Tiga buah kakao vs Rp 6,7 triliun Bank
Century
Realitas pemberlakuan sanksi (اَلْعُقُوْبَاتُ) di Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) memang sangat mengerikan sekaligus mengancam eksistensi kemanusiaan,
karena :
1.
formulasi, kompilasi dan yurisprudensi pasal-pasal yang termaktub
dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seluruhnya berdasarkan
kepada atau diturunkan dari atau ber-sumber dari
Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang telah diberlakukan selama Pemerintahan
Kolonial Hindia Belanda dan lalu diwariskan kepada pemerintah NKRI yang pertama
kalinya ada yakni di masa Orde Lama.
2.
walau memang KUHAP saat ini banyak diklaim oleh semua pihak
(Polisi, Jaksa, Pengacara dan praktisi hukum lainnya) sebagai bukan lagi
atau tidak lagi atau minimal sudah sangat banyak
ber-kurang dari KUHP Belanda, namun demikian realitas tersebut tetap saja tidak
mengubah wajah ori-sinalnya yang mengancam eksistensi kemanusiaan. Hal itu
karena perubahan yang terjadi sebatas perubahan peristilahan, atau perubahan
mekanisme penerapan, atau perubahan prosedur penjatuhan sanksi yang dimaksudkan
oleh pasal-pasal, atau perubahan teknis pelaksanaannya, tidak lebih.
3.
aparatur penegak sistem sanksi itu sendiri yakni Polisi, Jaksa dan
Pengadilan, seluruhnya merupa-kan himpunan orang-orang yang sama sekali tidak
memiliki integritas ideologis, bahkan dapat di-pastikan mereka semua adalah
manusia-manusia oportunis pragmatis yakni hidupnya selalu dan se-lalu
berorientasi kepada kepentingan naluriah pribadinya masing-masing. Oleh karena
itu, praktik jual beli kasus, makelar kasus, mafia peradilan, maling ayam
versus penjahat kerah putih dan seba-gainya tentu saja akan secara otomatis
terjadi, bahkan merupakan keniscayaan sistemik sehingga ti-dak perlu
mengagetkan pikiran maupun perasaan siapa pun.
4.
dalam negara kebangsaan yang memberlakukan sistem perekonomian
kapitalisme dipastikan akan terjadi konstelasi simbiosa mutualistik antara
penguasa (pemerintah dan jajarannya), pengusaha dan penegak hukum. Konstelasi
saling menguntungkan tersebut adalah keharusan yang dituntut dan dituntun oleh
sistem alias keniscayaan sistemik, sehingga tanpa harus membongkar semua kasus
satu per satu pun, maka sudah dapat dipastikan seiring dengan berjalannya
waktu, berjalan pula ki-nerja menyenangkan setiap orang sekaligus sangat
didambakan oleh kepentingan naluriah tersebut. Oleh karena itu, slogan atau
semboyan atau pemikiran atau gagasan bahwa semua orang adalah sama di
mata hukum atau supremasi hukum atau negara hukum,
tentu saja adalah bualan belaka bahkan sekedar khayalan yang hingga kapan pun
tidak akan pernah bertemu dengan kenyataannya. Jadi, hanya manusia yang bermerek
penguasa atau pengusaha atau penegak hukum saja lah yang dapat memperoleh
keadilan ketika mereka mencarinya. Sedangkan manusia lain di luar
mereka yakni rakyat jelata, adalah mustahil
mendapatkannya hingga kapan pun dan walau dengan telah mencurahkan seluruh daya
maupun dana yang mereka miliki.
5.
keberadaan lawyers alias pengacara alias penasihat hukum
alias pembela alias advokat dalam sis-tema sanksi adalah sama sekali bukan demi
kebenaran dan kesalahan melainkan justru demi me-manfaatkan celah
dan peluang yang diberikan secara sistemik oleh sistem sanksi itu
sendiri, yakni posisi saksi atau tersangka atau terdakwa atau bahkan terpidana
adalah ladang subur bagi mereka untuk mencari uang maupun
kedudukan dan prestise yang selama sangat dituntut oleh kepentingan naluriah
manusia mana pun.
6.
fakta memastikan terjadinya kesenjangan yang sangat jauh dan dalam
berkenaan dengan pengeta-huan yang memadai (well informed) antara
sebagian sangat besar rakyat (99 persen) dengan para penegak hukum termasuk lawyers.
Keadaan ini secara otomatis memposisikan rakyat jelata sebagai tidak berdaya (powerless)
atau tidak memiliki posisi tawar (they have no bargaining position)
sedi-kit pun ketika harus berhadapan dengan pihak lain atau harus menjalani
proses dan prosedur hu-kum. Realitas tersebut tentu saja menjadi celah dan
peluang berikutnya bagi seluruh pemangku ke-pentingan dalam sistema sanksi
untuk memanfaatkannya demi sebesar besarnya keuntungan mere-ka (asa manfaat
sistem kapitalisme).
7.
realitas nomor 1 hingga nomor 6 selalu terjadi dan telah
berlangsung sangat lama sehingga secara pasti telah memunculkan sikap skeptis
pada rakyat jelata. Bahkan mereka yang selama ini tidak ter-lalu peduli dan
tidak begitu mengerti tentang sistem sanksi ternyata tiba-tiba harus dihadapkan
ke-pada fakta itu, sehingga mau tidak mau mendorong mereka untuk terjerembab ke
dalam kubangan frustasi serta kegalauan akibat kehilangan kepercayaan kepada
siapa pun yang mengaku diri seba-gai bagian dari penegak hukum.
Oleh karena itu, kasus Ibu Minah yang mencuri (walau sebenarnya
telah meminta kepada penjaga kebun) tiga buah kakao yang jika diuangkan pun
hanya akan sebesar Rp 6 ribu di satu sisi, dan di sisi lainnya kasus dana
talangan (bailout) sebesar Rp 6,7 triliun yang dikucurkan oleh
pemerintah NKRI kepada pengelola Bank Century, adalah realitas sistemik
yang selalu akan terjadi dan sama sekali bu-kan kasuistik yang
kejadiannya adalah sangat langka.
Sangat disayangkan, umat Islam Indonesia sama
sekali tidak memutuskan suatu sikap yang benar terhadap realitas tersebut,
bahkan justru sebaliknya ikut serta larut secara aktif dalam arus dahsyat yang
mematikan itu. Mereka memilah diri secara sadar ke dalam dua gugus besar
yakni : (1) yang bersikap pro pemerintah
NKRI dan (2) yang kontra lalu menyatukan diri dengan para pengusung kekufuran
di barisan oposisi. Inilah kengerian sikap hidup umat Islam, yakni alih-alih
mereka menyadari bahwa sis-tema kufur buatan tangan manusia itu ternyata tidak
layak tidak pantas untuk kehidupan manusia di du-nia sehingga wajib mereka
tinggalkan, malahan mereka justru sepakat mempertahankan eksistensi dan
melestarikan pemberlakuannya dalam kehidupan mereka. Tegasnya, baik gugus umat
Islam yang ber-sikap pro maupun kontra pada hakikatnya adalah sama saja yakni
sama-sama sepakat untuk memperta-hankan eksistensi sistema kufur tersebut
sekaligus berusaha mati-matian melestarikan pemberlakuan-nya. Padahal sikap
yang seharusnya mereka putuskan sebagai umat Islam yang mengaku setuju dengan
ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ
اللهِ , adalah meninggalkan sistem kufur tersebut
dan lalu segera kembali memberlakukan seluruh ketentuan Islam (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ)
dalam wadah Khilafah Islamiyah yang telah lebih dari 85 tahun hilang dari arena
percaturan kehidupan mereka di dunia. Mereka seakan lupa atau memang
benar-benar tidak peduli dengan عَمَلٌ
صَالِحٌ yang diwajibkan oleh Allah SWT terutama
ketika kehidupan mereka di dunia tidak Islami :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ
ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ
كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ
الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا
يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)
Realitas pemberlakuan uqubat dalam kehidupan
Islami
Sistem sanksi dalam Islam (اَلْعُقُوْبَاتُ
فِيْ الإِسْلاَمِ) adalah bagian tak
terpisahkan dan haram dipisah-kan dari pemberlakuan seluruh syariah Islamiyah
dalam wadah Khilafah Islamiyah. Hal itu karena Is-lam adalah :
اَلدِّيْنُ
الَّذِيْ اَنْزَلَهُ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ لِتَنْظِيْمِ عَلاَقَاتِ
الإِنْسَانِ بِخَالِقِهِ وَبِنَفْسِهِ وَبِغَيْرِهِ مِنْ بَنِيْ الإِنْسَانِ
Din yang telah Allah turunkan kepada Sayyidina Muhammad
untuk mengatur interaksi manusia de-ngan Khaliqnya dan dengan dirinya dan
dengan lainnya dari kalangan sesama anak manusia
dari realitas عَلاَقَاتُ
الإِنْسَانِ بِغَيْرِهِ مِنْ بَنِيْ الإِنْسَانِ (interaksi manusia dengan lainnya
dari kalangan sesama anak manusia) munculah tindakan manusia yang
melibatkan dua pihak atau lebih dan dalam Islam di-istilahkan dengan muamalah (اَلْمُعَامَلاَتُ). Aktivitas muamalah secara otomatis
akan mengantarkan para pelaku aktifnya kepada dua pilihan perbuatan, yakni :
(1) perbuatan yang sesuai dengan ketentuan Is-lam berkenaan dengan muamalah dan
(2) perbuatan yang melanggar ketentuan Islam berkenaan dengan muamalah. Pilihan
perbuatan pertama tentu saja tidak akan menimbulkan persoalan baik selama di
du-nia maupun ketika nanti di Hari Mahsyar, tetapi pilihan perbuatan yang kedua
jika itu dilakukan maka yang melakukannya dipastikan wajib menjalani sanksi
(uqubat) sesuai dengan jenis maupun kadar tin-dak pelanggarannya tersebut.
Uqubat dalam Islam mencakup empat macam :
1.
hudud (اَلْحُدُوْدُ) yang meliputi : had zina (حَدُّ الزِّنَا), had liwath (حَدُّ اللِّوَاطِ), had qadzaf (حَدُّ الْقَذَفِ), had peminum khamr (حَدُّ شَارِبِ الْخَمْرِ), had pencurian (حَدُّ السَّرَقَةِ), had pembegalan (حَدُّ قِطَّاعِ الطُّرُقِ), had pemberontak (حَدُّ اَهْلِ الْبَغْيِ) dan had murtad (حَدُّ الْمُرْتَدِ).
2.
jinayat (اَلْجِنَايَاتُ) yang meliputi :
pembunuhan (اَلْقَتْلُ) dan selain pembunuhan
(فِيْمَا دُوْنَ النَّفْسِ). Pembu-nuhan meliputi
: disengaja (اَلْقَتْلُ
الْعَمَدُ),
seolah disengaja (اَلْقَتْلُ
شِبْهُ الْعَمَدِ)
dan kesalahan (اَلْقَتْلُ
الْخَطَأُ),
sedangkan selain pembunuhan meliputi menghilangkan (wujud dan fungsinya) atau
merusak atau melukai organ-organ tubuh maupun bagian-bagian tubuh tertentu,
seperti mata, telinga, hidung, gi-gi, lengan, jari lengan, kaki, jari kaki dan
sebagainya.
3.
ta’zir (اَلتَّعْزِيْرُ) yang realitasnya
meliputi :
a. pelanggaran terhadap kehormatan (اَلإِعْتِدَاءُ عَلَى الأَعْرَاضِ)
b. pelanggaran terhadap kemuliaan (اَلإِعْتِدَاءُ عَلَى الْكَرَامَةِ)
c. perbuatan yang merusak aqal (فِعْلٌ مَا يُؤْذِيْ الْعَقْلَ)
d. pelanggaran terhadap harta (اَلتَّعَدِّيْ عَلَى الأَمْوَالِ)
e. mengganggu keamanan (اَلإِخْلاَلُ بِالأَمْنِ)
f.
merongrong keselamatan
negara (اَلتَّعَرُّضُ لِسَلاَمَةِ
الدَّوْلَةِ)
g. dan lainnya seperti judi (اَلْقِمَارُ).
4. mukhalafat (اَلْمُخَالَفَاتُ) yang macamnya tidak
ditentukan dan tidak terbatas, melainkan segala ben-tuk pelanggaran terhadap
perundangan Khilafah Islamiyah maka itu dianggap sebagai mukhalafat.
Pemberlakuan sistem uqubat Islami tersebut
sepenuhnya berada dalam genggaman Khalifah de-ngan ketentuan : لَهُ
يَقُوْمُ بِهِ بِنَفْسِهِ مُبَاشَرَةً وَلَهُ اَنْ يُّعَيِّنَ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
نِيَابَةً عَنْهُ (dia boleh
melaksanakannya langsung oleh dirinya dan boleh juga dia mengangkat seseorang
yang akan melaksanakannya dalam posisi me-wakili dirinya). Inilah yang
ditunjukkan oleh banyak dalil dalam As-Sunnah antara lain :
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ مِنْ فِي
الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ
وَزَيْدَ بْنَ خَالِدٍ قَالَا كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ بَيْنَنَا
بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَامَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ اقْضِ
بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي قَالَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ
عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ
وَخَادِمٍ ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ
عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَعَلَى امْرَأَتِهِ الرَّجْمَ
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ الْمِائَةُ
شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ
عَامٍ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ
فَارْجُمْهَا فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا (رواه البخاري)
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdillah, telah
menceritakan kepada kami Sufyan yang ber-kata kami menghapalkannya dari ucapan
Az-Zuhriy yang berkata telah mengabarkan kepada saya Ubaidullah bahwa sungguh
dia telah mendengar Aba Hurairah dan Zaid bin Khalid keduanya berkata kami bersama
dengan Nabi saw, lalu ada seseorang berdiri dan berkata : saya memohon kepada
anda juga Allah supaya anda menetapkan keputusan di antara kami dengan Kitab
Allah. Lalu lawannya berdiri dan dia lebih paham dari orang tadi, lalu berkata
: tetapkanlah keputusan di antara kami de-ngan Kitab Allah dan ijinkanlah saya.
Beliau saw berkata : katakanlah! Dia berkata : sungguh anak laki-laki saya
menjadi pegawai pada orang ini, lalu dia (anak saya) berzina dengan istri orang
ini. Ke-mudian saya sumbangkan kepadanya seratus ekor domba dan seorang
pelayan. Lalu saya bertanya ke-pada seseorang dari ahli ilmu dan mereka
mengabarkan kepada saya bahwa anak saya harus dijilid seratus kali dan harus
diasingkan selama setahun dan kepada wanitanya harus diberlakukan rajam. Kemudian
Nabi saw berkata : demi Dzat yang diriku berada dalam genggamanNya, sungguh aku
akan memutuskan persoalan di antara kalian berdua dengan Kitab Allah yang indah
sekali mengingatnya. Seratus ekor domba dan satu orang pelayan itu harus
dikembalikan kepadamu dan seratus kali jilid adalah bagi anak laki-lakimu lalu
dia haru diasingkan setahun, dan wahai Unais carilah wanita itu lalu jika telah
ditemukan maka rajamlah dia. Kemudian dia mencari wanita itu dan menemukannya,
maka dia merajamnya.
عَنْ حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ تَبْعَثُنِي إِلَى
قَوْمٍ أَسَنَّ مِنِّي وَأَنَا حَدِيثٌ لَا أُبْصِرُ الْقَضَاءَ قَالَ فَوَضَعَ
يَدَهُ عَلَى صَدْرِي وَقَالَ اللَّهُمَّ ثَبِّتْ لِسَانَهُ وَاهْدِ قَلْبَهُ يَا
عَلِيُّ إِذَا جَلَسَ إِلَيْكَ الْخَصْمَانِ فَلَا تَقْضِ بَيْنَهُمَا حَتَّى
تَسْمَعَ مِنْ الْآخَرِ كَمَا سَمِعْتَ مِنْ الْأَوَّلِ فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ
ذَلِكَ تَبَيَّنَ لَكَ الْقَضَاءُ قَالَ فَمَا اخْتَلَفَ عَلَيَّ قَضَاءٌ بَعْدُ
أَوْ مَا أَشْكَلَ عَلَيَّ قَضَاءٌ بَعْدُ (رواه احمد)
Dari Hanasy dari
Ali ra berkata : Rasulullah saw telah menugaskan saya ke Yaman. Dia (Ali)
berkata lalu saya bertanya, wahai Rasulullah engkau menugaskan saya kepada kaum
yang lebih berumur dari-pada saya dan saya adalah masih muda tidak memahami
tentang al-qadla. Dia (Ali) berkata, lalu be-liau menempelkan lengannya ke dada
saya dan berkata : ya Allah, tetapkanlah lisannya dan beri hida-yahlah aqalnya.
Wahai Ali, jika dua orang yang berselisih duduk di hadapanmu, maka kamu jangan
memutuskan apa pun di antara mereka berdua hingga kamu mendengar dari yang lain
seperti halnya kamu telah mendengar dari yang pertama. Hal itu karena jika kamu
melakukan hal itu pastilah akan jelas bagimu al-qadla. Dia (Ali) berkata,
setelah itu tidak pernah terjadi perbedaan penetapan atas di-ri saya atau tidak
pernah ada kesulitan dalam penetapan bagi saya
Kedua dalil
tersebut (juga lainnya masih banyak) memastikan bahwa posisi Qadli (اَلْقَاضِيْ) yakni yang memiliki
wewenang untuk menetapkan keputusan (لَهُ صَلاَحِيٌّ فِيْ الْقَضَاءِ شَرْعًا)
lalu menjatuhkan sanksi, adalah boleh dipegang langsung oleh Khalifah dan boleh
juga Khalifah menugaskan seseorang untuk melaksanakannya. Realitas tersebut
tidak hanya berlangsung pada masa pemerintahan Rasulullah saw melainkan tetap
dipertahankan selama pemerintahan Khulafa Rasyidun, antara lain pada masa
Amirul Mukmimin Umar bin Khaththab :
عَنْ
الْحَكَمِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ أَتَيْنَا عُمَرَ فِي الْمُشَرَّكَةِ فَلَمْ
يُشَرِّكْ ثُمَّ أَتَيْنَاهُ الْعَامَ الْمُقْبِلَ فَشَرَّكَ فَقُلْنَا لَهُ
فَقَالَ تِلْكَ عَلَى مَا قَضَيْنَا وَهَذِهِ عَلَى مَا قَضَيْنَا (رواه الدارمي)
اَلْمُشَرَّكَةُ
= تَوْرِيْثُ الإِخْوَةِ الأُشَقَاءِ مَعَ الإِخْوَةِ ِلأُمٍّ
Dari Al-Hakam bin Mas’ud berkata kami mendatangi Umar
berkenaan dengan الْمُشَرَّكَةِ, lalu dia
tidak menetapkannya kemudian kami mendatanginya lagi pada tahun berikutnya lalu
dia menetapkannya. Maka kami pun bertanya mengapa demikian kepadanya, lalu dia
menjawab : keputusan yang lalu ada-lah berdasarkan ketetapan kami dan keputusan
yang saat ini juga adalah berdasarkan ketetapan kami
Ucapan
Khalifah Umar تِلْكَ عَلَى مَا قَضَيْنَا
وَهَذِهِ عَلَى مَا قَضَيْنَا memastikan bahwa saat itu beliau
sendiri berpo-sisi sebagai Qadli.
Ketika Khalifah secara langsung menjadi Qadli, tentu saja selama dia
adalah اِمَامٌ عَادِلٌ رَاشِدٌ (Imam Adil
Cerdas) tidak akan terjadi persoalan dalam penetapan keputusan (اَلْقَضَاءُ) yakni akan sepenuhnya sesuai dengan fakta,
persoalan, permasalah, musykilah yang dihadapi. Inilah yang selalu berlangsung
pada masa Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun. Namun ketika Khalifah menugaskan
seseorang men-jadi Qadli, maka Khalifah wajib melakukan penelitian (اَلْمُطَالَعَةُ) tentang integritas ideologis maupun
ka-pabilitas dari orang yang akan diberi tugas tersebut. Integritas ideologis
seseorang yakni apakah aqidah Islamiyah telah menjadi قَاعِدَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ وَقِيَادَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ (qaidah
berpikirnya dan kepemimpinan berpikirnya) ataukah belum. Sedangkan
kapabilitas seseorang yakni apakah seluruh ketentuan Islam yang berkenaan dan
berhubungan dengan tugasnya telah menjadi pemahamannya ataukah belum. Jika
hasilnya menun-jukkan sudah maka Khalifah layak mengangkatnya
sebagai Qadli dan bila sebaliknya yakni hasilnya memastikan belum
maka Khalifah masih boleh mengangkatnya dengan terlebih dahulu melakukan
pembenahan integritas ideologis maupun kapabilitas orang tersebut, atau
Khalifah tidak mengangkat orang tersebut melainkan mencari orang lain yang
diduga kuat memenuhi kualifikasi itu. Inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah
saw setiap saat beliau menugaskan seseorang dari kalangan sahabat men-jadi
petugas negara baik itu Wali, Qadli, Amil dan sebagainya :
عَنْ
حَنَشٍ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْيَمَنِ قَاضِيًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ تُرْسِلُنِي وَأَنَا حَدِيثُ السِّنِّ وَلَا عِلْمَ لِي بِالْقَضَاءِ
فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ سَيَهْدِي قَلْبَكَ وَيُثَبِّتُ لِسَانَكَ فَإِذَا جَلَسَ
بَيْنَ يَدَيْكَ الْخَصْمَانِ فَلَا تَقْضِيَنَّ حَتَّى تَسْمَعَ مِنْ الْآخَرِ
كَمَا سَمِعْتَ مِنْ الْأَوَّلِ فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَتَبَيَّنَ لَكَ
الْقَضَاءُ قَالَ فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا أَوْ مَا شَكَكْتُ فِي قَضَاءٍ بَعْدُ
(رواه ابو داود)
Dari Hanasy dari
Ali as berkata, Rasulullah saw menugaskan saya menjadi Qadli di Yaman lalu saya
berkata : wahai Rasulullah engkau menugaskan saya dan saya masih muda serta
tidak memiliki ilmu tentang al-qadla. Lalu beliau berkata : sungguh Allah akan
memberi hidayah kepada aqalmu dan me-ngokohkan lisanmu, lalu jika dua orang
yang berselisih duduk di hadapanmu maka janganlah kamu memutuskan sesuatu
hingga kamu mendengar dari yang lain seperti halnya telah kamu dengar dari yang
pertama. Hal itu karena lebih akan membantu mu untuk memperoleh kejelasan dalam
al-qadla. Dia (Ali) berkata : setelah itu saya selalu menjadi qadli atau saya
tidak pernah mengalami keraguan dalam penetapan keputusan
Hadits tersebut
memastikan bahwa dari aspek integritas ideologis, tentu saja Sayyidina Ali
telah meme-nuhinya dalam taraf 100 persen. Sedangkan dari aspek kapabilitas
ternyata Ali sendiri sangat menyada-ri ketidak mampuan dirinya tentang al-qadla
يَا رَسُولَ اللَّهِ تُرْسِلُنِي وَأَنَا حَدِيثُ السِّنِّ وَلَا
عِلْمَ لِي بِالْقَضَاءِ, sehingga dia
menyerahkan sepenuhnya kepada Rasulullah saw apa hal terbaik yang dapat dia
lakukan. Ternyata mendapati realitas Ali tersebut, Rasulullah saw melakukan
pembenahan terhadap dia dengan menyam-paikan hidayah Allah SWT (إِنَّ اللَّهَ سَيَهْدِي قَلْبَكَ وَيُثَبِّتُ لِسَانَكَ) berkenaan dengan al-qadla :
فَإِذَا
جَلَسَ بَيْنَ يَدَيْكَ الْخَصْمَانِ فَلَا تَقْضِيَنَّ حَتَّى تَسْمَعَ مِنْ
الْآخَرِ كَمَا سَمِعْتَ مِنْ الْأَوَّلِ فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يَتَبَيَّنَ لَكَ
الْقَضَاءُ
Pembenahan
aspek kapabilitas Sayyidina Ali sebagai Qadli yang dilakukan oleh Rasulullah
saw benar-benar berhasil guna sehingga setelah itu dia selalu ditugaskan selaku
Qadli dan tidak pernah menghada-pi kesulitan dalam menetapkan keputusan : فَمَا زِلْتُ قَاضِيًا أَوْ مَا شَكَكْتُ فِي قَضَاءٍ بَعْدُ atau dalam
riwayat lain dari Imam Ahmad, dia berucap : فَمَا
اخْتَلَفَ عَلَيَّ قَضَاءٌ بَعْدُ أَوْ مَا أَشْكَلَ عَلَيَّ قَضَاءٌ بَعْدُ.
Oleh karena itu aspek integritas ideologis
dan kapabilitas, keduanya merupakan perkara yang me-nentukan (ضَرُوْرِيٌّ) yang wajib melekat
pada seluruh jajaran pejabat Khilafah Islamiyah mulai dari Kha-lifah sendiri
hingga termasuk di dalamnya para Qadli (اَلْقُضَاةُ). Harus diingat realitas اَلْقَضَاءُ dalam Islam adalah :
هُوَ
اْلإِخْبَارُ بِالْحُكْمِ عَلَى سَبِيْلِ اْلإِلْزَامِ وَهُوَ يَفْصِلُ
الْخُصُوْمَاتِ بَيْنَ النَّاسِ اَوْ يَمْنَعُ مَا يَضُرُّ حَقَّ الْجَمَاعَةِ
اَوْ يَرْفَعُ النِّزَاعَ الْوَاقِعَ بَيْنَ النَّاسِ وَاَيِّ شَخْصٍ مِمَّنْ هُوَ
فِيْ جِهَازِ الْحُكْمِ حُكَّامًا اَوْ مُوَظَّفِيْنَ خَلِيْفَةً اَوْ مَنْ
دُوْنَهُ
Pemberitaan hukum dengan jalan paksaan dan itu mencakup
menyelesaikan perselisihan di antara manusia, atau mencegah segala perkara yang
akan membahayakan haq orang banyak, atau menghi-langkan perseteruan yang
terjadi antara rakyat dengan seseorang yang berada dalam struktur
peme-rintahan, baik itu para penguasa maupun para pegawai negara, baik itu
Khalifah maupun yang lain-nya.
Bagian pernyataan اْلإِخْبَارُ
بِالْحُكْمِ adalah tentu saja اْلإِخْبَارُ
بِحُكْمِ اللهِ تَعَالَى, sebab semesta pembicaraan adalah Islam dan dalam kehidupan
Islami (Khilafah Islamiyah) bukan di selainnya. Artinya para Qadli dalam Islam
itu wajib memenuhi syarat-syarat :
1.
bagi Qadli yang
bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara sesama anggota
masyara-kat dalam arena muamalah dan uqubat (اَلْقَاضِيْ), adalah :
اَنْ
يَّكُوْنَ مُسْلِمًا وَحُرًّا وَبَالِغًا وَعَاقِلاً وَعَدْلاً وَفَقِيْهًا
وَمُدْرِكًا لِتَنْزِيْلِ الأَحْكَامِ عَلَى الْوَقَائِعِ رَجُلاً كَانَ اَوِ
امْرَأَةً
2.
bagi Qadli yang
bertugas mencegah segala perkara yang akan membahayakan hak orang banyak yakni اَلْمُحْتَسِبُ, adalah :
اَنْ
يَّكُوْنَ مُسْلِمًا وَحُرًّا وَبَالِغًا وَعَاقِلاً وَعَدْلاً وَفَقِيْهًا
وَمُدْرِكًا لِتَنْزِيْلِ الأَحْكَامِ عَلَى الْوَقَائِعِ رَجُلاً كَانَ اَوِ
امْرَأَةً
3.
bagi Qadli yang
bertugas menghilangkan perseteruan yang terjadi antara rakyat dengan penguasa
maupun pegawai negara yakni قَاضِيُ
الْمَظَالِمِ, adalah :
اَنْ
يَّكُوْنَ رَجُلاً وَمُسْلِمًا وَحُرًّا وَبَالِغًا وَعَاقِلاً وَعَدْلاً
وَمُجْتَهِدًا
Lalu, apakah dalam Islam mengenal adanya
pembedaan alias diskriminasi dalam pemberlakuan sanksi berdasarkan kedudukan
atau kekayaan atau lainnya? Rasulullah saw menyatakan :
إِنَّمَا
أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ
تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ
اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا (رواه
البخاري)
Hanya
sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka bersikap
jika seo-rang mulia mencuri di tengah-tengah mereka pastilah mereka biarkan
dia, dan jika seorang lemah mencuri di tengah-tengah mereka pastilah mereka
berlakukan kepada orang itu had. Demi Allah, an-dai Fathimah putri Muhammad
mencuri, pastilah aku potong tangannya
Dalil tersebut (juga lainnya yang serupa
masih banyak) menunjukkan bahwa :
1.
realitas kehidupan yang di dalamnya ada pemposisian manusia
menjadi golongan mulia (الشَّرِيفُ) dan golongan lemah/jelata (الضَّعِيفُ) adalah terjadi di masa
sebelum Islam yakni masa Bani Israil se-perti yang ditunjukkan oleh riwayat
lain :
إِنَّ
بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَ إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا
سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ قَطَعُوهُ لَوْ كَانَتْ فَاطِمَةُ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
(رواه البخاري)
2.
realitas pola kehidupan Bani Israil tersebut adalah haram ditiru
dan diikuti oleh umat Islam, artinya dalam kehidupan Islami (Khilafah
Islamiyah) haram adanya pembedaan kedudukan berdasarkan mulia (الشَّرِيفُ) dan jelata
(الضَّعِيفُ). Inilah yang
ditunjukkan oleh bagian ucapan Rasulullah saw pa-da bagian awal hadits : إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا. Haramnya pembedaan kedudukan tersebut
dite-tapkan oleh banyak dalil antara lain pernyataan Rasulullah saw :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ
رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى
أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ
وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى أَبَلَّغْتُ قَالُوا بَلَّغَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ أَيُّ يَوْمٍ
هَذَا قَالُوا يَوْمٌ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ أَيُّ شَهْرٍ هَذَا قَالُوا شَهْرٌ
حَرَامٌ قَالَ ثُمَّ قَالَ أَيُّ بَلَدٍ هَذَا قَالُوا بَلَدٌ حَرَامٌ قَالَ
فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ بَيْنَكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَ
أَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ
هَذَا أَبَلَّغْتُ قَالُوا بَلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لِيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ (رواه احمد)
3.
karena dalam pola kehidupan Islami haram terjadi pembedaan
kedudukan الشَّرِيفُ وَالضَّعِيفُ, maka se-cara otomatis (selama perjalanannya
normal dan tidak ada penyimpangan) tidak akan pernah terjadi diskriminasi dalam
pemberlakuan sanksi. Jadi selain diskriminasi dalam pemberlakuan sanksi itu
adalah diharamkan, juga selama perjalanan Khilafah Islamiyah normal dan tidak
ada penyimpang-an, realitas diskriminasi itu tidak mungkin akan terjadi.
Selain itu,
selama seluruh umat Islam warga negara Khilafah Islamiyah menjadikan aqidah Islamiyah
sebagai qaidah dan kepemimpinan berpikir mereka maka jika pun mereka suatu saat
melakukan mak-siat yang mengharuskan mereka menjalani uqubat di dunia, tentu
saja itu pun akan sangat mereka dam-bakan untuk dijalani dan mustahil akan
melarikan diri darinya. Hal itu karena :
تَكُوْنُ الْعُقُوْبَاتُ زَوَاجِرَ
وَجَوَابِرَ, اَمَّا كَوْنُهَا زَوَاجِرَ فَلِاَنَّهَا تَزْجَرُ النَّاسَ عَنْ
فِعْلِ الذُّنُوْبِ وَارْتِكَابِ الْجَرَائِمِ وَاَمَّا كَوْنُهَا جَوَابِرَ
فَلِاَنَّهَا تُجْبِرُ عُقُوْبَةَ الآخِرَةِ
Uqubat itu bersifat zawaajir dan jawaabir. Adapun sifatnya
yang zawaajir adalah karena uqubat akan mencegah manusia dari berbuat dosa dan
melakukan kejahatan, sedangkan sifatnya yang jawaabir adalah karena uqubat akan
menghapus uqubat akhirah
Realitas sifat uqubat tersebut ditunjukkan oleh banyak
dalil antara lain hadits berikut :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً سَرَقَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ بِهَا الَّذِينَ سَرَقَتْهُمْ
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ الْمَرْأَةَ سَرَقَتْنَا قَالَ
قَوْمُهَا فَنَحْنُ نَفْدِيهَا يَعْنِي أَهْلَهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْطَعُوا يَدَهَا فَقَالُوا نَحْنُ نَفْدِيهَا
بِخَمْسِ مِائَةِ دِينَارٍ قَالَ اقْطَعُوا يَدَهَا قَالَ فَقُطِعَتْ يَدُهَا
الْيُمْنَى فَقَالَتْ الْمَرْأَةُ هَلْ لِي مِنْ تَوْبَةٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ نَعَمْ أَنْتِ الْيَوْمَ مِنْ خَطِيئَتِكِ كَيَوْمِ وَلَدَتْكِ أُمُّكِ
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي سُورَةِ الْمَائِدَةِ فَمَنْ تَابَ مِنْ
بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ (رواه احمد)
Dari Abdillah bin
‘Amr bahwa seorang wanita telah mencuri di masa Rasulullah saw, lalu
orang-orang yang hartanya dicuri oleh wanita itu membawanya, maka mereka
berkata : wahai Rasulullah, sungguh wanita ini telah mencuri harta kami. Kaum
dari wanita itu berkata : tapi kami yakni keluar-ganya akan menjaminnya. Maka
Rasulullah saw berkata : potonglah tangan dia. Lalu mereka (kaum dari wanita
itu) berkata : tapi kami akan menjaminnya dengan lima ratus dinar. Beliau
berkata lagi : potonglah tangan dia. Dia (Abdullah bin ‘Amr) berkata : maka
tangan kanan wanita itu dipotong. Lalu wanita itu berkata : apakah bagi saya
ada taubah, ya Rasulullah? Beliau menjawab : ya tentu saja, hari ini kamu dari
dosa kamu seperti hari ibumu melahirkanmu. Lalu Allah ‘Azza wajalla menurunkan
ayat dalam surah Al-Maidah :
فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْدِ ظُلْمِهِ
وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (39)
Khatimah
Diskriminasi dalam pemberlakuan sanksi yang terjadi saat ini di
arena kehidupan kufur berbasis sekularisme adalah keniscayaan sistemik dan
realitas tersebut selalu terjadi di setiap negara kebangsaan yang
memberlakukannya, termasuk negara-negara di Dunia Islam. Pada umumnya,
diskriminasi itu ter-jadi berdasarkan kedudukan (mulia, lemah), kekuasaan
(penguasa, rakyat jelata), kekayaan (pengusaha, buruh atau kaya, miskin).
Kepastiannya adalah golongan mulia, penguasa, pengusaha dan kaya me-mang pada
faktanya adalah kumpulan manusia yang sangat luas aksesnya kepada segala aspek
kehidu-pan termasuk sistem sanksi berikut aparatur penegaknya. Bahkan akses
tersebut tidak hanya berkenaan dengan kesempatan untuk mengoleksi berbagai
pengetahuan seputar sistem sanksi, melainkan juga ten-tang tatacara untuk menjadikan
seluruh penegak hukum berpihak kepada mereka atau benar-benar ber-ada di pihak
mereka. Akibatnya adalah secara otomatis kaum lemah, rakyat jelata, buruh dan
miskin menjadi himpunan manusia yang menjadi objek eksploitasi multi dimensi
dan multi jenjang yang dija-lankan oleh lawan main mereka dalam kehidupan
dunia.
Pemberlakuan sistema sanksi secara diskriminatif dalam kehidupan
Islami dengan wadah Khila-fah Islamiyah adalah hampir mustahil akan terjadi,
selama perjalanan Khilafah tersebut normal dan ti-dak ada penyimpangan, seperti
yang berlangsung selama kepemimpinan Rasulullah saw maupun Khu-lafa Rasyidun.
Artinya, selain diskriminasi dalam pemberlakuan sistem sanksi itu adalah
diharamkan oleh Islam juga realitas itu akan sangat sulit terjadi sebab seluruh
warga negara (umat Islam dan ahlu dzimmah) beserta seluruh penguasa maupun para
pegawai negara Khilafah telah bersepakat bulat untuk hanya mentaati Allah SWT
dan Rasulullah saw dengan cara memberlakukan seluruh ketentuan Islam, termasuk
sistem sanksi alias uqubat. Lebih dari itu, kesepakatan yang ada adalah
kesepakatan ideologis (bukan kesepakatan berbasis kepentingan naluriah manusia)
yang muncul akibat mereka menyadari tuntutan aqal mereka sendiri yang
mengharuskan untuk taat kepada seluruh ketentuan Allah SWT yang ada dalam
Islam. Inilah yang digambarkan oleh Allah SWT dalam pernyataan :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (التوبة : 71)
Dan
kaum mukmin dan mukminah itu sebagian dari mereka adalah auliya bagi sebagian
lainnya. Mereka memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar,
melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat dan mentaati Allah maupun Rasul Nya.
Mereka itulah orang-orang yang akan Allah sayangi, sungguh Allah عَزِيزٌ حَكِيمٌ.
No comments:
Post a Comment