Kunjungan penghargaan Menteri Luar Negeri AS
Pada acara jamuan santap malam bersama tokoh
masyarakat Indonesia yang diselenggarakan di Gedung Arsip Nasional Jakarta,
Rabu 18 Februari 2009, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS) Hillary
Clinton menyatakan : jika ingin mengetahui Islam (yang modern), demokrasi
dan pengaku-an atas peran wanita, maka datanglah ke Indonesia. Dalam 10 tahun
terakhir, Indonesia sebagai ne-gara muslim terbesar, terbukti mampu menunjukkan
pada dunia internasional bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring
sejalan. Karena itu, AS mendukung langkah Indonesia sebagai negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia. Tentu ini bukan tanpa alasan mendasar, karena Indonesia
bisa menyelaraskan antara Islam dan demokrasi, bahkan bisa saling berjalan
bersama.
Menanggapi pujian dari Menlu AS tersebut, harian
Republika edisi Jumat 20 Februari 2009 da-lam kolom Tajuk berjudul “Islam dan
Demokrasi” menyatakan : kehadiran Barack Husein Obama se-bagai Presiden ke
44 AS tak pelak memberi warna baru bagi Negeri Paman Sam itu. Dalam beberapa
pidatonya di depan pejabat AS, ia beberapa kali menceritakan Indonesia adalah
negara besar dengan penduduk muslim yang moderat. Tentu Obama bukan asal
berdiplomasi, karena ia pernah menyelami kehidupan di negara berpenduduk lebih
dari 220 juta jiwa ini. Selama empat tahun bocah Obama ak-rab dengan suasana
kemajemukan yang harmonis di Indonesia. Kunjungan mantan Ibu Negara AS ini
menjadi salah satu bukti bahwa Pemerintahan Obama ingin membuka hubungan yang
lebih erat de-ngan Indonesia. Bagi kita kehadiran Hillary Clinton harus
dimaknai sebagai keuntungan diplomasi, karena kebijakan Pemerintahan Obama yang
begitu bersahabat dengan Dunia Islam. Apalagi dalam beberapa tahun belakangan
ini, Indonesia kembali mendapatkan cap yang tidak enak didengar telinga. Cap
itu adalah tempat bermukimnya sejumlah pelaku terorisme. Alasannya, karena
beberapa peristiwa bom yang mengguncang Tanah Air sejak 2002 lalu. Di situ pula
kemudian berkembang pemahaman yang salah bahwa Islam identik dengan terorisme.
Suatu premis yang terburu-buru dituduhkan Dunia Barat terhadap Islam. Padahal
di Indonesia, orang-orang radikal seperti itu hanya segelintir saja. Dan tidak
ada kaitannya sama sekali perilaku radikalisme itu dengan ajaran Islam yang
mengedepan-kan keadilan dan perdamaian. Selanjutnya, kita tentu ingin bukti
dari pidato Presiden Obama pada malam inaugurasi pelantikannya bahwa AS ingin
memantapkan persahabatan dan perdamaian dengan asas kesetaraan. Dalam konteks
kedatangan Hillary, kita ingin kesetaraan itu juga terjadi antara AS dan
Indonesia. Kesetaraan artinya kedua belah pihak mendapatkan hak yang sama.
Begitu juga dalam hubungan antara Islam dengan demokrasi. Keduanya bisa sejalan
dan seiring seperti yang dicontoh-kan di Indonesia. Maka harapannya adalah
hubungan antara Indonesia yang didominasi Islam mode-rat akan berjalan seiring
dengan pemerintahan AS yang kini digawangi Partai Demokrat. Semoga.
Menteri Keuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) Sri Mulyani Indrawati mengu-sulkan agar dibicarakan usulan dilakukannya Bilateral
Swap Agreement (BSA) antara Indonesia de-ngan AS saat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengadakan pertemuan dengan Menlu AS di Is-tana Negara
(Kamis, 19 Februari 2009). Menkeu NKRI menyatakan : perjanjian BSA dengan AS
di-pandang sebagai salah satu cara untuk meminimalisasi dampak krisis global
kepada Indonesia. Bila itu terjadi, dampaknya juga akan terasa bagi kawasan
Asia Tenggara. Perjanjian BSA merupakan sa-lah satu cara untuk mengamankan
kebutuhan mata uang asing ketika bank central membutuhkan mata uang asing
tersebut. Hal itu berguna untuk menjaga kepercayaan terhadap neraca pembayaran
dan APBN. AS yang menjadi sumber permasalahan krisis global dinilai sudah
sepatutnya turun tangan untuk meminimalisasi dampak krisis itu ke Asia,
terutama Indonesia. Pemerintah juga berharap agar ekonomi AS bisa segera pulih
sehingga tidak memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan ekono-mi dunia.
Fragmen konstelasi hubungan antara negara adidaya AS
dengan negara lainnya di dunia termasuk NKRI tersebut menunjukkan dengan pasti
realitas-realitas berikut :
1.
pengakuan, pujian dan penghargaan dari AS adalah
penentu posisi dan eksistensi negara mana pun di dunia baik secara ideologis,
ekonomi maupun politik.
2.
seiring dengan perjalanan waktu, sangat mungkin semakin
banyak pula yang hakikatnya adalah musuh bagi atau setidaknya berseberangan
dengan AS, namun apa pun posisi pihak luar terhadap AS tersebut yang pasti
adalah semuanya sepakat untuk menggantungkan harapan, keberlangsungan bahkan
masa depan mereka sepenuhnya kepada belas kasihan AS.
3.
de facto maupun de jure, apa pun yang
terjadi di AS baik itu akibat faktor internal maupun ekster-nal dapat
dipastikan akan mempengaruhi stabilitas (ideologi, ekonomi, politik) dunia
secara negara per negara maupun secara global.
4.
dalam suatu negara, misalnya NKRI ternyata tidak hanya
aparatur administrasi pemerintahan : (a) yang sangat berharap dan gandrung
terhadap sikap baik maupun pujian AS dan (b) yang sangat ta-kut terhadap
ancaman atau tuduhan AS, melainkan termasuk seluruh unsur-unsur manusia yang
ada di dalamnya. Inilah yang ditunjukkan oleh sikap para wartawan Harian
Republika : maka harapan-nya adalah hubungan antara Indonesia yang
didominasi Islam moderat akan berjalan seiring de-ngan pemerintahan AS yang
kini digawangi Partai Demokrat. Semoga.
5.
ada perbedaan corak kepentingan dalam hubungannya
dengan AS antara Dunia Islam dengan Du-nia Barat sendiri (di luar AS), yakni :
a.
secara historis maupun ideologis, Dunia Islam memang
sekumpulan negara-negara kebangsaan yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan
Khilafah Islamiyah. Lalu seiring dengan semakin melemahnya kekuatan dan
kekuasaan Khilafah Islamiyah terakhir yang pernah ada di dunia (Utsmaniyah) dan
berujung pada keruntuhannya : 3 Maret 1924 M, maka Dunia Islam sepenuh-nya
beralih ke tangan Dunia Barat. Oleh karena itu, kepentingan Dunia Islam
terhadap AS (dan sekutunya di Barat) adalah belas kasihan dan aliran dana
dari mereka walau dalam bentuk pinjaman komersial sekalipun.
b.
Inggris, Perancis, Jerman dan Rusia adalah “para
jawara” Perang Dunia I (PD I), namun mere-ka kemudian mengalami kekalahan oleh
AS pada PD II dan sejak itu keempat negara tersebut selalu berusaha keras
menempatkan dirinya sebagai pembantu setia dan sekutu loyalis bagi AS dalam
segala arena percaturan global (ideologi, ekonomi, politik). Kepentingan yang
ingin me-reka selalu raih dalam posisi tersebut tentu saja sangat
pragmatis yakni “pembagian kue keka-yaan” dari hasil
mengendalikan Dunia Islam bahkan seluruh dunia. Inilah yang semakin dite-gaskan
oleh Perdana Menteri Inggris Gordon Brown saat bertemu dengan Presiden Obama di
Washington akhir bulan Februari 2009 lalu, yakni Inggris akan terus menjadi
sekutu paling ber-arti dan paling strategis bagi AS. Tekad Inggris ini pun
langsung dipuji oleh Obama dengan memastikan bahwa Inggris adalah salah satu
sekutu AS yang terbaik.
6. seluruh
dunia sangat tahu bahwa resesi ekonomi yang saat ini masih berlangsung bahkan
semakin parah, sepenuhnya berawal dari AS dan tentu saja itu akibat pengendali
otoritas perekonomian di AS (presiden, menkeu/the secretary of treasury,
gubernur the fed) “membiarkan” kondisi pemicu resesi tersebut (kredit
macet/ subprime mortgage) lahir, besar dan meledak. Namun demikian
akhir-nya seluruh dunia “memaksa diri mereka” untuk menerimanya tanpa harus
protes keras kepada oto-ritas perekonomian AS tersebut dan yang saat ini mereka
sangat harapkan adalah supaya AS dapat segera keluar dari krisis dan
perekonomiannya kembali sehat. Inilah yang ditunjukkan oleh pernya-taan Sri
Mulyani : AS yang menjadi sumber permasalahan krisis global dinilai sudah
sepatutnya turun tangan untuk meminimalisasi dampak krisis itu ke Asia,
terutama Indonesia. Pemerintah juga berharap agar ekonomi AS bisa segera pulih
sehingga tidak memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan ekonomi dunia.
Wal hasil, kunjungan
Menlu AS ke Jepang, Korea Selatan, Indonesia dilanjutkan ke kawasan Ti-mur
Tengah dan sangat mungkin akan berakhir di negara-negara sekutu AS paling
strategis : Inggris dan Uni Eropa, adalah kunjungan penghimpunan
dukungan dan kesetiaan serta konsolidasi kekuatan
semua “antek-antek AS” di seluruh dunia. Seluruhnya sangat diperlukan oleh AS
(supaya tetap aman 100 persen) dalam rangka semakin menggencarkan
penyebarluasan demokrasi di seluruh dunia. Allah SWT menyatakan :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ
وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (الأنفال : 73)
“dan orang-orang
kafir itu sebagian dari mereka adalah auliya (penolong, sekutu, pemimpin, teman
akrab) sebagian yang lainnya, sehingga jika kalian (umat Islam) melakukannya
(menjadikan mereka sebagai auliya) maka itu adalah mara bahaya dan kerusakan
sangat besar di bumi”.
Hakikat pujian Menlu AS
kepada Indonesia
Ketika Menlu AS menyatakan : jika ingin
mengetahui Islam (yang modern), demokrasi dan peng-akuan atas peran wanita,
maka datanglah ke Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sebagai negara
muslim terbesar, terbukti mampu menunjukkan pada dunia internasional bahwa
demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring sejalan, maka hampir seluruh
lapisan umat Islam yang berkepentingan de-ngan “akurnya” Islam dan demokrasi sangat
gembira dan menganggap sanjungan sang Menlu AS ter-sebut
adalah sebuah pengakuan yang tulus dari negara AS sekaligus
sebagai obat penghapus rasa sa-kit yang diderita selama ini
akibat Indonesia dituduh sebagai sarang teroris berkaliber internasional
(Hambali, Umar Faruq, DR. Azahari dan lainnya). Lalu, apakah sebenarnya yang
dimaksudkan dengan pernyataan pujian itu? Layakkah umat Islam bersikap gembira
dengan pujian tersebut?
Bagian pernyataan Menlu
AS : jika ingin mengetahui Islam (yang modern), demokrasi dan peng-akuan
atas peran wanita, maka datanglah ke Indonesia, sebenarnya tidak
perlu diucapkan sebab pada faktanya bukan hanya di Indonesia terjadinya
“kebersamaan saling berdampingan” antara Islam dan de-mokrasi. Realitas seperti
itu telah terwujud di seluruh Dunia Islam, termasuk kawasan Timur Tengah yang
dianggap Islamnya bercorak garis keras, misalnya Palestina, Lebanon, Iraq,
Kerajaan Saudi Ara-bia. Sebagai contoh, adakah perbedaan antara Negara Israel
yang dikelola oleh Kaum Yahudi dengan Jalur Gaza yang dikendalikan oleh Hamas?
Jawabannya dapat disajikan dalam tabel perbandingan se-bagai berikut :
Realitas
|
Israel
|
Jalur Gaza
|
Otoritas Pengendali
|
Kaum Yahudi
|
Hamas
|
Sistem Pemerintahan
|
Demokrasi Parlementer
|
Demokrasi Parlementer
|
Kepala Pemerintahan
|
Perdana Menteri
|
Perdana Menteri
|
Agama Otoritas Pengendali
|
Yahudi
|
Islam
|
Sistem Moneter
|
Berbasis dolar AS
|
Berbasis dolar AS
|
Sumber Pembiayaan
|
AS secara langsung
|
Dunia Barat secara tidak
langsung
|
Nampak sangat jelas dan
pasti bahwa perbedaan yang ada antara Israel dan Jalur Gaza hanya
pada ba-gian “agama otoritas pengendali” yakni Kaum Yahudi beragama Yahudi dan
Hamas beragama Islam. Perbedaan ini pun sama sekali tidak berarti bahkan
sebaliknya justru berupa realitas sangat mengerikan, sebab keyahudian Israel
dan kemusliman Jalur Gaza tidak menjadi penciri khas yang membedakan ke-duanya,
melainkan keduanya sama-sama tunduk patuh (رَاكِعَيْنِ
سَاجِدَيْنِ) kepada sistema kufur demokrasi.
Lalu, mengapa realitas kebersamaan Islam dan
demokrasi itu diseolah-olahkan hanya terjadi di Indonesia oleh AS? Jawabannya
terungkap pada ucapan : dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sebagai negara muslim
terbesar, terbukti mampu menunjukkan pada dunia internasional bahwa demokrasi
dan Islam dapat berjalan seiring sejalan. Artinya, jika kenyataan Indonesia
adalah bukan sebagai negara muslim terbesar, maka tidak akan ada ucapan
sanjungan Menlu AS tersebut dan realitas kebersamaan Islam dan demokrasi yang
ada pun pasti akan diposisikan sama saja yakni tidak ada keistimewaan apa pun
dengan negara-negara muslim lainnya di Dunia Islam. Mengapa fakta Indonesia
sebagai negeri muslim terbesar tersebut dianggap perlu diberi perhatian
istimewa oleh AS?
Fakta jumlah sumberdaya
manusia (SDM) di Indonesia sebenarnya bukan yang paling istimewa, sebab total
penduduk Indonesia bukan yang paling banyak di dunia, melainkan hanya nomor
empat :
Negara
|
Jumlah Penduduk (per 10-02-2009)
|
Peringkat
Dunia
|
Agama Mayoritas
|
China
|
1.335.224.576
|
1
|
Budha – Konghuchu
|
India
|
1.159.212.547
|
2
|
Hindu
|
AS
|
305.485.753
|
3
|
Protestan
|
Indonesia
|
239.240.336
|
4
|
Islam
|
Brasil
|
197.835.484
|
5
|
Katholik
|
Namun, entitas agama
mayoritas Indonesia itulah yang sangat menjadi perhatian sekaligus kengerian
dan ancaman mematikan bagi Dunia Barat terutama AS. Betapa tidak, jika asumsi
umat Islam di Indo-nesia masih 85 persen, maka jumlah mereka adalah
203.354.285,6 orang. Memang hingga saat ini, rea-litas populasi umat Islam yang
lebih dari 203 juta itu sama sekali bukan persoalan, kengerian
maupun ancaman bagi AS dan Dunia Barat, sebab keislaman mereka
adalah didominasi oleh Islam moderat (Tajuk Republika menyatakan : maka
harapannya adalah hubungan antara Indonesia yang didominasi Islam moderat akan
berjalan seiring dengan pemerintahan AS yang kini digawangi Partai Demokrat.
Semoga.). Umat Islam yang keislamannya moderat memastikan sejumlah sikap
sebagai berikut :
1.
sangat akomodatif, asimilatif, toleran dan apresiatif
terhadap apa pun yang berasal dari luar agama mereka asalkan dirasakan dan
dianggap (secara naluriah) tidak bertentangan atau tidak diharamkan oleh Islam
sendiri. Inilah yang ditunjukkan oleh umat Islam Indonesia yang dapat menerima
demo-krasi dengan sangat baik bahkan mereka memposisikan demokrasi sebagai
bagian tak terpisahkan dari perintah Islam : اَلشُّوْرَى.
2.
lebih mengedepankan sikap “damai dan main aman” saat
harus berhadapan dengan pihak yang di-anggap sebagai musuh utama sekalipun dan
sikap ini terwujud pada diri mereka akibat sangat kuat-nya pengaruh budaya
lokal (filsafat Jawa, Sunda, Melayu dan lainnya). Artinya Islam beserta
selu-ruh pemikirannya sama sekali bukan sebagai kaidah berpikir apalagi
kepemimpinan ideologis, melainkan hanya sebagai pelengkap aspek spiritual dan
ritual yang telah lama mereka lakukan da-lam kehidupan sehari-hari.
3.
tidak akan pernah memiliki pemikiran untuk
menyebarluaskan Islam sebagai ideologi kehidupan manusia di dunia kepada
seluruh manusia di dunia. Jika pun mereka terbukti melakukan penyeba-ran agama
Islam kepada orang lain, maka itu pun sangat terbatas yakni sekedar sebagai
agama alias spiritualisme ritualisme belaka, tidak lebih. Artinya, aksi umat
Islam seperti ini sama sekali tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh
komunitas manusia pemeluk agama Hindu, Budha, Protestan maupun Katholik,
sehingga tidak memuat ancaman mematikan apa pun terhadap ideologi kapitalis-me
sekularistik.
4.
tidak akan pernah memiliki kesadaran ideologis apa pun
terhadap segala yang dituntut oleh Islam yakni negara, pemerintahan, aparatur
penguasa, pemenuhan kebutuhan, pengelolaan harta, jaminan dan pemeliharaan
keamanan, selain hanya sangat perhatian kepada aspek ritualistik : shalat,
shaum, haji, du’a, wirid, nikah, kelahiran, kematian, alam ghaib, mimpi dan
sebagainya. Artinya, umat Is-lam dalam hal ini sama tidak membahayakannya
dengan penganut agama lainnya.
5. akan
yang pertama kalinya tampil ke depan menentang dan menolak pemikiran maupun
sikap umat Islam lainnya yang dianggap bertentangan dengan mereka, yakni umat
Islam yang menjadikan ke-islamannya sebagai sebuah kesadaran ideologis yang
mengharuskan adanya pemberlakuan seluruh syariah Islamiyah dalam arena
kehidupan manusia melalui institusi Khilafah Islamiyah.
Realitas sikap umat Islam moderat
inilah yang sebenarnya ingin selalu dipertahankan oleh AS untuk te-tap melekat
erat dalam diri kaum muslim Indonesia dan salah satu caranya adalah dengan
memberikan pujian, sanjungan, penghargaan bahkan disertai dengan bantuan
finansial yang tidak sedikit baik yang langsung kepada rakyat (lewat lembaga
swadaya masyarakat/LSM) maupun yang melalui pemerintah. Tragisnya, propaganda
halus nan menjebak ini ternyata langsung didukung sepenuhnya oleh media massa
(cetak maupun elektronik), bahkan seluruhnya sepakat bahwa misi kedatangan
Menlu AS ter-sebut wajib diterima oleh umat Islam karena sangat menguntungkan.
Inilah yang dipertelakan oleh salah satu bagian Tajuk Republika : bagi kita
kehadiran Hillary Clinton harus dimaknai sebagai keun-tungan diplomasi,
karena kebijakan Pemerintahan Obama yang begitu bersahabat dengan Dunia Is-lam.
Artinya, dalam tubuh umat Islam Indonesia sendiri yakni para awak media massa
telah dengan si-gap dan gesit menyambut seruan AS untuk bersama-sama selalu
menjaga dan mempertahankan realitas umat Islam Indonesia sebagai umat Islam
yang moderat.
Padahal sangat nampak dari ucapan Menlu AS : dalam
10 tahun terakhir, Indonesia sebagai ne-gara muslim terbesar, terbukti mampu
menunjukkan pada dunia internasional bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan
seiring sejalan, bahwa antara Islam dan demokrasi secara aspek pokok dan
men-dasar adalah tidak mungkin (impossible) dapat berada dalam sebuah
sistem secara berdampingan ke-cuali jika Islam terlebih dahulu dilucuti
dan dilumpuhkan yakni dengan merubahnya dari sebuah ide-ologi dunia
menjadi hanya sebagai agama spiritualistik ritualistik orang per orang.
Tegasnya ucapan tersebut adalah pernyataan “selamat” alias congratulation
dari pemerintah AS kepada pemerintah Indo-nesia yang dalam tempo singkat (10
tahun) telah berhasil melucuti dan melumpuhkan Islam, sehingga
saat ini benar-benar dapat “hidup berdampingan secara damai” dengan demokrasi
dalam wadah NKRI sebuah negeri muslim terbesar di dunia. Adalah sangat mungkin
dalam benak dan pikiran pemerintah AS menggumpal sebuah keheranan : koq bisa
ya, di Indonesia Islam dan demokrasi dipersatukan?
Jadi, hakikat pujian Menlu AS tersebut adalah :
a.
sebagai seruan pasti kepada seluruh jajaran pemerintah
NKRI dan masyarakat Indonesia untuk te-rus menerus memelihara dan menjaga
realitas keislaman umat Islam Indonesia selalu moderat.
b.
sebagai ucapan selamat dari pemerintah AS kepada
pemerintah NKRI yang telah sangat berhasil dalam tempo singkat melucuti
dan melumpuhkan Islam, sehingga saat ini benar-benar dapat “hi-dup
berdampingan secara damai” dengan demokrasi.
c.
sebagai ancaman serius mematikan bagi siapa pun
(perorangan) maupun pihak mana pun (kelom-pok) yang akan merusak bangunan
Islam-demokrasi di Indonesia, bahwa dia atau mereka itu akan berhadapan langsung
dengan kekuatan AS bahkan dunia.
Sikap umat Islam wajib
berbasis kesadaran ideologis
Jumlah umat Islam di dunia adalah lebih dari 1000
juta orang alias satu miliar orang dan lebih da-ri 20 persennya (203.354.285,6
orang) adalah bermukin di negeri Indonesia. Namun jumlah yang begi-tu besar
tersebut, seluruhnya tidak memiliki kesadaran Islami ideologis (اِدْرَاكٌ
اِسْلاَمِيٌ مَبْدَئِيٌ) sama sekali dan yang terjadi adalah
sebaliknya yakni mereka menjadikan Islam sebagai hanya agama pemuas tun-tutan
naluri beragamanya saja alias sekedar memenuhi “rasa” spiritualistik
ritualistik.
Lebih dari itu, saat ini dan itu telah berlangsung
paling tidak sejak UNESCO berdiri sebagai ba-gian tak terpisahkan dari UNO,
seluruh program, kurikulum, rincian materi dan sebagainya dalam sis-tem
pendidikan di Dunia Islam adalah harus mengacu kepada dan mengelaborasikan yang
telah ditetap-kan secara global oleh badan PBB tersebut. Sebagai contoh :
1. walau
di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT)
diberikan kepada peserta didik mata pelajaran Agama Islam, namun materi dari
mata pelajaran tersebut harus dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
ketetapan UNESCO tentang social, religion and culture. UNESCO menetapkan
realitas religion sebagai : (a) entitas hubungan spiritual ritual
indivi-du manusia dengan Tuhannya, (b) bukan urusan publik dan negara yakni
kehidupan beragama se-harusnya tidak diejawantahkan dalam arena publik dan
tidak boleh diatur oleh negara dan (c) rea-litas kehidupan manusia yang
terpisah secara asasi dari kehidupan politik dan negara. Dengan de-mikian,
tidak ada satu hal pun dari pembelajaran Agama Islam yang dapat memunculkan
kesadaran Islami ideologis pada diri sekian ratus juta umat Islam yang menjadi
peserta didik tersebut. Bahkan sebaliknya, ini adalah program pelucutan
dan pelumpuhan kekuatan hakiki dari Islam secara sis-temik dan
sistematis, sehingga yang diterima oleh para peserta didik hanya tinggal ampas
dan ke-rangka kosongnya saja. Lebih parah lagi, posisi mata pelajaran Agama
Islam tersebut ditetapkan se-bagai sama dengan mata pelajaran lainnya, yakni
tidak lebih dari knowledge alias pengetahuan se-mata dan sama sekali
bukan sebagai pemahaman yang menuntut pemberlakuan dalam kenyataan hidup
manusia. Keadaan semakin tragis sehubungan dengan tanggapan para peserta didik
sendiri yang menempatkan seluruh mata pelajaran termasuk Agama Islam sebagai
pengetahuan yang ha-nya mereka perlukan untuk dapat lulus dari suatu jenjang
pendidikan.
2. jika
ada materi tertentu dari mata pelajaran tertentu yang bertentangan dengan
informasi wahyu da-lam Al-Quran, maka harus diselesaikan dengan cara merujuk
kepada ketentuan metode ilmiah. Jika menurut metode tersebut materi yang
dianggap bertentangan tersebut ternyata terbukti sebagai me-menuhi kriteria
ilmiah (scientific category) maka harus tetap diajarkan kepada peserta
didik se-dangkan informasi wahyu harus dikembalikan kepada kedudukan semula
yakni sebagai entitas ke-yakinan orang per orang dan bukan urusan publik maupun
negara. Contohnya adalah berkenaan de-ngan Teori Darwin (The Origin of The
Species) yang nyata-nyata bertentangan dengan informasi wahyu tentang
manusia pertama yakni Adam as. Contoh lainnya adalah tentang teori ilmiah
seputar asal usul alam semesta termasuk sistem tata surya (the solar system)
yang nyata-nyata sebuah kha-yalan yang mustahil bertemu dengan kenyataan.
Inilah yang dijejal-paksakan ke dalam ingatan otak
setiap peserta didik (termasuk umat Islam), sehingga sama sekali tidak ada yang
bisa diharapkan dari mereka. Mereka adalah sekumpulan manusia yang tidak
memiliki standard (اَلْمِقْيَاسُ) untuk menentukan
mana halal mana haram, mana baik mana bu-ruk (مَا الْخَيْرُ وَمَا
الشَّرُّ), mana terpuji mana tercela (مَا الْحَسَنُ وَمَا
الْقَبِيْحُ), mana yang wajib dilakukan mana yang harus ditinggalkan dan
seterusnya. Mereka hanyalah manusia yang telah sepenuhnya terkisruhkan oleh
kesalahan fatal menjadikan metode ilmiah sebagai asas untuk berpikir. Realitas
ini ternyata diber-lakukan secara sama persis di seluruh negeri yang ada di
Dunia Islam, termasuk di kawasan yang di-anggap dan diopinikan sebagai Islam
radikal yakni Timur Tengah. Oleh karena itu, bukan hal yang me-ngejutkan
apalagi istimewa jika didapati sikap umat Islam seperti saat ini, yakni mereka
tidak peduli terhadap Islam bahkan sangat membencinya. Harus diingat fakta sikap
umat Islam ini telah berlang-sung hampir satu abad dan terus menerus
diperbaharui setiap hari secara sistemik dan sistematis di seluruh Dunia Islam.
Realitas membahayakan dan menghancurkan tersebut
juga terbawa serta secara otomatis ketika umat Islam berkiprah dalam dunia
ekonomi, politik dan ideologi di arena kehidupan berbasis sekularis-me, misal
yang terjadi di Indonesia. Eksistensi mereka di ormas berlabel Islam, orpol
bermerek Islam bahkan harakah Islamiyah sekali pun tidak mungkin dihindarkan
dari membawa serta kekisruhan dalam pemikiran dan kekacauan dalam sikap
tersebut. Akibatnya adalah gagasan, pemikiran bahkan sikap apa pun yang mereka
tunjukan maupun sodorkan kepada masyarakat adalah sebuah keberpihakan dan
pem-belaan kepada sistema kufur yang menguasai mereka dengan cara menempelkan
beberapa simbol mau-pun pemikiran Islam padanya. Contoh : pembangunan opini
tentang parpol agamis (Islamis) dan parpol nasionalis atau dipaksakannya sebuah
ide tentang nasionalis religius atau demokrasi religius vis a vis
demokrasi liberal dan sebagainya, seluruhnya adalah aksi dan bentuk riil
dari sikap keberpihakan serta pembelaan umat Islam kepada sistema kufur dengan
menggeret paksa Islam ke dalamnya. Jadi, aksi membela kekufuran
dengan menggunakan Islam atau Islamisasi kekufuran adalah tema
besar yang selalu akan diperjuangkan dan diusung oleh mereka, selama asas
berpikir mereka belum diganti secara total dari sekularisme menjadi
kembali 100 persen Islam lagi.
Oleh karena itu tidak
ada jalan lain untuk merubah sikap umat Islam (baik di Indonesia maupun di
negeri Islam lainnya) adalah hanya dengan merubah pemikiran mereka dan itu
harus diawali dengan mengganti asas berpikir mereka dari sekularisme menjadi
kembali hanya Islam. Upaya ke arah tersebut harus diawali dengan dibentuknya
kelompok atau gerakan politik Islami (كُتْلَةً اَيْ
حَرَكَةً سِيَاسِيَّةً اِسْلاَمِيَّةً)
yang ideologinya hanya Islam termasuk segala bentuk ide, opini maupun
pemikirannya hanya diambil dan digali dari sumber-sumber Islam (Al-Quran dan
As-Sunnah). Gerakan ini harus berawal dari seo-rang manusia yang sangat jernih
(اَلإِنْسَانُ
النَّاقِيُ) dalam memahami realitas kehidupan di masa Islam mau-pun di
masa sekarang. Kemudian harakah ini pun harus bertumpu kepada kepemimpinan (اَلْقِيَادَةُ)
yang terbentuk dari manusia-manusia jernih dalam berpikir (اَلإِسْتِنَارَةُ
فِيْ التَّفْكِيْرِ) sehingga ikhlas dalam bersi-kap (اَلإِخْلاَصُ
فِيْ السُّلُوْكِ وَالْمَوْقِفِ) yang akan berakibat secara pasti mampu
melakukan pembinaan terha-dap seluruh anggota maupun simpatisannya secara
ideologis dalam struktur sistematis. Inilah yang te-lah dilakukan oleh
Rasulullah saw dalam membina para sahabat generasi awal (السَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ) di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam.
Metode itu pula yang dilakukan oleh para sahabat sepeninggal Nabi Mu-hammad saw
saat mereka membina murid-muridnya (tabi’in) dan seterusnya dari generasi ke
generasi kaum muslim sepanjang kehidupan Islami (Khilafah Islamiyah). Hasilnya
adalah luar biasa dan bukti pastinya adalah barisan Khulafa Rasyidun : Abu
Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka
seluruhnya dapat berhasil keluar dengan gemilang dari semua tekanan
ke-pentingan baik internal (kepentingan naluriah mereka sendiri) maupun
eksternal (kepentingan kaum kufar beserta sistema kufurnya). Mereka telah berhasil
dengan sempurna membuktikan dan mengaktua-lisasikan pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ
أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)
“wahai
orang-orang yang beriman, wajib atas kalian menjaga diri kalian sendiri. Tidak
akan memba-hayakan kalian siapa pun yang menyesatkan kalian jika kalian
mengambil hidayah (dari Allah SWT)”
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ
تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا
يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا (آل عمران : 120)
“jika keadaan hasanah yang
menghampiri kalian (umat Islam) pastilah itu akan menjadikan mereka (kaum
kufar) sangat benci kepada kalian dan jika keadaan sayyiah yang menimpa kalian
pastilah itu akan membuat mereka sangat gembira. Dan jika kalian bershabar dan
taqwa pastilah tipu daya mere-ka itu tidak akan membahayakan kalian sedikit
pun”.
Oleh karena itu,
sehubungan dengan realitas umat Islam saat ini sama persis dengan keadaan umat
Islam di masa Nabi Muhammad saw masih di Kota Makkah, maka untuk mewujudkan
sikap me-reka yang berbasis kesadaran ideologis adalah hanya dengan satu metode
yakni metode Rasulullah saw dan para sahabat tersebut. Lagipula, berpegang
teguh hanya kepada metode tersebut adalah wajib dila-kukan berdasarkan seruan
Allah SWT :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ
اللَّهَ كَثِيرًا (الأحزاب : 21)
“sungguh
telah ada dalam diri Rasulullah itu uswah hasanah bagi siapa saja yang berharap
bertemu dengan Allah dan hari akhir serta mengingat Allah sebanyak-banyaknya”
Wal hasil, pemerintah NKRI beserta seluruh lapisan
masyarakatnya termasuk media massa ada-lah sangat wajar dan layak bergembira
dengan pujian dan sanjungan negara AS atas keberhasilannya menyandingkan secara
damai Islam dan demokrasi. Hal itu karena asas berpikir mereka sama saja yak-ni
sekularisme, sehingga tidak ada perbedaan secuilpun di antara mereka. Artinya
berlaku hubungan di antara mereka yang pasti : بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ.
Namun bila sikap gembira
akibat pujian AS itu ditunjukkan oleh umat Islam, maka selain haram
juga sangat tidak layak dan tidak pantas sebab bagaimana mungkin mereka
bergembira menyaksikan dengan langsung dan pasti kekalahan telak
Ideologi Islam oleh kekufuran : demokrasi dan kapitalisme. Bila itu mereka
lakukan juga maka artinya umat Islam bersorak riang melihat kaum kufar menghina
Allah SWT, Rasulullah saw, Al-Quran, As-Sunnah juga diri mereka sendiri.
Pahamilah ucapan Rasu-lullah saw saat mendengar penghinaan dua orang utusan
Musailimah (Ibnu An-Nawaahah dan Ibnu Utsaal) : نَشْهَدُ أَنَّ
مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ,
آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ لَوْ كُنْتُ
قَاتِلًا رَسُولًا لَقَتَلْتُكُمَا قَالَ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ فَمَضَتْ
السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ (رواه احمد)
No comments:
Post a Comment