Sunday, August 26, 2012

DAKWAH VS POLITIK


Dakwah dan politik : mengapa?
Ketua Dewan Pengawas Syariah Takaful Indonesia : Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc. dalam tulisannya yang berjudul “Aktivitas Dakwah dalam Dunia Politik” menyatakan : tugas dan ke-wajiban dakwah (dalam pengertian yang luas) adalah tanggungjawab setiap Muslim kapan dan di ma-na pun, apa pun posisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Karena ruang, waktu, kedudukan dan peker-jaan tidak dibatasi dalam hal kewajiban dakwah ini, maka dalam politik pun dakwah mendapatkan tempatnya. Ketika dakwah yang menjadi jalan dan tujuan berlandaskan nilai-nilai kebaikan, keikhlas-an, kejujuran, kebersihan, serta kebersamaan dimunculkan, politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan yang baik dan mulia tersebut. Kurang lebih seperti itulah gambaran harmonis me-ngenai hubungan dakwah dengan politik.
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif (dalam tulisan Asep Purnama Bahtiar : “Politik Dakwah, Politisasi Dakwah”) menyatakan : dakwah itu merangkul sedangkan politik memecahbelah. Dakwah itu memper-banyak kawan, sedangkan politik memperbanyak lawan.
Asep Purnama Bahtiar (Kepala Pusat Studi Muhammadiyah dan Perubahan Sosial Politik UMY) dalam tulisannya yang berjudul “Politik Dakwah, Politisasi Dakwah” menyatakan : persinggungan dan bahkan pergesekan antara dakwah dan politik terjadi ketika secara institusional dakwah dan politik di-impitkan atau dicoba disatukan, misalnya partai politik yang merangkap sebagai lembaga dakwah. Di sini politik dan dakwah tampak merupakan dua dunia yang tidak sama, baik dalam prinsip nilai mau-pun metode dan tujuannya. Karena itu hubungan antara dakwah dan politik akan menghasilkan pola dan kesimpulan yang berbeda, tergantung pada penempatannya di mana dan memfungsikannya, apa-kah dakwah dalam politik atau politik dalam dakwah. Jika dakwah diletakkan dalam politik, dakwah menjadi instrumen dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai bersangkutan. Dakwah merupakan subordinat dari kepentingan politik, karenanya rawan disalahgunakan. Posisi dakwah dalam partai politik (parpol) seperti ini selain telah kehilangan nilai dan makna hakikinya, ju-ga visi dan misi dakwah menjadi tercemar. Dakwah yang menjadi instrumen parpol telah menjadi se-suatu yang profan, tidak ada bedanya dengan program dan kebijakan partai yang diorientasikan seka-dar meraih kekuasaan dan menumpuk kekayaan. Dengan begitu, dakwah kehilangan adab dan akhlak-nya yang mulia. Berbeda dengan implikasi dari posisi dakwah dalam partai politik, politik dalam dak-wah, misalnya dalam gerakan dakwah ormas Islam, merupakan salah satu jalan dan instrumen untuk kepentingan dakwah. Dalam gerakan dakwah ormas Islam, politik merupakan subordinatnya. Karena itu, dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah. Jadi bukan berdakwah untuk kepentingan politik (kekua-saan), tetapi berpolitik untuk kepentingan dakwah. Dalam proses politik itu terdapat peluang politik yang bisa diisi oleh ormas Islam dengan gerakan dakwah. Ormas Islam berpolitik untuk mendukung gerakan dakwah atau disebut juga sebagai politik dakwah, yang terkait dengan strategi dan kebijakan dakwah yang substantif sehingga bisa efektif dalam memengaruhi dan mewarnai keputusan politik pe-merintah. Sikap dan kebijakan dakwah seperti itu sejalan dengan politik kebangsaan. Muhammadiyah, misalnya, menerapkan model dakwah berupa peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan dakwah dan tajdid yang dapat dikembangkan Muhammadiyah. Antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa ter-jebak pada politik praktis (politik kepartaian).
Itu adalah realitas pemikiran umat Islam yang mencoba untuk membuat pola relasi atau hubungan antara dakwah (اَلدَّعْوَةُ) dengan politik (اَلسِّيَاسَةُ). Walau cara pengungkapan pemikiran ketiga orang terse-but sedikit bervariasi, namun sangat jelas ketiganya sepakat tentang :
a.       realitas dakwah dan politik adalah berbeda dan secara orisinalitasnya masing-masing sama sekali ti-dak berhubungan, baik konsep maupun implementasinya.
b.       pola relasi dakwah dalam politik adalah salah karena menjadikan dakwah sebagai subordinat dari politik.
c.       pola relasi politik dalam dakwah adalah benar karena menjadikan dakwah sebagai pokok ordinat dan politik sebagai subordinatnya.
d.      politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan yang baik dan mulia, bila dakwah dija-dikan jalan dan tujuannya berlandaskan nilai-nilai kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan serta kebersamaan.
e.       politik kebangsaan harus dijalankan oleh ormas Islam guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak dalam politik praktis (politik kepartaian).
Kesepakatan tersebut memastikan bahwa mereka (sadar atau tidak) berada dalam kebingungan dan kegelisahan yang luar biasa berkenaan dengan realitas kekinian relasi dakwah dan politik, terutama di Dunia Islam khususnya Indonesia. Mereka menghadapi dua sisi kehidupan umat Islam, yakni :
1.       para aktivis dakwah baik yang berada dalam ormas Islam maupun parpol Islam yang selama ini mengkhususkan diri dalam aktivitas dakwah, ternyata tanpa dapat dicegah wilayah aksi mereka te-lah melewati garis pembatas yang memisahkan dakwah dengan politik. Mereka telah banyak yang hampir saja meninggalkan dakwah dan justru “sibuk” dalam aksi-aksi politik praktis.
2.       para aktivis parpol Islam telah semakin banyak mengelaborasi dakwah dalam aksi-aksi politik me-reka dengan berbagai tujuan yang seluruhnya dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebijakan partai atau bahkan benar-benar merupakan implementasi dari kebijakan tersebut.
Bagi ketiga orang tersebut (Didin Hafidhuddin, Ahmad Syafii Maarif, Asep Purnama Bahtiar) dua sisi kehidupan umat Islam itu adalah tidak benar dan harus dicegah atau harus diluruskan yakni dikem-balikan kepada keadaan asalnya masing-masing. Para aktivis dakwah (ormas Islam) harus kembali ke-pada habitat asli mereka yaitu dakwah dan jika pun mereka akan “membawa politik” ke dalam arena dakwahnya, maka hal itu wajib dilakukan dengan menempatkan politik sebagai subordinat dari dakwah dan aksi politik itu harus dilakukan untuk kepentingan dakwah. Begitu juga halnya bagi para aktivis parpol, mereka wajib menegaskan dan memastikan realitas dirinya yakni sebagai pelaku aktif dalam li-ni politik praktis (kepartaian) dan harus mencegah diri mereka merambah wilayah dakwah dan lalu menggunakan dakwah sebagai pelengkap, bumbu, pemanis bahkan legitimasi bagi langkah-langkah po-litik mereka yang selalu diorientasikan kepada kekuasaan.
Jadi, inilah mengapa mereka bertiga menjadikan pola relasi dakwah dan politik saat ini sebagai permasalahan yang harus segera diselesaikan. Hal itu karena bila dibiarkan terus dalam kondisi relasi yang salah tersebut, maka yang akan dirugikan adalah dakwah bukan politik. Bahkan sikap pembiaran itu pada gilirannya akan menghancurkan dinamika, efektivitas, jatidiri maupun tujuan dakwah. Asep menyatakan : dakwah yang menjadi instrumen parpol telah menjadi sesuatu yang profan, tidak ada bedanya dengan program dan kebijakan partai yang diorientasikan sekadar meraih kekuasaan dan menumpuk kekayaan. Dengan begitu, dakwah kehilangan adab dan akhlaknya yang mulia.
Lalu, benarkah semua asumsi, dugaan, pemikiran bahkan thesis ketiga orang tersebut? Untuk melacak keabsahan pemikiran mereka, maka harus dibahas dengan rinci tentang : realitas dakwah, rea-litas politik sekularistik, realitas politik dalam Islam dan prioritas utama kaum muslim saat ini.

Realitas politik sekularistik
Konsep politik sekularistik dengan tegas “mengusir” Tuhan beserta agama yang diciptakan oleh Tuhan dari arena politik yakni kekuasaan (negara), bahkan Tuhan pun tidak diperbolehkan untuk ber-peran dalam kehidupan manusia yang juga Dia ciptakan, misalnya dengan membuat peraturan untuk menjalankan kehidupan mereka selama di dunia. Lalu dimunculkan dengan sengaja dan terencana berbagai sebutan “agak miring dan memojokkan” seperti : primordial, puritan, sektarian, yang diarah-kan kepada para aktivis politik berbasis agama atau parpol berasaskan agama tertentu.
Oleh karena itu, bukan perkara yang mengejutkan bila dalam suatu negara yang mengaplikasikan sekularisme (misalnya NKRI, yang mayoritas penduduknya kaum muslim) dalam penyelenggaraan pe-merintahannya terjadi diskursus pemikiran faktual tentang politik dan dakwah maupun pola hubungan keduanya dalam arena politik praktis : kepartaian dan kekuasaan. Tentu saja di negara lain dengan mayoritas penganut agama yang lain juga sama saja kejadiannya, sebagai contoh di Amerika Serikat (AS) yang menegaskan dalam konstitusinya bahwa AS adalah negara sekuler yang memisahkan agama dari ruang publik (politik dan negara). Mayoritas penduduk AS adalah beragama Protestan dengan ber-bagai aliran atau sekte dan salah satu yang paling berpengaruh dalam keputusan atau kebijakan politik dalam negeri AS adalah komunitas Kristen Injili (konservatif). Komunitas ini sangat menentang aborsi atau perkawinan kaum homo/lesbian, sehingga pada momen krusial seperti saat ini : pilpres AS, dua capres dari dua parpol di AS (Demokrat dan Republik) berlomba-lomba untuk meraih simpati komuni-tas tersebut. Artinya di AS telah terjadi diskursus pemikiran faktual tentang politik dan aborsi, politik dan perkawinan kaum homo/lesbian termasuk pola hubungan keduanya. Keadaan yang sama dipasti-kan terjadi hampir di seluruh negara di dunia yang saat ini semuanya menerapkan dan memberlakukan sekularisme dalam pemerintahannya.
Variasi diskursus pemikiran di antara negara-negara tersebut sepenuhnya ditentukan oleh perbe-daan agama yang dianut oleh atau yang menjadi “arus utama spiritualisme” mayoritas penduduknya. Rinciannya adalah :
1.       di negara-negara yang ada dalam Dunia Islam, diskursus pemikiran yang terjadi dan mengemuka adalah antara politik dengan beberapa bagian pemikiran Islam (اَفْكَارٌ اِسْلاَمِيَّةٌ) yang kurang lebih di-anggap berhubungan atau ada kaitannya dengan politik, misalnya : dakwah, jihad, hubungan umat Islam dengan kaum kufar dan sebagainya.
2.       di negara-negara yang ada dalam Dunia Barat Kristen, diskursus pemikiran yang mencuat adalah seputar politik dengan sejumlah isyu krusial yang sangat sensitif bagi komunitas Kristiani konseva-tif misalnya : aborsi, euthanasia, hukuman mati, perkawinan kaum homo/lesbian dan sebagainya.
3.       di negara-negara yang ada dalam Dunia Hindu misalnya India, diskursus pemikiran yang sangat mungkin muncul adalah seputar politik dengan filsafat reinkarnasi yakni bahwa seseorang yang hi-dup saat ini adalah akan layak berkiprah di arena politik bila ada garis reinkarnasi dari kehidupan sebelumnya, baik dari keluarganya maupun bukan. Jadi, walau seseorang secara konsep politik sa-ngat piawai namun bila tidak ada bukti atau paling tidak isyarat (dari leluhur) bahwa yang bersang-kutan adalah jelmaan reinkarnasi dari tokoh politik di masa lalu (misalnya dari Mahatma Gandhi atau Jawaharlal Nehru dan sebagainya), maka orang tersebut berarti tidak layak sama sekali.

Ketiga keadaan di belahan dunia berbasis “arus utama spiritualisme” mayoritas penduduk tersebut me-nunjukkan :
1.       bahwa pada realitas tersebut agama hanya merupakan ekspresi dari naluri keagamaan (غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ) dan sama sekali bukan sebagai asas pemikiran (قَاعِدَةً فِكْرِيَّةً) apalagi menjadi kepemimpinan ideologis (قِيَادَةً مَبْدَئِيَّةً).
2.       bahwa agama sekedar urusan pribadi (اَلأَحْوَالُ الْفَرْدِيَّةُ) dan sama sekali bukan merupakan sistema ke-hidupan (اَنْظِمَةُ الْحَيَاةِ) di dunia.
3.       bahwa agama dan politik sama sekali tidak berhubungan bahkan keduanya berada dalam posisi yang tidak hanya terpisah namun juga berbeda.
4.       bahwa sekularisme telah sepenuhnya berhasil menggantikan posisi agama bagi manusia bahkan le-bih dari itu sekularisme telah menjelma sebagai The New God for Humanity.

Dengan demikian, baik itu :
a.       Didin Hafidhuddin yang menyatakan : ketika dakwah yang menjadi jalan dan tujuan berlandaskan nilai-nilai kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan, serta kebersamaan dimunculkan, politik akan menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan yang baik dan mulia tersebut.
b.       Ahmad Syafii Maarif yang menyatakan : dakwah itu merangkul sedangkan politik memecahbelah. Dakwah itu memperbanyak kawan, sedangkan politik memperbanyak lawan.
c.       Asep Purnama Bahtiar yang menyatakan : dakwah yang menjadi instrumen parpol telah menjadi sesuatu yang profan, tidak ada bedanya dengan program dan kebijakan partai yang diorientasikan sekadar meraih kekuasaan dan menumpuk kekayaan. Dengan begitu, dakwah kehilangan adab dan akhlaknya yang mulia.

maupun orang-orang lainnya yang serupa dengan mereka bertiga, semuanya telah membiarkan diri me-reka secara sadar terjebak dalam kungkungan politik sekularistik. Selain itu, mereka juga telah melaku-kan kompromi tingkat lanjut (advanced level compromises) dengan asas pijakan sekularisme yang me-rupakan kompromi tingkat dasar (basic level compromises), antara pemikiran agama (Islam) dengan re-alitas politik sekularistik. Hal ini nampak sekali dalam pemikiran Didin Hafidhuddin yang menggagas untuk memoles “wajah politik” yang jahat, kotor, haus kekuasaan, tamak terhadap kekayaan, dengan “dakwah” sehingga berubah menjadi alat dan sarana untuk mencapai tujuan yang baik dan mulia.
Jelas sekali pola klasik menjadikan politik sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan yang dite-tapkan oleh Islam, untuk kesekian kalinya kembali digunakan. Artinya, selain mereka tidak pernah jera atas kegagalan penerapan pola klasik tersebut, tapi juga masih menaruh harapan sangat besar terhadap gagasan sangat kuno itu. Mereka sama sekali tidak pernah menyadari : (a) realitas sistema kehidupan yang saat ini tengah menelikung dirinya dan (b) realitas sistema kehidupan yang terpancar (مُنْبَثَقَةٌ) dari aqidah Islamiyah yang diklaim sebagai iman mereka (اِيْمَانُهُمْ). Inilah komunitas manusia yang dimak-sudkan oleh Allah SWT saat menyatakan :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (النساء : 61-60)
Realitas dakwah
Dakwah (اَلدَّعْوَةُ) adalah bagian dari pemikiran Islam yang menjadi metode (اَلطَّرِيْقَةُ) satu-satunya untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia (نَشْرُ رِسَالَةِ الإِسْلاَمِ اِلَى اَنْحَاءِ الْعَالَمِ). Rasulullah saw, Khulafa Rasyidun dan Khulafa setelahnya (Amawiyyun, Abbasiyyun hingga Utsmaniyyun) selalu me-nempatkan aktivitas dakwah dan jihad sebagai tugas utama nan abadi bagi negara (Khilafah). Artinya sepanjang 1300 tahun lebih keberadaan Khilafah di dunia, dakwah dan jihad selalu berposisi secara berdampingan (جَنْبًا عَلَى جَنْبٍ) dalam aktivitas penyebarluasan Islam ke seluruh penjuru dunia. Sehingga salah satu ciri khas yang utama dari Khilafah yang sangat diketahui oleh kaum kufar adalah dakwah dan jihad tersebut. Realitas ini adalah perkara yang masuk dalam kategori : مَعْلُوْمٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ.
Fakta perjalanan dakwah yang panjang itu sekaligus sebagai realitas atau jatidiri (وَصْفُ الْوَاقِعِ) dari dakwah itu sendiri, sehingga sebenarnya umat Islam tidak perlu berpikir terlalu keras sekali pun seha-rusnya telah dapat dengan mudah memahami realitas dakwah tersebut. Apalagi seluruh dalil syara’ yang berkenaan dengan kewajiban dakwah dan realitas dakwah itu sendiri, ternyata berupa dalil-dalil yang dapat dipahami مَنْطُوْقًا dan tidak perlu مَفْهُوْمًا. Dalil-dalil syara’ (اَلأَدِلَّةُ الشَّرْعِيَّةُ) tersebut adalah :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل : 125)
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (يوسف : 108)
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (الأنعام : 153)

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (رواه البخاري)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْيَمَنِ قَالَ إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ (رواه البخاري)
Keseluruhan dalil tersebut menunjukkan :
1.       realitas سَبِيلُ رَبِّكَ adalah sama dengan هَذِهِ سَبِيلِي, الْخَيْرُ, هَذَا صِرَاطِي, بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ, عِبَادَةُ اللَّهِ, yakni اَلإِسْلاَمُ. Sehingga perkara yang wajib disampaikan kepada seluruh manusia di dunia melalui metode dak-wah itu adalah hanya Islam dan bukan yang selainnya. Pemahaman ini juga ditunjukkan oleh pernyataan Hudzaifah bin Al-Yaman saat mengawali dialog dengan Rasulullah saw :
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ (رواه البخاري)
Hudzaifah memastikan realitas الْخَيْرُ (فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ) sebagai kebalikan dari realitas جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ yang pernah dia jalani sebelum datang Islam bersamaan dengan Allah SWT mengutus Rasulullah saw dan pemahaman yang pasti dari Hudzaifah tersebut dibenarkan oleh Rasulullah saw.
2.       aktivitas dakwah tersebut menjadikan manusia terbelah ke dalam dua kelompok besar yakni kelom-pok yang menerima dan mengikuti Islam (هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ) dan kelompok yang menolak sekaligus memusuhi Islam (هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ). Dakwah adalah metode satu-satunya untuk menghadir-kan اَلْهِدَايَةُ lalu memberlakukannya dalam arena kehidupan manusia dan pada saat yang bersamaan mencerabut, memberangus serta memusnahkan اَلضَّلاَلَةُ berikut segala bentuk dan manifestasinya, sehingga kehidupan mereka di dunia sepenuhnya berada dalam رَحْمَةً.
3.       uslub dakwah (اُسْلُوْبُ الدَّعْوَةِ) yakni dengan (a) mengemukakan argumen/hujjah (بِالْحِكْمَةِ), (b) membe-rikan panduan/bimbingan yang benar (وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ) dan (c) melakukan perdebatan dengan cara yang paling tepat/jitu (وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ), ketiganya diberlakukan dengan menggunakan metode aqliyah (عَلَى بَصِيرَةٍ) yang diarahkan kepada aktivitas berpikir manusia supaya mereka sepenuhnya menggunakan aqalnya (اِسْتَعْمَالُ عَقْلِهِمْ) untuk memahami dan selanjutnya bersikap terhadap dakwah Islamiyah yang telah sampai kepada mereka. Hal itu karena makna dari ungkapan عَلَى بَصِيرَةٍ adalah بِحُجَّةٍ وَاضِحَةٍ atau بِبُرْهَانٍ عَقْلِيٍّ وَشَرْعِيٍّ atau عَلَى يَقِيْنٍ وَحَقٍّ. Realitas ini juga ditunjukkan oleh pola pernya-taan (نَمْطُ الْكَلاَمِ) dalam bagian hadits : أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ atau pada bagian hadits : فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ. Keduanya menunjukkan aksi atau bentuk riil dari عَلَى بَصِيرَةٍ.
4.       Islam didakwahkan kepada manusia meliputi aqidah (اَلإِيْمَانُ بِاللهِ) dan syari’ah (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) atau sistema (اَلنِّظَامُ). Artinya Islam didakwahkan sebagai sebuah ideologi (اَلْمَبْدَأُ) yaitu Ideologi Islam : اَلْمَبْدَأُ الإِسْلاَمِيُّ, bukan sebagai agama spiritualistik : دِيْنًا رُوْحِيًا. Inilah realitas perkara yang harus didak-wahkan (مَا يُدْعَى اِلَيْهِ) yang telah ditetapkan dalam dalil-dalil tersebut sehingga merupakan kewajiban (وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ) kaum muslim untuk hanya mengemban dakwah (يَحْمِلُوْنَ الدَّعْوَةَ الإِسْلاَمِيَّةَ) dengan cara demikian.

Demikianlah realitas الدَّعْوَةُ yang telah ditetapkan oleh seluruh dalil yang ada dalam sumber-sum-ber Islam yang sejati : Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karena itu adalah pernyataan atau gagasan atau pemikiran yang sangat salah saat Didin Hafidhuddin menyatakan : tugas dan kewajiban dakwah (da-lam pengertian yang luas) adalah tanggungjawab setiap Muslim kapan dan di mana pun, apa pun po-sisi, jabatan, profesi dan keahliannya. Hal itu karena pelekatan realitas dakwah sebagai dalam pe-ngertian yang luas telah memaksakan realitas baru kepada dakwah yakni ada dakwah dalam penger-tian sempit dan ada dakwah dalam pengertian luas. Padahal seluruh dalil memastikan bahwa :
اَلدَّعْوَةُ مِنْ حَيْثُ هِيَ دَعْوَةٌ تَكُوْنُ دِعَايَةَ الإِسْلاَمِ وَهِيَ دِعَايَةً اِلَى النَّاسِ كَافَّةً لِيَدْخُلُوْا فِيْ الإِسْلاَمِ كَافَّةً وَلِيُنَفِّذُوْا الإِسْلاَمَ وَلِيُطَبِّقُوْهُ فِيْ حَيَاتِهِمْ حَتَّى تَكُوْنَ حَيَاتُهُمْ حَيَاةً اِسْلاَمِيَّةً حَقِيْقِيَّةً
“dakwah dari sisi apa adanya adalah seruan Islam yakni seruan kepada seluruh manusia supaya me-reka masuk ke dalam Islam secara utuh dan agar mereka melaksanakan serta menerapkan Islam da-lam kehidupan mereka sehingga kehidupan mereka menjadi kehidupan Islami yang sejati”.

Sebagai penguat (اَلتَّأْكِيْدُ) bahwa realitas dakwah adalah seperti itu, maka perhatikan hadits berikut :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ فَقُلْنَا حَدِّثْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه مسلم)

Nampak jelas gambaran (اَلتَعْبِيْرُ) yang diungkapkan oleh salah seorang shahabat Nabi saw yakni yang mulia ‘Ubadah bin Shamit tentang realitas dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Rasulullah saw menyeru manusia yang ada di sekitar beliau (دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), lalu aksi beliau itu meng-undang reaksi mereka yaitu : (a) ada yang menolak dan mengingkarinya (kaum kufar Quraisy, Yahudi, Nasrani) dan (b) ada yang menerimanya dengan pasti (فَبَايَعْنَاهُ) : inilah para shahabat yang diantaranya adalah ‘Ubadah sendiri. ‘Ubadah pun menjelaskan bahwa konsekuensi menerima seruan Rasul saw itu yakni bai’at untuk mendengar dan mentaati beliau saw (بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ) adalah wajib terus dipikul dalam keadaan apa pun (فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ) selama hidup di du-nia dan hanya boleh melepaskan beban bai’at tersebut dalam satu kondisi saja yaitu saat sang pemim-pin (اَلإِمَامُ) melakukan dan memberlakukan kekufuran : إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ. Selain itu ketika Rasulullah saw mengangkat seorang pimpinan (اَمِيْرًا) untuk pasukan (جَيْشٌ) atau ekspedisi bersen-jata (سَرِيَّةٌ), maka beliau selalu memberikan pesan (اَلْوَصِيَّةُ) kepada pimpinan tersebut sebagai berikut :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ (رواه مسلم)

1.       untuk selalu taqwa kepada Allah dan bersikap baik kepada kaum muslim yang menyertainya (pra-jurit) : بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا.
2.       untuk memulai perang di jalan Islam dengan diawali kesadaran (اَلإِدْرَاكُ) bahwa itu adalah perintah Allah SWT : اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ.
3.       memberikan penjelasan yang pasti bahwa perang (اَلْقِتَالُ اَوِ الْغَزْوَةُ) yang dilakukan oleh umat Islam kepada manusia lain adalah karena mereka kufur kepada Allah SWT : قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا.
4.       ketika pasukan umat Islam bertemu dengan kaum kufar maka tidak boleh (haram) langsung mela-kukan penyerbuan, namun wajib terlebih dahulu menyerukan tiga pilihan dan yang pertama adalah seruan alias dakwah agar mereka (kaum kufar) masuk ke dalam Islam dengan kesadaran mereka sendiri tanpa paksaan :
وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ

Jadi, dakwah itu merupakan metode satu-satunya untuk menyeru kaum kufar supaya mereka masuk ke dalam Islam tanpa harus diperangi, atau dengan kata lain metode satu-satunya untuk menyebarluaskan informasi tentang Islam secara utuh kepada seluruh manusia adalah dakwah, bukan yang lain.


Realitas politik dalam Islam
Islam menetapkan realitas politik secara khas dan berbeda dengan ideologi lain, yakni :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“mengurus kepentingan rakyat atau umat baik dalam maupun luar negeri dengan menggunakan hu-kum syara (Islam)”.
Sebagai pembanding perhatikan pernyataan C. Calhoun (2002) tentang realitas politik (di luar Islam) : the ways in which people gain, use, and lose power : suatu jalan di mana orang-orang memperoleh, menggunakan dan kehilangan kekuasaan.

Realitas politik (وَاقِعُ السِّيَاسَةِ) tersebut ditunjukkan secara pasti oleh sejumlah dalil yaitu :
عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)

عَنْ الْحَسَنِ قَالَ أَتَيْنَا مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ نَعُودُهُ فَدَخَلَ عَلَيْنَا عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (رواه البخاري)
عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ (رواه البخاري)

مَنْ اَصْبَحَ وَهْمُهُ غَيْرُ اللهِ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ وَمَنْ اَصْبَحَ وَلَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِميْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ (رواه الحاكم في المستدرك ص. 320)

Politik dalam negeri (اَلسِّيَاسَةُ الدَّاخِلِيَّةُ) diselenggarakan oleh Khalifah dalam bentuk pemberlakuan seluruh hukum syara’ tanpa kecuali kepada seluruh warga negara Khilafah (عَلَى كُلِّ مَنْ يَحْمِلُ تَابِعِيَّةَ الْخِلاَفَةِ), baik itu dari kalangan kaum muslim maupun ahlu dzimmah. Bahwa ahlu dzimmah dibiarkan untuk me-ngatur urusan makanan, minuman, pakaian, keyakinan, ritualisme, pernikahan, kelahiran, kematian, de-ngan aturan agama mereka (jika ada), maka itu pun adalah ketentuan dari hukum syara’ sendiri. Oleh karena itu tidak diragukan lagi bahwa implementasi riil politik dalam negeri adalah pemberlakuan selu-ruh hukum syara’ tanpa kecuali kepada seluruh warga negara Khilafah.
Adapun berkenaan dengan politik luar negeri (اَلسِّيَاسَةُ الْخَارِجِيَّةُ), penyelenggaraannya oleh Khalifah mengikuti rincian sebagai berikut :
1.       Khilafah adalah كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ untuk mengaktualisasikan risalah Islam bagi seluruh manusia se-suai ketentuan Allah SWT : وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سبأ : 28), juga pernyataan Nabi Muhammad saw : وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري) atau كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ (رواه مسلم). Kewjiban ini dilaksanakan oleh Khalifah dengan metode yang telah ditetapkan oleh Islam yakni dakwah dan jihad, sehingga dari realitas ini dapat dipastikan bahwa dakwah (juga jihad) adalah bagian dari aktivitas politik luar ne-geri Khilafah.
2.       kepentingan umat atau rakyat Khilafah (شُؤُوْنُ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ) di luar negeri adalah upaya Khalifah su-paya aktivitas pemeliharaan dan pemenuhan kepentingan rakyat di dalam negeri dapat dilakukan dengan sempurna. Tentu saja ini menyangkut dua hal yakni : (a) tidak adanya gangguan atau an-caman dari luar negeri terhadap keutuhan dan integrasi Khilafah itu sendiri dan (b) adanya sumber pembiayaan atau pendanaan selain yang berasal dari dalam negeri yakni berupa ghanimah, kharaj, fai-iy, anfal yang erat hubungannya dengan atau akibat adanya kegiatan futuhat di luar Khilafah. Aktivitas futuhat dilakukan oleh Khilafah dengan dua metode yakni dakwah dan jihad, sehingga dari sini pun jelas bahwa dakwah (juga jihad) adalah bagian dari aktivitas politik luar negeri Khila-fah. Jadi, hubungan diplomatik dengan negara-negara kufur tertentu atau perjanjian bertetangga ba-ik atau perjanjian damai atau gencatan senjata (penghentian perang untuk sementara waktu), selu-ruhnya akan dilakukan oleh Khalifah bila terbukti berguna atau mempermudah bagi upaya dia da-lam mengurus/memenuhi kepentingan rakyat di dalam negeri. Namun bila ternyata tidak demikian atau bahkan justru mempersulit upaya dia dalam memenuhi kepentingan rakyat di dalam negeri, maka yang boleh dilakukan oleh Khalifah hanya dakwah dan jihad, haram yang lain.

Oleh karena itu, politik adalah bagian dari syari’ah Islamiyah bahkan yang paling utama dan pa-ling wajib sebab berhubungan langsung dengan pengurusan kepentingan umat Islam selama hidup di dunia yang diselenggarakan secara tunggal oleh Khalifah. Dakwah adalah bagian dari syari’ah Islami-yah yang merupakan metode satu-satunya untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia, arti-nya dakwah menjadi metode satu-satunya bagi Khalifah dalam menyelenggarakan aktivitas politik luar negeri Khilafah. Jadi, tidak ada keperluan sama sekali dalam Islam dan kehidupan Islami untuk meng-utak-atik soal bagaimana hubungan atau pola relasi antara dakwah dan politik, sebab semuanya telah jelas dan terkategori realitas yang : مَعْلُوْمٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ.
Wal hasil, gagasan Asep Purnama Bahtiar yang menyatakan : (a) pola relasi dakwah dalam poli-tik adalah salah karena menjadikan dakwah sebagai subordinat dari politik dan (b) pola relasi politik dalam dakwah adalah benar karena menjadikan dakwah sebagai pokok ordinat dan politik sebagai sub-ordinatnya, tentu saja merupakan pemikiran yang salah karena tidak sesuai dengan realitas dakwah maupun politik dalam Islam. Gagasan itu pun adalah haram ada dalam diri seorang muslim dan haram disebarluaskan kepada kaum muslim yang lain serta haram bagi seluruh umat Islam untuk mengikuti-nya atau menjadikannya sebagai asas bagi sikap mereka.
Prioritas utama kaum muslim saat ini
Barisan para pegiat sesat dan menyesatkan dalam kehidupan dunia sekularistik adalah semakin banyak jumlahnya dan semakin rapat komposisi maupun konfigurasinya. Mereka adalah orang-orang yang selama ini menjadi pusat perhatian sebagian besar umat Islam, sehingga apa pun yang diucapkan dan digagas oleh orang-orang tersebut hampir selalu dijadikan asas sikap mereka. Posisi dan eksistensi para pegiat itu semakin mantap dan hampir sulit untuk digoyahkan sehubungan dengan dari hari ke hari tingkat pemikiran sebagian sangat besar kaum muslim adalah sangat rendah dan sama sekali tidak ber-arti dalam mengendalikan sikap mereka terhadap realitas kehidupan yang ada. Keadaan inilah yang be-nar-benar dimanfaatkan oleh para pegiat tersebut untuk semakin gencar dan berkesinambungan dalam mengkonsep serta menyebarluaskan berbagai ide, hukum maupun pemikiran kufur ke dalam kehidupan kaum muslim yang berbasis sekularisme. Akibatnya, seluruh umat Islam sangat rapuh dan berada da-lam marabahaya yang sangat dahsyat serta mematikan. Padahal realitas mengerikan tersebut dapat de-ngan mudah sekali dihindari bila mereka mentaati perintah Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)
Kaum muslim mustahil untuk dapat melakukan aksi mengambil hidayah (اَلإِهْتِدَاءُ) selama pemiki-ran mereka sepenuhnya berasaskan kekufuran (sekularisme) berikut sistema cabang maupun turunan-nya (demokrasi dan kapitalisme). Hal itu karena sekularisme yang menjadi asas demokrasi maupun ka-pitalisme benar-benar sesuai dengan kecenderungan kepentingan naluriah manusia (اَهْوَاءُ النَّاسِ), sehing-ga semakin lama manusia mendasarkan pemikiran mereka kepada konsep primitif nan biadab tersebut, maka aka semakin rendah tingkat pemikirannya bahkan akhirnya sama dengan realitas binatang. Hal seperti ini bagi kaum kufar adalah wajar dan pantas karena mereka memang manusia yang tidak per-nah menggunakan aqalnya :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (الأنفال : 65)
Namun bagi umat Islam keadaan tersebut adalah kerugian sekaligus sebagai kehancuran, karena telah mengubah status mereka yang mulia (وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (آل عمران : 139)) menja-di justru terhina dan tertindas.
Oleh karena itu jalan keluar satu-satunya adalah umat Islam harus kembali kepada Islam secara utuh yakni : (a) menjadikan Islam sebagai satu-satunya asas pemikiran mereka dan (b) menjadikan kehidupan mereka Islami kembali dengan cara menegakkan kembali Khilafah sebagai كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ. Inilah yang dituntut oleh Allah SWT saat menyatakan :
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ (آل عمران : 120)

Kehidupan Islami (اَلْحَيَاةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah pola kehidupan (طِرَازُ الْعَيْشِ) yang benar-benar layak dan sesuai dengan realitas kemanusiaan yang telah ditaqdirkan memiliki aqal dengan khasiat dapat memahami se-gala sesuatu sekaligus menyadari segala sikap yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan. Allah SWT menyatakan :


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ (الأنفال : 24)

No comments:

Post a Comment