Jakarta, World Peace Forum
dan Muhammadiyah
Tidak lebih
dari 20 hari setelah رَابِطَةُ الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ menyelenggarakan مُعْتَمَرُ
الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ لِلْحِوَارِ di Kota Makkah (tanggal 4-6 Juni 2008), di Jakarta tepatnya
tanggal 24-26 Juni 2008 Muhammadiyah te-lah secara langsung memfasilitasi
penyelenggaraan The 2nd World Peace Forum (Forum
Perdamaian Dunia Ke-2) yang dihadiri oleh 200 tokoh agama dari 36 negara. World
Peace Forum dengan slogan One Humanity, One Destiny, One
Responsibility (Satunya Kemanusiaan, Satunya Tujuan, Satunya
Tanggungjawab) saat ini diketuai oleh Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan
saat membaca-kan hasil pertemuan selama tiga hari itu menyatakan : perdamaian
tidak bisa dirasakan selama kita ti-dak bisa menghilangkan ketidaksetaraan,
ketidakadilan, eksploitasi, ekstremisme, tidak toleran, diskri-minasi dan semua
bentuk kekerasan bersenjata, pemusnahan ras, terorisme, agresi hingga
pelanggar-an hak asasi manusia. Oleh karena itu, kami mendesak semua pemerintah
untuk memperbesar investa-si perdamaian mereka, ketimbang investasi kekerasan.
Sistem politik dan ekonomi suatu negara bisa menjerumuskan negara bersangkutan
ke dalam jurang kekerasan. Sistem ekonomi kapitalistik justru menciptakan
kesenjangan yang amat lebar antara kaum miskin dan kaum kaya. Kelompok yang
tidak diuntungkan, miskin tentunya, tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga mereka
berpaling pada jalan ke-kerasan untuk merespon kondisi hidupnya. Sistem politik
demokrasi, haruslah demokrasi yang bermo-ral, demokrasi yang menegakkan
keadilan dan demokrasi yang bertumpu pada pemerataan. Agama bukanlah akar
segala bentuk kekerasan, namun agama bisa disalahgunakan dan disalahartikan
me-mang membuat pertikaian dan perpecahan.
Pada hari
terakhir forum tersebut, Sekjen Religions for Peace International :
William F. Vendley menjelaskan tentang tiga konsensus para pakar yang hadir : pertama,
adalah mengakui agama bisa di-bajak oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek
yang akhirnya merugikan agama itu sendiri. Ke-pentingan itu seperti kegiatan
ekstremis, politisasi agama oleh kelompok yang mementingkan dirinya sendiri dan
media yang dengan mudah bisa memanipulasi informasi antara minoritas dan
mayoritas. Kedua, para pakar sepakat untuk mencela dan mengutuk
aksi-aksi kekerasan yang terjadi di dunia sa-at ini. Ketiga, para pakar
sepakat bahwa agama bukan dan jangan dijadikan sebagai sumber kekeras-an. Tapi,
memang agama bisa berkontribusi ke kekerasan itu.
Ahmad Syafii
Maarif (pendiri Maarif Institute) menyatakan : Islam sebagai agama yang
“mem-bebaskan” berperan penting mendamaikan dunia. Ada tiga rekomendasi bagi
umat Islam, pertama, mengajak umat Islam di seluruh dunia terutama di
Timur Tengah bersikap jujur pada dirinya sendiri. Kedua, Islam sebagai
salah satu peradaban terbesar di dunia harus bangkit berkontribusi pada
nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Ketiga, menyerukan agar umat
jangan membalas kekerasan yang dideritanya dengan membuat kekerasan juga.
Dari Makkah
dengan membawa “senjata” dialog untuk perdamaian dan kemanusiaan
kembali ke Jakarta untuk disandingkan dengan atau bahkan dilebur menjadi
senjata baru “berkaliber” peman-tapan sekularisme sebagai satu-satunya
asas interaksi antar umat beragama untuk membangun per-adaban baru yang
berkhidmat kepada perdamaian dunia serta kemanusiaan. Mengapa
harus dite-tapkan di Jakarta? Hal itu karena (sekali lagi) pusat putaran
geopolitik negara demokrasi muslim terbe-sar di dunia tersebut : NKRI adalah
Jakarta, sehingga tentu saja sangat strategis bila proses pembuatan konsensus
atau komitmen amat sangat penting dan krusial itu dilakukan di
ibu kota NKRI tersebut.
Kesepakatan
200 (bahkan 250) orang pakar lintas agama tersebut tentu sangat lebih dapat
me-wakili realitas kemanusiaan dunia, bila dibandingkan dengan hasil dari
muktamar Makkah yang walau dihadiri oleh lebih banyak pakar (700 orang), namun
seluruhnya hanya representasi dari Dunia Islam. Sehingga bila yang digunakan
sebagai “senjata pamungkas” adalah produk Makkah maka tentu saja akan : (1)
sangat kental nuansa pemaksaan Dunia Barat terhadap Dunia Islam untuk mengalah
dan se-lanjutnya mematuhi semua ketentuan Dunia Barat bila Dunia Islam ingin
memperoleh pengakuan ke-sejajaran maupun kesetaraan, (2) memicu
munculnya kesadaran di kalangan umat Islam sendiri tentang sesuatu yang wajib
mereka lakukan yakni menentang dan mengganyang hegemoni Dunia Barat karena
ternyata yang dijadikan korban utama dan satu-satunya adalah umat Islam dan (3)
mendorong adanya penolakan “alergis” dari para pemeluk agama lain akibat “aroma
bau Islam” sangat santer tercium se-hubungan ditetapkan di kota sucinya Dunia
Islam : Makkah. Ketiga keadaan tersebut harus dihindari sebab bila dibiarkan
terjadi maka akan sangat kontra produktif dengan semua upaya dan proses yang
telah susah payah selama ini dilakukan bahkan akan dapat menganulir hasil-hasil
yang telah dicapai.
Benang merah
konstelasi “dari Makkah kembali ke Jakarta” tersebut semakin terang warnanya
ketika mendapati kenyataan bahwa yang diberi kepercayaan penuh untuk menggelar The
2nd World Peace Forum adalah Muhammadiyah yang Ketumnya
adalah juga sebagai ketua World Peace Forum. Lalu, mengapa
harus Muhammadiyah dan bukan NU yang lebih besar dari segi massa maupun
penga-ruhnya dalam realitas geopolitik Indonesia?
Apabila NU yang dipilih maka nilai strategisnya sama sekali tidak ada,
sebab walau lebih besar dalam segalanya daripada Muhammadiyah namun “nilai
lebih besar” tersebut seluruhnya hanya dito-pang oleh komunitas manusia yang terlalu
kuat aroma tradisionalnya. Memang benar ciri khas tersebut bukan berarti massa
NU adalah tidak liberal bahkan dalam sejumlah kasus didapati fakta jauh lebih
li-beral dari Muhammadiyah sekalipun. Namun demikian, adalah sangat sulit juga
untuk merubah “style” alias gaya tampilan sosok-sosoknya, padahal hal itu
sangat penting dan diperlukan. Itulah nilai ketidak strategisan NU dan massanya
dibandingkan Muhammadiyah dan massanya. Jadi, Jakarta, World Peace Forum
dan Muhammadiyah untuk kali ini adalah konfigurasi paling ideal dan paling
cantik untuk di-gunakan dalam upaya mengelabui mata, perasaan,
pemikiran dan kesadaran umat Islam sedunia mela-lui Muhammadiyah berikut
massanya. Realitas inilah yang pasti akan terjadi dan itu telah diinformasi-kan
oleh Allah SWT :
وَلَا
يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ
اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة : 217)
Agenda The 2nd World Peace Forum : semakin memantapkan posisi dan eksistensi sekularisme
Peserta The
2nd World Peace Forum dari Amerika Serikat (AS) yang
sekaligus Sekjen Religions for Peace International : William F. Vendley
memberikan penegasan yang sangat gamblang tentang hubungan diselenggarakannya
forum tersebut dengan posisi dan eksistensi sekularisme : agama bisa dibajak
oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek yang akhirnya merugikan agama itu
sendiri. Ke-pentingan itu seperti kegiatan ekstremis, politisasi agama oleh
kelompok yang mementingkan dirinya sendiri …….
Pernyataan
bahwa bentuk pembajakan agama antara lain adalah: (a) agama dijadikan latar
kegi-atan ekstremis dan (b) politisasi agama, memastikan adanya kesepakatan
para pakar yang hadir dalam forum dunia tersebut untuk : (1) semakin
memantapkan pemisahan wilayah otoritas Tuhan (agama) dan wilayah otoritas
negara, (2) menjauhkan agama dari penggunaannya di luar yang seharusnya yakni
me-lebihi posisi dan eksistensinya sebagai entitas spiritualistik ritualistik
dan (3) menggiring opini seluruh umat beragama di dunia agar bekerjasama dalam
menghalangi kelompok kepentingan tertentu yang sa-ngat ingin untuk
mempolitisasi agama atau menjadikan agama sebagai asas legal dalam merealisir
ke-pentingan mereka.
Hal itu
berarti, World Peace Forum maupun Muhammadiyah menempatkan aksi
kekerasan atas nama agama (ekstremisme agama) maupun politisasi agama sebagai
dua bentuk sikap manusia (siapa pun dan dari komunitas agama apa pun) yang :
a.
bertentangan dengan jatidiri agama itu sendiri yang
sejatinya hanya sebagai kumpulan dan rangkai-an nilai-nilai normatif untuk
digunakan oleh manusia secara individual saat melakukan hubungan atau interaksi
vertikal dengan Tuhannya
b.
merugikan posisi dan eksistensi agama sendiri karena
telah membawa paksa agama ke dalam ruang yang sangat terbuka untuk dihujat,
dilecehkan maupun dipermainkan dan itu berakibat agama kehi-langan aspek
kesakralan serta kesuciannya
c.
menempatkan agama menjadi benar-benar sebagai sumber
konflik, karena telah membawa agama ke luar wilayah otoritasnya sehingga tidak
dapat dihindari lagi terjadinya gesekan bahkan benturan sangat keras antar umat
beragama akibat adanya klaim paling benar dari masing-masing agama.
Tentu saja realitas tersebut
tidak lain merupakan upaya yang sistemik integralistik ideologis dari World
Peace Forum dan Muhammadiyah untuk : (1) semakin menegaskan bahwa
konsistensi implementasi konsep sekularisme dalam kehidupan manusia di dunia
merupakan satu-satunya jaminan untuk mencip-takan perdamaian dunia itu sendiri,
sebab konsep itu telah dengan tepat dan proporsional menempatkan agama secara
mantap di wilayah otoritasnya saja, (2) mencegah munculnya keinginan,
kecenderungan, hasrat para pemeluk agama untuk menjadikan agamanya sebagai alat
legitimasi dalam merealisir ke-pentingan mereka dan sikap itu dapat dipastikan
akan berbenturan dengan kepentingan dari pemeluk agama lainnya sehingga
mengantarkan mereka kepada kondisi konflik dan (3) menyeru seluruh umat
beragama di dunia untuk bersama-sama memformat ulang alias merekonstruksi agama
masing-masing sedemikian rupa sehingga lebih dapat berkhidmat kepada
kemanusiaan yakni lebih humanis sekaligus semakin berpihak kepada nilai-nilai
universal kemanusiaan. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Wakil Direktur Australian
National Dialogue for Christian, Muslim & Jews (yang juga mantan
Perda-na Menteri Tunisia) Hedi Baccouche : ada tiga resep untuk membuat
dunia lebih damai. Resep perta-ma adalah menyelesaikan masalah Palestina dan
Irak. Resep kedua adalah mengubah paradigma pengajaran Islam saat ini ke arah
yang lebih modern. Resep ketiga adalah terus menerus mengajarkan generasi muda
pentingnya perdamaian antar kelompok, antar agama dan antar ras.
Pernyataan mantan perdana menteri Tunisia tersebut terutama “resep
kedua” menunjukkan untuk kesekian kalinya bahwa agama yang dibidik oleh
seluruh kesepakatan para pakar lintas agama da-lam The 2nd
World Peace Forum adalah Islam dan Dunia Islam bukan yang
lain. Pernyataan Syafii Maarif : Islam sebagai salah satu peradaban terbesar
di dunia harus bangkit berkontribusi pada nilai-nilai kemanusiaan secara
universal, semakin memastikan bahwa bagi World Peace Forum
maupun Muhammadiyah satu-satunya agama yang sangat mengancam
kemanusiaan dan perdamaian dunia ti-dak lain tidak bukan adalah Islam. Begitu
juga satu-satunya pihak atau belahan dunia yang merupakan ancaman mematikan
bagi kehidupan dunia global adalah Dunia Islam terutama yang berbasis geografis
di wilayah Timur Tengah : mengajak umat Islam di seluruh dunia terutama di
Timur Tengah bersikap jujur pada dirinya sendiri (Syafii Maarif). Jadi,
agenda utama dan bahkan satu-satunya sekembalinya dari Makkah ternyata tidak
dan belum berubah yakni masih tetap berupa agenda upaya berkelanjutan
untuk melumpuhkan Islam dan Dunia Islam, sehingga tidak lagi menjadi
ancaman mematikan bagi perdamaian dunia yang saat ini sepenuhnya berada dalam
kendali Dunia Barat. Satu-satunya resep mu-jarab untuk merealisir agenda utama
tersebut secara sempurna adalah dengan cara semakin memantap-kan
konsistensi Dunia Islam dalam implementasi maupun aktualisasi konsep
sekularisme. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَالَّذِينَ
كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي
الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (الأنفال : 73)
Lalu,
bagaimana halnya dengan pernyataan Din Syamsuddin : perdamaian tidak bisa
dirasakan selama kita tidak bisa menghilangkan ketidaksetaraan, ketidakadilan,
eksploitasi, ekstremisme, tidak toleran, diskriminasi dan semua bentuk
kekerasan bersenjata, pemusnahan ras, terorisme, agresi hing-ga pelanggaran hak
asasi manusia.
Sepintas, pernyataan Din tersebut seakan bentuk
keberpihakan dan pembelaannya terhadap Islam maupun Dunia Islam yang memang
dalam kondisi : (1) tidak setara dengan Dunia Barat, (2) diberlaku-kan secara
tidak adil oleh Dunia Barat, (3) dieksploitasi oleh Dunia Barat, (4) dianggap
biang keladi se-gala bentuk ekstremisme, terorisme maupun sikap tidak toleran
oleh Dunia Barat, (5) berhadapan lang-sung dengan sikap diskriminatif,
kekerasan bersenjata, pemusnahan ras, agresi militer maupun pelang-garan HAM
yang dilakukan oleh Dunia Barat. Namun, bila memperhatikan dengan teliti
pernyataan Din lainnya yakni :
1.
oleh karena itu, kami mendesak semua pemerintah
untuk memperbesar investasi perdamaian mere-ka, ketimbang investasi kekerasan.
2.
sistem politik demokrasi, haruslah demokrasi yang
bermoral, demokrasi yang menegakkan keadil-an dan demokrasi yang bertumpu pada
pemerataan.
maka, seluruh gagasan,
usulan, pemikiran Din tersebut sama sekali bukan bentuk keberpihakan
atau pembelaannya terhadap Islam dan Dunia Islam, melainkan sepenuhnya sebagai proposal
kepada Dunia Barat yang isinya adalah permohonan Din atas nama
Islam dan Dunia Islam kepada mereka supaya:
1.
sudi memberikan kedudukan yang setara dan bersikap adil
kepada Dunia Islam
2.
menghentikan aksi eksploitasi terhadap Dunia Islam
3.
tidak lagi memposisikan Dunia Islam sebagai biang
keladi segala bentuk ekstremisme, terorisme maupun sikap tidak toleran
4.
tidak lagi bersikap diskriminatif, melancarkan
kekerasan bersenjata, pemusnahan ras, agresi militer maupun pelanggaran HAM
kepada Dunia Islam
lalu
untuk semua permohonan tersebut Dunia Islam bersedia penuh untuk
memenuhi semua syarat, ketentuan dan peraturan ideologis yang ditetapkan oleh
Dunia Barat yang seluruhnya dirumuskan oleh Dunia Barat sendiri dalam agenda upaya
berkelanjutan untuk melumpuhkan Islam dan Dunia Islam dengan cara
semakin memantapkan konsistensi Dunia Islam dalam implementasi maupun
aktualisa-si konsep sekularisme. Inikah bentuk riil pembelaan
terhadap Islam dan Dunia Islam? Bukankah ini adalah bukti pasti
penghinaan dan penghancuran secara sistemik terhadap Islam dan Dunia Islam?
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ
أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ
يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (الكهف : 104-103)
Itulah realitas aksi penghinaan dan
penghancuran sistemik integralistik terhadap Islam dan Du-nia Islam
yang dilakukan oleh Dunia Barat melalui tangan pelayan-pelayan setia mereka
dari kalangan umat Islam sendiri. Sementara itu, aksi serupa di luar forum
tersebut juga terus berlangsung sporadis dan secara sengaja disebarluaskan oleh
media massa ke tengah-tengah umat Islam. Adalah Pengasuh Pesantren Tebuireng :
KH. Salahuddin Wahid (Gus Salah) dalam tulisannya berjudul “Keindonesiaan dan
Keislaman” menyatakan : mana yang lebih didahulukan, Indonesia atau Islam?
Memang tidak per-lu mendahulukan salah satu. Indonesia dengan dasar negara
Pancasila menurut Munas Alim Ulama NU 1983 adalah amat sesuai (compatible).
Sila-sila dari Pancasila adalah wahana untuk menerapkan syariat Islam di
Indonesia. Ayah saya, KHA Wahid Hasyim dan banyak kawan beliau di Partai
Masyumi dulu memperjuangkan Islam menjadi dasar negara atau memperjuangkan
Indonesia menjadi negara Islam di dalam persidangan BPUPKI. Hal itu adalah
sesuatu yang wajar pada saat itu. Timbul pertanyaan dalam diri saya mengapa
Partai NU tidak menerima Pancasila dalam persidangan Kons-tituante. Saya
bertanya kepada mertua saya, KH Saifuddin Zuhri, mengapa NU dalam Konstituante
menolak Pancasila? Beliau menjawab bahwa pendapat NU diputuskan melalui
musyawarah bersifat nasional dan memang saat itu hampir semua tokoh NU memilih
dasar negara Islam. Pendirian dan si-kap politik semacam itu terus
dipertahankan oleh NU ketika bergabung dalam PPP. PBNU baru mulai berpikir
secara mendasar saat ada suara bahwa semua parpol dan ormas harus menggunakan
Panca-sila sebagai asasnya. Tim yang dibentuk oleh PBNU di bawah pimpinan KH
Ahmad Siddiq menghasil-kan sebuah dokumen yang lalu disetujui oleh Munas Alim
Ulama NU (1983) dan dikenal sebagai De-klarasi Hubungan Islam dan Pancasila.
Deklarasi itulah yang memadukan Islam dan Pancasila se-hingga menjadi landasan
berdirinya PKB dan mungkin juga PAN. Kesediaan untuk memadukan Indo-nesia dan
Islam adalah suatu modal sosial politik yang amat berharga.
Realitas pola metamorfosis sikap politik NU itu
yakni dari menolak Pancasila menjadi meneri-ma penuh Pancasila,
telah diposisikan oleh Gus Salah sebagai keputusan yang wajib diberi
pengharga-an. Artinya, bagi Gus Salah sikap politik NU (menerima Pancasila)
yang tersurat dalam Deklarasi Hu-bungan Islam dan Pancasila adalah sikap
yang benar sedangkan sikap NU wajah lama (partai NU) maupun sikap KHA Wahid
Hasyim (ayah Gus Salah sendiri) berikut Masyumi-nya yang menolak Pan-casila dan
memperjuangkan Islam sebagai asas negara Indonesia atau menjadikan Indonesia
sebagai negara Islam adalah sikap yang sangat salah. Pola pemikiran
seperti yang diemban oleh Gus Salah ini tentu saja sebuah ironi dan bahkan
menggelikan, sebab secara sengaja atau tidak telah menempatkan seluruh
pemuka umat Islam dalam partai Masyumi maupun partai NU (termasuk bapaknya
sendiri) sebagai orang-orang yang bodoh, tidak mengerti persoalan, tidak
memahami realitas sosial politik keindonesiaan dan seterusnya. Hal yang
lebih mengerikan lagi dari itu adalah Gus Salah telah dengan sengaja memberikan
cap kepada siapa pun dari kalangan umat Islam (saat ini dan yang akan datang)
yang berkeinginan serta memperjuangkan berdirinya negara Islam (Khilafah
Islamiyah) sebagai orang-orang bodoh, pandir, tidak mengerti persoalan,
tidak memahami realitas sosial politik keindonesiaan dan seterusnya.
Tegasnya, Gus Salah memastikan bahwa Islam mewajibkan umat Islam untuk
rela dan bersedia menerima lalu melaksanakan kekufuran yang salah satu
bentuknya adalah Pancasila.
Sikap yang sama persis dengan Gus Salah walaupun
dalam kemasan yang seolah lebih membela Islam diperlihatkan dan
ditunjukkan oleh 200 orang ulama, habaib dan tokoh Islam se Indonesia yang
tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI). Pada hari Kamis 26 Juni 2008, mereka
kembali mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan
Keputusan Presiden (Keppres) Pembubaran Ahmadiyah. Bahkan mereka meminta kepada
pemerintah NKRI untuk sungguh-sungguh menjaga aki-dah umat Islam dengan Keppres
tersebut.
Nampak jelas sejelas matahari di tengah hari
berlangit cerah, antara sikap politik NU sejak 1983 hingga saat ini yang
memutuskan untuk menerima dan melaksanakan kekufuran dengan sikap sejumlah
tokoh umat Islam di FUI yang memohon dan mendesak pemerintah
negara kufur NKRI untuk membu-barkan Ahmadiyah, AKKBB, membatalkan kenaikan harga
BBM, tidak menjual aset-aset rakyat, menghentikan operasi Namru-2 dan
sebagainya, adalah sama persis alias identik yakni sama-sama rela
dan bersedia menerima, melaksanakan, mendukung, mengokohkan, mengawal,
mengamankan sistema kekufuran (sekularisme) yang paling tidak tengah
diberlakukan di salah satu negeri Islam : Indonesia. Oleh karena itu, umat
Islam haram mendukung dan mengikuti pola pikir dan sikap mereka
baik itu yang ada di World Peace Forum, Muhammadiyah, NU, FUI,
HTI, MMI dan lainnya. Allah SWT me-nyatakan :
وَلَا تَرْكَنُوا
إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ
مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (هود : 113)
Rasulullah
saw menyatakan :
فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ
أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى
ذَلِكَ (رواه البخاري)
Sikap yang benar : Islam
adalah segalanya!
Nabi Muhammad saw sangat
mencintai negeri Makkah dan beliau pun berusaha sangat keras agar Islam dapat
memperoleh kemenangan dan kejayaannya juga di kota tersebut. Namun ternyata
realitas penduduk kota Makkah sama sekali tidak bersedia memberikan loyalitas
mereka kepada Islam, umat Islam dan Rasulullah saw, bahkan sebaliknya mereka
menjadi penghalang yang sangat besar lagi kuat bagi Islam untuk meraih kemenangan
dan kejayaannya. Oleh karena itulah, walau beliau saw sangat berat meninggalkan
kota Makkah namun karena tuntutan dakwah Islam mengharuskan beliau hijrah ke
negeri Madinah, maka hal itu beliau lakukan dengan ikhlas.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِمَكَّةَ مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ وَلَوْلَا أَنَّ
قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ (رواه الترمذي)
Dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa Rasulullah saw telah
berkata kepada kota Makkah : “tidak ada negeri yang paling suci dan paling aku
cintai selain kamu dan andai bahwa kaumku tidak mengusirku darimu maka aku
tidak akan pernah tinggal di negeri lain selain kamu”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحَزْوَرَةِ
فَقَالَ عَلِمْتُ أَنَّكِ خَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ الْأَرْضِ إِلَى
اللَّهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكِ أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ قَالَ عَبْدُ
الرَّزَّاقِ وَالْحَزْوَرَةُ عِنْدَ بَابِ الْحَنَّاطِينَ (رواه احمد)
Dari Abu Hurairah menyatakan
bahwa Nabi saw telah berhenti sejenak di Al-Hazwarah, lalu beliau berkata :
“aku tahu bahwa kamu adalah sebaik-baiknya bumi Allah dan bumi yang paling
dicintai oleh Allah dan andai pendudukmu tidak mengusirku darimu maka aku tidak
akan pernah keluar meninggal-kanmu”. Abdurrazzaq menyatakan Al-Hazwarah itu
adalah tempat yang ada di pintu Al-Hannaathiin”
Sekali lagi, keputusan Nabi saw tersebut hanya
didasarkan kepada satu hal yakni sikap ikhlas be-liau dalam menjalankan
ketentuan Allah SWT sehingga beliau berhasil sempurna melepaskan diri dari
berbagai kepentingan naluriah layaknya manusia yang lain. Sikap ini jugalah
yang diambil secara tegas oleh para penerus Nabi saw terutama yang tampil di tengah
umat Islam sebagai Khulafa Rasyidun yak-ni : Abu Bakar, Umar bin Khaththab,
Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Ketika Nabi Muhammad saw
wafat, adalah wajar dan pantas bila empat orang shahabat istimewa tersebut
berhimpun di sekeliling jasad mulia Rasulullah seraya menampakkan kesedihan
yang sangat mendalam karena orang yang paling mereka cintai bahkan melebihi
cinta mereka kepada diri maupun keluarganya, telah meninggalkan mereka untuk
selamanya. Namun, jangankan mereka mengedepankan kepentingan naluriahnya
tersebut (sedih, merana, meratap) bahkan kewajiban yang harus segera mere-ka
lakukan pun yakni memandikan, mengkafani, menshalatkan, menguburkan jenazah
Rasulullah saw ternyata tidak mereka lakukan. Mereka lebih bahkan sangat
memprioritaskan satu perkara yang sangat amat krusial bila tidak segera
diselesaikan yakni mencari pengganti yang akan mengisi kekosongan po-sisi
kepala negara sepeninggal Rasul saw. Inilah yang tergambar dalam sebuah riwayat
di hari kematian Nabi Muhammad saw yang disampaikan oleh Ibnu Jarir
Ath-Thabariy :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ
حَرِيْثٍ لِسَعِيْدٍ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ
يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ
يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ
“Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah
engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid)menjawab : ya, tentu
saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid)
menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membeci tetap
hidup dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah”.
Riwayat tersebut menunjukkan
dengan gamblang bahwa aqal para shahabat (baik yang berkumpul di Saqiifah Bani
Saa’idah maupun yang tidak) memutuskan dengan benar sekaligus berhasil
mendominasi tuntutan kepentingan naluriah mereka (kesedihan, kehilangan dan
sebagainya) yakni lebih mempriori-taskan pertemuan di Saqiifah Bani Saa’idah
untuk mencari pengganti posisi kepala negara Islam yang baru saja kosong
seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad saw daripada hal lain termasuk mengurus
jenazah mulia Rasulullah sendiri. Akhirnya mereka berhasil sempurna
melaksanakan kewajiban yang terkategori مِنْ اَهَمِّيَةِ
الْفُرُوْضِ وَالْوَاجِبَاتِ
(paling penting) dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai Khalifah pertama kalinya
pasca Rasulullah saw. Inilah juga yang dimaksudkan oleh pernyataan Abu Bakar
saat itu :
اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ
مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
bagian pernyataan Abu Bakar وَلاَ
بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ memastikan bahwa Islam sebagai دِيْنًا tidak akan mungkin dapat diberlakukan
secara sempurna oleh umat Islam terhadap seluruh manusia di dunia bila mereka
tidak memiliki Khalifah yang dibai’at untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Sikap yang sama juga
ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab saat beliau menyaksikan betapa
kemajuan fisik (اَلتَّقَدُّمُ الْمَادِّيُ) sangat luar biasa dilakukan oleh bangsa Arab (umat Islam saat
itu), namun beliau sangat khawatir hal itu akan memalingkan mereka dari perkara
wajib yang paling penting untuk selalu dipertahankan yakni Islam dan
kepemimpinan. Tamiim Ad-Daariy menyatakan :
تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ
عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا
إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ
إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ
وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ
وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
“pada masa Khalifah Umar
telah terjadi keadaan manusia berlomba-lomba dalam pembangunan fisik (rumah),
lalu Umar berkata kepada mereka : ‘wahai masyarakat Arab tanah itu akan tetap
menjadi tanah (walau telah banyak ditempati bangunan), namun bahwa Islam itu
tidak ada kecuali dengan adanya jamaah (Khilafah) dan jamaah itu tidak ada
kecuali dengan adanya kepemimpinan dan kepe-mimpinan itu juga tidak ada kecuali
dengan adanya ketaatan. Oleh karena itu siapa saja yang memim-pin kaumnya
berdasarkan pemahaman yang benar (terhadap Islam) maka dia adalah kehidupan
bagi dirinya serta kaumnya, dan siapa saja yang memimpin kaumnya tidak
berdasarkan pemahaman yang benar (terhadap Islam) maka dia adalah kebinasaan
bagi dirinya maupun kaumnya”.
Jadi, orang yang menempati posisi paling tinggi
dalam اَلإِمَارَةُ
yakni اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ wajib menjalankan
tugasnya tersebut berdasarkan pemahaman yang benar (عَلَى
الْفِقْهِ) terhadap Islam
dan haram menye-lenggarakan tugasnya itu tanpa disertai pamahaman
yang benar (عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ) terhadap Islam. Khalifah Umar menegaskan bahwa terpelihara
atau tidaknya kesinambungan kehidupan Islami di dunia sepenuh-nya ditentukan
oleh realitas اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ dalam melaksanakan kewajibannya. Apabila dia melaksanakan
kewajibannya عَلَى الْفِقْهِ maka itu berarti dia menjadi penjamin 100 persen bagi
keberlangsungan kehidu-pan Islami di dunia tetap terwujud. Sebaliknya bila dia
melaksanakan kewajibannya عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ maka itu berarti dia menjadi aktor utama yang membinasakan
serta menghancurkan kehidupan Islami di dunia. Dengan demikian nampak sekali
adanya mekanisme timbal balik antara rakyat (اَلرَّعِيَّةُ) dengan penguasa (اَلسُّلْطَانُ) dalam kehidupan Islami, yakni : (a)
ketika rakyat sepenuhnya taat kepada penguasa dan pe-nguasa menjalankan
kewajibannya sepenuhnya sesuai dengan tuntutan Islam (عَلَى
الْفِقْهِ), maka
kehidup-an Islami terjamin 100 persen akan terus terwujud di dunia dan (b)
ketika salah satu dari rakyat atau pe-nguasa (apalagi keduanya) tidak
menjalankan kewajibannya sesuai dengan tuntutan Islam, maka tidak ada satu hal
pun yang akan menjamin tetap terpeliharanya wujud kehidupan Islami di dunia,
bahkan akan segera hancur dan binasa dari arah internal sendiri.
Ketika Utsman bin Affan
menjadi Khalifah maka beliau juga menunjukkan sikap yang sama de-ngan tiga
orang pendahulunya. Khalifah Utsman memiliki pemikiran yang begitu antisipatif
berkenaan dengan keberlangsungan Islam sebagai ideologi manusia (اِسْتِمْرَارُ
الإِسْلاَمِ قِيَادَةً فِكْرِيَّةً لِلْحَيَاةِ الإِنْسَانِيَّةِ) dan itu beliau lakukan dengan cara
memelihara eksistensi Al-Quran agar tidak hilang dari kehidupan dunia. Inilah
yang mendorong Khalifah Utsman untuk segera melakukan transformasi bentuk fisik
Al-Quran dari berupa hapalan dalam otak para shahabat menjadi tertulis dalam
sebuah mushaf : اَلْمُصْحَفُ الْعُثْمَانِيُّ. Hal itu beliau lakukan karena Rasulullah saw telah
mewajibkannya melalui pernyataan :
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ
مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ
يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)
“bahwa Allah tidak akan mengambil ilmu (Islam) begitu saja
setelah memberikannya kepada kalian, tetapi Allah akan mengambilnya dari mereka
(manusia) seiring dengan dimatikannya ulama beserta ilmu yang ada pada mereka.
Lalu yang akan tersisa di dunia adalah manusia-manusia bodoh yang bila mereka
dimintai fatwa (penjelasan) tentang Islam, maka mereka akan berfatwa dengan
pemikirannya yang bodoh tersebut sehingga mereka sesat dan menyesatkan”.
Saat peristiwa Khalifah
Utsman terbunuh, maka sebagian besar penduduk Ibukota Madinah (ter-masuk Ummul
Mukminin Aisyah ra.) menuntut untuk mencari pelaku pembunuhan keji tersebut.
Na-mun Sayyidina Ali ra. bersikap lain yaitu meminta kepada penduduk di luar
Madinah yakni Kuffah dan Bashrah untuk membai’at beliau sebagai Khalifah
pengganti Utsman yang telah wafat terbunuh. Se-pintas seakan sikap Ali ra. itu
adalah aneh, egois bahkan tidak peduli kepada persoalan, namun bila di-kaji
dengan jernih maka justru sikap beliau itulah yang tepat dan benar sesuai
dengan tuntutan realitas yang ada. Terbunuhnya Khalifah Utsman memastikan bahwa
kehidupan Islami (Khilafah) tengah ber-ada dalam ancaman kehancuran dan
kebinasaan sebab benar-benar kosong dari kepemimpinan dan itu berarti kewajiban
untuk taat kepada Khalifah tidak dapat dilakukan dan otomatis tiga perkara
pokok lainnya : اَلإِمَارَةُ وَالْجَمَاعَةُ وَالإِسْلاَمُ menjadi sirna dari genggaman umat Islam.
Tentu saja hal itu wajib dice-gah dan satu-satunya metode untuk mencegahnya
adalah umat Islam wajib membai’at Khalifah baru. Jadi, sikap Ali bin Abi Thalib
ra. sama sekali bukan eskpresi egoisme maupun tidak peduli persoalan, melainkan
justru sepenuhnya itu dilakukan demi Islam dan kaum muslimin yang tengah
terancam kebi-nasaan sehubungan dengan terbunuhnya Khalifah Utsman. Sayyidina
Ali sangat memahami semua per-nyataan Rasulullah saw yang di antaranya :
مَنْ
أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ
عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Wal hasil, seluruh sikap dari Khulafa Rasyidun dan
itu disepakati oleh seluruh umat Islam yang hidup sezaman dengan mereka
menunjukkan dengan pasti bahwa bagi mereka Islam adalah segala-galanya
dan wajib mereka pertahankan tetap menjadi asas kehidupan manusia selama di
dunia.
Khatimah
Ketika Allah SWT
menyatakan :
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا
وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
(الأحزاب :72)
maka sifat manusia yang إِنَّهُ
كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
adalah sangat tepat dilekatkan kepada semua orang yang ada di World Peace
Forum, Muhammadiyah, NU, FUI, HTI, MMI dan lainnya, yakni di seluruh
firqah yang ada wujud nyata di tengah-tengah umat manusia saat ini.
Begitu juga ketika
Rasulullah saw menyatakan :
دُعَاةٌ عَلَى
أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ
بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ
جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ
جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ
تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
(رواه البخاري)
maka
sifat manusia yang دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ
أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا adalah sangat tepat dilekatkan kepada semua orang yang ada di World
Peace Forum, Muhammadiyah, NU, FUI, HTI, MMI dan lainnya, yakni di
seluruh firqah yang ada wujud nyata di tengah-tengah umat manusia saat ini.
Semakin lebih tepat lagi bila memperhatikan realitas هُمْ مِنْ
جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا, sehingga yang wajib dilakukan oleh umat Islam saat ini (dalam
kondisi فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ) adalah :
فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ
أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى
ذَلِكَ
Mereka
(yang ada di World Peace Forum, Muhammadiyah, NU, FUI, HTI, MMI
dan lainnya) adalah manusia-manusia yang hakikatnya ditunjukkan oleh Rasul saw
:
أَلَا
إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ الْعُلَمَاءِ (رواه الدارمي)
No comments:
Post a Comment