Muhammadiyah : jujur dan bangga dengan kekufuran
Ketua Umum Pimpinan Pusat (Ketum PP) Muhammadiyah Prof. Din
Syamsuddin dalam tausiyah pembukaan Muktamar XIV Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) di Lembang Bandung pada hari Kamis 22 April 2010 (Republika, Jumat 23
April 2010, halaman 12) menyatakan :
Muhammadiyah tak akan mengintervensi siapa pun yang akan menjadi
ketua umum IMM se-lanjutnya. Namun, yang harus diwaspadai adalah adanya
intervensi dari luar. Muhammadiyah terlalu menggoda. Kita yang harus
merekayasa, tetapi jangan mau direkayasa. Pemilihan ketua umum yang baru harus
berjalan secara demokratis.
Potensi di tubuh IMM khususnya sangat melimpah. Potensi itu harus
disertai pula dengan kekri-tisan terhadap pemerintah. Bila pemerintah telah
melenceng dari jalurnya, Muhammadiyah, termasuk IMM, harus siap berada di garis
terdepan untuk melawannya.
Akhir-akhir ini, ada isu yang menyebutkan bahwa antara pemerintah
dan Muhammadiyah reng-gang. Saya tidak setuju. Akan tetapi, ada hal yang sangat
prinsipil yang tidak bisa dikompromikan. Sa-ya tidak bisa kompromi dengan
hal-hal yang tidak saya yakini.
Saat Muktamar XIII IMM di Lampung pada 2008 lalu, Taufik Abdullah,
sejarawan Indonesia, mengungkapkan peran Muhammadiyah yang besar dalam proses
terbentuknya negara Indonesia. Me-nurut Taufik, Muhammadiyah berperan menghapus
tujuh kata di sila pertama Pancasila di Piagam Ja-karta. Kemudian, menggantinya
menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Muhammadiyah juga menyum-bangkan sebuah
kalimat dalam pembukaan UUD 1945 yang memiliki kedalaman makna, yakni
men-cerdaskan kehidupan bangsa. Ini merupakan bagian dari kontribusi
Muhammadiyah.
Oleh karena itu, Muhammadiyah agar tetap
menjadi kelompok tengah yang tidak condong ke kiri atau ke kanan. Saya pernah
menjadi ketua litbang DPP Golkar, tetapi akhirnya memutuskan kembali ke
Muhammadiyah. Saya putuskan untuk tetap berdakwah dan kembali ke jalan yang
benar.
Demikianlah, pada akhirnya Ketum PP Muhammadiyah dengan penuh
percaya diri dan tanpa be-ban sedikit pun menyampaikan pengakuan yang sangat
jujur tentang :
1.
Muhammadiyah terlalu menggoda banyak pihak, sehingga harus mampu
melakukan rekayasa dan tidak boleh mau direkayasa pihak luar.
2.
Muhammadiyah harus siap berada di garis terdepan untuk melawan
pemerintah, jika pemerintah te-lah melenceng dari jalurnya. Namun hal itu tidak
berarti hubungan Muhammadiyah dengan pe-merintah menjadi renggang.
3.
kebanggaan dirinya terhadap peran besar Muhammadiyah dalam proses
terbentuknya negara Indo-nesia, antara lain :
a.
menghapus tujuh kata dari sila pertama rumusan Pancasila yang ada pada Piagam
Jakarta (dan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya), lalu
menggantinya dengan sila Ketu-hanan Yang Maha Esa
b.
menyumbangkan sebuah gagasan yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa yang akhirnya dican-tumkan dalam Pembukaan UUD 1945
4.
tekadnya untuk terus menjaga Muhammadiyah supaya tetap menjadi
kelompok tengah yang tidak condong ke kiri atau ke kanan.
5.
keputusan dirinya untuk keluar dari posisi selaku Ketua Litbang
DPP Golkar dan kembali ke Mu-hammadiyah supaya tetap bisa dakwah dan dapat
kembali ke jalan yang benar.
Sekali lagi, pengakuan Ketum PP Muhammadiyah itu memang sangat
jujur namun apakah me-ngandung kebenaran yaitu apakah sesuai dengan realitas
ormas tersebut maupun Din sendiri?
Klaim bahwa Muhammadiyah terlalu menggoda, tentu saja
memicu pertanyaan mendasar yakni bagian manakah dan aspek apakah dari
Muhammadiyah yang terlalu menggoda, lalu siapakah yang da-pat tergoda dengan
realitas Muhammadiyah tersebut? Sangat mudah ditebak bahwa yang dia maksud
dengan ucapan Muhammadiyah terlalu menggoda adalah berbagai potensi dan
aset yang selama ham-pir satu abad berhasil terhimpun dalam tubuh ormas
tersebut :
1.
jumlah pengikut Muhammadiyah baik yang resmi selaku anggota maupun
sekedar simpatisan yang seluruhnya diduga kuat sekitar 30-an juta orang.
2.
banyak kader Muhammadiyah yang pernah dan tengah
berperan langsung dalam berbagai lini ke-kuasaan maupun pemerintahan, seperti
menteri, anggota parlemen, Ketua Komisi Yudisial dan se-bagainya.
3.
sumberdaya manusia (SDM) yang selalu diklaim sangat terdidik
dan tidak tradisional yakni lebih dari 90 persen adalah lulusan
perguruan tinggi mulai dari S1 hingga S3 bahkan tidak sedikit yang bergelar
Profesor.
4.
aset fisik maupun mesin uang yang telah tersebar hampir di seluruh
pulau yang ada dalam wilayah Indonesia, seperti sekolah mulai dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) ju-ga berbagai bentuk pesantren,
maupun sejumlah balai kesehatan dan pengobatan.
Namun, tanpa mempertimbangkan aspek benar-salah
atau halal-haram dalam pandangan Islam, maka harus dijawab pertanyaan apakah
seluruh kekayaan yang begitu sangat menggoda tersebut telah mam-pu secara pasti
mengantarkan bangsa Indonesia khususnya warga Muhammadiyah kepada
kesejahtera-an hidup mereka yakni terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok :
makanan, pakaian, tempat tinggal?
Mereka termasuk Ketum PP Muhammadiyah sendiri dapat dipastikan
tidak akan pernah mampu memberikan jawaban yang realistis dan riil, karena
realitas faktual justru menunjukkan dengan gam-blang bahwa sekedar
menurut standard atau patokan yang berlaku praktis di Negara Kesatuan
Repu-blik Indonesia (NKRI) sekali pun tidak diragukan lagi bahwa Muhammadiyah
dengan seluruh pesona penggodanya itu sama sekali belum dan
memang tidak akan pernah mampu mengantarkan siapa pun kepada
kesejahteraan. Hal itu apalagi jika seluruh pesona menggoda tersebut
distandardisasi oleh pe-mikiran Islami, maka hasilnya adalah sebagai berikut :
1.
eksistensi Muhammadiyah adalah tidak benar apa pun argumentasi
yang selama ini mereka perta-hankan dengan sangat ngotot termasuk klaim sebagai
gerakan dakwah dan amar ma’ruf nahi mun-kar yang menurut mereka berdasarkan
pernyataan Allah SWT :
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
Jika memang eksistensi Muhammadiyah berdasarkan ayat tersebut, maka
wajib diajukan pertanya-an : mana bukti bahwa Muhammadiyah telah melakukan dakwah
Islamiyah yakni menyeru umat Islam untuk kembali hidup secara Islami dalam
wadah Khilafah Islamiyah? Mana pula bukti Mu-hammadiyah telah melakukan اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ dan ditujukan kepada siapa?
Tentu saja jawabannya telah dengan sangat gamblang ditunjukkan dan
diakui dengan sangat jujur oleh Ketum PP Muhammadiyah : Saat Muktamar
XIII IMM di Lampung pada 2008 lalu, Taufik Abdullah, sejarawan Indonesia,
mengungkapkan peran Muhammadiyah yang besar dalam proses terbentuknya negara
Indonesia. Menurut Taufik, Muhammadiyah berperan menghapus tujuh kata di sila
pertama Pancasila di Piagam Jakarta. Kemudian, menggantinya menjadi Ketuhanan
Yang Maha Esa. Muhammadiyah juga menyumbangkan sebuah kalimat dalam pembukaan
UUD 1945 yang memiliki kedalaman makna, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ini merupakan bagian dari kontribusi Muhammadiyah.
Artinya, dakwah yang dilakukan oleh
Muhammadiyah selama satu abad terakhir adalah justru se-makin menjauhkan umat
Islam Indonesia dari kesadaran mereka untuk melaksanakan kewajiban yang
terkategori مِنْ اَهَمِّيَةِ الْفُرُوْضِ
وَالْوَاجِبَاتِ yaitu hidup secara Islami dalam wadah Khilafah Islami-yah.
Lebih dari itu, Muhammadiyah dalam berbagai kesempatan sangat dengan tegas
menunjukkan penentangannya terhadap upaya apa pun yang dilakukan oleh siapa pun
untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Sekaligus sangat bersikukuh untuk
tetap melanjutkan kehidupan di dunia de-ngan sistema demokrasi : dalam bidang ekonomi, sistem itu memadukan pertumbuhan
dalam pe-merataan. Sedangkan dalam bidang politik, mendorong demokrasi yang
tetap bertumpu pada nilai etika dan moral
(Din Syamsuddin, Wakil Sekretaris Jenderal KRIS yang mewakili Benua Asia pada
Sidang Dewan Eksekutif Organisasi Kepemimpinan Rakyat Islam Sedunia/KRIS atau World
Islamic People’s Leadership di Kota Paris tanggal 24-25 Maret 2009 lalu).
Demikian juga pernyataan Ketum : Potensi itu harus
disertai pula dengan kekritisan terhadap pe-merintah. Bila pemerintah telah
melenceng dari jalurnya, Muhammadiyah, termasuk IMM, harus siap berada di garis
terdepan untuk melawannya, adalah sangat mungkin dimaksudkan sebagai wujud riil dari klaim
Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu berarti menurut
Muhammadiyah objek yang dibidik oleh aktivitas اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ adalah pe-merintah NKRI
yang notabene adalah pemerintahan kufur yang memberlakukan sistema
pemerin-tahan kufur : demokrasi. Konsep dan aksi Muhammadiyah tersebut tentu
saja menyalahi seluruh dalil yang semesta pembicaraannya adalah اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ dan itu dipastikan
ditujukan kepada para penguasa Khilafah yakni Khalifah, para Wali dan para
‘Amil, bukan Presiden, Perdana Menteri, Raja, Kanselir dan lainnya para penguasa
yang saat ini berkuasa di negara kebangsaan.
2.
opini umum umat Islam Indonesia terutama selama 32 tahun di bawah
rezim Orde Baru adalah eks-trem kiri itu adalah komunis sedangkan ekstrem kanan
adalah Islam radikal yang dulu dipelopori oleh DI/TII, sementara golongan
tengah adalah kaum nasionalis. Oleh karena itu, dapat dipastikan maksud dari
ucapan Ketum Muhammadiyah : Muhammadiyah agar tetap menjadi kelompok te-ngah
yang tidak condong ke kiri atau ke kanan, adalah penegasan jatidiri dan
sikap Muhamma-diyah yakni sebagai ormas Islam berhaluan moderat sekaligus
loyalis sejati nasionalisme.
Tentu saja, sikap Muhammadiyah tersebut
bertentangan dengan realitas Islam yang ditunjukkan oleh seluruh dalil yang ada
dalam Al-Quran dan As-Sunnah, antara lain :
وَمَنْ
يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي
الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
الْإِيمَانُ
مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن
ماجه)
3.
keputusan Din untuk keluar dari Ketua Litbang Golkar dan kembali
kepada Muhammadiyah yang diklaim sebagai kembali kepada jalan yang benar, tentu
saja sangat “lucu” alias lugu dan culun ya-itu dungu. Hal itu karena, bukankah
Golkar yang loyalis sejati Pancasila dan nasionalisme itu ha-nya melanjutkan
sikap dan keputusan Muhammadiyah sendiri dalam proses berdirinya NKRI? La-lu, aspek
atau hal apakah yang membedakan Golkar dengan Muhammadiyah sehingga Din
Syam-suddin menganggap bahwa Golkar itu adalah jalan yang salah,
sedangkan Muhammadiyah adalah jalan yang benar? Inilah realitas
lugu dan culunnya seorang Prof. Dr. Din Syamsuddin! Sangat mungkin jika Golkar
mendengar ucapan tersebut, maka mereka akan tertawa terbahak-bahak me-nyaksikan
ke-lucu-an dari sang Ketum Muhammadiyah.
Wal hasil dari seluruh pembahasan tersebut
jelas sudah bahwa Muhammadiyah di bawah kendali dan pengelolaan Din Syamsuddin
(juga yang lain sebelumnya) telah memastikan jatidiri untuk sangat jujur dan
bangga dengan kekufuran sekularistik : demokrasi dan kapitalisme. Allah SWT menyatakan
:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ
ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ
يُحْسِنُونَ صُنْعًا أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ
فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا ءَايَاتِي وَرُسُلِي
هُزُوًا (الكهف : 103-106)
Muhammadiyah : taqlid haram tapi demokrasi
halal
Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam di Indonesia yang bersikap
untuk tidak menggu-nakan ushul fiqih (اُصُوْلُ
الْفِقْهِ), fiqih (اَلْفِقْهُ), anti madzhab dan bagi
mereka taqlid itu adalah haram atau paling tidak taqlid itu adalah perbuatan
tercela. Mereka menganggap bahwa yang harus dilakukan oleh umat Islam adalah
ittiba’ kepada Rasulullah saw, yakni pokoknya apa pun yang dilakukan oleh
beliau saw maka harus diikuti oleh umat Islam, tanpa harus mempertimbangkan
apakah itu wajib, sunnah, mubah yang penting dicontohkan oleh Nabi Muhammad
saw. Bahkan realitas sikap tersebut benar-benar telah mengantarkan mereka untuk
tidak peduli terhadap fakta perkara yang terkategori kekhusu-san bagi
Rasulullah saw (خُصُوْصِيَّةُ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).
Selain itu, Muhammadiyah memastikan bahwa segala sesuatu itu harus
ada dalilnya dalam Al-Quran maupun As-Sunnah secara صَرَاحَةً
وَمَنْطُوْقًا, alias harus ada ayatnya atau haditsnya lalu jika tidak
ditemukan ayatnya maupun haditsnya maka mereka anggap hal itu adalah urusan
dunia sehingga dise-rahkan sepenuhnya kepada manusia karena mereka lebih
mengetahuinya. Anggapan tersebut diklaim sebagai berdasarkan pernyataan
Rasulullah saw :
أَنْتُمْ
أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ (رواه مسلم)
Akibatnya, karena lafadz negara (اَلدَّوْلَةُ), Khalifah maupun
Khilafah Islamiyah tidak mereka te-mukan ayatnya dalam Al-Quran maka
disimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada konsep tentang nega-ra, Khalifah maupun
Khilafah Islamiyah. Lalu, mereka simpulkan bahwa urusan tersebut diserahkan
sepenuhnya kepada manusia dan yang penting adalah syariah Islamiyah dapat
dilaksanakan. Tentu itu pun yang dimaksudkan adalah tidak lebih dari rukun
Islam yang selama ini (hampir satu abad) selalu diopinikan dan dipropagandakan
sebagai Islam yang sebenarnya.
Hal lainnya yang menjadi ciri khas Muhammadiyah adalah penggunaan
kaidah “asal tidak dila-rang dan tidak bertentangan dengan Islam”, sehingga
walaupun suatu pemikiran, gagasan, konsepsi, peraturan, sistema dan lainnya itu
jelas sekali bukan dari Islam bahkan dipastikan muncul dan berkem-bang di Barat
sebagai peradaban dan budaya mereka yang kufur, namun karena tidak dilarang
seka-ligus tidak bertentangan dengan Islam maka mereka putuskan pemikiran,
gagasan, konsepsi, peraturan, sistema dan lainnya itu boleh diambil, digunakan,
diberlakukan dan dipropagandakan oleh umat Islam. Realitas inilah yang
terungkap dengan gamblang dan pasti dari sambutan Din Syamsuddin pada Sidang Dewan Eksekutif Organisasi Kepemimpinan Rakyat
Islam Sedunia/KRIS (World Islamic People’s Leadership) di Kota Paris
tanggal 24-25 Maret 2009 lalu : Saat ini diperlukan paradigma baru yang
dapat membawa manfaat bagi manusia dan kemanusiaan, yakni Sustainable
Development with Mean-ing atau Pembangunan Berkelanjutan dengan Makna.
Dalam bidang ekonomi, sistem itu memadukan pertumbuhan dalam pemerataan.
Sedangkan dalam bidang politik, mendorong demokrasi yang tetap bertumpu pada
nilai etika dan moral.
Namun bersamaan dengan itu
semua, Muhammadiyah tetap bersikukuh bahwa taqlid adalah si-kap yang diharamkan
dalam Islam dan yang boleh bahkan wajib dilakukan adalah itiba’. Jadi,
Muham-madiyah mengharamkan taqlid dan pada saat yang sama menghalalkan
demokrasi! Mengapa sikap itu bisa terjadi? Bukankah taqlid adalah wajib
dilakukan oleh setiap muslim yang belum mampu berijti-had sendiri dan boleh
dilakukan oleh seorang mujtahid sekali pun untuk persoalan yang tidak dia tidak
mampu menggalinya secara langsung dari Al-Quran dan As-Sunnah? Lalu, bukankah
demokrasi sangat jelas bertentangan dengan Islam mulai dari aspek aqidah,
pemikiran pokok hingga pemikiran cabang dan turunannya? Bukankah keputusan
untuk menggandengkan Islam dengan demokrasi adalah tindak-an yang memposisikan
realitas Islam sebagai belum sempurna dan tidak lengkap sehingga masih
mem-butuhkan penyempurna dan pelengkap dari luar, antara lain demokrasi?
Taqlid
adalah wajib dilakukan oleh setiap muslim yang belum mampu untuk menggali
langsung hukum Allah SWT (اَلإِجْتِهَادُ) dari sumbernya : Al-Quran dan As-Sunnah. Artinya, dia belum
memenuhi kualifikasi dan kriteria yang ditunjukkan (دَلاَلَةً) oleh pernyataan Rasulullah saw :
نَضَّرَ
اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ
حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ
قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ
وَرَائِهِمْ (رواه الترمذي)
Bagian hadits فَوَعَاهَا erat sekali hubungan maknanya dengan bagian فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ, yakni seseorang (امْرَأً) yang mampu menggali hukum Allah SWT langsung dari wahyu yang
telah dia dengar dan baca. Realitas inilah yang belum terwujud sempurna dalam
diri seorang muqallid, padahal dia tetap wajib melaksanakan seluruh ketentuan
Allah SWT yang ada dalam Islam sehingga berlakulah kaidah ushul : مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ (segala sesuatu yang menjadikan kewajiban tidak sempurna
kecuali dengan itu maka segala sesuatu itu pun adalah wajib). Memang benar
normal dan lazimnya adalah :
اَلأَصْلُ فِيْ الْمُسْلِمِ اَنْ
يَكُوْنَ مُجْتَهِدًا
Status orisinal pada seorang muslim adalah menjadi mujtahid
Namun,
fakta empiris kemanusiaan memastikan bahwa hanya pada masa sahabat hampir 100
persen adalah mujtahid, sedangkan pada generasi berikutnya sama sekali tidak
demikian yakni banyak dari ka-langan tabi’in maupun tabi’ut tabi’in adalah
bukan mujtahid melainkan muqallid bagi seorang mujta-hid. Realitas pengikut
madzhab memastikan hal tersebut yakni adanya Malikiyah, Syafi’iyyah,
Hanabi-lah, Hanafiyah. Mereka adalah kumpulan umat Islam yang pada umumnya
tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad. Bahkan menjadi opini umum saat itu
bahwa bermadzhab merupakan cara mudah dan benar bagi para
muqallid dalam melaksanakan kewajiban mereka untuk taat kepada Allah SWT tanpa
harus menggali sendiri hukumnya dari Al-Quran dan As-Sunnah secara langsung,
karena mereka tidak mampu melakukannya.
Oleh karena itu, tidak
diragukan lagi dan telah menjadi مَعْلُوْمٌ
مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ bahwa karena
seba-gian besar umat Islam pasca sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in adalah
muqallidin maka sikap taqlid adalah kewajiban karena apa pun realitas seorang
muslim اَكَانَ مُجْتَهِدًا اَمْ مُقَلِّدًا, maka sama saja yakni sama-sama berstatus selaku اَلْمُكَلَّفُوْنَ بِالْحُكْمِ
(terbebani oleh hukum). Jadi, keputusan Muhammadiyah untuk meng-haramkan
taqlid adalah kesalahan fatal yang tak termaafkan sebab tidak sesuai dengan
realitas seluruh manusia yang ada di lingkungannya sendiri bahkan manusia di
seluruh dunia. Ketentuan haram bertaq-lid hanya berlaku bagi seorang mujtahid
terutama mujtahid mutlaq. Apakah seluruh tokoh dan pentolan Muhammadiyah
termasuk Ketum-nya adalah mujtahid ataukah justru muqallid? Realitas pemikiran
dan ucapan serta sepak terjang mereka selama ini memastikan bahwa yang ada di
Muhammadiyah adalah kumpulan muqallidin yang bergaya mujtahidin, luar biasa
mengerikan sekaligus menggelikan.
Lebih
mengerikan dan menggelikannya lagi dari itu adalah bersamaan dengan
Muhammadiyah mengharamkan taqlid ternyata mereka menghalalkan pemberlakuan
demokrasi dalam kehidupan manu-sia. Padahal sudah jelas sejelas matahari di
waktu zhuhur bahwa demokrasi dilihat dan dikaji dari aspek apa pun : aqidah,
pemikiran cabang, pemikiran turunan dan rinciannya, memastikan bukan dari Islam
sekaligus bertentangan diametral dengan seluruh pemikiran yang ada dalam Islam.
Jadi, mengapa yang 100 persen dari Islam dan bagian tak terpisahkan dari
Islam yakni taqlid ternyata diharamkan dan dianggap
sebagai perbuatan hina tercela, sedangkan yang 100 persen
dari kekufuran dan memang itu adalah sistema kufur murni yakni
demokrasi ternyata dihalalkan bahkan diwajibkan serta diang-gap sebagai wahana
untuk menuju serta meraih kemuliaan? Muhammadiyah wajib memahami pernya-taan
Allah SWT :
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ
الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (النساء : 139)
Umat Islam : hingga kapan tertipu terus?
Harus diingat jumlah umat Islam yang berhimpun di Muhammadiyah
adalah sangat banyak yakni tidak kurang dari 30-an juta orang. Jumlah itu belum
mencakup manusia yang tidak secara tegas me-nyatakan diri sebagai bagian dari
Muhammadiyah ataukah NU ataukah lainnya dari ormas Islam yang ada di Indonesia.
Harus diingat juga bahwa yang memiliki realitas tipikal dengan Muhammadiyah
ada-lah NU dengan 40-an juta orang pengikut setianya atau Persis dengan jumlah
pengikut setia yang me-mang tidak terlalu banyak namun sangat militan sikapnya
terhadap ormas tersebut.
Ketiga ormas Islam yang terpopuler dan sangat digandrungi oleh
umat Islam Indonesia tersebut secara bersama-sama telah melakukan tindakan
serupa yaitu menipu umat Islam sekaligus memanipu-lasi realitas kehidupan dunia
khususnya di Indonesia. Akibatnya adalah lebih dari 100 juta orang umat Islam
Indonesia seiring dengan pergantian hari selalu berada dalam cengkeraman para
penipu provoka-tif agitatif yang berhasil mengemas ucapannya yang mematikan
dengan ayat Al-Quran maupun hadits Nabi Muhammad saw. lalu, sampai kapan umat
Islam Indonesia terus tertipu dan ditipu oleh ketiga or-mas Islam tersebut?
Umat Islam dipastikan dapat melepaskan diri dari cengkeraman
mematikan ketiga ormas tersebut bila mereka telah berhasil menjadikan hanya
Islam beserta seluruh pemikiran yang ada di dalamnya se-bagai satu-satunya asas
dan kaidah berpikir mereka sehingga pada gilirannya dipastikan akan menjadi
kepemimpinan berpikir mereka. Jika realitas mereka telah demikian secara utuh,
maka secara otomatis tanpa harus dipaksa dan disuruh akan meninggalkan ketiga
ormas tersebut lalu bergabung (jika ada) de-ngan kutlah politik yang bertujuan
untuk melanjutkan kembali kehidupan Islami di dunia dalam wadah pelaksanaan
politis Khilafah Islamiyah. Jika kutlah politik yang dimaksudkan belum ada seperti
saat ini maka mereka dipastikan akan bergabung bersama-sama untuk membentuknya
dengan capat, tepat serta tanpa keraguan sedikit pun. Hal itu karena mereka
dipastikan sangat memahami pernyataan Allah SWT dalam Al-Quran :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ (الرعد
: 11)
No comments:
Post a Comment