Sekularisme sebagai harga mati : semakin
ditegaskan?
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat dalam
tulisannya berjudul “Senja Kala Sekularisme” (Kompas, Jumat 15 Januari 2010, OPINI,
halaman 6) menyatakan :
Anda tidak perlu Tuhan untuk berperang. You
don’t need God for a war, demikian John Mic-klethwait, pemimpin redaksi
majalah The Economist, bersama dengan Andrian Wooldridge seorang
kolumnis, dalam karyanya God is Back. Buku setebal 405 halaman ini
menyajikan fakta sosial se-putar kebangkitan keyakinan agama yang meramaikan
panggung politik global di awal abad ini.
Jika Anda naik pesawat terbang dan mendarat
di Bandar Udara Nashville, Tennessee, Ameri-ka Serikat, Anda akan disambut
tulisan selamat datang: Music City, USA. Menurut Micklethwait, mestinya
ditambah lagi dengan papan nama: Faith City, atau Jesus City, bahkan lebih
mengena: Southern Baptist City, mengingat di kota ini terdapat sedikitnya 700
gereja, 65 persen penduduk-nya mengaku religius.
Suasana batin ini jauh berbeda dengan akhir
abad ke-19 ketika seluruh universitas papan atas AS menggusur ke pinggir posisi
agama. Now God is returning to intellectual life, tulisnya. Dulu
orang belajar agama dianggap aneh atau semacam hobi bagi sekelompok orang,
tetapi sekarang be-lajar agama merupakan hal yang lumrah, bahkan suatu
kebutuhan.
Rapuhnya institusi keluarga dan berkembangnya
demoralisasi sosial telah ikut mendorong pertumbuhan agama yang sangat
mengesankan. Dikatakan, Islam and Pentecostalism today occupy a “social
space” analogous to early twentieth century socialism. Marx has reemerged in
the guise of radical imams and Pentecostal preachers.
Janji-jani surga dunia ideologi besar
marxisme dan kapitalisme yang tidak kunjung tiba telah ikut mendorong agama
untuk tampil kembali. Ada kerinduan dan harapan masyarakat modern ter-hadap
agama. Namun, agama yang berkembang dalam masyarakat yang kian mengglobal ini
tampil semakin warna-warni, beragam paham dan keyakinan. Keragaman agama ini
sekaligus juga poten-sial menimbulkan konflik. Oleh karena itu, kehadiran
kembali agama ini dalam waktu yang sama juga menimbulkan ketakutan,
dikhawatirkan akan semakin mengintensifkan konflik dan perang atas nama Tuhan.
Ketakutan ini cukup beralasan mengingat perang atas nama Tuhan memang me-miliki
sejarah panjang.
Jadi, meskipun gerakan agama kembali bangkit,
masih ada pertanyaan besar, apa jaminannya bahwa kebangkitan agama akan
memberikan kehidupan lebih baik di masa depan? Di sini muncul keraguan di balik
God is Back. Tanpa melibatkan Tuhan saja berbagai peperangan yang sadis
dan brutal terjadi di mana-mana. Terlebih lagi jika emosi agama ikut hadir
menambah amunisi pepera-ngan. Micklethwait mengatakan, kebangkitan agama akan
melipatgandakan jumlah orang yang siap berbunuhan dengan alasan agama.
Konfrontasi antara nuklir Iran di satu pihak dan Israel serta Amerika di pihak
lain pasti akan menggema ke seluruh dunia dan orang pun akan segera
menafsir-kan sebagai perseteruan agama.
Di tengah maraknya gelombang demokratisasi di
berbagai belahan dunia, salah satu konseku-ensi yang kurang diperhitungkan
sebelumnya adalah munculnya gerakan politik identitas. Proses demokratisasi
yang tidak disertai penegakan hukum, partisipasi pendidikan dan kesejahteraan
sosi-al yang merata, maka politik identitas untuk memperjuangkan kelompok etnis
dan agama akan se-makin menguat. Fenomena ini mesti dicermati dan diantisipasi
di Indonesia.
Agenda kelompok berdasarkan kepentingan
etnis, daerah, agama, dan parpol mendapatkan ruang manuver secara leluasa
dengan dalih hak asasi dan demokrasi. Indonesia sebagai bangsa yang masih amat
muda, sementara korupsi masih akut, lalu pemerintah yang tengah berkuasa
sa-ngat diwarnai politik balas budi dan perkoncoan, sangat rawan untuk
menghadapi menguatnya po-litik identitas yang jika kebablasan akan memperlemah
demokrasi dan kohesi bangsa. Terlebih lagi jika ideologi transnasional yang
tidak setia pada semangat kemerdekaan RI dan Pancasila ikut ber-main.
Jadi, tanpa melibatkan Tuhan saja potensi
konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan itu sudah terjadi. Terlebih lagi
jika memperoleh amunisi tambahan berupa ketidakadilan ekonomi dan pendidikan
serta sentimen agama, maka proses demokratisasi yang kita perjuangkan akan
digero-goti oleh konflik antarkelompok kepentingan yang tidak rasional. Slogan
Bhinneka Tungal Ika, ke-ragaman dalam kesatuan, beralih menjadi perseteruan
dalam keragaman yang tidak kunjung reda.
Demikianlah seorang yang diposisikan selaku intelektual muslim,
Rektor Universitas Islam Ne-geri bergengsi sekaligus penyandang gelar akademik
Professor, tengah dengan cermat, teliti, hati-hati, serius dan penuh
kesungguhan merumuskan posisi dan eksistensi mutakhir dari sekularisme. Lalu
me-nyodorkan hasilnya kepada penginderaan publik mayoritas di negeri ini bahwa
sekularisme telah ber-ada di ambang kematiannya : “Senja Kala Sekularisme”.
Oleh karena itu, dia berusaha menghadirkan early warning
kepada seluruh pemangku kepenti-ngan berikut pengikut setia serta loyalis
sejati sekularisme, bahwa mereka harus segera bekerja sama untuk mencegah
kematian konsepsi tersebut dan lalu mengembalikannya “kuat” seperti sedia kala
keti-ka sekularisme berada pada titik kulminasinya. Inilah pesan sangat kuat
yang dia ungkapkan lewat arti-kulasi ujaran : Keragaman agama ini sekaligus
juga potensial menimbulkan konflik. Oleh karena itu, kehadiran kembali agama
ini dalam waktu yang sama juga menimbulkan ketakutan, dikhawatirkan akan
semakin mengintensifkan konflik dan perang atas nama Tuhan. Ketakutan ini cukup
beralasan mengingat perang atas nama Tuhan memang memiliki sejarah panjang.
Saat ini memang yang tengah gencar diopinikan kepada dunia
(khususnya Dunia Islam) oleh Du-nia Kristiani adalah konflik kemanusiaan dan
perang atas nama apa pun apalagi atas nama Tuhan ada-lah harus dihindari dan
dihilangkan dari arena percaturan interaksi antar manusia. Sebagai contoh
ada-lah paparan Rohaniwan BS Mardiatmadja, SJ (tulisannya berjudul “Ekodamai”,
Kompas, Jumat 15 Ja-nuari 2010, OPINI, halaman 6) :
Film Avatar mungkin sarat dengan
fiksi, tetapi nada dasarnya seperti menggemakan film The Mission dan
perjuangan sekelompok orang di sejumlah bagian Papua sejak beberapa puluh tahun
terakhir: konflik bersenjata yang dijiwai oleh kekerasan ideologis. (Sekelompok)
orang dengan ide-ologi tertentu menggagahi orang (-orang) yang memiliki
keyakinan lain. Tindak menggagahi itu kerap dikemas dengan kosmetik modern,
seperti demokrasi, kebebasan berpendapat, dan persaing-an sah. Terjadilah apa
yang dulu sering disebut “perang yang dapat dipertanggungjawabkan”. Ter-lalu
cepat untuk mengatakan “ada damai di atas bumi”. Di balik itu tersembunyi nafsu
penghan-curan semata.
Maka, Paus Benediktus XVI mengubah slogan
lama tentang damai dengan yang baru. Dulu orang bilang “si vis pacem, para
bellum” (bila mau damai, siap-siaplah perang). Benediktus XVI menawarkan
ungkapan baru “si vis pacem, protégé creaturam”, (bila mau damai,
lindungilah cip-taan). Dengan ungkapan itu, seruan damai tradisional Paus di
tanggal 1 Januari menangkap gerak dunia akhir-akhir ini: pelestarian ciptaan
bukanlah sekadar alternatif; mencintai dan melestarikan ciptaan adalah suatu
keharusan kalau kita mau damai.
“Si vis pacem, protégé creaturam”, “bila mau
damai, lindungilah ciptaan” adalah seruan yang pantas mendapat perhatian kita,
yang mencintai Pertiwi, menyayangi perdamaian, dan meng-hendaki kemajuan yang
lestari. Itulah juga harapan yang layak dikemukakan pada awal tahun 2010.
Jadi, Komaruddin Hidayat (mengaku berada
dalam Islam) dan Rohaniwan BS Mardiatmadja, SJ (Ka-tholik sejati) sepakat bahwa
konflik kemanusiaan dan perang atas nama apa pun apalagi atas nama Tu-han
adalah harus dihindari dan dihilangkan dari arena percaturan interaksi antar
manusia di dunia. Wa-laupun keduanya tidak berani secara terus terang, namun
kesepakatan konstelatif benar-benar telah ter-jadi di antara mereka berdua
yakni satu-satunya cara untuk menghindari konflik kemanusiaan dan pe-rang atas
nama Tuhan tersebut adalah melestarikan pemberlakuan sekularisme
sebagai satu-satunya asas pergaulan manusia dengan beragam latar belakang
terutama agama. Inilah yang ditunjukkan oleh ucapan keduanya :
1.
Komaruddin Hidayat : Jadi, meskipun gerakan agama kembali bangkit,
masih ada pertanyaan be-sar, apa jaminannya bahwa kebangkitan agama akan
memberikan kehidupan lebih baik di masa de-pan? Atau : Jadi, tanpa melibatkan
Tuhan saja potensi konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan itu sudah
terjadi. Terlebih lagi jika memperoleh amunisi tambahan berupa ketidakadilan
eko-nomi dan pendidikan serta sentimen agama, maka proses demokratisasi yang
kita perjuangkan akan digerogoti oleh konflik antarkelompok kepentingan yang
tidak rasional.
2.
BS Mardiatmadja, SJ : “Si vis pacem, protégé creaturam”,
“bila mau damai, lindungilah ciptaan” adalah seruan yang pantas mendapat
perhatian kita, yang mencintai Pertiwi, menyayangi perdamai-an, dan menghendaki
kemajuan yang lestari.
Wal hasil, kedua tokoh agama spiritualistik ritualistik anti peran
agama sebagai ideologi tersebut sepakat bahwa jika manusia di dunia ingin
damai, bersatu, rasional, maju, lestari dan seterusnya, maka mereka hanya
memiliki satu pilihan yakni pertahankan hingga mati pemberlakuan sekularisme
dan de-mokrasi dalam wadah negara berbasis kebangsaan. Pelestarian pemberlakuan
tersebut hanya dapat dila-kukan jika agama (yakni Islam) tetap dipertahankan
sebagai ajaran spiritualistik ritualistik dan dicegah adanya pemaksaan apa pun
dari penganutnya (yakni umat Islam) untuk dijadikan sebagai ideologi.
Realitas konflik antar manusia
Manusia dari sisi apa adanya sebagai manusia
(مِنْ حَيْثُ هُوَ اِنْسَانٌ)
telah dibekali oleh Allah SWT dengan kekuatan potensial untuk dapat hidup di
dunia (طَاقَةٌ حَيَوِيَّةٌ),
yakni naluri (اَلْغَرِيْزَةُ) dan kebutuhan pokok (اَلْحَاجَاتُ الْعُضَوِيَّةُ).
Kekuatan potensial itu telah nampak secara pasti pada mereka secara individual
ketika dilahirkan : menangis, padahal saat itu otaknya belum memiliki informasi
apa pun (لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا) termasuk tentang “mengapa dan untuk apa
menangis” berhubung seluruh organ inderanya belum ber-fungsi sama sekali :
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل : 78)
Realitas tersebut
berlaku secara mutlak terhadap seluruh manusia termasuk manusia pertama yakni
Adam. Oleh karena itu, Allah SWT خَالِقُ
الإِنْسَانِ memberikan seluruh
informasi yang niscaya harus ada dalam otak Adam untuk dapat berpikir, sehingga
mampu menjalankan dan melaksanakan kewajiban-nya selama hidup di dunia yakni
taat kepada Allah SWT (وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)).
Al-Quran menyatakan :
وَعَلَّمَ
ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ قَالُوا سُبْحَانَكَ
لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
قَالَ يَاآدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ
بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (البقرة :
31-33)
Namun demikian, manusia tidak ditaqdirkan
oleh Allah SWT sebagai robot (كَائِنًا
صِنَاعِيًّا) yang segala tingkah
lakunya dipastikan oleh program yang ada dan telah diset dalam chips
pengendali, atau sebagai wayang yang seluruh gerak geriknya dipastikan oleh
dalang. Manusia ditaqdirkan oleh Allah SWT مُخَيَّرًا yakni dapat memutuskan sendiri untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu selama hi-dup di dunia, berdasarkan
pilihannya sendiri. Barulah kemudian mereka akan berhadapan dengan Allah SWT
untuk mempertanggungjawabkan (يَوْمُ
الْحِسَابِ) setiap keputusan
pilihan tersebut yakni apakah se-penuhnya sesuai dengan ketentuan rule of
game hidup di dunia (حُكْمُ اللهِ تَعَالَى) ataukah justru menyim-pang dan
menyalahinya, baik sebagian maupun apalagi seluruhnya. Kepastiannya adalah baik
informa-si tentang حُكْمُ اللهِ تَعَالَى maupun يَوْمُ
الْحِسَابِ, seluruhnya telah
diberikan oleh Allah SWT kepada manusia melalui para Rasul, termasuk Rasulullah
saw yang membawa risalah Islam. Inilah yang ditunjukkan oleh sangat banyak
dalil syara’ antara lain :
مَنْ
جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ
فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (الأنعام : 160)
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ
عَمَلُهُ قَالَ فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ
عَمَلُهُ (رواه احمد)
Dengan demikian
dalil aqliy memastikan bahwa keputusan Allah SWT mengusir Adam beserta istrinya
dari اَلْجَنَّةِ
adalah صِدْقًا وَعَدْلاً وَلَيْسَ بِظُلْمٍ (benar dan adil dan sama sekali bukan
zhalim), sebab hal itu ada-lah akibat dari kedua manusia pertama itu yang
telah melakukan perbuatan terlarang :
فَوَسْوَسَ
لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا
وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا
مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا
لَمِنَ النَّاصِحِينَ فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ
لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ
وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ
لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف : 20-22)
Mengapa Adam dan istrinya melakukan perbuatan
yang dilarang dan lebih memilih informasi manipulatif Iblis (فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ)
daripada ketentuan Allah SWT (أَلَمْ
أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ)?
Jawaban keputusan kedua manusia pertama itu ditunjukkan oleh bagian kisah :
وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا
عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ
Menjadi malaikat (تَكُونَا
مَلَكَيْنِ) atau kekal di jannah (تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ),
tentu saja sangat sesuai dengan ke-pentingan naluriah mereka berdua sehingga
membuat keduanya lupa bahwa hal itu tidak mungkin ter-jadi, apalagi mereka telah
diberi informasi oleh Allah SWT bahwa keduanya akan ditempatkan sebagai خَلِيْفَةً di bumi alias di luar
jannah. Oleh karena itu, nyata sekali bahwa yang mendorong Adam dan istri-nya
maksiat yakni melanggar larangan Allah SWT adalah kepentingan naluriahnya (هَوَاهُمَا) yang sangat
mendambakan untuk menjadi malaikat atau kekal di jannah.
Kepentingan naluriah jugalah yang mendorong
manusia berada dalam konflik interaktif dan itu telah ditunjukkan oleh generasi
kedua manusia yakni dua orang anak pria Adam. Al-Quran menyam-paikan kisahnya
sebagai berikut :
وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا
فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ
لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ لَئِنْ
بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ
لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ
تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ
الظَّالِمِينَ فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ
مِنَ الْخَاسِرِينَ فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ
كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ يَاوَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ
مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ
النَّادِمِينَ (المائدة : 27-31)
Mereka berdua
diperintahkan untuk melakukan qurban, lalu Allah SWT hanya menerima qurban dari
salah satunya yang memang melaksanakan perintah itu sepenuhnya sebagai
realisasi ketaatan kepada Allah SWT (إِنَّمَا
يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ).
Alih-alih menyadari kekeliruannya yakni telah melakukan qurban bukan dalam
rangka realisasi ketaatan kepada Allah SWT, ternyata anak Adam yang tidak
diterima qurbannya tersebut malah merasa lalu menuding saudaranyalah yang
menjadi penyebab qurbannya ti-dak diterima. Perasaan itulah yang mendorong dia
untuk membunuh saudaranya (فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ
قَتْلَ أَخِيهِ) dan setelah terjadi
barulah dia menyesali perbuatannya sendiri : فَأَصْبَحَ
مِنَ النَّادِمِينَ. Munculnya penyesalan
sesaat setelah perbuatan salah dilakukan adalah bukti empiris
yang memastikan perbuatan tersebut di-putuskan untuk dilakukan semata karena
dorongan kepentingan naluriah, bukan sebuah keputusan yang ditetapkan berdasarkan
proses aqliyah yang jernih. Fakta itu pun sangat nampak dari penyesalan Adam
dan istrinya sesaat keduanya telah sampai di bumi :
قَالَا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (الأعراف : 23)
Fakta empiris memastikan bahwa terjadinya konflik berdarah antara
Yahudi, Nashrani dan Kaum Muslim, adalah akibat Yahudi menolak sumber agama
mereka yakni Taurah dinyatakan tidak berlaku lagi juga Nashrani yang menolak
realitas agama mereka yang bersumber dari Injil telah digantikan se-penuhnya
oleh Al-Quran sebagai sumber Islam. Lalu, mengapa mereka (ahlul kitab) menolak
ketetapan Allah SWT tersebut? Kepastian alasannya dapat dirunut dan diusut dari
:
1.
saat Iblis menolak perintah Allah SWT untuk sujud kepada Adam.
Penolakan Iblis tersebut dipu-tuskan berdasarkan hujjah adalah sangat tidak
pantas bagi dirinya yang lebih mulia daripada Adam diharuskan sujud kepadanya.
Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa kepentingan naluriah Iblis
benar-benar telah terhinakan (menurut si Iblis) dengan adanya perintah Allah
SWT untuk su-jud kepada Adam. Iblis menganggap kemuliaan dirinya telah
ternistakan jika dia melaksanakan pe-rintah sujud tersebut. Inilah realitas
Iblis yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ
ءَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا قَالَ أَرَأَيْتَكَ هَذَا الَّذِي كَرَّمْتَ
عَلَيَّ (الإسراء : 61-62)
2.
saat Adam dan istrinya melakukan perbuatan yang dilarang oleh
Allah SWT ketika mereka berdua masih di jannah. Keduanya memutuskan untuk
melakukan tindak maksiat tersebut, karena mereka menganggap perbuatan itu akan
dapat menjamin terpenuhinya kepentingan naluriah mereka yakni menjadi malaikat
atau kekal berada di jannah. Keputusan tersebut mereka ambil karena adanya
in-formasi manipulatif dari Iblis (مَا
نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ
أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ),
namun sebenarnya sekuat dan sedahsyat apa pun reka perdaya Iblis itu tentu saja
tidak akan pernah berda-ya memperdaya keduanya jika mereka tetap berpegang
teguh kepada informasi dari Allah SWT tentang larangan أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ juga tentang realitas Iblis : وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ. Seharusnya Adam dan istrinya menjadikan
Iblis sebagai musuh yang wajib dicurigai dan tidak di-percayai apa pun yang
diucapkannya sesuai dengan perintah Allah SWT :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ
فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ
السَّعِيرِ (فاطر : 6)
Namun, sekali
lagi, kepentingan naluriah keduanya telah mendominasi kesadaran aqliyahnya
se-hingga justru yang mereka lakukan adalah memposisikan Iblis sebagai
penasihat dalam memutus-kan tindakan tersebut :
وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا
لَمِنَ النَّاصِحِينَ (الأعراف : 21)
3.
putra Adam memutuskan untuk membunuh saudaranya sendiri yang
diterima qurbannya oleh Allah SWT (فَطَوَّعَتْ
لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ)
adalah karena dia menganggap saudaranya itu telah menghalangi bah-kan
mengganggu kepentingan naluriahnya (apa pun, spesifikasinya tidak penting).
Sehingga kesa-daran aqliyahnya tertutupi walaupun saudaranya itu telah
menyampaikan informasi yang benar ten-tang mengapa qurbannya ditolak : قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ.
4.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa suatu saat ketika masih belum masuk
Islam, ‘Adiy bin Hatim me-nemui Rasulullah saw di Madinah dan di lehernya
tergantung salib dari perak. Saat itu Rasulullah saw tengah membaca ayat :
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (التوبة : 31)
Lalu ‘Adiy bin Hatim berkomentar : إِنَّهُمْ لَمْ يَعْبُدُوْهُمْ. Komentar tersebut ditanggapi oleh
Rasulullah saw dengan ucapan :
بَلَى
إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمُ الْحَلاَلَ وَأَحَلُّوْا لَهُمُ الْحَرَامَ
فَاتَّبَعُوْهُمْ فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ
Dengan
demikian jelaslah ada kepentingan naluriah yang sangat dipertahankan oleh para
pemuka Yahudi dan Nashrani (أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ) untuk selalu melekat pada mereka dan tetap ditunjukkan de-ngan
setia oleh para pengikutnya. Kepentingan inilah yang mendorong mereka untuk
melakukan manipulasi terhadap informasi apa pun tentang Nabi Muhammad saw dan
Islam yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Taurah maupun Injil. Lalu hasil
rekayasa manipulatif buatan tangan mereka tersebut disodorkan kepada publik dan
diklaim sebagai berasal dari Allah SWT :
فَوَيْلٌ
لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ
عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا
كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ (البقرة : 79)
Wal hasil,
inilah penyebab utama dan mendasar mengapa sebagian sangat besar Yahudi dan
Nash-rani alias ahlul kitab menolak bahkan memerangi Nabi Muhammad saw dan
Islam, padahal infor-masi tentang Allah SWT akan mengutus Nabi Muhammad saw
sebagai Rasul penghabisan setelah Isa bin Maryam dengan membawa Islam yang
bersumber dari Al-Quran, adalah telah disampaikan dengan pasti dalam Taurah
maupun Injil :
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ
مَرْيَمَ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا
لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ
بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ
مُبِينٌ (الصف : 6)
Oleh karena itu, informasi wahyu (دَلِيْلٌ
نَقْلِيٌّ) maupun perjalanan
empiris kehidupan manusia sen-diri (دَلِيْلٌ
عَقْلِيٌّ) memastikan bahwa
realitas konflik antar manusia itu baik massal (perang) maupun indi-vidual
(perseteruan), ada dua macam :
1.
berbasis kepentingan naluriah (penguasaan
sumberdaya alam dan pasar, perluasan wilayah kekua-saan, pengokohan kedudukan,
seputar seksual dan sebagainya). Inilah yang ditunjukkan oleh : (a) sikap Iblis
terhadap perintah sujud kepada Adam, (b) sikap salah satu anak laki-laki Nabi
Adam as terhadap saudaranya dan (c) sikap ahlul kitab terhadap Nabi Muhammad
saw, Islam dan umat Is-lam.
2.
berbasis kesadaran aqliyah untuk taat kepada perintah
Allah SWT. Tentu saja, realitas perang maupun perseteruan yang asasnya adalah اِدْرَاكُ الإِنْسَانِ صِلَتَهُ بِاللهِ تَعَالَى hanya terjadi dalam Islam yang dilakukan
oleh umat Islam, baik saat masih dipimpin oleh Nabi Muhammad saw maupun ketika
te-lah beralih kepada Khulafa Rasyidun, bahkan para Khalifah setelah mereka.
Hal itu dilakukan un-tuk mencegah kaum kufar (ahlul kitab) yang tidak bersedia
secara sadar masuk Islam juga mereka tidak mau membayar jizyah, menjadi
penghalang (ideologis maupun fisik) bagi upaya penyebarlua-san Islam ke seluruh
dunia. Inilah yang dituntut secara pasti oleh Allah SWT :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ
فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ
بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
Realitas penaklukan dalam Islam
Mengapa Islam ditetapkan oleh Allah SWT
sebagai رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ? Tentu saja, aqal sangat mema-hami bahkan
meniscayakannya (يَفْهَمُهُ عَقْلُ الإِنْسَانِ وَ
يُحَتِّمُهُ), karena ternyata ahlul
kitab telah gagal total dalam melaksanakan kewajiban mereka untuk memberlakukan
hukum Allah SWT yang ada dalam Ta-urah maupun Injil, bahkan sebaliknya mereka
justru memberlakukan peraturan racikan tangan mereka sendiri secara manipulatif
sehingga berakibat seluruh dunia berada dalam kekufuran (الظُّلُمَاتُ).
Oleh ka-rena itu adalah kewajaran manusiawi jika kemudian Allah SWT menurunkan
Islam dengan misi pasti mengeluarkan manusia yang tengah terjebak dalam gelap
gulita kehidupan berbasis kekufuran kembali kepada terang benderangnya
kehidupan Islami. Inilah yang ditunjukkan secara pasti oleh pernyataan Allah
SWT :
لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ اللَّهُ
وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ
إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة
: 256-257)
Jadi, penaklukan dalam Islam (اَلْفُتُوْحَاتُ الإِسْلاَمِيَّةُ)
dilakukan dalam rangka menjalankan misi Islam
رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ tersebut dan sama sekali bukan demi upaya
merealisir keserakahan kekuasaan, atau keraku-san terhadap sumberdaya alam,
seperti yang melekat pasti dalam aksi اَلإِسْتِعْمَارِيَةُ
الْغَرْبِيَّةُ (penjajahan yang
dilakukan oleh Barat). Realitas penaklukan dalam Islam tersebut ditunjukkan
secara gamblang dengan adanya posisi perang (اَلْقِتَالُ) sebagai alternatif ketiga dari tiga pilihan
yang selalu harus ditawarkan ke-pada kaum kufar oleh umat Islam setiap saat
mereka mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Inilah yang selalu
ditegaskan setiap kali Rasulullah saw mengangkat pimpinan pasukan (جَيْشٌ) maupun ekspedisi (سَرِيَّةٌ) ke luar negeri dalam
rangka dakwah Islamiyah :
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ اغْزُوا
بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا
وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا
وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ
فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ
فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ
أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى
التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ
أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا
عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا
فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي
عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ
لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ
الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ
أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ
بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ (رواه مسلم)
Khatimah
Tidak diragukan lagi perjalanan panjang penolakan manusia terhadap
hukum Allah SWT teruta-ma Islam saat ini, semakin massif dan intensif sekaligus
barisannya semakin besar dan banyak. Iblis di masa pra kehidupan dunia, putra
Nabi Adam as yang membunuh saudaranya di awal kehidupan dunia, generasi manusia
sepanjang 1000 tahun dipimpin oleh Nabi Nuh as, Bani Israil sepanjang dipimpin
se-cara bergantian oleh para Nabi yang dimulai oleh Nabi Musa as dan ditutup
oleh Nabi Isa as, seluruh-nya adalah komunitas manusia yang terkategori sebagai
seburuk-buruknya makhluq sekaligus tidak mampu memfungsikan
aqal mereka :
إِنَّ
شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
(الأنفال : 55)
وَمَثَلُ
الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً
وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)
Di awal abad ke-21 tepatnya awal tahun 2010 ini, tipikal Iblis,
putra Nabi Adam sang pembunuh pertama kalinya, kaum Nabi Nuh maupun Bani
Israil, ternyata telah bertambah dengan adanya barisan “intelektual” bergaya
spiritualistik ritualistik semisal Komaruddin Hidayat (mengaku berada dalam
Islam) dan BS Mardiatmadja, SJ (Katholik sejati) maupun lainnya yang sejenis
dengan keduanya. Bah-kan kedua orang tersebut sangat jauh lebih canggih
daripada Iblis dalam menolak hukum Allah SWT yakni dengan mengajukan seabrek argumen
humanis dan ekologis, serta menghindari hujjah ideologis.
No comments:
Post a Comment