Sunday, August 26, 2012

CARA LAIN MELESTARIKAN SEKULARISME


Sekularisme sebagai harga mati : semakin ditegaskan?
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat dalam tulisannya berjudul “Senja Kala Sekularisme” (Kompas, Jumat 15 Januari 2010, OPINI, halaman 6) menyatakan :
Anda tidak perlu Tuhan untuk berperang. You don’t need God for a war, demikian John Mic-klethwait, pemimpin redaksi majalah The Economist, bersama dengan Andrian Wooldridge seorang kolumnis, dalam karyanya God is Back. Buku setebal 405 halaman ini menyajikan fakta sosial se-putar kebangkitan keyakinan agama yang meramaikan panggung politik global di awal abad ini.
Jika Anda naik pesawat terbang dan mendarat di Bandar Udara Nashville, Tennessee, Ameri-ka Serikat, Anda akan disambut tulisan selamat datang: Music City, USA. Menurut Micklethwait, mestinya ditambah lagi dengan papan nama: Faith City, atau Jesus City, bahkan lebih mengena: Southern Baptist City, mengingat di kota ini terdapat sedikitnya 700 gereja, 65 persen penduduk-nya mengaku religius.
Suasana batin ini jauh berbeda dengan akhir abad ke-19 ketika seluruh universitas papan atas AS menggusur ke pinggir posisi agama. Now God is returning to intellectual life, tulisnya. Dulu orang belajar agama dianggap aneh atau semacam hobi bagi sekelompok orang, tetapi sekarang be-lajar agama merupakan hal yang lumrah, bahkan suatu kebutuhan.
Rapuhnya institusi keluarga dan berkembangnya demoralisasi sosial telah ikut mendorong pertumbuhan agama yang sangat mengesankan. Dikatakan, Islam and Pentecostalism today occupy a “social space” analogous to early twentieth century socialism. Marx has reemerged in the guise of radical imams and Pentecostal preachers.
Janji-jani surga dunia ideologi besar marxisme dan kapitalisme yang tidak kunjung tiba telah ikut mendorong agama untuk tampil kembali. Ada kerinduan dan harapan masyarakat modern ter-hadap agama. Namun, agama yang berkembang dalam masyarakat yang kian mengglobal ini tampil semakin warna-warni, beragam paham dan keyakinan. Keragaman agama ini sekaligus juga poten-sial menimbulkan konflik. Oleh karena itu, kehadiran kembali agama ini dalam waktu yang sama juga menimbulkan ketakutan, dikhawatirkan akan semakin mengintensifkan konflik dan perang atas nama Tuhan. Ketakutan ini cukup beralasan mengingat perang atas nama Tuhan memang me-miliki sejarah panjang.
Jadi, meskipun gerakan agama kembali bangkit, masih ada pertanyaan besar, apa jaminannya bahwa kebangkitan agama akan memberikan kehidupan lebih baik di masa depan? Di sini muncul keraguan di balik God is Back. Tanpa melibatkan Tuhan saja berbagai peperangan yang sadis dan brutal terjadi di mana-mana. Terlebih lagi jika emosi agama ikut hadir menambah amunisi pepera-ngan. Micklethwait mengatakan, kebangkitan agama akan melipatgandakan jumlah orang yang siap berbunuhan dengan alasan agama. Konfrontasi antara nuklir Iran di satu pihak dan Israel serta Amerika di pihak lain pasti akan menggema ke seluruh dunia dan orang pun akan segera menafsir-kan sebagai perseteruan agama.
Di tengah maraknya gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia, salah satu konseku-ensi yang kurang diperhitungkan sebelumnya adalah munculnya gerakan politik identitas. Proses demokratisasi yang tidak disertai penegakan hukum, partisipasi pendidikan dan kesejahteraan sosi-al yang merata, maka politik identitas untuk memperjuangkan kelompok etnis dan agama akan se-makin menguat. Fenomena ini mesti dicermati dan diantisipasi di Indonesia.
Agenda kelompok berdasarkan kepentingan etnis, daerah, agama, dan parpol mendapatkan ruang manuver secara leluasa dengan dalih hak asasi dan demokrasi. Indonesia sebagai bangsa yang masih amat muda, sementara korupsi masih akut, lalu pemerintah yang tengah berkuasa sa-ngat diwarnai politik balas budi dan perkoncoan, sangat rawan untuk menghadapi menguatnya po-litik identitas yang jika kebablasan akan memperlemah demokrasi dan kohesi bangsa. Terlebih lagi jika ideologi transnasional yang tidak setia pada semangat kemerdekaan RI dan Pancasila ikut ber-main.
Jadi, tanpa melibatkan Tuhan saja potensi konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan itu sudah terjadi. Terlebih lagi jika memperoleh amunisi tambahan berupa ketidakadilan ekonomi dan pendidikan serta sentimen agama, maka proses demokratisasi yang kita perjuangkan akan digero-goti oleh konflik antarkelompok kepentingan yang tidak rasional. Slogan Bhinneka Tungal Ika, ke-ragaman dalam kesatuan, beralih menjadi perseteruan dalam keragaman yang tidak kunjung reda.
Demikianlah seorang yang diposisikan selaku intelektual muslim, Rektor Universitas Islam Ne-geri bergengsi sekaligus penyandang gelar akademik Professor, tengah dengan cermat, teliti, hati-hati, serius dan penuh kesungguhan merumuskan posisi dan eksistensi mutakhir dari sekularisme. Lalu me-nyodorkan hasilnya kepada penginderaan publik mayoritas di negeri ini bahwa sekularisme telah ber-ada di ambang kematiannya : “Senja Kala Sekularisme”.
Oleh karena itu, dia berusaha menghadirkan early warning kepada seluruh pemangku kepenti-ngan berikut pengikut setia serta loyalis sejati sekularisme, bahwa mereka harus segera bekerja sama untuk mencegah kematian konsepsi tersebut dan lalu mengembalikannya “kuat” seperti sedia kala keti-ka sekularisme berada pada titik kulminasinya. Inilah pesan sangat kuat yang dia ungkapkan lewat arti-kulasi ujaran : Keragaman agama ini sekaligus juga potensial menimbulkan konflik. Oleh karena itu, kehadiran kembali agama ini dalam waktu yang sama juga menimbulkan ketakutan, dikhawatirkan akan semakin mengintensifkan konflik dan perang atas nama Tuhan. Ketakutan ini cukup beralasan mengingat perang atas nama Tuhan memang memiliki sejarah panjang.
Saat ini memang yang tengah gencar diopinikan kepada dunia (khususnya Dunia Islam) oleh Du-nia Kristiani adalah konflik kemanusiaan dan perang atas nama apa pun apalagi atas nama Tuhan ada-lah harus dihindari dan dihilangkan dari arena percaturan interaksi antar manusia. Sebagai contoh ada-lah paparan Rohaniwan BS Mardiatmadja, SJ (tulisannya berjudul “Ekodamai”, Kompas, Jumat 15 Ja-nuari 2010, OPINI, halaman 6) :
Film Avatar mungkin sarat dengan fiksi, tetapi nada dasarnya seperti menggemakan film The Mission dan perjuangan sekelompok orang di sejumlah bagian Papua sejak beberapa puluh tahun terakhir: konflik bersenjata yang dijiwai oleh kekerasan ideologis. (Sekelompok) orang dengan ide-ologi tertentu menggagahi orang (-orang) yang memiliki keyakinan lain. Tindak menggagahi itu kerap dikemas dengan kosmetik modern, seperti demokrasi, kebebasan berpendapat, dan persaing-an sah. Terjadilah apa yang dulu sering disebut “perang yang dapat dipertanggungjawabkan”. Ter-lalu cepat untuk mengatakan “ada damai di atas bumi”. Di balik itu tersembunyi nafsu penghan-curan semata.
Maka, Paus Benediktus XVI mengubah slogan lama tentang damai dengan yang baru. Dulu orang bilang “si vis pacem, para bellum” (bila mau damai, siap-siaplah perang). Benediktus XVI menawarkan ungkapan baru “si vis pacem, protégé creaturam”, (bila mau damai, lindungilah cip-taan). Dengan ungkapan itu, seruan damai tradisional Paus di tanggal 1 Januari menangkap gerak dunia akhir-akhir ini: pelestarian ciptaan bukanlah sekadar alternatif; mencintai dan melestarikan ciptaan adalah suatu keharusan kalau kita mau damai.
“Si vis pacem, protégé creaturam”, “bila mau damai, lindungilah ciptaan” adalah seruan yang pantas mendapat perhatian kita, yang mencintai Pertiwi, menyayangi perdamaian, dan meng-hendaki kemajuan yang lestari. Itulah juga harapan yang layak dikemukakan pada awal tahun 2010.
Jadi, Komaruddin Hidayat (mengaku berada dalam Islam) dan Rohaniwan BS Mardiatmadja, SJ (Ka-tholik sejati) sepakat bahwa konflik kemanusiaan dan perang atas nama apa pun apalagi atas nama Tu-han adalah harus dihindari dan dihilangkan dari arena percaturan interaksi antar manusia di dunia. Wa-laupun keduanya tidak berani secara terus terang, namun kesepakatan konstelatif benar-benar telah ter-jadi di antara mereka berdua yakni satu-satunya cara untuk menghindari konflik kemanusiaan dan pe-rang atas nama Tuhan tersebut adalah melestarikan pemberlakuan sekularisme sebagai satu-satunya asas pergaulan manusia dengan beragam latar belakang terutama agama. Inilah yang ditunjukkan oleh ucapan keduanya :
1.       Komaruddin Hidayat : Jadi, meskipun gerakan agama kembali bangkit, masih ada pertanyaan be-sar, apa jaminannya bahwa kebangkitan agama akan memberikan kehidupan lebih baik di masa de-pan? Atau : Jadi, tanpa melibatkan Tuhan saja potensi konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan itu sudah terjadi. Terlebih lagi jika memperoleh amunisi tambahan berupa ketidakadilan eko-nomi dan pendidikan serta sentimen agama, maka proses demokratisasi yang kita perjuangkan akan digerogoti oleh konflik antarkelompok kepentingan yang tidak rasional.
2.       BS Mardiatmadja, SJ : “Si vis pacem, protégé creaturam”, “bila mau damai, lindungilah ciptaan” adalah seruan yang pantas mendapat perhatian kita, yang mencintai Pertiwi, menyayangi perdamai-an, dan menghendaki kemajuan yang lestari.
Wal hasil, kedua tokoh agama spiritualistik ritualistik anti peran agama sebagai ideologi tersebut sepakat bahwa jika manusia di dunia ingin damai, bersatu, rasional, maju, lestari dan seterusnya, maka mereka hanya memiliki satu pilihan yakni pertahankan hingga mati pemberlakuan sekularisme dan de-mokrasi dalam wadah negara berbasis kebangsaan. Pelestarian pemberlakuan tersebut hanya dapat dila-kukan jika agama (yakni Islam) tetap dipertahankan sebagai ajaran spiritualistik ritualistik dan dicegah adanya pemaksaan apa pun dari penganutnya (yakni umat Islam) untuk dijadikan sebagai ideologi.
Realitas konflik antar manusia
Manusia dari sisi apa adanya sebagai manusia (مِنْ حَيْثُ هُوَ اِنْسَانٌ) telah dibekali oleh Allah SWT dengan kekuatan potensial untuk dapat hidup di dunia (طَاقَةٌ حَيَوِيَّةٌ), yakni naluri (اَلْغَرِيْزَةُ) dan kebutuhan pokok (اَلْحَاجَاتُ الْعُضَوِيَّةُ). Kekuatan potensial itu telah nampak secara pasti pada mereka secara individual ketika dilahirkan : menangis, padahal saat itu otaknya belum memiliki informasi apa pun (لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا) termasuk tentang “mengapa dan untuk apa menangis” berhubung seluruh organ inderanya belum ber-fungsi sama sekali :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل : 78)
Realitas tersebut berlaku secara mutlak terhadap seluruh manusia termasuk manusia pertama yakni Adam. Oleh karena itu, Allah SWT خَالِقُ الإِنْسَانِ memberikan seluruh informasi yang niscaya harus ada dalam otak Adam untuk dapat berpikir, sehingga mampu menjalankan dan melaksanakan kewajiban-nya selama hidup di dunia yakni taat kepada Allah SWT (وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)). Al-Quran menyatakan :
وَعَلَّمَ ءَادَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ قَالُوا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ قَالَ يَاآدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (البقرة : 31-33)
Namun demikian, manusia tidak ditaqdirkan oleh Allah SWT sebagai robot (كَائِنًا صِنَاعِيًّا) yang segala tingkah lakunya dipastikan oleh program yang ada dan telah diset dalam chips pengendali, atau sebagai wayang yang seluruh gerak geriknya dipastikan oleh dalang. Manusia ditaqdirkan oleh Allah SWT مُخَيَّرًا yakni dapat memutuskan sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu selama hi-dup di dunia, berdasarkan pilihannya sendiri. Barulah kemudian mereka akan berhadapan dengan Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan (يَوْمُ الْحِسَابِ) setiap keputusan pilihan tersebut yakni apakah se-penuhnya sesuai dengan ketentuan rule of game hidup di dunia (حُكْمُ اللهِ تَعَالَى) ataukah justru menyim-pang dan menyalahinya, baik sebagian maupun apalagi seluruhnya. Kepastiannya adalah baik informa-si tentang حُكْمُ اللهِ تَعَالَى maupun يَوْمُ الْحِسَابِ, seluruhnya telah diberikan oleh Allah SWT kepada manusia melalui para Rasul, termasuk Rasulullah saw yang membawa risalah Islam. Inilah yang ditunjukkan oleh sangat banyak dalil syara’ antara lain :
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (الأنعام : 160)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ قَالَ فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ (رواه احمد)
Dengan demikian dalil aqliy memastikan bahwa keputusan Allah SWT mengusir Adam beserta istrinya dari اَلْجَنَّةِ adalah صِدْقًا وَعَدْلاً وَلَيْسَ بِظُلْمٍ (benar dan adil dan sama sekali bukan zhalim), sebab hal itu ada-lah akibat dari kedua manusia pertama itu yang telah melakukan perbuatan terlarang :
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف : 20-22)
Mengapa Adam dan istrinya melakukan perbuatan yang dilarang dan lebih memilih informasi manipulatif Iblis (فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ) daripada ketentuan Allah SWT (أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ)? Jawaban keputusan kedua manusia pertama itu ditunjukkan oleh bagian kisah :
وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ
Menjadi malaikat (تَكُونَا مَلَكَيْنِ) atau kekal di jannah (تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ), tentu saja sangat sesuai dengan ke-pentingan naluriah mereka berdua sehingga membuat keduanya lupa bahwa hal itu tidak mungkin ter-jadi, apalagi mereka telah diberi informasi oleh Allah SWT bahwa keduanya akan ditempatkan sebagai خَلِيْفَةً di bumi alias di luar jannah. Oleh karena itu, nyata sekali bahwa yang mendorong Adam dan istri-nya maksiat yakni melanggar larangan Allah SWT adalah kepentingan naluriahnya (هَوَاهُمَا) yang sangat mendambakan untuk menjadi malaikat atau kekal di jannah.
Kepentingan naluriah jugalah yang mendorong manusia berada dalam konflik interaktif dan itu telah ditunjukkan oleh generasi kedua manusia yakni dua orang anak pria Adam. Al-Quran menyam-paikan kisahnya sebagai berikut :
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ لَئِنْ بَسَطْتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقْتُلَنِي مَا أَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ إِلَيْكَ لِأَقْتُلَكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْأَةَ أَخِيهِ قَالَ يَاوَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (المائدة : 27-31)
Mereka berdua diperintahkan untuk melakukan qurban, lalu Allah SWT hanya menerima qurban dari salah satunya yang memang melaksanakan perintah itu sepenuhnya sebagai realisasi ketaatan kepada Allah SWT (إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ). Alih-alih menyadari kekeliruannya yakni telah melakukan qurban bukan dalam rangka realisasi ketaatan kepada Allah SWT, ternyata anak Adam yang tidak diterima qurbannya tersebut malah merasa lalu menuding saudaranyalah yang menjadi penyebab qurbannya ti-dak diterima. Perasaan itulah yang mendorong dia untuk membunuh saudaranya (فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ) dan setelah terjadi barulah dia menyesali perbuatannya sendiri : فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ. Munculnya penyesalan sesaat setelah perbuatan salah dilakukan adalah bukti empiris yang memastikan perbuatan tersebut di-putuskan untuk dilakukan semata karena dorongan kepentingan naluriah, bukan sebuah keputusan yang ditetapkan berdasarkan proses aqliyah yang jernih. Fakta itu pun sangat nampak dari penyesalan Adam dan istrinya sesaat keduanya telah sampai di bumi :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (الأعراف : 23)
Fakta empiris memastikan bahwa terjadinya konflik berdarah antara Yahudi, Nashrani dan Kaum Muslim, adalah akibat Yahudi menolak sumber agama mereka yakni Taurah dinyatakan tidak berlaku lagi juga Nashrani yang menolak realitas agama mereka yang bersumber dari Injil telah digantikan se-penuhnya oleh Al-Quran sebagai sumber Islam. Lalu, mengapa mereka (ahlul kitab) menolak ketetapan Allah SWT tersebut? Kepastian alasannya dapat dirunut dan diusut dari :
1.       saat Iblis menolak perintah Allah SWT untuk sujud kepada Adam. Penolakan Iblis tersebut dipu-tuskan berdasarkan hujjah adalah sangat tidak pantas bagi dirinya yang lebih mulia daripada Adam diharuskan sujud kepadanya. Dengan demikian tidak diragukan lagi bahwa kepentingan naluriah Iblis benar-benar telah terhinakan (menurut si Iblis) dengan adanya perintah Allah SWT untuk su-jud kepada Adam. Iblis menganggap kemuliaan dirinya telah ternistakan jika dia melaksanakan pe-rintah sujud tersebut. Inilah realitas Iblis yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ ءَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا قَالَ أَرَأَيْتَكَ هَذَا الَّذِي كَرَّمْتَ عَلَيَّ (الإسراء : 61-62)
2.       saat Adam dan istrinya melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT ketika mereka berdua masih di jannah. Keduanya memutuskan untuk melakukan tindak maksiat tersebut, karena mereka menganggap perbuatan itu akan dapat menjamin terpenuhinya kepentingan naluriah mereka yakni menjadi malaikat atau kekal berada di jannah. Keputusan tersebut mereka ambil karena adanya in-formasi manipulatif dari Iblis (مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ), namun sebenarnya sekuat dan sedahsyat apa pun reka perdaya Iblis itu tentu saja tidak akan pernah berda-ya memperdaya keduanya jika mereka tetap berpegang teguh kepada informasi dari Allah SWT tentang larangan أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ juga tentang realitas Iblis : وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ. Seharusnya Adam dan istrinya menjadikan Iblis sebagai musuh yang wajib dicurigai dan tidak di-percayai apa pun yang diucapkannya sesuai dengan perintah Allah SWT :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ (فاطر : 6)
Namun, sekali lagi, kepentingan naluriah keduanya telah mendominasi kesadaran aqliyahnya se-hingga justru yang mereka lakukan adalah memposisikan Iblis sebagai penasihat dalam memutus-kan tindakan tersebut :
وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ (الأعراف : 21)
3.       putra Adam memutuskan untuk membunuh saudaranya sendiri yang diterima qurbannya oleh Allah SWT (فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ) adalah karena dia menganggap saudaranya itu telah menghalangi bah-kan mengganggu kepentingan naluriahnya (apa pun, spesifikasinya tidak penting). Sehingga kesa-daran aqliyahnya tertutupi walaupun saudaranya itu telah menyampaikan informasi yang benar ten-tang mengapa qurbannya ditolak : قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ.
4.       Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa suatu saat ketika masih belum masuk Islam, ‘Adiy bin Hatim me-nemui Rasulullah saw di Madinah dan di lehernya tergantung salib dari perak. Saat itu Rasulullah saw tengah membaca ayat :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (التوبة : 31)
Lalu ‘Adiy bin Hatim berkomentar : إِنَّهُمْ لَمْ يَعْبُدُوْهُمْ. Komentar tersebut ditanggapi oleh Rasulullah saw dengan ucapan :
بَلَى إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمُ الْحَلاَلَ وَأَحَلُّوْا لَهُمُ الْحَرَامَ فَاتَّبَعُوْهُمْ فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ
Dengan demikian jelaslah ada kepentingan naluriah yang sangat dipertahankan oleh para pemuka Yahudi dan Nashrani (أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ) untuk selalu melekat pada mereka dan tetap ditunjukkan de-ngan setia oleh para pengikutnya. Kepentingan inilah yang mendorong mereka untuk melakukan manipulasi terhadap informasi apa pun tentang Nabi Muhammad saw dan Islam yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Taurah maupun Injil. Lalu hasil rekayasa manipulatif buatan tangan mereka tersebut disodorkan kepada publik dan diklaim sebagai berasal dari Allah SWT :
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ (البقرة : 79)
Wal hasil, inilah penyebab utama dan mendasar mengapa sebagian sangat besar Yahudi dan Nash-rani alias ahlul kitab menolak bahkan memerangi Nabi Muhammad saw dan Islam, padahal infor-masi tentang Allah SWT akan mengutus Nabi Muhammad saw sebagai Rasul penghabisan setelah Isa bin Maryam dengan membawa Islam yang bersumber dari Al-Quran, adalah telah disampaikan dengan pasti dalam Taurah maupun Injil :
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ (الصف : 6)
Oleh karena itu, informasi wahyu (دَلِيْلٌ نَقْلِيٌّ) maupun perjalanan empiris kehidupan manusia sen-diri (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ) memastikan bahwa realitas konflik antar manusia itu baik massal (perang) maupun indi-vidual (perseteruan), ada dua macam :
1.       berbasis kepentingan naluriah (penguasaan sumberdaya alam dan pasar, perluasan wilayah kekua-saan, pengokohan kedudukan, seputar seksual dan sebagainya). Inilah yang ditunjukkan oleh : (a) sikap Iblis terhadap perintah sujud kepada Adam, (b) sikap salah satu anak laki-laki Nabi Adam as terhadap saudaranya dan (c) sikap ahlul kitab terhadap Nabi Muhammad saw, Islam dan umat Is-lam.
2.       berbasis kesadaran aqliyah untuk taat kepada perintah Allah SWT. Tentu saja, realitas perang maupun perseteruan yang asasnya adalah اِدْرَاكُ الإِنْسَانِ صِلَتَهُ بِاللهِ تَعَالَى hanya terjadi dalam Islam yang dilakukan oleh umat Islam, baik saat masih dipimpin oleh Nabi Muhammad saw maupun ketika te-lah beralih kepada Khulafa Rasyidun, bahkan para Khalifah setelah mereka. Hal itu dilakukan un-tuk mencegah kaum kufar (ahlul kitab) yang tidak bersedia secara sadar masuk Islam juga mereka tidak mau membayar jizyah, menjadi penghalang (ideologis maupun fisik) bagi upaya penyebarlua-san Islam ke seluruh dunia. Inilah yang dituntut secara pasti oleh Allah SWT :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
Realitas penaklukan dalam Islam
Mengapa Islam ditetapkan oleh Allah SWT sebagai رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ? Tentu saja, aqal sangat mema-hami bahkan meniscayakannya (يَفْهَمُهُ عَقْلُ الإِنْسَانِ وَ يُحَتِّمُهُ), karena ternyata ahlul kitab telah gagal total dalam melaksanakan kewajiban mereka untuk memberlakukan hukum Allah SWT yang ada dalam Ta-urah maupun Injil, bahkan sebaliknya mereka justru memberlakukan peraturan racikan tangan mereka sendiri secara manipulatif sehingga berakibat seluruh dunia berada dalam kekufuran (الظُّلُمَاتُ). Oleh ka-rena itu adalah kewajaran manusiawi jika kemudian Allah SWT menurunkan Islam dengan misi pasti mengeluarkan manusia yang tengah terjebak dalam gelap gulita kehidupan berbasis kekufuran kembali kepada terang benderangnya kehidupan Islami. Inilah yang ditunjukkan secara pasti oleh pernyataan Allah SWT :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة : 256-257)
Jadi, penaklukan dalam Islam (اَلْفُتُوْحَاتُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dilakukan dalam rangka menjalankan misi Islam  رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ tersebut dan sama sekali bukan demi upaya merealisir keserakahan kekuasaan, atau keraku-san terhadap sumberdaya alam, seperti yang melekat pasti dalam aksi اَلإِسْتِعْمَارِيَةُ الْغَرْبِيَّةُ (penjajahan yang dilakukan oleh Barat). Realitas penaklukan dalam Islam tersebut ditunjukkan secara gamblang dengan adanya posisi perang (اَلْقِتَالُ) sebagai alternatif ketiga dari tiga pilihan yang selalu harus ditawarkan ke-pada kaum kufar oleh umat Islam setiap saat mereka mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia. Inilah yang selalu ditegaskan setiap kali Rasulullah saw mengangkat pimpinan pasukan (جَيْشٌ) maupun ekspedisi (سَرِيَّةٌ) ke luar negeri dalam rangka dakwah Islamiyah :
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ (رواه مسلم)

Khatimah
Tidak diragukan lagi perjalanan panjang penolakan manusia terhadap hukum Allah SWT teruta-ma Islam saat ini, semakin massif dan intensif sekaligus barisannya semakin besar dan banyak. Iblis di masa pra kehidupan dunia, putra Nabi Adam as yang membunuh saudaranya di awal kehidupan dunia, generasi manusia sepanjang 1000 tahun dipimpin oleh Nabi Nuh as, Bani Israil sepanjang dipimpin se-cara bergantian oleh para Nabi yang dimulai oleh Nabi Musa as dan ditutup oleh Nabi Isa as, seluruh-nya adalah komunitas manusia yang terkategori sebagai seburuk-buruknya makhluq sekaligus tidak mampu memfungsikan aqal mereka :
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (الأنفال : 55)
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)
Di awal abad ke-21 tepatnya awal tahun 2010 ini, tipikal Iblis, putra Nabi Adam sang pembunuh pertama kalinya, kaum Nabi Nuh maupun Bani Israil, ternyata telah bertambah dengan adanya barisan “intelektual” bergaya spiritualistik ritualistik semisal Komaruddin Hidayat (mengaku berada dalam Islam) dan BS Mardiatmadja, SJ (Katholik sejati) maupun lainnya yang sejenis dengan keduanya. Bah-kan kedua orang tersebut sangat jauh lebih canggih daripada Iblis dalam menolak hukum Allah SWT yakni dengan mengajukan seabrek argumen humanis dan ekologis, serta menghindari hujjah ideologis.

No comments:

Post a Comment