Monday, August 27, 2012

DARI MAKKAH KEMBALI KE JAKARTA


Jakarta, World Peace Forum dan Muhammadiyah
Tidak lebih dari 20 hari setelah رَابِطَةُ الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ menyelenggarakan مُعْتَمَرُ الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ لِلْحِوَارِ di Kota Makkah (tanggal 4-6 Juni 2008), di Jakarta tepatnya tanggal 24-26 Juni 2008 Muhammadiyah te-lah secara langsung memfasilitasi penyelenggaraan The 2nd World Peace Forum (Forum Perdamaian Dunia Ke-2) yang dihadiri oleh 200 tokoh agama dari 36 negara. World Peace Forum dengan slogan One Humanity, One Destiny, One Responsibility (Satunya Kemanusiaan, Satunya Tujuan, Satunya Tanggungjawab) saat ini diketuai oleh Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan saat membaca-kan hasil pertemuan selama tiga hari itu menyatakan : perdamaian tidak bisa dirasakan selama kita ti-dak bisa menghilangkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, eksploitasi, ekstremisme, tidak toleran, diskri-minasi dan semua bentuk kekerasan bersenjata, pemusnahan ras, terorisme, agresi hingga pelanggar-an hak asasi manusia. Oleh karena itu, kami mendesak semua pemerintah untuk memperbesar investa-si perdamaian mereka, ketimbang investasi kekerasan. Sistem politik dan ekonomi suatu negara bisa menjerumuskan negara bersangkutan ke dalam jurang kekerasan. Sistem ekonomi kapitalistik justru menciptakan kesenjangan yang amat lebar antara kaum miskin dan kaum kaya. Kelompok yang tidak diuntungkan, miskin tentunya, tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga mereka berpaling pada jalan ke-kerasan untuk merespon kondisi hidupnya. Sistem politik demokrasi, haruslah demokrasi yang bermo-ral, demokrasi yang menegakkan keadilan dan demokrasi yang bertumpu pada pemerataan. Agama bukanlah akar segala bentuk kekerasan, namun agama bisa disalahgunakan dan disalahartikan me-mang membuat pertikaian dan perpecahan.
Pada hari terakhir forum tersebut, Sekjen Religions for Peace International : William F. Vendley menjelaskan tentang tiga konsensus para pakar yang hadir : pertama, adalah mengakui agama bisa di-bajak oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek yang akhirnya merugikan agama itu sendiri. Ke-pentingan itu seperti kegiatan ekstremis, politisasi agama oleh kelompok yang mementingkan dirinya sendiri dan media yang dengan mudah bisa memanipulasi informasi antara minoritas dan mayoritas. Kedua, para pakar sepakat untuk mencela dan mengutuk aksi-aksi kekerasan yang terjadi di dunia sa-at ini. Ketiga, para pakar sepakat bahwa agama bukan dan jangan dijadikan sebagai sumber kekeras-an. Tapi, memang agama bisa berkontribusi ke kekerasan itu.
Ahmad Syafii Maarif (pendiri Maarif Institute) menyatakan : Islam sebagai agama yang “mem-bebaskan” berperan penting mendamaikan dunia. Ada tiga rekomendasi bagi umat Islam, pertama, mengajak umat Islam di seluruh dunia terutama di Timur Tengah bersikap jujur pada dirinya sendiri. Kedua, Islam sebagai salah satu peradaban terbesar di dunia harus bangkit berkontribusi pada nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Ketiga, menyerukan agar umat jangan membalas kekerasan yang dideritanya dengan membuat kekerasan juga.
Dari Makkah dengan membawa “senjata” dialog untuk perdamaian dan kemanusiaan kembali ke Jakarta untuk disandingkan dengan atau bahkan dilebur menjadi senjata baru “berkaliber” peman-tapan sekularisme sebagai satu-satunya asas interaksi antar umat beragama untuk membangun per-adaban baru yang berkhidmat kepada perdamaian dunia serta kemanusiaan. Mengapa harus dite-tapkan di Jakarta? Hal itu karena (sekali lagi) pusat putaran geopolitik negara demokrasi muslim terbe-sar di dunia tersebut : NKRI adalah Jakarta, sehingga tentu saja sangat strategis bila proses pembuatan konsensus atau komitmen amat sangat penting dan krusial itu dilakukan di ibu kota NKRI tersebut.
Kesepakatan 200 (bahkan 250) orang pakar lintas agama tersebut tentu sangat lebih dapat me-wakili realitas kemanusiaan dunia, bila dibandingkan dengan hasil dari muktamar Makkah yang walau dihadiri oleh lebih banyak pakar (700 orang), namun seluruhnya hanya representasi dari Dunia Islam. Sehingga bila yang digunakan sebagai “senjata pamungkas” adalah produk Makkah maka tentu saja akan : (1) sangat kental nuansa pemaksaan Dunia Barat terhadap Dunia Islam untuk mengalah dan se-lanjutnya mematuhi semua ketentuan Dunia Barat bila Dunia Islam ingin memperoleh pengakuan ke-sejajaran maupun kesetaraan, (2) memicu munculnya kesadaran di kalangan umat Islam sendiri tentang sesuatu yang wajib mereka lakukan yakni menentang dan mengganyang hegemoni Dunia Barat karena ternyata yang dijadikan korban utama dan satu-satunya adalah umat Islam dan (3) mendorong adanya penolakan “alergis” dari para pemeluk agama lain akibat “aroma bau Islam” sangat santer tercium se-hubungan ditetapkan di kota sucinya Dunia Islam : Makkah. Ketiga keadaan tersebut harus dihindari sebab bila dibiarkan terjadi maka akan sangat kontra produktif dengan semua upaya dan proses yang telah susah payah selama ini dilakukan bahkan akan dapat menganulir hasil-hasil yang telah dicapai.
Benang merah konstelasi “dari Makkah kembali ke Jakarta” tersebut semakin terang warnanya ketika mendapati kenyataan bahwa yang diberi kepercayaan penuh untuk menggelar The 2nd World Peace Forum adalah Muhammadiyah yang Ketumnya adalah juga sebagai ketua World Peace Forum. Lalu, mengapa harus Muhammadiyah dan bukan NU yang lebih besar dari segi massa maupun penga-ruhnya dalam realitas geopolitik Indonesia?
Apabila NU yang dipilih maka nilai strategisnya sama sekali tidak ada, sebab walau lebih besar dalam segalanya daripada Muhammadiyah namun “nilai lebih besar” tersebut seluruhnya hanya dito-pang oleh komunitas manusia yang terlalu kuat aroma tradisionalnya. Memang benar ciri khas tersebut bukan berarti massa NU adalah tidak liberal bahkan dalam sejumlah kasus didapati fakta jauh lebih li-beral dari Muhammadiyah sekalipun. Namun demikian, adalah sangat sulit juga untuk merubah “style” alias gaya tampilan sosok-sosoknya, padahal hal itu sangat penting dan diperlukan. Itulah nilai ketidak strategisan NU dan massanya dibandingkan Muhammadiyah dan massanya. Jadi, Jakarta, World Peace Forum dan Muhammadiyah untuk kali ini adalah konfigurasi paling ideal dan paling cantik untuk di-gunakan dalam upaya mengelabui mata, perasaan, pemikiran dan kesadaran umat Islam sedunia mela-lui Muhammadiyah berikut massanya. Realitas inilah yang pasti akan terjadi dan itu telah diinformasi-kan oleh Allah SWT :
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة : 217)


Agenda The 2nd World Peace Forum : semakin memantapkan posisi dan eksistensi sekularisme

Peserta The 2nd World Peace Forum dari Amerika Serikat (AS) yang sekaligus Sekjen Religions for Peace International : William F. Vendley memberikan penegasan yang sangat gamblang tentang hubungan diselenggarakannya forum tersebut dengan posisi dan eksistensi sekularisme : agama bisa dibajak oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek yang akhirnya merugikan agama itu sendiri. Ke-pentingan itu seperti kegiatan ekstremis, politisasi agama oleh kelompok yang mementingkan dirinya sendiri …….
Pernyataan bahwa bentuk pembajakan agama antara lain adalah: (a) agama dijadikan latar kegi-atan ekstremis dan (b) politisasi agama, memastikan adanya kesepakatan para pakar yang hadir dalam forum dunia tersebut untuk : (1) semakin memantapkan pemisahan wilayah otoritas Tuhan (agama) dan wilayah otoritas negara, (2) menjauhkan agama dari penggunaannya di luar yang seharusnya yakni me-lebihi posisi dan eksistensinya sebagai entitas spiritualistik ritualistik dan (3) menggiring opini seluruh umat beragama di dunia agar bekerjasama dalam menghalangi kelompok kepentingan tertentu yang sa-ngat ingin untuk mempolitisasi agama atau menjadikan agama sebagai asas legal dalam merealisir ke-pentingan mereka.
Hal itu berarti, World Peace Forum maupun Muhammadiyah menempatkan aksi kekerasan atas nama agama (ekstremisme agama) maupun politisasi agama sebagai dua bentuk sikap manusia (siapa pun dan dari komunitas agama apa pun) yang :
a.       bertentangan dengan jatidiri agama itu sendiri yang sejatinya hanya sebagai kumpulan dan rangkai-an nilai-nilai normatif untuk digunakan oleh manusia secara individual saat melakukan hubungan atau interaksi vertikal dengan Tuhannya
b.       merugikan posisi dan eksistensi agama sendiri karena telah membawa paksa agama ke dalam ruang yang sangat terbuka untuk dihujat, dilecehkan maupun dipermainkan dan itu berakibat agama kehi-langan aspek kesakralan serta kesuciannya
c.       menempatkan agama menjadi benar-benar sebagai sumber konflik, karena telah membawa agama ke luar wilayah otoritasnya sehingga tidak dapat dihindari lagi terjadinya gesekan bahkan benturan sangat keras antar umat beragama akibat adanya klaim paling benar dari masing-masing agama.

Tentu saja realitas tersebut tidak lain merupakan upaya yang sistemik integralistik ideologis dari World Peace Forum dan Muhammadiyah untuk : (1) semakin menegaskan bahwa konsistensi implementasi konsep sekularisme dalam kehidupan manusia di dunia merupakan satu-satunya jaminan untuk mencip-takan perdamaian dunia itu sendiri, sebab konsep itu telah dengan tepat dan proporsional menempatkan agama secara mantap di wilayah otoritasnya saja, (2) mencegah munculnya keinginan, kecenderungan, hasrat para pemeluk agama untuk menjadikan agamanya sebagai alat legitimasi dalam merealisir ke-pentingan mereka dan sikap itu dapat dipastikan akan berbenturan dengan kepentingan dari pemeluk agama lainnya sehingga mengantarkan mereka kepada kondisi konflik dan (3) menyeru seluruh umat beragama di dunia untuk bersama-sama memformat ulang alias merekonstruksi agama masing-masing sedemikian rupa sehingga lebih dapat berkhidmat kepada kemanusiaan yakni lebih humanis sekaligus semakin berpihak kepada nilai-nilai universal kemanusiaan. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Wakil Direktur Australian National Dialogue for Christian, Muslim & Jews (yang juga mantan Perda-na Menteri Tunisia) Hedi Baccouche : ada tiga resep untuk membuat dunia lebih damai. Resep perta-ma adalah menyelesaikan masalah Palestina dan Irak. Resep kedua adalah mengubah paradigma pengajaran Islam saat ini ke arah yang lebih modern. Resep ketiga adalah terus menerus mengajarkan generasi muda pentingnya perdamaian antar kelompok, antar agama dan antar ras.
Pernyataan mantan perdana menteri Tunisia tersebut terutama “resep kedua” menunjukkan untuk kesekian kalinya bahwa agama yang dibidik oleh seluruh kesepakatan para pakar lintas agama da-lam The 2nd World Peace Forum adalah Islam dan Dunia Islam bukan yang lain. Pernyataan Syafii Maarif : Islam sebagai salah satu peradaban terbesar di dunia harus bangkit berkontribusi pada nilai-nilai kemanusiaan secara universal, semakin memastikan bahwa bagi World Peace Forum maupun Muhammadiyah satu-satunya agama yang sangat mengancam kemanusiaan dan perdamaian dunia ti-dak lain tidak bukan adalah Islam. Begitu juga satu-satunya pihak atau belahan dunia yang merupakan ancaman mematikan bagi kehidupan dunia global adalah Dunia Islam terutama yang berbasis geografis di wilayah Timur Tengah : mengajak umat Islam di seluruh dunia terutama di Timur Tengah bersikap jujur pada dirinya sendiri (Syafii Maarif). Jadi, agenda utama dan bahkan satu-satunya sekembalinya dari Makkah ternyata tidak dan belum berubah yakni masih tetap berupa agenda upaya berkelanjutan untuk melumpuhkan Islam dan Dunia Islam, sehingga tidak lagi menjadi ancaman mematikan bagi perdamaian dunia yang saat ini sepenuhnya berada dalam kendali Dunia Barat. Satu-satunya resep mu-jarab untuk merealisir agenda utama tersebut secara sempurna adalah dengan cara semakin memantap-kan konsistensi Dunia Islam dalam implementasi maupun aktualisasi konsep sekularisme. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (الأنفال : 73)

Lalu, bagaimana halnya dengan pernyataan Din Syamsuddin : perdamaian tidak bisa dirasakan selama kita tidak bisa menghilangkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, eksploitasi, ekstremisme, tidak toleran, diskriminasi dan semua bentuk kekerasan bersenjata, pemusnahan ras, terorisme, agresi hing-ga pelanggaran hak asasi manusia.
Sepintas, pernyataan Din tersebut seakan bentuk keberpihakan dan pembelaannya terhadap Islam maupun Dunia Islam yang memang dalam kondisi : (1) tidak setara dengan Dunia Barat, (2) diberlaku-kan secara tidak adil oleh Dunia Barat, (3) dieksploitasi oleh Dunia Barat, (4) dianggap biang keladi se-gala bentuk ekstremisme, terorisme maupun sikap tidak toleran oleh Dunia Barat, (5) berhadapan lang-sung dengan sikap diskriminatif, kekerasan bersenjata, pemusnahan ras, agresi militer maupun pelang-garan HAM yang dilakukan oleh Dunia Barat. Namun, bila memperhatikan dengan teliti pernyataan Din lainnya yakni :
1.       oleh karena itu, kami mendesak semua pemerintah untuk memperbesar investasi perdamaian mere-ka, ketimbang investasi kekerasan.
2.       sistem politik demokrasi, haruslah demokrasi yang bermoral, demokrasi yang menegakkan keadil-an dan demokrasi yang bertumpu pada pemerataan.

maka, seluruh gagasan, usulan, pemikiran Din tersebut sama sekali bukan bentuk keberpihakan atau pembelaannya terhadap Islam dan Dunia Islam, melainkan sepenuhnya sebagai proposal kepada Dunia Barat yang isinya adalah permohonan Din atas nama Islam dan Dunia Islam kepada mereka supaya:
1.       sudi memberikan kedudukan yang setara dan bersikap adil kepada Dunia Islam
2.       menghentikan aksi eksploitasi terhadap Dunia Islam
3.       tidak lagi memposisikan Dunia Islam sebagai biang keladi segala bentuk ekstremisme, terorisme maupun sikap tidak toleran
4.       tidak lagi bersikap diskriminatif, melancarkan kekerasan bersenjata, pemusnahan ras, agresi militer maupun pelanggaran HAM kepada Dunia Islam

lalu untuk semua permohonan tersebut Dunia Islam bersedia penuh untuk memenuhi semua syarat, ketentuan dan peraturan ideologis yang ditetapkan oleh Dunia Barat yang seluruhnya dirumuskan oleh Dunia Barat sendiri dalam agenda upaya berkelanjutan untuk melumpuhkan Islam dan Dunia Islam dengan cara semakin memantapkan konsistensi Dunia Islam dalam implementasi maupun aktualisa-si konsep sekularisme. Inikah bentuk riil pembelaan terhadap Islam dan Dunia Islam? Bukankah ini adalah bukti pasti penghinaan dan penghancuran secara sistemik terhadap Islam dan Dunia Islam?
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (الكهف : 104-103)
Itulah realitas aksi penghinaan dan penghancuran sistemik integralistik terhadap Islam dan Du-nia Islam yang dilakukan oleh Dunia Barat melalui tangan pelayan-pelayan setia mereka dari kalangan umat Islam sendiri. Sementara itu, aksi serupa di luar forum tersebut juga terus berlangsung sporadis dan secara sengaja disebarluaskan oleh media massa ke tengah-tengah umat Islam. Adalah Pengasuh Pesantren Tebuireng : KH. Salahuddin Wahid (Gus Salah) dalam tulisannya berjudul “Keindonesiaan dan Keislaman” menyatakan : mana yang lebih didahulukan, Indonesia atau Islam? Memang tidak per-lu mendahulukan salah satu. Indonesia dengan dasar negara Pancasila menurut Munas Alim Ulama NU 1983 adalah amat sesuai (compatible). Sila-sila dari Pancasila adalah wahana untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia. Ayah saya, KHA Wahid Hasyim dan banyak kawan beliau di Partai Masyumi dulu memperjuangkan Islam menjadi dasar negara atau memperjuangkan Indonesia menjadi negara Islam di dalam persidangan BPUPKI. Hal itu adalah sesuatu yang wajar pada saat itu. Timbul pertanyaan dalam diri saya mengapa Partai NU tidak menerima Pancasila dalam persidangan Kons-tituante. Saya bertanya kepada mertua saya, KH Saifuddin Zuhri, mengapa NU dalam Konstituante menolak Pancasila? Beliau menjawab bahwa pendapat NU diputuskan melalui musyawarah bersifat nasional dan memang saat itu hampir semua tokoh NU memilih dasar negara Islam. Pendirian dan si-kap politik semacam itu terus dipertahankan oleh NU ketika bergabung dalam PPP. PBNU baru mulai berpikir secara mendasar saat ada suara bahwa semua parpol dan ormas harus menggunakan Panca-sila sebagai asasnya. Tim yang dibentuk oleh PBNU di bawah pimpinan KH Ahmad Siddiq menghasil-kan sebuah dokumen yang lalu disetujui oleh Munas Alim Ulama NU (1983) dan dikenal sebagai De-klarasi Hubungan Islam dan Pancasila. Deklarasi itulah yang memadukan Islam dan Pancasila se-hingga menjadi landasan berdirinya PKB dan mungkin juga PAN. Kesediaan untuk memadukan Indo-nesia dan Islam adalah suatu modal sosial politik yang amat berharga.
Realitas pola metamorfosis sikap politik NU itu yakni dari menolak Pancasila menjadi meneri-ma penuh Pancasila, telah diposisikan oleh Gus Salah sebagai keputusan yang wajib diberi pengharga-an. Artinya, bagi Gus Salah sikap politik NU (menerima Pancasila) yang tersurat dalam Deklarasi Hu-bungan Islam dan Pancasila adalah sikap yang benar sedangkan sikap NU wajah lama (partai NU) maupun sikap KHA Wahid Hasyim (ayah Gus Salah sendiri) berikut Masyumi-nya yang menolak Pan-casila dan memperjuangkan Islam sebagai asas negara Indonesia atau menjadikan Indonesia sebagai negara Islam adalah sikap yang sangat salah. Pola pemikiran seperti yang diemban oleh Gus Salah ini tentu saja sebuah ironi dan bahkan menggelikan, sebab secara sengaja atau tidak telah menempatkan seluruh pemuka umat Islam dalam partai Masyumi maupun partai NU (termasuk bapaknya sendiri) sebagai orang-orang yang bodoh, tidak mengerti persoalan, tidak memahami realitas sosial politik keindonesiaan dan seterusnya. Hal yang lebih mengerikan lagi dari itu adalah Gus Salah telah dengan sengaja memberikan cap kepada siapa pun dari kalangan umat Islam (saat ini dan yang akan datang) yang berkeinginan serta memperjuangkan berdirinya negara Islam (Khilafah Islamiyah) sebagai orang-orang bodoh, pandir, tidak mengerti persoalan, tidak memahami realitas sosial politik keindonesiaan dan seterusnya. Tegasnya, Gus Salah memastikan bahwa Islam mewajibkan umat Islam untuk rela dan bersedia menerima lalu melaksanakan kekufuran yang salah satu bentuknya adalah Pancasila.
Sikap yang sama persis dengan Gus Salah walaupun dalam kemasan yang seolah lebih membela Islam diperlihatkan dan ditunjukkan oleh 200 orang ulama, habaib dan tokoh Islam se Indonesia yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI). Pada hari Kamis 26 Juni 2008, mereka kembali mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Pembubaran Ahmadiyah. Bahkan mereka meminta kepada pemerintah NKRI untuk sungguh-sungguh menjaga aki-dah umat Islam dengan Keppres tersebut.
Nampak jelas sejelas matahari di tengah hari berlangit cerah, antara sikap politik NU sejak 1983 hingga saat ini yang memutuskan untuk menerima dan melaksanakan kekufuran dengan sikap sejumlah tokoh umat Islam di FUI yang memohon dan mendesak pemerintah negara kufur NKRI untuk membu-barkan Ahmadiyah, AKKBB, membatalkan kenaikan harga BBM, tidak menjual aset-aset rakyat, menghentikan operasi Namru-2 dan sebagainya, adalah sama persis alias identik yakni sama-sama rela dan bersedia menerima, melaksanakan, mendukung, mengokohkan, mengawal, mengamankan sistema kekufuran (sekularisme) yang paling tidak tengah diberlakukan di salah satu negeri Islam : Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam haram mendukung dan mengikuti pola pikir dan sikap mereka baik itu yang ada di World Peace Forum, Muhammadiyah, NU, FUI, HTI, MMI dan lainnya. Allah SWT me-nyatakan :
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (هود : 113)
Rasulullah saw menyatakan :
فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه البخاري)
Sikap yang benar : Islam adalah segalanya!
Nabi Muhammad saw sangat mencintai negeri Makkah dan beliau pun berusaha sangat keras agar Islam dapat memperoleh kemenangan dan kejayaannya juga di kota tersebut. Namun ternyata realitas penduduk kota Makkah sama sekali tidak bersedia memberikan loyalitas mereka kepada Islam, umat Islam dan Rasulullah saw, bahkan sebaliknya mereka menjadi penghalang yang sangat besar lagi kuat bagi Islam untuk meraih kemenangan dan kejayaannya. Oleh karena itulah, walau beliau saw sangat berat meninggalkan kota Makkah namun karena tuntutan dakwah Islam mengharuskan beliau hijrah ke negeri Madinah, maka hal itu beliau lakukan dengan ikhlas.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَّةَ مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ (رواه الترمذي)
Dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa Rasulullah saw telah berkata kepada kota Makkah : “tidak ada negeri yang paling suci dan paling aku cintai selain kamu dan andai bahwa kaumku tidak mengusirku darimu maka aku tidak akan pernah tinggal di negeri lain selain kamu”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحَزْوَرَةِ فَقَالَ عَلِمْتُ أَنَّكِ خَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ الْأَرْضِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكِ أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَالْحَزْوَرَةُ عِنْدَ بَابِ الْحَنَّاطِينَ (رواه احمد)
Dari Abu Hurairah menyatakan bahwa Nabi saw telah berhenti sejenak di Al-Hazwarah, lalu beliau berkata : “aku tahu bahwa kamu adalah sebaik-baiknya bumi Allah dan bumi yang paling dicintai oleh Allah dan andai pendudukmu tidak mengusirku darimu maka aku tidak akan pernah keluar meninggal-kanmu”. Abdurrazzaq menyatakan Al-Hazwarah itu adalah tempat yang ada di pintu Al-Hannaathiin”
Sekali lagi, keputusan Nabi saw tersebut hanya didasarkan kepada satu hal yakni sikap ikhlas be-liau dalam menjalankan ketentuan Allah SWT sehingga beliau berhasil sempurna melepaskan diri dari berbagai kepentingan naluriah layaknya manusia yang lain. Sikap ini jugalah yang diambil secara tegas oleh para penerus Nabi saw terutama yang tampil di tengah umat Islam sebagai Khulafa Rasyidun yak-ni : Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Ketika Nabi Muhammad saw wafat, adalah wajar dan pantas bila empat orang shahabat istimewa tersebut berhimpun di sekeliling jasad mulia Rasulullah seraya menampakkan kesedihan yang sangat mendalam karena orang yang paling mereka cintai bahkan melebihi cinta mereka kepada diri maupun keluarganya, telah meninggalkan mereka untuk selamanya. Namun, jangankan mereka mengedepankan kepentingan naluriahnya tersebut (sedih, merana, meratap) bahkan kewajiban yang harus segera mere-ka lakukan pun yakni memandikan, mengkafani, menshalatkan, menguburkan jenazah Rasulullah saw ternyata tidak mereka lakukan. Mereka lebih bahkan sangat memprioritaskan satu perkara yang sangat amat krusial bila tidak segera diselesaikan yakni mencari pengganti yang akan mengisi kekosongan po-sisi kepala negara sepeninggal Rasul saw. Inilah yang tergambar dalam sebuah riwayat di hari kematian Nabi Muhammad saw yang disampaikan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabariy :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدٍ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ
“Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid)menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membeci tetap hidup dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah”.

Riwayat tersebut menunjukkan dengan gamblang bahwa aqal para shahabat (baik yang berkumpul di Saqiifah Bani Saa’idah maupun yang tidak) memutuskan dengan benar sekaligus berhasil mendominasi tuntutan kepentingan naluriah mereka (kesedihan, kehilangan dan sebagainya) yakni lebih mempriori-taskan pertemuan di Saqiifah Bani Saa’idah untuk mencari pengganti posisi kepala negara Islam yang baru saja kosong seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad saw daripada hal lain termasuk mengurus jenazah mulia Rasulullah sendiri. Akhirnya mereka berhasil sempurna melaksanakan kewajiban yang terkategori مِنْ اَهَمِّيَةِ الْفُرُوْضِ وَالْوَاجِبَاتِ (paling penting) dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai Khalifah pertama kalinya pasca Rasulullah saw. Inilah juga yang dimaksudkan oleh pernyataan Abu Bakar saat itu :
اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
bagian pernyataan Abu Bakar وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ memastikan bahwa Islam sebagai دِيْنًا tidak akan mungkin dapat diberlakukan secara sempurna oleh umat Islam terhadap seluruh manusia di dunia bila mereka tidak memiliki Khalifah yang dibai’at untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab saat beliau menyaksikan betapa kemajuan fisik (اَلتَّقَدُّمُ الْمَادِّيُ) sangat luar biasa dilakukan oleh bangsa Arab (umat Islam saat itu), namun beliau sangat khawatir hal itu akan memalingkan mereka dari perkara wajib yang paling penting untuk selalu dipertahankan yakni Islam dan kepemimpinan.  Tamiim Ad-Daariy menyatakan :
تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)

“pada masa Khalifah Umar telah terjadi keadaan manusia berlomba-lomba dalam pembangunan fisik (rumah), lalu Umar berkata kepada mereka : ‘wahai masyarakat Arab tanah itu akan tetap menjadi tanah (walau telah banyak ditempati bangunan), namun bahwa Islam itu tidak ada kecuali dengan adanya jamaah (Khilafah) dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya kepemimpinan dan kepe-mimpinan itu juga tidak ada kecuali dengan adanya ketaatan. Oleh karena itu siapa saja yang memim-pin kaumnya berdasarkan pemahaman yang benar (terhadap Islam) maka dia adalah kehidupan bagi dirinya serta kaumnya, dan siapa saja yang memimpin kaumnya tidak berdasarkan pemahaman yang benar (terhadap Islam) maka dia adalah kebinasaan bagi dirinya maupun kaumnya”.

Jadi, orang yang menempati posisi paling tinggi dalam اَلإِمَارَةُ  yakni اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ wajib menjalankan tugasnya tersebut berdasarkan pemahaman yang benar (عَلَى الْفِقْهِ) terhadap Islam dan haram menye-lenggarakan tugasnya itu tanpa disertai pamahaman yang benar (عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ) terhadap Islam. Khalifah Umar menegaskan bahwa terpelihara atau tidaknya kesinambungan kehidupan Islami di dunia sepenuh-nya ditentukan oleh realitas اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ dalam melaksanakan kewajibannya. Apabila dia melaksanakan kewajibannya عَلَى الْفِقْهِ maka itu berarti dia menjadi penjamin 100 persen bagi keberlangsungan kehidu-pan Islami di dunia tetap terwujud. Sebaliknya bila dia melaksanakan kewajibannya عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ maka itu berarti dia menjadi aktor utama yang membinasakan serta menghancurkan kehidupan Islami di dunia. Dengan demikian nampak sekali adanya mekanisme timbal balik antara rakyat (اَلرَّعِيَّةُ) dengan penguasa (اَلسُّلْطَانُ) dalam kehidupan Islami, yakni : (a) ketika rakyat sepenuhnya taat kepada penguasa dan pe-nguasa menjalankan kewajibannya sepenuhnya sesuai dengan tuntutan Islam (عَلَى الْفِقْهِ), maka kehidup-an Islami terjamin 100 persen akan terus terwujud di dunia dan (b) ketika salah satu dari rakyat atau pe-nguasa (apalagi keduanya) tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan tuntutan Islam, maka tidak ada satu hal pun yang akan menjamin tetap terpeliharanya wujud kehidupan Islami di dunia, bahkan akan segera hancur dan binasa dari arah internal sendiri.
Ketika Utsman bin Affan menjadi Khalifah maka beliau juga menunjukkan sikap yang sama de-ngan tiga orang pendahulunya. Khalifah Utsman memiliki pemikiran yang begitu antisipatif berkenaan dengan keberlangsungan Islam sebagai ideologi manusia (اِسْتِمْرَارُ الإِسْلاَمِ قِيَادَةً فِكْرِيَّةً لِلْحَيَاةِ الإِنْسَانِيَّةِ) dan itu beliau lakukan dengan cara memelihara eksistensi Al-Quran agar tidak hilang dari kehidupan dunia. Inilah yang mendorong Khalifah Utsman untuk segera melakukan transformasi bentuk fisik Al-Quran dari berupa hapalan dalam otak para shahabat menjadi tertulis dalam sebuah mushaf : اَلْمُصْحَفُ الْعُثْمَانِيُّ. Hal itu beliau lakukan karena Rasulullah saw telah mewajibkannya melalui pernyataan :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)
“bahwa Allah tidak akan mengambil ilmu (Islam) begitu saja setelah memberikannya kepada kalian, tetapi Allah akan mengambilnya dari mereka (manusia) seiring dengan dimatikannya ulama beserta ilmu yang ada pada mereka. Lalu yang akan tersisa di dunia adalah manusia-manusia bodoh yang bila mereka dimintai fatwa (penjelasan) tentang Islam, maka mereka akan berfatwa dengan pemikirannya yang bodoh tersebut sehingga mereka sesat dan menyesatkan”.
Saat peristiwa Khalifah Utsman terbunuh, maka sebagian besar penduduk Ibukota Madinah (ter-masuk Ummul Mukminin Aisyah ra.) menuntut untuk mencari pelaku pembunuhan keji tersebut. Na-mun Sayyidina Ali ra. bersikap lain yaitu meminta kepada penduduk di luar Madinah yakni Kuffah dan Bashrah untuk membai’at beliau sebagai Khalifah pengganti Utsman yang telah wafat terbunuh. Se-pintas seakan sikap Ali ra. itu adalah aneh, egois bahkan tidak peduli kepada persoalan, namun bila di-kaji dengan jernih maka justru sikap beliau itulah yang tepat dan benar sesuai dengan tuntutan realitas yang ada. Terbunuhnya Khalifah Utsman memastikan bahwa kehidupan Islami (Khilafah) tengah ber-ada dalam ancaman kehancuran dan kebinasaan sebab benar-benar kosong dari kepemimpinan dan itu berarti kewajiban untuk taat kepada Khalifah tidak dapat dilakukan dan otomatis tiga perkara pokok lainnya : اَلإِمَارَةُ وَالْجَمَاعَةُ وَالإِسْلاَمُ menjadi sirna dari genggaman umat Islam. Tentu saja hal itu wajib dice-gah dan satu-satunya metode untuk mencegahnya adalah umat Islam wajib membai’at Khalifah baru. Jadi, sikap Ali bin Abi Thalib ra. sama sekali bukan eskpresi egoisme maupun tidak peduli persoalan, melainkan justru sepenuhnya itu dilakukan demi Islam dan kaum muslimin yang tengah terancam kebi-nasaan sehubungan dengan terbunuhnya Khalifah Utsman. Sayyidina Ali sangat memahami semua per-nyataan Rasulullah saw yang di antaranya :
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Wal hasil, seluruh sikap dari Khulafa Rasyidun dan itu disepakati oleh seluruh umat Islam yang hidup sezaman dengan mereka menunjukkan dengan pasti bahwa bagi mereka Islam adalah segala-galanya dan wajib mereka pertahankan tetap menjadi asas kehidupan manusia selama di dunia.


Khatimah
Ketika Allah SWT menyatakan :
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا (الأحزاب :72)
maka sifat manusia yang إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا adalah sangat tepat dilekatkan kepada semua orang yang ada di World Peace Forum, Muhammadiyah, NU, FUI, HTI, MMI dan lainnya, yakni di seluruh firqah yang ada wujud nyata di tengah-tengah umat manusia saat ini.
Begitu juga ketika Rasulullah saw menyatakan :
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه البخاري)
maka sifat manusia yang دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا adalah sangat tepat dilekatkan kepada semua orang yang ada di World Peace Forum, Muhammadiyah, NU, FUI, HTI, MMI dan lainnya, yakni di seluruh firqah yang ada wujud nyata di tengah-tengah umat manusia saat ini. Semakin lebih tepat lagi bila memperhatikan realitas هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا, sehingga yang wajib dilakukan oleh umat Islam saat ini (dalam kondisi فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ) adalah :
فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

Mereka (yang ada di World Peace Forum, Muhammadiyah, NU, FUI, HTI, MMI dan lainnya) adalah manusia-manusia yang hakikatnya ditunjukkan oleh Rasul saw :

أَلَا إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ الْعُلَمَاءِ (رواه الدارمي)


No comments:

Post a Comment