Rekomendasi Rakernas MUI 2008 : sudah semakin jelas jatidiri MUI!
Rapat Kerja Nasional Majelis Ulama Indonesia
(Rakernas MUI) tahun 2008 telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 28 Oktober yang
lalu di Hotel Mercure Ancol Jakarta Utara. Hasil Rakernas yang di-hadiri oleh
250 orang pimpinan MUI se Indonesia tersebut adalah rekomendasi yang ditujukan
kepada tiga pihak yakni :
1.
umat Islam yaitu berkenaan dengan
: (a) seruan kepada ormas Islam untuk berupaya agar gerakan amar ma’ruf nahyi
munkar yang mereka lakukan dapat berjalan semakin efektif dan tepat sasaran,
(b) persoalan sekularisme, pluralisme dan liberalisme, (c) keikutsertaan
masyarakat dalam pemilu untuk menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab
serta (d) pernikahan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur : mengimbau
umat Islam untuk menunda pernikahan putera puteri-nya sampai mencapai usia
dewasa dan matang baik secara jasmani maupun rohani sebagaimana diperlukan
dalam suatu rumah tangga yang sehat. Sekretaris Komisi Pengkajian MUI Drs.
H. Amirsyah Tambunan MAg. menyatakan : perkawinan di bawah umur selain
melanggar Undang-undang perlindungan anak juga melanggar UU Perkawinan No. 1
tahun 1974. UU Perkawinan Bab II pasal 7 tentang syarat-syarat perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.
2.
DPR yaitu berkenaan dengan
Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU) yang sangat erat
hubungannya dengan kepentingan masyarakat antara lain RUU Pornografi yang harus
segera disahkan dan diundang-undangkan. RUU lainnya yang harus segera diproses
adalah RUU tentang Jaminan Produk Halal dan harus diselesaikan sebelum pemilu
2009 sesuai dengan aspirasi umat Islam. MUI juga mengharapkan DPR untuk
melakukan penyempurnaan terhadap UU Tentang Pengelolaan Zakat dan Wakaf serta
meninjau dan menyesuaikan UU No. 17 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara dan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. pemerintah
berkenaan dengan masalah SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Peringatan
kepa-da Ahmadiyah yakni bila SKB
tersebut dilanggar, maka MUI mendesak pemerintah untuk segera
menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pelarangan dan pembubaran
organisasi Ah-madiyah serta Peraturan Daerah (Perda) tentang pelarangan
Ahmadiyah, seperti di Sumatera Sela-tan. Hal lain yang ditujukan kepada
pemerintah adalah : (a) terkait dengan KKN : mendukung KPK dalam
melaksanakan tugasnya untuk tidak melakukan tebang pilih, (b) mendesak
pemerintah untuk memberikan pembekalan agama dan akhlaqul karimah kepada
aparatur negara mulai dari rekrut-men sampai dengan pembinaan dan pelaksanaan
tugas dan (c) mengenai masalah kondisi ekonomi global yang disebabkan oleh
krisis finansial di Amerika Serikat (AS), mendesak pemerintah untuk menggali
potensi perekonomian syariah yang telah terbukti sehat dan kompetitif sehingga
dapat menjadi ekonomi alternatif yang menjadi salah satu pilar penyangga
perekonomian nasional.
Itulah ringkasan dari sejumlah rekomendasi MUI yang
ditetapkan dalam Rakernasnya tahun 2008 yang baru lalu. Keseluruhan rekomendasi
MUI tersebut harus dipastikan merupakan representasi sikap
atau jatidiri yang sebenarnya (وَصْفُ الْوَاقِعِ
الْحَقِيْقِيُّ اَوِ الْمَوْقِفُ الْحَقِيْقِيُّ), baik dari setiap orang (mengaku ber-agama Islam) yang berada
dalam lembaga itu maupun MUI sendiri secara kelembagaan. Hal itu karena secara
kelembagaan, forum Rakernas adalah realitas yang tidak mungkin alias
mustahil diposisikan sebagai forum orang per orang atau hanya
mewakili pendapat individual atau terpisah dari fakta, pemikiran,
pendapat MUI yang sebenarnya alias hanya bersifat kasuistik sehingga
tidak bisa digenera-lisir. Lebih dari itu, bila masih ada “suara-suara”
(internal MUI maupun eksternal) yang menganggap atau mendudukkan
segala rekomendasi dari Rakernas 2008 tersebut sebagai sama sekali tidak
men-cerminkan dan tidak mewakili realitas sebenarnya dari MUI, maka
pemikiran demikian adalah sebuah sikap yang telah mengkhianati serta
mengingkari forum Rakernas MUI itu sendiri. Lagipula, “suara-suara”
seperti itu baik pada kasus rekomendasi Rakernas MUI 2008 maupun lainnya serta
kasus yang serupa pada lembaga lainnya, adalah :
a.
sikap pembelaan secara “membabi buta” alias اَلتَّعَصُّبُ kepada pihak yang dibela (misal MUI atau
PKS atau HTI atau lainnya), yakni apa pun yang dilakukan
atau dijadikan sikap oleh pihak terse-but adalah harus
didukung, dibela, dikawal dan diamankan karena terjamin kebenarannya
atau pa-ling tidak adalah tidak mudah bagi kalangan awam untuk
memahami substansinya.
b.
penampakkan dari terjadinya proses pembusukan
dari dalam, baik terhadap keseluruhan bangunan lembaga yang bersangkutan (misal
MUI atau PKS atau HTI atau lainnya) maupun kepada pihak lain di luar lembaga
itu yang selama ini memposisikan diri sebagai pengikut atau pendukung atau
pembela atau sekedar simpatisan. Bila proses tersebut dibiarkan begitu saja
terjadi (alamiah) atau bahkan memang disengaja terjadi (perekayasaan), maka
eksistensi lembaga itu berikut sumberdaya manusia yang ada didalamnya adalah sama
sekali tidak ada artinya baik menurut fakta empirik (perjalanan “hidup”
lembaga itu sendiri) maupun apalagi menurut pandangan Islam.
c. bukti
terjadinya kondisi keterpecahan alias ketidak utuhan dalam lembaga itu yakni
adanya keterpi-sahan yang tegas antara pemikiran sumberdaya
manusianya dengan visi, misi maupun platform lembaga itu sendiri. Hal itu
karena, apa pun pemikiran manusia (yang mana pun) akan secara pasti berujung
pada sikapnya. Kenyataan tersebut memastikan bahwa antara sumberdaya manusia
“peng-huni” lembaga dengan habitatnya (lembaga itu sendiri) nyata-nyata tidak
sinkron dan tidak berada dalam satu harmoni apalagi melebur (اَلتَّجَسُّدُ) satu sama lain. Kondisi faktual seperti
demikian ada-lah bukti pasti dari realitas ketidaklayakkan kerumunan
manusia tersebut dikategorikan sebagai lembaga.
Lalu, apakah realitas MUI
memenuhi salah satu atau bahkan ketiga keadaan tersebut (a, b, c)? Fakta-nya,
umat Islam Indonesia khususnya yang “merasa” jadi bagian dari NU atau
Muhammadiyah, hingga saat ini memang masih menempatkan MUI
sebagai sangat layak untuk dipercayai, dianuti dan diikuti semua
seruan, rekomendasi, fatwa maupun keputusannya. Bahkan sikap pembelaan umat
Islam secara “membabi buta” sangat nampak diberikan kepada MUI dalam sejumlah
kasus mutakhir seperti berke-naan dengan Ahmadiyah, pornografi pornoaksi,
jaminan produk halal, seputar zakat dan sebagainya.
Umumnya, proses pembusukan dari dalam berlangsung
secara alamiah yakni terjadi begitu saja tanpa direncanakan dan direkayasakan.
Inilah yang terjadi pada hampir semua kelembagaan yang ada minimal di negeri
Indonesia baik itu ormas, orpol, LSM, pondok pesantren bahkan lembaga
pendidikan terutama perguruan tinggi. Namun seiring dengan semakin
“moderen-nya” suatu lembaga maka ternya-ta proses pembusukan dari dalam tidak
lagi hanya yang berlangsung secara alamiah namun sudah di-lengkapi dengan
proses yang terencana dan direkayasakan dalam bentuk kaderisasi yang salah
arah. Aktivitas kaderisasi seharusnya diarahkan untuk menumbuh kembangkan kader
yang loyal berbasis ke-sadaran pemikiran dan bukan loyal secara naluriah
(kepatuhan doktrinal). Hal itu karena realitas manu-sia yang beraqal dan pola
pemikirannya (buah aqal atau ثَمَرَةُ الْعَقْلِ) yang berujung pada pola tingkah laku (sikap) memang menuntut
agar sikap apa pun yang diambil termasuk loyalitas harus berasas kesadaran
(bukti berfungsinya aqal) dan bukan loyalitas naluriah. Namun fakta empirik
memastikan yang terjadi adalah kaderisasi doktrinal yang memang disengaja untuk
menumbuhkan loyalitas naluriah alias kepa-tuhan gaya binatang. Akibatnya sangat
mengerikan dan berbahaya luar biasa yakni menjadikan umat Islam “terbiasa”
untuk tidak berpikir, karena mereka mendapati “para pemimpinnya” sudah
terjamin kebenarannya baik dalam ide, pemikiran, gagasan maupun
sikapnya. Mereka telah dengan nyaman ber-sedia (tanpa menyadarinya) untuk
dijadikan segerombolan manusia yang loyal ala hewan. Pada kasus MUI, nampaknya
pembusukan dari dalam yang terjadi adalah lebih banyak yang bersifat alamiah
dari-pada perekayasaan sebab MUI memang tidak memiliki program kaderisasi yang
mandiri.
Peleburan (اَلتَّجَسُّدُ) akan pasti terjadi bila yang mengikat
berhimpunnya manusia itu adalah kesa-maan ideologis yang sekaligus menjadi asas
satu-satunya kelompok tersebut. Namun realitas MUI (ju-ga yang lainnya)
memastikan bahwa eksistensi manusia yang berkumpul didalamnya adalah bukan
se-cara ideologis melainkan berbasis kepentingan atau bahkan manfaat. Akibatnya
adalah mereka hanya berhimpun secara fisik dan bukan secara ideologis sehingga
sifatnya semu serta sangat rapuh. Lalu, apakah yang dapat
disimpulkan dari rekomendasi Rakernas MUI 2008?
Kajian mendalam terhadap
semua rekomendasi Rakernas MUI 2008 otomatis akan mengantarkan kepada sebuah
kesimpulan tentang hakikat jatidiri MUI selama ini maupun di masa yang akan
datang. Rinciannya sebagai berikut :
1. seruan
supaya ormas Islam Indonesia berupaya terus untuk semakin meningatkan
efektivitas gerak-an amar ma’ruf nahyi munkar serta agar gerakan tersebut tepat
sasaran.
Islam menetapkan bahwa
aktivitas اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ wajib dilakukan oleh umat
Islam ba-ik secara individu (فَرْدِيَةً) maupun kelompok (جَمَاعِيَةً). Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah dalil syara’ diantaranya :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ
سُلَيْمَانَ سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ قَالَ قِيلَ لِأُسَامَةَ أَلَا تُكَلِّمُ
هَذَا قَالَ قَدْ كَلَّمْتُهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَحَ بَابًا أَكُونُ أَوَّلَ
مَنْ يَفْتَحُهُ وَمَا أَنَا بِالَّذِي أَقُولُ لِرَجُلٍ بَعْدَ أَنْ يَكُونَ
أَمِيرًا عَلَى رَجُلَيْنِ أَنْتَ خَيْرٌ بَعْدَ مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُجَاءُ بِرَجُلٍ فَيُطْرَحُ
فِي النَّارِ فَيَطْحَنُ فِيهَا كَطَحْنِ الْحِمَارِ بِرَحَاهُ فَيُطِيفُ بِهِ
أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ أَلَسْتَ كُنْتَ تَأْمُرُ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ إِنِّي كُنْتُ آمُرُ
بِالْمَعْرُوفِ وَلَا أَفْعَلُهُ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَأَفْعَلُهُ (رواه
البخاري)
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قِيلَ لَهُ
أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ فَقَالَ أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا
أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ وَاللَّهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي
وَبَيْنَهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ
مَنْ فَتَحَهُ وَلَا أَقُولُ لِأَحَدٍ يَكُونُ عَلَيَّ أَمِيرًا إِنَّهُ خَيْرُ
النَّاسِ بَعْدَ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ
فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ
بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ يَا فُلَانُ مَا
لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ فَيَقُولُ
بَلَى قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ
وَآتِيهِ (رواه مسلم)
Aktivitas
ini ditujukan kepada para penguasa Islam (أُولُو اْلأَمْرِ) yakni Khalifah, Wali, ‘Amil yang bentuk
riilnya berupa mengoreksi mereka (مُحَاسَبَةُ الْحُكَّامِ) dan kepada sesama warga negara Khilafah
yang bentuk riilnya berupa nasihat (النَّصِيحَةُ) seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan
Rasulullah saw :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ (رواه مسلم)
Efektif
atau tidaknya aktivitas tersebut ditunjukkan secara pasti oleh sikap atau
tanggapan dari ob-jek yang dibidik : baik para penguasa maupun sesama
warga negara. Bila para penguasa mening-galkan semua kesalahannya dalam
mengaktualisasikan posisi mereka sebagai penguasa Islam maka dipastikan
aktivitas مُحَاسَبَةُ
الْحُكَّامِ
berhasil alias efektif. Bila para penguasa
sama sekali tidak me-ninggalkan kesalahan mereka bahkan justru semakin parah
serta berbalik bertindak sadis (hingga membunuh) kepada para pelaku aktivitas مُحَاسَبَةُ
الْحُكَّامِ, maka
dipastikan aktivitas itu gagal alias ti-dak efektif.
Hal yang serupa juga berlaku untuk aksi النَّصِيحَةُ yang ditujukan kepada sesama warga negara.
Namun demikian, seharusnya (dalam kondisi normal) sikap atau tanggapan baik
para pe-nguasa maupun sesama warga negara terhadap اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ adalah menerimanya yakni melakukan perubahan perilaku dengan
cara meninggalkan perbuatan salah (menurut Islam) atau istiqamah dalam
melakukan yang benar (menurut Islam). Hanya saja kondisi normal tersebut yakni
saat kendali aqal mendominasi dorongan naluriah manusiawi, tidak selalu terjadi
melainkan adakalanya terbalik yaitu dorongan naluriah (kepentingan) justru yang
mendominasi kendali aqal terhadap perbuatan. Jadi, efektivitas aksi اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ itu bukan ditentukan oleh cara (أُسْلُوْبٌ مِنَ
الأَسَالِيْبِ) atau
gaya/wasilah (وَسِيْلَةٌ مِنَ الْوَسَائِلِ) yang ditempuh oleh para pelakunya, melain-kan ditentukan oleh
sikap responsif objeknya. Oleh karena itu, Islam memberikan penghargaan yang
sangat istimewa kepada para pelaku aktivitas اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ. Rasulullah saw me-nyatakan :
أَلَا إِنَّ أَفْضَلَ
الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ (رواه احمد)
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ
سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ (رواه ابو داود)
Demikianlah
realitas hakiki dari aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ
عَنِ الْمُنْكَرِ berikut
objek hukum yang di-bidiknya (مَنَاطُ حُكْمِهِ) yang ditunjukkan oleh seluruh dalil baik صَرَاحَةً maupun
دَلاَلَةً. Lalu, apakah rea-litas ini yang
dimaksudkan oleh seruan MUI? Dapat dipastikan bahwa yang dimaksud oleh MUI sama
sekali bukan realitas hakiki tersebut berikut objek hukum yang dibidiknya,
melainkan benar-benar bertentangan sebab seruan tersebut
ditujukan kepada fakta kehidupan umat Islam di NKRI yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan fakta kehidupan Islami yang tengah berlangsung saat syariah
tentang اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ ditetapkan oleh Allah SWT lalu diberlakukan oleh Nabi Muhammad
saw. Maksud MUI yang benar-benar bertentangan dengan realitas hakiki dari
ak-tivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ berikut objek hukum yang dibidiknya (مَنَاطُ
حُكْمِهِ) tersebut
dibuk-tikan oleh sejumlah indikasi :
a.
objek seruan yakni ormas Islam. Posisi dan
eksisitensi ormas Islam (اَلْجَمْعِيَّةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dalam su-atu negara (termasuk MUI
sendiri) memastikan bahwa negara tersebut adalah negara kebang-saan
sekularistik, sebab Islam nyata-nyata dipisahkan dan dijauhkan dari
arena politik dan ne-gara serta hanya diijinkan sebagai asas
atau merek atau baju bagi ormas tersebut. Padahal
akti-vitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ baik individual maupun kelompok adalah
bagian tak terpisah-kan dari pemberlakuan politik Islami (اَلسِّيَاسَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) dalam wadah pelaksanaan Khilafah
Isla-miyah. Hal itu berarti MUI telah sangat salah dalam تَحْقِيْقُ
الْمَكَانِ التَّنْفِيْذِيِّ لِلْقِيَامِ بِذَلِكَ الْعَمَلِ : pene-tapan wadah pelaksanaan untuk aktivitas tersebut.
b.
perkara yang dijadikan seruan kepada ormas Islam
yakni efektivitas dan aspek ketepatan sasa-ran dari aktivitas اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ. Sebenarnya dengan kesalahan MUI dalam mene-tapkan wadah
pelaksanaan untuk aktivitas itu sendiri, maka telah sangat cukup untuk
memasti-kan bahwa aktivitas tersebut tidak akan pernah menemui sasarannya
dengan tepat sampai kapan pun. Hal itu karena pelaksanaan aktivitas itu telah dipaksa
berlangsung dalam wadah yang sa-lah alias tidak tepat, sehingga mustahil wadah yang
salah dapat mengantarkan kepada sasaran yang tepat.
Kemudian tentang efektivitas, dapat dipastikan bahwa yang dimaksudkan oleh MUI
adalah bagaimana supaya ormas Islam pelaku utama aktivitas اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ da-pat berhasil mempengaruhi umat Islam sehingga mereka
melakukan segala hal yang diserukan oleh ormas Islam melalui aktivitas
tersebut. Oleh karena itu, juga dapat dipastikan bahwa apa pun respon dari
objek seruan ormas Islam tersebut (umat Islam saat ini) maka itu sama sekali bukan
bukti dan tidak boleh dijadikan bukti bahwa aktivitas اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ yang dilakukan telah efektif atau tidak efektif, sebab telah diberlangsungkan
dalam wadah pelaksana-an yang nyata-nyata salah.
c. realitas
pemahaman ormas Islam (termasuk MUI) dan umat Islam terhadap apa yang
dimak-sudkan oleh aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
الْمُنْكَرِ itu sendiri.
Tegasnya adalah telah terjadi ke-salahan dalam memahami makna istilah اَلْمَعْرُوْفُ maupun الْمُنْكَرُ yang telah ditetapkan dalam Is-lam baik
itu oleh ormas Islam maupun umat Islam. Kenyataan itu semakin diperparah dengan
adanya pelaksanaan aktivitas yang justru berdasarkan pemahaman terhadap istilah
hasil penga-lihbahasaan (translation) dari kedua istilah dalam Islam
tersebut, yakni kebaikan atau kebajikan untuk istilah اَلْمَعْرُوْفُ dan kemungkaran atau kekejian untuk
istilah الْمُنْكَرُ. Padahal istilah kebai-kan, kebajikan,
kemungkaran maupun kekejian adalah istilah lokal yang sudah pasti
membawa penuh muatan lokal (budaya setempat) dan sama sekali
bukan membawa pemahaman yang ditentukan oleh Islam.
2. seruan
supaya masyarakat (umat Islam) ikut serta dalam pemilu dan menggunakan hak
pilihnya se-cara bertanggungjawab.
Nampak sekali dalam hal
ini MUI lupa atau bergaya lupa atau menutupi
kesadarannya sendiri bahwa pemilu yang telah dan akan dilaksanakan di
NKRI adalah sama persis dengan yang berlang-sung di negara-negara
kebangsaan lainnya (AS, UK, Australia, Malaysia, Jerman, Perancis, Yorda-nia,
Mesir, Sudan, Jepang, China dan lainnya), yakni sebagai metode untuk memilih
presiden (ek-sekutif) dan anggota badan legislatif. Kedua badan dalam negara
tersebut adalah bukti pasti diberla-kukannya sistema demokrasi dalam
pemerintahan negara yang bersangkutan. Kecuali MUI lupa atau bergaya
lupa bahwa asas yang mendasari demokrasi adalah sekularisme dan sama
sekali bu-kan aqidah Islamiyah. Oleh karena itu, bila MUI dalam Rakernas 2008
mempersoalkan sekularis-me (asas kemunculan demokrasi), pluralisme (bagian dari
ide kebebasan menyeluruh dalam demo-krasi), liberalisme (bagian dari ide
kebebasan menyeluruh dalam demokrasi juga sifat dari sistema perekonomian
kapitalisme yang asasnya adalah sekularisme), maka mengapa MUI
masih menyeru umat Islam untuk ikut serta dalam pemilu dan menggunakan hak
pilihnya secara bertanggungjawab dalam pemilu 2009 nanti?
Inkonsistensi sikap MUI
tersebut menjelaskan bahwa mereka : (a) sama sekali tidak memahami realitas
hakiki dari pemilu dalam demokrasi dan (b) sama sekali tidak memahami hubungan
konste-latif antara demokrasi, sekularisme, pluralisme, liberalisme dan
lainnya. Anehnya dalam kondisi mereka seperti demikian, ternyata mereka sangat
percaya diri untuk mengajak umat Islam ikut ser-ta dalam pemilu padahal
mereka sama sekali tidak memahami hakikatnya. Tentu saja sikap MUI yang
inkonsisten berbasis ketidakpahaman serta kisruh dalam memikirkan realitas
maupun kecero-bohan dalam menetapkan keputusan (vonis) terhadap sesuatu,
keseluruhannya adalah bukti otentik yang memastikan posisi dan eksistensi
mereka sebagai antek kekufuran.
3. seruan
kepada umat Islam untuk menunda pernikahan putera puterinya sampai mencapai
usia de-wasa dan matang berdasarkan ketentuan perundang undangan yang berlaku
di NKRI yakni Undang Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Perkawinan No. 1
tahun 1974, adalah sikap MUI yang nyata-nyata memberlakukan hukum
(peraturan alias اَلأَنْظِمَةُ) selain dari yang telah Allah turunkan (Islam) dan tentu saja
sikap itu adalah diharamkan oleh Allah SWT berdasarkan dalil Al-Quran :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة : 44)
4. rekomendasi
MUI kepada DPR (badan legislatif alias اَلْهَيْئَةُ
التَّشْرِيْعِيَّةُ) baik
berkenaan dengan penge-sahan suatu RUU menjadi UU atau penyempurnaan
UU tertentu atau peninjauan dan penyesuai-an dua atau
lebih UU atau apa pun yang berkaitan dengan legislasi, seluruhnya membuktikan
bah-wa : (a) bagi MUI, DPR adalah lembaga atau pihak yang tepat, pantas, layak,
untuk membuat yakni melegislasikan (اَلتَّشْرِيْعُ) perundang undangan yang nantinya akan
diberlakukan atau diundangkan di dalam kehidupan umat Islam dan (b) bagi MUI,
dalam Islam memang tidak mereka dapati syariah yang dapat diberlakukan atau
diterapkan terhadap persoalan-persoalan tersebut atau jika pun
mere-ka mendapatinya dalam Islam, ternyata itu pun sangat tidak layak
diberlakukan maupun diterapkan terhadap persoalan-persoalan tersebut. Inilah
yang ditunjukkan secara pasti oleh sikap MUI sehu-bungan dengan rekomendasi
mereka kepada DPR. Oleh karena itu, MUI benar-benar telah meng-ingkari
pernyataan Allah SWT yang merupakan dalil tentang haramnya melakukan tindakan
seperti yang telah dan sedang mereka lakukan : اَلتَّحَاكُمُ
اِلَى الطَّاغُوتِ. Allah
SWT menyatakan :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ
أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا
بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (النساء : 60)
Selain itu, karena mereka telah menempatkan Islam paling
tidak sebagai tidak lengkap serta mem-butuhkan sistema lain
(demokrasi) untuk menyempurnakannya, maka sikap ini pun adalah bentuk
pengingkaran terhadap realitas hakiki dari Islam (lengkap, sempurna dan tidak
perlu kepada yang lain) yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
الْيَوْمَ يَئِسَ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (المائدة : 3)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Lebih mengerikan lagi,
sikap MUI tersebut memastikan bahwa mereka telah menjadikan kepen-tingan mereka
sendiri (هَوَاهُمْ) sebagai tuhan (إِلَهَهُمْ), persis seperti yang dimaksudkan oleh
pernyata-an Allah SWT :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ
يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
سَبِيلًا (الفرقان : 44-43)
Lalu, puncak dari segala hal yang paling mengerikan dari
sikap MUI itu adalah mereka telah me-nempatkan Allah SWT sebagai sangat
bodoh sehingga peraturan alias syariah yang telah Allah buat itu (Islam)
ternyata sangat tidak layak, tidak pantas, tidak sempurna serta menyulitkan
manu-sia karena harus mencari peraturan lain yang lebih layak, lebih pantas
serta sempurna. Tegasnya, seluruh manusia dalam MUI (yang mengaku sebagai
muslim) telah dengan sadar, terencana dan pe-nuh percaya diri untuk menyatakan
kufur kepada Allah SWT berikut Islam yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw : لَقَدْ كَفَرُوْا بِاللهِ وَبِاْلإِسْلاَمِ الَّذِيْ جَاءَ
بِهِ نَبِيُّهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
5. rekomendasi
MUI kepada pemerintah NKRI tentang permasalahan Ahmadiyah yang dipastikan
te-lah merusak Islam, sehingga harus dibubarkan adalah sikap MUI yang
menempatkan pemerintah NKRI sebagai pemilik otoritas (صَاحِبُ
الصَّلاَحِيَّاتِ) dalam
melindungi, menjaga serta menegakkan Is-lam. Dengan kata lain, menurut MUI NKRI
adalah identik dengan Khilafah Islamiyah atau bahkan benar-benar
Khilafah Islamiyah, sehingga sangat tepat bagi umat Islam
meminta kepada pemerin-tahnya untuk melindungi, menjaga serta menegakkan Islam.
Sikap ini selain memastikan ketidak-pahaman MUI terhadap perbedaan mendasar
antara NKRI dengan Khilafah, juga telah menolak de-ngan pasti syariah Islamiyah
tentang Khilafah yang sejak awal eksistensi Islam telah menjadi bagi-an dari
Islam dengan posisi sebagai : مَعْلُوْمٌ مِنَ الدِّيْنِ
بِالضَّرُوْرَةِ. Posisi
Khilafah itu ditunjukkan oleh se-jumlah dalil baik pernyataan Rasulullah saw
maupun ijma shahabat :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ
عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ
يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ
بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ (رواه البخاري)
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ
النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ
الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا
جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ
قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ
عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
Artinya,
bila MUI memastikan Ahmadiyah telah merusak Islam, lalu bukankah MUI
sendiri telah bersikap merusak Islam juga bahkan dalam porsi yang lebih besar
serta menyebabkan wilayah ke-hancuran yang jauh lebih luas?
Demikian juga, dukungan
penuh MUI kepada salah satu bagian dari struktur NKRI (misal KPK) adalah sikap
yang semakin menunjukkan bahwa MUI telah menempatkan NKRI sebagai negara yang
selain dibenarkan oleh Islam, melainkan juga Islam mewajibkan kaum muslim untuk
mendu-kungnya secara penuh alias bersikap loyal kepada negara tersebut.
Lagi-lagi, sikap ini memastikan bahwa MUI tidak memiliki pemahaman apa pun
tentang realitas NKRI dan realitas Khilafah Isla-miyah. Lebih dari itu, nampak
sekali bahwa MUI menganggap penting untuk lebih menyempurna-kan kinerja KPK
(misalnya) yang selama ini masih sangat terkesan melakukan tebang pilih dalam
pemberantasan korupsi di NKRI.
Sikap mendukung
terhadap satu bagian dari struktur NKRI yang adalah negara kufur sekularistik
ditambah adanya upaya untuk mengokohkan eksistensinya melalui penyempurnaan
kinerja struktur yang dimaksud, tentu
saja merupakan bukti yang pasti bahwa MUI dari waktu ke waktu alias seti-ap
saat memposisikan diri sebagai penjaga, pemelihara, pendukung, pembela loyalis
NKRI. Kasar-nya, MUI adalah penjaga, pemelihara, pendukung, pembela loyalis kekufuran
berikut institusi dan para pengusungnya (kaum kufar dan antek-anteknya dari
kalangan penguasa negeri-negeri Islam). Realitas MUI ini semakin ditegaskan
oleh mereka sendiri melalui rekomendasi kepada pemerintah NKRI yang berbunyi : mendesak
pemerintah untuk memberikan pembekalan agama dan akhlaqul karimah kepada
aparatur negara mulai dari rekrutmen sampai dengan pembinaan dan pelaksana-an
tugas.
Mengerikan, luar biasa
sadisnya sikap MUI tersebut yang telah dengan sengaja menempatkan aga-ma
(Islam) berikut syariahnya (misal akhlaqul karimah) menjadi bagian dari
kekufuran beserta ins-titusinya bahkan diusulkan untuk : (a)
menjadi penyempurna kekurangan dan kelemahan yang ada dalam kekufuran tersebut
dan (b) menjadi materi dalam pembinaan aparatur negara kufur supaya mereka
benar-benar konsisten dan setia dalam menjalankan sistema kufur sepanjang masa
baktinya.
Lalu, saat mereka
mendapati sistem perekonomian kapitalisme yang diberlakukan di seluruh dunia
ternyata (paling tidak saat ini) telah menunjukkan kegagalannya dalam
mewujudkan kesejahteraan manusia di dunia, maka MUI pun bergegas
menawarkan bagian lainnya dari syariah Islam untuk menanggulangi atau
menyelesaikan krisis finansial global akibat kegagalan perekonomian
kapita-listik tersebut atau bahkan ditujukan untuk menutupi kelemahan dan
kekurangan sistem itu supaya tidak akan pernah lagi mengakibatkan keadaan
krisis lainnya di masa datang. Inilah yang eksplisit terungkap dalam pernyataan
MUI : mengenai masalah kondisi ekonomi global yang disebabkan oleh krisis
finansial di Amerika Serikat (AS), mendesak pemerintah untuk menggali potensi
pereko-nomian syariah yang telah terbukti sehat dan kompetitif sehingga dapat
menjadi ekonomi alternatif yang menjadi salah satu pilar penyangga perekonomian
nasional. Sikap ini benar-benar memun-culkan pertanyaan mendasar : apakah
MUI itu eksis atas nama dan demi Islam ataukah justru atas nama dan demi
kekufuran? Jawabannya : sulit
untuk ditolak munculnya kesimpulan faktual yang memastikan bahwa eksistensi
MUI selama ini adalah bukan atas nama dan demi Islam mela-inkan atas
nama dan demi kekufuran!
6. berdasarkan
seluruh pembahasan tersebut, maka adalah sangat tidak layak
kumpulan manusia yang saat ini berada dalam MUI menyebut diri sebagai Majelis
Ulama Indonesia (مَجْلِسُ الْعُلَمَاءِ إِنْدُونَيْسِيَا), sebab realitas ulama dalam Islam yakni :
إِنَّمَا يَخْشَى
اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ (فاطر : 28)
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا
وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ (رواه الترمذي)
sama
sekali tidak nampak sedikit pun dalam diri, pemikiran maupun
sikap mereka bahkan yang melekat erat pada sosok mereka adalah justru realitas
yang dibidik pasti oleh pernyataan Rasulullah saw :
أَلَا إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ
الْعُلَمَاءِ (رواه الدارمي)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ
أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ
الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ
بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ
النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا
وَأَضَلُّوا (رواه البخاري)
Mereka
itu adalah شِرَارُ الْعُلَمَاءِ alias نَاسٌ جُهَّالٌ alias رُءُوسًا جُهَّالًا yang selalu memberikan fatwa, jawab-an, penjelasan, rekomendasi,
usulan, seruan, himbauan tanpa disertai pemahaman yang benar terha-dap Islam
maupun fakta persoalan yang tengah dihadapi : فَيُفْتُونَ
بِرَأْيِهِمْ alias فَأَفْتَوْا
بِغَيْرِ عِلْمٍ. Akibatnya
dapat dipastikan yakni mereka sesat dan menyesatkan sangat banyak orang lain
yang kenyataannya juga dalam kondisi yang sama dengan realitas mereka : فَضَلُّوا
وَأَضَلُّوا alias فَيُضِلُّونَ
وَيَضِلُّونَ.
Wal hasil, MUI haram
mengaku sebagai Majelis Ulama Indonesia melainkan sangat tepat
menga-ku sebagai Majelis Umala Indonesia untuk kekufuran dan kaum
kufar :
مَجْلِسُ الْعُمَلاَءِ إِنْدُونَيْسِيَا
يَكُوْنُ كِيَانَهُ وَوُجُوْدَهُ مِنْ أَجْلِ الْكُفْرِ وَالْكُفَّارِ وَلَيْسَ
مِنْ أَجْلِ الإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ عَلَى الإِطْلاَقِ
Khatimah
Kaum muslim khususnya di
Indonesia, tidak boleh sedikit pun ragu untuk memastikan jatidiri
MUI sebagai antek sebenarnya (اَلْعُمَلاَءُ الْحَقِيْقِيُّ) bagi kekufuran dan kaum kufar. Hal itu
berdasarkan fak-ta empiris dari perjalanan eksistensi MUI selama ini dan
terutama sikap mereka yang ditunjukkan seca-ra gamblang dalam rekomendasi
Rakernas MUI tahun 2008. Selain itu, umat Islam juga haram
meng-adopsi, mengambil dan mempergunakan produk apa pun yang dikeluarkan oleh
MUI baik itu fatwa, penjelasan, rekomendasi, usulan, seruan, himbauan dan
sebagainya. Hal itu karena apa pun yang dite-tapkan oleh MUI nyata-nyata
masuk dalam realitas yang diharamkan oleh Islam berdasarkan pernya-taan Allah
SWT :
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الإسراء : 36)
No comments:
Post a Comment