Realitas pemikiran sang
Presiden PKS
Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) DR. Tifatul Sembiring dalam tulisannya berjudul “Bi-sakah Umat
Bersatu?” menumpahkan kegundahannya sehubungan dengan kenyataan umat Islam yang
hingga saat ini masih tetap belum beranjak dari status quo mereka. Dia
menyatakan :
1.
masih banyak permasalahan umat yang belum tuntas kita
upayakan solusinya, termasuk masalah persatuan umat dan pemunculan sosok
pemimpin yang berkualitas.
2.
perpecahan selalu membawa malapetaka dan kerusakan
besar di tengah umat. Perpecahan dan perselisihan di perang Uhud misalnya,
mengakibatkan gagalnya kemenangan yang semula sudah diraih.
3.
sesungguhnya modal kita untuk bersatu sangat sederhana.
Ialah ketika kita sepakat untuk mengu-capkan “Asyhadu an laa ilaha illallah, wa
asyhadu anna Muhammadurrasulullah”. Bagi kami, keti-ka seseorang menyatakan
komitmennya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, cukuplah itu.
4.
hal terberat yang sedang dihadapi umat kini adalah
kemiskinan, yang nyaris mendekatkan mereka kepada kekufuran. Kelemahan ekonomi
umat adalah penyebabnya. Hingga saat ini kemampuan umat untuk berekonomi
belumlah memadai. Bagai menjadi budak di negeri sendiri. Baik dari sisi akses
terhadap sumber daya maupun skill-nya. Ekonomi masih dikuasai sistem
konvensional riba-wi. Lalu datanglah krisis ekonomi, masalah semakin berat.
Akibatnya langsung dapat dilihat. Untuk menyelamatkan keluarga, para gadis dan
ibu-ibu berangkat menjadi TKW di luar negeri. Di mana izzah umat,
martabat bangsa?
5.
masalah moral juga menorehkan catatan menyedihkan. Kita
dapati tokoh-tokoh muslim yang nama-nya seperti Nabi, seperti gelar Nabi,
seperti nama orang shaleh namun ditangkap KPK. Mereka menjadi harapan umat,
menyandang nama terpercaya, namun ternyata korupsi. Seberapa kuatkah komitmen
moral kita? Moral Islam.
6.
agenda berikutnya adalah pendidikan. Soal penyiapan
sumber daya manusia (SDM) unggul, yang dapat diandalkan menjalankan roda
pembangunan umat. Apalagi persiapan kepemimpinan nasional masa mendatang.
Sekarang saja, bangsa besar ini seperti kebingungan mencari calon pemimpinnya.
Kita masih bertanya satu sama lain, padahal kita berdoa “waj’alna lil muttaqina
imaman”. Kita mo-hon pada Allah SWT agar menjadikan anak-anak kita sebagai
pemimpin orang-orang bertaqwa.
7.
dalam kontek umat Islam Indonesia setiap orang tentu
merujuk kepada NU dan Muhammadiyyah
dengan segenap elitenya. Pertanyaannya adalah, bisakah kita menurunkan
tensi jurang pemisah. Sa-ling adzillatin, menjalin tali asih. Saling
merendah dan bukannya saling gengsi. Bisakah kita sesa-ma ummat berhenti saling
mencurigai (su’uzhan), saling mengintai (wa laa tajassasu),
saling mem-belakangi dan saling menggunjing (ghibah). Kita membutuhkan
persatuan dalam kesejukan ikatan kasih sayang persaudaraan. Bila bersatu, maka
kita akan kuat dan insya Allah sanggup untuk meng-hadapi kekuatan kebathilan
apapun bentuknya.
8.
sangat mungkin dan sangat layak umat ini bersatu.
Tokoh-tokoh harapan umat sama-sama mendu-duki posisi strategis. Dengan
seringnya tokoh-tokoh yang dicintai ummat ini bersilaturahim, syak wasangka
akan terhapus, keakraban akan kian kokoh dan berbagai pemikiran untuk kemajuan
um-mat dan bangsa akan mengalir deras. Terbayang betapa bahagia dan sejuknya
hati umat menyaksi-kan para pemimpinnya kokoh bersatu.
9. kami
bergerak di ranah politik, sama dengan saudara-saudara kami parpol Islam
lainnya. Membe-nahi eksekutif dan legislatif, mengadvokasi umat di ranah
pembuatan kebijakan publik. Bila perju-angan di ranah politik ini mendapat
dukungan dari saudara-saudara kami yang lain, khususnya or-mas-ormas, tentu
kita akan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Demikianlah harapan kita, umat
ini menjadi kuat, karena kita saling merunduk, saling merangkul, bagai satu
tubuh. Sehingga kita (umat) ini bisa dan harus bersatu untuk maju.
Itulah sembilan gagasan/pemikiran pokok dan utama
dari curahan gambaran kegelisahan sang presiden saat dia mengindera realitas
mutakhir umat Islam, khususnya di negeri Indonesia. Dia meng-klaim atau paling
tidak menganggap seluruh gagasannya tersebut adalah sebuah “resep obat” yang
te-pat (mungkin juga dianggap ampuh) untuk mengobati penyakit yang tengah
diderita umat Islam. Hal ini nampak sekali demikian saat dia menyatakan : setiap
tahun kita memperingati tahun baru Islam ini, namun sudahkah secara substansial
ada pencerahan di tubuh umat dengan berlalunya tahun baru de-mi tahun baru?
Sudahkah semangat energizing berhasil
kita serap dari momentum yang menjadi titik balik kemenangan tadi? Atau
pernyataan : soal fiqh, furu’, cabang-cabang, pendapat, mari kita
bicara-kan, mari kita diskusikan, mari kita perdalam. Niatnya sama-sama mau
masuk surga, kenapa harus cek-cok?
Lalu, karena semua gagasan sang presiden PKS
tersebut diatasnamakan Islam dan diperuntukkan bagi umat Islam, maka tentu saja
harus diteliti dan dipahami apakah semuanya itu benar (صَحِيْحٌ) baik menurut faktanya (دَلِيْلٌ
عَقْلِيٌ) maupun menurut
Islam sendiri (دَلِيْلٌ نَقْلِيٌ). Rincian pembahasan terhadap setiap gagasan DR. Tifatul
Sembiring adalah sebagai berikut :
1.
menjadikan ucapan : اَشْهَدُ اَنْ لاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, sebagai modal sangat sederhana un-tuk
agar umat Islam bersatu memang benar dan sesuai dengan
seluruh pemikiran yang terkandung dalam atau ditunjukkan
oleh ucapan syahadah itu sendiri. Hal itu karena makna لاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللهُ adalah
:
a. لاَ
خَالِقَ اِلاَّ اللهُ yakni
ungkapan syahadah bahwa hanya Allah SWT yang menciptakan (خَلَقَ مِنْ
عَدَمٍ) dan realitas ini
dapat dibuktikan dengan sempurna oleh دَلِيْلٌ عَقْلِيٌ tanpa harus merujuk kepada دَلِيْلٌ
نَقْلِيٌ sekalipun. Namun
demikian ternyata sumber Islam (Al-Quran) pun menunjukkan bah-wa sejak dulu
(Nabi Ibrahim as) upaya manusia (termasuk Nabi Ibrahim sendiri) untuk meraih اِيْمَانُهُمْ
بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى كَخَالِقِ الْكَوْنِ وَالإِنْسَانِ وَالْحَيَاةِ adalah dengan menggunakan pembuktian
aqliyah yakni dengan mengindera seluruh makhluk Allah SWT. Inilah yang
ditunjukkan oleh Al-Quran dalam ayat :
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ
اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ
الْآفِلِينَ فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ
لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ
بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ
إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (الأنعام : 75-78)
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ
الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ
فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ
بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (البقرة : 164)
b.
لاَ مَعْبُوْدَ اِلاَّ اللهُ yakni ungkapan syahadah dalam diri manusia
bahwa hanya Allah SWT yang wajib ditaati (اَلْعِبَادَةُ اَوِ
الطَّاعَةُ). Hal itu
karena aqal manusia pun menuntut mereka supaya setelah mere-ka sampai kepada
keputusan لاَ
خَالِقَ اِلاَّ اللهُ, maka
selanjutnya mereka harus taat kepada اَلْخَالِقُ ter-sebut. Keputusan aqal itu ternyata
sangat sesuai dengan informasi wahyu dalam Al-Quran mau-pun As-Sunnah :
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْيَمَنِ قَالَ
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ
إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ
اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ
فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً مِنْ
أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ
مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ (رواه البخاري)
c. لاَ
مُشَرِّعَ اِلاَّ اللهُ
yakni ungkapan syahadah dalam diri manusia bahwa hanya Allah SWT yang me-miliki
otoritas untuk menetapkan peraturan (اَلتَّشْرِيْعُ) bagi kehidupan manusia di dunia.
Syaha-dah ini merupakan ekspresi keputusan aqal (حُكْمُ الْعَقْلِ) bahwa karena manusia telah yakin hanya
Allah yang wajib ditaati, maka aqal mengharuskan hanya Allah juga yang memiliki
wewenang untuk menetapkan aturan yang akan digunakan oleh manusia untuk
merealisir ketaatan tersebut. Keputusan aqal ini ternyata sesuai dengan
petunjuk Al-Quran sendiri :
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا
تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (يوسف : 40)
وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ
الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
(القصص : 70)
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا ءَاخَرَ لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ
وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (القصص : 88)
Oleh karena itu, siapa pun yang telah
mengikrarkan (اَلإِقْرَارُ اَوِ الْقَوْلُ) ucapan syahadah tersebut sete-lah terlebih dahulu diawali oleh
proses berpikir untuk membutikannya maka dapat dipastikan akan secara otomatis
siap untuk taat (اَلسَّاكِنُوْنَ إِلَى الطَّاعَةِ اَوِ
الْخَاضِعُوْنَ لِلطَّاعَةِ)
kepada Allah SWT dan Rasulul-lah saw. Hal itu karena yang bersangkutan sangat
menyadari (مُدْرِكًا تَامًّا) pernyataan Rasul saw :
الْإِيمَانُ
مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن
ماجه)
Sekali lagi, setiap orang yang اِيْمَانُهُمْ بِاللهِ عَنْ عَقْلٍ وَبَيِّنَةٍ pasti akan siap taat kepada Allah
SWT dan Ra-sul saw, sesuai dengan perintah Allah sendiri :
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(النور : 51)
Persoalannya adalah apakah
umat Islam yang ada saat ini (lebih dari 190 juta orang di Indonesia atau lebih
dari satu miliar orang di dunia) realitas اِيْمَانُهُمْ
بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى
memenuhi kualifikasi yang dituntut oleh aqal mereka maupun Islam sendiri?
Jawabannya adalah pasti sama sekali tidak dan itu ditunjukkan
oleh dua hal :
a. kondisi faktual turun temurun
yang dijalani oleh umat Islam saat ini minimal sejak memasuki abad ke-20 (lebih
dari satu abad) yakni transfer kualifikasi اِيْمَانُهُمْ
بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى yang
bukan dica-pai melalui عَنْ عَقْلٍ
وَبَيِّنَةٍ. Hal itu karena generasi orang tua
mereka masing-masing (وَاقِعُ اَبَوَيْهِمْ) adalah
realitas umat Islam yang juga raihan اِيْمَانُهُمْ
بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى bukan عَنْ عَقْلٍ وَبَيِّنَةٍ. Padahal apa pun yang akan menjelma pada diri anak-anak adalah
kedua orang tua mereka yang memastikan-nya :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ
الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
b. realitas
empiris kehidupan umat Islam di seluruh dunia pasca runtuhnya Khilafah
Utsmaniyah yakni mereka hidup dalam sekat-sekat negara kebangsaan/the nation
states (اَلدَّوْلَةُ الْقَوْمِيَّةُ) yang jumlahnya lebih dari 50-an negara. Seluruh negara tersebut
sama persis dengan negara-negara di Dunia Barat yakni memberlakukan demokrasi
sebagai sistema pemerintahannya (نِظَامُ حُكْمِهَا) dan kapitalisme sebagai sistema
perekonomiannya (نِظَامُ اِقْتِصَادِهَا). Itulah realitas negara Indone-sia,
Malaysia, Singapura, Kerajaan Saudi Arabia, Yordania, Yaman, Oman, Qatar,
Mesir, Iraq, Iran, Kuwait, seperti halnya Israel, Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, Australia, Jepang, Korea Selatan, China dan seterusnya. Pemberlakuan
kedua sistema berbasis sekularisme di negara-negara Dunia Islam itu jugalah
yang memastikan umat Islam di seluruh dunia tidak boleh, tidak bisa dan
tidak mungkin bersatu (secara alami) atau dipersatukan (disengaja),
sebab fakta nega-ra kebangsaan mengharamkan hal tersebut.
Jadi, ikrar اَشْهَدُ اَنْ
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ sama sekali
tidak lagi dapat dijadikan modal (sederhana maupun tidak)
bagi bersatunya umat Islam di dunia (termasuk di Indonesia), terlebih realitas
kualifikasi اِيْمَانُهُمْ بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى tersebut justru memastikan bahwa mereka sama
sekali tidak mungkin memiliki komitmen apa pun untuk siap taat kepada
Allah SWT dan Rasulullah saw. Wal hasil, gagasan sang Presiden PKS hanya bualan
gombal belaka dan akan semakin bull sheet alias omong kosong tanpa makna
hakikat yang dapat ditemukan kenyataannya, saat mengindera fakta konseptual
maupun empiris dari PKS itu sendiri dalam arena kehidupan NKRI, seperti yang
dite-gaskan oleh dirinya saat berucap : kami bergerak di ranah politik, sama
dengan saudara-saudara kami parpol Islam lainnya. Membenahi eksekutif dan
legislatif, mengadvokasi umat di ranah pem-buatan kebijakan publik. Ini
memastikan bahwa jatidiri (اَلْحَقِيْقَةُ) dari PKS adalah identik alias sama persis dengan PDIP, PDS,
Golkar, PKB, PAN, walau tidak pernah diakui mereka. Hal itu karena seluruh
partai nasionalis tersebut juga memiliki komitmen yang sama dengan PKS yakni : membe-nahi
eksekutif dan legislatif, mengadvokasi umat di ranah pembuatan kebijakan publik.
Semuanya sepakat bahwa berbagai penyimpangan, kelemahan, kekeliruan,
ketidaksempurnaan pemberlakuan demokrasi di Indonesia (bahkan di dunia) wajib
dibenahi supaya dapat sepenuhnya menjadi arena bagi para politisi (agamis
maupun nasionalis) dalam mengaktualisasikan upaya mereka demi kese-jahteraan
rakyat. Itulah paling tidak yang ada dalam anggapan semuanya (زَعْمُهُمْ), termasuk DR. Ti-fatul Sembiring berikut
rangkaian gerbong PKS-nya. Karena mayoritas anggota DPR RI (lebih dari 90
persen) terlepas dari “warna partainya : nasionalis atau agamis”, adalah
manusia-manusia yang dengan penuh percaya diri menyatakan diri sebagai beragama
Islam, maka itu artinya perbuatan mereka nyata-nyata telah berada dalam peta
kategori yang dibidik oleh pernyataan Allah SWT :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ
أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا
بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (النساء : 60)
2. perpecahan
(اَلتَّفَرُّقُ) menurut realitasnya adalah status
kehidupan manusia pada masa sebelum Islam datang kepada mereka :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ
عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ
اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (آل عمران : 103)
Kondisi
perpecahan manusia itu diciri-utamakan oleh permusuhan di antara mereka (إِذْ
كُنْتُمْ أَعْدَاءً)
sehingga yang terjadi adalah konspirasi untuk saling menghancurkan dan
membinasakan dan mus-tahil terwujudnya realitas persaudaraan hakiki (إِخْوَانًا). Apa yang menjadi sebab kehidupan manusia
seperti demikian? Penyebabnya adalah karena kehidupan manusia saat itu
diselenggarakan dengan asas peraturan kufur berbasis kepentingan naluriah
manusia sendiri (حُكْمُ الْجَاهِلِيَّةِ) dan realitas ini di-tunjukkan oleh bagian
awal ayat : وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا. Bagian ayat tersebut mewajibkan manusia
(yang hidup saat ayat diturunkan) untuk اَلإِعْتِصَامُ
بِدِيْنِ اللهِ (berpegang
teguh kepada Islam) dan ini ber-arti (dengan metode مَفْهُوْمُ
الْمُوَافَقَةِ) saat itu (حِيْنَئِذٍ
اَيْ مُنْذُ ذَلِكَ الْوَقْتِ)
sistema atau peraturan yang tengah mereka berlakukan secara riil dalam
kehidupan adalah bukan حَبْلُ اللهِ اَيْ حُكْمُ اللهِ اَيْ دِيْنُ
اللهِ melainkan حُكْمُ
الْجَاهِلِيَّةِ اَيْ حُكْمٌ عَلَى اَسَاسِ اَهْوَاءِ النَّاسِ. Inilah penyebab alias “biang keladi”
terwujudnya kehidupan manusia yang berada dalam perpecahan yang digambarkan
oleh Hudzaifah bin Al-Yaman sebagai :
يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ
(رواه البخاري)
Oleh karena
itu, kehidupan manusia dalam kondisi perpecahan akibat diberlakukannya sistema
ku-fur tersebut selain diharamkan oleh Islam melainkan juga
merupakan objek atau realitas yang di-bidik untuk dirubah oleh
datangnya Islam ke dunia. Jadi, hanya Islam (secara konseptual maupun empirik)
yang dapat mewujudkan secara hakiki kehidupan yang terbebas dari perpecahan
tersebut. Lalu, bagaimana halnya dengan realitas kehidupan umat Islam saat ini
yang telah berlangsung mi-nimal sejak tanggal 3 Maret 1924 M?
Realitas umat
Islam saat ini yang telah berlangsung lebih dari 84 tahun adalah keadaan
sebaliknya dari saat Islam datang ke dunia, yakni saat itu Islam merubah
kondisi kehidupan manusia تَفَرُّقًا men-jadi bersatu dalam persaudaraan : فَأَلَّفَ
بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا. Sedangkan pada peristiwa tang-gal 3 Maret
1924 (dihentikannya pemberlakuan Islam dan digantikan oleh sekularisme) yang
terjadi adalah perubahan terbalik dari saat awal Islam yakni bergantinya
kehidupan manusia yang bersatu dalam persaudaraan menjadi kehidupan yang تَفَرُّقًا. Hal itu karena (sekali lagi) Islam yang
merupa-kan sistema satu-satunya yang dapat mewujudkan kehidupan manusia bersatu
dalam persaudaraan telah dihentikan pemberlakuannya dan digantikan dengan
sekularisme yang adalah حُكْمُ الْجَاهِلِيَّةِ. Ke-adaan tersebut juga melanda umat Islam
di negeri Indonesia yang berdiri di dalamnya NKRI, sebu-ah negara berbasis
kekufuran : demokrasi dalam pemerintahan dan kapitalisme dalam
perekonomi-annya.
Jadi,
persatuan umat Islam yang dimaksudkan oleh Islam berbeda diametral dengan yang
ada dalam benak sang Presiden PKS saat menyatakan : sangat mungkin dan
sangat layak umat ini bersatu. Tokoh-tokoh harapan umat sama-sama menduduki
posisi strategis. Dengan seringnya tokoh-tokoh yang dicintai ummat ini
bersilaturahim, syak wasangka akan terhapus, keakraban akan kian kokoh dan
berbagai pemikiran untuk kemajuan ummat dan bangsa akan mengalir deras.
Terbayang beta-pa bahagia dan sejuknya hati umat menyaksikan para pemimpinnya
kokoh bersatu. Islam mewajib-kan kaum muslim untuk memberlakukan Islam
secara utuh (ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً) dalam realitas kehi-dupan manusia yang diwadahi oleh Khilafah
Islamiyah dan bila kewajiban ini dilaksanakan dengan sempurna oleh mereka maka
secara pasti bahkan otomatis kehidupan mereka akan bersatu dalam persaudaraan
dan terlepas bebas dari kehidupan تَفَرُّقًا. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَتَاكُمْ
وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ
يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Sementara
itu, Tifatul Sembiring menggagas bersatunya umat Islam dalam wadah negara kufur
ber-basis demokrasi : NKRI dengan cara memberikan dorongan yang kuat kepada
para pemimpin mau-pun tokoh masing-masing firqah yang ada (ormas, parpol,
jamaah, LSM bermerek Islam, harakah) untuk terus menerus melakukan sambung
komunikasi di antara mereka (diistilahkan secara sangat salah oleh dia dengan bersilaturahim).
Tentu saja selain gagasan ini tidak mungkin untuk dapat
di-realisir dalam kenyataan, melainkan juga perkara yang diharamkan
oleh Islam serta secara sengaja dan terencana ikut serta memperkokoh
pemberlakuan kekufuran dalam kehidupan umat Islam bah-kan seluruh manusia.
Akibatnya adalah mustahil umat Islam yang bersatu dengan cara demikian (secara
semu, bukan hakiki) akan mampu dan sanggup menghadapi kekufuran (diistilahkan
secara halus dengan kebathilan) yang paling ringan sekali pun, sebab bagaimana
mungkin segerombolan umat Islam yang bersatu dengan asas kekufuruan dan
itu terusung kokoh di pundak mereka, akan bisa berhadap-hadapan dengan
kekufuran yang ternyata merupakan jatidiri mereka sendiri apalagi untuk
menghancurkannya? Sekali lagi, itu adalah sangat mustahil sebab sama saja
dengan melaku-kan self destruction alias penghancuran diri yang akan
sangat dihindari oleh manusia mana pun, apalagi bila itu telah menjadi bagian
hidup mereka yang tidak boleh dipisahkan kecuali oleh kema-tian (قَنَاعَتُهُمْ). Wal hasil, klaim sang presiden : bila
bersatu, maka kita akan kuat dan insya Allah sanggup untuk menghadapi kekuatan
kebathilan apapun bentuknya, adalah sebentuk imaginative thought
alias اَلْفَكْرُ
الْخَيَالِيُ, sebab telah
disangkal oleh faktanya sendiri yakni sama sekali tidak akan pernah bertemu
dengan kenyataannya.
3.
kesimpulan bahwa : hal terberat yang sedang dihadapi
umat kini adalah kemiskinan, yang nyaris mendekatkan mereka kepada kekufuran,
adalah sebuah kesimpulan yang sangat keliru dan itu sa-ngat nampak dalam
beberapa aspek :
a. pernyataan
… nyaris mendekatkan mereka kepada kekufuran, adalah ungkapan yang
menun-jukkan bahwa Presiden PKS sama sekali tidak menyadari realitas pola
kehidupan umat Islam saat ini yang juga dia adalah bagian tak terpisahkan ada
di dalamnya. Apakah pola kehidupan umat Islam yang tengah berlangsung (طِرَازُ
عَيْشِ الأُمَّةِ الإِسْلاَمِيَّةِ الْجَارِيَةِ) di Indonesia atau di mana saja di seluruh dunia adalah pola
kehidupan Islami ataukah pola kehidupan berbasis kekufuran? Bila ternyata
Presiden PKS menjawab bahwa pola kehidupan umat Islam saat ini di dunia ada-lah
berbasis kekufuran (demokrasi dan kapitalisme berbasis sekularisme), maka itu
berarti dia telah berpikir jujur dan benar serta memahami
realitas kekufuran dan menyadari bahwa umat Islam bukan lagi nyaris
mendekati kekufuran melainkan telah nyata-nyata tenggelam sejak la-ma dalam
lumpur najis kekufuran tersebut. Namun bila dia menjawab bahwa pola kehidupan
umat Islam saat ini di dunia adalah berbasis Islam, maka itu memastikan dia tidak
jujur dan tidak memahami realitas yang tidak hanya terpampang jelas di
hadapannya tapi juga dia berada di dalamnya atau dia tidak
jujur demi untuk mengamankan kepentingan diri dan gerbong PKS yang
tengah dia bawa. Status ketidakjujuran mana pun yang melekat pada dirinya
adalah sama saja yakni sama-sama salah dalam pandangan Islam,
sebab bertentangan dengan seluruh dalil yang ada antara lain pernyataan Allah
SWT dan Rasulullah saw berikut :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة
: 44)
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (المائدة : 50)
وَإِذَا لَقِيتَ
عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ
فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ
ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ
عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ
وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ
وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ (رواه مسلم)
b. kemiskinan
memang sangat berat dirasakan oleh manusia mana pun, karena realitas اَلْمِسْكِيْنُ adalah : وَهُوَ مَنْ لاَيَجِدُ
شَيْئًا وَقَدْ اَسْكَنَهُ الْعَدَمُ وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ dan ini ditunjukkan oleh pernyataan
Rasu-lullah saw :
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى
النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ
وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ
فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ (رواه البخاري)
Namun demikian, realitas kemiskinan
dalam kehidupan Islami (Khilafah) adalah persoalan in-dividual bukan
problematika sistemik. Artinya, terwujudnya orang-orang miskin dalam Khila-fah
adalah kasuistik dan sangat mungkin karena dua faktor : (i) فَقْرُ
الْبِلاَدِ yakni kondisi
sumber daya alam yang sangat kurang atau bahkan tidak ada sama sekali atau (ii)
فَقْرُ
الأَفْرَدِ
yakni keti-dakberdayaan individu manusia untuk mengakses sumber daya
alam. Apabila yang terjadi fak-tor فَقْرُ الْبِلاَدِ, maka yang harus dilakukan Khalifah adalah
bila mungkin memindahkan seluruh penduduk di negeri tersebut ke negeri lain
yang memang melimpah sumber daya alamnya. Jika pemindahan tersebut tidak
mungkin dilakukan, maka Khalifah harus memasok seluruh barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh penduduk negeri tersebut dalam jumlah yang melimpah dari
ne-geri lain. Lalu, jika yang terjadi faktor فَقْرُ الأَفْرَدِ, maka Khalifah harus meneliti yang
bersangkut-an apakah dia mampu bekerja ataukah tidak. Jika dia mampu bekerja
maka Khalifah harus me-nyediakan lapangan pekerjaan kepadanya sehingga dia akan
dapat segera terbebas dari kemiski-nannya tersebut. Jika ternyata dia tidak
mampu bekerja (cacat fisik), maka Khalifah harus memberikan harta zakat
kepadanya sebagai solusi instant dan untuk selanjutnya Khalifah wajib
memberikan harta kepadanya dari Baitul Mal untuk memenuhi minimal kebutuhan
pokoknya sepanjang dia hidup di dunia. Demikianlah realitas manajemen krisis
dalam kehidupan Islami yang dikendalikan secara tunggal oleh Khalifah dan itu
pernah berlangsung selama lebih dari 1300 tahun sejak abad ke-6 hingga awal
abad ke-20 M. Lalu, bagaimana realitas kemiskinan saat ini?
Hari ini
dan itu telah terjadi sejak lebih dari 84 tahun yang lalu, sistem perekonomian
Islami tidak lagi diterapkan seiring dengan hilangnya institusi pelaksanaannya
sendiri : Khilafah. Ada-lah sistem perekonomian kapitalistik yang telah
sepenuhnya menggantikan sistem Islami terse-but dan itu termasuk di negeri
Indonesia tempat bercokolnya NKRI. Perekonomian kapitalistik mengharuskan
terjadinya konglomerasi yakni penguasaan sebagian sangat besar kekayaan
(mi-nimal 80 persen) oleh segelintir kecil (maksimal 10 persen) penduduk :
konglomerat. Hal itu di-maksudkan agar pertumbuhan ekonomi negara kapitalistik
dapat tetap terjamin tinggi (minimal 6 persen per tahun) dengan mekanisme
bertumpu pada tingkat konsumsi masyarakat melarat yang jumlahnya
lebih dari 90 persen terhadap barang maupun jasa yang dihasilkan oleh
atau dikendalikan oleh konglomerat. Akibatnya adalah peta pola
kemiskinan dalam negara kapita-listik adalah sistemik bukan individual yakni
kemiskinan itu terjadi akibat dari diterapkannya kapitalisme itu sendiri yang
mengharuskan selalu adanya dua kutub kelompok masyarakat yang saling
bertentangan dari sisi kesejahteraannya : konglomerat dan kelompok melarat
(miskin). Inilah realitas kemiskinan umat Islam saat ini yang juga sangat
dipahami dan disadari oleh DR. Tifatul Sembiring. Lalu, mengapa dia
berkesimpulan : hal terberat yang sedang dihadapi umat kini adalah
kemiskinan, padahal kondisi tersebut hanyalah akibat langsung dari
penerapan eko-nomi kapitalistik? Di sinilah untuk kedua kalinya, sang Presiden
PKS telah dengan sengaja me-manipulasi fakta yang ada dan nampaknya hal itu
dilakukan dengan tujuan demi mengamankan kepentingan dirinya dan partainya
untuk minimal tetap eksis dalam percaturan politik NKRI.
c.
ucapan Imam Ali كَادَ الْفَقْرُ اَنْ
يَكُوْنَ كُفْرًا (hampir
saja faqir itu menjadi kufur) adalah terlontar saat beliau menjadi Khalifah
dan itu berhubungan dengan fakta kasus adanya beberapa orang rakyat Khilafah
saat itu yang memang faqir lalu putus asa (يَأْسٌ) dan berikrar untuk murtad dari Islam.
Tentu saja sebagai Khalifah beliau wajib menyelesaikan persoalan tersebut dan
itu telah dilaku-kannya dengan sempurna hingga beliau diberontak oleh Muawiyah.
Jadi ucapan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan realitas mutakhir umat
Islam saat ini yang sebagian sangat be-sarnya adalah miskin dan itu akibat
mereka telah kehilangan institusi pelindung dan pemelihara kepentingan mereka
hidup di dunia : Khilafah dan Khalifah.
d. kegelisahan
dia : di mana izzah umat, martabat bangsa?, saat menyaksikan para gadis
maupun ibu-ibu yang menjadi TKW ke luar negeri, adalah juga sangat jelas
menunjukkan kekisruhan pemikirannya. Hal itu karena saat dia bertanya di
mana izzah umat, maka seharusnya dia me-nyadari bahwa عِزَّةُ
هَذِهِ الأُمَّةِ telah
lama sirna dan itu bukan karena mereka jadi TKI atau TKW melainkan karena
mereka telah lama kehilangan Khilafah yang bertugas utama memberlakukan Islam
dalam arena kehidupan manusia di dunia. Padahal عِزَّةُ هَذِهِ
الأُمَّةِ تَكُوْنُ فِيْ الإِسْلاَمِ seperti yang ditunjukkan oleh
pernyataan Allah SWT :
الَّذِينَ
يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ
عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (النساء : 139)
Jadi kondisi ذِلَّةُ الأُمَّةِ
الإِسْلاَمِيَّةِ saat ini adalah akibat mereka tidak
lagi memberlakukan Islam da-lam wadah pelaksanaan Khilafah Islamiyah. Contoh
faktual akhir tahun 2008 hingga saat ini masih berlangsung adalah bagaimana
kesadisan dan kebrutalan tentara negara zionis Israel da-lam membantai umat
Islam di negeri Palestina. Andai itu terjadi saat Khilafah masih berdiri
te-gak, maka sangat mudah untuk menyelesaikannya yakni dengan memusnahkan kaum
kufar ter-sebut. Namun karena saat ini Khilafah telah sirna sejak 84 tahun yang
lalu, maka umat Islam tidak dapat meminta perlindungan dan pertolongan kepada
siapa pun atau pihak mana pun, ter-masuk kepada para pemimpin mereka : Mahmud
Abbas, Ismail Haniyah, Raja Abdullah, Mah-mud Ahmadinejad dan lainnya.
4. nampaknya
kejengkelan Tifatul Sembiring semakin memuncak saat dia menyaksikan sejumlah
orang yang mengaku diri beragama Islam dan berposisi sebagai pejabat (rendah,
tinggi, eksekutif, legislatif, yudikatif), lalu ditangkap Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) karena melakukan tin-dak korupsi dan yang sejenisnya. Ekspresi
kejengkelan itu ditunjukkan olehnya dengan mengucap : kita dapati
tokoh-tokoh muslim yang namanya seperti Nabi, seperti gelar Nabi, seperti nama
orang shaleh namun ditangkap KPK. Namun sangat disayangkan, penginderaan
Tifatul tersebut sama sekali tidak disertai dengan kemampuan berpikir yang
handal dan mendalam dan akibatnya adalah dia jadikan kadar komitmen moral
seseorang sebagai penyebab alias biang kerok dari tindakan ter-sebut : mereka
menjadi harapan umat, menyandang nama terpercaya, namun ternyata korupsi.
Se-berapa kuatkah komitmen moral kita? Moral Islam.
Lalu, benarkah anggapan atau
kesimpulan dia tersebut? Telah menjadi kelaziman umat Islam di In-donesia
mengalihbahasakan istilah اَلأَخْلاَقُ atau اَلْخُلُقُ dalam Islam dengan istilah moral atau budi pe-kerti.
Inilah pula yang dilakukan oleh Presiden PKS saat dia menyatakan : moral
Islam yakni akh-laq Islam dan lumrahnya kesimpulan tersebut
diargumentasi-paksakan dengan pernyataan Allah SWT dan Rasulullah saw juga
sebuah syair gubahan pujangga Mesir Ahmad Syauqi Bek :
وَإِنَّكَ لَعَلى
خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم : 4)
اِنَّ اللهَ
بَعَثَنِيْ لِتَمَامِ مَكَارِمِ الأَخْلاَقِ
اِنَّمَا بُعِثْتُ
ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
وَاِنَّمَا الأُمَمُ
الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ فَإِنْ هُمْ
ذَهَبَتْ اَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
Padahal, ayat ke-3 dari surat
Al-Qalam itu merupakan seruan Allah SWT kepada pribadi Rasul saw (شَخْصُ
الرَّسُوْلِ) yang
sekaligus mengungkapkan bahwa خُلُقٌ عَظِيمٌ adalah sifat yang telah melekat erat serta
menjadi bagian tak terpisahkan dari diri beliau saw dan bukan seruan yang
ditujukan kepada masyarakat (اَلْمُجْتَمَعُ). Adapun kedua hadits tersebut dan yang serupa dengan keduanya
adalah ber-kenaan dengan sifat-sifat individu muslim (صِفَاتُ
الْفَرْدِ) orang per orang
dan bukan masyarakat. Ke-mudian tentang syair, sangat jelas syair tersebut
adalah salah fatal sebab bertentangan dengan selu-ruh dalil yang membahas
mengenai masyarakat (اَلْمُجْتَمَعُ), antara lain pernyataan Rasulullah saw :
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ
وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ
بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي
أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ
فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ
فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ
أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا (رواه البخاري)
Hadits tersebut memastikan bahwa eksistensi masyarakat
itu (terjamin utuh atau musnah) ditentu-kan oleh :
a.
اَلأَنْظِمَةُ الَّتِيْ تُطَبِّقُهَا (peraturan yang diberlakukan di dalamnya)
dan ini ditunjukkan oleh bagian ha-dits : مَثَلُ الْقَائِمِ
عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا.
b.
اَلأَفْكَارُ الَّتِيْ تَحْمِلُهَا (pemikiran yang diemban oleh masyarakat)
dan ini ditunjukkan oleh bagian ha-dits : فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ
وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا
وَنَجَوْا جَمِيعًا.
c.
اَلْمَشَاعِرُ الَّتِيْ تَكُوْنُ فِيْهَا
حِيْنَ تُشْبِعُ حَاجَاتِهَا
(perasaan yang ada saat melakukan pemenuhan kebutuhan di dalamnya) dan ini
ditunjukkan oleh bagian hadits : فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي
نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا.
d.
اَلْعَلاَقَاتُ الدَّائِمِيَّةُ بَيْنَ
اَفْرَدِهَا (interaksi
permanen di antara mereka) dan ini ditunjukkan oleh bagian hadits :
كَمَثَلِ
قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ
أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ
مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ
e.
karena itu realitas masyarakat berdasarkan dalil
tersebut adalah :
مَجْمُوْعٌ
مِنْ اُنَاسٍ بَيْنَهُمْ عَلاَقَاتٌ دَائِمِيَّةٌ بِوِحْدَةِ الأَفْكَارِ
وَالمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ
Artinya, bila
seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menjalankan interaksi di antara mereka
dengan tetap mempertahankan satunya pemikiran, perasaan dan peraturan, maka
bangunan ma-syarakat tersebut pasti terjamin utuh (وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى
أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا). Sebaliknya bila tidak demikian (secara keseluruhan maupun
hanya sebagian kecil) maka dipastikan juga bangunan masyarakat tersebut akan
hancur : فَإِنْ
يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا. Inilah yang menjadi sebab mengapa masyarakat Islam (Khilafah)
pada awal abad ke-20 M mengalami kehancurannya yak-ni karena mereka (anggota
masyarakat) telah tidak lagi sepakat untuk menjalankan interaksi di antara
mereka dengan hanya menggunakan seluruh pemikiran Islami (اَلأَفْكَارُ
الإِسْلاَمِيَّةُ), perasaan
Islami (اَلْمَشَاعِرُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) dan
peraturan Islami (اَلأَنْظِمَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ). Lalu, bagaimana halnya dengan realitas
masyarakat tempat berinteraksinya umat Islam saat ini?
Adalah
kenyataan (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌ) bahwa seluruh masyarakat yang ada di negara mana pun saat ini
termasuk di NKRI adalah masyarakat yang menjalankan interaksi di antara mereka
bukan de-ngan pemikiran Islami, perasaan Islami maupun peraturan Islami,
melainkan dengan pemikiran kufur (demokrasi dan kapitalisme berbasis
sekularisme), perasaan berasas dorongan naluriah manusiawi semata (اَهْوَاءُ
النَّاسِ) dan peraturan
kufur (demokrasi dan kapitalisme berbasis sekula-risme). Oleh karena itu,
penyakit apa pun (perilaku menyimpang misalnya tindak korupsi) yang muncul
dalam masyarakat lalu mewabah di dalamnya, sepenuhnya adalah akibat pemikiran,
pe-rasaan dan peraturan kufur tersebut. Hal ini berarti moral (akhlaq) itu sama
sekali tidak berpe-ran dalam menentukan utuh atau hancurnya bangunan
masyarakat, jangankan dalam masyara-kat kufur saat ini (termasuk di NKRI)
sedangkan dalam masyarakat Islami sekali pun (Khila-fah) adalah tidak ada
hubungannya sama sekali.
Jadi,
keputusan Presiden PKS bahwa penyebab tindak menyimpang (korupsi dan
sebagainya) dalam masyarakat adalah komitmen moral mereka yang sangat rendah
dan lemah, tentu saja se-bentuk kesimpulan yang selain salah juga
absurd dan prematur karena tidak sesuai dengan da-lil dalam Islam
maupun realitas masyarakat itu sendiri. Hal ini tentu saja hanya menunjukkan
satu keadaan yakni dia sama sekali tidak berpikir saat akan merumuskan gagasannya
tersebut, sama saja dengan seekor keledai yang “memutuskan” bahwa tanah tidak
enak dimakan sedang-kan gandum enak dimakan. Allah SWT menyatakan :
أَفَلَمْ يَسِيرُوا
فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ
يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (الحج : 46)
5. bila
ditelaah mendalam antara bagian ucapan sang presiden : … menjalankan roda
pembangunan umat …, dengan bagian
lain : apalagi persiapan kepemimpinan nasional masa mendatang. Seka-rang
saja, bangsa besar ini seperti kebingungan mencari calon pemimpinnya, maka
sulit dihindari adanya kesimpulan bahwa dia menyamakan umat Islam
dengan bangsa Indonesia atau memba-giankan umat Islam dari bangsa
Indonesia. Pemikiran dia jelas sangat salah sebab bertentangan
dengan fakta umat Islam dan fakta bangsa Indonesia. Keadaan yang benar adalah
bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam merupakan bagian tak terpisahkan
dari seluruh umat Islam yang ada di dunia, paling tidak sejak ditinggal wafat
oleh Rasulullah saw hingga saat ini yang jumlahnya lebih dari satu miliar
orang. Hakikat inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT maupun
Rasu-lullah saw :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ (الحجرات : 13)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ
وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى
أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ
وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ قَالُوا بَلَّغَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ أَيُّ يَوْمٍ
هَذَا قَالُوا يَوْمٌ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا قَالُوا شَهْرٌ
حَرَامٌ قَالَ ثُمَّ قَالَ أَيُّ بَلَدٍ هَذَا قَالُوا بَلَدٌ حَرَامٌ قَالَ
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ بَيْنَكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ قَالَ وَلَا
أَدْرِي قَالَ أَوْ أَعْرَاضَكُمْ أَمْ لَا كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي
شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا أَبَلَّغْتُ قَالُوا بَلَّغَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ
الْغَائِبَ (رواه احمد)
6. saat
dia mengkaitkan antara ucapan sekarang saja, bangsa besar ini seperti
kebingungan mencari calon pemimpinnya dengan … padahal kita berdoa
“waj’alna lil muttaqina imaman”, menunjuk-kan bahwa menurut dia antara
realitas pemimpin NKRI (presiden) dengan realitas إِمَامًا yang ada da-lam lafadz do’a : رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (الفرقان : 74), adalah sama saja. Apakah anggapan dia dapat dibenarkan dalam
pandangan Islam?
Fakta pergumulan politik NKRI
memastikan bahwa DR. Tifatul Sembiring adalah orang pertama yang melontarkan
isyu tentang “sudah saatnya Indonesia dipimpin oleh pemimpin muda” dan
ge-lindingan bola panas ini sempat “membakar” perasaan para calon pemimpin atau
yang tengah me-mimpin atau yang pernah memimpin NKRI dari kalangan tua. Maksud
Tifatul tentu saja adalah sudah saatnya presiden NKRI itu dari kalangan muda
dan wajah baru, bukan dari generasi tua dan telah pernah menjadi presiden
sebelumnya. Artinya, maksud dari pernyataan dia : apalagi persiap-an
kepemimpinan nasional masa mendatang. Sekarang saja, bangsa besar ini seperti
kebingungan mencari calon pemimpinnya, tentu saja adalah calon presiden
bagi NKRI. Justru di sinilah persoa-lannya yakni betapa beraninya dia
menyamakan dan mensejajarkan realitas presiden dalam sistem demokrasi
presidentil dengan realitas اَلإِمَامُ dalam sistem pemerintahan Islam, atau saat dia berdo’a kepada
Allah SWT dengan lafadz وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, maka yang dia maksudkan dengan إِمَامًا itu ada-lah presiden. Sekali lagi, inilah
keberanian penuh dengan kesembronoan yang baru satu kali saja pernah dilakukan
dalam perjalanan sejarah Dunia Islam yakni oleh pemberontak terkutuk Muawi-yah
yang menyimpulkan secara hermeneutis bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib
sangat tidak layak serta harus digulingkan dari kedudukannya.
Realitas presiden (the president
alias رَئِيْسُ
الدَّوْلَةِ الْجُمْهُوْرِيَّةِ)
dalam sistem pemerintahan demokrasi tidak diragukan lagi adalah sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan bila sistemnya de-mokrasi presidentil
(misal di AS dan NKRI) atau hanya sebagai kepala negara bila sistemnya
de-mokrasi parlementer dengan kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri
(prime minister alias رَئِيْسُ الْوُزَرَاءِ) seperti di India, Singapura, Perancis.
Namun apa pun bentuk sistem demokrasinya yang pasti realitas presiden adalah
hanya ada dalam sistem pemerintahan kufur tersebut dan sama sekali bukan bagian
dari Islam bahkan tidak ada hubungan apa pun dengan sistem pemerintahan dalam
Islam (Khilafah). Tegasnya, presiden di sini tidak boleh dipahamkan realitasnya
sebagai ha-nya pimpinan sesuatu lembaga (misal Presiden
Direktur/Presdir maupun Presiden Komisaris/ Preskom atau Presiden PKS),
melainkan harus dikembalikan kepada realitas orisinalnya yakni kepala negara
dan atau kepala pemerintahan dalam sistem demokrasi.
Lafadz اَلإِمَامُ secara bahasa bermakna sama dengan اَلرَّئِيْسُ atau اَلأَمِيْرُ yang dalam bahasa Indonesia se-padan
dengan kepala atau pemimpin/pimpinan atau dalam bahasa Inggris
sepadan dengan the chief atau the leader. Namun demikian, istilah
اَلإِمَامُ dalam Islam tidak hanya sekedar istilah
dalam Baha-sa Arab tetapi اِصْطِلاَحٌ اِسْلاَمِيٌّ yang memiliki realitas khas dan tidak
terdapat padanannya di luar Islam. Realitas istilah اَلإِمَامُ ditentukan dan ditunjukkan oleh
dalil-dalil Islam itu sendiri sehingga haram ditempelkan atau
dilekatkan kepadanya realitas lain yang bukan berasal dari dalil syara.
Pu-luhan bahkan mungkin ratusan jumlah dalil tersebut dan di antaranya adalah
pernyataan Allah SWT serta Rasulullah saw berikut :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ
بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ
وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (البقرة :124)
وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إِمَامًا
وَرَحْمَةً وَهَذَا كِتَابٌ مُصَدِّقٌ لِسَانًا عَرَبِيًّا لِيُنْذِرَ الَّذِينَ
ظَلَمُوا وَبُشْرَى لِلْمُحْسِنِينَ (الأحقاف : 12)
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ
وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ
فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ
حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه البخاري)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ
قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا وَبَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ قَبْلَ أَنْ
تُشْغَلُوا وَصِلُوا الَّذِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ بِكَثْرَةِ ذِكْرِكُمْ
لَهُ وَكَثْرَةِ الصَّدَقَةِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ تُرْزَقُوا
وَتُنْصَرُوا وَتُجْبَرُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْكُمْ
الْجُمُعَةَ فِي مَقَامِي هَذَا فِي يَوْمِي هَذَا فِي شَهْرِي هَذَا مِنْ عَامِي
هَذَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ تَرَكَهَا فِي حَيَاتِي أَوْ بَعْدِي
وَلَهُ إِمَامٌ عَادِلٌ أَوْ جَائِرٌ اسْتِخْفَافًا بِهَا أَوْ جُحُودًا لَهَا
فَلَا جَمَعَ اللَّهُ لَهُ شَمْلَهُ وَلَا بَارَكَ لَهُ فِي أَمْرِهِ أَلَا وَلَا
صَلَاةَ لَهُ وَلَا زَكَاةَ لَهُ وَلَا حَجَّ لَهُ وَلَا صَوْمَ لَهُ وَلَا بِرَّ
لَهُ حَتَّى يَتُوبَ فَمَنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَلَا لَا تَؤُمَّنَّ
امْرَأَةٌ رَجُلًا وَلَا يَؤُمَّ أَعْرَابِيٌّ مُهَاجِرًا وَلَا يَؤُمَّ فَاجِرٌ
مُؤْمِنًا إِلَّا أَنْ يَقْهَرَهُ بِسُلْطَانٍ يَخَافُ سَيْفَهُ وَسَوْطَهُ (رواه
ابن ماجه)
إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَإِنَّ
أَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَشَدَّهُ عَذَابًا
إِمَامٌ جَائِرٌ (رواه احمد)
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً (رواه احمد)
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ
دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
(رواه احمد)
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ
مَاءٍ بِالطَّرِيقِ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا
لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَاهُ إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ
وَإِلَّا لَمْ يَفِ لَهُ وَرَجُلٌ يُبَايِعُ رَجُلًا بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ
فَحَلَفَ بِاللَّهِ لَقَدْ أُعْطِيَ بِهَا كَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ فَأَخَذَهَا
وَلَمْ يُعْطَ بِهَا (رواه البخاري)
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ
يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ
يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ (رواه مسلم)
ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ
فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا (رواه احمد)
ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ
أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ (رواه
الترمذي)
الْغَزْوُ غَزْوَانِ فَأَمَّا مَنْ ابْتَغَى
وَجْهَ اللَّهِ وَأَطَاعَ الْإِمَامَ وَأَنْفَقَ الْكَرِيمَةَ وَيَاسَرَ
الشَّرِيكَ وَاجْتَنَبَ الْفَسَادَ كَانَ نَوْمُهُ وَنُبْهُهُ أَجْرًا كُلُّهُ
وَأَمَّا مَنْ غَزَا رِيَاءً وَسُمْعَةً وَعَصَى الْإِمَامَ وَأَفْسَدَ فِي
الْأَرْضِ فَإِنَّهُ لَا يَرْجِعُ بِالْكَفَافِ (النسائي)
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ
عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ الْإِمَامَ فَقَدْ أَطَاعَنِي
وَمَنْ عَصَى الْإِمَامَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه ابن ماجه)
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ
عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ
يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ
وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ
بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ (رواه البخاري)
الْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ (رواه احمد)
مَا مِنْ أَمِيرٍ
يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ
يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ (رواه مسلم)
الْجِهَادُ وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ
أَمِيرٍ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَالصَّلَاةُ وَاجِبَةٌ عَلَيْكُمْ خَلْفَ
كُلِّ مُسْلِمٍ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَإِنْ عَمِلَ الْكَبَائِرَ
وَالصَّلَاةُ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَإِنْ
عَمِلَ الْكَبَائِرَ (رواه ابو داود)
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ
سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ (رواه ابو داود)
صَلُّوا عَلَى كُلِّ مَيِّتٍ وَجَاهِدُوا مَعَ
كُلِّ أَمِيرٍ (رواه ابن ماجه)
مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَنَامَ نَوْمًا
وَلَا يُصْبِحَ صَبَاحًا وَلَا يُمْسِيَ مَسَاءً إِلَّا وَعَلَيْهِ أَمِيرٌ (رواه
احمد)
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ
فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ
إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه البخاري)
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ
فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ (رواه
احمد)
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ
الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ
عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ
وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا
تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)
Keseluruhan dalil tersebut juga yang
lainnya telah memberikan kepastian realitas bagi اَلإِمَامُ atau اَلأَمِيْرُ atau اَلسُّلْطَانُ atau اَلْخَلِيْفَةُ yakni :
رَئِيْسُ
الدَّوْلَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ وَهِيَ الَّتِيْ الْخِلاَفَةُ وَتَكُوْنُ
الْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةً عَامَّةً لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِيْ الدُّنْيَا
ِلإِقَامَةِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ
الإِسْلاَمِيَّةِ اِلَى الْعَالَمِ وَهِيَ عَيْنُهَا الإِمَامَةُ
“kepala Daulah Islamiyah yakni Khilafah dan Khilafah itu adalah
kepemimpinan bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum
syara Islami serta mengemban dakwah Is-lamiyah ke seluruh dunia dan jatidiri
Khilafah itu tiada lain adalah Imamah”.
Oleh karena itu, betapa bodohnya
DR.Tifatul Sembiring karena telah menyamakan realitas presiden dalam sistem
demokrasi dengan اَلإِمَامُ atau اَلأَمِيْرُ atau اَلسُّلْطَانُ atau اَلْخَلِيْفَةُ dalam sistem Khilafah. Seha-rusnya dia
minimal mengingat pernyataan Allah SWT dan Rasulullah saw berikut :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولًا (الإسراء : 36)
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (رواه البخاري)
7. ucapan
: kita mohon pada Allah SWT agar menjadikan anak-anak kita sebagai pemimpin
orang-orang bertaqwa, adalah ekspresi nyata dari pemikiran ala Jabariyah
yang menganggap secara her-meneutis bahwa segala perbuatan atau tindakan
atau sepak terjang atau sikap yang telah, tengah dan akan dilakukan oleh
manusia seluruhnya diciptakan oleh Allah SWT lalu dikendalikan secara paksa
atas manusia. Konsep ini persis dengan anggapan konyol orang Jawa : manusia
itu ibarat wayang yang seluruhnya tergantung kepada dalang.
Padahal, jika anggapan hermeneutis
Jabariyah (yang diadopsi utuh oleh DR. Tifatul Sembiring) memang benar, maka
mereka (termasuk Presiden PKS) harus dapat memberikan penjelasan atau ja-waban
yang benar terhadap momen kisah dalam Al-Quran sebagai berikut :
فَوَسْوَسَ لَهُمَا
الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ
مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا
مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا
لَمِنَ النَّاصِحِينَ فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ
لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ
وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ
لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف : 20-22)
yakni : jika
memang apa pun yang dilakukan Adam dan istrinya adalah diciptakan lalu
dikendali-kan secara paksa oleh Allah kepada mereka berdua, maka mengapa
Allah membiarkan mereka berdua mengikuti tipu daya syethan dan lalu mengapa
Allah baru menghampiri mereka berdua lalu memberikan peringatan keras, setelah
keduanya terlanjur berbuat maksiat yakni melanggar larangan Allah sendiri?
Di sinilah seluruh konsep aqidah Jabariyah
(juga Asy-‘Ariyah alias Ahlu Sunnah) mustahil dapat memberikan
jawaban atau penjelasan yang benar terhadap kedua pertanyaan tersebut, sebab
konsep mereka seluruhnya adalah salah secara faktanya (دَلِيْلٌ
عَقْلِيٌ) dan menyimpang
dari metode Al-Quran dalam berpikir (دَلِيْلٌ نَقْلِيٌ). Lebih dari itu, sikap taqwa adalah
perkara yang diwajibkan oleh Islam yakni perbuatan yang wajib dilakukan oleh
seluruh umat Islam dan bukan perkara yang harus dise-rahkan
kepada Allah tentang wujud atau tidaknya dalam diri manusia. Hal
itu ditunjukkan oleh sangat banyak dalil dalam Al-Quran maupun As-Sunnah dan
antara lain adalah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُونَ (آل عمران : 102)
فَاتَّقُوا اللَّهَ
مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (التغابن : 16)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ
أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا
أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ (رواه الترمذي)
Jadi, mengapa perkara yang telah
Allah wajibkan kepada umat Islam, yakni taqwa lalu mereka (ter-utama DR.
Tifatul Sembiring) dengan penuh percaya diri dan keberanian mengembalikannya
ke-pada Allah SWT dengan ucapan : kita mohon pada Allah SWT agar
menjadikan anak-anak kita se-bagai pemimpin orang-orang bertaqwa. Apalagi,
berkenaan dengan anak-anak, Islam telah mene-tapkan bahwa jatidiri mereka saat
telah عَاقِلِيْنَ
بَالِغِيْنَ adalah
ditentukan sepenuhnya oleh kedua orang tua mereka. Rasulullah saw menyatakan :
كُلُّ مَوْلُودٍ
يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا
جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
Lalu, bukankah barisan Khulafa
Rasyidun yang terwujud dalam realitas kehidupan dunia saat itu adalah akibat
dari adanya pembinaan terus menerus dari Rasulullah saw, baik sepanjang beliau
ma-sih
di Makkah (rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam) maupun setelah beliau menjadi
Kepala Nega-ra
Daulah Islamiyah pertama di Madinah, yakni dengan memberikan contoh riil
penyelenggaraan kehidupan Islami kepada mereka. Seluruhnya menjelmakan mereka
sebagai manusia handal, cer-das, taqwa bahkan istimewa karena sikap dan keputusan
mereka (سُنَّتُهُمْ) diposisikan sama dengan Sunnah Rasul
sendiri (sebagai dalil syara’). Rasulullah saw menyatakan :
قَدْ تَرَكْتُكُمْ
عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا
هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا
انْقِيدَ انْقَادَ (رواه احمد)
Khatimah
Adalah ucapan سُبْحَانَ اللهِ
عُلُوًّا كَبِيْرًا yang
paling tepat untuk terlontar sadar dari lisan saat mendapati dan meneliti
seluruh gagasan kisruh nan amburadul dari Presiden PKS DR. Tifatul Sembiring.
Adalah telah saatnya bagi seluruh jajaran teras PKS hingga konstituen akar
rumput untuk memahami dan me-nyadari realitas kehidupan umat Islam di dunia
saat, yakni : (a) mana realitas Islam atau yang berasas Islam dan (b) mna realitas kufur atau yang berbasis
kekufuran. Hal itu karena jika mereka tidak memi-liki pemahaman dan kesadaran
yang jernih terhadap kedua realitas kontradiktif diametral dalam kehi-dupan
dunia tersebut, maka dapat dipastikan akan semakin banyak
bermunculan ke permukaan manu-sia-manusia yang simetris tipikal dengan sang
Presiden PKS tersebut.
Adalah tidak ada pilihan lain bagi kaum muslim saat
ini untuk menyadari bahwa kehidupan mere-ka sama sekali bukan realitas Islami,
melainkan sepenuhnya kehidupan berbasis kekufuran dan itu di-buktikan dengan
adanya pemberlakuan demokrasi maupun kapitalisme secara paksa dalam kehidupan
mereka tersebut. Akibatnya, mereka dari waktu ke waktu semakin terjauhkan dari
Islam dan kehidupan Islami dalam wadah Khilafah yang pernah mewadahi kehidupan
umat manusia selama lebih dari 1300 tahun.
أَلَمْ يَأْنِ
لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ
مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
(الحديد : 16)
No comments:
Post a Comment