Keterpaksaan sebagai argumen pembenar sikap dan tindakan
Ketika seorang muslim yang sangat sukses dalam mengelola
perusahaannya ditanya mengapa an-da melakukan riba hanya untuk memperoleh
modal untuk bisnis anda, padahal riba diharamkan oleh Islam? Maka dengan
sangat lancar dan lantang dia menjawab ini terpaksa saya lakukan sebab jika
ti-dak dari perbankan, darimana lagi akan dapat modal yang sangat diperlukan
untuk bisnis saya.
Ketika seorang kiyai, ustadz, aktivis dakwah, intelektual muslim
dan lainnya ditanya mengapa anda mengambil, menggunakan dan menyerukan
demokrasi, padahal demokrasi diharamkan oleh Is-lam dan tidak ada kaitannya
sama sekali dengan Islam bahkan dengan agama lainnya apa pun itu? Ja-waban
sangat nyaring yang meluncur mulus dari mulutnya adalah memang demokrasi
bukan dari Islam namun telah menjadi realitas dan keniscayaan hidup di dunia
saat ini, sehingga tidak ada pilihan lain. Oleh karena itu, kita jadikan
demokrasi sebagai alat atau kendaraan atau sistem untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban Islam itu sendiri. Lagipula walau bukan berasal dari Islam,
ternyata demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.
Ketika mantan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR
RI : A. Effendi Choirie menjelaskan mengapa NU menerima Pancasila sebagai asas
tunggal dan Negara Kesatuan Republik In-donesia (NKRI) sebagai final,
menyatakan : Keterlibatan NU dalam politik praktis hingga mencapai puncaknya
1971, ketika NU meraih suara terbesar kedua di bawah Golongan Karya. Kiprah NU
ber-politik kemudian mendapat koreksi total pada munas NU 1982 di Situbondo dan
dipertegas dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo. Sejak itulah NU kembali ke
khithah 1926 sebagai organisasi sosial keagamaan. Muktamar itu menjadi tonggak
sejarah perubahan politik NU yang menghindari keterliba-tan dalam politik
praktis sebagai respon atas kebijakan politik Orde Baru. Salah satu poin
pentingnya, NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid menerima asas tunggal Pancasila
sebagai ideologi NKRI.
Bahkan ketika seorang muslim menjadi kurir, pengedar atau bandar
ganja maupun narkoba lain-nya, maka alasan perbuatan tersebut dilakukan adalah karena
terpaksa akibat adanya himpitan ekono-mi alias kebutuhan hidup sehari-hari.
Begitu juga umat Islam yang mencoba bunuh diri beralasan bah-wa itu terpaksa
dilakukan karena tekanan hutang yang tidak terbayar atau penyakit yang tak
kunjung sembuh dan sebagainya.
Singkat kata seluruh sikap dan perbuatan umat Islam yang melanggar
hukum haram dalam Islam tersebut dilakukan dengan satu argumen yang seragam
yakni keadaan terpaksa atau keterpaksaan. Seolah argumen tersebut
telah menjadi alat yang handal untuk merubah hukum haram menjadi halal dan yang
tidak layak tidak pantas bagi manusia menjadi sangat layak sangat pantas. Lalu,
apakah selu-ruh alasan yang dianggap sebagai keadaan terpaksa
atau keterpaksaan tersebut dapat dibenarkan oleh Islam (دَلِيْلاً نَقْلِيًّا)
maupun oleh faktanya sendiri (دَلِيْلاً
عَقْلِيًّا)?
اَلإِسْتِكْرَاهُ
الشَّرْعِيُّ وَاْلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ
(keterpaksaan syar’iy dan keterpaksaan naluriah)
Lafadz اَلإِسْتِكْرَاهُ (اِسْتَكْرَهَ
– يَسْتَكْرِهُ - اِسْتِكْرَاهٌ)
berasal dari كُرْهٌ
(كَرِهَ – يَكْرَهُ - كُرْهٌ).
Padanan lafadz كُرْهٌ dalam bahasa Indonesia
adalah benci atau membenci. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan
Allah SWT :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ (البقرة : 216)
Diwajibkan
kepada kalian perang dan itu adalah kalian benci dan mungkin saja kalian
membenci se-suatu ternyata itu adalah khair bagi kalian dan mungkin saja kalian
menyukai sesuatu dan itu ternyata syar bagi kalian dan Allah mengetahui
(hakikat khair dan syar) sedangkan kalian tidak mengetahui (hal itu)
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ
اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ
كَرِهَ الْكَافِرُونَ (التوبة : 32)
Mereka ingin mematikan nur Allah dengan
ucapan-ucapan mereka dan Allah menolak itu semua ke-cuali Dia akan tetap
menyempurnakan nur Nya walau kaum kufar membenci (hal itu)
Makna bagian ayat
كُرْهٌ لَكُمْ
(البقرة :
216) adalah شَدِيْدٌ
عَلَيْكُمْ وَمَشَقَّةٌ
(sangat berat dan menyengsarakan bagi kalian). Tentu saja ini adalah
tanggapan naluriah manusia bahwa karena perang (الْقِتَالُ) memang memastikan
adanya شَدِيْدٌ وَمَشَقَّةٌ maka secara naluri
manusia akan membencinya (كُرْهٌ لَهُمْ) lalu mening-galkannya
(يَتْرُكُوْنَهُ). Oleh karena itulah,
Allah SWT menyadarkan umat Islam bahwa walau memang se-cara naluri kemanusiaan
pasti mereka membenci perang namun Allah SWT menyeru aqal mereka de-ngan
memberikan informasi tentang realitas خَيْرٌ dan شَرٌّ
kepada mereka dengan memastikan bahwa ha-nya Allah yang mengetahui hakikat خَيْرٌ
dan شَرٌّ tersebut : وَاللَّهُ
يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ. Dengan demikian aqal mereka mendapat
informasi bahwa : اَلْقِتَالُ
خَيْرٌ لَهُمْ وَالْقَاعِدُ شَرٌّ لَهُمْ (perang adalah khair bagi mereka
se-dangkan tidak perang adalah syar bagi mereka). Inilah salah satu bentuk
riil hidayah dari Allah SWT kepada aqal manusia sehingga aqal mereka dapat
memutuskan hukumnya sesuai dengan realitas yang diperintahkan dan secara
otomatis terhindar dari keputusan sikap yang salah akibat dominasi tuntutan
kepentingan naluriah mereka sendiri. Lalu untuk semakin memantapkan sikap
mereka, Allah SWT memberikan informasi lebih lanjut tentang realitas perang dan
akibat yang akan mereka terima jika ke-wajiban perang itu dilaksanakan :
لَا
يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ
وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ
اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ
دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ
أَجْرًا عَظِيمًا (النساء : 95)
Tidak lah sama antara kaum mukmin yang tidak perang padahal
mereka bukan yang memiliki dlarar dengan mujahidun fi sabilillah baik dengan
harta maupun nyawa mereka. Allah pasti mengunggulkan kedudukan mujahidun baik
dengan harta maupun nyawa mereka atas orang-orang yang tidak mau pe-rang dan
semuanya Allah janjikan al-husna dan Allah pasti mengunggulkan mujahidun atas
orang-orang yang tak mau perang dengan pahala yang luar biasa besar
Adanya informasi yang lengkap tersebut membuahkan keputusan
aqal yang sangat mantap sehingga si-kap pun sangat pasti yakni bersedia
melaksanakan kewajiban perang dengan senang gembira dan itu mereka tunjukkan
kepada kaum kufar. Inilah yang digambarkan oleh pernyataan Allah SWT :
قُلْ هَلْ تَرَبَّصُونَ بِنَا
إِلَّا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ وَنَحْنُ نَتَرَبَّصُ بِكُمْ أَنْ يُصِيبَكُمُ
اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ أَوْ بِأَيْدِينَا فَتَرَبَّصُوا إِنَّا مَعَكُمْ
مُتَرَبِّصُونَ (التوبة : 52)
Katakanlah apa yang tengah kalian (wahai kaum kufar)
tunggu-tunggu akan terjadi kepada kami ke-cuali salah satu dari dua husna dan
kami menantikan yang akan terjadi atas kalian yakni Allah akan menimpakan
kepada kalian adzab dari sisi Nya atau melalui tangan kami. Maka tunggulah oleh
kalian sungguh kami bersama kalian sama-sama menunggu itu semua
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِحْدَى
الْحُسْنَيَيْنِ فَتْحًا أَوْ شَهَادَةً (رواه البخاري)
Ibnu Abbas
berkata إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ itu adalah فَتْحًا (kemenangan) atau شَهَادَةً
(mati syahid)
Makna yang sama
dari lafadz كُرْهٌ
ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ
فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ
مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)
Ingatlah, siapa saja yang dipimpin oleh seorang wali lalu
dia melihat wali itu melakukan maksiat ke-pada Allah, maka hendaklah dia
membenci perbuatan maksiat wali itu dan jangalah dia melepaskan tangan dari
ketaatan (kepada wali itu)
Nampak sekali dari ucapan Rasulullah saw tersebut bahwa
bersikap membenci perbuatan penguasa Is-lam (Khalifah atau Wali) yang
terkategori maksiat kepada Allah SWT adalah kewajiban, namun pada saat yang
bersamaan Islam juga tetap mewajibkan mentaati penguasa tersebut. Inilah
indahnya konsep peraturan dalam Islam yang mengatur dinamika sikap setiap
muslim antara sikap benci terhadap sesua-tu yang salah yang dilakukan oleh
penguasa (فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ
مَعْصِيَةِ اللَّهِ) dengan sikap taat secara mutlak kepada mereka selama tidak
memerintahkan maksiat kepada Allah SWT :
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا
أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه البخاري)
Mendengar dan mentaati
adalah wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang disukai maupun dibenci
selama tidak diperintahkan maksiat lalu jika diperintahkan maksiat maka tidak
ada kewajiban mendengar dan mentaati
Itulah realitas كُرْهٌ
عِنْدَ نَظْرَةِ الإِسْلاَمِ
(benci dalam pandangan Islam), yakni ada dua kategori benci : benci
syar’iy (كُرْهٌ شَرْعِيٌّ)
dan benci naluriah (كُرْهٌ غَرِيْزِيٌّ). Lalu bagaimana dengan realitas اَلإِسْتِكْرَاهُ?
La-fadz اَلإِسْتِكْرَاهُ
bermakna secara bahasa diminta untuk melakukan sesuatu yang dibenci alias
dipaksa se-hingga terpaksa melakukannya. Makna bahasa اَلإِسْتِكْرَاهُ
adalah sama dengan اَلإِكْرَاهُ seperti yang ditun-jukkan oleh pernyataan Allah
SWT :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ
إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ
مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ
عَذَابٌ عَظِيمٌ (النحل : 106)
Siapa saja yang
bersikap kufur kepada Allah setelah keimanannya, kecuali yang dipaksa dan
aqalnya tetap kokoh dengan iman, akan tetapi siapa saja yang secara sadar rela
dengan kekufuran maka bagi mereka murka dari Allah dan bagi mereka adzab yang
sangat dahsyat
Ayat tersebut menunjukkan bahwa :
1.
seorang muslim yang bersikap kufur karena adanya kekuatan kaum
kufar yang memaksanya namun iman dia kepada Allah SWT tetap kokoh dalam aqal
dan pikirannya (وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ
بِالْإِيمَانِ), maka Allah SWT
memaafkan sikapnya tersebut.
2.
realitas اَلإِكْرَاهُ yang terjadi pada aspek aqidah tersebut
memastikan bahwa اَلإِكْرَاهُ dapat saja terjadi dalam arena perbuatan
manusia (اَفْعَالُ اْلإِنْسَانِ) dan seperti halnya pada aspek aqidah maka
pada are-na perbuatan pun (maksiat), tentu saja Allah SWT pasti akan
mengampuninya.
3.
realitas اَلإِكْرَاهُ (baik pada aspek aqidah maupun perbuatan
manusia) yang akan diampuni oleh Allah SWT adalah اَلإِكْرَاهُ yang realitasnya ditetapkan oleh Islam
sendiri dan bukan berdasarkan kecende-rungan naluriah manusia. Sebagai contoh
keterpaksaan bersikap kufur dalam ayat memastikan bah-wa keadaan itu menimpa seorang muslim (عَمَّارُ
بْنُ يَاسِرٍ) dalam keadaan tengah
terus menerus disiksa dan dianiaya (لِماَ
نَالَهُ مِنْ ضَرْبٍ وَأَذَى) oleh kaum kufar yang memiliki kekuatan dan kekuasaan
sangat besar (Abu Jahal dan kawan-kawan). Jadi sikap Ammar bin Yasir yang
akhirnya memilih setuju untuk kufur kepada Nabi Muhammad saw disertai memuji-muji
berhala kaum kufar Quraisy adalah dilakukan setelah sekian lama berada dalam
penyiksaan dan penganiayaan sadis brutal bahkan sete-lah ibunya (سَمِيَةُ) mati syahid dengan cara yang sangat biadab disusul bapaknya (يَاسِرٌ). Sebelum wa-fat Abu Ammar (يَاسِرٌ) berkata kepada
Rasulullah saw sesaat beliau menghampirinya :
فَقَالَ أَبُو عَمَّارٍ يَا
رَسُولَ اللَّهِ الدَّهْرَ هَكَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْبِرْ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِآلِ يَاسِرٍ (رواه
احمد)
Lalu Abu Ammar berkata : ya Rasulallah kejadiannya seperti
ini! Maka Nabi saw berkata kepada-nya : sabarlah engkau! Beliau berdu’a : ya
Allah ampunilah keluarga Yasir
Imam Mujhid menyatakan :
أَوَّلُ شَهِيْدَةٍ فِيْ
اْلإِسْلاَمِ أُمُّ عَمَّارٍ, قَتَلَهَا أَبُوْ جَهْلٍ, وَأَوَّلُ شَهِيْدٍ مِنَ
الرِّجَالِ مَهْجَعٌ مَوْلَى عُمَرَ وَأَوَّلُ مَنَ أَظْهَرَ اْلإِسْلاَمَ
سَبْعَةٌ : رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ,
وَبِلاَلٌ, وَخَبَّابٌ, وَصُهَيْبٌ, وَعَمَّارٌ, وَسَمِيَةُ أُمُّ عَمَّارٍ
Wanita pertama yang mati syahid dalam Islam adalah ibunya
Ammar (Abu Jahal yang membunuh-nya) dan Mahja’ maula Umar adalah laki-laki
pertama yang mati syahid. Dan yang pertama kali menampakkan Islam adalah tujuh
orang yakni Rasulullah saw, Abu Bakar, Bilal, Khabbab, Shuha-ib, Ammar dan
Samiyah ibunya Ammar
Lalu ketika seorang muslim mengalami keadaan seperti yang menimpa
keluarga Yasir, apakah dia wajib memutuskan untuk bersikap seperti Ammar
ataukah boleh saja melakukan itu dan boleh juga memilih kematian? Ibnu Katsir
menyatakan :
وَلِهَذَا
اِتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْمُكْرَهَ عَلَى الْكُفْرِ يَجُوْزُ لَهُ
أَنْ يُّوَالِيَ إِبْقَاءً لِمَهْجَتِهِ وَيَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَّأْبَى كَمَا
كَانَ بِلاَلٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَأْبَى عَلَيْهِمْ ذَلِكَ
Oleh karena itu, ulama sepakat bahwa yang dipaksa untuk
kufur boleh saja baginya untuk mengi-kuti paksaan tersebut untuk menjaga
kelangsungan hidupnya dan boleh juga menolak paksaan itu, seperti yang
dilakukan oleh Bilal ra, yakni dia menolak paksaan tersebut
Demikianlah realitas اَلإِكْرَاهُ الشَّرْعِيُّ فِيْ بَابِ الْعَقَائِدِ, lalu bagaimana halnya dengan realitas
keterpak-saan (اَلإِكْرَاهُ اَوِ الإِسْتِكْرَاهُ) dalam arena perbuatan manusia? Rasulullah
saw menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ
أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ (رواه ابن ماجه)
Sungguh Allah telah membiarkan dari umatku kesalahan, lupa
dan segala perkara yang dipaksakan kepada mereka
Jadi perbuatan haram apa pun yang dilakukan oleh seorang
muslim dalam tiga keadaan tersebut, selu-ruhnya dipastikan tidak akan dicatat
sebagai dosa (كَإِثْمٍ) oleh Allah SWT dan pemahaman ini
ditunjuk-kan oleh bagian hadits : إِنَّ
اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي. Sebagai contoh Allah SWT menyatakan
:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ
يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ (النساء : 92)
Adalah tidak pantas bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin kecuali dalam keadaan kesala-han dan siapa saja membunuh seorang mukmin
dalam keadaan kesalahan, maka dia harus membebas-kan seorang hamba sahaya yang
mukmin dan diyat harus diserahkan kepada keluarganya (keluarga korban)
Dengan tidak diberlakukannya qishash dalam kasus اَلْقَتْلُ الْخَطَأُ (pembunuhan yang terjadi secara
kesala-han) tapi hanya berupa kaffarah (فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ) dan diyat, maka dapat dipahami bahwa perbuatan ter-sebut tidak
masuk dalam kategori dosa (كَإِثْمٍ). Adapun tentang
kaffarah yang wajib dilakukan oleh si pelaku, maka itu hanya berhubungan dengan
fakta telah tertumpahnya darah seorang mukmin apa pun alasannya. Lalu berkenaan
dengan diyat, maka kewajiban itu tidak ada kaitannya dengan realitas dosa
melainkan berhubungan dengan fakta bahwa keluarga korban telah kehilangan salah
satu anggotanya yakni korban yang terbunuh secara kesalahan tersebut. Dengan
demikian diyat adalah salah satu bentuk keadaan diperolehnya harta yang
terkategori sebab kepemilikan jenis kelima yakni :
اَلأَمْوَالُ
الَّتِيْ يَأْخُذُهَا الأَفْرَادُ دُوْنَ مُقَابِلِ مَالٍ اَوْ جُهْدٍ وَمِنْهَا
اسْتِحْقَاقُ الْمَالِ عِوَضًا عَنْ ضَرَرٍ كَدِيَةِ الْقَتِيْلِ وَدِيَةِ
الْجِرَاحِ
Harta-harta yang diperoleh seseorang tanpa adanya
pengorbanan harta atau upaya apa pun dan di antaranya adalah diperolehnya harta
sebagai imbalan akibat adanya marabahaya seperti diyat pem-bunuhan dan diyat
perusakan bagian tubuh manusia
Dengan diyat tersebut, pada kasus pembunuhan adalah
keluarga korban yang memperoleh harta diyat sedangkan pada kasus perusakan
bagian tubuh manusia maka korban sendiri yang memperoleh harta diyat. Seluruh
harta tersebut (berupa diyat) diperoleh seseorang tanpa adanya pengorbanan
harta mau-pun upaya apa pun untuk mendapatkannya. Realitas diyat pada kasus اَلْقَتْلُ الْخَطَأُ adalah ditunjukkan oleh ketetapan
Rasulullah saw :
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى
أَنَّ مَنْ قُتِلَ خَطَأً فَدِيَتُهُ مِائَةٌ مِنْ الْإِبِلِ ثَلَاثُونَ بِنْتَ
مَخَاضٍ وَثَلَاثُونَ بِنْتَ لَبُونٍ وَثَلَاثُونَ حِقَّةً وَعَشَرَةٌ بَنُو
لَبُونٍ ذُكُورٌ (رواه احمد)
Dari ‘Amri bin
Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi saw telah menetapkan bahwa siapa
saja yang terbunuh dalam keadaan kesalahan
maka diyatnya adalah 100 ekor unta : 30 ekor unta beti-na berumur dua tahun, 30 ekor
unta betina berumur tiga tahun, 30 ekor unta betina berumur empat ta-hun dan 10
ekor unta jantan berumur tiga tahun
Contoh lainnya tentang lupa (النِّسْيَانَ), Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ نَسِيَ
وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ
اللَّهُ وَسَقَاهُ (رواه مسلم)
Siapa saja yang lupa dan dia tengah shaum lalu dia makan
dan minum, maka sempurnakanlah shaum-nya, karena sesungguhnya Allah telah memberikan
makan dan minum kepadanya
Membatalkan shaum dengan sengaja dalam keadaan sadar, maka
itu adalah perbuatan dosa besar dan pelakunya wajib membayar kaffarah seperti
yang ditunjukkan oleh hadits Rasulullah saw :
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ رَجُلًا أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ أَنْ يُعْتِقَ رَقَبَةً
أَوْ يَصُومَ شَهْرَيْنِ أَوْ يُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا (رواه مسلم)
Dari Humaid bin Abdirrahman bahwa Aba Hurairah menyampaikan
hadits kepadanya bahwa Nabi saw memerintahkan seseorang yang membatalkan shaum
di bulan Ramadlan supaya dia membebaskan hamba sahaya atau dia shaum dua bulan
berturut-turut atau memberikan makan 60 orang miskin
Karena
adanya alasan lupa maka walau pada faktanya antara yang lupa
dengan yang sengaja berbuka shaum secara sadar adalah sama saja
yakni makan dan minum namun bagi pelaku berbuka karena lupa sama sekali tidak
diharuskan membayar kaffarah bahkan shaumnya pun tidak batal melainkan tetap
sah dan wajib disempurnakan hingga tibanya waktu maghrib (فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ).
Dengan demikian segala perbuatan yang
termasuk kategori maksiat yang dilakukan oleh seorang muslim dalam keadaan
tersalah (الْخَطَأَ) atau lupa (النِّسْيَانَ), adalah tidak dicatat sebagai dosa
melainkan dibiarkan alias dimaafkan oleh Allah SWT. Lalu bagaimana dengan
keadaan terpaksa (اَلإِسْتِكْرَاهُ)? Da-lam pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ
اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا
عَلَيْهِ (رواه ابن ماجه)
Memastikan bahwa ketiga keadaan yakni tersalah, lupa dan
terpaksa adalah sama posisi dan realitas-nya sehubungan dengan perbuatan
maksiat yang dilakukan seorang muslim dalam salah satu dari keti-ga keadaan
tersebut. Hal itu karena ketiga keadaan tersebut diucapkan oleh Nabi Muhammad
saw de-ngan menggunakan وَ-عَطْفٍ (الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ). Oleh karena
itu, realitas اَلإِسْتِكْرَاهُ juga harus
identik dengan realitas الْخَطَأُ وَالنِّسْيَانُ, yakni harus اَلإِسْتِكْرَاهُ الشَّرْعِيُّ dan haram berupa اَلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ (ke-terpaksaan dengan pertimbangan
kepentingan naluriah). Sebagai contoh Rasulullah saw menyatakan :
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ
وَقِتَالُهُ كُفْرٌ (رواه البخاري)
Menghina seorang muslim adalah fusuq dan membunuhnya adalah
kufur
Artinya
jika seorang muslim dengan sengaja dan sadar melakukan aksi سِبَابُ الْمُسْلِمِ, maka dia telah ber-dosa setara
dengan dosa orang-orang fasiq dan jika dia melakukan قِتَالُهُ maka dia telah berdosa setara dengan dosa orang-orang kafir.
Lalu bagaimana jika dia melakukannya di bawah tekanan dan ancaman dari suatu
kekuatan kekuasaan (اَلْقُوَّةُ السُّلْطَاتِيَّةُ)?
Jika tekanan dan ancaman itu berasal dari
Khalifah atau Wali, maka perintah untuk سِبَابُ
الْمُسْلِمِ atau قِتَالُهُ tersebut haram
dilakukan alias ditaati sebab perintah dari penguasa Islam tersebut telah
terka-tegori yang diharamkan oleh Islam untuk didengar dan ditaati. Rasulullah
saw menyatakan :
السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
(رواه البخاري)
Mendengar
dan mentaati adalah wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang disukai
maupun dibenci selama tidak diperintahkan maksiat lalu jika diperintahkan
maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan mentaati
Penolakan untuk mendengar dan mentaati terhadap perintah berbuat
maksiat dari Khalifah atau Wali tersebut harus disertai dengan muhasabah kepada
penguasa tersebut, walaupun risikonya adalah dibu-nuh. Rasulullah saw
menyatakan :
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَرَجُلٌ
قَامَ اِلَى اِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ (رواه الحاكم)
Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdil Muthallib dan
seseorang yang berdiri di hadapan Imam Jair lalu memerintahkannya (berbuat
benar) dan melarangnya (berbuat salah) lalu dia (Imam Jair) membunuhnya
Artinya,
dalam kehidupan Islami yakni dalam wadah Khilafah Islamiyah tidak akan
pernah ditemukan adanya realitas اَلإِسْتِكْرَاهُ
الشَّرْعِيُّ, sehingga jika ada umat Islam yang mengklaim diri berada dalam
keter-paksaan saat dia melakukan suatu perbuatan maksiat maka klaim tersebut
tidak dapat diterima dan per-buatan maksiatnya itu harus diajukan kepada Qadli
atau Khalifah, sebab dapat dipastikan klaim yang bersangkutan adalah muncul
dari اَلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ. Jadi, ketika
seorang pejabat negara Khilafah Islami-yah yang sudah dipenuhi semua kebutuhan
dan gajinya lalu dia masih korupsi maka seluruh harta hasil korupsinya wajib
disita lalu dimasukkan ke Baitul Mal kaum muslim dan perbuatannya wajib diberi
sanksi yang mungkin saja diputuskan oleh Khalifah berupa sanksi bunuh.
Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى
عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ (رواه
ابو داود)
Siapa saja yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan lalu
kami berikan kepadanya upah maka apa saja yang dia ambil setelah itu maka itu
adalah ghulul (kecurangan)
مَنْ
كَانَ لَنَا عَامِلًا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ
فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ
مَسْكَنًا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ
(رواه ابو داود)
Siapa saja yang
menjadi amil kami, maka carilah seorang istri. Lalu jika dia belum punya
pembantu maka carilah pembantu, jika dia belum punya rumah carilah rumah. Dia
(Mustaurid bin Syaddad) ber-kata : Abu Bakar menyatakan : dikabarkan kepadaku
bahwa Nabi saw berkata : siapa saja yang meng-ambil selain itu maka dia telah
berbuat curang atau telah mencuri
مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا
وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ
فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ لَيْسَتْ
لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ
غَالٌّ (رواه احمد)
Siapa saja yang
menjadi pejabat kami untuk suatu pekerjaan dan dia tidak punya tempat tinggal
maka ambillah tempat tinggal atau dia tidak punya istri maka menikahlah atau
dia tidak punya pembantu maka ambillah pembantu atau dia tidak punya kendaraan
maka ambillah kendaraan dan siapa saja yang mengambil sesuatu selain itu maka
dia adalah berlaku curang
Upah (رِزْقًا), istri (زَوْجَةً), rumah (مَسْكَنًا
اَيْ مَنْزِلاً), pembantu (خَادِمًا) dan kendaraan (دَابَّةً) adalah fasilitas
mendasar yang pasti dibutuhkan oleh setiap orang termasuk para pejabat dan
pegawai negara Khilafah Islamiyah. Sehingga ketika semuanya telah dipenuhi
dengan sempurna lalu si pejabat atau pegawai tersebut masih mencari dan
mengambil yang lain maka tindakannya tersebut adalah diharamkan oleh
Islam : فَهُوَ غُلُولٌ
atau فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ atau فَهُوَ
غَالٌّ. Jadi, adakah realitas اَلإِسْتِكْرَاهُ الشَّرْعِيُّ
dalam kehidupan Khilafah Islamiyah? Tidak akan pernah ada dan
jika ada pejabat atau pegawai Khilafah yang meng-klaim diri dalam keadaan keterpaksaan
maka itu pasti adalah اَلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ yang diharamkan oleh Is-lam.
Kemudian, bagaimana jika tekanan dan ancaman itu berasal dari
kekuataan kekuasaan dan peme-rintahan negara kufur seperti saat ini yang telah
berlangsung lebih dari 85 tahun? Realitas tekanan dan ancaman yang selalu
terjadi dan berlaku pasti atas umat Islam di negara kebangsaan mana pun saat
ini mereka hidup adalah berupa pemberlakuan perundang-undangan maupun peraturan
lainnya. Undang-undang sistem keuangan, perpajakan, kepabeanan, lalu lintas
jalan raya, pertanahan, kepegawaian dan sebagainya. Namun demikian dari seluruh
perundang-undangan maupun peraturan lainnya tersebut ti-dak seluruhnya bersifat
memaksa dalam arti secara otomatis mengikat setiap orang yang menjadi war-ga
negara tersebut. Rincian faktanya adalah sebagai berikut :
1.
Undang-undang sistem keuangan, perpajakan, kepabeanan, lalu lintas
jalan raya, pertanahan adalah contoh perundangan suatu negara (termasuk NKRI)
yang bersifat memaksa yakni mengikat secara otomatis siapa pun yang berstatus
sebagai warga negaranya. Sehingga tidak akan pernah ada seo-rang pun warga
negara yang dapat menghindari tekanan dan ancaman yang muncul pasti dari
pem-berlakuan perundangan tersebut. Artinya, seluruh umat Islam yang hidup di
NKRI misalnya adalah dalam keadaan وَمَا
اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ yakni mereka terpaksa
mengikuti dan mematuhi seluruh ketentuan tersebut walau nyata-nyata
diharamkan oleh Islam. Jadi berlakulah atas diri mereka kemurahan dari
Allah SWT yakni Allah SWT pasti akan memaafkan mereka dengan syarat mereka
selalu dan selalu berupaya serius serta sungguh-sungguh untuk mengembalikan
kehidupan dunia jadi Islami lagi dalam wadah Khilafah Islamiyah.
2.
Undang-undang kepegawaian adalah contoh perundangan yang tidak bersifat
memaksa alias meng-ikat secara otomatis setiap warga negara, melainkan
tergantung keputusan warga negara itu sendiri apakah akan menjadi bagian dari
sistem kepegawaian ataukah tidak. Jika memutuskan untuk men-jadi bagian dari
sistem kepegawaian maka secara otomatis seluruh perundangan dan peraturan yang
berlaku pasti mengikat mereka, sebaliknya jika tidak menjadi bagian maka
dipastikan seluruh ke-tentuan tersebut tidak mengikat mereka. Misalnya penguasa
NKRI tidak memaksa setiap warga ne-gara (termasuk umat Islam) untuk menjadi
pegawai negeri sipil (PNS) di berbagai departemen atau kelembagaan negara baik
di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sehingga untuk kasus ini umat Islam
haram mengklaim diri mereka berada dalam kondisi وَمَا
اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ. Artinya jika umat
Islam melakukannya juga maka mereka berdosa (كَانُوْا
آثِمِيْنَ) dalam pandangan Allah
SWT.
Khatimah
Wal hasil, seluruh umat Islam yang melibatkan diri dalam lembaga
ribawi (perbankan maupun non bank) adalah haram memposisikan atau
mengklaim diri mereka dalam keadaan keterpaksaan de-ngan ungkapan ini
terpaksa saya lakukan sebab jika tidak dari perbankan, darimana lagi akan dapat
modal yang sangat diperlukan untuk bisnis saya. Hal itu karena tidak ada
satu kekuatan negara pun yang memaksa mereka untuk berada dalam atau terlibat
dalam sistem ribawi maupun transaksi ribawi tersebut. Seluruhnya adalah
keputusan masing-masing individu yang lebih karena adanya tuntutan ke-pentingan
naluriah kemanusiaan (اَلإِسْتِكْرَاهُ الْغَرِيْزِيُّ).
Demikian juga keterlibatan umat Islam (siapa pun mereka) di
eksekutif, legislatif maupun yudi-katif suatu negara kebangsaan yang
nyata-nyata kufur dan memberlakukan sistema kufur termasuk NKRI, adalah haram
mengklaim diri mereka dalam keterpaksaan melakukannya. Hal itu karena tidak ada
satu perundangan atau peraturan pun dari negara misal NKRI yang memaksa mereka
untuk mela-kukannya tanpa dapat menghindarinya. Begitu juga tidak ada seorang
pun umat Islam yang dipaksa un-tuk mengambil, menggunakan dan menyerukan
demokrasi, baik dari pihak kekuatan negara maupun sesama anggota masyarakat.
Jadi, kiyai, ustadz, aktivis dakwah, intelektual muslim dan lainnya yang saat
ini tengah bergelut nyaman di dalam kelembagaan negara demokrasi, adalah sangat
tidak layak, tidak pantas dan tidak patut mengaku diri sebagai terpaksa
melakukan itu semua. Siapakah atau kekuatan manakah yang memaksa
mereka untuk memutuskan hal itu dan atau melakukan tindakan tersebut? Tentu
saja tidak ada!
Khusus kasus NU yang mengklaim dipaksa oleh rezim represif Orde
Baru untuk memposisikan Pancasila sebagai asas tunggal dan ideologi NKRI serta
NKRI adalah final, mungkin saja adalah dapat dibenarkan jika dilihat an sich
dari aspek eksistensi NU sebagai ormas Islam. Namun apakah memang NU
harus/wajib ada dan dipertahankan apa pun alasannya? Jawabannya adalah
justru keberadaan NU adalah sama sekali tidak sesuai dengan dalil mana pun yang
tercantum dalam sumber Islam, sebab selain dalil-dalil yang ada menuntut adanya
حِزْبٌ سِيَاسِيٌّ
yang mengupayakan untuk kembalinya kehidu-pan Islami dalam wadah Khilafah
Islamiyah yang telah lebih dari 85 tahun hilang, juga ternyata keber-adaan NU
sangat menghalangi kesadaran umat Islam tentang realitas kehidupan mereka yang
tengah dijalani saat ini yakni kehidupan berbasis sistema kufur yang berakibat
umat Islam tidak pernah mera-sa bersalah dan berdosa sedikit pun
selama ini. Lebih mengerikan lagi dari akibat keberadaan NU (juga yang lainnya
misal Muhammadiyah) adalah umat Islam benar-benar membenci Khilafah Islamiyah
se-kaligus memusuhi siapa pun yang berusaha keras untuk menegakkannya kembali
dalam arena kehidup-an dunia.
Tentu saja untuk kasus-kasus yang sangat spesifik dan kecil
semisal jadi pengedar bahkan bandar ganja (juga narkoba lainnya) atau
bunuh diri karena tekanan hutang maupun biaya hidup sehari-hari atau
mencuri karena alasan yang sama atau bunuh diri karena penyakit
yang diderita tak kunjung sem-buh maupun karena tidak mampu membiayai
pengobatan untuk penyakit tersebut atau yang sejenis de-ngan
alasan-alasan itu, seluruhnya terjadi lebih sebagai akibat dari
pemberlakuan sistema kufur yakni demokrasi dan kapitalisme. Sehingga sangat
mudah menyelesaikannya yakni dengan mencerabut ke-dua sistema kufur
kapitalistik tersebut dari pikiran dan perasaan umat Islam sehingga secara
otomatis akan berhenti seketika dari pemberlakuannya selama ini.
قُلْ
إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قُلْ لَا
أَتَّبِعُ أَهْوَاءَكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
(الأنعام : 56)
Katakanlah
sungguh aku (Muhammad) dilarang untuk mematuhi orang-orang yang selama ini
kalian seru selain Allah. Katakanlah aku tidak akan mengikuti kepentingan
naluriah kalian, sungguh aku te-lah sesat jika melakukannya dan pasti aku bukan
termasuk orang-orang yang memperoleh hidayah
No comments:
Post a Comment