Saturday, November 9, 2013

PENGAKUAN SANGAT JUJUR


Muhammadiyah : jujur dan bangga dengan kekufuran
Ketua Umum Pimpinan Pusat (Ketum PP) Muhammadiyah Prof. Din Syamsuddin dalam tausiyah pembukaan Muktamar XIV Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Lembang Bandung pada hari Kamis 22 April 2010 (Republika, Jumat 23 April 2010, halaman 12) menyatakan :
Muhammadiyah tak akan mengintervensi siapa pun yang akan menjadi ketua umum IMM se-lanjutnya. Namun, yang harus diwaspadai adalah adanya intervensi dari luar. Muhammadiyah terlalu menggoda. Kita yang harus merekayasa, tetapi jangan mau direkayasa. Pemilihan ketua umum yang baru harus berjalan secara demokratis.
Potensi di tubuh IMM khususnya sangat melimpah. Potensi itu harus disertai pula dengan kekri-tisan terhadap pemerintah. Bila pemerintah telah melenceng dari jalurnya, Muhammadiyah, termasuk IMM, harus siap berada di garis terdepan untuk melawannya.
Akhir-akhir ini, ada isu yang menyebutkan bahwa antara pemerintah dan Muhammadiyah reng-gang. Saya tidak setuju. Akan tetapi, ada hal yang sangat prinsipil yang tidak bisa dikompromikan. Sa-ya tidak bisa kompromi dengan hal-hal yang tidak saya yakini.
Saat Muktamar XIII IMM di Lampung pada 2008 lalu, Taufik Abdullah, sejarawan Indonesia, mengungkapkan peran Muhammadiyah yang besar dalam proses terbentuknya negara Indonesia. Me-nurut Taufik, Muhammadiyah berperan menghapus tujuh kata di sila pertama Pancasila di Piagam Ja-karta. Kemudian, menggantinya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Muhammadiyah juga menyum-bangkan sebuah kalimat dalam pembukaan UUD 1945 yang memiliki kedalaman makna, yakni men-cerdaskan kehidupan bangsa. Ini merupakan bagian dari kontribusi Muhammadiyah.
Oleh karena itu, Muhammadiyah agar tetap menjadi kelompok tengah yang tidak condong ke kiri atau ke kanan. Saya pernah menjadi ketua litbang DPP Golkar, tetapi akhirnya memutuskan kembali ke Muhammadiyah. Saya putuskan untuk tetap berdakwah dan kembali ke jalan yang benar.
Demikianlah, pada akhirnya Ketum PP Muhammadiyah dengan penuh percaya diri dan tanpa be-ban sedikit pun menyampaikan pengakuan yang sangat jujur tentang :
1.       Muhammadiyah terlalu menggoda banyak pihak, sehingga harus mampu melakukan rekayasa dan tidak boleh mau direkayasa pihak luar.
2.       Muhammadiyah harus siap berada di garis terdepan untuk melawan pemerintah, jika pemerintah te-lah melenceng dari jalurnya. Namun hal itu tidak berarti hubungan Muhammadiyah dengan pe-merintah menjadi renggang.
3.       kebanggaan dirinya terhadap peran besar Muhammadiyah dalam proses terbentuknya negara Indo-nesia, antara lain :
a.       menghapus tujuh kata dari sila pertama  rumusan Pancasila yang ada pada Piagam Jakarta (dan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya), lalu menggantinya dengan sila Ketu-hanan Yang Maha Esa
b.       menyumbangkan sebuah gagasan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa yang akhirnya dican-tumkan dalam Pembukaan UUD 1945
4.       tekadnya untuk terus menjaga Muhammadiyah supaya tetap menjadi kelompok tengah yang tidak condong ke kiri atau ke kanan.
5.       keputusan dirinya untuk keluar dari posisi selaku Ketua Litbang DPP Golkar dan kembali ke Mu-hammadiyah supaya tetap bisa dakwah dan dapat kembali ke jalan yang benar.
Sekali lagi, pengakuan Ketum PP Muhammadiyah itu memang sangat jujur namun apakah me-ngandung kebenaran yaitu apakah sesuai dengan realitas ormas tersebut maupun Din sendiri?
Klaim bahwa Muhammadiyah terlalu menggoda, tentu saja memicu pertanyaan mendasar yakni bagian manakah dan aspek apakah dari Muhammadiyah yang terlalu menggoda, lalu siapakah yang da-pat tergoda dengan realitas Muhammadiyah tersebut? Sangat mudah ditebak bahwa yang dia maksud dengan ucapan Muhammadiyah terlalu menggoda adalah berbagai potensi dan aset yang selama ham-pir satu abad berhasil terhimpun dalam tubuh ormas tersebut :
1.       jumlah pengikut Muhammadiyah baik yang resmi selaku anggota maupun sekedar simpatisan yang seluruhnya diduga kuat sekitar 30-an juta orang.
2.       banyak kader Muhammadiyah yang pernah dan tengah berperan langsung dalam berbagai lini ke-kuasaan maupun pemerintahan, seperti menteri, anggota parlemen, Ketua Komisi Yudisial dan se-bagainya.
3.       sumberdaya manusia (SDM) yang selalu diklaim sangat terdidik dan tidak tradisional yakni lebih dari 90 persen adalah lulusan perguruan tinggi mulai dari S1 hingga S3 bahkan tidak sedikit yang bergelar Profesor.
4.       aset fisik maupun mesin uang yang telah tersebar hampir di seluruh pulau yang ada dalam wilayah Indonesia, seperti sekolah mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) ju-ga berbagai bentuk pesantren, maupun sejumlah balai kesehatan dan pengobatan.
Namun, tanpa mempertimbangkan aspek benar-salah atau halal-haram dalam pandangan Islam, maka harus dijawab pertanyaan apakah seluruh kekayaan yang begitu sangat menggoda tersebut telah mam-pu secara pasti mengantarkan bangsa Indonesia khususnya warga Muhammadiyah kepada kesejahtera-an hidup mereka yakni terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok : makanan, pakaian, tempat tinggal?
Mereka termasuk Ketum PP Muhammadiyah sendiri dapat dipastikan tidak akan pernah mampu memberikan jawaban yang realistis dan riil, karena realitas faktual justru menunjukkan dengan gam-blang bahwa sekedar menurut standard atau patokan yang berlaku praktis di Negara Kesatuan Repu-blik Indonesia (NKRI) sekali pun tidak diragukan lagi bahwa Muhammadiyah dengan seluruh pesona penggodanya itu sama sekali belum dan memang tidak akan pernah mampu mengantarkan siapa pun kepada kesejahteraan. Hal itu apalagi jika seluruh pesona menggoda tersebut distandardisasi oleh pe-mikiran Islami, maka hasilnya adalah sebagai berikut :
1.       eksistensi Muhammadiyah adalah tidak benar apa pun argumentasi yang selama ini mereka perta-hankan dengan sangat ngotot termasuk klaim sebagai gerakan dakwah dan amar ma’ruf nahi mun-kar yang menurut mereka berdasarkan pernyataan Allah SWT :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
Jika memang eksistensi Muhammadiyah berdasarkan ayat tersebut, maka wajib diajukan pertanya-an : mana bukti bahwa Muhammadiyah telah melakukan dakwah Islamiyah yakni menyeru umat Islam untuk kembali hidup secara Islami dalam wadah Khilafah Islamiyah? Mana pula bukti Mu-hammadiyah telah melakukan اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ dan ditujukan kepada siapa?
Tentu saja jawabannya telah dengan sangat gamblang ditunjukkan dan diakui dengan sangat jujur oleh Ketum PP Muhammadiyah : Saat Muktamar XIII IMM di Lampung pada 2008 lalu, Taufik Abdullah, sejarawan Indonesia, mengungkapkan peran Muhammadiyah yang besar dalam proses terbentuknya negara Indonesia. Menurut Taufik, Muhammadiyah berperan menghapus tujuh kata di sila pertama Pancasila di Piagam Jakarta. Kemudian, menggantinya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Muhammadiyah juga menyumbangkan sebuah kalimat dalam pembukaan UUD 1945 yang memiliki kedalaman makna, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini merupakan bagian dari kontribusi Muhammadiyah.
Artinya, dakwah yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama satu abad terakhir adalah justru se-makin menjauhkan umat Islam Indonesia dari kesadaran mereka untuk melaksanakan kewajiban yang terkategori مِنْ اَهَمِّيَةِ الْفُرُوْضِ وَالْوَاجِبَاتِ yaitu hidup secara Islami dalam wadah Khilafah Islami-yah. Lebih dari itu, Muhammadiyah dalam berbagai kesempatan sangat dengan tegas menunjukkan penentangannya terhadap upaya apa pun yang dilakukan oleh siapa pun untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah. Sekaligus sangat bersikukuh untuk tetap melanjutkan kehidupan di dunia de-ngan sistema demokrasi : dalam bidang ekonomi, sistem itu memadukan pertumbuhan dalam pe-merataan. Sedangkan dalam bidang politik, mendorong demokrasi yang tetap bertumpu pada nilai etika dan moral (Din Syamsuddin, Wakil Sekretaris Jenderal KRIS yang mewakili Benua Asia pada Sidang Dewan Eksekutif Organisasi Kepemimpinan Rakyat Islam Sedunia/KRIS atau World Islamic People’s Leadership di Kota Paris tanggal 24-25 Maret 2009 lalu).
Demikian juga pernyataan Ketum : Potensi itu harus disertai pula dengan kekritisan terhadap pe-merintah. Bila pemerintah telah melenceng dari jalurnya, Muhammadiyah, termasuk IMM, harus siap berada di garis terdepan untuk melawannya, adalah sangat mungkin dimaksudkan sebagai wujud riil dari klaim Muhammadiyah sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkar. Hal itu berarti menurut Muhammadiyah objek yang dibidik oleh aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ adalah pe-merintah NKRI yang notabene adalah pemerintahan kufur yang memberlakukan sistema pemerin-tahan kufur : demokrasi. Konsep dan aksi Muhammadiyah tersebut tentu saja menyalahi seluruh dalil yang semesta pembicaraannya adalah اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ dan itu dipastikan ditujukan kepada para penguasa Khilafah yakni Khalifah, para Wali dan para ‘Amil, bukan Presiden, Perdana Menteri, Raja, Kanselir dan lainnya para penguasa yang saat ini berkuasa di negara kebangsaan.
2.       opini umum umat Islam Indonesia terutama selama 32 tahun di bawah rezim Orde Baru adalah eks-trem kiri itu adalah komunis sedangkan ekstrem kanan adalah Islam radikal yang dulu dipelopori oleh DI/TII, sementara golongan tengah adalah kaum nasionalis. Oleh karena itu, dapat dipastikan maksud dari ucapan Ketum Muhammadiyah : Muhammadiyah agar tetap menjadi kelompok te-ngah yang tidak condong ke kiri atau ke kanan, adalah penegasan jatidiri dan sikap Muhamma-diyah yakni sebagai ormas Islam berhaluan moderat sekaligus loyalis sejati nasionalisme.
Tentu saja, sikap Muhammadiyah tersebut bertentangan dengan realitas Islam yang ditunjukkan oleh seluruh dalil yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, antara lain :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه)
3.       keputusan Din untuk keluar dari Ketua Litbang Golkar dan kembali kepada Muhammadiyah yang diklaim sebagai kembali kepada jalan yang benar, tentu saja sangat “lucu” alias lugu dan culun ya-itu dungu. Hal itu karena, bukankah Golkar yang loyalis sejati Pancasila dan nasionalisme itu ha-nya melanjutkan sikap dan keputusan Muhammadiyah sendiri dalam proses berdirinya NKRI? La-lu, aspek atau hal apakah yang membedakan Golkar dengan Muhammadiyah sehingga Din Syam-suddin menganggap bahwa Golkar itu adalah jalan yang salah, sedangkan Muhammadiyah adalah jalan yang benar? Inilah realitas lugu dan culunnya seorang Prof. Dr. Din Syamsuddin! Sangat mungkin jika Golkar mendengar ucapan tersebut, maka mereka akan tertawa terbahak-bahak me-nyaksikan ke-lucu-an dari sang Ketum Muhammadiyah.
Wal hasil dari seluruh pembahasan tersebut jelas sudah bahwa Muhammadiyah di bawah kendali dan pengelolaan Din Syamsuddin (juga yang lain sebelumnya) telah memastikan jatidiri untuk sangat jujur dan bangga dengan kekufuran sekularistik : demokrasi dan kapitalisme. Allah SWT menyatakan :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا ذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا ءَايَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا (الكهف : 103-106)
Muhammadiyah : taqlid haram tapi demokrasi halal
Muhammadiyah adalah salah satu ormas Islam di Indonesia yang bersikap untuk tidak menggu-nakan ushul fiqih (اُصُوْلُ الْفِقْهِ), fiqih (اَلْفِقْهُ), anti madzhab dan bagi mereka taqlid itu adalah haram atau paling tidak taqlid itu adalah perbuatan tercela. Mereka menganggap bahwa yang harus dilakukan oleh umat Islam adalah ittiba’ kepada Rasulullah saw, yakni pokoknya apa pun yang dilakukan oleh beliau saw maka harus diikuti oleh umat Islam, tanpa harus mempertimbangkan apakah itu wajib, sunnah, mubah yang penting dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Bahkan realitas sikap tersebut benar-benar telah mengantarkan mereka untuk tidak peduli terhadap fakta perkara yang terkategori kekhusu-san bagi Rasulullah saw (خُصُوْصِيَّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).
Selain itu, Muhammadiyah memastikan bahwa segala sesuatu itu harus ada dalilnya dalam Al-Quran maupun As-Sunnah secara صَرَاحَةً وَمَنْطُوْقًا, alias harus ada ayatnya atau haditsnya lalu jika tidak ditemukan ayatnya maupun haditsnya maka mereka anggap hal itu adalah urusan dunia sehingga dise-rahkan sepenuhnya kepada manusia karena mereka lebih mengetahuinya. Anggapan tersebut diklaim sebagai berdasarkan pernyataan Rasulullah saw :
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ (رواه مسلم)
Akibatnya, karena lafadz negara (اَلدَّوْلَةُ), Khalifah maupun Khilafah Islamiyah tidak mereka te-mukan ayatnya dalam Al-Quran maka disimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada konsep tentang nega-ra, Khalifah maupun Khilafah Islamiyah. Lalu, mereka simpulkan bahwa urusan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada manusia dan yang penting adalah syariah Islamiyah dapat dilaksanakan. Tentu itu pun yang dimaksudkan adalah tidak lebih dari rukun Islam yang selama ini (hampir satu abad) selalu diopinikan dan dipropagandakan sebagai Islam yang sebenarnya.
Hal lainnya yang menjadi ciri khas Muhammadiyah adalah penggunaan kaidah “asal tidak dila-rang dan tidak bertentangan dengan Islam”, sehingga walaupun suatu pemikiran, gagasan, konsepsi, peraturan, sistema dan lainnya itu jelas sekali bukan dari Islam bahkan dipastikan muncul dan berkem-bang di Barat sebagai peradaban dan budaya mereka yang kufur, namun karena tidak dilarang seka-ligus tidak bertentangan dengan Islam maka mereka putuskan pemikiran, gagasan, konsepsi, peraturan, sistema dan lainnya itu boleh diambil, digunakan, diberlakukan dan dipropagandakan oleh umat Islam. Realitas inilah yang terungkap dengan gamblang dan pasti dari sambutan Din Syamsuddin pada Sidang Dewan Eksekutif Organisasi Kepemimpinan Rakyat Islam Sedunia/KRIS (World Islamic People’s Leadership) di Kota Paris tanggal 24-25 Maret 2009 lalu : Saat ini diperlukan paradigma baru yang dapat membawa manfaat bagi manusia dan kemanusiaan, yakni Sustainable Development with Mean-ing atau Pembangunan Berkelanjutan dengan Makna. Dalam bidang ekonomi, sistem itu memadukan pertumbuhan dalam pemerataan. Sedangkan dalam bidang politik, mendorong demokrasi yang tetap bertumpu pada nilai etika dan moral.
Namun bersamaan dengan itu semua, Muhammadiyah tetap bersikukuh bahwa taqlid adalah si-kap yang diharamkan dalam Islam dan yang boleh bahkan wajib dilakukan adalah itiba’. Jadi, Muham-madiyah mengharamkan taqlid dan pada saat yang sama menghalalkan demokrasi! Mengapa sikap itu bisa terjadi? Bukankah taqlid adalah wajib dilakukan oleh setiap muslim yang belum mampu berijti-had sendiri dan boleh dilakukan oleh seorang mujtahid sekali pun untuk persoalan yang tidak dia tidak mampu menggalinya secara langsung dari Al-Quran dan As-Sunnah? Lalu, bukankah demokrasi sangat jelas bertentangan dengan Islam mulai dari aspek aqidah, pemikiran pokok hingga pemikiran cabang dan turunannya? Bukankah keputusan untuk menggandengkan Islam dengan demokrasi adalah tindak-an yang memposisikan realitas Islam sebagai belum sempurna dan tidak lengkap sehingga masih mem-butuhkan penyempurna dan pelengkap dari luar, antara lain demokrasi?
Taqlid adalah wajib dilakukan oleh setiap muslim yang belum mampu untuk menggali langsung hukum Allah SWT (اَلإِجْتِهَادُ) dari sumbernya : Al-Quran dan As-Sunnah. Artinya, dia belum memenuhi kualifikasi dan kriteria yang ditunjukkan (دَلاَلَةً) oleh pernyataan Rasulullah saw :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ (رواه الترمذي)
Bagian hadits فَوَعَاهَا erat sekali hubungan maknanya dengan bagian فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ, yakni seseorang (امْرَأً) yang mampu menggali hukum Allah SWT langsung dari wahyu yang telah dia dengar dan baca. Realitas inilah yang belum terwujud sempurna dalam diri seorang muqallid, padahal dia tetap wajib melaksanakan seluruh ketentuan Allah SWT yang ada dalam Islam sehingga berlakulah kaidah ushul : مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ (segala sesuatu yang menjadikan kewajiban tidak sempurna kecuali dengan itu maka segala sesuatu itu pun adalah wajib). Memang benar normal dan lazimnya adalah :
اَلأَصْلُ فِيْ الْمُسْلِمِ اَنْ يَكُوْنَ مُجْتَهِدًا
Status orisinal pada seorang muslim adalah menjadi mujtahid
Namun, fakta empiris kemanusiaan memastikan bahwa hanya pada masa sahabat hampir 100 persen adalah mujtahid, sedangkan pada generasi berikutnya sama sekali tidak demikian yakni banyak dari ka-langan tabi’in maupun tabi’ut tabi’in adalah bukan mujtahid melainkan muqallid bagi seorang mujta-hid. Realitas pengikut madzhab memastikan hal tersebut yakni adanya Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabi-lah, Hanafiyah. Mereka adalah kumpulan umat Islam yang pada umumnya tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad. Bahkan menjadi opini umum saat itu bahwa bermadzhab merupakan cara mudah dan benar bagi para muqallid dalam melaksanakan kewajiban mereka untuk taat kepada Allah SWT tanpa harus menggali sendiri hukumnya dari Al-Quran dan As-Sunnah secara langsung, karena mereka tidak mampu melakukannya.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi dan telah menjadi مَعْلُوْمٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ bahwa karena seba-gian besar umat Islam pasca sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in adalah muqallidin maka sikap taqlid adalah kewajiban karena apa pun realitas seorang muslim اَكَانَ مُجْتَهِدًا اَمْ مُقَلِّدًا, maka sama saja yakni sama-sama berstatus selaku اَلْمُكَلَّفُوْنَ بِالْحُكْمِ (terbebani oleh hukum). Jadi, keputusan Muhammadiyah untuk meng-haramkan taqlid adalah kesalahan fatal yang tak termaafkan sebab tidak sesuai dengan realitas seluruh manusia yang ada di lingkungannya sendiri bahkan manusia di seluruh dunia. Ketentuan haram bertaq-lid hanya berlaku bagi seorang mujtahid terutama mujtahid mutlaq. Apakah seluruh tokoh dan pentolan Muhammadiyah termasuk Ketum-nya adalah mujtahid ataukah justru muqallid? Realitas pemikiran dan ucapan serta sepak terjang mereka selama ini memastikan bahwa yang ada di Muhammadiyah adalah kumpulan muqallidin yang bergaya mujtahidin, luar biasa mengerikan sekaligus menggelikan.
Lebih mengerikan dan menggelikannya lagi dari itu adalah bersamaan dengan Muhammadiyah mengharamkan taqlid ternyata mereka menghalalkan pemberlakuan demokrasi dalam kehidupan manu-sia. Padahal sudah jelas sejelas matahari di waktu zhuhur bahwa demokrasi dilihat dan dikaji dari aspek apa pun : aqidah, pemikiran cabang, pemikiran turunan dan rinciannya, memastikan bukan dari Islam sekaligus bertentangan diametral dengan seluruh pemikiran yang ada dalam Islam. Jadi, mengapa yang 100 persen dari Islam dan bagian tak terpisahkan dari Islam yakni taqlid ternyata diharamkan dan dianggap sebagai perbuatan hina tercela, sedangkan yang 100 persen dari kekufuran dan memang itu adalah sistema kufur murni yakni demokrasi ternyata dihalalkan bahkan diwajibkan serta diang-gap sebagai wahana untuk menuju serta meraih kemuliaan? Muhammadiyah wajib memahami pernya-taan Allah SWT :
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (النساء : 139)

Umat Islam : hingga kapan tertipu terus?
Harus diingat jumlah umat Islam yang berhimpun di Muhammadiyah adalah sangat banyak yakni tidak kurang dari 30-an juta orang. Jumlah itu belum mencakup manusia yang tidak secara tegas me-nyatakan diri sebagai bagian dari Muhammadiyah ataukah NU ataukah lainnya dari ormas Islam yang ada di Indonesia. Harus diingat juga bahwa yang memiliki realitas tipikal dengan Muhammadiyah ada-lah NU dengan 40-an juta orang pengikut setianya atau Persis dengan jumlah pengikut setia yang me-mang tidak terlalu banyak namun sangat militan sikapnya terhadap ormas tersebut.
Ketiga ormas Islam yang terpopuler dan sangat digandrungi oleh umat Islam Indonesia tersebut secara bersama-sama telah melakukan tindakan serupa yaitu menipu umat Islam sekaligus memanipu-lasi realitas kehidupan dunia khususnya di Indonesia. Akibatnya adalah lebih dari 100 juta orang umat Islam Indonesia seiring dengan pergantian hari selalu berada dalam cengkeraman para penipu provoka-tif agitatif yang berhasil mengemas ucapannya yang mematikan dengan ayat Al-Quran maupun hadits Nabi Muhammad saw. lalu, sampai kapan umat Islam Indonesia terus tertipu dan ditipu oleh ketiga or-mas Islam tersebut?
Umat Islam dipastikan dapat melepaskan diri dari cengkeraman mematikan ketiga ormas tersebut bila mereka telah berhasil menjadikan hanya Islam beserta seluruh pemikiran yang ada di dalamnya se-bagai satu-satunya asas dan kaidah berpikir mereka sehingga pada gilirannya dipastikan akan menjadi kepemimpinan berpikir mereka. Jika realitas mereka telah demikian secara utuh, maka secara otomatis tanpa harus dipaksa dan disuruh akan meninggalkan ketiga ormas tersebut lalu bergabung (jika ada) de-ngan kutlah politik yang bertujuan untuk melanjutkan kembali kehidupan Islami di dunia dalam wadah pelaksanaan politis Khilafah Islamiyah. Jika kutlah politik yang dimaksudkan belum ada seperti saat ini maka mereka dipastikan akan bergabung bersama-sama untuk membentuknya dengan capat, tepat serta tanpa keraguan sedikit pun. Hal itu karena mereka dipastikan sangat memahami pernyataan Allah SWT dalam Al-Quran :


إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ (الرعد : 11)

No comments:

Post a Comment