Kompromi pengokohan sekularisme abad 21
Benyamin F. Intan (tulisan : Dialog “Agama Publik”, Kompas,
Jumat 5 Februari 2010, OPINI, halaman 6) menyampaikan informasi bahwa Amerika
Serikat (AS) dan Indonesia telah menyelengga-rakan konferensi lintas agama
bertema “Membangun Komunitas Bersama : Meningkatkan Kerja Sama Antarwarga yang
Berbeda Keyakinan” di Jakarta, 25-27 Januari 2010. Menurut siaran pers Kedubes
AS di Jakarta, dialog itu menindaklanjuti pidato Presiden AS Barack Obama di
Kairo pada tahun lalu yang dipuji banyak tokoh dunia yang bertekad membuka era
baru hubungan Barat-Islam. Obama ingin menyelesaikan persoalan politik melalui
dialog lintas agama. Diplomasinya bersifat faith-based diplo-macy (bandingkan
Douglas Johnston, ed. Faith-Based Diplomacy : Trumping to Realpolitic).
Salah sa-tu kendala terbesar membangun hubungan Barat-Islam adalah beda
persepsi tentang peran agama di ru-ang publik.
Negara-negara Barat yang dikenal sekuler cenderung memprivatisasi
agama. Bagi mereka, keha-diran agama di ruang publik berpotensi memicu konflik
horizontal. Penyebabnya, menurut John Rawis, agama tidak dapat menerima fakta
keberagaman. Rawis melihat pluralisme agama tidak mungkin dise-lesaikan di wilayah
publik. Itu sebabnya dalam negara sekuler, agama dimarginalisasi ke wilayah
pri-vat.
Di Islam, kiprah agama dalam ruang publik adalah suatu
keniscayaan. Malah bagi sebagian Mus-lim, agama harus berkancah dalam politik
praktis. Negara Islam menampakkan perpaduan Islam dan politik kekuasaan. Beda
persepsi Barat dan Islam ini sangat substantif, mesti didialogkan demi era baru
relasi Barat-Islam.
Mengapa Indonesia? Pasti ada alasan kuat memilih Indonesia
negara pertama yang disinggahi delegasi AS. Pertama, bukan hanya karena
Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia, melain-kan juga karena
Indonesia dan AS sama-sama memiliki keberagaman komposisi penduduk dalam hal
budaya dan agama. Kedua, penetapan Indonesia tidak terlepas dari pengalaman
Obama menyaksikan kebebasan beragama pada masa kanak-kanaknya di Indonesia.
Namun, ada alasan yang lebih mendasar. Penyebab Indonesia dipilih
karena Indonesia bukan ne-gara sekuler, bukan pula negara agama, melainkan
negara Pancasila. Negara sekuler bersifat “netral-privat” : menjamin kebebasan
semua agama, tapi hanya sebatas di wilayah privat. Peran publik agama
dinafikan. Privatisasi agama berpotensi melahirkan gerakan radikal agama yang
dapat mengganggu ke-pentingan umum (Gilles Kepel, The Revenge of God).
Dalam negara agama yang “sektarian-praktis” terjadi hal
sebaliknya. Negara agama pada dasar-nya tidak menjamin kebebasan beragama.
Hanya agama tertentu mendapat perlakuan istimewa. Ki-prahnya hingga di wilayah
politik praktis, berkolaborasi dengan negara. Akibatnya, agama kehilangan daya
transendentalnya, negara menjadi otoriter dan diskriminatif. Tindakan bunuh
diri bagi agama dan negara.
Berbeda dari kedua entitas tersebut, negara Pancasila bersifat
“netral-publik” : menjamin kebeba-san semua agama, bukan hanya sebatas wilayah
privat, melainkan juga mencakup ranah publik. Sila pertama Pancasila
jaminannya. Kalau hanya kadar kebebasan memeluk agama, sila kedua, ketiga dan
seterusnya sudah cukup menjamin. Keunikan sila pertama : mendorong agama-agama
menjalankan pe-ran publiknya. Singkatnya, Pancasila adalah jalan tengah bagi
Barat dan Islam. Itu sebabnya mengapa Indonesia menjadi partner dialog penting
yang menghubungkan Barat dengan Islam.
Persoalannya, bagaimana menjadikan “agama publik” Pancasila
kekuatan transformatif guna me-rajut kehidupan politik yang demokratis. Penulis
setuju dengan Gus Dur bahwa peran publik agama bersifat “etika kemasyarakatan”
(social ethic), identik dengan pemikiran teolog Stanley Hauerwas (A
Community of Character : Toward a Constructive Christian Social Ethic).
Agama sebagai etika kemasyarakatan seharusnya berada pada level civil
society. Agama di level ini bertolak dari realitas kemajemukan agama.
Misinya bukan pada isu dominasi antarkelompok aga-ma, tapi bagaimana
memberdayakan kekuatan potensial agama-agama guna menjawab tantangan kon-kret
kemanusiaan di masyarakat.
Kehadiran etika kemasyarakatan agama bukan memolitisasi agama atau
mengagamaisasi politik, melainkan kepada bagaimana menjadikan kehidupan politik
bangsa lebih bermoral dan beretika. Hanya agama dengan etika kemasyarakatan
pada dataran civil society yang memiliki kekuatan liberatif guna
menyusun kehidupan sosial-politik yang demokratis. Ini tawaran Pancasila untuk
membangun era baru hubungan Barat-Islam.
Demikianlah, perjalanan waktu 221 tahun sejak
Revolusi Perancis pada 14 Juli 1789 yang ditan-dai dengan dibakarnya Penjara Bastille
dan dihancurkannya alat pemenggal kepala Guilloutine (kedua-nya simbol
sadis kekuasaan absolut Raja Louis XIV), ternyata telah mewujudkan kondisi yang
sangat nyaman untuk lahirnya aksi kompromistik serupa jilid kedua. Revolusi
Perancis adalah peristiwa mo-numental bagi aksi kompromistik jilid pertama
yakni munculnya antithesis terhadap klaim Raja Louis XIV l’etat
cest moi (negara adalah saya) : vox populi vox dei (suara rakyat
adalah suara Tuhan) dan ter-hadap konspirasi besar antara para raja (negarawan)
dengan para pendeta (gerejawan) saat itu yang atas nama Tuhan menindas rakyat
secara brutal : sekularisme (Give the God His Rights and Give The Em-peror
His Right too).
Saat ini, 221 tahun setelah revolusi tersebut,
adidaya AS selaku pengusung utama dan terdepan bagi sekularisme berupaya dengan
segala cara untuk selalu memperbarui loyalitas dan kesetiaan selu-ruh umat
manusia terutama umat Islam kepada konsep pemisahan wilayah otoritas Tuhan dan
wilayah otoritas kaisar (negara) tersebut. Kebijakan pengucilan AS atas Kuba
hingga saat ini, agresi militer ke Iraq, pendudukan di Afghanistan, pelestarian
opini konflik tiga agama besar di Palestina plus eksistensi Israel, perang
dagang semi terselubung dengan China, adalah fakta empiris untuk menunjukkan
adanya upaya serius dan sungguh-sungguh dari AS untuk melestarikan loyalitas
dan kesetiaan manusia kepada sekularisme. Namun, kerja keras AS dengan modus operandi
operasi militer maupun ekonomi tersebut ternyata sangat mahal baik dari aspek
biaya maupun nyawa. Sebagai contoh personil tentara AS yang tewas sejak invasi
militer ke Iraq tahun 2003 hingga Desember 2008 adalah 4209 orang dan hingga
Juli 2009 bertambah menjadi 4239 orang. Dana yang telah digunakan untuk
membiayai perang di Iraq saja selama enam tahun berjalan telah mencapai lebih
dari satu triliun dollar, padahal perang di Iraq hingga saat ini (2010) masih
belum ada tanda-tanda akan berakhir walaupun telah dibuat rencana strategis
pe-narikan mundur tentara AS dari negeri itu pada tahun 2012 mendatang.
Demikian juga, dana yang dibutuhkan untuk
“memelihara” anjing galak Israel demi tujuan me-lestarikan loyalitas dan
kesetiaan seluruh negara Arab di kawasan Timur Tengah, adalah sangat mahal
yakni setiap tahunnya sebesar 4,3 miliar dollar AS dan hibah untuk militer saja
per tahun adalah 3 mi-liar dollar AS. Sehingga sejak negara Israel didirikan
tahun 1948 hingga kini tahun 2010, AS telah
me-ngeluarkan dana tetap sebesar 452,6 miliar dollar. Dana yang sangat
besar jumlahnya sudah pasti juga telah dan akan selalu harus dikeluarkan oleh
AS untuk keperluan perang di Afghanistan, Darfur Sudan, Kashmir, membantu
Pakistan dan Indonesia dalam memerangi teorisme, serta lainnya di arena
pereko-nomian.
Pembelanjaan maupun pengorbanan nyawa besar-besaran
tersebut masih akan ditempuh oleh AS selama secara prinsip ekonomi kapitalistik
(the least the cost the highest the profit) masih menjanjikan. Namun
demikian, nampaknya sejak memasuki tahun 2009 seiring dengan terpilihnya Obama
sebagai Presiden AS ke-44, uslub tersebut secara gradual akan ditinggalkan lalu
digantikan dengan uslub lain-nya yang efektivitasnya sama namun lebih murah dan
mudah serta tidak terlalu banyak menimbulkan efek samping yang mencederai
kehormatan maupun nama baik AS sendiri. Inilah hakikat yang dimak-sudkan oleh
sifat kebijakan luar negeri Obama : faith-based diplomacy yang ditegaskan salah satunya dalam
konferensi lintas agama bertema “Membangun Komunitas Bersama : Meningkatkan
Kerja Sama Antarwarga yang Berbeda Keyakinan”. Terungkap secara gamblang bahwa
sifat kebijakan luar negeri AS tersebut ditujukan bagi membuka era baru
hubungan Barat-Islam. Obama ingin menyelesaikan per-soalan politik melalui
dialog lintas agama. Mengapa uslub ini yang dipilih untuk digunakan?
Diplomasi Berbasis Keyakinan dipilih dengan pertimbangan utama adalah
karena murah bahkan paling murah dibanding uslub lainnya termasuk apalagi
militeristik. Selain itu, uslub ini walau memang sangat berisiko jika mengalami
kegagalan yakni terjadinya konflik berbasis agama, namun kelemahan tersebut
dapat dengan mudah ditutupi dengan terlebih dahulu mempersiapkan pra kondisi
yang menjadi pijakan pertimbangan apakah uslub telah berada pada saatnya yang
tepat untuk digunakan, ataukah jus-tru belum sehingga jika dipaksakan
dipastikan akan gagal.
Oleh karena itulah, uslub Diplomasi Berbasis Keyakinan
baru digulirkan oleh AS sendiri bersa-maan dengan Barack Obama menjadi presiden
ke-44 pada tahun 2009 dan itu tentu saja sangat sengaja dilakukan seiring
dengan adanya opini dunia terutama Dunia Islam bahwa pada sosok Obama ada
me-limpah banyak harapan terjadinya sikap yang lebih baik dan adil dari AS
kepada umat Islam. Gumpal-an harapan tersebut memang sangat wajar muncul karena
selama delapan tahun AS dipimpin oleh Pre-siden G.W. Bush, Dunia Islam
mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi bahkan menge-naskan. Realitas
inilah yang dijadikan pertimbangan untuk melakukan perubahan (the change)
sesuai dengan tema utama setiap pidato Obama selama masa kampanye
kepresidenannya. Jadi, bukan sebuah kebetulan jika pada awal tahun ini (25-27
Januari 2010) di Jakarta telah diselenggarakan konferensi dengan yang
mengangkat tema “Membangun Komunitas Bersama : Meningkatkan Kerja Sama
Antar-warga yang Berbeda Keyakinan” yang tiada lain adalah pemikiran turunan
dari faith-based diplomacy.
Keputusan itu pun diambil oleh AS berdasarkan
perkembangan mutakhir yang terjadi pada tatar-an realitas mainstream pola
pemikiran maupun sikap umat Islam Indonesia yang terwakili oleh sejum-lah tokoh
(intelektual maupun agamawan) maupun kelompok (ormas seperti NU, Muhammadiyah,
Persis maupun orpol seperti PKS, PPP, PAN, PKB). Bahkan AS menemukan hakikat
lainnya yakni se-luruh pilar kekuasaan demokratis di Indonesia walaupun
didominasi oleh umat Islam namun ternyata seluruhnya sepakat untuk semakin
mengokohkan dan memantapkan sekularisme sebagai satu-satunya asas perjalanan
berbangsa dan bernegara. AS pun sangat mengetahui bahwa umat Islam Indonesia
se-pakat untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam atau paling
tidak bukan negara yang memposisikan Islam sebagai agama resminya. Hakikat yang
terindera oleh AS (Kedubes AS berikut seluruh Konjen yang ada di Indonesia)
tersebut ditunjukkan antara lain oleh :
1.
Ketua Umum Muhammadiyah : Prof. Din Syamsuddin bersama dengan
Direktur Eksekutif Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC)
: Abdul Mukti, yang menyerukan : agar pada tahun 2008 bangsa Indonesia mengedepankan
budaya percakapan dan kebersamaan dengan menolak bentuk kekerasan. Kita
berharap 2008 ini bisa dijalankan secara nyata sebagai tahun percakapan dan
kebersamaan baik itu tingkat global bangsa-bangsa maupun lokal Indone-sia.
Praktik kekerasan itu baik yang dilakukan oleh lembaga maupun individu,
bukanlah cara yang beradab hingga harus ditinggalkan. Praktik kekerasan itu
seperti perang dan eksploitasi. Indone-sia harus meninggalkan budaya kekerasan
baik itu bermotifkan etnis, politik maupun bangsa.
2.
Mohamad Asrori Mulky (Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam
dan Kenegaraan/PSIK Uni-versitas Paramadina Jakarta) dalam tulisannya yang
berjudul “Substansialisasi Pesan Agama” me-nyatakan : Agama sudah tidak lagi
berfungsi sebagai medium dalam perjumpaannya dengan aga-ma dan kelompok lain.
Ia lebih menjadi alat provokasi dan destruksi untuk menghancurkan kelom-pok di
luar dirinya. Padahal, dalam catatan sejarah agama-agama dunia, sejatinya agama
mem-bawa misi kedamaian dan kerukunan, bukan perselisihan dan pertarungan
(Karen Amstrong, The History of God). Tentunya kita sepakat bahwa ketika agama
menjadi pemicu aksi kekerasan, tero-risme, brutalisme, dan barbarisme, maka
saat itu agama menjadi candu umat. Dan pada saat ber-samaan pula ia berada di
ujung tanduk kepunahan, akan dicibir dan ditinggalkan pemeluknya, ce-pat
ataupun lambat.
3.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat dalam
tulisannya berjudul “Senja Kala Sekularisme” (Kompas, Jumat 15 Januari 2010,
OPINI, halaman 6) menyatakan : Jadi, meski-pun gerakan agama kembali
bangkit, masih ada pertanyaan besar, apa jaminannya bahwa kebang-kitan agama
akan memberikan kehidupan lebih baik di masa depan? Atau : Jadi, tanpa
melibatkan Tuhan saja potensi konflik antardaerah dan etnis cukup rawan. Dan
itu sudah terjadi. Terlebih lagi jika memperoleh amunisi tambahan berupa
ketidakadilan ekonomi dan pendidikan serta sentimen agama, maka proses
demokratisasi yang kita perjuangkan akan digerogoti oleh konflik antarke-lompok
kepentingan yang tidak rasional.
4.
Husein Ja’far Al Hadar (Peminat Studi Agama dan Filsafat) dalam
tulisannya berjudul Mengem-bangkan Islam ‘Tinta’ (Republika,
Jumat 22 Januari 2010, OPINI, halaman 4) menyatakan : Ada-pun tinta
merupakan simbol dari corak keberislaman berbasis moderat-pluralis yang
berfondasi-kan pemahaman keislaman yang bersifat inklusif-kontekstualis. Corak
keislaman ‘tinta’ ini biasa-nya menjadikan pena -simbol dialog dan toleransi-
sebagai media dakwah dan syiarnya. Bertolak dari sini, sejatinya terlihat bahwa
Islam cenderung menekankan umatnya untuk mengembangkan corak keberislaman yang
moderat, toleran, serta pluralis. Oleh karena itu, dalam pandangan pe-nulis,
sejatinya Islam lebih menekankan umatnya untuk mensyiarkan Islamnya secara
toleran, mo-derat, serta damai berbasis dialog.
5.
Mantan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR RI : A.
Effendi Choirie menyata-kan : sejak lama Nahdhatul Ulama (NU) memang tak
menginginkan Indonesia menjadi negara Is-lam. Alasannya, ormas Islam terbesar
di Indonesia itu memiliki kecintaan kepada bangsa dan ne-gara, serta menghargai
keberagaman. Paham NU itu ahlussunnah waljamaah, yang memang me-nginginkan
kedamaian. Makanya, NU tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Dalam
perjalanan sejarahnya, NU selalu terlibat dalam berbagai bidang, baik politik
maupun hal-hal yang terkait dengan kebangsaan. Pada praktiknya di lapangan, NU
selalu membawa paham keisla-mannya yang berorientasi pada wawasan kebangsaan
dan membiarkan budaya-budaya setempat tumbuh subur dengan masyarakat Islamnya.
Pertunjukan pemikiran maupun sikap sejumlah
tokoh beragama Islam tersebut tentu saja sangat disetu-jui oleh tokoh-tokoh di
kalangan Kristiani, antara lain :
1.
Rohaniwan BS Mardiatmadja, SJ (tulisannya berjudul “Ekodamai”,
Kompas, Jumat 15 Januari 2010, OPINI, halaman 6) : “Si vis pacem, protégé
creaturam”, “bila mau damai, lindungilah cip-taan” adalah seruan yang
pantas mendapat perhatian kita, yang mencintai Pertiwi, menyayangi per-damaian,
dan menghendaki kemajuan yang lestari.
2.
Benyamin F. Intan (tulisan : Dialog “Agama Publik”, Kompas,
Jumat 5 Februari 2010, OPINI, ha-laman 6) : Persoalannya, bagaimana
menjadikan “agama publik” Pancasila kekuatan transforma-tif guna merajut
kehidupan politik yang demokratis. Penulis setuju dengan Gus Dur bahwa peran
publik agama bersifat “etika kemasyarakatan” (social ethic), identik dengan
pemikiran teolog Stanley Hauerwas (A Community of Character : Toward a
Constructive Christian Social Ethic). Agama sebagai etika kemasyarakatan
seharusnya berada pada level civil society. Agama di level ini
bertolak dari realitas kemajemukan agama. Misinya bukan pada isu dominasi
antarkelompok agama, tapi bagaimana memberdayakan kekuatan potensial
agama-agama guna menjawab tanta-ngan konkret kemanusiaan di masyarakat. Kehadiran
etika kemasyarakatan agama bukan memoli-tisasi agama atau mengagamaisasi
politik, melainkan kepada bagaimana menjadikan kehidupan politik bangsa lebih
bermoral dan beretika. Hanya agama dengan etika kemasyarakatan pada da-taran
civil society yang memiliki kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan
sosial-politik yang demokratis. Ini tawaran Pancasila untuk membangun era baru
hubungan Barat-Islam.
Jelas sekali, Benyamin F. Intan dengan meminjam gagasan Gus Dur
tentang peran publik agama bersifat “etika kemasyarakatan” (social ethic),
tengah dengan sangat hati-hati menggiring Islam hing-ga batas paling pinggir
dari realitas kehidupan dunia yakni garis tipis spiritualistik ritualistik. Dia
me-nyatakan bahwa berbeda dari kedua entitas tersebut, negara Pancasila
bersifat “netral-publik” : men-jamin kebebasan semua agama, bukan hanya sebatas
wilayah privat, melainkan juga mencakup ranah publik. Namun, dia secara
sadar dan sengaja menghindarkan bahkan menghalangi peran publik agama dalam
wilayah politik dan negara. Dia menyatakan : Agama sebagai etika
kemasyarakatan seharusnya berada pada level civil society. Agama
di level ini bertolak dari realitas kemajemukan agama. Misinya bukan pada isu
dominasi antarkelompok agama, tapi bagaimana memberdayakan kekuatan potensial
agama-agama guna menjawab tantangan konkret kemanusiaan di masyarakat.
Kehadiran etika kema-syarakatan agama bukan memolitisasi agama atau
mengagamaisasi politik, melainkan kepada bagai-mana menjadikan kehidupan
politik bangsa lebih bermoral dan beretika. Hanya agama dengan etika
kemasyarakatan pada dataran civil society yang memiliki kekuatan liberatif guna
menyusun kehidupan sosial-politik yang demokratis. Ini tawaran Pancasila untuk
membangun era baru hubungan Barat-Islam.
Sebelum Benyamin menyatakan : Hanya agama dengan etika
kemasyarakatan pada dataran ci-vil society yang memiliki kekuatan liberatif
guna menyusun kehidupan sosial-politik yang demokratis. Ini tawaran Pancasila
untuk membangun era baru hubungan Barat-Islam, lebih dahulu dia mengana-lisis
hubungan Islam dan negara : Di Islam, kiprah agama dalam ruang publik adalah
suatu keniscaya-an. Malah bagi sebagian Muslim, agama harus berkancah dalam
politik praktis. Negara Islam menam-pakkan perpaduan Islam dan politik
kekuasaan. Beda persepsi Barat dan Islam ini sangat substantif, mesti
didialogkan demi era baru relasi Barat-Islam.
Apakah analisis Benyamin tentang hubungan Islam dan negara
tersebut jujur sekaligus sebagai pengakuan apa adanya
tentang posisi negara dalam Islam? Dapat dipastikan bahwa analisis tersebut
sama sekali tidak jujur melainkan justru dalam rangka mendiskreditkan
Islam yang ternyata menisca-yakan eksistensi negara (Negara Islam
menampakkan perpaduan Islam dan politik kekuasaan). Hal itu sangat nampak
dalam pernyataan berikutnya menyusul analisis tersebut : Dalam negara agama
yang “sektarian-praktis” terjadi hal sebaliknya. Negara agama pada dasarnya
tidak menjamin kebebasan beragama. Hanya agama tertentu mendapat perlakuan
istimewa. Kiprahnya hingga di wilayah politik praktis, berkolaborasi dengan
negara. Akibatnya, agama kehilangan daya transendentalnya, negara menjadi
otoriter dan diskriminatif. Tindakan bunuh diri bagi agama dan negara.
Sungguh sangat sadis (walau halus) upaya penistaan dan penghinaan
Benyamin terhadap Islam yang terungkap jelas dalam artikulasi “sektarian-praktis”,
atau Negara agama pada dasarnya tidak menjamin kebebasan beragama, atau Kiprahnya
hingga di wilayah politik praktis, berkolaborasi de-ngan negara, atau Akibatnya,
agama kehilangan daya transendentalnya, negara menjadi otoriter dan
diskriminatif. Tindakan bunuh diri bagi agama dan negara. Memang tidak ada
satu pun perkataan “Is-lam” ketika dia menumpahkan seluruh kejengkelan dan
penolakannya terhadap entitas Negara Agama, namun memang hal itu tidak
perlu lagi sebab dia telah merumuskan pernyataan sedemikian rupa
se-hingga siapa pun yang membaca tulisannya tersebut pasti akan menyimpulkan
bahwa yang dia mak-sudkan dengan Negara Agama adalah Negara
Islam (Negara Islam menampakkan perpaduan Islam dan politik
kekuasaan). Tujuannya tentu saja adalah agar seluruh umat Islam menolak
sekaligus mem-benci gagasan, pemikiran maupun pemahaman yang menyatakan bahwa :
a.
Islam menetapkan syariah tentang negara, pemerintahan dan
kekuasaan : Khilafah Islamiyah
b.
Islam berbeda dengan agama lain termasuk dengan yang bersumber
dari Taurah maupun Injil
c.
Islam menolak sekularisme dan bertentangan secara asasi dengan
konsep kompromistik tersebut
d.
Islam menolak bentuk negara kebangsaan sekularistik demokratik
kapitalistik dan mengharamkan umat Islam memberlakukannya dalam kehidupan
mereka di dunia
Wal hasil, tidak diragukan lagi bahwa abad 21
ini dijadikan saat yang tepat oleh kaum kufar yang dipimpin oleh AS untuk
mewujudkan kompromi global dalam rangka pengukuhan dan pengokohan se-kularisme
sebagai satu-satunya asas bagi percaturan interaksi antar individu, bangsa
maupun negara, yang seluruh konsepsinya disingkat dalam ungkapan membuka era
baru hubungan Barat-Islam melalui dialog lintas agama dengan diplomasi yang
bersifat faith-based diplomacy alias Diplomasi Berbasis Keyakinan.
Hal ini adalah sebuah keharusan bagi mereka sebab seperti yang dinyatakan oleh
Benya-min F. Intan bahwa : Salah satu kendala terbesar membangun hubungan
Barat-Islam adalah beda per-sepsi tentang peran agama di ruang publik.
Inilah yang akan selalu dan selalu mereka lakukan hingga yang dituju yakni tidak
ada lagi peran Tuhan dan agama dalam arena politik dan negara telah 100
persen terealisir. Allah SWT menyatakan :
مَا
يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ
يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ
بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (البقرة : 105)
Orang-orang kafir itu baik dari kalangan
ahlil kitab maupun kaum musyrikin tidak akan pernah berha-rap akan
diturunkannya khair (wahyu) kepada kalian (umat Islam) dari Rab kalian. Dan
Allah meng-khususkan rahmah Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Allah
adalah ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
Obama : musuh sejati yang sangat dicintai!
Siapa pun yang menjadi Presiden AS termasuk Obama dipastikan
adalah eksekutor (lembaga ek-sekutif) bagi konstitusi AS sendiri yang salah
satu pasalnya memastikan bahwa AS adalah negara seku-ler yang melarang peran
agama di ruang publik. Benyamin menyatakan : Negara sekuler bersifat
“ne-tral-privat” : menjamin kebebasan semua agama, tapi hanya sebatas di
wilayah privat. Peran publik agama dinafikan.
Sepanjang delapan tahun AS dipimpin oleh Presiden George W. Bush,
bentuk implementasi ak-tual dari konstitusi tersebut adalah upaya represif AS
dalam menyebarluaskan dan mengokohkan de-mokrasi di seluruh dunia khususnya
Dunia Islam. Bentuk dan gaya eksekusi konstitusional tersebut tidak ayal lagi
telah memunculkan sakit hati, kebencian, phobia bahkan permusuhan terhadap AS
di Dunia Islam dan seluruhnya dialamatkan kepada Presiden Bush berikut Partai
Republik. Realitas inilah yang mendorong Dunia Islam menggantungkan harapan
sangat besar kepada Obama yang selama masa kampanye kepresidennya selalu menggemakan
slogan the change. Slogan tersebut sepakat dipahami oleh seluruh dunia
apalagi oleh kaum muslim di Dunia Islam sebagai isyarat bahkan tekad dari Obama
untuk bersikap lebih baik terhadap umat Islam sekaligus membuka era baru
hubungan Barat-Islam. De-ngan kata lain, opini dunia masih bertahan yakni Obama
akan tetap memelihara tekadnya untuk me-rumuskan lalu memberlakukan kebijakan
luar negeri AS yang lebih baik dan adil berbasis dialog teru-tama terhadap
Dunia Islam.
Realitas itulah yang menjadi landasan sangat kokoh bagi Obama dan
AS untuk semakin mene-gaskan tekad tidak jujurnya tersebut melalui pidato
resminya setahun yang lalu (2009) di Kairo (jan-tung Dunia Islam di Benua
Afrika) pada kesempatan kunjungan pertamanya ke Afrika (Benua nenek moyang Obama
sendiri). Lalu setahun berikutnya (25-27 Januari 2010) di Jakarta (jantung
Dunia Islam di Benua Asia, bahkan Dunia), walaupun tidak secara langsung
dirinya tapi melalui para pembantunya di Kedubes AS memastikan bahwa bentuk
riil dari pembukaan era baru hubungan Barat dan Islam ada-lah dengan
menyelesaikan persoalan politik melalui dialog lintas agama dengan diplomasinya
bersifat faith-based diplomacy. Tentu saja konferensi tersebut bukan
perkara yang spontanitas melainkan bagian integral terencana dari rencana
kunjungan Obama ke Indonesia pada Maret 2010 mendatang. Artinya, konferensi
tersebut adalah “karpet merah” bagi Obama supaya nanti dapat berjalan dengan
sa-ngat aman dan nyaman ketika dan selama berada di negara
demokrasi muslim terbesar di dunia. As-pek aman dan nyaman tersebut dirancang bukan
berasal dari para pengawal pribadinya maupun dari penguasa
Indonesia, melainkan harus berasal dari umat Islam Indonesia
yakni paling tidak dari para tokoh muslim baik perseorangan maupun kelompok
(ormas dan orpol).
Wal hasil, Obama adalah sosok musuh sejati bagi Islam dan
umat Islam namun sangat dicintai oleh umat Islam sendiri. Umat Islam
Indonesia maupun dunia sudah sangat lupa siapa Obama yang sebenarnya, padahal
hakikat tersebut telah nyata gamblang terindera oleh mereka seperti yang
disam-paikan setahun yang lalu oleh Redaktur Senior Media Group T.
Taufiqulhadi : Dalam rangka menghin-dari cap Islam, terakhir Obama
menghindar bertemu komunitas Arab yang dulu sempat dia akrabi. Dia menolak
dukungan Nation of Islam, organisasi masyarakat Islam kulit hitam AS. Sebagai
gan-tinya,
secara demonstratif justru dia bertemu American Israel Public Relations
Committee (AIPAC), organisasi pelobi Israel paling berpengaruh di Amerika untuk
menyampaikan pidato pro-Isreal.
Umat Islam seluruh dunia
bahkan lebih percaya kepada perubahan asesoris Obama (AS) daripada terhadap
informasi pasti dari Allah SWT yang menyatakan :
مَا
يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ
يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ
بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (البقرة : 105)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ
كَبِيرٌ (الأنفال : 73)
Umat
Islam Indonesia : semakin menjadi hamba kaum kufar!
Sikap umat Islam Indonesia (juga lainnya di dunia) yang semakin
lebih memilih untuk toleran, moderat, humanis, pluralis, egaliter, anti
kekerasan, mengedepankan kedamaian berbasis dialog, tidak diragukan lagi adalah
bukti keberhasilan gilang gemilang dari kaum kufar dalam :
1.
melumpuhkan Islam sebagai ideologi kehidupan manusia di dunia yang
wajib diberlakukan dalam wadah pelaksanaan politis : Khilafah Islamiyah.
Sehingga yang tersisa dari Islam hanya aspek spi-ritualistik ritualistik yang
bahkan dari waktu ke waktu realitas ini semakin dicintai oleh umat Islam
sekaligus diposisikan sebagai “realitas Islam yang hakiki”. Inilah yang
dimaksudkan oleh Benya-min F. Intan dengan pernyataan : Kiprahnya hingga di
wilayah politik praktis, berkolaborasi de-ngan negara. Akibatnya, agama
kehilangan daya transendentalnya, negara menjadi otoriter dan diskriminatif.
Tindakan bunuh diri bagi agama dan negara.
2.
semakin menjauhkan umat Islam dari kehidupan Islami mereka dengan
cara semakin menumbuh-kan kebencian kepada realitas Khilafah Islamiyah
sekaligus semakin mengkristalkan kecintaan ke-pada negara kebangsaan
demokratis.
3.
menumbuhkan ketakutan, kengerian dan rasa tidak percaya diri umat
Islam untuk menyatakan bah-wa Islam adalah satu-satunya yang benar, sedangkan
selain Islam adalah salah sekaligus kekufuran yang diwajibkan oleh Islam untuk
diperangi hingga musnah dari realitas kehidupan dunia :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ
فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ
بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
4.
mencerabut hingga ke akarnya posisi aqidah Islamiyah berikut
seluruh pemikiran Islami yang ter-pancar darinya (syariah Islamiyah) sebagai
asas pemikiran maupun kepemimpinan berpikir umat Islam, lalu menggantikannya
dengan sekularisme berikut konsepsi turunannya yakni demokrasi dan kapitalisme.
Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa umat Islam Indonesia telah
semakin mantap dan nyaman menjadi hamba kaum kufar (عِبَادُ
الْكُفَّارِ) sekaligus semakin
benci dan menolak menjadi hamba Allah SWT (عِبَادُ
اللهِ تَعَالَى). Inilah yang
menjadikan mereka bersedia rela taat kepada seluruh peraturan kufur yang dibuat
lalu diusung oleh kaum kufar dan pada saat bersamaan menyatakan penolakan
sangat keras untuk taat kepada Allah SWT yakni menolak untuk memberlakukan
seluruh perintah dan larangan Nya yang telah sempurna ada dalam Islam :
وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ (الأنعام : 153)
No comments:
Post a Comment