Saturday, November 9, 2013

وَاقِعُ الإِسْتِكْرَاهِ (REALITAS KETERPAKSAAN)


Keterpaksaan sebagai argumen pembenar sikap dan tindakan
Ketika seorang muslim yang sangat sukses dalam mengelola perusahaannya ditanya mengapa an-da melakukan riba hanya untuk memperoleh modal untuk bisnis anda, padahal riba diharamkan oleh Islam? Maka dengan sangat lancar dan lantang dia menjawab ini terpaksa saya lakukan sebab jika ti-dak dari perbankan, darimana lagi akan dapat modal yang sangat diperlukan untuk bisnis saya.
Ketika seorang kiyai, ustadz, aktivis dakwah, intelektual muslim dan lainnya ditanya mengapa anda mengambil, menggunakan dan menyerukan demokrasi, padahal demokrasi diharamkan oleh Is-lam dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan Islam bahkan dengan agama lainnya apa pun itu? Ja-waban sangat nyaring yang meluncur mulus dari mulutnya adalah memang demokrasi bukan dari Islam namun telah menjadi realitas dan keniscayaan hidup di dunia saat ini, sehingga tidak ada pilihan lain. Oleh karena itu, kita jadikan demokrasi sebagai alat atau kendaraan atau sistem untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam itu sendiri. Lagipula walau bukan berasal dari Islam, ternyata demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.
Ketika mantan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR RI : A. Effendi Choirie menjelaskan mengapa NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan Negara Kesatuan Republik In-donesia (NKRI) sebagai final, menyatakan : Keterlibatan NU dalam politik praktis hingga mencapai puncaknya 1971, ketika NU meraih suara terbesar kedua di bawah Golongan Karya. Kiprah NU ber-politik kemudian mendapat koreksi total pada munas NU 1982 di Situbondo dan dipertegas dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo. Sejak itulah NU kembali ke khithah 1926 sebagai organisasi sosial keagamaan. Muktamar itu menjadi tonggak sejarah perubahan politik NU yang menghindari keterliba-tan dalam politik praktis sebagai respon atas kebijakan politik Orde Baru. Salah satu poin pentingnya, NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid menerima asas tunggal Pancasila sebagai ideologi NKRI.
Bahkan ketika seorang muslim menjadi kurir, pengedar atau bandar ganja maupun narkoba lain-nya, maka alasan perbuatan tersebut dilakukan adalah karena terpaksa akibat adanya himpitan ekono-mi alias kebutuhan hidup sehari-hari. Begitu juga umat Islam yang mencoba bunuh diri beralasan bah-wa itu terpaksa dilakukan karena tekanan hutang yang tidak terbayar atau penyakit yang tak kunjung sembuh dan sebagainya.
Singkat kata seluruh sikap dan perbuatan umat Islam yang melanggar hukum haram dalam Islam tersebut dilakukan dengan satu argumen yang seragam yakni keadaan terpaksa atau keterpaksaan. Seolah argumen tersebut telah menjadi alat yang handal untuk merubah hukum haram menjadi halal dan yang tidak layak tidak pantas bagi manusia menjadi sangat layak sangat pantas. Lalu, apakah selu-ruh alasan yang dianggap sebagai keadaan terpaksa atau keterpaksaan tersebut dapat dibenarkan oleh Islam (دَلِيْلاً نَقْلِيًّا) maupun oleh faktanya sendiri (دَلِيْلاً عَقْلِيًّا)?

اَلإِسْتِكْرَاهُ الشَّرْعِيُّ وَاْلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ (keterpaksaan syar’iy dan keterpaksaan naluriah)
Lafadz اَلإِسْتِكْرَاهُ (اِسْتَكْرَهَ – يَسْتَكْرِهُ - اِسْتِكْرَاهٌ) berasal dari كُرْهٌ (كَرِهَ – يَكْرَهُ - كُرْهٌ). Padanan lafadz  كُرْهٌ dalam bahasa Indonesia adalah benci atau membenci. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (البقرة : 216)
Diwajibkan kepada kalian perang dan itu adalah kalian benci dan mungkin saja kalian membenci se-suatu ternyata itu adalah khair bagi kalian dan mungkin saja kalian menyukai sesuatu dan itu ternyata syar bagi kalian dan Allah mengetahui (hakikat khair dan syar) sedangkan kalian tidak mengetahui (hal itu)
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (التوبة : 32)
Mereka ingin mematikan nur Allah dengan ucapan-ucapan mereka dan Allah menolak itu semua ke-cuali Dia akan tetap menyempurnakan nur Nya walau kaum kufar membenci (hal itu)
Makna bagian ayat كُرْهٌ لَكُمْ (البقرة : 216) adalah شَدِيْدٌ عَلَيْكُمْ وَمَشَقَّةٌ (sangat berat dan menyengsarakan bagi kalian). Tentu saja ini adalah tanggapan naluriah manusia bahwa karena perang (الْقِتَالُ) memang memastikan adanya شَدِيْدٌ وَمَشَقَّةٌ maka secara naluri manusia akan membencinya (كُرْهٌ لَهُمْ) lalu mening-galkannya (يَتْرُكُوْنَهُ). Oleh karena itulah, Allah SWT menyadarkan umat Islam bahwa walau memang se-cara naluri kemanusiaan pasti mereka membenci perang namun Allah SWT menyeru aqal mereka de-ngan memberikan informasi tentang realitas خَيْرٌ dan شَرٌّ kepada mereka dengan memastikan bahwa ha-nya Allah yang mengetahui hakikat خَيْرٌ dan شَرٌّ tersebut : وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ. Dengan demikian aqal mereka mendapat informasi bahwa : اَلْقِتَالُ خَيْرٌ لَهُمْ وَالْقَاعِدُ شَرٌّ لَهُمْ (perang adalah khair bagi mereka se-dangkan tidak perang adalah syar bagi mereka). Inilah salah satu bentuk riil hidayah dari Allah SWT kepada aqal manusia sehingga aqal mereka dapat memutuskan hukumnya sesuai dengan realitas yang diperintahkan dan secara otomatis terhindar dari keputusan sikap yang salah akibat dominasi tuntutan kepentingan naluriah mereka sendiri. Lalu untuk semakin memantapkan sikap mereka, Allah SWT memberikan informasi lebih lanjut tentang realitas perang dan akibat yang akan mereka terima jika ke-wajiban perang itu dilaksanakan :
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (النساء : 95)
Tidak lah sama antara kaum mukmin yang tidak perang padahal mereka bukan yang memiliki dlarar dengan mujahidun fi sabilillah baik dengan harta maupun nyawa mereka. Allah pasti mengunggulkan kedudukan mujahidun baik dengan harta maupun nyawa mereka atas orang-orang yang tidak mau pe-rang dan semuanya Allah janjikan al-husna dan Allah pasti mengunggulkan mujahidun atas orang-orang yang tak mau perang dengan pahala yang luar biasa besar
Adanya informasi yang lengkap tersebut membuahkan keputusan aqal yang sangat mantap sehingga si-kap pun sangat pasti yakni bersedia melaksanakan kewajiban perang dengan senang gembira dan itu mereka tunjukkan kepada kaum kufar. Inilah yang digambarkan oleh pernyataan Allah SWT :
قُلْ هَلْ تَرَبَّصُونَ بِنَا إِلَّا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ وَنَحْنُ نَتَرَبَّصُ بِكُمْ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ أَوْ بِأَيْدِينَا فَتَرَبَّصُوا إِنَّا مَعَكُمْ مُتَرَبِّصُونَ (التوبة : 52)
Katakanlah apa yang tengah kalian (wahai kaum kufar) tunggu-tunggu akan terjadi kepada kami ke-cuali salah satu dari dua husna dan kami menantikan yang akan terjadi atas kalian yakni Allah akan menimpakan kepada kalian adzab dari sisi Nya atau melalui tangan kami. Maka tunggulah oleh kalian sungguh kami bersama kalian sama-sama menunggu itu semua
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ فَتْحًا أَوْ شَهَادَةً (رواه البخاري)
Ibnu Abbas berkata إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ itu adalah فَتْحًا (kemenangan) atau شَهَادَةً (mati syahid)
Makna yang sama dari lafadz كُرْهٌ ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)
Ingatlah, siapa saja yang dipimpin oleh seorang wali lalu dia melihat wali itu melakukan maksiat ke-pada Allah, maka hendaklah dia membenci perbuatan maksiat wali itu dan jangalah dia melepaskan tangan dari ketaatan (kepada wali itu)
Nampak sekali dari ucapan Rasulullah saw tersebut bahwa bersikap membenci perbuatan penguasa Is-lam (Khalifah atau Wali) yang terkategori maksiat kepada Allah SWT adalah kewajiban, namun pada saat yang bersamaan Islam juga tetap mewajibkan mentaati penguasa tersebut. Inilah indahnya konsep peraturan dalam Islam yang mengatur dinamika sikap setiap muslim antara sikap benci terhadap sesua-tu yang salah yang dilakukan oleh penguasa (فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ) dengan sikap taat secara mutlak kepada mereka selama tidak memerintahkan maksiat kepada Allah SWT :
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه البخاري)
Mendengar dan mentaati adalah wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang disukai maupun dibenci selama tidak diperintahkan maksiat lalu jika diperintahkan maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan mentaati
Itulah realitas كُرْهٌ عِنْدَ نَظْرَةِ الإِسْلاَمِ (benci dalam pandangan Islam), yakni ada dua kategori benci : benci syar’iy (كُرْهٌ شَرْعِيٌّ) dan benci naluriah (كُرْهٌ غَرِيْزِيٌّ). Lalu bagaimana dengan realitas اَلإِسْتِكْرَاهُ? La-fadz اَلإِسْتِكْرَاهُ bermakna secara bahasa diminta untuk melakukan sesuatu yang dibenci alias dipaksa se-hingga terpaksa melakukannya. Makna bahasa اَلإِسْتِكْرَاهُ adalah sama dengan اَلإِكْرَاهُ seperti yang ditun-jukkan oleh pernyataan Allah SWT :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (النحل : 106)
Siapa saja yang bersikap kufur kepada Allah setelah keimanannya, kecuali yang dipaksa dan aqalnya tetap kokoh dengan iman, akan tetapi siapa saja yang secara sadar rela dengan kekufuran maka bagi mereka murka dari Allah dan bagi mereka adzab yang sangat dahsyat
Ayat tersebut menunjukkan bahwa :
1.       seorang muslim yang bersikap kufur karena adanya kekuatan kaum kufar yang memaksanya namun iman dia kepada Allah SWT tetap kokoh dalam aqal dan pikirannya (وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ), maka Allah SWT memaafkan sikapnya tersebut.
2.       realitas اَلإِكْرَاهُ yang terjadi pada aspek aqidah tersebut memastikan bahwa اَلإِكْرَاهُ dapat saja terjadi dalam arena perbuatan manusia (اَفْعَالُ اْلإِنْسَانِ) dan seperti halnya pada aspek aqidah maka pada are-na perbuatan pun (maksiat), tentu saja Allah SWT pasti akan mengampuninya.
3.       realitas اَلإِكْرَاهُ (baik pada aspek aqidah maupun perbuatan manusia) yang akan diampuni oleh Allah SWT adalah اَلإِكْرَاهُ yang realitasnya ditetapkan oleh Islam sendiri dan bukan berdasarkan kecende-rungan naluriah manusia. Sebagai contoh keterpaksaan bersikap kufur dalam ayat memastikan bah-wa keadaan itu menimpa seorang muslim (عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ) dalam keadaan tengah terus menerus disiksa dan dianiaya (لِماَ نَالَهُ مِنْ ضَرْبٍ وَأَذَى) oleh kaum kufar yang memiliki kekuatan dan kekuasaan sangat besar (Abu Jahal dan kawan-kawan). Jadi sikap Ammar bin Yasir yang akhirnya memilih setuju untuk kufur kepada Nabi Muhammad saw disertai memuji-muji berhala kaum kufar Quraisy adalah dilakukan setelah sekian lama berada dalam penyiksaan dan penganiayaan sadis brutal bahkan sete-lah ibunya (سَمِيَةُ) mati syahid dengan cara yang sangat biadab disusul bapaknya (يَاسِرٌ). Sebelum wa-fat Abu Ammar (يَاسِرٌ) berkata kepada Rasulullah saw sesaat beliau menghampirinya :
فَقَالَ أَبُو عَمَّارٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ الدَّهْرَ هَكَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْبِرْ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِآلِ يَاسِرٍ (رواه احمد)
Lalu Abu Ammar berkata : ya Rasulallah kejadiannya seperti ini! Maka Nabi saw berkata kepada-nya : sabarlah engkau! Beliau berdu’a : ya Allah ampunilah keluarga Yasir
Imam Mujhid menyatakan :
أَوَّلُ شَهِيْدَةٍ فِيْ اْلإِسْلاَمِ أُمُّ عَمَّارٍ, قَتَلَهَا أَبُوْ جَهْلٍ, وَأَوَّلُ شَهِيْدٍ مِنَ الرِّجَالِ مَهْجَعٌ مَوْلَى عُمَرَ وَأَوَّلُ مَنَ أَظْهَرَ اْلإِسْلاَمَ سَبْعَةٌ : رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ, وَبِلاَلٌ, وَخَبَّابٌ, وَصُهَيْبٌ, وَعَمَّارٌ, وَسَمِيَةُ أُمُّ عَمَّارٍ
Wanita pertama yang mati syahid dalam Islam adalah ibunya Ammar (Abu Jahal yang membunuh-nya) dan Mahja’ maula Umar adalah laki-laki pertama yang mati syahid. Dan yang pertama kali menampakkan Islam adalah tujuh orang yakni Rasulullah saw, Abu Bakar, Bilal, Khabbab, Shuha-ib, Ammar dan Samiyah ibunya Ammar
Lalu ketika seorang muslim mengalami keadaan seperti yang menimpa keluarga Yasir, apakah dia wajib memutuskan untuk bersikap seperti Ammar ataukah boleh saja melakukan itu dan boleh juga memilih kematian? Ibnu Katsir menyatakan :
وَلِهَذَا اِتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْمُكْرَهَ عَلَى الْكُفْرِ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يُّوَالِيَ إِبْقَاءً لِمَهْجَتِهِ وَيَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَّأْبَى كَمَا كَانَ بِلاَلٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَأْبَى عَلَيْهِمْ ذَلِكَ
Oleh karena itu, ulama sepakat bahwa yang dipaksa untuk kufur boleh saja baginya untuk mengi-kuti paksaan tersebut untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan boleh juga menolak paksaan itu, seperti yang dilakukan oleh Bilal ra, yakni dia menolak paksaan tersebut
Demikianlah realitas اَلإِكْرَاهُ الشَّرْعِيُّ فِيْ بَابِ الْعَقَائِدِ, lalu bagaimana halnya dengan realitas keterpak-saan (اَلإِكْرَاهُ اَوِ الإِسْتِكْرَاهُ) dalam arena perbuatan manusia? Rasulullah saw menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجه)
Sungguh Allah telah membiarkan dari umatku kesalahan, lupa dan segala perkara yang dipaksakan kepada mereka
Jadi perbuatan haram apa pun yang dilakukan oleh seorang muslim dalam tiga keadaan tersebut, selu-ruhnya dipastikan tidak akan dicatat sebagai dosa (كَإِثْمٍ) oleh Allah SWT dan pemahaman ini ditunjuk-kan oleh bagian hadits : إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي. Sebagai contoh Allah SWT menyatakan :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ (النساء : 92)
Adalah tidak pantas bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin kecuali dalam keadaan kesala-han dan siapa saja membunuh seorang mukmin dalam keadaan kesalahan, maka dia harus membebas-kan seorang hamba sahaya yang mukmin dan diyat harus diserahkan kepada keluarganya (keluarga korban)
Dengan tidak diberlakukannya qishash dalam kasus اَلْقَتْلُ الْخَطَأُ (pembunuhan yang terjadi secara kesala-han) tapi hanya berupa kaffarah (فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ) dan diyat, maka dapat dipahami bahwa perbuatan ter-sebut tidak masuk dalam kategori dosa (كَإِثْمٍ). Adapun tentang kaffarah yang wajib dilakukan oleh si pelaku, maka itu hanya berhubungan dengan fakta telah tertumpahnya darah seorang mukmin apa pun alasannya. Lalu berkenaan dengan diyat, maka kewajiban itu tidak ada kaitannya dengan realitas dosa melainkan berhubungan dengan fakta bahwa keluarga korban telah kehilangan salah satu anggotanya yakni korban yang terbunuh secara kesalahan tersebut. Dengan demikian diyat adalah salah satu bentuk keadaan diperolehnya harta yang terkategori sebab kepemilikan jenis kelima yakni :
اَلأَمْوَالُ الَّتِيْ يَأْخُذُهَا الأَفْرَادُ دُوْنَ مُقَابِلِ مَالٍ اَوْ جُهْدٍ وَمِنْهَا اسْتِحْقَاقُ الْمَالِ عِوَضًا عَنْ ضَرَرٍ كَدِيَةِ الْقَتِيْلِ وَدِيَةِ الْجِرَاحِ
Harta-harta yang diperoleh seseorang tanpa adanya pengorbanan harta atau upaya apa pun dan di antaranya adalah diperolehnya harta sebagai imbalan akibat adanya marabahaya seperti diyat pem-bunuhan dan diyat perusakan bagian tubuh manusia
Dengan diyat tersebut, pada kasus pembunuhan adalah keluarga korban yang memperoleh harta diyat sedangkan pada kasus perusakan bagian tubuh manusia maka korban sendiri yang memperoleh harta diyat. Seluruh harta tersebut (berupa diyat) diperoleh seseorang tanpa adanya pengorbanan harta mau-pun upaya apa pun untuk mendapatkannya. Realitas diyat pada kasus اَلْقَتْلُ الْخَطَأُ adalah ditunjukkan oleh ketetapan Rasulullah saw :
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ مَنْ قُتِلَ خَطَأً فَدِيَتُهُ مِائَةٌ مِنْ الْإِبِلِ ثَلَاثُونَ بِنْتَ مَخَاضٍ وَثَلَاثُونَ بِنْتَ لَبُونٍ وَثَلَاثُونَ حِقَّةً وَعَشَرَةٌ بَنُو لَبُونٍ ذُكُورٌ (رواه احمد)
Dari ‘Amri bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi saw telah menetapkan bahwa siapa saja yang terbunuh dalam keadaan kesalahan maka diyatnya adalah 100 ekor unta : 30 ekor unta beti-na berumur dua tahun, 30 ekor unta betina berumur tiga tahun, 30 ekor unta betina berumur empat ta-hun dan 10 ekor unta jantan berumur tiga tahun
Contoh lainnya tentang lupa (النِّسْيَانَ), Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ (رواه مسلم)
Siapa saja yang lupa dan dia tengah shaum lalu dia makan dan minum, maka sempurnakanlah shaum-nya, karena sesungguhnya Allah telah memberikan makan dan minum kepadanya
Membatalkan shaum dengan sengaja dalam keadaan sadar, maka itu adalah perbuatan dosa besar dan pelakunya wajib membayar kaffarah seperti yang ditunjukkan oleh hadits Rasulullah saw :
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ رَجُلًا أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ أَنْ يُعْتِقَ رَقَبَةً أَوْ يَصُومَ شَهْرَيْنِ أَوْ يُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا (رواه مسلم)
Dari Humaid bin Abdirrahman bahwa Aba Hurairah menyampaikan hadits kepadanya bahwa Nabi saw memerintahkan seseorang yang membatalkan shaum di bulan Ramadlan supaya dia membebaskan hamba sahaya atau dia shaum dua bulan berturut-turut atau memberikan makan 60 orang miskin
Karena adanya alasan lupa maka walau pada faktanya antara yang lupa dengan yang sengaja berbuka shaum secara sadar adalah sama saja yakni makan dan minum namun bagi pelaku berbuka karena lupa sama sekali tidak diharuskan membayar kaffarah bahkan shaumnya pun tidak batal melainkan tetap sah dan wajib disempurnakan hingga tibanya waktu maghrib (فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ).
Dengan demikian segala perbuatan yang termasuk kategori maksiat yang dilakukan oleh seorang muslim dalam keadaan tersalah (الْخَطَأَ) atau lupa (النِّسْيَانَ), adalah tidak dicatat sebagai dosa melainkan dibiarkan alias dimaafkan oleh Allah SWT. Lalu bagaimana dengan keadaan terpaksa (اَلإِسْتِكْرَاهُ)? Da-lam pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجه)
Memastikan bahwa ketiga keadaan yakni tersalah, lupa dan terpaksa adalah sama posisi dan realitas-nya sehubungan dengan perbuatan maksiat yang dilakukan seorang muslim dalam salah satu dari keti-ga keadaan tersebut. Hal itu karena ketiga keadaan tersebut diucapkan oleh Nabi Muhammad saw de-ngan menggunakan وَ-عَطْفٍ (الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ). Oleh karena itu, realitas اَلإِسْتِكْرَاهُ juga harus identik dengan realitas الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ, yakni harus اَلإِسْتِكْرَاهُ الشَّرْعِيُّ dan haram berupa اَلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ (ke-terpaksaan dengan pertimbangan kepentingan naluriah). Sebagai contoh Rasulullah saw menyatakan :
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ (رواه البخاري)
Menghina seorang muslim adalah fusuq dan membunuhnya adalah kufur
Artinya jika seorang muslim dengan sengaja dan sadar melakukan aksi سِبَابُ الْمُسْلِمِ, maka dia telah ber-dosa setara dengan dosa orang-orang fasiq dan jika dia melakukan قِتَالُهُ maka dia telah berdosa setara dengan dosa orang-orang kafir. Lalu bagaimana jika dia melakukannya di bawah tekanan dan ancaman dari suatu kekuatan kekuasaan (اَلْقُوَّةُ السُّلْطَاتِيَّةُ)?
Jika tekanan dan ancaman itu berasal dari Khalifah atau Wali, maka perintah untuk سِبَابُ الْمُسْلِمِ atau قِتَالُهُ tersebut haram dilakukan alias ditaati sebab perintah dari penguasa Islam tersebut telah terka-tegori yang diharamkan oleh Islam untuk didengar dan ditaati. Rasulullah saw menyatakan :
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه البخاري)
Mendengar dan mentaati adalah wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang disukai maupun dibenci selama tidak diperintahkan maksiat lalu jika diperintahkan maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan mentaati
Penolakan untuk mendengar dan mentaati terhadap perintah berbuat maksiat dari Khalifah atau Wali tersebut harus disertai dengan muhasabah kepada penguasa tersebut, walaupun risikonya adalah dibu-nuh. Rasulullah saw menyatakan :
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَرَجُلٌ قَامَ اِلَى اِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ (رواه الحاكم)
Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdil Muthallib dan seseorang yang berdiri di hadapan Imam Jair lalu memerintahkannya (berbuat benar) dan melarangnya (berbuat salah) lalu dia (Imam Jair) membunuhnya
Artinya, dalam kehidupan Islami yakni dalam wadah Khilafah Islamiyah tidak akan pernah ditemukan adanya realitas اَلإِسْتِكْرَاهُ الشَّرْعِيُّ, sehingga jika ada umat Islam yang mengklaim diri berada dalam keter-paksaan saat dia melakukan suatu perbuatan maksiat maka klaim tersebut tidak dapat diterima dan per-buatan maksiatnya itu harus diajukan kepada Qadli atau Khalifah, sebab dapat dipastikan klaim yang bersangkutan adalah muncul dari اَلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ. Jadi, ketika seorang pejabat negara Khilafah Islami-yah yang sudah dipenuhi semua kebutuhan dan gajinya lalu dia masih korupsi maka seluruh harta hasil korupsinya wajib disita lalu dimasukkan ke Baitul Mal kaum muslim dan perbuatannya wajib diberi sanksi yang mungkin saja diputuskan oleh Khalifah berupa sanksi bunuh. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ (رواه ابو داود)
Siapa saja yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan lalu kami berikan kepadanya upah maka apa saja yang dia ambil setelah itu maka itu adalah ghulul (kecurangan)
مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلًا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ (رواه ابو داود)
Siapa saja yang menjadi amil kami, maka carilah seorang istri. Lalu jika dia belum punya pembantu maka carilah pembantu, jika dia belum punya rumah carilah rumah. Dia (Mustaurid bin Syaddad) ber-kata : Abu Bakar menyatakan : dikabarkan kepadaku bahwa Nabi saw berkata : siapa saja yang meng-ambil selain itu maka dia telah berbuat curang atau telah mencuri
مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ (رواه احمد)
Siapa saja yang menjadi pejabat kami untuk suatu pekerjaan dan dia tidak punya tempat tinggal maka ambillah tempat tinggal atau dia tidak punya istri maka menikahlah atau dia tidak punya pembantu maka ambillah pembantu atau dia tidak punya kendaraan maka ambillah kendaraan dan siapa saja yang mengambil sesuatu selain itu maka dia adalah berlaku curang
Upah (رِزْقًا), istri (زَوْجَةً), rumah (مَسْكَنًا اَيْ مَنْزِلاً), pembantu (خَادِمًا) dan kendaraan (دَابَّةً) adalah fasilitas mendasar yang pasti dibutuhkan oleh setiap orang termasuk para pejabat dan pegawai negara Khilafah Islamiyah. Sehingga ketika semuanya telah dipenuhi dengan sempurna lalu si pejabat atau pegawai tersebut masih mencari dan mengambil yang lain maka tindakannya tersebut adalah diharamkan oleh Islam : فَهُوَ غُلُولٌ atau فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ atau فَهُوَ غَالٌّ. Jadi, adakah realitas اَلإِسْتِكْرَاهُ الشَّرْعِيُّ dalam kehidupan Khilafah Islamiyah? Tidak akan pernah ada dan jika ada pejabat atau pegawai Khilafah yang meng-klaim diri dalam keadaan keterpaksaan maka itu pasti adalah اَلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ yang diharamkan oleh Is-lam.
Kemudian, bagaimana jika tekanan dan ancaman itu berasal dari kekuataan kekuasaan dan peme-rintahan negara kufur seperti saat ini yang telah berlangsung lebih dari 85 tahun? Realitas tekanan dan ancaman yang selalu terjadi dan berlaku pasti atas umat Islam di negara kebangsaan mana pun saat ini mereka hidup adalah berupa pemberlakuan perundang-undangan maupun peraturan lainnya. Undang-undang sistem keuangan, perpajakan, kepabeanan, lalu lintas jalan raya, pertanahan, kepegawaian dan sebagainya. Namun demikian dari seluruh perundang-undangan maupun peraturan lainnya tersebut ti-dak seluruhnya bersifat memaksa dalam arti secara otomatis mengikat setiap orang yang menjadi war-ga negara tersebut. Rincian faktanya adalah sebagai berikut :
1.       Undang-undang sistem keuangan, perpajakan, kepabeanan, lalu lintas jalan raya, pertanahan adalah contoh perundangan suatu negara (termasuk NKRI) yang bersifat memaksa yakni mengikat secara otomatis siapa pun yang berstatus sebagai warga negaranya. Sehingga tidak akan pernah ada seo-rang pun warga negara yang dapat menghindari tekanan dan ancaman yang muncul pasti dari pem-berlakuan perundangan tersebut. Artinya, seluruh umat Islam yang hidup di NKRI misalnya adalah dalam keadaan وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ yakni mereka terpaksa mengikuti dan mematuhi seluruh ketentuan tersebut walau nyata-nyata diharamkan oleh Islam. Jadi berlakulah atas diri mereka kemurahan dari Allah SWT yakni Allah SWT pasti akan memaafkan mereka dengan syarat mereka selalu dan selalu berupaya serius serta sungguh-sungguh untuk mengembalikan kehidupan dunia jadi Islami lagi dalam wadah Khilafah Islamiyah.
2.       Undang-undang kepegawaian adalah contoh perundangan yang tidak bersifat memaksa alias meng-ikat secara otomatis setiap warga negara, melainkan tergantung keputusan warga negara itu sendiri apakah akan menjadi bagian dari sistem kepegawaian ataukah tidak. Jika memutuskan untuk men-jadi bagian dari sistem kepegawaian maka secara otomatis seluruh perundangan dan peraturan yang berlaku pasti mengikat mereka, sebaliknya jika tidak menjadi bagian maka dipastikan seluruh ke-tentuan tersebut tidak mengikat mereka. Misalnya penguasa NKRI tidak memaksa setiap warga ne-gara (termasuk umat Islam) untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di berbagai departemen atau kelembagaan negara baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sehingga untuk kasus ini umat Islam haram mengklaim diri mereka berada dalam kondisi وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ. Artinya jika umat Islam melakukannya juga maka mereka berdosa (كَانُوْا آثِمِيْنَ) dalam pandangan Allah SWT.
Khatimah
Wal hasil, seluruh umat Islam yang melibatkan diri dalam lembaga ribawi (perbankan maupun non bank) adalah haram memposisikan atau mengklaim diri mereka dalam keadaan keterpaksaan de-ngan ungkapan ini terpaksa saya lakukan sebab jika tidak dari perbankan, darimana lagi akan dapat modal yang sangat diperlukan untuk bisnis saya. Hal itu karena tidak ada satu kekuatan negara pun yang memaksa mereka untuk berada dalam atau terlibat dalam sistem ribawi maupun transaksi ribawi tersebut. Seluruhnya adalah keputusan masing-masing individu yang lebih karena adanya tuntutan ke-pentingan naluriah kemanusiaan (اَلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ).
Demikian juga keterlibatan umat Islam (siapa pun mereka) di eksekutif, legislatif maupun yudi-katif suatu negara kebangsaan yang nyata-nyata kufur dan memberlakukan sistema kufur termasuk NKRI, adalah haram mengklaim diri mereka dalam keterpaksaan melakukannya. Hal itu karena tidak ada satu perundangan atau peraturan pun dari negara misal NKRI yang memaksa mereka untuk mela-kukannya tanpa dapat menghindarinya. Begitu juga tidak ada seorang pun umat Islam yang dipaksa un-tuk mengambil, menggunakan dan menyerukan demokrasi, baik dari pihak kekuatan negara maupun sesama anggota masyarakat. Jadi, kiyai, ustadz, aktivis dakwah, intelektual muslim dan lainnya yang saat ini tengah bergelut nyaman di dalam kelembagaan negara demokrasi, adalah sangat tidak layak, tidak pantas dan tidak patut mengaku diri sebagai terpaksa melakukan itu semua. Siapakah atau kekuatan manakah yang memaksa mereka untuk memutuskan hal itu dan atau melakukan tindakan tersebut? Tentu saja tidak ada!
Khusus kasus NU yang mengklaim dipaksa oleh rezim represif Orde Baru untuk memposisikan Pancasila sebagai asas tunggal dan ideologi NKRI serta NKRI adalah final, mungkin saja adalah dapat dibenarkan jika dilihat an sich dari aspek eksistensi NU sebagai ormas Islam. Namun apakah memang NU harus/wajib ada dan dipertahankan apa pun alasannya? Jawabannya adalah justru keberadaan NU adalah sama sekali tidak sesuai dengan dalil mana pun yang tercantum dalam sumber Islam, sebab selain dalil-dalil yang ada menuntut adanya حِزْبٌ سِيَاسِيٌّ yang mengupayakan untuk kembalinya kehidu-pan Islami dalam wadah Khilafah Islamiyah yang telah lebih dari 85 tahun hilang, juga ternyata keber-adaan NU sangat menghalangi kesadaran umat Islam tentang realitas kehidupan mereka yang tengah dijalani saat ini yakni kehidupan berbasis sistema kufur yang berakibat umat Islam tidak pernah mera-sa bersalah dan berdosa sedikit pun selama ini. Lebih mengerikan lagi dari akibat keberadaan NU (juga yang lainnya misal Muhammadiyah) adalah umat Islam benar-benar membenci Khilafah Islamiyah se-kaligus memusuhi siapa pun yang berusaha keras untuk menegakkannya kembali dalam arena kehidup-an dunia.
Tentu saja untuk kasus-kasus yang sangat spesifik dan kecil semisal jadi pengedar bahkan bandar ganja (juga narkoba lainnya) atau bunuh diri karena tekanan hutang maupun biaya hidup sehari-hari atau mencuri karena alasan yang sama atau bunuh diri karena penyakit yang diderita tak kunjung sem-buh maupun karena tidak mampu membiayai pengobatan untuk penyakit tersebut atau yang sejenis de-ngan alasan-alasan itu, seluruhnya terjadi lebih sebagai akibat dari pemberlakuan sistema kufur yakni demokrasi dan kapitalisme. Sehingga sangat mudah menyelesaikannya yakni dengan mencerabut ke-dua sistema kufur kapitalistik tersebut dari pikiran dan perasaan umat Islam sehingga secara otomatis akan berhenti seketika dari pemberlakuannya selama ini.


قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قُلْ لَا أَتَّبِعُ أَهْوَاءَكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ (الأنعام : 56)
Katakanlah sungguh aku (Muhammad) dilarang untuk mematuhi orang-orang yang selama ini kalian seru selain Allah. Katakanlah aku tidak akan mengikuti kepentingan naluriah kalian, sungguh aku te-lah sesat jika melakukannya dan pasti aku bukan termasuk orang-orang yang memperoleh hidayah

No comments:

Post a Comment