Sunday, August 26, 2012

BEGINIKAH CARA MENGELOLA NEGARA ?


Pemerintah dan swasta : sepakat menggadaikan negara!
Utang luar negeri swasta (ULNS) yang telah jatuh tempo tahun ini berdasarkan data per 13 Maret 2009 adalah 22,6 miliar dolar AS (dari total ULNS Bank dan non Bank 62,58 miliar dolar) atau hampir setengah dari cadangan devisa di Bank Indonesia (BI) per tanggal yang sama : 53,9 miliar dolar AS. Apabila ULNS total (ULNS Bank sebesar 5,67 miliar dolar dan ULNS non Bank sebesar 56,91 miliar dolar) digabungkan dengan utang luar negeri pemerintah (ULNP) maka jumlahnya lebih dari 120 mi-liar dolar AS atau hampir 1.500 triliun rupiah, padahal APBN RI 2009 hanya Rp 1.000 triliun. Artinya jika Indonesia diminta paksa oleh para pemberi utang untuk membayar tunai seluruh utang tersebut, maka seluruh uang yang terkumpul dalam APBN adalah masih kurang untuk memenuhinya sehingga terpaksa harus ditambah lagi dari cadangan devisa BI sebanyak 500 triliun rupiah atau 40,32 miliar dolar lagi, sehingga cadangan devisa akan hanya tersisa 53,9 - 40,32 = 13,58 miliar dolar. Hal ini tentu saja merupakan kebangkrutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebab pada tahun anggar-an 2009 hanya dapat membiayai perjalanan negara dengan sisa cadangan devisa itu : 13,58 miliar dolar atau hanya 168,392 triliun rupiah atau 16,8 persen dari 1.000 triliun rupiah yang diperlukan. Kekurang-an (defisit) sebesar 83,2 persen hanya dapat dipenuhi dengan : (a) mencari ULN baru dan (b) semakin menggenjot penerimaan dari sektor pajak yakni dari yang biasanya sekitar 75 persen menjadi harus 83,2 persen.
Harus diingat sekali lagi bahwa besaran ULNS 22,6 miliar dolar tersebut adalah yang jatuh tempo alias harus dibayar tahun ini, sedangkan ULNS total hingga triwulan IV tahun 2008 adalah ULNS Non Bank ditambah ULNS Bank = 56,91 miliar dolar + 5,67 miliar dolar = 62,58 miliar dolar atau 782,25 triliun rupiah. Sehingga ULN total (ULNP + ULNS) hingga akhir tahun 2008 lalu adalah 63 miliar do-lar ditambah 62,58 miliar dolar = 125,58 miliar dolar AS atau 1.569,75 triliun rupiah atau 1,56 kali APBN tahun 2009. Sekali lagi, jika para pemberi utang tersebut meminta paksa Indonesia untuk mem-bayar tunai semuanya, maka NKRI pasti bangkrut sebab jika disatukan jumlah uang yang terkumpul di APBN 2009 yakni 1000 triliun dengan cadangan devisa di BI 53,9 miliar dolar atau 668,32 triliun rupiah maka total mencapai 1.668,32 triliun rupiah yang berarti sisanya hanya sebesar 98,57 triliun ru-piah saja. Dari manakah memperoleh uang untuk menutupi kekurangan APBN 2009 sebesar 901,43 triliun rupiah atau 90,143 persen? Jawabannya dapat dipastikan tidak mungkin dari sumber utang luar negeri baru sebab sangat mungkin semua pihak (negara maupun non negara) di luar negeri telah berada pada titik tidak percaya lagi kepada Indonesia, sehingga pilihan tinggal satu yakni memeras semakin kuat lagi rakyat Indonesia sendiri melalui pajak.
Padahal realitas sangat mengerikan tersebut adalah sangat mungkin terjadi sebab jauh-jauh hari pihak swasta telah “merengek-rengek” kepada pemerintah untuk membantu mengatasi persoalan utang mereka tersebut. Inilah yang diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi : pemerintah bisa menjadi penengah. Mediator antara perusahaan dan bank swasta maupun BUMN. Lagi pula di dalam negeri banyak dana menganggur yang disimpan di Sertifikat Bank Indonesia.
Tidak diragukan lagi, itulah sebuah makar konspiratif antara pihak swasta dan pemerintah Indo-nesia untuk bersama-sama menggadaikan negeri berikut rakyat (umat Islam) Indonesia kepada tuan-tuan mereka yakni para penguasa negara-negara kufur di Dunia Barat maupun antek-antek mereka yang berkuasa di Dunia Islam dan non Islam (Jepang, China, Korea dan sebagainya). Hal itu dapat di-buktikan dengan adanya kewajiban untuk mencicil pokok utang berikut bunganya, walaupun tuan-tuan mereka itu hingga saat ini tidak atau belum memaksa mereka untuk membayar tunai seluruh utang tersebut. Kewajiban inilah yang besarannya 22,6 miliar dolar muncul dari pihak swasta dan 10,98 mi-liar dolar (menurut BI ULNP yang jatuh tempo tahun 2009 adalah 10,1 miliar dolar) dari pihak peme-rintah atau total 33,58 miliar dolar atau 416,392 triliun rupiah atau hampir setengah dari total APBN 2009. Oleh karena itu, inikah cara mengelola negara? Inikah yang diklaim selama ini sebagai good governance?

Inikah cara mengelola negara?
NKRI tidak diragukan lagi adalah salah satu negara kebangsaan di Dunia Islam yang member-lakukan sistem kapitalisme dalam menjalankan perekonomiannya. Kapitalisme tidak membedakan antara negara (the states) dan perusahaan (the corporations) bahkan menempatkan keduanya secara sangat sama alias benar-benar identik. Oleh karena itu ketika kapitalisme mengharuskan perusahaan memberlakukan semua konsepsi yang ada maka begitu juga terhadap negara : rumusan problematika ekonomi, prinsip ekonomi berikut seluruh pemikiran cabang maupun turunannya. Konsep the least the cost the highest the profit (biaya serendah mungkin, keuntungan setinggi mungkin) harus diberlakukan baik oleh perusahaan maupun negara. Akibatnya adalah seperti halnya perusahaan sangat mungkin un-tuk bangkrut hingga berhenti tidak lagi beroperasi, maka negara pun sangat mungkin mengalami hal yang sama yakni bangkrut dan kehilangan statusnya sebagai negara. Lalu negara tersebut pun akhirnya diambil alih “pengelolaannya” oleh negara atau pihak atau institusi lain yang paling dominan memberi-kan pinjaman kepada negara itu. Inilah yang terjadi atas negara Meksiko yang diambil alih oleh IMF saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1987 lalu dan itu berarti negara itu de jure telah mati alias bang-krut. Hal itu karena pihak (investor) yang paling banyak (lebih dari 50 persen) menguasai “saham” ne-gara Meksiko adalah IMF, sehingga ketika negera tersebut telah tidak lagi mampu membeli kembali (buy back) saham-sahamnya yang ada di tangan IMF maka otomatis lembaga donor itu dapat mengam-bil alih pengelolaannya.
NKRI sebenarnya de facto telah bangkrut, sebab “modal” pokok (APBN) dan modal pendukung (cadangan devisa di BI) telah tidak memadai lagi untuk membayar lunas semua utang luar negerinya dan jika pun dipaksakan digunakan seluruhnya maka yang tersisa sangat sedikit yakni 98,57 triliun ru-piah atau kurang dari 10 persen dari modal pokok yang dibutuhkan untuk tahun berjalan (2009) sebesar Rp 1.000 triliun. Padahal, BAPPENAS menyatakan untuk pembangunan infrastruktur tahun 2010 hingga 2014 memerlukan investasi mencapai Rp 1.429 triliun. Namun mengapa NKRI hingga saat ini belum diambil alih pengelolaannya oleh pihak yang paling besar memberikan pinjamannya kepada In-donesia? Jawabannya adalah pengambil alihan pengelolaan suatu negara memang tidak sesederhana perusahaan yakni pertimbangannya tidak melulu aspek ekonomi (modal pokok, modal pendukung, ra-sio kecukupan modal, kesanggupan mencicil pokok utang dan bunganya dan sebagainya) melainkan le-bih banyak pertimbangan non ekonominya yaitu ideologi dan politik. Jadi, walau seluruh aspek pereko-nomian NKRI telah memastikan kebangkrutannya namun karena aspek ideologi (Negara Demokrasi Muslim terbesar di dunia) dan politik (pemanfaatan posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk mus-lim moderat) mengharuskan tetap dipertahankannya NKRI sebagai negara de facto maupun de jure, maka sampai detik ini belum ada satu pihak atau negara atau institusi yang berani terang-terangan akan mengambil alih pengelolaan NKRI. Tegasnya, realitas NKRI sebagai negara adalah bukan masih ber-tahan dengan sendirinya melainkan masih dipertahankan oleh kekuatan pengendali utama dunia saat ini yakni AS dan sekutunya. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menyatakan : jika ingin mengeta-hui Islam (yang modern), demokrasi dan pengakuan atas peran wanita, maka datanglah ke Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sebagai negara muslim terbesar, terbukti mampu menunjukkan pa-da dunia internasional bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring sejalan. Karena itu, AS mendukung langkah Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tentu ini bukan tanpa alasan mendasar, karena Indonesia bisa menyelaraskan antara Islam dan demokrasi, bahkan bisa saling berjalan bersama.
Inikah cara mengelola negara? Jawabannya adalah ya, tentu saja! Administrasi pemerintahan berikut aparaturnya, birokrasi plus birokratnya, badan perencana beserta pengendalinya dan seterusnya, memang dibentuk lembaganya dan direkrut sumberdaya manusianya (SDM) adalah untuk mengelola negara dengan cara seperti itu dan sama sekali tidak dapat bahkan tidak mungkin keluar dari metode, pola maupun cara tersebut. Hal itu karena, metode, pola dan cara pengelolaan tersebut telah disepakati untuk diberlakukan oleh seluruh negara kebangsaan yang ada di dunia saat ini. Sehingga jika ada satu saja negara yang berusaha keluar dari pakem tersebut, maka selain akan mengalami kesulitan dalam menjalankan pengelolaan negaranya juga pasti akan terkucilkan dengan sendirinya dari percaturan in-ternasional, baik ekonomi, politik maupun ideologi. Inilah mengapa sebuah negara misal NKRI dalam memberikan pelayanan apa pun kepada masyarakat selalu menetapkan pembiayaan bahkan sekedar un-tuk pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sekali pun. Jadi administrasi, birokrasi maupun perenca-naan yang tidak lain adalah pilar-pilar manajemen atau pengelolaan, diadakan oleh suatu negara sama sekali bukan untuk menjadikan negara tersebut kaya raya, dapat menguasai dan memanfaatkan sepe-nuhnya kekayaan alam yang dimilikinya, dapat mewujudkan kesejahteraan rakyatnya orang per orang dan seterusnya, melainkan pada hakikatnya adalah untuk dapat melayani, berkhidmat dan setia kepada tuan, majikan atau atasannya masing-masing yang menguasai, mendominasi dan mengendalikan negara tersebut melalui terutama pinjaman alias utang. Tegasnya, good governance yang selama ini selalu di-kaitkan secara pasti dengan entitas clean government adalah tidak akan pernah dapat direalisir dalam realitas perjalanan kehidupan suatu negara, termasuk apalagi NKRI. Mungkin hanya satu negara di du-nia saat ini yang juga mungkin sedikit atau banyak dapat mengimplementasikan good governance, yakni The United States of America (USA alias AS). Itu pun dapat dilakukan oleh negara adidaya terse-but akibat adanya loyalitas penuh dari seluruh negara “hamba sahayanya” di dunia termasuk NKRI.
Khilafah Islamiyah dan keniscayaan good governance
Realitas Khilafah Islamiyah memang diametral dengan fakta negara kebangsaan mana pun yang ada saat ini. Seluruh negara kebangsaan berdiri adalah untuk semata “mengelola negara” dan sama se-kali bukan untuk mengelola rakyatnya supaya dapat sejahtera orang per orang. Khilafah Islamiyah se-jak awal keberadaannya baik secara konseptual maupun praktikal adalah sepenuhnya untuk melayani, berkhidmat kepada rakyat dan berusaha keras hingga titik kemampuan paling tinggi untuk mewujudkan kesejahteraan mereka فَرْدًا فَرْدًا. Inilah yang dituntut oleh Islam berdasarkan pernyataan Rasulullah saw :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
“keadaan Bani Israil itu yang memimpin dan mengurus mereka adalah para Nabi, setiap seorang Nabi wafat ada Nabi lain menyusul di belakangnya dan sungguh tidak ada lagi Nabi setelah diriku dan yang akan ada adalah Khulafa lalu mereka akan banyak. Mereka (para sahabat) bertanya lalu apakah yang engkau akan perintahkan kepada kami? Beliau menjawab : penuhilah oleh kalian bai’atnya yang per-tama maka yang pertama saja. Berikanlah oleh kalian kepada mereka hak mereka maka sungguh Allah akan bertanya kepada mereka tentang rakyat yang mereka pimpin dan urus”.
Makna lafadz سَاسَ – يَسُوْسُ - سِيَاسَةً dalam تَسُوسُهُمْ adalah رَعَى شُؤُوْنَهُ. Sebagai contoh :
وَسُسْتَ الرَّعِيَّةَ سِيَاسَةً أَمَرْتَهَا وَنَهَيْتَهَا اَيْ رَعَيْتَ شُؤُوْنَهَا
“anda menjalankan politik kepada rakyat berarti anda memerintah dan melarang mereka yakni anda mengurus urusan mereka”.
Sehingga realitas politik dalam Islam (وَاقِعُ السِّيَاسَةِ فِيْ الإِسْلاَمِ) adalah :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“mengurus kepentingan rakyat atau umat baik dalam maupun luar negeri dengan menggunakan hu-kum syara (Islam)”.
Sebagai contoh seluruh kebutuhan rakyat orang per orang yang wajib dipenuhi oleh Khalifah adalah pendidikan, kesehatan, makanan, minuman dan tempat tinggal. Inilah yang dimaksudkan oleh pernya-taan Rasulullah saw berikut :
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا (رواه الترمذي)
“siapa saja di antara kalian yang pada pagi hari keluarga dan jalannya berada dalam aman, sehat ja-sadnya dan kekuatan harinya ada dalam genggamannya, maka seakan dihimpunkan baginya seluruh dunia”.

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا (رواه البخاري)
“perumpamaan hidayah dan ilmu yang Allah telah mengutus diriku dengan membawa keduanya, se-perti hujan deras yang menimpa bumi”
Dengan demikian, aspek good governance dalam Khilafah Islamiyah yang dikendalikan secara tunggal oleh Khalifah tiada lain adalah رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ (mengurus kepentingan rakyat atau umat) yakni memenuhi kebutuhan pokok mereka dan sama sekali bukan mengelola negara supaya ber-citra baik dan sempurna di mata komunitas internasional seperti yang selalu akan dilakukan oleh negara kebangsaan mana pun saat ini. Lagipula secara faktanya tidak ada keperluannya sedikit pun bagi Khi-lafah Islamiyah untuk melakukan hal itu, sebab negara mana pun di luar Khilafah seluruhnya adalah negara kufur yang wajib diperangi selama belum menerima dengan sukarela dakwah Islamiyah atau se-lama belum bersedia tunduk kepada kekuasaan Khilafah Islamiyah.  Lalu, bagaimana realitas good go-vernance dalam pandangan Islam yang wajib diberlakukan oleh Khalifah?
Aspek good governance atau pengelolaan atau management realitasnya sama dengan yang di-maksudkan oleh istilah سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ (strategi pengelolaan kemaslahatan) dalam administrasi Islami (اَلإِدَارَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ). Realitas سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ dalam Islam dibangun di atas asas :
1.       اَلْبَسَاطَةُ فِيْ النِّظَامِ : sederhana dalam sistem
2.       اَلإِسْرَاعُ فِيْ اِنْجَازِ الأَعْمَالِ  : cepat dalam pelayanan
3.       اَلْكِفَايَةُ فِيْمَنْ يَتَوَلُّوْنَ الإِدَارَةَ   : kapabilitas para aparatur administrasi
Inilah realitas سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ (رواه مسلم)
“sungguh Allah telah mewajibkan merealisir yang terbaik dalam segala sesuatu, maka bila kalian membunuh maka lakukanlah pembunuhan itu dengan cara yang terbaik dan jika kalian menyembelih maka lakukanlah penyembelihan itu dengan cara yang terbaik”

Kesederhanaan dalam sistem bukan berarti sistem yang “ecek-ecek alias tidak berkualitas” mela-inkan sistem tersebut adalah sangat dapat melayani seluruh kepentingan rakyat (apa pun) orang per orang namun dengan sistem atau regulasi yang sangat sederhana dan sama sekali tidak sulit tidak rumit. Realitas sistem seperti itu memberikan jaminan 100 persen untuk dapat dengan sempurna memberikan pelayanan kepada setiap individu masyarakat yang menuntut dipenuhinya kebutuhan mereka. Aspek inilah yang wajib dipenuhi oleh sebuah bangunan sistem pelayanan sehingga perlu atau tidaknya dibu-at pembiroan alias birokrasi sepenuhnya harus memperhatikan tuntutan tersebut, yakni jika birokrasi dipastikan dapat mendukung kesempurnaan pelayanan kepada masyarakat maka birokrasi wajib diada-kan dan sebaliknya jika pembentukan birokrasi justru menjadi penghalang dan pembatas terhadap ke-sempurnaan pelayanan kepada masyarakat, maka haram diadakannya birokrasi tersebut.
Kepentingan dan kebutuhan rakyat orang per orang adalah sangat berhubungan erat dengan hidup dan mati mereka, sehingga wajib dilayani untuk dipenuhi dengan cepat bahkan secepat mungkin yang dapat dilakukan oleh aparatur administrasi negara. Hal itu karena walaupun sebuah sistem pelayanan dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan setiap orang namun bila prosesnya sangat lambat maka sifat sistem seperti itu adalah haram diberlakukan menurut Islam. Jadi sebuah sistem pelayanan wajib memenuhi dua realitas secara bersamaan yakni : (a) dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan se-tiap orang dan (b) prosesnya harus berlangsung sangat cepat. Sehingga keadaan yang dituntut harus ter-wujud oleh Islam : مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ, dapat dengan mudah dan murah direalisir oleh Khalifah. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Nabi Muhammad saw :
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Kesempurnaan pelayanan dan kecepatan proses pelayanan pemenuhan kebutuhan tentu saja me-wajibkan kapabilitas (kemampuan), integritas (keutuhan pemikiran dan perasaan) dan profesionalisme para aparatur pelayanan. Hal itu karena, walau sistem pelayanannya dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan dan sangat cepat dalam prosesnya namun jika dilaksanakan oleh aparatur yang tidak meme-nuhi kualifikasi tersebut maka dapat dipastikan akan terjadinya kemacetan dan keamburadulan dalam pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, tiga asas yang mendasari bangunan strategi pelayanan kepentingan (سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ) dalam Islam tersebut wajib ketiganya selalu ada secara bersamaan dan tidak boleh (haram) satu pun dalam keadaan yang tidak sempurna atau kurang sempurna apalagi hi-lang. Harus diingat bahwa terpenuhinya seluruh kebutuhan masyarakat فَرْدًا فَرْدًا akan menjadi jaminan diraihnya kesejahteraan mereka (رِفَاهِيَتُهُمْ) selama hidup di dunia yang diungkap oleh Rasulullah saw de-ngan ucapan : فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا. Sehingga dalam kondisi normal tersebut tidak ada alasan sedikit pun bagi setiap individu masyarakat untuk tidak taat kepada Allah SWT, Rasulullah saw dan Khalifah. De-ngan demikian, jika masih juga ada yang melakukan maksiat kepada Allah SWT, Rasulullah saw dan Khalifah maka dia atau mereka itu tidak boleh menolak sedikit pun untuk menerima penjatuhan sanksi alias uqubat atas perbuatannya tersebut.
Tercapainya kesejahteraan yang sempurna untuk setiap individu masyarakat secara otomatis akan menjadi pilar yang sangat kokoh untuk dijadikan oleh Khalifah sebagai tumpuan dalam menjalankan kewajibannya mengurus kepentingan rakyat di luar negeri yakni menyebarluaskan Islam ke seluruh du-nia dengan dakwah dan jihad. Hal itu karena kondisi masyarakat sejahtera yang menjelmakan mereka sebagai komunitas manusia yang يُطِيْعُوْنَ اللهَ وَيَتَّقُوْنَهُ عَلَى الإِطْلاَقِ, akan dapat secara pasti menangkal sekali-gus mengeliminir semua ancaman dan marabahaya dari luar yakni dari kaum kufar :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)
Akibatnya adalah seluruh perhatian umat Islam warga negara Khilafah Islamiyah akan sangat terpusat hanya kepada upaya penyebarluasan risalah Islam ke seluruh dunia dan Khalifah pun dapat dengan mu-dah melaksanakan kewajibannya untuk selalu menjalankan jihad hingga kapan pun. Rasulullah saw menyatakan :
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ (رواه ابو داود)
“tiga hal merupakan bagian dari pokok iman yakni menahan tangan dari orang yang telah mengucap-kan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ dan kita tidak akan mengkafirkan seseorang karena dosanya dan kita tidak akan menge-luarkan seseorang dari Islam karena suatu perbuatan. Dan jihad itu akan terus berlangsung sejak Allah mengutus diriku hingga orang terakhir dari umatku yang memerangi dajjal, tidak akan memba-talkan pemberlakuan jihad جَوْرُ جَائِرٍ dan tidak pula عَدْلُ عَادِلٍ dan iman itu ditentukan oleh kadar ke-mampuan aqal”.
Wal hasil, dari sisi mana pun menunjukkan dengan pasti bahwa aspek good governance yakni سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ adalah keniscayaan alias kewajiban yang harus selalu direalisir dengan sempurna oleh Khalifah yang mengendalikan Khilafah Islamiyah secara tunggal. Rasulullah saw menyatakan :
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ (رواه احمد)
“tidak ada seorang Imam atau Wali pun yang menutup pintu rumahnya untuk mengusir orang-orang yang memiliki kebutuhan, mengusir orang-orang faqir dan mengusir orang-orang miskin, kecuali Allah ‘Azza wa-jalla pasti menutup seluruh pintu langit untuk menghalangi seluruh kebutuhannya”.


Khatimah
Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya negara yang pernah ada dalam peradaban manusia di du-nia yang secara riil dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat فَرْدًا فَرْدًا dan itu dapat dipertahankan oleh Khilafah bukan hanya satu atau 10 tahun melainkan hingga lebih dari 1.300 tahun lamanya. Bah-kan jika tidak ada : (a) kemerosotan pemikiran umat Islam yang sangat tragis dan mencapai titik paling rendah pada awal abad ke-20 serta (b) upaya keras Inggris untuk meruntuhkan hegemoni Khilafah Islamiyah (Utsmaniyah), maka dapat dipastikan hingga saat ini atau hingga kapan pun eksistensi Khila-fah Islamiyah masih ada dan masih sanggup untuk menyejahterakan manusia dalam kehidupan dunia.
Realitas tersebut berbeda diametral dengan negara kebangsaan mana pun saat ini yang hingga de-tik ini pun sama sekali tidak dapat meniru apalagi mewujudkan kehidupan yang lebih baik dari kehi-dupan yang telah dipertahankan sejahtera selama lebih dari 13 abad oleh Khilafah Islamiyah. Padahal kenyataannya negara kebangsaan tersebut telah ada dan hidup di dunia lebih dari 100-an tahun. Inilah realitas negara kebangsaan yang seolah-olah luput dari kesadaran umat Islam, padahal mereka justru telah lama benar-benar hidup dalam negara tersebut, termasuk di NKRI. Inilah realitas pemikiran dan sikap umat Islam yang bertentangan dengan perintah Allah SWT :
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد : 16)
“bukankah telah cukup waktu walau baru sebentar bagi orang-orang yang beriman untuk memfokus-kan kesadaran mereka kepada hubungannya dengan Allah dan kepada al-haq (Islam) yang telah Allah turunkan dan janganlah mereka menjadi manusia seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberi-kan kepada mereka Al-Kitab (Taurah dan Injil) lalu berlangsung atas kehidupan mereka waktu yang sangat panjang namun yang terjadi adalah aqal mereka menjadi keras membantu dan sebagian sangat besar mereka adalah fasiq”.

No comments:

Post a Comment