Sunday, August 26, 2012

BERSATU DALAM KEKUFURAN : HALALKAH ?


Realitas pemikiran sang Presiden PKS
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DR. Tifatul Sembiring dalam tulisannya berjudul “Bi-sakah Umat Bersatu?” menumpahkan kegundahannya sehubungan dengan kenyataan umat Islam yang hingga saat ini masih tetap belum beranjak dari status quo mereka. Dia menyatakan :
1.       masih banyak permasalahan umat yang belum tuntas kita upayakan solusinya, termasuk masalah persatuan umat dan pemunculan sosok pemimpin yang berkualitas.
2.       perpecahan selalu membawa malapetaka dan kerusakan besar di tengah umat. Perpecahan dan perselisihan di perang Uhud misalnya, mengakibatkan gagalnya kemenangan yang semula sudah diraih.
3.       sesungguhnya modal kita untuk bersatu sangat sederhana. Ialah ketika kita sepakat untuk mengu-capkan “Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadurrasulullah”. Bagi kami, keti-ka seseorang menyatakan komitmennya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, cukuplah itu.
4.       hal terberat yang sedang dihadapi umat kini adalah kemiskinan, yang nyaris mendekatkan mereka kepada kekufuran. Kelemahan ekonomi umat adalah penyebabnya. Hingga saat ini kemampuan umat untuk berekonomi belumlah memadai. Bagai menjadi budak di negeri sendiri. Baik dari sisi akses terhadap sumber daya maupun skill-nya. Ekonomi masih dikuasai sistem konvensional riba-wi. Lalu datanglah krisis ekonomi, masalah semakin berat. Akibatnya langsung dapat dilihat. Untuk menyelamatkan keluarga, para gadis dan ibu-ibu berangkat menjadi TKW di luar negeri. Di mana izzah umat, martabat bangsa?
5.       masalah moral juga menorehkan catatan menyedihkan. Kita dapati tokoh-tokoh muslim yang nama-nya seperti Nabi, seperti gelar Nabi, seperti nama orang shaleh namun ditangkap KPK. Mereka menjadi harapan umat, menyandang nama terpercaya, namun ternyata korupsi. Seberapa kuatkah komitmen moral kita? Moral Islam.
6.       agenda berikutnya adalah pendidikan. Soal penyiapan sumber daya manusia (SDM) unggul, yang dapat diandalkan menjalankan roda pembangunan umat. Apalagi persiapan kepemimpinan nasional masa mendatang. Sekarang saja, bangsa besar ini seperti kebingungan mencari calon pemimpinnya. Kita masih bertanya satu sama lain, padahal kita berdoa “waj’alna lil muttaqina imaman”. Kita mo-hon pada Allah SWT agar menjadikan anak-anak kita sebagai pemimpin orang-orang bertaqwa.
7.       dalam kontek umat Islam Indonesia setiap orang tentu merujuk kepada NU dan Muhammadiyyah  dengan segenap elitenya. Pertanyaannya adalah, bisakah kita menurunkan tensi jurang pemisah. Sa-ling adzillatin, menjalin tali asih. Saling merendah dan bukannya saling gengsi. Bisakah kita sesa-ma ummat berhenti saling mencurigai (su’uzhan), saling mengintai (wa laa tajassasu), saling mem-belakangi dan saling menggunjing (ghibah). Kita membutuhkan persatuan dalam kesejukan ikatan kasih sayang persaudaraan. Bila bersatu, maka kita akan kuat dan insya Allah sanggup untuk meng-hadapi kekuatan kebathilan apapun bentuknya.
8.       sangat mungkin dan sangat layak umat ini bersatu. Tokoh-tokoh harapan umat sama-sama mendu-duki posisi strategis. Dengan seringnya tokoh-tokoh yang dicintai ummat ini bersilaturahim, syak wasangka akan terhapus, keakraban akan kian kokoh dan berbagai pemikiran untuk kemajuan um-mat dan bangsa akan mengalir deras. Terbayang betapa bahagia dan sejuknya hati umat menyaksi-kan para pemimpinnya kokoh bersatu.
9.       kami bergerak di ranah politik, sama dengan saudara-saudara kami parpol Islam lainnya. Membe-nahi eksekutif dan legislatif, mengadvokasi umat di ranah pembuatan kebijakan publik. Bila perju-angan di ranah politik ini mendapat dukungan dari saudara-saudara kami yang lain, khususnya or-mas-ormas, tentu kita akan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Demikianlah harapan kita, umat ini menjadi kuat, karena kita saling merunduk, saling merangkul, bagai satu tubuh. Sehingga kita (umat) ini bisa dan harus bersatu untuk maju.
Itulah sembilan gagasan/pemikiran pokok dan utama dari curahan gambaran kegelisahan sang presiden saat dia mengindera realitas mutakhir umat Islam, khususnya di negeri Indonesia. Dia meng-klaim atau paling tidak menganggap seluruh gagasannya tersebut adalah sebuah “resep obat” yang te-pat (mungkin juga dianggap ampuh) untuk mengobati penyakit yang tengah diderita umat Islam. Hal ini nampak sekali demikian saat dia menyatakan : setiap tahun kita memperingati tahun baru Islam ini, namun sudahkah secara substansial ada pencerahan di tubuh umat dengan berlalunya tahun baru de-mi tahun baru?  Sudahkah semangat energizing berhasil kita serap dari momentum yang menjadi titik balik kemenangan tadi? Atau pernyataan : soal fiqh, furu’, cabang-cabang, pendapat, mari kita bicara-kan, mari kita diskusikan, mari kita perdalam. Niatnya sama-sama mau masuk surga, kenapa harus cek-cok?
Lalu, karena semua gagasan sang presiden PKS tersebut diatasnamakan Islam dan diperuntukkan bagi umat Islam, maka tentu saja harus diteliti dan dipahami apakah semuanya itu benar (صَحِيْحٌ) baik menurut faktanya (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌ) maupun menurut Islam sendiri (دَلِيْلٌ نَقْلِيٌ). Rincian pembahasan terhadap setiap gagasan DR. Tifatul Sembiring adalah sebagai berikut :
1.       menjadikan ucapan : اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, sebagai modal sangat sederhana un-tuk agar umat Islam bersatu memang benar dan sesuai dengan seluruh pemikiran yang terkandung dalam atau ditunjukkan oleh ucapan syahadah itu sendiri. Hal itu karena makna لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ adalah :
a.       لاَ خَالِقَ اِلاَّ اللهُ yakni ungkapan syahadah bahwa hanya Allah SWT yang menciptakan (خَلَقَ مِنْ عَدَمٍ) dan realitas ini dapat dibuktikan dengan sempurna oleh دَلِيْلٌ عَقْلِيٌ tanpa harus merujuk kepada دَلِيْلٌ نَقْلِيٌ sekalipun. Namun demikian ternyata sumber Islam (Al-Quran) pun menunjukkan bah-wa sejak dulu (Nabi Ibrahim as) upaya manusia (termasuk Nabi Ibrahim sendiri) untuk meraih اِيْمَانُهُمْ بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى كَخَالِقِ الْكَوْنِ وَالإِنْسَانِ وَالْحَيَاةِ adalah dengan menggunakan pembuktian aqliyah yakni dengan mengindera seluruh makhluk Allah SWT. Inilah yang ditunjukkan oleh Al-Quran dalam ayat :
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَاقَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (الأنعام : 75-78)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (البقرة : 164)
b.       لاَ مَعْبُوْدَ اِلاَّ اللهُ yakni ungkapan syahadah dalam diri manusia bahwa hanya Allah SWT yang wajib ditaati (اَلْعِبَادَةُ اَوِ الطَّاعَةُ). Hal itu karena aqal manusia pun menuntut mereka supaya setelah mere-ka sampai kepada keputusan لاَ خَالِقَ اِلاَّ اللهُ, maka selanjutnya mereka harus taat kepada اَلْخَالِقُ ter-sebut. Keputusan aqal itu ternyata sangat sesuai dengan informasi wahyu dalam Al-Quran mau-pun As-Sunnah :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْيَمَنِ قَالَ إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ (رواه البخاري)
c.       لاَ مُشَرِّعَ اِلاَّ اللهُ yakni ungkapan syahadah dalam diri manusia bahwa hanya Allah SWT yang me-miliki otoritas untuk menetapkan peraturan (اَلتَّشْرِيْعُ) bagi kehidupan manusia di dunia. Syaha-dah ini merupakan ekspresi keputusan aqal (حُكْمُ الْعَقْلِ) bahwa karena manusia telah yakin hanya Allah yang wajib ditaati, maka aqal mengharuskan hanya Allah juga yang memiliki wewenang untuk menetapkan aturan yang akan digunakan oleh manusia untuk merealisir ketaatan tersebut. Keputusan aqal ini ternyata sesuai dengan petunjuk Al-Quran sendiri :
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (يوسف : 40)
وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (القصص : 70)
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا ءَاخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (القصص : 88)
Oleh karena itu, siapa pun yang telah mengikrarkan (اَلإِقْرَارُ اَوِ الْقَوْلُ) ucapan syahadah tersebut sete-lah terlebih dahulu diawali oleh proses berpikir untuk membutikannya maka dapat dipastikan akan secara otomatis siap untuk taat (اَلسَّاكِنُوْنَ إِلَى الطَّاعَةِ اَوِ الْخَاضِعُوْنَ لِلطَّاعَةِ) kepada Allah SWT dan Rasulul-lah saw. Hal itu karena yang bersangkutan sangat menyadari (مُدْرِكًا تَامًّا) pernyataan Rasul saw :
الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه)
Sekali lagi, setiap orang yang اِيْمَانُهُمْ بِاللهِ عَنْ عَقْلٍ وَبَيِّنَةٍ pasti akan siap taat kepada Allah SWT dan Ra-sul saw, sesuai dengan perintah Allah sendiri :
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (النور : 51)
Persoalannya adalah apakah umat Islam yang ada saat ini (lebih dari 190 juta orang di Indonesia atau lebih dari satu miliar orang di dunia) realitas اِيْمَانُهُمْ بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى memenuhi kualifikasi yang dituntut oleh aqal mereka maupun Islam sendiri? Jawabannya adalah pasti sama sekali tidak dan itu ditunjukkan oleh dua hal :
a.       kondisi faktual turun temurun yang dijalani oleh umat Islam saat ini minimal sejak memasuki abad ke-20 (lebih dari satu abad) yakni transfer kualifikasi اِيْمَانُهُمْ بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى yang bukan dica-pai melalui عَنْ عَقْلٍ وَبَيِّنَةٍ. Hal itu karena generasi orang tua mereka masing-masing (وَاقِعُ اَبَوَيْهِمْ) adalah realitas umat Islam yang juga raihan اِيْمَانُهُمْ بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى bukan عَنْ عَقْلٍ وَبَيِّنَةٍ. Padahal apa pun yang akan menjelma pada diri anak-anak adalah kedua orang tua mereka yang memastikan-nya :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
b.      realitas empiris kehidupan umat Islam di seluruh dunia pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah yakni mereka hidup dalam sekat-sekat negara kebangsaan/the nation states (اَلدَّوْلَةُ الْقَوْمِيَّةُ) yang jumlahnya lebih dari 50-an negara. Seluruh negara tersebut sama persis dengan negara-negara di Dunia Barat yakni memberlakukan demokrasi sebagai sistema pemerintahannya (نِظَامُ حُكْمِهَا) dan kapitalisme sebagai sistema perekonomiannya (نِظَامُ اِقْتِصَادِهَا). Itulah realitas negara Indone-sia, Malaysia, Singapura, Kerajaan Saudi Arabia, Yordania, Yaman, Oman, Qatar, Mesir, Iraq, Iran, Kuwait, seperti halnya Israel, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Australia, Jepang, Korea Selatan, China dan seterusnya. Pemberlakuan kedua sistema berbasis sekularisme di negara-negara Dunia Islam itu jugalah yang memastikan umat Islam di seluruh dunia tidak boleh, tidak bisa dan tidak mungkin bersatu (secara alami) atau dipersatukan (disengaja), sebab fakta nega-ra kebangsaan mengharamkan hal tersebut.
Jadi, ikrar اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ sama sekali tidak lagi dapat dijadikan modal (sederhana maupun tidak) bagi bersatunya umat Islam di dunia (termasuk di Indonesia), terlebih realitas kualifikasi اِيْمَانُهُمْ بِوُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى tersebut justru memastikan bahwa mereka sama sekali tidak mungkin memiliki komitmen apa pun untuk siap taat kepada Allah SWT dan Rasulullah saw. Wal hasil, gagasan sang Presiden PKS hanya bualan gombal belaka dan akan semakin bull sheet alias omong kosong tanpa makna hakikat yang dapat ditemukan kenyataannya, saat mengindera fakta konseptual maupun empiris dari PKS itu sendiri dalam arena kehidupan NKRI, seperti yang dite-gaskan oleh dirinya saat berucap : kami bergerak di ranah politik, sama dengan saudara-saudara kami parpol Islam lainnya. Membenahi eksekutif dan legislatif, mengadvokasi umat di ranah pem-buatan kebijakan publik. Ini memastikan bahwa jatidiri (اَلْحَقِيْقَةُ) dari PKS adalah identik alias sama persis dengan PDIP, PDS, Golkar, PKB, PAN, walau tidak pernah diakui mereka. Hal itu karena seluruh partai nasionalis tersebut juga memiliki komitmen yang sama dengan PKS yakni : membe-nahi eksekutif dan legislatif, mengadvokasi umat di ranah pembuatan kebijakan publik. Semuanya sepakat bahwa berbagai penyimpangan, kelemahan, kekeliruan, ketidaksempurnaan pemberlakuan demokrasi di Indonesia (bahkan di dunia) wajib dibenahi supaya dapat sepenuhnya menjadi arena bagi para politisi (agamis maupun nasionalis) dalam mengaktualisasikan upaya mereka demi kese-jahteraan rakyat. Itulah paling tidak yang ada dalam anggapan semuanya (زَعْمُهُمْ), termasuk DR. Ti-fatul Sembiring berikut rangkaian gerbong PKS-nya. Karena mayoritas anggota DPR RI (lebih dari 90 persen) terlepas dari “warna partainya : nasionalis atau agamis”, adalah manusia-manusia yang dengan penuh percaya diri menyatakan diri sebagai beragama Islam, maka itu artinya perbuatan mereka nyata-nyata telah berada dalam peta kategori yang dibidik oleh pernyataan Allah SWT :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (النساء : 60)
2.       perpecahan (اَلتَّفَرُّقُ) menurut realitasnya adalah status kehidupan manusia pada masa sebelum Islam datang kepada mereka :
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (آل عمران : 103)
Kondisi perpecahan manusia itu diciri-utamakan oleh permusuhan di antara mereka (إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً) sehingga yang terjadi adalah konspirasi untuk saling menghancurkan dan membinasakan dan mus-tahil terwujudnya realitas persaudaraan hakiki (إِخْوَانًا). Apa yang menjadi sebab kehidupan manusia seperti demikian? Penyebabnya adalah karena kehidupan manusia saat itu diselenggarakan dengan asas peraturan kufur berbasis kepentingan naluriah manusia sendiri (حُكْمُ الْجَاهِلِيَّةِ) dan realitas ini di-tunjukkan oleh bagian awal ayat : وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا. Bagian ayat tersebut mewajibkan manusia (yang hidup saat ayat diturunkan) untuk اَلإِعْتِصَامُ بِدِيْنِ اللهِ (berpegang teguh kepada Islam) dan ini ber-arti (dengan metode مَفْهُوْمُ الْمُوَافَقَةِ) saat itu (حِيْنَئِذٍ اَيْ مُنْذُ ذَلِكَ الْوَقْتِ) sistema atau peraturan yang tengah mereka berlakukan secara riil dalam kehidupan adalah bukan حَبْلُ اللهِ اَيْ حُكْمُ اللهِ اَيْ دِيْنُ اللهِ melainkan حُكْمُ الْجَاهِلِيَّةِ اَيْ حُكْمٌ عَلَى اَسَاسِ اَهْوَاءِ النَّاسِ. Inilah penyebab alias “biang keladi” terwujudnya kehidupan manusia yang berada dalam perpecahan yang digambarkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman sebagai :
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ (رواه البخاري)
Oleh karena itu, kehidupan manusia dalam kondisi perpecahan akibat diberlakukannya sistema ku-fur tersebut selain diharamkan oleh Islam melainkan juga merupakan objek atau realitas yang di-bidik untuk dirubah oleh datangnya Islam ke dunia. Jadi, hanya Islam (secara konseptual maupun empirik) yang dapat mewujudkan secara hakiki kehidupan yang terbebas dari perpecahan tersebut. Lalu, bagaimana halnya dengan realitas kehidupan umat Islam saat ini yang telah berlangsung mi-nimal sejak tanggal 3 Maret 1924 M?
Realitas umat Islam saat ini yang telah berlangsung lebih dari 84 tahun adalah keadaan sebaliknya dari saat Islam datang ke dunia, yakni saat itu Islam merubah kondisi kehidupan manusia تَفَرُّقًا men-jadi bersatu dalam persaudaraan : فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا. Sedangkan pada peristiwa tang-gal 3 Maret 1924 (dihentikannya pemberlakuan Islam dan digantikan oleh sekularisme) yang terjadi adalah perubahan terbalik dari saat awal Islam yakni bergantinya kehidupan manusia yang bersatu dalam persaudaraan menjadi kehidupan yang تَفَرُّقًا. Hal itu karena (sekali lagi) Islam yang merupa-kan sistema satu-satunya yang dapat mewujudkan kehidupan manusia bersatu dalam persaudaraan telah dihentikan pemberlakuannya dan digantikan dengan sekularisme yang adalah حُكْمُ الْجَاهِلِيَّةِ. Ke-adaan tersebut juga melanda umat Islam di negeri Indonesia yang berdiri di dalamnya NKRI, sebu-ah negara berbasis kekufuran : demokrasi dalam pemerintahan dan kapitalisme dalam perekonomi-annya.
Jadi, persatuan umat Islam yang dimaksudkan oleh Islam berbeda diametral dengan yang ada dalam benak sang Presiden PKS saat menyatakan : sangat mungkin dan sangat layak umat ini bersatu. Tokoh-tokoh harapan umat sama-sama menduduki posisi strategis. Dengan seringnya tokoh-tokoh yang dicintai ummat ini bersilaturahim, syak wasangka akan terhapus, keakraban akan kian kokoh dan berbagai pemikiran untuk kemajuan ummat dan bangsa akan mengalir deras. Terbayang beta-pa bahagia dan sejuknya hati umat menyaksikan para pemimpinnya kokoh bersatu. Islam mewajib-kan kaum muslim untuk memberlakukan Islam secara utuh (ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً) dalam realitas kehi-dupan manusia yang diwadahi oleh Khilafah Islamiyah dan bila kewajiban ini dilaksanakan dengan sempurna oleh mereka maka secara pasti bahkan otomatis kehidupan mereka akan bersatu dalam persaudaraan dan terlepas bebas dari kehidupan تَفَرُّقًا. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Sementara itu, Tifatul Sembiring menggagas bersatunya umat Islam dalam wadah negara kufur ber-basis demokrasi : NKRI dengan cara memberikan dorongan yang kuat kepada para pemimpin mau-pun tokoh masing-masing firqah yang ada (ormas, parpol, jamaah, LSM bermerek Islam, harakah) untuk terus menerus melakukan sambung komunikasi di antara mereka (diistilahkan secara sangat salah oleh dia dengan bersilaturahim). Tentu saja selain gagasan ini tidak mungkin untuk dapat di-realisir dalam kenyataan, melainkan juga perkara yang diharamkan oleh Islam serta secara sengaja dan terencana ikut serta memperkokoh pemberlakuan kekufuran dalam kehidupan umat Islam bah-kan seluruh manusia. Akibatnya adalah mustahil umat Islam yang bersatu dengan cara demikian (secara semu, bukan hakiki) akan mampu dan sanggup menghadapi kekufuran (diistilahkan secara halus dengan kebathilan) yang paling ringan sekali pun, sebab bagaimana mungkin segerombolan umat Islam yang bersatu dengan asas kekufuruan dan itu terusung kokoh di pundak mereka, akan bisa berhadap-hadapan dengan kekufuran yang ternyata merupakan jatidiri mereka sendiri apalagi untuk menghancurkannya? Sekali lagi, itu adalah sangat mustahil sebab sama saja dengan melaku-kan self destruction alias penghancuran diri yang akan sangat dihindari oleh manusia mana pun, apalagi bila itu telah menjadi bagian hidup mereka yang tidak boleh dipisahkan kecuali oleh kema-tian (قَنَاعَتُهُمْ). Wal hasil, klaim sang presiden : bila bersatu, maka kita akan kuat dan insya Allah sanggup untuk menghadapi kekuatan kebathilan apapun bentuknya, adalah sebentuk imaginative thought alias اَلْفَكْرُ الْخَيَالِيُ, sebab telah disangkal oleh faktanya sendiri yakni sama sekali tidak akan pernah bertemu dengan kenyataannya.
3.       kesimpulan bahwa : hal terberat yang sedang dihadapi umat kini adalah kemiskinan, yang nyaris mendekatkan mereka kepada kekufuran, adalah sebuah kesimpulan yang sangat keliru dan itu sa-ngat nampak dalam beberapa aspek :
a.       pernyataan … nyaris mendekatkan mereka kepada kekufuran, adalah ungkapan yang menun-jukkan bahwa Presiden PKS sama sekali tidak menyadari realitas pola kehidupan umat Islam saat ini yang juga dia adalah bagian tak terpisahkan ada di dalamnya. Apakah pola kehidupan umat Islam yang tengah berlangsung (طِرَازُ عَيْشِ الأُمَّةِ الإِسْلاَمِيَّةِ الْجَارِيَةِ) di Indonesia atau di mana saja di seluruh dunia adalah pola kehidupan Islami ataukah pola kehidupan berbasis kekufuran? Bila ternyata Presiden PKS menjawab bahwa pola kehidupan umat Islam saat ini di dunia ada-lah berbasis kekufuran (demokrasi dan kapitalisme berbasis sekularisme), maka itu berarti dia telah berpikir jujur dan benar serta memahami realitas kekufuran dan menyadari bahwa umat Islam bukan lagi nyaris mendekati kekufuran melainkan telah nyata-nyata tenggelam sejak la-ma dalam lumpur najis kekufuran tersebut. Namun bila dia menjawab bahwa pola kehidupan umat Islam saat ini di dunia adalah berbasis Islam, maka itu memastikan dia tidak jujur dan tidak memahami realitas yang tidak hanya terpampang jelas di hadapannya tapi juga dia berada di dalamnya atau dia tidak jujur demi untuk mengamankan kepentingan diri dan gerbong PKS yang tengah dia bawa. Status ketidakjujuran mana pun yang melekat pada dirinya adalah sama saja yakni sama-sama salah dalam pandangan Islam, sebab bertentangan dengan seluruh dalil yang ada antara lain pernyataan Allah SWT dan Rasulullah saw berikut :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة : 44)
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ (المائدة : 50)
وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ (رواه مسلم)
b.       kemiskinan memang sangat berat dirasakan oleh manusia mana pun, karena realitas اَلْمِسْكِيْنُ adalah : وَهُوَ مَنْ لاَيَجِدُ شَيْئًا وَقَدْ اَسْكَنَهُ الْعَدَمُ وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ dan ini ditunjukkan oleh pernyataan Rasu-lullah saw :
لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ (رواه البخاري)
Namun demikian, realitas kemiskinan dalam kehidupan Islami (Khilafah) adalah persoalan in-dividual bukan problematika sistemik. Artinya, terwujudnya orang-orang miskin dalam Khila-fah adalah kasuistik dan sangat mungkin karena dua faktor : (i) فَقْرُ الْبِلاَدِ yakni kondisi sumber daya alam yang sangat kurang atau bahkan tidak ada sama sekali atau (ii) فَقْرُ الأَفْرَدِ yakni keti-dakberdayaan individu manusia untuk mengakses sumber daya alam. Apabila yang terjadi fak-tor فَقْرُ الْبِلاَدِ, maka yang harus dilakukan Khalifah adalah bila mungkin memindahkan seluruh penduduk di negeri tersebut ke negeri lain yang memang melimpah sumber daya alamnya. Jika pemindahan tersebut tidak mungkin dilakukan, maka Khalifah harus memasok seluruh barang dan jasa yang dibutuhkan oleh penduduk negeri tersebut dalam jumlah yang melimpah dari ne-geri lain. Lalu, jika yang terjadi faktor فَقْرُ الأَفْرَدِ, maka Khalifah harus meneliti yang bersangkut-an apakah dia mampu bekerja ataukah tidak. Jika dia mampu bekerja maka Khalifah harus me-nyediakan lapangan pekerjaan kepadanya sehingga dia akan dapat segera terbebas dari kemiski-nannya tersebut. Jika ternyata dia tidak mampu bekerja (cacat fisik), maka Khalifah harus memberikan harta zakat kepadanya sebagai solusi instant dan untuk selanjutnya Khalifah wajib memberikan harta kepadanya dari Baitul Mal untuk memenuhi minimal kebutuhan pokoknya sepanjang dia hidup di dunia. Demikianlah realitas manajemen krisis dalam kehidupan Islami yang dikendalikan secara tunggal oleh Khalifah dan itu pernah berlangsung selama lebih dari 1300 tahun sejak abad ke-6 hingga awal abad ke-20 M. Lalu, bagaimana realitas kemiskinan saat ini?
Hari ini dan itu telah terjadi sejak lebih dari 84 tahun yang lalu, sistem perekonomian Islami tidak lagi diterapkan seiring dengan hilangnya institusi pelaksanaannya sendiri : Khilafah. Ada-lah sistem perekonomian kapitalistik yang telah sepenuhnya menggantikan sistem Islami terse-but dan itu termasuk di negeri Indonesia tempat bercokolnya NKRI. Perekonomian kapitalistik mengharuskan terjadinya konglomerasi yakni penguasaan sebagian sangat besar kekayaan (mi-nimal 80 persen) oleh segelintir kecil (maksimal 10 persen) penduduk : konglomerat. Hal itu di-maksudkan agar pertumbuhan ekonomi negara kapitalistik dapat tetap terjamin tinggi (minimal 6 persen per tahun) dengan mekanisme bertumpu pada tingkat konsumsi masyarakat melarat yang jumlahnya lebih dari 90 persen terhadap barang maupun jasa yang dihasilkan oleh atau dikendalikan oleh konglomerat. Akibatnya adalah peta pola kemiskinan dalam negara kapita-listik adalah sistemik bukan individual yakni kemiskinan itu terjadi akibat dari diterapkannya kapitalisme itu sendiri yang mengharuskan selalu adanya dua kutub kelompok masyarakat yang saling bertentangan dari sisi kesejahteraannya : konglomerat dan kelompok melarat (miskin). Inilah realitas kemiskinan umat Islam saat ini yang juga sangat dipahami dan disadari oleh DR. Tifatul Sembiring. Lalu, mengapa dia berkesimpulan : hal terberat yang sedang dihadapi umat kini adalah kemiskinan, padahal kondisi tersebut hanyalah akibat langsung dari penerapan eko-nomi kapitalistik? Di sinilah untuk kedua kalinya, sang Presiden PKS telah dengan sengaja me-manipulasi fakta yang ada dan nampaknya hal itu dilakukan dengan tujuan demi mengamankan kepentingan dirinya dan partainya untuk minimal tetap eksis dalam percaturan politik NKRI.
c.       ucapan Imam Ali كَادَ الْفَقْرُ اَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا (hampir saja faqir itu menjadi kufur) adalah terlontar saat beliau menjadi Khalifah dan itu berhubungan dengan fakta kasus adanya beberapa orang rakyat Khilafah saat itu yang memang faqir lalu putus asa (يَأْسٌ) dan berikrar untuk murtad dari Islam. Tentu saja sebagai Khalifah beliau wajib menyelesaikan persoalan tersebut dan itu telah dilaku-kannya dengan sempurna hingga beliau diberontak oleh Muawiyah. Jadi ucapan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan realitas mutakhir umat Islam saat ini yang sebagian sangat be-sarnya adalah miskin dan itu akibat mereka telah kehilangan institusi pelindung dan pemelihara kepentingan mereka hidup di dunia : Khilafah dan Khalifah.
d.      kegelisahan dia : di mana izzah umat, martabat bangsa?, saat menyaksikan para gadis maupun ibu-ibu yang menjadi TKW ke luar negeri, adalah juga sangat jelas menunjukkan kekisruhan pemikirannya. Hal itu karena saat dia bertanya di mana izzah umat, maka seharusnya dia me-nyadari bahwa عِزَّةُ هَذِهِ الأُمَّةِ telah lama sirna dan itu bukan karena mereka jadi TKI atau TKW melainkan karena mereka telah lama kehilangan Khilafah yang bertugas utama memberlakukan Islam dalam arena kehidupan manusia di dunia. Padahal عِزَّةُ هَذِهِ الأُمَّةِ تَكُوْنُ فِيْ الإِسْلاَمِ seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا (النساء : 139)
Jadi kondisi ذِلَّةُ الأُمَّةِ الإِسْلاَمِيَّةِ saat ini adalah akibat mereka tidak lagi memberlakukan Islam da-lam wadah pelaksanaan Khilafah Islamiyah. Contoh faktual akhir tahun 2008 hingga saat ini masih berlangsung adalah bagaimana kesadisan dan kebrutalan tentara negara zionis Israel da-lam membantai umat Islam di negeri Palestina. Andai itu terjadi saat Khilafah masih berdiri te-gak, maka sangat mudah untuk menyelesaikannya yakni dengan memusnahkan kaum kufar ter-sebut. Namun karena saat ini Khilafah telah sirna sejak 84 tahun yang lalu, maka umat Islam tidak dapat meminta perlindungan dan pertolongan kepada siapa pun atau pihak mana pun, ter-masuk kepada para pemimpin mereka : Mahmud Abbas, Ismail Haniyah, Raja Abdullah, Mah-mud Ahmadinejad dan lainnya.
4.       nampaknya kejengkelan Tifatul Sembiring semakin memuncak saat dia menyaksikan sejumlah orang yang mengaku diri beragama Islam dan berposisi sebagai pejabat (rendah, tinggi, eksekutif, legislatif, yudikatif), lalu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan tin-dak korupsi dan yang sejenisnya. Ekspresi kejengkelan itu ditunjukkan olehnya dengan mengucap : kita dapati tokoh-tokoh muslim yang namanya seperti Nabi, seperti gelar Nabi, seperti nama orang shaleh namun ditangkap KPK. Namun sangat disayangkan, penginderaan Tifatul tersebut sama sekali tidak disertai dengan kemampuan berpikir yang handal dan mendalam dan akibatnya adalah dia jadikan kadar komitmen moral seseorang sebagai penyebab alias biang kerok dari tindakan ter-sebut : mereka menjadi harapan umat, menyandang nama terpercaya, namun ternyata korupsi. Se-berapa kuatkah komitmen moral kita? Moral Islam.
Lalu, benarkah anggapan atau kesimpulan dia tersebut? Telah menjadi kelaziman umat Islam di In-donesia mengalihbahasakan istilah اَلأَخْلاَقُ atau اَلْخُلُقُ dalam Islam dengan istilah moral atau budi pe-kerti. Inilah pula yang dilakukan oleh Presiden PKS saat dia menyatakan : moral Islam yakni akh-laq Islam dan lumrahnya kesimpulan tersebut diargumentasi-paksakan dengan pernyataan Allah SWT dan Rasulullah saw juga sebuah syair gubahan pujangga Mesir Ahmad Syauqi Bek :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم : 4)
اِنَّ اللهَ بَعَثَنِيْ لِتَمَامِ مَكَارِمِ الأَخْلاَقِ
اِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
وَاِنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ      فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ اَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
Padahal, ayat ke-3 dari surat Al-Qalam itu merupakan seruan Allah SWT kepada pribadi Rasul saw (شَخْصُ الرَّسُوْلِ) yang sekaligus mengungkapkan bahwa خُلُقٌ عَظِيمٌ adalah sifat yang telah melekat erat serta menjadi bagian tak terpisahkan dari diri beliau saw dan bukan seruan yang ditujukan kepada masyarakat (اَلْمُجْتَمَعُ). Adapun kedua hadits tersebut dan yang serupa dengan keduanya adalah ber-kenaan dengan sifat-sifat individu muslim (صِفَاتُ الْفَرْدِ) orang per orang dan bukan masyarakat. Ke-mudian tentang syair, sangat jelas syair tersebut adalah salah fatal sebab bertentangan dengan selu-ruh dalil yang membahas mengenai masyarakat (اَلْمُجْتَمَعُ), antara lain pernyataan Rasulullah saw :
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا (رواه البخاري)
Hadits tersebut memastikan bahwa eksistensi masyarakat itu (terjamin utuh atau musnah) ditentu-kan oleh :
a.       اَلأَنْظِمَةُ الَّتِيْ تُطَبِّقُهَا (peraturan yang diberlakukan di dalamnya) dan ini ditunjukkan oleh bagian ha-dits : مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا.
b.       اَلأَفْكَارُ الَّتِيْ تَحْمِلُهَا (pemikiran yang diemban oleh masyarakat) dan ini ditunjukkan oleh bagian ha-dits : فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا.
c.       اَلْمَشَاعِرُ الَّتِيْ تَكُوْنُ فِيْهَا حِيْنَ تُشْبِعُ حَاجَاتِهَا (perasaan yang ada saat melakukan pemenuhan kebutuhan di dalamnya) dan ini ditunjukkan oleh bagian hadits : فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا.
d.      اَلْعَلاَقَاتُ الدَّائِمِيَّةُ بَيْنَ اَفْرَدِهَا (interaksi permanen di antara mereka) dan ini ditunjukkan oleh bagian hadits :
كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ
e.       karena itu realitas masyarakat berdasarkan dalil tersebut adalah :
مَجْمُوْعٌ مِنْ اُنَاسٍ بَيْنَهُمْ عَلاَقَاتٌ دَائِمِيَّةٌ بِوِحْدَةِ الأَفْكَارِ وَالمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ
Artinya, bila seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menjalankan interaksi di antara mereka dengan tetap mempertahankan satunya pemikiran, perasaan dan peraturan, maka bangunan ma-syarakat tersebut pasti terjamin utuh (وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا). Sebaliknya bila tidak demikian (secara keseluruhan maupun hanya sebagian kecil) maka dipastikan juga bangunan masyarakat tersebut akan hancur : فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا. Inilah yang menjadi sebab mengapa masyarakat Islam (Khilafah) pada awal abad ke-20 M mengalami kehancurannya yak-ni karena mereka (anggota masyarakat) telah tidak lagi sepakat untuk menjalankan interaksi di antara mereka dengan hanya menggunakan seluruh pemikiran Islami (اَلأَفْكَارُ الإِسْلاَمِيَّةُ), perasaan Islami (اَلْمَشَاعِرُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dan peraturan Islami (اَلأَنْظِمَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ). Lalu, bagaimana halnya dengan realitas masyarakat tempat berinteraksinya umat Islam saat ini?
Adalah kenyataan (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌ) bahwa seluruh masyarakat yang ada di negara mana pun saat ini termasuk di NKRI adalah masyarakat yang menjalankan interaksi di antara mereka bukan de-ngan pemikiran Islami, perasaan Islami maupun peraturan Islami, melainkan dengan pemikiran kufur (demokrasi dan kapitalisme berbasis sekularisme), perasaan berasas dorongan naluriah manusiawi semata (اَهْوَاءُ النَّاسِ) dan peraturan kufur (demokrasi dan kapitalisme berbasis sekula-risme). Oleh karena itu, penyakit apa pun (perilaku menyimpang misalnya tindak korupsi) yang muncul dalam masyarakat lalu mewabah di dalamnya, sepenuhnya adalah akibat pemikiran, pe-rasaan dan peraturan kufur tersebut. Hal ini berarti moral (akhlaq) itu sama sekali tidak berpe-ran dalam menentukan utuh atau hancurnya bangunan masyarakat, jangankan dalam masyara-kat kufur saat ini (termasuk di NKRI) sedangkan dalam masyarakat Islami sekali pun (Khila-fah) adalah tidak ada hubungannya sama sekali.
Jadi, keputusan Presiden PKS bahwa penyebab tindak menyimpang (korupsi dan sebagainya) dalam masyarakat adalah komitmen moral mereka yang sangat rendah dan lemah, tentu saja se-bentuk kesimpulan yang selain salah juga absurd dan prematur karena tidak sesuai dengan da-lil dalam Islam maupun realitas masyarakat itu sendiri. Hal ini tentu saja hanya menunjukkan satu keadaan yakni dia sama sekali tidak berpikir saat akan merumuskan gagasannya tersebut, sama saja dengan seekor keledai yang “memutuskan” bahwa tanah tidak enak dimakan sedang-kan gandum enak dimakan. Allah SWT menyatakan :
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (الحج : 46)
5.       bila ditelaah mendalam antara bagian ucapan sang presiden : … menjalankan roda pembangunan umat …,  dengan bagian lain : apalagi persiapan kepemimpinan nasional masa mendatang. Seka-rang saja, bangsa besar ini seperti kebingungan mencari calon pemimpinnya, maka sulit dihindari adanya kesimpulan bahwa dia menyamakan umat Islam dengan bangsa Indonesia atau memba-giankan umat Islam dari bangsa Indonesia. Pemikiran dia jelas sangat salah sebab bertentangan dengan fakta umat Islam dan fakta bangsa Indonesia. Keadaan yang benar adalah bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh umat Islam yang ada di dunia, paling tidak sejak ditinggal wafat oleh Rasulullah saw hingga saat ini yang jumlahnya lebih dari satu miliar orang. Hakikat inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT maupun Rasu-lullah saw :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ (الحجرات : 13)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ قَالُوا بَلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا قَالُوا يَوْمٌ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا قَالُوا شَهْرٌ حَرَامٌ قَالَ ثُمَّ قَالَ أَيُّ بَلَدٍ هَذَا قَالُوا بَلَدٌ حَرَامٌ قَالَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ بَيْنَكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ قَالَ وَلَا أَدْرِي قَالَ أَوْ أَعْرَاضَكُمْ أَمْ لَا كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا أَبَلَّغْتُ قَالُوا بَلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ (رواه احمد)
6.       saat dia mengkaitkan antara ucapan sekarang saja, bangsa besar ini seperti kebingungan mencari calon pemimpinnya dengan … padahal kita berdoa “waj’alna lil muttaqina imaman”, menunjuk-kan bahwa menurut dia antara realitas pemimpin NKRI (presiden) dengan realitas إِمَامًا yang ada da-lam lafadz do’a : رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (الفرقان : 74), adalah sama saja. Apakah anggapan dia dapat dibenarkan dalam pandangan Islam?
Fakta pergumulan politik NKRI memastikan bahwa DR. Tifatul Sembiring adalah orang pertama yang melontarkan isyu tentang “sudah saatnya Indonesia dipimpin oleh pemimpin muda” dan ge-lindingan bola panas ini sempat “membakar” perasaan para calon pemimpin atau yang tengah me-mimpin atau yang pernah memimpin NKRI dari kalangan tua. Maksud Tifatul tentu saja adalah sudah saatnya presiden NKRI itu dari kalangan muda dan wajah baru, bukan dari generasi tua dan telah pernah menjadi presiden sebelumnya. Artinya, maksud dari pernyataan dia : apalagi persiap-an kepemimpinan nasional masa mendatang. Sekarang saja, bangsa besar ini seperti kebingungan mencari calon pemimpinnya, tentu saja adalah calon presiden bagi NKRI. Justru di sinilah persoa-lannya yakni betapa beraninya dia menyamakan dan mensejajarkan realitas presiden dalam sistem demokrasi presidentil dengan realitas اَلإِمَامُ dalam sistem pemerintahan Islam, atau saat dia berdo’a kepada Allah SWT dengan lafadz وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا, maka yang dia maksudkan dengan إِمَامًا itu ada-lah presiden. Sekali lagi, inilah keberanian penuh dengan kesembronoan yang baru satu kali saja pernah dilakukan dalam perjalanan sejarah Dunia Islam yakni oleh pemberontak terkutuk Muawi-yah yang menyimpulkan secara hermeneutis bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib sangat tidak layak serta harus digulingkan dari kedudukannya.
Realitas presiden (the president alias رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ الْجُمْهُوْرِيَّةِ) dalam sistem pemerintahan demokrasi tidak diragukan lagi adalah sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan bila sistemnya de-mokrasi presidentil (misal di AS dan NKRI) atau hanya sebagai kepala negara bila sistemnya de-mokrasi parlementer dengan kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri (prime minister alias رَئِيْسُ الْوُزَرَاءِ) seperti di India, Singapura, Perancis. Namun apa pun bentuk sistem demokrasinya yang pasti realitas presiden adalah hanya ada dalam sistem pemerintahan kufur tersebut dan sama sekali bukan bagian dari Islam bahkan tidak ada hubungan apa pun dengan sistem pemerintahan dalam Islam (Khilafah). Tegasnya, presiden di sini tidak boleh dipahamkan realitasnya sebagai ha-nya pimpinan sesuatu lembaga (misal Presiden Direktur/Presdir maupun Presiden Komisaris/ Preskom atau Presiden PKS), melainkan harus dikembalikan kepada realitas orisinalnya yakni kepala negara dan atau kepala pemerintahan dalam sistem demokrasi.
Lafadz اَلإِمَامُ secara bahasa bermakna sama dengan اَلرَّئِيْسُ atau اَلأَمِيْرُ yang dalam bahasa Indonesia se-padan dengan kepala atau pemimpin/pimpinan atau dalam bahasa Inggris sepadan dengan the chief atau the leader. Namun demikian, istilah اَلإِمَامُ dalam Islam tidak hanya sekedar istilah dalam Baha-sa Arab tetapi اِصْطِلاَحٌ اِسْلاَمِيٌّ yang memiliki realitas khas dan tidak terdapat padanannya di luar Islam. Realitas istilah اَلإِمَامُ ditentukan dan ditunjukkan oleh dalil-dalil Islam itu sendiri sehingga haram ditempelkan atau dilekatkan kepadanya realitas lain yang bukan berasal dari dalil syara. Pu-luhan bahkan mungkin ratusan jumlah dalil tersebut dan di antaranya adalah pernyataan Allah SWT serta Rasulullah saw berikut :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (البقرة :124)
وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَى إِمَامًا وَرَحْمَةً وَهَذَا كِتَابٌ مُصَدِّقٌ لِسَانًا عَرَبِيًّا لِيُنْذِرَ الَّذِينَ ظَلَمُوا وَبُشْرَى لِلْمُحْسِنِينَ (الأحقاف : 12)
تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه البخاري)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا وَبَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ قَبْلَ أَنْ تُشْغَلُوا وَصِلُوا الَّذِي بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ رَبِّكُمْ بِكَثْرَةِ ذِكْرِكُمْ لَهُ وَكَثْرَةِ الصَّدَقَةِ فِي السِّرِّ وَالْعَلَانِيَةِ تُرْزَقُوا وَتُنْصَرُوا وَتُجْبَرُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْكُمْ الْجُمُعَةَ فِي مَقَامِي هَذَا فِي يَوْمِي هَذَا فِي شَهْرِي هَذَا مِنْ عَامِي هَذَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ تَرَكَهَا فِي حَيَاتِي أَوْ بَعْدِي وَلَهُ إِمَامٌ عَادِلٌ أَوْ جَائِرٌ اسْتِخْفَافًا بِهَا أَوْ جُحُودًا لَهَا فَلَا جَمَعَ اللَّهُ لَهُ شَمْلَهُ وَلَا بَارَكَ لَهُ فِي أَمْرِهِ أَلَا وَلَا صَلَاةَ لَهُ وَلَا زَكَاةَ لَهُ وَلَا حَجَّ لَهُ وَلَا صَوْمَ لَهُ وَلَا بِرَّ لَهُ حَتَّى يَتُوبَ فَمَنْ تَابَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَلَا لَا تَؤُمَّنَّ امْرَأَةٌ رَجُلًا وَلَا يَؤُمَّ أَعْرَابِيٌّ مُهَاجِرًا وَلَا يَؤُمَّ فَاجِرٌ مُؤْمِنًا إِلَّا أَنْ يَقْهَرَهُ بِسُلْطَانٍ يَخَافُ سَيْفَهُ وَسَوْطَهُ (رواه ابن ماجه)
إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَإِنَّ أَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَشَدَّهُ عَذَابًا إِمَامٌ جَائِرٌ (رواه احمد)
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه احمد)
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ (رواه احمد)
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالطَّرِيقِ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَاهُ إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ وَفَى لَهُ وَإِلَّا لَمْ يَفِ لَهُ وَرَجُلٌ يُبَايِعُ رَجُلًا بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ بِاللَّهِ لَقَدْ أُعْطِيَ بِهَا كَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ فَأَخَذَهَا وَلَمْ يُعْطَ بِهَا (رواه البخاري)
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ (رواه مسلم)
ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا (رواه احمد)
ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ (رواه الترمذي)
الْغَزْوُ غَزْوَانِ فَأَمَّا مَنْ ابْتَغَى وَجْهَ اللَّهِ وَأَطَاعَ الْإِمَامَ وَأَنْفَقَ الْكَرِيمَةَ وَيَاسَرَ الشَّرِيكَ وَاجْتَنَبَ الْفَسَادَ كَانَ نَوْمُهُ وَنُبْهُهُ أَجْرًا كُلُّهُ وَأَمَّا مَنْ غَزَا رِيَاءً وَسُمْعَةً وَعَصَى الْإِمَامَ وَأَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ فَإِنَّهُ لَا يَرْجِعُ بِالْكَفَافِ (النسائي)
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ الْإِمَامَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى الْإِمَامَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه ابن ماجه)
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ (رواه البخاري)
الْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه احمد)
مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ (رواه مسلم)
الْجِهَادُ وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ أَمِيرٍ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَالصَّلَاةُ وَاجِبَةٌ عَلَيْكُمْ خَلْفَ كُلِّ مُسْلِمٍ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَإِنْ عَمِلَ الْكَبَائِرَ وَالصَّلَاةُ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَإِنْ عَمِلَ الْكَبَائِرَ (رواه ابو داود)
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ (رواه ابو داود)
صَلُّوا عَلَى كُلِّ مَيِّتٍ وَجَاهِدُوا مَعَ كُلِّ أَمِيرٍ (رواه ابن ماجه)
مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَنَامَ نَوْمًا وَلَا يُصْبِحَ صَبَاحًا وَلَا يُمْسِيَ مَسَاءً إِلَّا وَعَلَيْهِ أَمِيرٌ (رواه احمد)
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه البخاري)
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ (رواه احمد)
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)
Keseluruhan dalil tersebut juga yang lainnya telah memberikan kepastian realitas bagi اَلإِمَامُ atau اَلأَمِيْرُ atau اَلسُّلْطَانُ atau اَلْخَلِيْفَةُ yakni :
رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ وَهِيَ الَّتِيْ الْخِلاَفَةُ وَتَكُوْنُ الْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةً عَامَّةً لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِيْ الدُّنْيَا ِلإِقَامَةِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ اِلَى الْعَالَمِ وَهِيَ عَيْنُهَا الإِمَامَةُ
“kepala Daulah Islamiyah yakni Khilafah dan Khilafah itu adalah kepemimpinan bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara Islami serta mengemban dakwah Is-lamiyah ke seluruh dunia dan jatidiri Khilafah itu tiada lain adalah Imamah”.
Oleh karena itu, betapa bodohnya DR.Tifatul Sembiring karena telah menyamakan realitas presiden dalam sistem demokrasi dengan اَلإِمَامُ atau اَلأَمِيْرُ atau اَلسُّلْطَانُ atau اَلْخَلِيْفَةُ dalam sistem Khilafah. Seha-rusnya dia minimal mengingat pernyataan Allah SWT dan Rasulullah saw berikut :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الإسراء : 36)
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (رواه البخاري)
7.       ucapan : kita mohon pada Allah SWT agar menjadikan anak-anak kita sebagai pemimpin orang-orang bertaqwa, adalah ekspresi nyata dari pemikiran ala Jabariyah yang menganggap secara her-meneutis bahwa segala perbuatan atau tindakan atau sepak terjang atau sikap yang telah, tengah dan akan dilakukan oleh manusia seluruhnya diciptakan oleh Allah SWT lalu dikendalikan secara paksa atas manusia. Konsep ini persis dengan anggapan konyol orang Jawa : manusia itu ibarat wayang yang seluruhnya tergantung kepada dalang.
Padahal, jika anggapan hermeneutis Jabariyah (yang diadopsi utuh oleh DR. Tifatul Sembiring) memang benar, maka mereka (termasuk Presiden PKS) harus dapat memberikan penjelasan atau ja-waban yang benar terhadap momen kisah dalam Al-Quran sebagai berikut :
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف : 20-22)
yakni : jika memang apa pun yang dilakukan Adam dan istrinya adalah diciptakan lalu dikendali-kan secara paksa oleh Allah kepada mereka berdua, maka mengapa Allah membiarkan mereka berdua mengikuti tipu daya syethan dan lalu mengapa Allah baru menghampiri mereka berdua lalu memberikan peringatan keras, setelah keduanya terlanjur berbuat maksiat yakni melanggar larangan Allah sendiri?
Di sinilah seluruh konsep aqidah Jabariyah (juga Asy-‘Ariyah alias Ahlu Sunnah) mustahil dapat memberikan jawaban atau penjelasan yang benar terhadap kedua pertanyaan tersebut, sebab konsep mereka seluruhnya adalah salah secara faktanya (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌ) dan menyimpang dari metode Al-Quran dalam berpikir (دَلِيْلٌ نَقْلِيٌ). Lebih dari itu, sikap taqwa adalah perkara yang diwajibkan oleh Islam yakni perbuatan yang wajib dilakukan oleh seluruh umat Islam dan bukan perkara yang harus dise-rahkan kepada Allah tentang wujud atau tidaknya dalam diri manusia. Hal itu ditunjukkan oleh sangat banyak dalil dalam Al-Quran maupun As-Sunnah dan antara lain adalah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (آل عمران : 102)
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (التغابن : 16)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ (رواه الترمذي)
Jadi, mengapa perkara yang telah Allah wajibkan kepada umat Islam, yakni taqwa lalu mereka (ter-utama DR. Tifatul Sembiring) dengan penuh percaya diri dan keberanian mengembalikannya ke-pada Allah SWT dengan ucapan : kita mohon pada Allah SWT agar menjadikan anak-anak kita se-bagai pemimpin orang-orang bertaqwa. Apalagi, berkenaan dengan anak-anak, Islam telah mene-tapkan bahwa jatidiri mereka saat telah عَاقِلِيْنَ بَالِغِيْنَ adalah ditentukan sepenuhnya oleh kedua orang tua mereka. Rasulullah saw menyatakan :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
Lalu, bukankah barisan Khulafa Rasyidun yang terwujud dalam realitas kehidupan dunia saat itu adalah akibat dari adanya pembinaan terus menerus dari Rasulullah saw, baik sepanjang beliau ma-sih di Makkah (rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam) maupun setelah beliau menjadi Kepala Nega-ra Daulah Islamiyah pertama di Madinah, yakni dengan memberikan contoh riil penyelenggaraan kehidupan Islami kepada mereka. Seluruhnya menjelmakan mereka sebagai manusia handal, cer-das, taqwa bahkan istimewa karena sikap dan keputusan mereka (سُنَّتُهُمْ) diposisikan sama dengan Sunnah Rasul sendiri (sebagai dalil syara’). Rasulullah saw menyatakan :
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ (رواه احمد)

Khatimah
Adalah ucapan سُبْحَانَ اللهِ عُلُوًّا كَبِيْرًا yang paling tepat untuk terlontar sadar dari lisan saat mendapati dan meneliti seluruh gagasan kisruh nan amburadul dari Presiden PKS DR. Tifatul Sembiring. Adalah telah saatnya bagi seluruh jajaran teras PKS hingga konstituen akar rumput untuk memahami dan me-nyadari realitas kehidupan umat Islam di dunia saat, yakni : (a) mana realitas Islam atau yang berasas Islam dan  (b) mna realitas kufur atau yang berbasis kekufuran. Hal itu karena jika mereka tidak memi-liki pemahaman dan kesadaran yang jernih terhadap kedua realitas kontradiktif diametral dalam kehi-dupan dunia tersebut, maka dapat dipastikan akan semakin banyak bermunculan ke permukaan manu-sia-manusia yang simetris tipikal dengan sang Presiden PKS tersebut.
Adalah tidak ada pilihan lain bagi kaum muslim saat ini untuk menyadari bahwa kehidupan mere-ka sama sekali bukan realitas Islami, melainkan sepenuhnya kehidupan berbasis kekufuran dan itu di-buktikan dengan adanya pemberlakuan demokrasi maupun kapitalisme secara paksa dalam kehidupan mereka tersebut. Akibatnya, mereka dari waktu ke waktu semakin terjauhkan dari Islam dan kehidupan Islami dalam wadah Khilafah yang pernah mewadahi kehidupan umat manusia selama lebih dari 1300 tahun.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد : 16)

No comments:

Post a Comment