun perkembangan dalam masyarakat mereka, maka perubahan dan perkembangan tersebut ti-dak akan pernah lepas dari pokoknya yakni tiga bentuk interaksi manusia. Perubahan dan perkem-bangan apa pun yang terjadi dalam kehidupan manusia dipastikan telah disediakan aturan mainnya oleh Allah SWT dalam Islam. Contohnya : ketika Khilafah Islamiyah masih mewadahi kehidupan umat Islam, maka pemikiran Islami yang berlaku untuk interaksi mereka dengan kaum kufar, tidak akan pernah lepas dari :
a.       interaksi perang (عَلاَقَةً حَرْبِيَّةً) yakni dengan kaum kufar yang menolak dua tawaran pertama (ma-suk Islam dengan sadar atau membayar jizyah) saat disampaikan dakwah Islamiyah kepada me-reka.
b.       interaksi damai (عَلاَقَةً صُلْحِيَّةً) yakni dengan kaum kufar yang menolak masuk Islam namun me-reka bersedia membayar jizyah (أَهْلُ الذِّمَّةِ), seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ (رواه مسلم)
مَنْ قَتَلَ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ عَامًا (رواه احمد)
Jadi, interaksi dengan اَهْلُ الْحَرْبِيَّةِ yang secara otomatis mereka berada di دَارُ الْحَرْبِ اَيْ دَاْرُ الْكُفْرِ adalah hanya satu yakni perang.
Namun, ketika pemikiran Islami tersebut dibawa ke dalam arena kehidupan saat ini yang bukan da-lam wadah Khilafah Islamiyah melainkan dalam institusi negara kebangsaan, maka dipastikan tidak akan pernah dapat diberlakukan dan dilaksanakan. Realitas inilah yang mendorong para pengusung ide pluralisme maupun Islam inklusif (salah satunya adalah JIL) untuk menggagas : Pembaruan terhadap pemikiran Islam adalah panggilan zaman atas setiap perubahan masyarakat yang terja-di. Artinya, menurut mereka zaman ini mengharuskan pemikiran Islami yang mengatur tentang in-teraksi umat Islam dengan kaum kufar adalah harus dirubah yakni diperbarui supaya dapat seiring dan sejalan dengan realitas kehidupan saat ini yang telah hampir 86 tahun tidak lagi dalam naungan Khilafah Islamiyah. Konsepsi filosofis inilah yang mereka gagas dan selalu diperjuangkan untuk diberlakukan dan sama sekali tidak pernah mau berpikir tentang penyebab yang menjadikan pemi-kiran Islami tersebut tidak lagi cocok untuk diterapkan saat ini, yakni tidak adanya Khilafah Islami-yah. Padahal mereka sangat mengerti hubungan “sebab” dengan “musabab atau akibat” dan dalam persoalan tersebut ketiadaan Khilafah Islamiyah adalah “sebab”, sedangkan tidak cocoknya pem-berlakuan pemikiran Islami tentang interaksi umat Islam dengan kaum kufar saat ini adalah “aki-bat” dari munculnya “sebab” tersebut. Namun walau mereka sangat mengerti realitas “sebab” dan “akibat” dalam permasalahan tersebut, dapat dipastikan mereka tidak akan pernah berupaya meng-hilangkan “sebab” karena memang hal itu bertentangan dengan pola berpikir yang mereka usung selama ini. Tentu saja, anak panah beracun pola berpikir tersebut akan terus mereka arahkan kepa-da pemikiran Islami lainnya terutama yang berkaitan erat dengan bentuk interaksi antara Islam ver-sus agama lainnya dan umat Islam versus penganut agama lain yakni kaum kufar.
Wal hasil, anggapan bahwa pembaruan terhadap pemikiran Islam adalah panggilan zaman atas setiap perubahan masyarakat yang terjadi, adalah benar untuk realitas kehidupan dunia seperti saat ini (berbasis sekularisme dalam wadah negara kebangsaan) yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Hal itu karena seluruh pemikiran Islami dipastikan tidak akan pernah sesuai, atau cocok, atau dapat diberlakukan apa adanya, dalam realitas kehidupan tersebut. Seluruh pemikiran Islami tentu saja bertentangan dengan semua tuntutan (ideologis maupun empiris) yang telah digariskan oleh mind set sekularisme juga the rule of game negara kebangsaan. Sebaliknya, anggapan para pe-ngusung pluralisme, Islam inklusif maupun Islam liberal tersebut akan menjadi salah fatal baik se-cara naqliy (ideologis) maupun aqliy (empiris), jika dirancang untuk realitas kehidupan dalam wa-dah Khilafah Islamiyah yang telah diakhiri secara paksa oleh Kerajaan Inggris pada 3 Maret 1924. Inilah yang ditunjukkan صَرَاحَةً وَدَلاَلَةً oleh pernyataan Rasulullah saw :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
2.       konservatisme adalah konsep atau pemikiran yang menolak atau minimal tidak menyetujui peruba-han apa pun yang ditujukan terhadap pandangan doktrinal mendasar. Misalnya : Partai Republik di Amerika Serikat (AS) dianggap sebagai berhaluan konservatif alias pengusung konservatisme, ka-rena mereka banyak menyandarkan pemikiran dasarnya kepada doktrinal Gereja seperti : anti abor-si, anti perkawinan kaum gay maupun lesbian, anti teknologi transgenik untuk manusia dan lain-nya. Sebaliknya, Partai Demokrat sangat dianggap sebagai pengusung liberalisme yakni lawan kon-servatisme karena sangat setuju dengan praktik aborsi, perkawinan kaum gay maupun lesbian dan sebagainya.
Hal serupa berlaku di Inggris yakni Partai Konservatif yang pernah dipimpin antara lain oleh Per-dana Menteri (PM) “wanita besi” Margareth Tatcher, dianggap sebagai pengusung konservatisme, sedangkan Partai Buruh yang antara lain pernah dipimpin oleh PM Tonny Blair adalah pengusung liberalisme. Negara Benua Australia memperlihatkan realitas politik yang identik dengan induknya (Inggris), yakni ada Partai berhaluan konservatif (pernah dipimpin oleh PM John Howard) yang menegaskan untuk tetap mempertahankan status Australia sebagai bawahan Ratu Inggris (perse-makmuran alias commonwealth), lalu ada Partai Buruh yang saat ini berkuasa di bawah pimpinan PM Kevin Rudd yang dulu ketika dipimpin oleh PM Paul Kitting pernah mengusulkan untuk men-jadikan Australia sebagai negara republik presidentil.
Jadi, konservatisme memang muncul di Dunia Barat terutama di arena politik yang sangat banyak dipengaruhi oleh doktrinal gereja katholik, lalu paling tidak sejak Khilafah Islamiyah runtuh, kon-sep itu diintrodusir ke Dunia Islam dan diterapkan secara paksa kepada seluruh pemikiran Islami seperti yang tengah digarap serius oleh JIL maupun IKAPMII, saat ini. Mereka menuding umat Is-lam yang berusaha konsisten (اَلإِسْتِقَامَةُ) dalam Islam dan berusaha keras untuk selalu mengikatkan dirinya dengan seluruh pemikiran Islami, sebagai kaum konservatif. Artinya, ketika umat Islam be-rusaha menegaskan bahwa Islam adalah paling benar, atau menyatakan bahwa pokok segala urusan di dunia adalah Islam, atau Islam wajib diberlakukan dalam wadah formal berupa negara, atau sia-pa pun manusia yang menolak Islam dan tidak bersedia membayar jizyah adalah harus diperangi, atau jihad itu adalah metode penyebarluasan Islam dan sebagainya, maka dengan serta merta saja mereka menempelkan cap “pengusung konservatisme” kepada umat Islam tersebut. Sebaliknya, mereka akan dengan sangat bangga memberikan gelar “kaum pembaharu” kepada umat Islam (pri-badi maupun kelompok) yang bersikap pluralis, humanis, moderat, menegaskan inklusivitas Islam dan sebagainya. Lalu, apakah benar konservatisme itu telah memaksa para siswa harus berhadapan dengan dua tantangan yang berbeda, yaitu obat-obatan dan fundamentalisme agama?
Anggapan tersebut adalah induktif yakni disimpulkan dari atau dibangun berdasarkan kasus-kasus yang terjadi di arena sekolah maupun perguruan tinggi. Namun demikian, anggapan itu adalah me-mang benar pada realitas kehidupan umat Islam saat ini yang berbasis sekularisme dalam wadah negara kebangsaan. Fakta memastikan bahwa saat ini seluruh manusia dihadapkan kepada dua pilihan besar yakni : (a) obat-obatan (drugs) sebagai wakil dari aneka rupa perbuatan maksiat dan (b) sikap fundamentalisme Islam sebagai wakil dari sikap konsisten dalam Islam. Mereka (para pe-ngusung pluralisme, Islam inklusif dan humanisme) menempatkan kedua pilihan tersebut sebagai sama-sama berbahaya dan mematikan bagi kehidupan manusia terutama umat Islam. Oleh karena itulah, mereka berusaha keras menyebarluaskan opini bahwa konservatisme adalah “haram” dan harus dimusnahkan, sedangkan yang “wajib” dilakukan dan dilestarikan adalah liberalisme yang mereka samarkan dengan istilah pembaruan terhadap pemikiran Islami. Bahkan mereka menyama-kan konservatisme dalam Islam dengan fundamentalisme dan itu dilakukan karena begitu kerasnya penolakan maupun penentangan mereka terhadap realitas Islam adalah paling benar, atau Islam adalah pokok segala urusan di dunia, atau Islam wajib diberlakukan dalam wadah formal berupa negara, atau siapa pun manusia yang menolak Islam dan tidak bersedia membayar jizyah adalah ha-rus diperangi, atau jihad itu adalah metode penyebarluasan Islam dan sebagainya.
Namun, anggapan tersebut (konservatisme itu telah memaksa para siswa harus berhadapan dengan dua tantangan yang berbeda, yaitu obat-obatan dan fundamentalisme agama) adalah salah fatal dari asasnya, apabila ditujukan kepada realitas kehidupan Islami dalam wadah Khilafah Islamiyah yang pernah menaungi manusia di dunia sejak abad ke-6 M hingga akhir abad ke-19 M.
3.       anggapan : munculnya pemikiran kontroversial adalah efek samping dari hasil pembaruan pemiki-ran, tentu saja keliru sebab realitas kontroversial tersebut justru sifat faktual (وَصْفُ الْوَاقِعِ) dari pemi-kiran baru hasil pembaruan. Namun demikian, hasil pembaruan terhadap pemikiran Islami yang di-lakukan saat ini adalah tidak akan pernah dianggap kontroversial karena memang sesuai dengan se-mua tuntutan (ideologis maupun empiris) yang telah digariskan oleh mind set sekularisme juga the rule of game negara kebangsaan. Contohnya : diberlakukannya perekonomian berlabel syariah da-lam yakni perbankan syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, surat utang negara syariah dan sebagainya, tentu saja tidak akan pernah dianggap kontroversial walaupun realitas tersebut adalah hasil dari pembaruan terhadap sejumlah pemikiran Islami tentang perekonomian.
Pemikiran baru hasil pembaruan terhadap pemikiran Islami dipastikan kontroversial bahkan terma-suk upaya pembaruannya itu sendiri, bila semuanya berlangsung dalam kehidupan dengan mind set aqidah Islamiyah dan the rule of game Khilafah Islamiyah. Hal itu karena, Islam justru mewajibkan Khalifah untuk selalu menjaga kemurnian dan keutuhan seluruh pemikiran Islami yang ditunjukkan oleh dalil naqliy صَرَاحَةً كَانَتْ اَوْ دَلاَلَةً اَوِ اسْتِنْبَاطًا, lalu memberlakukannya dalam kehidupan manusia di dunia secara sempurna, menyeluruh dan utuh.
4.       ciri khas masyarakat kapitalistik adalah setiap individu ingin memiliki status tinggi secara sosial, mampu menampakkan naluri beragamanya alias religius dan tentu saja mampu menguasai harta da-lam jumlah sebanyak mungkin. Tegasnya, setiap orang dalam masyarakat tersebut (termasuk di In-donesia) telah memastikan batas-batas individualistik maupun egonya. Realitas ini adalah fakta yang dapat diindera dan dipikirkan oleh semua orang yang memiliki informasi lengkap berkenaan dengan itu di dalam otaknya.
Memang benar, masyarakat yang manusianya individualistik dan ego sentrik akan sangat tidak ter-tarik kepada konsepsi maupun gerakan pemikiran apa pun bentuknya, termasuk gagasan pembaru-an dan penyegaran terhadap pemikiran Islami. Sikap yang sama mereka tunjukkan kepada pemiki-ran maupun upaya untuk mengembalikan eksistensi Khilafah Islamiyah, setelah hampir 86 tahun sirna. Oleh karena itu, Allah SWT memastikan bahwa perubahan (اَلتَّغْيِيْرُ) tidak akan pernah terjadi begitu saja melainkan harus dilakukan oleh manusia sendiri :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ (الرعد : 11)
Lalu karena pemahaman seseorang terhadap kehidupan akan menentukan sikapnya selama hidup di dunia, maka perubahan tersebut wajib dilakukan pada pemikirannya. Perubahan pemikiran dari yang bersifat rendah (اَلْفِكْرُ الْمُنْحِطُ) yakni pemikiran yang terbangun oleh kepentingan naluriah se-mata (اَلْهَوَى يَعْنِيْ كَالأَنْعَامِ) menjadi pemikiran bersifat tinggi (اَلْفِكْرُ الرَّاقِيُّ) yakni yang terbangun oleh kebenaran wahyu (اَلدَّلِيْلُ النَّقْلِيُّ) maupun kebenaran faktual (اَلدَّلِيْلُ الْعَقْلِيُّ). Selama seluruh umat Islam pemikirannya bersifat rendah seperti saat ini berbasis sekularisme, maka mereka akan berada dalam kondisi individualistik dan ego sentrik. Namun ketika pemikiran mereka telah berhasil dirubah menjadi pemikiran bersifat tinggi yakni Islam sebagai satu-satunya asas maka dapat dipastikan me-reka akan hanya dan hanya bersedia tunduk patuh dan taat kepada Allah SWT.
5.       ijtihad adalah metode aqliyah untuk memahami hukum Allah SWT dari sumber dalil dalam Islam yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Realitas ijtihad adalah :
اِسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ طَلَبِ الظَّنِّ بِشَيْءٍ مِنَ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى وَجْهٍ يُحِسُّ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزَ عَنِ الْمَزِيْدِ فِيْهِ
Lalu apakah benar ijtihad adalah sumber dari gerakan pembaruan Islam seperti yang diklaim oleh Direktut Kelompok Mizan : Haidar Bagir?
Hadits berikut masyhur di kalangan fuqaha dan mujtahidin dan mereka menjadikannya sebagai da-lil tentang ijtihad :
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ رِجَالٍ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه احمد)
hal itu karena pujian Rasulullah saw yakni الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ kepada Muadz ketika dia memberikan jawaban dengan tegas yaitu أَجْتَهِدُ رَأْيِي atas pertanyaan beliau saw ke-padanya فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, adalah qarinah bahwa ijtihad itu wajib dilaku-kan oleh seorang muslim (bukan hanya Muadz) ketika tidak ada dalil dalam Al-Quran maupun As-Sunnah yang menunjukkan hukum Allah SWT صَرَاحَةً. Oleh karena itu mereka menuangkan aturan main ijtihad dalam kaidah : لاَ اِجْتِهَادَ مَعَ وُرُوْدِ نَصٍّ (tidak ada ijtihad dengan adanya nash) dan kaidah tersebut dirumuskan berdasarkan bagian dari hadits itu sendiri :
كَيْفَ تَقْضِي قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya selama ada نَصٌّ صَرِيْحٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ يَدُلُّ عَلَى حُكْمِ اللهِ تَعَلَى صَرَاحَةً (nash sharih dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul Nya yang menunjukkan hukum Allah SWT secara sharahah) maka ijtihad haram dilakukan. Sebaliknya jika nash sharih tidak ditemukan dalam kedua sumber dalil ter-sebut, maka ijtihad wajib dilakukan berdasarkan اَلأَمَارَةُ yang ditunjukkan oleh satu dalil atau sejum-lah dalil yang ada dalam keduanya secara دَلاَلَةً اَوِ اسْتِنْبَاطًا.
Dengan demikian, ijtihad sama sekali bukan sumber dari pembaruan pemikiran Islami maupun ge-rakan pembaruan Islam, sebab justru ijthad itu digunakan sebagai metode untuk memahami hukum Allah SWT atas suatu realitas, fakta, persoalan, permasalahan yang tidak ditunjukkan oleh nash se-cara صَرَاحَةً. Jadi, ijtihad bukan metode untuk melakukan pembaruan terhadap pemikiran Islami me-lainkan metode untuk memahami pemikiran Islami itu sendiri yang tidak ditunjukkan oleh dalil se-cara صَرَاحَةً. Wal hasil, Haidar Bagir tidak memiliki pemahaman apa pun tentang realitas ijtihad, pa-dahal metodenya telah dirumuskan secara sistematis paling tidak oleh Imam Asy-Syafii pada abad ke-2 hijriyah.
6.       kematian Gus Dur memang nyata telah menjadi pendorong semangat dan keberanian para penga-gum maupun pengikut setianya untuk semakin menegaskan keberpihakan serta pembelaan mereka kepada pluralisme, humanisme, sikap moderat, Islam inklusif maupun toleransi. Mereka tidak rela bila kematian sang idola membawa serta seluruh konsepsi, ide maupun strategi yang selama ini di-perjuangkannya dengan serius. Mereka ingin segera memastikan bahwa setiap saat akan sangat ba-nyak generasi penerus perjuangan sang pluralis sejati itu. Inilah mengapa IKAPMII bahu membahu dengan koleganya di JIL untuk menjajagi pendirian Universitas Internasional Abdurrahman Wa-hid. Universitas itu diharapkan jadi wadah pengembangan pemikiran mantan Presiden KH Abdur-rahman Wahid tentang pluralisme dan Islam inklusif.
Artinya, mereka tidak begitu percaya diri bahwa setelah Gus Dur akan ada sosok lain yang paling tidak sama tangguhnya dengan dia dalam memperjuangkan pluralisme, humanisme, sikap moderat, Islam inklusif maupun toleransi. Oleh karena itu, mereka tidak lagi bertumpu pada kekuatan indi-vidual melainkan beralih kepada kelembagaan pendidikan formal yang diyakni akan sangat efektif dalam mengembangkan sekaligus menyebarluaskan pemikiran mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid tersebut.
Jadi, tidak diragukan lagi bahwa seluruh gagasan yang tengah diopinikan kepada umat Islam oleh para pegiat IKAPMII, JIL maupun lainnya yang sejenis (individual maupun komunal), adalah upaya serius, terencana dan strategis dalam semakin melembagakan sekaligus melestarikan pluralisme, huma-nisme, sikap moderat, Islam inklusif maupun toleransi. Mereka sepakat bahwa tidak boleh ada satu saat pun berlalu kecuali disertai adanya propaganda opini tersebut, hingga semuanya dapat menjadi perkara yang akan diperjuangkan dan dibela oleh seluruh umat Islam walau harus dengan mengorbankan nya-wa sekali pun. Realitas mereka tersebut adalah yang dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah saw saat menjawab pertanyaan Hudzaifah bin Yaman فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ :
قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه البخاري)

Realitas kehidupan umat Islam dalam naungan kekufuran
Sejak berakhirnya era Khilafah Islamiyah secara resmi tanggal 3 Maret 1924, maka sejak itu pula seluruh umat Islam di dunia dipaksa untuk “betah” hidup dalam naungan kekufuran yakni demokrasi dan kapitalisme sekularistik dengan wadah negara kebangsaan. Bagian apa pun dari syariah Islamiyah yang “tidak diizinkan” oleh kekufuran maupun kaum kufar, dipastikan akan diberangus dan dilucuti baik secara ideologis maupun empiris. Seluruhnya ditujukan supaya umat Islam tidak lagi mendasarkan pemikiran dan sikap mereka kepada Islam, melainkan secara sistemik beralih kepada kekufuran terse-but. Ternyata, proses de-Islamisasi pemikiran dan sikap yang dilakukan oleh kaum kufar tersebut me-mang tidak mendapatkan tentangan dan tantangan berarti dari umat Islam sendiri. Hal itu dapat dime-ngerti karena memang kaum muslim sendiri telah lama (sejak tahun 1830-an M) meninggalkan konsis-tensi mereka kepada Islam maupun wadah pemberlakuannya : Khilafah Islamiyah.
Oleh karena itu, realitas kehidupan umat Islam saat ini yang sangat loyal dan sangat taat kepada kaum kufar berikut sistema kufurnya, tentu saja bukan perkara yang mengejutkan karena merupakan hasil gemilang dari keuletan dan keseriusan mereka dalam melakukan dekonstruksi ideologis atas umat Islam dan Dunia Islam. Bahkan hingga detik ini pun, mereka tidak akan pernah beristirahat dengan te-nang dalam kehidupan, karena masih mendapati adanya sekelompok kaum muslim yang mengemban Islam secara ideologis dengan cara berusaha keras untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah sebagai wadah satu-satunya bagi pemberlakuan Islam. Sebaliknya, pada saat yang bersamaan, umat Islam se-makin dalam terperosok dan terjebak dalam kubangan lumpur “mematikan namun menyenangkan” sis-tema kufur yang memang sangat bersesuaian dengan kepentingan naluriah manusia.
Kekufuran telah memaksa umat Islam untuk meninggalkan standard perbuatan mereka di dunia yakni اَلْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ dan lalu beralih secara total kepada اَلْمَنْفَعَةُ yang memang menjadi salah satu prinsip dalam sistema kufur tersebut. Selama bermanfaat yakni memberikan pemenuhan terhadap kepentingan naluriah alias اَلْهَوَى, maka pasti akan dilakukan walaupun Islam menetapkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram. Sebaliknya, segala perbuatan yang dianggap atau dipastikan tidak akan memberikan manfaat kepada kepentingan naluriah bahkan diduga kuat atau dipastikan akan merugikan atau me-rusak kepentingan naluriah tersebut, maka pasti akan ditinggalkan walaupun perbuatan tersebut adalah wajib dilakukan menurut Islam.
Tentu saja, sikap umat Islam saat ini tidak akan pernah terjadi baik secara individual apalagi se-cara جَمَاعَةً, jika mereka tidak membiarkan pemikirannya berganti asas yakni dari sepenuhnya hanya Is-lam menjadi bercampur sedikit demi sedikit dengan sekularisme hingga akhirnya aqidah khayaliyah tersebut 100 persen menggantikan posisi aqidah Islamiyah beserta syariah Islamiyah. Padahal Allah SWT telah memastikan informasi berkenaan dengan hal itu dalam Al-Quran :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (آل عمران : 149)
Namun sangat disayangkan peringatan sangat tinggi nilainya tersebut dianggap sebagai barang rongso-kan tak berguna oleh mereka, bahkan mereka memastikan bahwa informasi tersebut adalah keliru kare-na saat ini kaum kufar jauh lebih “kasih dan sayang” kepada umat Islam, dibandingkan antar sesama kaum muslim sendiri. Mereka pastikan bahwa dalam realitas kehidupan saat ini kemuliaan itu memang berada dalam genggaman kaum kufar, sehingga harus dicari pada mereka jika memang ingin memiliki-nya. Artinya, walau mulut mereka berucap tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan lainnya namun hakikat mereka (pikiran dan sikap) adalah telah berada dalam kekufuran yang pasti.
Pembaruan pemikiran Islami : haruskah dilakukan?
Dalil aqliy memastikan bahwa ketika Islam ditetapkan sebagai sempurna dan berposisi menjadi aturan Allah SWT terakhir, maka aqal menuntut tidak boleh terjadi perubahan maupun pembaruan apa pun terhadap seluruh pemikiran Islami yang ditunjukkan oleh sumber dalil (Al-Quran dan As-Sunnah) baik secara صَرَاحَةً كَانَتْ اَوْ دَلاَلَةً اَوِ اسْتِنْبَاطًا. Hal itu karena, aqal akan menolak secara pasti dua keadaan yang saling bertentangan diametral melekat pada Islam, yakni di satu sisi Islam diklaim sebagai sem-purna dan paling benar, namun saat yang sama di sisi lain Islam pun dituntut untuk merubah diri mau-pun memperbarui diri. Aqal menutut dua keadaan atau sifat tersebut tidak boleh terjadi bahkan memus-tahilkannya, sehingga yang benar adalah Islam hanya dan hanya memiliki satu sifat yakni sempurna dan dapat diberlakukan apa adanya hingga sesaat menjelang kehidupan dunia berakhir, tanpa perlu ter-lebih dahulu dirubah atau diperbarui. Oleh karena itu, siapa pun orangnya atau kelompok manapun yang menganggap perlu melakukan perubahan dan pembaruan terhadap pemikiran Islami, atau mengklaim bahwa pembaruan terhadap pemikiran Islami itu adalah tuntutan zaman, maka dipastikan orang itu dan kelompok itu adalah antek loyalis kaum kufar dan kekufuran. Mereka pun telah sangat rela memilih status mulia yang ditetapkan oleh kaum kufar, padahal pada faktanya bagaimana mungkin kaum kufar itu akan mampu memberikan kemuliaan kepada umat Islam sedangkan mereka sendiri ada-lah makhluk yang lebih hina daripada binatang sekali pun. Allah SWT menyatakan :
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (الأنفال : 55)
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (النساء : 139)
Dalil naqliy memastikan bahwa kaum kufar adalah komunitas manusia yang tidak pernah meng-gunakan aqalnya dalam memutuskan melakukan atau tidak meninggalkan suatu perbuatan, melainkan seluruhnya ditetapkan berdasarkan kepentingan naluriah semata persis seperti hewan. Allah SWT me-nyatakan :
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)
Oleh karena itu, berdasarkan satu dalil naqliy itu pun sudah dapat dipastikan bahwa bagaimana bisa dan mungkin umat Islam yang berstatus خَيْرُ اُمَّةٍ وَالأَعْلَوْنَ menyerahkan mulia atau hinanya hidup me-reka di dunia kepada kaum kufar, padahal kaum kufar itu adalah صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد : 16)

No comments:

Post a Comment