Pemerintah dan swasta : sepakat
menggadaikan negara!
Utang luar negeri swasta (ULNS) yang telah jatuh
tempo tahun ini berdasarkan data per 13 Maret 2009 adalah 22,6 miliar dolar AS
(dari total ULNS Bank dan non Bank 62,58 miliar dolar) atau hampir setengah
dari cadangan devisa di Bank Indonesia (BI) per tanggal yang sama : 53,9 miliar
dolar AS. Apabila ULNS total (ULNS Bank sebesar 5,67 miliar dolar dan ULNS non
Bank sebesar 56,91 miliar dolar) digabungkan dengan utang luar negeri
pemerintah (ULNP) maka jumlahnya lebih dari 120 mi-liar dolar AS atau hampir
1.500 triliun rupiah, padahal APBN RI 2009 hanya Rp 1.000 triliun. Artinya jika
Indonesia diminta paksa oleh para pemberi utang untuk membayar tunai seluruh
utang tersebut, maka seluruh uang yang terkumpul dalam APBN adalah masih kurang
untuk memenuhinya sehingga terpaksa harus ditambah lagi dari cadangan devisa BI
sebanyak 500 triliun rupiah atau 40,32 miliar dolar lagi, sehingga cadangan
devisa akan hanya tersisa 53,9 - 40,32 = 13,58 miliar dolar. Hal ini tentu saja
merupakan kebangkrutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebab pada
tahun anggar-an 2009 hanya dapat membiayai perjalanan negara dengan sisa
cadangan devisa itu : 13,58 miliar dolar atau hanya 168,392 triliun rupiah atau
16,8 persen dari 1.000 triliun rupiah yang diperlukan. Kekurang-an (defisit)
sebesar 83,2 persen hanya dapat dipenuhi dengan : (a) mencari ULN baru dan (b)
semakin menggenjot penerimaan dari sektor pajak yakni dari yang biasanya
sekitar 75 persen menjadi harus 83,2 persen.
Harus diingat sekali lagi bahwa besaran ULNS 22,6
miliar dolar tersebut adalah yang jatuh tempo alias harus dibayar tahun ini,
sedangkan ULNS total hingga triwulan IV tahun 2008 adalah ULNS Non Bank ditambah
ULNS Bank = 56,91 miliar dolar + 5,67 miliar dolar = 62,58 miliar dolar atau
782,25 triliun rupiah. Sehingga ULN total (ULNP + ULNS) hingga akhir tahun 2008
lalu adalah 63 miliar do-lar ditambah 62,58 miliar dolar = 125,58 miliar dolar
AS atau 1.569,75 triliun rupiah atau 1,56 kali APBN tahun 2009. Sekali lagi,
jika para pemberi utang tersebut meminta paksa Indonesia untuk mem-bayar tunai
semuanya, maka NKRI pasti bangkrut sebab jika disatukan jumlah uang yang
terkumpul di APBN 2009 yakni 1000 triliun dengan cadangan devisa di BI 53,9
miliar dolar atau 668,32 triliun rupiah maka total mencapai 1.668,32 triliun
rupiah yang berarti sisanya hanya sebesar 98,57 triliun ru-piah saja. Dari
manakah memperoleh uang untuk menutupi kekurangan APBN 2009 sebesar 901,43
triliun rupiah atau 90,143 persen? Jawabannya dapat dipastikan tidak mungkin
dari sumber utang luar negeri baru sebab sangat mungkin semua pihak (negara
maupun non negara) di luar negeri telah berada pada titik tidak percaya
lagi kepada Indonesia, sehingga pilihan tinggal satu yakni memeras
semakin kuat lagi rakyat Indonesia sendiri melalui pajak.
Padahal realitas sangat mengerikan tersebut adalah
sangat mungkin terjadi sebab jauh-jauh hari pihak swasta telah
“merengek-rengek” kepada pemerintah untuk membantu mengatasi persoalan utang
mereka tersebut. Inilah yang diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi : pemerintah bisa menjadi penengah.
Mediator antara perusahaan dan bank swasta maupun BUMN. Lagi pula di dalam
negeri banyak dana menganggur yang disimpan di Sertifikat Bank Indonesia.
Tidak diragukan lagi, itulah sebuah makar
konspiratif antara pihak swasta dan pemerintah Indo-nesia untuk bersama-sama menggadaikan
negeri berikut rakyat (umat Islam) Indonesia kepada tuan-tuan mereka yakni para
penguasa negara-negara kufur di Dunia Barat maupun antek-antek mereka yang
berkuasa di Dunia Islam dan non Islam (Jepang, China, Korea dan sebagainya).
Hal itu dapat di-buktikan dengan adanya kewajiban untuk mencicil pokok utang
berikut bunganya, walaupun tuan-tuan mereka itu hingga saat ini tidak
atau belum memaksa mereka untuk membayar tunai seluruh utang tersebut.
Kewajiban inilah yang besarannya 22,6 miliar dolar muncul dari pihak swasta dan
10,98 mi-liar dolar (menurut BI ULNP yang jatuh tempo tahun 2009 adalah 10,1
miliar dolar) dari pihak peme-rintah atau total 33,58 miliar dolar atau 416,392
triliun rupiah atau hampir setengah dari total APBN 2009. Oleh karena itu, inikah
cara mengelola negara? Inikah yang diklaim selama ini sebagai good governance?
Inikah cara mengelola
negara?
NKRI tidak diragukan lagi adalah salah satu negara
kebangsaan di Dunia Islam yang member-lakukan sistem kapitalisme dalam
menjalankan perekonomiannya. Kapitalisme tidak membedakan antara negara (the
states) dan perusahaan (the corporations) bahkan menempatkan
keduanya secara sangat sama alias benar-benar identik. Oleh karena itu ketika
kapitalisme mengharuskan perusahaan memberlakukan semua konsepsi yang ada maka
begitu juga terhadap negara : rumusan problematika ekonomi, prinsip ekonomi
berikut seluruh pemikiran cabang maupun turunannya. Konsep the least the
cost the highest the profit (biaya serendah mungkin, keuntungan setinggi
mungkin) harus diberlakukan baik oleh perusahaan maupun negara. Akibatnya
adalah seperti halnya perusahaan sangat mungkin un-tuk bangkrut hingga berhenti
tidak lagi beroperasi, maka negara pun sangat mungkin mengalami hal yang sama
yakni bangkrut dan kehilangan statusnya sebagai negara. Lalu negara tersebut
pun akhirnya diambil alih “pengelolaannya” oleh negara atau pihak atau
institusi lain yang paling dominan memberi-kan pinjaman kepada negara itu.
Inilah yang terjadi atas negara Meksiko yang diambil alih oleh IMF saat
terjadinya krisis ekonomi tahun 1987 lalu dan itu berarti negara itu de jure
telah mati alias bang-krut. Hal itu karena pihak (investor) yang paling banyak
(lebih dari 50 persen) menguasai “saham” ne-gara Meksiko adalah IMF, sehingga
ketika negera tersebut telah tidak lagi mampu membeli kembali (buy back)
saham-sahamnya yang ada di tangan IMF maka otomatis lembaga donor itu dapat
mengam-bil alih pengelolaannya.
NKRI sebenarnya de facto telah bangkrut,
sebab “modal” pokok (APBN) dan modal pendukung (cadangan devisa di BI) telah
tidak memadai lagi untuk membayar lunas semua utang luar negerinya dan jika pun
dipaksakan digunakan seluruhnya maka yang tersisa sangat sedikit yakni 98,57
triliun ru-piah atau kurang dari 10 persen dari modal pokok yang dibutuhkan
untuk tahun berjalan (2009) sebesar Rp 1.000 triliun. Padahal, BAPPENAS
menyatakan untuk pembangunan infrastruktur tahun 2010 hingga 2014 memerlukan
investasi mencapai Rp 1.429 triliun. Namun mengapa NKRI hingga
saat ini belum diambil alih pengelolaannya oleh pihak yang paling besar
memberikan pinjamannya kepada In-donesia? Jawabannya adalah pengambil
alihan pengelolaan suatu negara memang tidak sesederhana perusahaan
yakni pertimbangannya tidak melulu aspek ekonomi (modal pokok, modal pendukung,
ra-sio kecukupan modal, kesanggupan mencicil pokok utang dan bunganya dan
sebagainya) melainkan le-bih banyak pertimbangan non ekonominya yaitu ideologi
dan politik. Jadi, walau seluruh aspek pereko-nomian NKRI telah memastikan
kebangkrutannya namun karena aspek ideologi (Negara Demokrasi Muslim terbesar
di dunia) dan politik (pemanfaatan posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk
mus-lim moderat) mengharuskan tetap dipertahankannya NKRI sebagai
negara de facto maupun de jure, maka sampai detik
ini belum ada satu pihak atau negara atau institusi yang berani
terang-terangan akan mengambil alih pengelolaan NKRI. Tegasnya, realitas NKRI
sebagai negara adalah bukan masih ber-tahan dengan sendirinya melainkan
masih dipertahankan oleh kekuatan pengendali utama dunia saat ini
yakni AS dan sekutunya. Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menyatakan : jika
ingin mengeta-hui Islam (yang modern), demokrasi dan pengakuan atas peran
wanita, maka datanglah ke Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sebagai
negara muslim terbesar, terbukti mampu menunjukkan pa-da dunia internasional
bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring sejalan. Karena itu, AS
mendukung langkah Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di
dunia. Tentu ini bukan tanpa alasan mendasar, karena Indonesia bisa
menyelaraskan antara Islam dan demokrasi, bahkan bisa saling berjalan bersama.
Inikah cara mengelola negara? Jawabannya
adalah ya, tentu saja! Administrasi pemerintahan berikut
aparaturnya, birokrasi plus birokratnya, badan perencana beserta pengendalinya
dan seterusnya, memang dibentuk lembaganya dan direkrut sumberdaya manusianya
(SDM) adalah untuk mengelola negara dengan cara seperti itu dan sama sekali
tidak dapat bahkan tidak mungkin keluar dari metode, pola maupun cara tersebut.
Hal itu karena, metode, pola dan cara pengelolaan tersebut telah disepakati
untuk diberlakukan oleh seluruh negara kebangsaan yang ada di dunia saat ini.
Sehingga jika ada satu saja negara yang berusaha keluar dari pakem tersebut,
maka selain akan mengalami kesulitan dalam menjalankan
pengelolaan negaranya juga pasti akan terkucilkan dengan sendirinya dari
percaturan in-ternasional, baik ekonomi, politik maupun ideologi. Inilah
mengapa sebuah negara misal NKRI dalam memberikan pelayanan apa pun kepada
masyarakat selalu menetapkan pembiayaan bahkan sekedar un-tuk pembuatan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) sekali pun. Jadi administrasi, birokrasi maupun
perenca-naan yang tidak lain adalah pilar-pilar manajemen atau pengelolaan,
diadakan oleh suatu negara sama sekali bukan untuk menjadikan
negara tersebut kaya raya, dapat menguasai dan memanfaatkan sepe-nuhnya
kekayaan alam yang dimilikinya, dapat mewujudkan kesejahteraan rakyatnya orang
per orang dan seterusnya, melainkan pada hakikatnya adalah untuk dapat
melayani, berkhidmat dan setia kepada tuan, majikan atau atasannya
masing-masing yang menguasai, mendominasi dan mengendalikan negara tersebut
melalui terutama pinjaman alias utang. Tegasnya, good governance
yang selama ini selalu di-kaitkan secara pasti dengan entitas clean
government adalah tidak akan pernah dapat direalisir dalam realitas
perjalanan kehidupan suatu negara, termasuk apalagi NKRI. Mungkin hanya satu
negara di du-nia saat ini yang juga mungkin sedikit atau banyak
dapat mengimplementasikan good governance, yakni The United
States of America (USA alias AS). Itu pun dapat dilakukan oleh negara
adidaya terse-but akibat adanya loyalitas penuh dari seluruh negara “hamba
sahayanya” di dunia termasuk NKRI.
Khilafah Islamiyah dan
keniscayaan good governance
Realitas Khilafah
Islamiyah memang diametral dengan fakta negara kebangsaan mana pun yang ada
saat ini. Seluruh negara kebangsaan berdiri adalah untuk semata “mengelola
negara” dan sama se-kali bukan untuk mengelola rakyatnya supaya dapat sejahtera
orang per orang. Khilafah Islamiyah se-jak awal keberadaannya baik secara
konseptual maupun praktikal adalah sepenuhnya untuk melayani, berkhidmat kepada
rakyat dan berusaha keras hingga titik kemampuan paling tinggi untuk mewujudkan
kesejahteraan mereka فَرْدًا فَرْدًا. Inilah yang dituntut oleh Islam berdasarkan pernyataan
Rasulullah saw :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
“keadaan Bani Israil itu yang memimpin
dan mengurus mereka adalah para Nabi, setiap seorang Nabi wafat ada Nabi lain
menyusul di belakangnya dan sungguh tidak ada lagi Nabi setelah diriku dan yang
akan ada adalah Khulafa lalu mereka akan banyak. Mereka (para sahabat) bertanya
lalu apakah yang engkau akan perintahkan kepada kami? Beliau menjawab :
penuhilah oleh kalian bai’atnya yang per-tama maka yang pertama saja. Berikanlah
oleh kalian kepada mereka hak mereka maka sungguh Allah akan bertanya kepada
mereka tentang rakyat yang mereka pimpin dan urus”.
Makna
lafadz سَاسَ
– يَسُوْسُ - سِيَاسَةً
dalam تَسُوسُهُمْ adalah رَعَى شُؤُوْنَهُ. Sebagai contoh :
وَسُسْتَ الرَّعِيَّةَ
سِيَاسَةً أَمَرْتَهَا وَنَهَيْتَهَا اَيْ رَعَيْتَ شُؤُوْنَهَا
“anda menjalankan politik kepada rakyat berarti anda memerintah
dan melarang mereka yakni anda mengurus urusan mereka”.
Sehingga realitas politik
dalam Islam (وَاقِعُ السِّيَاسَةِ فِيْ الإِسْلاَمِ) adalah :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ
الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“mengurus kepentingan rakyat atau umat baik dalam maupun luar
negeri dengan menggunakan hu-kum syara (Islam)”.
Sebagai contoh seluruh
kebutuhan rakyat orang per orang yang wajib dipenuhi oleh Khalifah adalah
pendidikan, kesehatan, makanan, minuman dan tempat tinggal. Inilah yang dimaksudkan
oleh pernya-taan Rasulullah saw berikut :
مَنْ أَصْبَحَ
مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ
فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا (رواه الترمذي)
“siapa saja di antara kalian yang pada pagi hari keluarga dan
jalannya berada dalam aman, sehat ja-sadnya dan kekuatan harinya ada dalam
genggamannya, maka seakan dihimpunkan baginya seluruh dunia”.
مَثَلُ مَا بَعَثَنِي
اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ
أَرْضًا (رواه البخاري)
“perumpamaan hidayah dan ilmu
yang Allah telah mengutus diriku dengan membawa keduanya, se-perti hujan deras
yang menimpa bumi”
Dengan demikian, aspek good governance
dalam Khilafah Islamiyah yang dikendalikan secara tunggal oleh Khalifah tiada
lain adalah رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ (mengurus kepentingan rakyat atau umat) yakni
memenuhi kebutuhan pokok mereka dan sama sekali bukan mengelola negara supaya
ber-citra baik dan sempurna di mata komunitas internasional seperti yang selalu
akan dilakukan oleh negara kebangsaan mana pun saat ini. Lagipula secara
faktanya tidak ada keperluannya sedikit pun bagi Khi-lafah
Islamiyah untuk melakukan hal itu, sebab negara mana pun di luar Khilafah
seluruhnya adalah negara kufur yang wajib diperangi selama belum menerima
dengan sukarela dakwah Islamiyah atau se-lama belum bersedia tunduk kepada
kekuasaan Khilafah Islamiyah. Lalu,
bagaimana realitas good go-vernance dalam pandangan Islam yang
wajib diberlakukan oleh Khalifah?
Aspek good
governance atau pengelolaan atau management
realitasnya sama dengan yang di-maksudkan oleh istilah سِيَاسَةُ
اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ
(strategi pengelolaan kemaslahatan) dalam administrasi Islami (اَلإِدَارَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ).
Realitas سِيَاسَةُ
اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ
dalam Islam dibangun di atas asas :
1.
اَلْبَسَاطَةُ فِيْ النِّظَامِ : sederhana dalam sistem
2. اَلإِسْرَاعُ
فِيْ اِنْجَازِ الأَعْمَالِ : cepat
dalam pelayanan
3. اَلْكِفَايَةُ
فِيْمَنْ يَتَوَلُّوْنَ الإِدَارَةَ : kapabilitas
para aparatur administrasi
Inilah
realitas سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ
كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ (رواه مسلم)
“sungguh Allah telah mewajibkan merealisir yang terbaik dalam
segala sesuatu, maka bila kalian membunuh maka lakukanlah pembunuhan itu dengan
cara yang terbaik dan jika kalian menyembelih maka lakukanlah penyembelihan itu
dengan cara yang terbaik”
Kesederhanaan dalam sistem bukan berarti sistem yang
“ecek-ecek alias tidak berkualitas” mela-inkan sistem tersebut adalah sangat
dapat melayani seluruh kepentingan rakyat (apa pun) orang per orang namun
dengan sistem atau regulasi yang sangat sederhana dan sama sekali tidak sulit
tidak rumit. Realitas sistem seperti itu memberikan jaminan 100 persen untuk dapat
dengan sempurna memberikan pelayanan kepada setiap individu masyarakat yang
menuntut dipenuhinya kebutuhan mereka. Aspek inilah yang wajib dipenuhi oleh
sebuah bangunan sistem pelayanan sehingga perlu atau tidaknya
dibu-at pembiroan alias birokrasi sepenuhnya harus memperhatikan tuntutan
tersebut, yakni jika birokrasi dipastikan dapat mendukung kesempurnaan
pelayanan kepada masyarakat maka birokrasi wajib diada-kan dan sebaliknya jika
pembentukan birokrasi justru menjadi penghalang dan pembatas terhadap ke-sempurnaan
pelayanan kepada masyarakat, maka haram diadakannya birokrasi tersebut.
Kepentingan dan
kebutuhan rakyat orang per orang adalah sangat berhubungan erat dengan hidup
dan mati mereka, sehingga wajib dilayani untuk dipenuhi dengan cepat bahkan secepat
mungkin yang dapat dilakukan oleh aparatur administrasi negara. Hal itu karena
walaupun sebuah sistem pelayanan dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan
setiap orang namun bila prosesnya sangat lambat maka sifat sistem seperti itu
adalah haram diberlakukan menurut Islam. Jadi sebuah sistem pelayanan wajib
memenuhi dua realitas secara bersamaan yakni : (a) dapat dengan sempurna
memenuhi kebutuhan se-tiap orang dan (b) prosesnya harus berlangsung sangat
cepat. Sehingga keadaan yang dituntut harus ter-wujud oleh Islam : مَنْ
أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ
يَوْمِهِ, dapat dengan
mudah dan murah direalisir oleh Khalifah. Inilah yang dimaksudkan oleh
pernyataan Nabi Muhammad saw :
فَالْإِمَامُ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Kesempurnaan pelayanan dan kecepatan proses
pelayanan pemenuhan kebutuhan tentu saja me-wajibkan kapabilitas (kemampuan),
integritas (keutuhan pemikiran dan perasaan) dan profesionalisme para aparatur
pelayanan. Hal itu karena, walau sistem pelayanannya dapat dengan sempurna
memenuhi kebutuhan dan sangat cepat dalam prosesnya namun jika dilaksanakan
oleh aparatur yang tidak meme-nuhi kualifikasi tersebut maka dapat dipastikan
akan terjadinya kemacetan dan keamburadulan dalam pelayanan kepada masyarakat.
Oleh karena itu, tiga asas yang mendasari bangunan strategi pelayanan
kepentingan (سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ) dalam Islam tersebut wajib ketiganya selalu ada secara
bersamaan dan tidak boleh (haram) satu pun dalam keadaan yang tidak
sempurna atau kurang sempurna apalagi hi-lang.
Harus diingat bahwa terpenuhinya seluruh kebutuhan masyarakat فَرْدًا
فَرْدًا akan menjadi
jaminan diraihnya kesejahteraan mereka (رِفَاهِيَتُهُمْ) selama hidup di dunia yang diungkap oleh
Rasulullah saw de-ngan ucapan : فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا. Sehingga dalam kondisi normal tersebut
tidak ada alasan sedikit pun bagi setiap individu masyarakat untuk tidak
taat kepada Allah SWT, Rasulullah saw dan Khalifah. De-ngan demikian,
jika masih juga ada yang melakukan maksiat kepada Allah SWT, Rasulullah saw dan
Khalifah maka dia atau mereka itu tidak boleh menolak sedikit pun untuk
menerima penjatuhan sanksi alias uqubat atas perbuatannya tersebut.
Tercapainya
kesejahteraan yang sempurna untuk setiap individu masyarakat secara otomatis
akan menjadi pilar yang sangat kokoh untuk dijadikan oleh Khalifah sebagai
tumpuan dalam menjalankan kewajibannya mengurus kepentingan rakyat di luar
negeri yakni menyebarluaskan Islam ke seluruh du-nia dengan dakwah dan jihad.
Hal itu karena kondisi masyarakat sejahtera yang menjelmakan mereka sebagai
komunitas manusia yang يُطِيْعُوْنَ اللهَ وَيَتَّقُوْنَهُ عَلَى
الإِطْلاَقِ, akan dapat
secara pasti menangkal sekali-gus mengeliminir semua ancaman dan marabahaya
dari luar yakni dari kaum kufar :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ
أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)
Akibatnya
adalah seluruh perhatian umat Islam warga negara Khilafah Islamiyah akan sangat
terpusat hanya kepada upaya penyebarluasan risalah Islam ke seluruh dunia dan
Khalifah pun dapat dengan mu-dah melaksanakan kewajibannya untuk selalu
menjalankan jihad hingga kapan pun. Rasulullah saw menyatakan :
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ الْكَفُّ
عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا
نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي
اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ
جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ (رواه ابو داود)
“tiga hal merupakan bagian dari pokok
iman yakni menahan tangan dari orang yang telah mengucap-kan لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
dan kita tidak akan mengkafirkan seseorang karena dosanya dan kita tidak akan
menge-luarkan seseorang dari Islam karena suatu perbuatan. Dan jihad itu akan
terus berlangsung sejak Allah mengutus diriku hingga orang terakhir dari umatku
yang memerangi dajjal, tidak akan memba-talkan pemberlakuan jihad جَوْرُ
جَائِرٍ dan tidak pula عَدْلُ
عَادِلٍ dan iman itu
ditentukan oleh kadar ke-mampuan aqal”.
Wal hasil, dari sisi
mana pun menunjukkan dengan pasti bahwa aspek good governance
yakni سِيَاسَةُ
اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ
adalah keniscayaan alias kewajiban yang harus selalu direalisir
dengan sempurna oleh Khalifah yang mengendalikan Khilafah Islamiyah secara
tunggal. Rasulullah saw menyatakan :
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ
دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
(رواه احمد)
“tidak ada seorang Imam atau Wali pun yang menutup pintu
rumahnya untuk mengusir orang-orang yang memiliki kebutuhan, mengusir
orang-orang faqir dan mengusir orang-orang miskin, kecuali Allah ‘Azza wa-jalla
pasti menutup seluruh pintu langit untuk menghalangi seluruh kebutuhannya”.
Khatimah
Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya negara yang
pernah ada dalam peradaban manusia di du-nia yang secara riil dapat mewujudkan
kesejahteraan masyarakat فَرْدًا فَرْدًا dan itu dapat dipertahankan oleh Khilafah bukan
hanya satu atau 10 tahun melainkan hingga lebih dari 1.300 tahun lamanya.
Bah-kan jika tidak ada : (a) kemerosotan pemikiran umat Islam yang sangat
tragis dan mencapai titik paling rendah pada awal abad ke-20 serta (b) upaya
keras Inggris untuk meruntuhkan hegemoni Khilafah Islamiyah (Utsmaniyah), maka
dapat dipastikan hingga saat ini atau hingga kapan pun eksistensi Khila-fah
Islamiyah masih ada dan masih sanggup untuk menyejahterakan manusia dalam
kehidupan dunia.
Realitas tersebut
berbeda diametral dengan negara kebangsaan mana pun saat ini yang hingga de-tik
ini pun sama sekali tidak dapat meniru apalagi mewujudkan
kehidupan yang lebih baik dari kehi-dupan yang telah
dipertahankan sejahtera selama lebih dari 13 abad oleh Khilafah Islamiyah.
Padahal kenyataannya negara kebangsaan tersebut telah ada dan hidup di dunia
lebih dari 100-an tahun. Inilah realitas negara kebangsaan yang seolah-olah
luput dari kesadaran umat Islam, padahal mereka justru telah lama benar-benar
hidup dalam negara tersebut, termasuk di NKRI. Inilah realitas pemikiran dan
sikap umat Islam yang bertentangan dengan perintah Allah SWT :
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ
تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا
يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ
الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد : 16)
“bukankah telah cukup waktu walau baru sebentar bagi orang-orang
yang beriman untuk memfokus-kan kesadaran mereka kepada hubungannya dengan
Allah dan kepada al-haq (Islam) yang telah Allah turunkan dan janganlah mereka
menjadi manusia seperti orang-orang sebelumnya yang telah diberi-kan kepada
mereka Al-Kitab (Taurah dan Injil) lalu berlangsung atas kehidupan mereka waktu
yang sangat panjang namun yang terjadi adalah aqal mereka menjadi keras
membantu dan sebagian sangat besar mereka adalah fasiq”.
No comments:
Post a Comment