Saturday, November 9, 2013

PENGAKUAN AMERIKA, KEGEMBIRAAN INDONESIA


Kunjungan penghargaan Menteri Luar Negeri AS
Pada acara jamuan santap malam bersama tokoh masyarakat Indonesia yang diselenggarakan di Gedung Arsip Nasional Jakarta, Rabu 18 Februari 2009, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS) Hillary Clinton menyatakan : jika ingin mengetahui Islam (yang modern), demokrasi dan pengaku-an atas peran wanita, maka datanglah ke Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sebagai ne-gara muslim terbesar, terbukti mampu menunjukkan pada dunia internasional bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring sejalan. Karena itu, AS mendukung langkah Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tentu ini bukan tanpa alasan mendasar, karena Indonesia bisa menyelaraskan antara Islam dan demokrasi, bahkan bisa saling berjalan bersama.
Menanggapi pujian dari Menlu AS tersebut, harian Republika edisi Jumat 20 Februari 2009 da-lam kolom Tajuk berjudul “Islam dan Demokrasi” menyatakan : kehadiran Barack Husein Obama se-bagai Presiden ke 44 AS tak pelak memberi warna baru bagi Negeri Paman Sam itu. Dalam beberapa pidatonya di depan pejabat AS, ia beberapa kali menceritakan Indonesia adalah negara besar dengan penduduk muslim yang moderat. Tentu Obama bukan asal berdiplomasi, karena ia pernah menyelami kehidupan di negara berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa ini. Selama empat tahun bocah Obama ak-rab dengan suasana kemajemukan yang harmonis di Indonesia. Kunjungan mantan Ibu Negara AS ini menjadi salah satu bukti bahwa Pemerintahan Obama ingin membuka hubungan yang lebih erat de-ngan Indonesia. Bagi kita kehadiran Hillary Clinton harus dimaknai sebagai keuntungan diplomasi, karena kebijakan Pemerintahan Obama yang begitu bersahabat dengan Dunia Islam. Apalagi dalam beberapa tahun belakangan ini, Indonesia kembali mendapatkan cap yang tidak enak didengar telinga. Cap itu adalah tempat bermukimnya sejumlah pelaku terorisme. Alasannya, karena beberapa peristiwa bom yang mengguncang Tanah Air sejak 2002 lalu. Di situ pula kemudian berkembang pemahaman yang salah bahwa Islam identik dengan terorisme. Suatu premis yang terburu-buru dituduhkan Dunia Barat terhadap Islam. Padahal di Indonesia, orang-orang radikal seperti itu hanya segelintir saja. Dan tidak ada kaitannya sama sekali perilaku radikalisme itu dengan ajaran Islam yang mengedepan-kan keadilan dan perdamaian. Selanjutnya, kita tentu ingin bukti dari pidato Presiden Obama pada malam inaugurasi pelantikannya bahwa AS ingin memantapkan persahabatan dan perdamaian dengan asas kesetaraan. Dalam konteks kedatangan Hillary, kita ingin kesetaraan itu juga terjadi antara AS dan Indonesia. Kesetaraan artinya kedua belah pihak mendapatkan hak yang sama. Begitu juga dalam hubungan antara Islam dengan demokrasi. Keduanya bisa sejalan dan seiring seperti yang dicontoh-kan di Indonesia. Maka harapannya adalah hubungan antara Indonesia yang didominasi Islam mode-rat akan berjalan seiring dengan pemerintahan AS yang kini digawangi Partai Demokrat. Semoga.
Menteri Keuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Sri Mulyani Indrawati mengu-sulkan agar dibicarakan usulan dilakukannya Bilateral Swap Agreement (BSA) antara Indonesia de-ngan AS saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan pertemuan dengan Menlu AS di Is-tana Negara (Kamis, 19 Februari 2009). Menkeu NKRI menyatakan : perjanjian BSA dengan AS di-pandang sebagai salah satu cara untuk meminimalisasi dampak krisis global kepada Indonesia. Bila itu terjadi, dampaknya juga akan terasa bagi kawasan Asia Tenggara. Perjanjian BSA merupakan sa-lah satu cara untuk mengamankan kebutuhan mata uang asing ketika bank central membutuhkan mata uang asing tersebut. Hal itu berguna untuk menjaga kepercayaan terhadap neraca pembayaran dan APBN. AS yang menjadi sumber permasalahan krisis global dinilai sudah sepatutnya turun tangan untuk meminimalisasi dampak krisis itu ke Asia, terutama Indonesia. Pemerintah juga berharap agar ekonomi AS bisa segera pulih sehingga tidak memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan ekono-mi dunia.
Fragmen konstelasi hubungan antara negara adidaya AS dengan negara lainnya di dunia termasuk NKRI tersebut menunjukkan dengan pasti realitas-realitas berikut :
1.       pengakuan, pujian dan penghargaan dari AS adalah penentu posisi dan eksistensi negara mana pun di dunia baik secara ideologis, ekonomi maupun politik.
2.       seiring dengan perjalanan waktu, sangat mungkin semakin banyak pula yang hakikatnya adalah musuh bagi atau setidaknya berseberangan dengan AS, namun apa pun posisi pihak luar terhadap AS tersebut yang pasti adalah semuanya sepakat untuk menggantungkan harapan, keberlangsungan bahkan masa depan mereka sepenuhnya kepada belas kasihan AS.
3.       de facto maupun de jure, apa pun yang terjadi di AS baik itu akibat faktor internal maupun ekster-nal dapat dipastikan akan mempengaruhi stabilitas (ideologi, ekonomi, politik) dunia secara negara per negara maupun secara global.
4.       dalam suatu negara, misalnya NKRI ternyata tidak hanya aparatur administrasi pemerintahan : (a) yang sangat berharap dan gandrung terhadap sikap baik maupun pujian AS dan (b) yang sangat ta-kut terhadap ancaman atau tuduhan AS, melainkan termasuk seluruh unsur-unsur manusia yang ada di dalamnya. Inilah yang ditunjukkan oleh sikap para wartawan Harian Republika : maka harapan-nya adalah hubungan antara Indonesia yang didominasi Islam moderat akan berjalan seiring de-ngan pemerintahan AS yang kini digawangi Partai Demokrat. Semoga.
5.       ada perbedaan corak kepentingan dalam hubungannya dengan AS antara Dunia Islam dengan Du-nia Barat sendiri (di luar AS), yakni :
a.       secara historis maupun ideologis, Dunia Islam memang sekumpulan negara-negara kebangsaan yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah. Lalu seiring dengan semakin melemahnya kekuatan dan kekuasaan Khilafah Islamiyah terakhir yang pernah ada di dunia (Utsmaniyah) dan berujung pada keruntuhannya : 3 Maret 1924 M, maka Dunia Islam sepenuh-nya beralih ke tangan Dunia Barat. Oleh karena itu, kepentingan Dunia Islam terhadap AS (dan sekutunya di Barat) adalah belas kasihan dan aliran dana dari mereka walau dalam bentuk pinjaman komersial sekalipun.
b.       Inggris, Perancis, Jerman dan Rusia adalah “para jawara” Perang Dunia I (PD I), namun mere-ka kemudian mengalami kekalahan oleh AS pada PD II dan sejak itu keempat negara tersebut selalu berusaha keras menempatkan dirinya sebagai pembantu setia dan sekutu loyalis bagi AS dalam segala arena percaturan global (ideologi, ekonomi, politik). Kepentingan yang ingin me-reka selalu raih dalam posisi tersebut tentu saja sangat pragmatis yakni “pembagian kue keka-yaan” dari hasil mengendalikan Dunia Islam bahkan seluruh dunia. Inilah yang semakin dite-gaskan oleh Perdana Menteri Inggris Gordon Brown saat bertemu dengan Presiden Obama di Washington akhir bulan Februari 2009 lalu, yakni Inggris akan terus menjadi sekutu paling ber-arti dan paling strategis bagi AS. Tekad Inggris ini pun langsung dipuji oleh Obama dengan memastikan bahwa Inggris adalah salah satu sekutu AS yang terbaik.
6.       seluruh dunia sangat tahu bahwa resesi ekonomi yang saat ini masih berlangsung bahkan semakin parah, sepenuhnya berawal dari AS dan tentu saja itu akibat pengendali otoritas perekonomian di AS (presiden, menkeu/the secretary of treasury, gubernur the fed) “membiarkan” kondisi pemicu resesi tersebut (kredit macet/ subprime mortgage) lahir, besar dan meledak. Namun demikian akhir-nya seluruh dunia “memaksa diri mereka” untuk menerimanya tanpa harus protes keras kepada oto-ritas perekonomian AS tersebut dan yang saat ini mereka sangat harapkan adalah supaya AS dapat segera keluar dari krisis dan perekonomiannya kembali sehat. Inilah yang ditunjukkan oleh pernya-taan Sri Mulyani : AS yang menjadi sumber permasalahan krisis global dinilai sudah sepatutnya turun tangan untuk meminimalisasi dampak krisis itu ke Asia, terutama Indonesia. Pemerintah juga berharap agar ekonomi AS bisa segera pulih sehingga tidak memberikan pengaruh buruk terhadap kesehatan ekonomi dunia.
Wal hasil, kunjungan Menlu AS ke Jepang, Korea Selatan, Indonesia dilanjutkan ke kawasan Ti-mur Tengah dan sangat mungkin akan berakhir di negara-negara sekutu AS paling strategis : Inggris dan Uni Eropa, adalah kunjungan penghimpunan dukungan dan kesetiaan serta konsolidasi kekuatan semua “antek-antek AS” di seluruh dunia. Seluruhnya sangat diperlukan oleh AS (supaya tetap aman 100 persen) dalam rangka semakin menggencarkan penyebarluasan demokrasi di seluruh dunia. Allah SWT menyatakan :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (الأنفال : 73)
“dan orang-orang kafir itu sebagian dari mereka adalah auliya (penolong, sekutu, pemimpin, teman akrab) sebagian yang lainnya, sehingga jika kalian (umat Islam) melakukannya (menjadikan mereka sebagai auliya) maka itu adalah mara bahaya dan kerusakan sangat besar di bumi”.


Hakikat pujian Menlu AS kepada Indonesia
Ketika Menlu AS menyatakan : jika ingin mengetahui Islam (yang modern), demokrasi dan peng-akuan atas peran wanita, maka datanglah ke Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sebagai negara muslim terbesar, terbukti mampu menunjukkan pada dunia internasional bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring sejalan, maka hampir seluruh lapisan umat Islam yang berkepentingan de-ngan “akurnya” Islam dan demokrasi sangat gembira dan menganggap sanjungan sang Menlu AS ter-sebut adalah sebuah pengakuan yang tulus dari negara AS sekaligus sebagai obat penghapus rasa sa-kit yang diderita selama ini akibat Indonesia dituduh sebagai sarang teroris berkaliber internasional (Hambali, Umar Faruq, DR. Azahari dan lainnya). Lalu, apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan pernyataan pujian itu? Layakkah umat Islam bersikap gembira dengan pujian tersebut?
Bagian pernyataan Menlu AS : jika ingin mengetahui Islam (yang modern), demokrasi dan peng-akuan atas peran wanita, maka datanglah ke Indonesia, sebenarnya tidak perlu diucapkan sebab pada faktanya bukan hanya di Indonesia terjadinya “kebersamaan saling berdampingan” antara Islam dan de-mokrasi. Realitas seperti itu telah terwujud di seluruh Dunia Islam, termasuk kawasan Timur Tengah yang dianggap Islamnya bercorak garis keras, misalnya Palestina, Lebanon, Iraq, Kerajaan Saudi Ara-bia. Sebagai contoh, adakah perbedaan antara Negara Israel yang dikelola oleh Kaum Yahudi dengan Jalur Gaza yang dikendalikan oleh Hamas? Jawabannya dapat disajikan dalam tabel perbandingan se-bagai berikut :
Realitas
Israel
Jalur Gaza
Otoritas Pengendali
Kaum Yahudi
Hamas
Sistem Pemerintahan
Demokrasi Parlementer
Demokrasi Parlementer
Kepala Pemerintahan
Perdana Menteri
Perdana Menteri
Agama Otoritas Pengendali
Yahudi
Islam
Sistem Moneter
Berbasis dolar AS
Berbasis dolar AS
Sumber Pembiayaan
AS secara langsung
Dunia Barat secara tidak langsung

Nampak sangat jelas dan pasti bahwa perbedaan yang ada antara Israel dan Jalur Gaza hanya pada ba-gian “agama otoritas pengendali” yakni Kaum Yahudi beragama Yahudi dan Hamas beragama Islam. Perbedaan ini pun sama sekali tidak berarti bahkan sebaliknya justru berupa realitas sangat mengerikan, sebab keyahudian Israel dan kemusliman Jalur Gaza tidak menjadi penciri khas yang membedakan ke-duanya, melainkan keduanya sama-sama tunduk patuh (رَاكِعَيْنِ سَاجِدَيْنِ) kepada sistema kufur demokrasi.
Lalu, mengapa realitas kebersamaan Islam dan demokrasi itu diseolah-olahkan hanya terjadi di Indonesia oleh AS? Jawabannya terungkap pada ucapan : dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sebagai negara muslim terbesar, terbukti mampu menunjukkan pada dunia internasional bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring sejalan. Artinya, jika kenyataan Indonesia adalah bukan sebagai negara muslim terbesar, maka tidak akan ada ucapan sanjungan Menlu AS tersebut dan realitas kebersamaan Islam dan demokrasi yang ada pun pasti akan diposisikan sama saja yakni tidak ada keistimewaan apa pun dengan negara-negara muslim lainnya di Dunia Islam. Mengapa fakta Indonesia sebagai negeri muslim terbesar tersebut dianggap perlu diberi perhatian istimewa oleh AS?
Fakta jumlah sumberdaya manusia (SDM) di Indonesia sebenarnya bukan yang paling istimewa, sebab total penduduk Indonesia bukan yang paling banyak di dunia, melainkan hanya nomor empat :
Negara
Jumlah Penduduk (per 10-02-2009)
Peringkat
Dunia
Agama Mayoritas
China
1.335.224.576
1
Budha – Konghuchu
India
1.159.212.547
2
Hindu
AS
305.485.753
3
Protestan
Indonesia
239.240.336
4
Islam
Brasil
197.835.484
5
Katholik

Namun, entitas agama mayoritas Indonesia itulah yang sangat menjadi perhatian sekaligus kengerian dan ancaman mematikan bagi Dunia Barat terutama AS. Betapa tidak, jika asumsi umat Islam di Indo-nesia masih 85 persen, maka jumlah mereka adalah 203.354.285,6 orang. Memang hingga saat ini, rea-litas populasi umat Islam yang lebih dari 203 juta itu sama sekali bukan persoalan, kengerian maupun ancaman bagi AS dan Dunia Barat, sebab keislaman mereka adalah didominasi oleh Islam moderat (Tajuk Republika menyatakan : maka harapannya adalah hubungan antara Indonesia yang didominasi Islam moderat akan berjalan seiring dengan pemerintahan AS yang kini digawangi Partai Demokrat. Semoga.). Umat Islam yang keislamannya moderat memastikan sejumlah sikap sebagai berikut :
1.       sangat akomodatif, asimilatif, toleran dan apresiatif terhadap apa pun yang berasal dari luar agama mereka asalkan dirasakan dan dianggap (secara naluriah) tidak bertentangan atau tidak diharamkan oleh Islam sendiri. Inilah yang ditunjukkan oleh umat Islam Indonesia yang dapat menerima demo-krasi dengan sangat baik bahkan mereka memposisikan demokrasi sebagai bagian tak terpisahkan dari perintah Islam : اَلشُّوْرَى.
2.       lebih mengedepankan sikap “damai dan main aman” saat harus berhadapan dengan pihak yang di-anggap sebagai musuh utama sekalipun dan sikap ini terwujud pada diri mereka akibat sangat kuat-nya pengaruh budaya lokal (filsafat Jawa, Sunda, Melayu dan lainnya). Artinya Islam beserta selu-ruh pemikirannya sama sekali bukan sebagai kaidah berpikir apalagi kepemimpinan ideologis, melainkan hanya sebagai pelengkap aspek spiritual dan ritual yang telah lama mereka lakukan da-lam kehidupan sehari-hari.
3.       tidak akan pernah memiliki pemikiran untuk menyebarluaskan Islam sebagai ideologi kehidupan manusia di dunia kepada seluruh manusia di dunia. Jika pun mereka terbukti melakukan penyeba-ran agama Islam kepada orang lain, maka itu pun sangat terbatas yakni sekedar sebagai agama alias spiritualisme ritualisme belaka, tidak lebih. Artinya, aksi umat Islam seperti ini sama sekali tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh komunitas manusia pemeluk agama Hindu, Budha, Protestan maupun Katholik, sehingga tidak memuat ancaman mematikan apa pun terhadap ideologi kapitalis-me sekularistik.
4.       tidak akan pernah memiliki kesadaran ideologis apa pun terhadap segala yang dituntut oleh Islam yakni negara, pemerintahan, aparatur penguasa, pemenuhan kebutuhan, pengelolaan harta, jaminan dan pemeliharaan keamanan, selain hanya sangat perhatian kepada aspek ritualistik : shalat, shaum, haji, du’a, wirid, nikah, kelahiran, kematian, alam ghaib, mimpi dan sebagainya. Artinya, umat Is-lam dalam hal ini sama tidak membahayakannya dengan penganut agama lainnya.
5.       akan yang pertama kalinya tampil ke depan menentang dan menolak pemikiran maupun sikap umat Islam lainnya yang dianggap bertentangan dengan mereka, yakni umat Islam yang menjadikan ke-islamannya sebagai sebuah kesadaran ideologis yang mengharuskan adanya pemberlakuan seluruh syariah Islamiyah dalam arena kehidupan manusia melalui institusi Khilafah Islamiyah.
Realitas sikap umat Islam moderat inilah yang sebenarnya ingin selalu dipertahankan oleh AS untuk te-tap melekat erat dalam diri kaum muslim Indonesia dan salah satu caranya adalah dengan memberikan pujian, sanjungan, penghargaan bahkan disertai dengan bantuan finansial yang tidak sedikit baik yang langsung kepada rakyat (lewat lembaga swadaya masyarakat/LSM) maupun yang melalui pemerintah. Tragisnya, propaganda halus nan menjebak ini ternyata langsung didukung sepenuhnya oleh media massa (cetak maupun elektronik), bahkan seluruhnya sepakat bahwa misi kedatangan Menlu AS ter-sebut wajib diterima oleh umat Islam karena sangat menguntungkan. Inilah yang dipertelakan oleh salah satu bagian Tajuk Republika : bagi kita kehadiran Hillary Clinton harus dimaknai sebagai keun-tungan diplomasi, karena kebijakan Pemerintahan Obama yang begitu bersahabat dengan Dunia Is-lam. Artinya, dalam tubuh umat Islam Indonesia sendiri yakni para awak media massa telah dengan si-gap dan gesit menyambut seruan AS untuk bersama-sama selalu menjaga dan mempertahankan realitas umat Islam Indonesia sebagai umat Islam yang moderat.
Padahal sangat nampak dari ucapan Menlu AS : dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sebagai ne-gara muslim terbesar, terbukti mampu menunjukkan pada dunia internasional bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring sejalan, bahwa antara Islam dan demokrasi secara aspek pokok dan men-dasar adalah tidak mungkin (impossible) dapat berada dalam sebuah sistem secara berdampingan ke-cuali jika Islam terlebih dahulu dilucuti dan dilumpuhkan yakni dengan merubahnya dari sebuah ide-ologi dunia menjadi hanya sebagai agama spiritualistik ritualistik orang per orang. Tegasnya ucapan tersebut adalah pernyataan “selamat” alias congratulation dari pemerintah AS kepada pemerintah Indo-nesia yang dalam tempo singkat (10 tahun) telah berhasil melucuti dan melumpuhkan Islam, sehingga saat ini benar-benar dapat “hidup berdampingan secara damai” dengan demokrasi dalam wadah NKRI sebuah negeri muslim terbesar di dunia. Adalah sangat mungkin dalam benak dan pikiran pemerintah AS menggumpal sebuah keheranan : koq bisa ya, di Indonesia Islam dan demokrasi dipersatukan?
Jadi, hakikat pujian Menlu AS tersebut adalah :
a.       sebagai seruan pasti kepada seluruh jajaran pemerintah NKRI dan masyarakat Indonesia untuk te-rus menerus memelihara dan menjaga realitas keislaman umat Islam Indonesia selalu moderat.
b.       sebagai ucapan selamat dari pemerintah AS kepada pemerintah NKRI yang telah sangat berhasil dalam tempo singkat melucuti dan melumpuhkan Islam, sehingga saat ini benar-benar dapat “hi-dup berdampingan secara damai” dengan demokrasi.
c.       sebagai ancaman serius mematikan bagi siapa pun (perorangan) maupun pihak mana pun (kelom-pok) yang akan merusak bangunan Islam-demokrasi di Indonesia, bahwa dia atau mereka itu akan berhadapan langsung dengan kekuatan AS bahkan dunia.


Sikap umat Islam wajib berbasis kesadaran ideologis
Jumlah umat Islam di dunia adalah lebih dari 1000 juta orang alias satu miliar orang dan lebih da-ri 20 persennya (203.354.285,6 orang) adalah bermukin di negeri Indonesia. Namun jumlah yang begi-tu besar tersebut, seluruhnya tidak memiliki kesadaran Islami ideologis (اِدْرَاكٌ اِسْلاَمِيٌ مَبْدَئِيٌ) sama sekali dan yang terjadi adalah sebaliknya yakni mereka menjadikan Islam sebagai hanya agama pemuas tun-tutan naluri beragamanya saja alias sekedar memenuhi “rasa” spiritualistik ritualistik.
Lebih dari itu, saat ini dan itu telah berlangsung paling tidak sejak UNESCO berdiri sebagai ba-gian tak terpisahkan dari UNO, seluruh program, kurikulum, rincian materi dan sebagainya dalam sis-tem pendidikan di Dunia Islam adalah harus mengacu kepada dan mengelaborasikan yang telah ditetap-kan secara global oleh badan PBB tersebut. Sebagai contoh :
1.       walau di Indonesia mulai dari taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi (PT) diberikan kepada peserta didik mata pelajaran Agama Islam, namun materi dari mata pelajaran tersebut harus dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ketetapan UNESCO tentang social, religion and culture. UNESCO menetapkan realitas religion sebagai : (a) entitas hubungan spiritual ritual indivi-du manusia dengan Tuhannya, (b) bukan urusan publik dan negara yakni kehidupan beragama se-harusnya tidak diejawantahkan dalam arena publik dan tidak boleh diatur oleh negara dan (c) rea-litas kehidupan manusia yang terpisah secara asasi dari kehidupan politik dan negara. Dengan de-mikian, tidak ada satu hal pun dari pembelajaran Agama Islam yang dapat memunculkan kesadaran Islami ideologis pada diri sekian ratus juta umat Islam yang menjadi peserta didik tersebut. Bahkan sebaliknya, ini adalah program pelucutan dan pelumpuhan kekuatan hakiki dari Islam secara sis-temik dan sistematis, sehingga yang diterima oleh para peserta didik hanya tinggal ampas dan ke-rangka kosongnya saja. Lebih parah lagi, posisi mata pelajaran Agama Islam tersebut ditetapkan se-bagai sama dengan mata pelajaran lainnya, yakni tidak lebih dari knowledge alias pengetahuan se-mata dan sama sekali bukan sebagai pemahaman yang menuntut pemberlakuan dalam kenyataan hidup manusia. Keadaan semakin tragis sehubungan dengan tanggapan para peserta didik sendiri yang menempatkan seluruh mata pelajaran termasuk Agama Islam sebagai pengetahuan yang ha-nya mereka perlukan untuk dapat lulus dari suatu jenjang pendidikan.
2.       jika ada materi tertentu dari mata pelajaran tertentu yang bertentangan dengan informasi wahyu da-lam Al-Quran, maka harus diselesaikan dengan cara merujuk kepada ketentuan metode ilmiah. Jika menurut metode tersebut materi yang dianggap bertentangan tersebut ternyata terbukti sebagai me-menuhi kriteria ilmiah (scientific category) maka harus tetap diajarkan kepada peserta didik se-dangkan informasi wahyu harus dikembalikan kepada kedudukan semula yakni sebagai entitas ke-yakinan orang per orang dan bukan urusan publik maupun negara. Contohnya adalah berkenaan de-ngan Teori Darwin (The Origin of The Species) yang nyata-nyata bertentangan dengan informasi wahyu tentang manusia pertama yakni Adam as. Contoh lainnya adalah tentang teori ilmiah seputar asal usul alam semesta termasuk sistem tata surya (the solar system) yang nyata-nyata sebuah kha-yalan yang mustahil bertemu dengan kenyataan.
Inilah yang dijejal-paksakan ke dalam ingatan otak setiap peserta didik (termasuk umat Islam), sehingga sama sekali tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka. Mereka adalah sekumpulan manusia yang tidak memiliki standard (اَلْمِقْيَاسُ) untuk menentukan mana halal mana haram, mana baik mana bu-ruk (مَا الْخَيْرُ وَمَا الشَّرُّ), mana terpuji mana tercela (مَا الْحَسَنُ وَمَا الْقَبِيْحُ), mana yang wajib dilakukan mana yang harus ditinggalkan dan seterusnya. Mereka hanyalah manusia yang telah sepenuhnya terkisruhkan oleh kesalahan fatal menjadikan metode ilmiah sebagai asas untuk berpikir. Realitas ini ternyata diber-lakukan secara sama persis di seluruh negeri yang ada di Dunia Islam, termasuk di kawasan yang di-anggap dan diopinikan sebagai Islam radikal yakni Timur Tengah. Oleh karena itu, bukan hal yang me-ngejutkan apalagi istimewa jika didapati sikap umat Islam seperti saat ini, yakni mereka tidak peduli terhadap Islam bahkan sangat membencinya. Harus diingat fakta sikap umat Islam ini telah berlang-sung hampir satu abad dan terus menerus diperbaharui setiap hari secara sistemik dan sistematis di seluruh Dunia Islam.
Realitas membahayakan dan menghancurkan tersebut juga terbawa serta secara otomatis ketika umat Islam berkiprah dalam dunia ekonomi, politik dan ideologi di arena kehidupan berbasis sekularis-me, misal yang terjadi di Indonesia. Eksistensi mereka di ormas berlabel Islam, orpol bermerek Islam bahkan harakah Islamiyah sekali pun tidak mungkin dihindarkan dari membawa serta kekisruhan dalam pemikiran dan kekacauan dalam sikap tersebut. Akibatnya adalah gagasan, pemikiran bahkan sikap apa pun yang mereka tunjukan maupun sodorkan kepada masyarakat adalah sebuah keberpihakan dan pem-belaan kepada sistema kufur yang menguasai mereka dengan cara menempelkan beberapa simbol mau-pun pemikiran Islam padanya. Contoh : pembangunan opini tentang parpol agamis (Islamis) dan parpol nasionalis atau dipaksakannya sebuah ide tentang nasionalis religius atau demokrasi religius vis a vis demokrasi liberal dan sebagainya, seluruhnya adalah aksi dan bentuk riil dari sikap keberpihakan serta pembelaan umat Islam kepada sistema kufur dengan menggeret paksa Islam ke dalamnya. Jadi, aksi membela kekufuran dengan menggunakan Islam atau Islamisasi kekufuran adalah tema besar yang selalu akan diperjuangkan dan diusung oleh mereka, selama asas berpikir mereka belum diganti secara total dari sekularisme menjadi kembali 100 persen Islam lagi.
Oleh karena itu tidak ada jalan lain untuk merubah sikap umat Islam (baik di Indonesia maupun di negeri Islam lainnya) adalah hanya dengan merubah pemikiran mereka dan itu harus diawali dengan mengganti asas berpikir mereka dari sekularisme menjadi kembali hanya Islam. Upaya ke arah tersebut harus diawali dengan dibentuknya kelompok atau gerakan politik Islami (كُتْلَةً اَيْ حَرَكَةً  سِيَاسِيَّةً اِسْلاَمِيَّةً) yang ideologinya hanya Islam termasuk segala bentuk ide, opini maupun pemikirannya hanya diambil dan digali dari sumber-sumber Islam (Al-Quran dan As-Sunnah). Gerakan ini harus berawal dari seo-rang manusia yang sangat jernih (اَلإِنْسَانُ النَّاقِيُ) dalam memahami realitas kehidupan di masa Islam mau-pun di masa sekarang. Kemudian harakah ini pun harus bertumpu kepada kepemimpinan (اَلْقِيَادَةُ) yang terbentuk dari manusia-manusia jernih dalam berpikir (اَلإِسْتِنَارَةُ فِيْ التَّفْكِيْرِ) sehingga ikhlas dalam bersi-kap (اَلإِخْلاَصُ فِيْ السُّلُوْكِ وَالْمَوْقِفِ) yang akan berakibat secara pasti mampu melakukan pembinaan terha-dap seluruh anggota maupun simpatisannya secara ideologis dalam struktur sistematis. Inilah yang te-lah dilakukan oleh Rasulullah saw dalam membina para sahabat generasi awal (السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ) di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam. Metode itu pula yang dilakukan oleh para sahabat sepeninggal Nabi Mu-hammad saw saat mereka membina murid-muridnya (tabi’in) dan seterusnya dari generasi ke generasi kaum muslim sepanjang kehidupan Islami (Khilafah Islamiyah). Hasilnya adalah luar biasa dan bukti pastinya adalah barisan Khulafa Rasyidun : Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka seluruhnya dapat berhasil keluar dengan gemilang dari semua tekanan ke-pentingan baik internal (kepentingan naluriah mereka sendiri) maupun eksternal (kepentingan kaum kufar beserta sistema kufurnya). Mereka telah berhasil dengan sempurna membuktikan dan mengaktua-lisasikan pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)
“wahai orang-orang yang beriman, wajib atas kalian menjaga diri kalian sendiri. Tidak akan memba-hayakan kalian siapa pun yang menyesatkan kalian jika kalian mengambil hidayah (dari Allah SWT)”
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا (آل عمران : 120)
“jika keadaan hasanah yang menghampiri kalian (umat Islam) pastilah itu akan menjadikan mereka (kaum kufar) sangat benci kepada kalian dan jika keadaan sayyiah yang menimpa kalian pastilah itu akan membuat mereka sangat gembira. Dan jika kalian bershabar dan taqwa pastilah tipu daya mere-ka itu tidak akan membahayakan kalian sedikit pun”.
Oleh karena itu, sehubungan dengan realitas umat Islam saat ini sama persis dengan keadaan umat Islam di masa Nabi Muhammad saw masih di Kota Makkah, maka untuk mewujudkan sikap me-reka yang berbasis kesadaran ideologis adalah hanya dengan satu metode yakni metode Rasulullah saw dan para sahabat tersebut. Lagipula, berpegang teguh hanya kepada metode tersebut adalah wajib dila-kukan berdasarkan seruan Allah SWT :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (الأحزاب : 21)
“sungguh telah ada dalam diri Rasulullah itu uswah hasanah bagi siapa saja yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhir serta mengingat Allah sebanyak-banyaknya”
Wal hasil, pemerintah NKRI beserta seluruh lapisan masyarakatnya termasuk media massa ada-lah sangat wajar dan layak bergembira dengan pujian dan sanjungan negara AS atas keberhasilannya menyandingkan secara damai Islam dan demokrasi. Hal itu karena asas berpikir mereka sama saja yak-ni sekularisme, sehingga tidak ada perbedaan secuilpun di antara mereka. Artinya berlaku hubungan di antara mereka yang pasti : بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ.
Namun bila sikap gembira akibat pujian AS itu ditunjukkan oleh umat Islam, maka selain haram juga sangat tidak layak dan tidak pantas sebab bagaimana mungkin mereka bergembira menyaksikan dengan langsung dan pasti kekalahan telak Ideologi Islam oleh kekufuran : demokrasi dan kapitalisme. Bila itu mereka lakukan juga maka artinya umat Islam bersorak riang melihat kaum kufar menghina Allah SWT, Rasulullah saw, Al-Quran, As-Sunnah juga diri mereka sendiri. Pahamilah ucapan Rasu-lullah saw saat mendengar penghinaan dua orang utusan Musailimah (Ibnu An-Nawaahah dan Ibnu Utsaal) : نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ,
آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ لَوْ كُنْتُ قَاتِلًا رَسُولًا لَقَتَلْتُكُمَا قَالَ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ فَمَضَتْ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ (رواه احمد)

No comments:

Post a Comment