Saturday, November 9, 2013

Rakernas MUI 2008 - Penegasan Jatidiri


Rekomendasi Rakernas MUI 2008 : sudah semakin jelas jatidiri MUI!
Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia (Rakernas MUI) tahun 2008 telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 28 Oktober yang lalu di Hotel Mercure Ancol Jakarta Utara. Hasil Rakernas yang di-hadiri oleh 250 orang pimpinan MUI se Indonesia tersebut adalah rekomendasi yang ditujukan kepada tiga pihak yakni :
1.       umat Islam yaitu berkenaan dengan : (a) seruan kepada ormas Islam untuk berupaya agar gerakan amar ma’ruf nahyi munkar yang mereka lakukan dapat berjalan semakin efektif dan tepat sasaran, (b) persoalan sekularisme, pluralisme dan liberalisme, (c) keikutsertaan masyarakat dalam pemilu untuk menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab serta (d) pernikahan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur : mengimbau umat Islam untuk menunda pernikahan putera puteri-nya sampai mencapai usia dewasa dan matang baik secara jasmani maupun rohani sebagaimana diperlukan dalam suatu rumah tangga yang sehat. Sekretaris Komisi Pengkajian MUI Drs. H. Amirsyah Tambunan MAg. menyatakan : perkawinan di bawah umur selain melanggar Undang-undang perlindungan anak juga melanggar UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. UU Perkawinan Bab II pasal 7 tentang syarat-syarat perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2.       DPR yaitu berkenaan dengan Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU) yang sangat erat hubungannya dengan kepentingan masyarakat antara lain RUU Pornografi yang harus segera disahkan dan diundang-undangkan. RUU lainnya yang harus segera diproses adalah RUU tentang Jaminan Produk Halal dan harus diselesaikan sebelum pemilu 2009 sesuai dengan aspirasi umat Islam. MUI juga mengharapkan DPR untuk melakukan penyempurnaan terhadap UU Tentang Pengelolaan Zakat dan Wakaf serta meninjau dan menyesuaikan UU No. 17 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3.       pemerintah berkenaan dengan masalah SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Peringatan kepa-da Ahmadiyah yakni bila SKB  tersebut dilanggar, maka MUI mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pelarangan dan pembubaran organisasi Ah-madiyah serta Peraturan Daerah (Perda) tentang pelarangan Ahmadiyah, seperti di Sumatera Sela-tan. Hal lain yang ditujukan kepada pemerintah adalah : (a) terkait dengan KKN : mendukung KPK dalam melaksanakan tugasnya untuk tidak melakukan tebang pilih, (b) mendesak pemerintah untuk memberikan pembekalan agama dan akhlaqul karimah kepada aparatur negara mulai dari rekrut-men sampai dengan pembinaan dan pelaksanaan tugas dan (c) mengenai masalah kondisi ekonomi global yang disebabkan oleh krisis finansial di Amerika Serikat (AS), mendesak pemerintah untuk menggali potensi perekonomian syariah yang telah terbukti sehat dan kompetitif sehingga dapat menjadi ekonomi alternatif yang menjadi salah satu pilar penyangga perekonomian nasional.
Itulah ringkasan dari sejumlah rekomendasi MUI yang ditetapkan dalam Rakernasnya tahun 2008 yang baru lalu. Keseluruhan rekomendasi MUI tersebut harus dipastikan merupakan representasi sikap atau jatidiri yang sebenarnya (وَصْفُ الْوَاقِعِ الْحَقِيْقِيُّ اَوِ الْمَوْقِفُ الْحَقِيْقِيُّ), baik dari setiap orang (mengaku ber-agama Islam) yang berada dalam lembaga itu maupun MUI sendiri secara kelembagaan. Hal itu karena secara kelembagaan, forum Rakernas adalah realitas yang tidak mungkin alias mustahil diposisikan sebagai forum orang per orang atau hanya mewakili pendapat individual atau terpisah dari fakta, pemikiran, pendapat MUI yang sebenarnya alias hanya bersifat kasuistik sehingga tidak bisa digenera-lisir. Lebih dari itu, bila masih ada “suara-suara” (internal MUI maupun eksternal) yang menganggap atau mendudukkan segala rekomendasi dari Rakernas 2008 tersebut sebagai sama sekali tidak men-cerminkan dan tidak mewakili realitas sebenarnya dari MUI, maka pemikiran demikian adalah sebuah sikap yang telah mengkhianati serta mengingkari forum Rakernas MUI itu sendiri. Lagipula, “suara-suara” seperti itu baik pada kasus rekomendasi Rakernas MUI 2008 maupun lainnya serta kasus yang serupa pada lembaga lainnya, adalah :
a.       sikap pembelaan secara “membabi buta” alias اَلتَّعَصُّبُ kepada pihak yang dibela (misal MUI atau PKS atau HTI atau lainnya), yakni apa pun yang dilakukan atau dijadikan sikap oleh pihak terse-but adalah harus didukung, dibela, dikawal dan diamankan karena terjamin kebenarannya atau pa-ling tidak adalah tidak mudah bagi kalangan awam untuk memahami substansinya.
b.       penampakkan dari terjadinya proses pembusukan dari dalam, baik terhadap keseluruhan bangunan lembaga yang bersangkutan (misal MUI atau PKS atau HTI atau lainnya) maupun kepada pihak lain di luar lembaga itu yang selama ini memposisikan diri sebagai pengikut atau pendukung atau pembela atau sekedar simpatisan. Bila proses tersebut dibiarkan begitu saja terjadi (alamiah) atau bahkan memang disengaja terjadi (perekayasaan), maka eksistensi lembaga itu berikut sumberdaya manusia yang ada didalamnya adalah sama sekali tidak ada artinya baik menurut fakta empirik (perjalanan “hidup” lembaga itu sendiri) maupun apalagi menurut pandangan Islam.
c.       bukti terjadinya kondisi keterpecahan alias ketidak utuhan dalam lembaga itu yakni adanya keterpi-sahan yang tegas antara pemikiran sumberdaya manusianya dengan visi, misi maupun platform lembaga itu sendiri. Hal itu karena, apa pun pemikiran manusia (yang mana pun) akan secara pasti berujung pada sikapnya. Kenyataan tersebut memastikan bahwa antara sumberdaya manusia “peng-huni” lembaga dengan habitatnya (lembaga itu sendiri) nyata-nyata tidak sinkron dan tidak berada dalam satu harmoni apalagi melebur (اَلتَّجَسُّدُ) satu sama lain. Kondisi faktual seperti demikian ada-lah bukti pasti dari realitas ketidaklayakkan kerumunan manusia tersebut dikategorikan sebagai lembaga.
Lalu, apakah realitas MUI memenuhi salah satu atau bahkan ketiga keadaan tersebut (a, b, c)? Fakta-nya, umat Islam Indonesia khususnya yang “merasa” jadi bagian dari NU atau Muhammadiyah, hingga saat ini memang masih menempatkan MUI sebagai sangat layak untuk dipercayai, dianuti dan diikuti semua seruan, rekomendasi, fatwa maupun keputusannya. Bahkan sikap pembelaan umat Islam secara “membabi buta” sangat nampak diberikan kepada MUI dalam sejumlah kasus mutakhir seperti berke-naan dengan Ahmadiyah, pornografi pornoaksi, jaminan produk halal, seputar zakat dan sebagainya.
Umumnya, proses pembusukan dari dalam berlangsung secara alamiah yakni terjadi begitu saja tanpa direncanakan dan direkayasakan. Inilah yang terjadi pada hampir semua kelembagaan yang ada minimal di negeri Indonesia baik itu ormas, orpol, LSM, pondok pesantren bahkan lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi. Namun seiring dengan semakin “moderen-nya” suatu lembaga maka ternya-ta proses pembusukan dari dalam tidak lagi hanya yang berlangsung secara alamiah namun sudah di-lengkapi dengan proses yang terencana dan direkayasakan dalam bentuk kaderisasi yang salah arah. Aktivitas kaderisasi seharusnya diarahkan untuk menumbuh kembangkan kader yang loyal berbasis ke-sadaran pemikiran dan bukan loyal secara naluriah (kepatuhan doktrinal). Hal itu karena realitas manu-sia yang beraqal dan pola pemikirannya (buah aqal atau ثَمَرَةُ الْعَقْلِ) yang berujung pada pola tingkah laku (sikap) memang menuntut agar sikap apa pun yang diambil termasuk loyalitas harus berasas kesadaran (bukti berfungsinya aqal) dan bukan loyalitas naluriah. Namun fakta empirik memastikan yang terjadi adalah kaderisasi doktrinal yang memang disengaja untuk menumbuhkan loyalitas naluriah alias kepa-tuhan gaya binatang. Akibatnya sangat mengerikan dan berbahaya luar biasa yakni menjadikan umat Islam “terbiasa” untuk tidak berpikir, karena mereka mendapati “para pemimpinnya” sudah terjamin kebenarannya baik dalam ide, pemikiran, gagasan maupun sikapnya. Mereka telah dengan nyaman ber-sedia (tanpa menyadarinya) untuk dijadikan segerombolan manusia yang loyal ala hewan. Pada kasus MUI, nampaknya pembusukan dari dalam yang terjadi adalah lebih banyak yang bersifat alamiah dari-pada perekayasaan sebab MUI memang tidak memiliki program kaderisasi yang mandiri.
Peleburan (اَلتَّجَسُّدُ) akan pasti terjadi bila yang mengikat berhimpunnya manusia itu adalah kesa-maan ideologis yang sekaligus menjadi asas satu-satunya kelompok tersebut. Namun realitas MUI (ju-ga yang lainnya) memastikan bahwa eksistensi manusia yang berkumpul didalamnya adalah bukan se-cara ideologis melainkan berbasis kepentingan atau bahkan manfaat. Akibatnya adalah mereka hanya berhimpun secara fisik dan bukan secara ideologis sehingga sifatnya semu serta sangat rapuh. Lalu, apakah yang dapat disimpulkan dari rekomendasi Rakernas MUI 2008?
Kajian mendalam terhadap semua rekomendasi Rakernas MUI 2008 otomatis akan mengantarkan kepada sebuah kesimpulan tentang hakikat jatidiri MUI selama ini maupun di masa yang akan datang. Rinciannya sebagai berikut :
1.       seruan supaya ormas Islam Indonesia berupaya terus untuk semakin meningatkan efektivitas gerak-an amar ma’ruf nahyi munkar serta agar gerakan tersebut tepat sasaran.
Islam menetapkan bahwa aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ wajib dilakukan oleh umat Islam ba-ik secara individu (فَرْدِيَةً) maupun kelompok (جَمَاعِيَةً). Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah dalil syara’ diantaranya :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ قَالَ قِيلَ لِأُسَامَةَ أَلَا تُكَلِّمُ هَذَا قَالَ قَدْ كَلَّمْتُهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَحَ بَابًا أَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يَفْتَحُهُ وَمَا أَنَا بِالَّذِي أَقُولُ لِرَجُلٍ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ أَمِيرًا عَلَى رَجُلَيْنِ أَنْتَ خَيْرٌ بَعْدَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُجَاءُ بِرَجُلٍ فَيُطْرَحُ فِي النَّارِ فَيَطْحَنُ فِيهَا كَطَحْنِ الْحِمَارِ بِرَحَاهُ فَيُطِيفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ أَلَسْتَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ إِنِّي كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا أَفْعَلُهُ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَأَفْعَلُهُ (رواه البخاري)

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قِيلَ لَهُ أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ فَقَالَ أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ وَاللَّهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ وَلَا أَقُولُ لِأَحَدٍ يَكُونُ عَلَيَّ أَمِيرًا إِنَّهُ خَيْرُ النَّاسِ بَعْدَ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلَانُ مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ (رواه مسلم)
Aktivitas ini ditujukan kepada para penguasa Islam (أُولُو اْلأَمْرِ) yakni Khalifah, Wali, ‘Amil yang bentuk riilnya berupa mengoreksi mereka (مُحَاسَبَةُ الْحُكَّامِ) dan kepada sesama warga negara Khilafah yang bentuk riilnya berupa nasihat (النَّصِيحَةُ) seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ (رواه مسلم)
Efektif atau tidaknya aktivitas tersebut ditunjukkan secara pasti oleh sikap atau tanggapan dari ob-jek yang dibidik : baik para penguasa maupun sesama warga negara. Bila para penguasa mening-galkan semua kesalahannya dalam mengaktualisasikan posisi mereka sebagai penguasa Islam maka dipastikan aktivitas مُحَاسَبَةُ الْحُكَّامِ berhasil alias efektif. Bila para penguasa sama sekali tidak me-ninggalkan kesalahan mereka bahkan justru semakin parah serta berbalik bertindak sadis (hingga membunuh) kepada para pelaku aktivitas مُحَاسَبَةُ الْحُكَّامِ, maka dipastikan aktivitas itu gagal alias ti-dak efektif. Hal yang serupa juga berlaku untuk aksi النَّصِيحَةُ yang ditujukan kepada sesama warga negara. Namun demikian, seharusnya (dalam kondisi normal) sikap atau tanggapan baik para pe-nguasa maupun sesama warga negara terhadap اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ adalah menerimanya yakni melakukan perubahan perilaku dengan cara meninggalkan perbuatan salah (menurut Islam) atau istiqamah dalam melakukan yang benar (menurut Islam). Hanya saja kondisi normal tersebut yakni saat kendali aqal mendominasi dorongan naluriah manusiawi, tidak selalu terjadi melainkan adakalanya terbalik yaitu dorongan naluriah (kepentingan) justru yang mendominasi kendali aqal terhadap perbuatan. Jadi, efektivitas aksi اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ itu bukan ditentukan oleh cara (أُسْلُوْبٌ مِنَ الأَسَالِيْبِ) atau gaya/wasilah (وَسِيْلَةٌ مِنَ الْوَسَائِلِ) yang ditempuh oleh para pelakunya, melain-kan ditentukan oleh sikap responsif objeknya. Oleh karena itu, Islam memberikan penghargaan yang sangat istimewa kepada para pelaku aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ. Rasulullah saw me-nyatakan :
أَلَا إِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ (رواه احمد)
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ (رواه ابو داود)

Demikianlah realitas hakiki dari aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ berikut objek hukum yang di-bidiknya (مَنَاطُ حُكْمِهِ) yang ditunjukkan oleh seluruh dalil baik صَرَاحَةً maupun  دَلاَلَةً. Lalu, apakah rea-litas ini yang dimaksudkan oleh seruan MUI? Dapat dipastikan bahwa yang dimaksud oleh MUI sama sekali bukan realitas hakiki tersebut berikut objek hukum yang dibidiknya, melainkan benar-benar bertentangan sebab seruan tersebut ditujukan kepada fakta kehidupan umat Islam di NKRI yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan fakta kehidupan Islami yang tengah berlangsung saat syariah tentang اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ ditetapkan oleh Allah SWT lalu diberlakukan oleh Nabi Muhammad saw. Maksud MUI yang benar-benar bertentangan dengan realitas hakiki dari ak-tivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ berikut objek hukum yang dibidiknya (مَنَاطُ حُكْمِهِ) tersebut dibuk-tikan oleh sejumlah indikasi :
a.       objek seruan yakni ormas Islam. Posisi dan eksisitensi ormas Islam (اَلْجَمْعِيَّةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dalam su-atu negara (termasuk MUI sendiri) memastikan bahwa negara tersebut adalah negara kebang-saan sekularistik, sebab Islam nyata-nyata dipisahkan dan dijauhkan dari arena politik dan ne-gara serta hanya diijinkan sebagai asas atau merek atau baju bagi ormas tersebut. Padahal akti-vitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ baik individual maupun kelompok adalah bagian tak terpisah-kan dari pemberlakuan politik Islami (اَلسِّيَاسَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dalam wadah pelaksanaan Khilafah Isla-miyah. Hal itu berarti MUI telah sangat salah dalam تَحْقِيْقُ الْمَكَانِ التَّنْفِيْذِيِّ لِلْقِيَامِ بِذَلِكَ الْعَمَلِ : pene-tapan wadah pelaksanaan untuk aktivitas tersebut.
b.      perkara yang dijadikan seruan kepada ormas Islam yakni efektivitas dan aspek ketepatan sasa-ran dari aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ. Sebenarnya dengan kesalahan MUI dalam mene-tapkan wadah pelaksanaan untuk aktivitas itu sendiri, maka telah sangat cukup untuk memasti-kan bahwa aktivitas tersebut tidak akan pernah menemui sasarannya dengan tepat sampai kapan pun. Hal itu karena pelaksanaan aktivitas itu telah dipaksa berlangsung dalam wadah yang sa-lah alias tidak tepat, sehingga mustahil wadah yang salah dapat mengantarkan kepada sasaran yang tepat. Kemudian tentang efektivitas, dapat dipastikan bahwa yang dimaksudkan oleh MUI adalah bagaimana supaya ormas Islam pelaku utama aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ da-pat berhasil mempengaruhi umat Islam sehingga mereka melakukan segala hal yang diserukan oleh ormas Islam melalui aktivitas tersebut. Oleh karena itu, juga dapat dipastikan bahwa apa pun respon dari objek seruan ormas Islam tersebut (umat Islam saat ini) maka itu sama sekali bukan bukti dan tidak boleh dijadikan bukti bahwa aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ yang dilakukan telah efektif atau tidak efektif, sebab telah diberlangsungkan dalam wadah pelaksana-an yang nyata-nyata salah.
c.       realitas pemahaman ormas Islam (termasuk MUI) dan umat Islam terhadap apa yang dimak-sudkan oleh aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ itu sendiri. Tegasnya adalah telah terjadi ke-salahan dalam memahami makna istilah اَلْمَعْرُوْفُ maupun الْمُنْكَرُ yang telah ditetapkan dalam Is-lam baik itu oleh ormas Islam maupun umat Islam. Kenyataan itu semakin diperparah dengan adanya pelaksanaan aktivitas yang justru berdasarkan pemahaman terhadap istilah hasil penga-lihbahasaan (translation) dari kedua istilah dalam Islam tersebut, yakni kebaikan atau kebajikan untuk istilah اَلْمَعْرُوْفُ dan kemungkaran atau kekejian untuk istilah الْمُنْكَرُ. Padahal istilah kebai-kan, kebajikan, kemungkaran maupun kekejian adalah istilah lokal yang sudah pasti membawa penuh muatan lokal (budaya setempat) dan sama sekali bukan membawa pemahaman yang ditentukan oleh Islam.
2.       seruan supaya masyarakat (umat Islam) ikut serta dalam pemilu dan menggunakan hak pilihnya se-cara bertanggungjawab.
Nampak sekali dalam hal ini MUI lupa atau bergaya lupa atau menutupi kesadarannya sendiri bahwa pemilu yang telah dan akan dilaksanakan di NKRI adalah sama persis dengan yang berlang-sung di negara-negara kebangsaan lainnya (AS, UK, Australia, Malaysia, Jerman, Perancis, Yorda-nia, Mesir, Sudan, Jepang, China dan lainnya), yakni sebagai metode untuk memilih presiden (ek-sekutif) dan anggota badan legislatif. Kedua badan dalam negara tersebut adalah bukti pasti diberla-kukannya sistema demokrasi dalam pemerintahan negara yang bersangkutan. Kecuali MUI lupa atau bergaya lupa bahwa asas yang mendasari demokrasi adalah sekularisme dan sama sekali bu-kan aqidah Islamiyah. Oleh karena itu, bila MUI dalam Rakernas 2008 mempersoalkan sekularis-me (asas kemunculan demokrasi), pluralisme (bagian dari ide kebebasan menyeluruh dalam demo-krasi), liberalisme (bagian dari ide kebebasan menyeluruh dalam demokrasi juga sifat dari sistema perekonomian kapitalisme yang asasnya adalah sekularisme), maka mengapa MUI masih menyeru umat Islam untuk ikut serta dalam pemilu dan menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab dalam pemilu 2009 nanti?
Inkonsistensi sikap MUI tersebut menjelaskan bahwa mereka : (a) sama sekali tidak memahami realitas hakiki dari pemilu dalam demokrasi dan (b) sama sekali tidak memahami hubungan konste-latif antara demokrasi, sekularisme, pluralisme, liberalisme dan lainnya. Anehnya dalam kondisi mereka seperti demikian, ternyata mereka sangat percaya diri untuk mengajak umat Islam ikut ser-ta dalam pemilu padahal mereka sama sekali tidak memahami hakikatnya. Tentu saja sikap MUI yang inkonsisten berbasis ketidakpahaman serta kisruh dalam memikirkan realitas maupun kecero-bohan dalam menetapkan keputusan (vonis) terhadap sesuatu, keseluruhannya adalah bukti otentik yang memastikan posisi dan eksistensi mereka sebagai antek kekufuran.
3.       seruan kepada umat Islam untuk menunda pernikahan putera puterinya sampai mencapai usia de-wasa dan matang berdasarkan ketentuan perundang undangan yang berlaku di NKRI yakni Undang Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974, adalah sikap MUI yang nyata-nyata memberlakukan hukum (peraturan alias اَلأَنْظِمَةُ) selain dari yang telah Allah turunkan (Islam) dan tentu saja sikap itu adalah diharamkan oleh Allah SWT berdasarkan dalil Al-Quran :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة : 44)
4.       rekomendasi MUI kepada DPR (badan legislatif alias اَلْهَيْئَةُ التَّشْرِيْعِيَّةُ) baik berkenaan dengan penge-sahan suatu RUU menjadi UU atau penyempurnaan UU tertentu atau peninjauan dan penyesuai-an dua atau lebih UU atau apa pun yang berkaitan dengan legislasi, seluruhnya membuktikan bah-wa : (a) bagi MUI, DPR adalah lembaga atau pihak yang tepat, pantas, layak, untuk membuat yakni melegislasikan (اَلتَّشْرِيْعُ) perundang undangan yang nantinya akan diberlakukan atau diundangkan di dalam kehidupan umat Islam dan (b) bagi MUI, dalam Islam memang tidak mereka dapati syariah yang dapat diberlakukan atau diterapkan terhadap persoalan-persoalan tersebut atau jika pun mere-ka mendapatinya dalam Islam, ternyata itu pun sangat tidak layak diberlakukan maupun diterapkan terhadap persoalan-persoalan tersebut. Inilah yang ditunjukkan secara pasti oleh sikap MUI sehu-bungan dengan rekomendasi mereka kepada DPR. Oleh karena itu, MUI benar-benar telah meng-ingkari pernyataan Allah SWT yang merupakan dalil tentang haramnya melakukan tindakan seperti yang telah dan sedang mereka lakukan : اَلتَّحَاكُمُ اِلَى الطَّاغُوتِ. Allah SWT menyatakan :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (النساء : 60)
Selain itu, karena mereka telah menempatkan Islam paling tidak sebagai tidak lengkap serta mem-butuhkan sistema lain (demokrasi) untuk menyempurnakannya, maka sikap ini pun adalah bentuk pengingkaran terhadap realitas hakiki dari Islam (lengkap, sempurna dan tidak perlu kepada yang lain) yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (المائدة : 3)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Lebih mengerikan lagi, sikap MUI tersebut memastikan bahwa mereka telah menjadikan kepen-tingan mereka sendiri (هَوَاهُمْ) sebagai tuhan (إِلَهَهُمْ), persis seperti yang dimaksudkan oleh pernyata-an Allah SWT :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (الفرقان : 44-43)
Lalu, puncak dari segala hal yang paling mengerikan dari sikap MUI itu adalah mereka telah me-nempatkan Allah SWT sebagai sangat bodoh sehingga peraturan alias syariah yang telah Allah buat itu (Islam) ternyata sangat tidak layak, tidak pantas, tidak sempurna serta menyulitkan manu-sia karena harus mencari peraturan lain yang lebih layak, lebih pantas serta sempurna. Tegasnya, seluruh manusia dalam MUI (yang mengaku sebagai muslim) telah dengan sadar, terencana dan pe-nuh percaya diri untuk menyatakan kufur kepada Allah SWT berikut Islam yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw : لَقَدْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِاْلإِسْلاَمِ الَّذِيْ جَاءَ بِهِ نَبِيُّهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
5.       rekomendasi MUI kepada pemerintah NKRI tentang permasalahan Ahmadiyah yang dipastikan te-lah merusak Islam, sehingga harus dibubarkan adalah sikap MUI yang menempatkan pemerintah NKRI sebagai pemilik otoritas (صَاحِبُ الصَّلاَحِيَّاتِ) dalam melindungi, menjaga serta menegakkan Is-lam. Dengan kata lain, menurut MUI NKRI adalah identik dengan Khilafah Islamiyah atau bahkan benar-benar Khilafah Islamiyah, sehingga sangat tepat bagi umat Islam meminta kepada pemerin-tahnya untuk melindungi, menjaga serta menegakkan Islam. Sikap ini selain memastikan ketidak-pahaman MUI terhadap perbedaan mendasar antara NKRI dengan Khilafah, juga telah menolak de-ngan pasti syariah Islamiyah tentang Khilafah yang sejak awal eksistensi Islam telah menjadi bagi-an dari Islam dengan posisi sebagai : مَعْلُوْمٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ. Posisi Khilafah itu ditunjukkan oleh se-jumlah dalil baik pernyataan Rasulullah saw maupun ijma shahabat :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ (رواه البخاري)
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
Artinya, bila MUI memastikan Ahmadiyah telah merusak Islam, lalu bukankah MUI sendiri telah bersikap merusak Islam juga bahkan dalam porsi yang lebih besar serta menyebabkan wilayah ke-hancuran yang jauh lebih luas?
Demikian juga, dukungan penuh MUI kepada salah satu bagian dari struktur NKRI (misal KPK) adalah sikap yang semakin menunjukkan bahwa MUI telah menempatkan NKRI sebagai negara yang selain dibenarkan oleh Islam, melainkan juga Islam mewajibkan kaum muslim untuk mendu-kungnya secara penuh alias bersikap loyal kepada negara tersebut. Lagi-lagi, sikap ini memastikan bahwa MUI tidak memiliki pemahaman apa pun tentang realitas NKRI dan realitas Khilafah Isla-miyah. Lebih dari itu, nampak sekali bahwa MUI menganggap penting untuk lebih menyempurna-kan kinerja KPK (misalnya) yang selama ini masih sangat terkesan melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di NKRI.
Sikap mendukung terhadap satu bagian dari struktur NKRI yang adalah negara kufur sekularistik ditambah adanya upaya untuk mengokohkan eksistensinya melalui penyempurnaan kinerja struktur yang dimaksud,  tentu saja merupakan bukti yang pasti bahwa MUI dari waktu ke waktu alias seti-ap saat memposisikan diri sebagai penjaga, pemelihara, pendukung, pembela loyalis NKRI. Kasar-nya, MUI adalah penjaga, pemelihara, pendukung, pembela loyalis kekufuran berikut institusi dan para pengusungnya (kaum kufar dan antek-anteknya dari kalangan penguasa negeri-negeri Islam). Realitas MUI ini semakin ditegaskan oleh mereka sendiri melalui rekomendasi kepada pemerintah NKRI yang berbunyi : mendesak pemerintah untuk memberikan pembekalan agama dan akhlaqul karimah kepada aparatur negara mulai dari rekrutmen sampai dengan pembinaan dan pelaksana-an tugas.
Mengerikan, luar biasa sadisnya sikap MUI tersebut yang telah dengan sengaja menempatkan aga-ma (Islam) berikut syariahnya (misal akhlaqul karimah) menjadi bagian dari kekufuran beserta ins-titusinya bahkan diusulkan untuk : (a) menjadi penyempurna kekurangan dan kelemahan yang ada dalam kekufuran tersebut dan (b) menjadi materi dalam pembinaan aparatur negara kufur supaya mereka benar-benar konsisten dan setia dalam menjalankan sistema kufur sepanjang masa baktinya.
Lalu, saat mereka mendapati sistem perekonomian kapitalisme yang diberlakukan di seluruh dunia ternyata (paling tidak saat ini) telah menunjukkan kegagalannya dalam mewujudkan kesejahteraan manusia di dunia, maka MUI pun bergegas menawarkan bagian lainnya dari syariah Islam untuk menanggulangi atau menyelesaikan krisis finansial global akibat kegagalan perekonomian kapita-listik tersebut atau bahkan ditujukan untuk menutupi kelemahan dan kekurangan sistem itu supaya tidak akan pernah lagi mengakibatkan keadaan krisis lainnya di masa datang. Inilah yang eksplisit terungkap dalam pernyataan MUI : mengenai masalah kondisi ekonomi global yang disebabkan oleh krisis finansial di Amerika Serikat (AS), mendesak pemerintah untuk menggali potensi pereko-nomian syariah yang telah terbukti sehat dan kompetitif sehingga dapat menjadi ekonomi alternatif yang menjadi salah satu pilar penyangga perekonomian nasional. Sikap ini benar-benar memun-culkan pertanyaan mendasar : apakah MUI itu eksis atas nama dan demi Islam ataukah justru atas nama dan demi kekufuran? Jawabannya :  sulit untuk ditolak munculnya kesimpulan faktual yang memastikan bahwa eksistensi MUI selama ini adalah bukan atas nama dan demi Islam mela-inkan atas nama dan demi kekufuran!
6.       berdasarkan seluruh pembahasan tersebut, maka adalah sangat tidak layak kumpulan manusia yang saat ini berada dalam MUI menyebut diri sebagai Majelis Ulama Indonesia (مَجْلِسُ الْعُلَمَاءِ إِنْدُونَيْسِيَا), sebab realitas ulama dalam Islam yakni :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ (فاطر : 28)
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي)
sama sekali tidak nampak sedikit pun dalam diri, pemikiran maupun sikap mereka bahkan yang melekat erat pada sosok mereka adalah justru realitas yang dibidik pasti oleh pernyataan Rasulullah saw :
أَلَا إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ الْعُلَمَاءِ (رواه الدارمي)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (رواه البخاري)

Mereka itu adalah شِرَارُ الْعُلَمَاءِ alias نَاسٌ جُهَّالٌ alias رُءُوسًا جُهَّالًا yang selalu memberikan fatwa, jawab-an, penjelasan, rekomendasi, usulan, seruan, himbauan tanpa disertai pemahaman yang benar terha-dap Islam maupun fakta persoalan yang tengah dihadapi : فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ alias فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ. Akibatnya dapat dipastikan yakni mereka sesat dan menyesatkan sangat banyak orang lain yang kenyataannya juga dalam kondisi yang sama dengan realitas mereka : فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا alias فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ.
Wal hasil, MUI haram mengaku sebagai Majelis Ulama Indonesia melainkan sangat tepat menga-ku sebagai Majelis Umala Indonesia untuk kekufuran dan kaum kufar :
مَجْلِسُ الْعُمَلاَءِ إِنْدُونَيْسِيَا يَكُوْنُ كِيَانَهُ وَوُجُوْدَهُ مِنْ أَجْلِ الْكُفْرِ وَالْكُفَّارِ وَلَيْسَ مِنْ أَجْلِ الإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ عَلَى الإِطْلاَقِ


Khatimah
Kaum muslim khususnya di Indonesia, tidak boleh sedikit pun ragu untuk memastikan jatidiri MUI sebagai antek sebenarnya (اَلْعُمَلاَءُ الْحَقِيْقِيُّ) bagi kekufuran dan kaum kufar. Hal itu berdasarkan fak-ta empiris dari perjalanan eksistensi MUI selama ini dan terutama sikap mereka yang ditunjukkan seca-ra gamblang dalam rekomendasi Rakernas MUI tahun 2008. Selain itu, umat Islam juga haram meng-adopsi, mengambil dan mempergunakan produk apa pun yang dikeluarkan oleh MUI baik itu fatwa, penjelasan, rekomendasi, usulan, seruan, himbauan dan sebagainya. Hal itu karena apa pun yang dite-tapkan oleh MUI nyata-nyata masuk dalam realitas yang diharamkan oleh Islam berdasarkan pernya-taan Allah SWT :


وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الإسراء : 36)

No comments:

Post a Comment