Sunday, August 26, 2012

CARA MUDAH DAN MURAH MELUMPUHKAN ISLAM


Kompromi pengokohan sekularisme abad 21
Benyamin F. Intan (tulisan : Dialog “Agama Publik”, Kompas, Jumat 5 Februari 2010, OPINI, halaman 6) menyampaikan informasi bahwa Amerika Serikat (AS) dan Indonesia telah menyelengga-rakan konferensi lintas agama bertema “Membangun Komunitas Bersama : Meningkatkan Kerja Sama Antarwarga yang Berbeda Keyakinan” di Jakarta, 25-27 Januari 2010. Menurut siaran pers Kedubes AS di Jakarta, dialog itu menindaklanjuti pidato Presiden AS Barack Obama di Kairo pada tahun lalu yang dipuji banyak tokoh dunia yang bertekad membuka era baru hubungan Barat-Islam. Obama ingin menyelesaikan persoalan politik melalui dialog lintas agama. Diplomasinya bersifat faith-based diplo-macy (bandingkan Douglas Johnston, ed. Faith-Based Diplomacy : Trumping to Realpolitic). Salah sa-tu kendala terbesar membangun hubungan Barat-Islam adalah beda persepsi tentang peran agama di ru-ang publik.
Negara-negara Barat yang dikenal sekuler cenderung memprivatisasi agama. Bagi mereka, keha-diran agama di ruang publik berpotensi memicu konflik horizontal. Penyebabnya, menurut John Rawis, agama tidak dapat menerima fakta keberagaman. Rawis melihat pluralisme agama tidak mungkin dise-lesaikan di wilayah publik. Itu sebabnya dalam negara sekuler, agama dimarginalisasi ke wilayah pri-vat.
Di Islam, kiprah agama dalam ruang publik adalah suatu keniscayaan. Malah bagi sebagian Mus-lim, agama harus berkancah dalam politik praktis. Negara Islam menampakkan perpaduan Islam dan politik kekuasaan. Beda persepsi Barat dan Islam ini sangat substantif, mesti didialogkan demi era baru relasi Barat-Islam.
Mengapa Indonesia? Pasti ada alasan kuat memilih Indonesia negara pertama yang disinggahi delegasi AS. Pertama, bukan hanya karena Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia, melain-kan juga karena Indonesia dan AS sama-sama memiliki keberagaman komposisi penduduk dalam hal budaya dan agama. Kedua, penetapan Indonesia tidak terlepas dari pengalaman Obama menyaksikan kebebasan beragama pada masa kanak-kanaknya di Indonesia.
Namun, ada alasan yang lebih mendasar. Penyebab Indonesia dipilih karena Indonesia bukan ne-gara sekuler, bukan pula negara agama, melainkan negara Pancasila. Negara sekuler bersifat “netral-privat” : menjamin kebebasan semua agama, tapi hanya sebatas di wilayah privat. Peran publik agama dinafikan. Privatisasi agama berpotensi melahirkan gerakan radikal agama yang dapat mengganggu ke-pentingan umum (Gilles Kepel, The Revenge of God).
Dalam negara agama yang “sektarian-praktis” terjadi hal sebaliknya. Negara agama pada dasar-nya tidak menjamin kebebasan beragama. Hanya agama tertentu mendapat perlakuan istimewa. Ki-prahnya hingga di wilayah politik praktis, berkolaborasi dengan negara. Akibatnya, agama kehilangan daya transendentalnya, negara menjadi otoriter dan diskriminatif. Tindakan bunuh diri bagi agama dan negara.
Berbeda dari kedua entitas tersebut, negara Pancasila bersifat “netral-publik” : menjamin kebeba-san semua agama, bukan hanya sebatas wilayah privat, melainkan juga mencakup ranah publik. Sila pertama Pancasila jaminannya. Kalau hanya kadar kebebasan memeluk agama, sila kedua, ketiga dan seterusnya sudah cukup menjamin. Keunikan sila pertama : mendorong agama-agama menjalankan pe-ran publiknya. Singkatnya, Pancasila adalah jalan tengah bagi Barat dan Islam. Itu sebabnya mengapa Indonesia menjadi partner dialog penting yang menghubungkan Barat dengan Islam.
Persoalannya, bagaimana menjadikan “agama publik” Pancasila kekuatan transformatif guna me-rajut kehidupan politik yang demokratis. Penulis setuju dengan Gus Dur bahwa peran publik agama bersifat “etika kemasyarakatan” (social ethic), identik dengan pemikiran teolog Stanley Hauerwas (A Community of Character : Toward a Constructive Christian Social Ethic).
Agama sebagai etika kemasyarakatan seharusnya berada pada level civil society. Agama di level ini bertolak dari realitas kemajemukan agama. Misinya bukan pada isu dominasi antarkelompok aga-ma, tapi bagaimana memberdayakan kekuatan potensial agama-agama guna menjawab tantangan kon-kret kemanusiaan di masyarakat.
Kehadiran etika kemasyarakatan agama bukan memolitisasi agama atau mengagamaisasi politik, melainkan kepada bagaimana menjadikan kehidupan politik bangsa lebih bermoral dan beretika. Hanya agama dengan etika kemasyarakatan pada dataran civil society yang memiliki kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan sosial-politik yang demokratis. Ini tawaran Pancasila untuk membangun era baru hubungan Barat-Islam.
Demikianlah, perjalanan waktu 221 tahun sejak Revolusi Perancis pada 14 Juli 1789 yang ditan-dai dengan dibakarnya Penjara Bastille dan dihancurkannya alat pemenggal kepala Guilloutine (kedua-nya simbol sadis kekuasaan absolut Raja Louis XIV), ternyata telah mewujudkan kondisi yang sangat nyaman untuk lahirnya aksi kompromistik serupa jilid kedua. Revolusi Perancis adalah peristiwa mo-numental bagi aksi kompromistik jilid pertama yakni munculnya antithesis terhadap klaim Raja Louis XIV l’etat cest moi (negara adalah saya) : vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) dan ter-hadap konspirasi besar antara para raja (negarawan) dengan para pendeta (gerejawan) saat itu yang atas nama Tuhan menindas rakyat secara brutal : sekularisme (Give the God His Rights and Give The Em-peror His Right too).
Saat ini, 221 tahun setelah revolusi tersebut, adidaya AS selaku pengusung utama dan terdepan bagi sekularisme berupaya dengan segala cara untuk selalu memperbarui loyalitas dan kesetiaan selu-ruh umat manusia terutama umat Islam kepada konsep pemisahan wilayah otoritas Tuhan dan wilayah otoritas kaisar (negara) tersebut. Kebijakan pengucilan AS atas Kuba hingga saat ini, agresi militer ke Iraq, pendudukan di Afghanistan, pelestarian opini konflik tiga agama besar di Palestina plus eksistensi Israel, perang dagang semi terselubung dengan China, adalah fakta empiris untuk menunjukkan adanya upaya serius dan sungguh-sungguh dari AS untuk melestarikan loyalitas dan kesetiaan manusia kepada sekularisme. Namun, kerja keras AS dengan modus operandi operasi militer maupun ekonomi tersebut ternyata sangat mahal baik dari aspek biaya maupun nyawa. Sebagai contoh personil tentara AS yang tewas sejak invasi militer ke Iraq tahun 2003 hingga Desember 2008 adalah 4209 orang dan hingga Juli 2009 bertambah menjadi 4239 orang. Dana yang telah digunakan untuk membiayai perang di Iraq saja selama enam tahun berjalan telah mencapai lebih dari satu triliun dollar, padahal perang di Iraq hingga saat ini (2010) masih belum ada tanda-tanda akan berakhir walaupun telah dibuat rencana strategis pe-narikan mundur tentara AS dari negeri itu pada tahun 2012 mendatang.
Demikian juga, dana yang dibutuhkan untuk “memelihara” anjing galak Israel demi tujuan me-lestarikan loyalitas dan kesetiaan seluruh negara Arab di kawasan Timur Tengah, adalah sangat mahal yakni setiap tahunnya sebesar 4,3 miliar dollar AS dan hibah untuk militer saja per tahun adalah 3 mi-liar dollar AS. Sehingga sejak negara Israel didirikan tahun 1948 hingga kini tahun 2010, AS telah  me-ngeluarkan dana tetap sebesar 452,6 miliar dollar. Dana yang sangat besar jumlahnya sudah pasti juga telah dan akan selalu harus dikeluarkan oleh AS untuk keperluan perang di Afghanistan, Darfur Sudan, Kashmir, membantu Pakistan dan Indonesia dalam memerangi teorisme, serta lainnya di arena pereko-nomian.
Pembelanjaan maupun pengorbanan nyawa besar-besaran tersebut masih akan ditempuh oleh AS selama secara prinsip ekonomi kapitalistik (the least the cost the highest the profit) masih menjanjikan. Namun demikian, nampaknya sejak memasuki tahun 2009 seiring dengan terpilihnya Obama sebagai Presiden AS ke-44, uslub tersebut secara gradual akan ditinggalkan lalu digantikan dengan uslub lain-nya yang efektivitasnya sama namun lebih murah dan mudah serta tidak terlalu banyak menimbulkan efek samping yang mencederai kehormatan maupun nama baik AS sendiri. Inilah hakikat yang dimak-sudkan oleh sifat kebijakan luar negeri Obama : faith-based diplomacy yang ditegaskan salah satunya dalam konferensi lintas agama bertema “Membangun Komunitas Bersama : Meningkatkan Kerja Sama Antarwarga yang Berbeda Keyakinan”. Terungkap secara gamblang bahwa sifat kebijakan luar negeri AS tersebut ditujukan bagi membuka era baru hubungan Barat-Islam. Obama ingin menyelesaikan per-soalan politik melalui dialog lintas agama. Mengapa uslub ini yang dipilih untuk digunakan?
Diplomasi Berbasis Keyakinan dipilih dengan pertimbangan utama adalah karena murah bahkan paling murah dibanding uslub lainnya termasuk apalagi militeristik. Selain itu, uslub ini walau memang sangat berisiko jika mengalami kegagalan yakni terjadinya konflik berbasis agama, namun kelemahan tersebut dapat dengan mudah ditutupi dengan terlebih dahulu mempersiapkan pra kondisi yang menjadi pijakan pertimbangan apakah uslub telah berada pada saatnya yang tepat untuk digunakan, ataukah jus-tru belum sehingga jika dipaksakan dipastikan akan gagal.
Oleh karena itulah, uslub Diplomasi Berbasis Keyakinan baru digulirkan oleh AS sendiri bersa-maan dengan Barack Obama menjadi presiden ke-44 pada tahun 2009 dan itu tentu saja sangat sengaja dilakukan seiring dengan adanya opini dunia terutama Dunia Islam bahwa pada sosok Obama ada me-limpah banyak harapan terjadinya sikap yang lebih baik dan adil dari AS kepada umat Islam. Gumpal-an harapan tersebut memang sangat wajar muncul karena selama delapan tahun AS dipimpin oleh Pre-siden G.W. Bush, Dunia Islam mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi bahkan menge-naskan. Realitas inilah yang dijadikan pertimbangan untuk melakukan perubahan (the change) sesuai dengan tema utama setiap pidato Obama selama masa kampanye kepresidenannya. Jadi, bukan sebuah kebetulan jika pada awal tahun ini (25-27 Januari 2010) di Jakarta telah diselenggarakan konferensi dengan yang mengangkat tema “Membangun Komunitas Bersama : Meningkatkan Kerja Sama Antar-warga yang Berbeda Keyakinan” yang tiada lain adalah pemikiran turunan dari faith-based diplomacy.
Keputusan itu pun diambil oleh AS berdasarkan perkembangan mutakhir yang terjadi pada tatar-an realitas mainstream pola pemikiran maupun sikap umat Islam Indonesia yang terwakili oleh sejum-lah tokoh (intelektual maupun agamawan) maupun kelompok (ormas seperti NU, Muhammadiyah, Persis maupun orpol seperti PKS, PPP, PAN, PKB). Bahkan AS menemukan hakikat lainnya yakni se-luruh pilar kekuasaan demokratis di Indonesia walaupun didominasi oleh umat Islam namun ternyata seluruhnya sepakat untuk semakin mengokohkan dan memantapkan sekularisme sebagai satu-satunya asas perjalanan berbangsa dan bernegara. AS pun sangat mengetahui bahwa umat Islam Indonesia se-pakat untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam atau paling tidak bukan negara yang memposisikan Islam sebagai agama resminya. Hakikat yang terindera oleh AS (Kedubes AS berikut seluruh Konjen yang ada di Indonesia) tersebut ditunjukkan antara lain oleh :
1.       Ketua Umum Muhammadiyah : Prof. Din Syamsuddin bersama dengan Direktur Eksekutif Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) : Abdul Mukti, yang menyerukan : agar pada tahun 2008 bangsa Indonesia mengedepankan budaya percakapan dan kebersamaan dengan menolak bentuk kekerasan. Kita berharap 2008 ini bisa dijalankan secara nyata sebagai tahun percakapan dan kebersamaan baik itu tingkat global bangsa-bangsa maupun lokal Indone-sia. Praktik kekerasan itu baik yang dilakukan oleh lembaga maupun individu, bukanlah cara yang beradab hingga harus ditinggalkan. Praktik kekerasan itu seperti perang dan eksploitasi. Indone-sia harus meninggalkan budaya kekerasan baik itu bermotifkan etnis, politik maupun bangsa.
2.       Mohamad Asrori Mulky (Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan/PSIK Uni-versitas Paramadina Jakarta) dalam tulisannya yang berjudul “Substansialisasi Pesan Agama” me-nyatakan : Agama sudah tidak lagi berfungsi sebagai medium dalam perjumpaannya dengan aga-ma dan kelompok lain. Ia lebih menjadi alat provokasi dan destruksi untuk menghancurkan kelom-pok di luar dirinya. Padahal, dalam catatan sejarah agama-agama dunia, sejatinya agama mem-bawa misi kedamaian dan kerukunan, bukan perselisihan dan pertarungan (Karen Amstrong, The History of God). Tentunya kita sepakat bahwa ketika agama menjadi pemicu aksi kekerasan, tero-risme, brutalisme, dan barbarisme, maka saat itu agama menjadi candu umat. Dan pada saat ber-samaan pula ia berada di ujung tanduk kepunahan, akan dicibir dan ditinggalkan pemeluknya, ce-pat ataupun lambat.
3.       Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat dalam tulisannya berjudul “Senja Kala Sekularisme” (Kompas, Jumat 15 Januari 2010, OPINI, halaman 6) menyatakan : Jadi, meski-pun gerakan agama kembali bangkit, masih ada pertanyaan besar, apa jaminannya bahwa kebang-kitan agama akan memberikan kehidupan lebih baik di masa depan? Atau : Jadi, tanpa melibatkan Tuhan saja potensi konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan itu sudah terjadi. Terlebih lagi jika memperoleh amunisi tambahan berupa ketidakadilan ekonomi dan pendidikan serta sentimen agama, maka proses demokratisasi yang kita perjuangkan akan digerogoti oleh konflik antarke-lompok kepentingan yang tidak rasional.
4.       Husein Ja’far Al Hadar (Peminat Studi Agama dan Filsafat) dalam tulisannya berjudul Mengem-bangkan Islam ‘Tinta’ (Republika, Jumat 22 Januari 2010, OPINI, halaman 4) menyatakan : Ada-pun tinta merupakan simbol dari corak keberislaman berbasis moderat-pluralis yang berfondasi-kan pemahaman keislaman yang bersifat inklusif-kontekstualis. Corak keislaman ‘tinta’ ini biasa-nya menjadikan pena -simbol dialog dan toleransi- sebagai media dakwah dan syiarnya. Bertolak dari sini, sejatinya terlihat bahwa Islam cenderung menekankan umatnya untuk mengembangkan corak keberislaman yang moderat, toleran, serta pluralis. Oleh karena itu, dalam pandangan pe-nulis, sejatinya Islam lebih menekankan umatnya untuk mensyiarkan Islamnya secara toleran, mo-derat, serta damai berbasis dialog.
5.       Mantan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR RI : A. Effendi Choirie menyata-kan : sejak lama Nahdhatul Ulama (NU) memang tak menginginkan Indonesia menjadi negara Is-lam. Alasannya, ormas Islam terbesar di Indonesia itu memiliki kecintaan kepada bangsa dan ne-gara, serta menghargai keberagaman. Paham NU itu ahlussunnah waljamaah, yang memang me-nginginkan kedamaian. Makanya, NU tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Dalam perjalanan sejarahnya, NU selalu terlibat dalam berbagai bidang, baik politik maupun hal-hal yang terkait dengan kebangsaan. Pada praktiknya di lapangan, NU selalu membawa paham keisla-mannya yang berorientasi pada wawasan kebangsaan dan membiarkan budaya-budaya setempat tumbuh subur dengan masyarakat Islamnya.
Pertunjukan pemikiran maupun sikap sejumlah tokoh beragama Islam tersebut tentu saja sangat disetu-jui oleh tokoh-tokoh di kalangan Kristiani, antara lain :
1.       Rohaniwan BS Mardiatmadja, SJ (tulisannya berjudul “Ekodamai”, Kompas, Jumat 15 Januari 2010, OPINI, halaman 6) : “Si vis pacem, protégé creaturam”, “bila mau damai, lindungilah cip-taan” adalah seruan yang pantas mendapat perhatian kita, yang mencintai Pertiwi, menyayangi per-damaian, dan menghendaki kemajuan yang lestari.
2.       Benyamin F. Intan (tulisan : Dialog “Agama Publik”, Kompas, Jumat 5 Februari 2010, OPINI, ha-laman 6) : Persoalannya, bagaimana menjadikan “agama publik” Pancasila kekuatan transforma-tif guna merajut kehidupan politik yang demokratis. Penulis setuju dengan Gus Dur bahwa peran publik agama bersifat “etika kemasyarakatan” (social ethic), identik dengan pemikiran teolog Stanley Hauerwas (A Community of Character : Toward a Constructive Christian Social Ethic). Agama sebagai etika kemasyarakatan seharusnya berada pada level civil society. Agama di level ini bertolak dari realitas kemajemukan agama. Misinya bukan pada isu dominasi antarkelompok agama, tapi bagaimana memberdayakan kekuatan potensial agama-agama guna menjawab tanta-ngan konkret kemanusiaan di masyarakat. Kehadiran etika kemasyarakatan agama bukan memoli-tisasi agama atau mengagamaisasi politik, melainkan kepada bagaimana menjadikan kehidupan politik bangsa lebih bermoral dan beretika. Hanya agama dengan etika kemasyarakatan pada da-taran civil society yang memiliki kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan sosial-politik yang demokratis. Ini tawaran Pancasila untuk membangun era baru hubungan Barat-Islam.
Jelas sekali, Benyamin F. Intan dengan meminjam gagasan Gus Dur tentang peran publik agama bersifat “etika kemasyarakatan” (social ethic), tengah dengan sangat hati-hati menggiring Islam hing-ga batas paling pinggir dari realitas kehidupan dunia yakni garis tipis spiritualistik ritualistik. Dia me-nyatakan bahwa berbeda dari kedua entitas tersebut, negara Pancasila bersifat “netral-publik” : men-jamin kebebasan semua agama, bukan hanya sebatas wilayah privat, melainkan juga mencakup ranah publik. Namun, dia secara sadar dan sengaja menghindarkan bahkan menghalangi peran publik agama dalam wilayah politik dan negara. Dia menyatakan : Agama sebagai etika kemasyarakatan seharusnya berada pada level civil society. Agama di level ini bertolak dari realitas kemajemukan agama. Misinya bukan pada isu dominasi antarkelompok agama, tapi bagaimana memberdayakan kekuatan potensial agama-agama guna menjawab tantangan konkret kemanusiaan di masyarakat. Kehadiran etika kema-syarakatan agama bukan memolitisasi agama atau mengagamaisasi politik, melainkan kepada bagai-mana menjadikan kehidupan politik bangsa lebih bermoral dan beretika. Hanya agama dengan etika kemasyarakatan pada dataran civil society yang memiliki kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan sosial-politik yang demokratis. Ini tawaran Pancasila untuk membangun era baru hubungan Barat-Islam.
Sebelum Benyamin menyatakan : Hanya agama dengan etika kemasyarakatan pada dataran ci-vil society yang memiliki kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan sosial-politik yang demokratis. Ini tawaran Pancasila untuk membangun era baru hubungan Barat-Islam, lebih dahulu dia mengana-lisis hubungan Islam dan negara : Di Islam, kiprah agama dalam ruang publik adalah suatu keniscaya-an. Malah bagi sebagian Muslim, agama harus berkancah dalam politik praktis. Negara Islam menam-pakkan perpaduan Islam dan politik kekuasaan. Beda persepsi Barat dan Islam ini sangat substantif, mesti didialogkan demi era baru relasi Barat-Islam.
Apakah analisis Benyamin tentang hubungan Islam dan negara tersebut jujur sekaligus sebagai pengakuan apa adanya tentang posisi negara dalam Islam? Dapat dipastikan bahwa analisis tersebut sama sekali tidak jujur melainkan justru dalam rangka mendiskreditkan Islam yang ternyata menisca-yakan eksistensi negara (Negara Islam menampakkan perpaduan Islam dan politik kekuasaan). Hal itu sangat nampak dalam pernyataan berikutnya menyusul analisis tersebut : Dalam negara agama yang “sektarian-praktis” terjadi hal sebaliknya. Negara agama pada dasarnya tidak menjamin kebebasan beragama. Hanya agama tertentu mendapat perlakuan istimewa. Kiprahnya hingga di wilayah politik praktis, berkolaborasi dengan negara. Akibatnya, agama kehilangan daya transendentalnya, negara menjadi otoriter dan diskriminatif. Tindakan bunuh diri bagi agama dan negara.
Sungguh sangat sadis (walau halus) upaya penistaan dan penghinaan Benyamin terhadap Islam yang terungkap jelas dalam artikulasi “sektarian-praktis”, atau Negara agama pada dasarnya tidak menjamin kebebasan beragama, atau Kiprahnya hingga di wilayah politik praktis, berkolaborasi de-ngan negara, atau Akibatnya, agama kehilangan daya transendentalnya, negara menjadi otoriter dan diskriminatif. Tindakan bunuh diri bagi agama dan negara. Memang tidak ada satu pun perkataan “Is-lam” ketika dia menumpahkan seluruh kejengkelan dan penolakannya terhadap entitas Negara Agama, namun memang hal itu tidak perlu lagi sebab dia telah merumuskan pernyataan sedemikian rupa se-hingga siapa pun yang membaca tulisannya tersebut pasti akan menyimpulkan bahwa yang dia mak-sudkan dengan Negara Agama adalah Negara Islam (Negara Islam menampakkan perpaduan Islam dan politik kekuasaan). Tujuannya tentu saja adalah agar seluruh umat Islam menolak sekaligus mem-benci gagasan, pemikiran maupun pemahaman yang menyatakan bahwa :
a.       Islam menetapkan syariah tentang negara, pemerintahan dan kekuasaan : Khilafah Islamiyah
b.       Islam berbeda dengan agama lain termasuk dengan yang bersumber dari Taurah maupun Injil
c.       Islam menolak sekularisme dan bertentangan secara asasi dengan konsep kompromistik tersebut
d.      Islam menolak bentuk negara kebangsaan sekularistik demokratik kapitalistik dan mengharamkan umat Islam memberlakukannya dalam kehidupan mereka di dunia
Wal hasil, tidak diragukan lagi bahwa abad 21 ini dijadikan saat yang tepat oleh kaum kufar yang dipimpin oleh AS untuk mewujudkan kompromi global dalam rangka pengukuhan dan pengokohan se-kularisme sebagai satu-satunya asas bagi percaturan interaksi antar individu, bangsa maupun negara, yang seluruh konsepsinya disingkat dalam ungkapan membuka era baru hubungan Barat-Islam melalui dialog lintas agama dengan diplomasi yang bersifat faith-based diplomacy alias Diplomasi Berbasis Keyakinan. Hal ini adalah sebuah keharusan bagi mereka sebab seperti yang dinyatakan oleh Benya-min F. Intan bahwa : Salah satu kendala terbesar membangun hubungan Barat-Islam adalah beda per-sepsi tentang peran agama di ruang publik. Inilah yang akan selalu dan selalu mereka lakukan hingga yang dituju yakni tidak ada lagi peran Tuhan dan agama dalam arena politik dan negara telah 100 persen terealisir. Allah SWT menyatakan :
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (البقرة : 105)
Orang-orang kafir itu baik dari kalangan ahlil kitab maupun kaum musyrikin tidak akan pernah berha-rap akan diturunkannya khair (wahyu) kepada kalian (umat Islam) dari Rab kalian. Dan Allah meng-khususkan rahmah Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah adalah ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Obama : musuh sejati yang sangat dicintai!
Siapa pun yang menjadi Presiden AS termasuk Obama dipastikan adalah eksekutor (lembaga ek-sekutif) bagi konstitusi AS sendiri yang salah satu pasalnya memastikan bahwa AS adalah negara seku-ler yang melarang peran agama di ruang publik. Benyamin menyatakan : Negara sekuler bersifat “ne-tral-privat” : menjamin kebebasan semua agama, tapi hanya sebatas di wilayah privat. Peran publik agama dinafikan.
Sepanjang delapan tahun AS dipimpin oleh Presiden George W. Bush, bentuk implementasi ak-tual dari konstitusi tersebut adalah upaya represif AS dalam menyebarluaskan dan mengokohkan de-mokrasi di seluruh dunia khususnya Dunia Islam. Bentuk dan gaya eksekusi konstitusional tersebut tidak ayal lagi telah memunculkan sakit hati, kebencian, phobia bahkan permusuhan terhadap AS di Dunia Islam dan seluruhnya dialamatkan kepada Presiden Bush berikut Partai Republik. Realitas inilah yang mendorong Dunia Islam menggantungkan harapan sangat besar kepada Obama yang selama masa kampanye kepresidennya selalu menggemakan slogan the change. Slogan tersebut sepakat dipahami oleh seluruh dunia apalagi oleh kaum muslim di Dunia Islam sebagai isyarat bahkan tekad dari Obama untuk bersikap lebih baik terhadap umat Islam sekaligus membuka era baru hubungan Barat-Islam. De-ngan kata lain, opini dunia masih bertahan yakni Obama akan tetap memelihara tekadnya untuk me-rumuskan lalu memberlakukan kebijakan luar negeri AS yang lebih baik dan adil berbasis dialog teru-tama terhadap Dunia Islam.
Realitas itulah yang menjadi landasan sangat kokoh bagi Obama dan AS untuk semakin mene-gaskan tekad tidak jujurnya tersebut melalui pidato resminya setahun yang lalu (2009) di Kairo (jan-tung Dunia Islam di Benua Afrika) pada kesempatan kunjungan pertamanya ke Afrika (Benua nenek moyang Obama sendiri). Lalu setahun berikutnya (25-27 Januari 2010) di Jakarta (jantung Dunia Islam di Benua Asia, bahkan Dunia), walaupun tidak secara langsung dirinya tapi melalui para pembantunya di Kedubes AS memastikan bahwa bentuk riil dari pembukaan era baru hubungan Barat dan Islam ada-lah dengan menyelesaikan persoalan politik melalui dialog lintas agama dengan diplomasinya bersifat faith-based diplomacy. Tentu saja konferensi tersebut bukan perkara yang spontanitas melainkan bagian integral terencana dari rencana kunjungan Obama ke Indonesia pada Maret 2010 mendatang. Artinya, konferensi tersebut adalah “karpet merah” bagi Obama supaya nanti dapat berjalan dengan sa-ngat aman dan nyaman ketika dan selama berada di negara demokrasi muslim terbesar di dunia. As-pek aman dan nyaman tersebut dirancang bukan berasal dari para pengawal pribadinya maupun dari penguasa Indonesia, melainkan harus berasal dari umat Islam Indonesia yakni paling tidak dari para tokoh muslim baik perseorangan maupun kelompok (ormas dan orpol).
Wal hasil, Obama adalah sosok musuh sejati bagi Islam dan umat Islam namun sangat dicintai oleh umat Islam sendiri. Umat Islam Indonesia maupun dunia sudah sangat lupa siapa Obama yang sebenarnya, padahal hakikat tersebut telah nyata gamblang terindera oleh mereka seperti yang disam-paikan setahun yang lalu oleh Redaktur Senior Media Group T. Taufiqulhadi : Dalam rangka menghin-dari cap Islam, terakhir Obama menghindar bertemu komunitas Arab yang dulu sempat dia akrabi. Dia menolak dukungan Nation of Islam, organisasi masyarakat Islam kulit hitam AS. Sebagai gan-tinya, secara demonstratif justru dia bertemu American Israel Public Relations Committee (AIPAC), organisasi pelobi Israel paling berpengaruh di Amerika untuk menyampaikan pidato pro-Isreal.
Umat Islam seluruh dunia bahkan lebih percaya kepada perubahan asesoris Obama (AS) daripada terhadap informasi pasti dari Allah SWT yang menyatakan :
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (البقرة : 105)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (الأنفال : 73)

Umat Islam Indonesia : semakin menjadi hamba kaum kufar!
Sikap umat Islam Indonesia (juga lainnya di dunia) yang semakin lebih memilih untuk toleran, moderat, humanis, pluralis, egaliter, anti kekerasan, mengedepankan kedamaian berbasis dialog, tidak diragukan lagi adalah bukti keberhasilan gilang gemilang dari kaum kufar dalam :
1.       melumpuhkan Islam sebagai ideologi kehidupan manusia di dunia yang wajib diberlakukan dalam wadah pelaksanaan politis : Khilafah Islamiyah. Sehingga yang tersisa dari Islam hanya aspek spi-ritualistik ritualistik yang bahkan dari waktu ke waktu realitas ini semakin dicintai oleh umat Islam sekaligus diposisikan sebagai “realitas Islam yang hakiki”. Inilah yang dimaksudkan oleh Benya-min F. Intan dengan pernyataan : Kiprahnya hingga di wilayah politik praktis, berkolaborasi de-ngan negara. Akibatnya, agama kehilangan daya transendentalnya, negara menjadi otoriter dan diskriminatif. Tindakan bunuh diri bagi agama dan negara.
2.       semakin menjauhkan umat Islam dari kehidupan Islami mereka dengan cara semakin menumbuh-kan kebencian kepada realitas Khilafah Islamiyah sekaligus semakin mengkristalkan kecintaan ke-pada negara kebangsaan demokratis.
3.       menumbuhkan ketakutan, kengerian dan rasa tidak percaya diri umat Islam untuk menyatakan bah-wa Islam adalah satu-satunya yang benar, sedangkan selain Islam adalah salah sekaligus kekufuran yang diwajibkan oleh Islam untuk diperangi hingga musnah dari realitas kehidupan dunia :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
4.       mencerabut hingga ke akarnya posisi aqidah Islamiyah berikut seluruh pemikiran Islami yang ter-pancar darinya (syariah Islamiyah) sebagai asas pemikiran maupun kepemimpinan berpikir umat Islam, lalu menggantikannya dengan sekularisme berikut konsepsi turunannya yakni demokrasi dan kapitalisme.
Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa umat Islam Indonesia telah semakin mantap dan nyaman menjadi hamba kaum kufar (عِبَادُ الْكُفَّارِ) sekaligus semakin benci dan menolak menjadi hamba Allah SWT (عِبَادُ اللهِ تَعَالَى). Inilah yang menjadikan mereka bersedia rela taat kepada seluruh peraturan kufur yang dibuat lalu diusung oleh kaum kufar dan pada saat bersamaan menyatakan penolakan sangat keras untuk taat kepada Allah SWT yakni menolak untuk memberlakukan seluruh perintah dan larangan Nya yang telah sempurna ada dalam Islam :

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (الأنعام : 153)


عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّكُمْ فِي زَمَانٍ عُلَمَاؤُهُ كَثِيرٌ وَخُطَبَاؤُهُ قَلِيلٌ مَنْ تَرَكَ فِيهِ عُشَيْرَ مَا يَعْلَمُ هَوَى أَوْ قَالَ هَلَكَ وَسَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَقِلُّ عُلَمَاؤُهُ وَيَكْثُرُ خُطَبَاؤُهُ مَنْ تَمَسَّكَ فِيهِ بِعُشَيْرِ مَا يَعْلَمُ نَجَا (رواه احمد)

No comments:

Post a Comment