MUI, fatwa halal-haram
dan kapitalisme
Majelis Ulama Indonesia (MUI) lahir lalu tumbuh dan
berkembang hingga kini adalah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang faktanya adalah sebuah negara yang menerapkan sistem perekonomian
kapitalisme berbasis sekularisme. Realitas NKRI tersebut tidak mungkin
disang-kal, karena dapat dibuktikan dengan mudah oleh perjalanan empiris NKRI
sendiri paling tidak sejak ta-hun 1945 sampai sekarang tahun 2009 (64 tahun).
Kemudian pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang telah dilaksanakan pada
tanggal 26 – 28 Oktober 2008 lalu, MUI menegaskan jatidirinya sebagai pendukung
utama pemberlakuan demokrasi maupun kapitalisme di NKRI. Hal ini berarti apa pun
yang keluar dari MUI berupa fatwa, jawaban, penjelasan, rekomendasi, usulan,
seruan, himbauan dan seba-gainya, seluruhnya tidak mungkin lepas dari realitas كِيَانٌ
سِيَاسِيٌ تَنْفِيْذِيٌّ
(wadah politik pelaksanaan) yang selama ini didukung penuh oleh mereka yakni
NKRI yang tiada lain adalah negara kebangsaan kapita-listik sekularistik.
Oleh karena itu, produk MUI paling “anyar” yakni
fatwa haram tentang rokok maupun golput (golongan putih) adalah sama saja
dengan fatwa sebelumnya seperti : dukungan kepada pemerintah NKRI, DPR, KPK,
pembenahan sistem kapitalisme (rekomendasi Rakernas MUI 2008) maupun
per-nyataan salah satu petingginya (KH. Amidhan, 9 Oktober 2008) yang mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan RUU
Pornografi untuk membangun moral bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945. Produk fatwa apa pun dari MUI adalah mustahil dapat melepaskan diri
dari bayang-bayang naungan kapitalisme sekularistik yang diberlakukan utuh
dalam NKRI, sehingga sadar atau tidak, di-akui atau disangkal, seluruh kiprah
MUI adalah diperuntukan bagi lestarinya kekufuran mencengke-ramkan hegemoninya
atas kehidupan manusia di dunia termasuk Indonesia.
Realitas tersebut sangat nampak jelas pada kasus pro
dan kotra terhadap fatwa MUI tentang ha-ramnya rokok maupun golput. Artinya,
baik pihak yang pro MUI maupun yang kontra adalah sama saja yakni sama-sama
melandaskan sikap masing-masing kepada seluruh ketentuan Ideologi Kapitalisme
yang salah satu konsep utamanya adalah pertimbangan manfaat
sebagai patokan untuk memutuskan sesuatu gagasan, kesimpulan, sikap maupun
tindakan. Rinciannya adalah :
1.
ketika Gus Dur yang untuk pertama kalinya meneriakkan
sikap golput kepada penginderaan publik Indonesia, maka mustahil disangkal
(walau masih juga ada yang menyangkal) sikap dia itu adalah akibat seluruh
kepentingannya terutama untuk maju lagi sebagai kandidat calon presiden
(capres) tidak terakomodasikan dalam undang-undang pemilihan presiden (UU
Pilpres) terbaru. Terlebih, dia pun telah putus asa akibat “putera mahkota”
kesayangannya Muhaimin Iskandar benar-benar telah memberontak dan mengkhianati
“kedudukan sakralnya” di PKB : Ketua Dewan Syura PKB. Sehingga ketika Gus Dur
mendengar petir fatwa MUI yang mengharamkan golput, maka sudah dapat dipastikan
dia akan bereaksi tidak setuju alias kontra fatwa. Jadi,
terjadilah pertarungan sengit dua kepentingan yakni yang diusung oleh MUI dan
yang diperjuangkan oleh Gus Dur dan keduanya bermuara di tempat yang sama yakni
sama-sama memantapkan dirinya masing-masing dalam kekufuran : demokrasi.
2.
ketika MUI memutuskan fatwa : (a) haram umat Islam
bersikap golput bila ada calon pemimpin (capres) yang memenuhi semua kriteria
kebaikan dan (b) bila tidak ada satu pun calon pemimpin yang dapat memenuhi
semua kriteria kebaikan maka haram bagi umat Islam untuk memilihnya, maka
keduanya sarat dengan muatan kepentingan baik yang berasal dari internal MUI
sendiri mau-pun dari arah eksternal. Namun terlepas dari arah mana kepentingan
itu berasal yang pasti ada satu hal yang mendesak untuk diamankan yakni
kepentingan paling penting : melestarikan posisi dan eksistensi MUI dalam
arena kehidupan demokratis sekularistik dalam NKRI. Kepentingan paling
penting inilah yang juga mendasari sikap kontra pihak lain terhadap fatwa
tersebut dan ini terbukti dari argumen yang disodorkan saat mereka menyatakan
sikap kontranya itu yakni : memilih dalam pemilu (baik legislatif maupun
pilpres) adalah hak setiap warga negara dan bukan kewajiban, jadi mau
melaksanakan haknya atau pun tidak sama sekali bukan perkara yang haram.
3. ketika
MUI memutuskan rokok adalah haram bagi wanita hamil, anak-anak, anggota MUI dan
bila dilakukan di tempat umum, adalah sulit untuk disimpulkan bahwa keputusan
ini terbebas dari ke-pentingan sebab jauh sebelum fatwa ini ditetapkan,
ternyata telah lama ada peringatan dari peme-rintah dalam setiap produk rokok
maupun iklan rokok tentang bahaya rokok bagi wanita hamil, ja-nin, anak-anak,
menyebabkan kanker, impotensi dan sebagainya. Begitu juga untuk kasus merokok
di tempat umum, ternyata Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah lebih
dahulu menetap-kan peraturan daerah (perda) larangan merokok di tempat umum.
Inilah realitas yang memastikan adanya tarik menarik kepentingan antara MUI
dengan pemerintah (pusat maupun daerah tertentu) pada kasus rokok. Padahal,
baik peringatan pemerintah maupun perda larangan merokok di tempat umum, juga
tidak pernah lepas dari kepentingan. Ketika pemerintah mengharuskan para
produsen rokok memuat iklan peringatan pemerintah tentang rokok tersebut,
sebenarnya adalah untuk merea-lisir dua kepentingan yakni : (a) supaya terbebas
dari tuntutan undang-undang yang berhubungan dengan perlindungan konsumen
(rakyat) dan (b) agar tetap dapat menarik pajak dari rokok melalui pita cukai
yang setiap tahunnya ditargetkan dapat menyumbang 30 persen kepada APBN tahun
ber-jalan tersebut.
Lalu, pihak yang pro terhadap fatwa
MUI tentang rokok misalnya KOMNAS Perlindungan Anak, sudah tentu juga membawa
kepentingan (kebetulan sama dengan MUI) yakni supaya eksistensinya yang
terlanjur diposisikan sebagai “pahlawan pembela anak-anak” dapat terus terjaga
dan semakin mantap di tengah-tengah persaingan yang sangat ketat di arena
tersebut. Bagaimana halnya dengan yang kontra fatwa MUI? Adalah
Ketua MUI Jawa Timur KH. Abdusshomad Bukhari yang menilai fatwa haram rokok itu
justru lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya antara lain akan menye-babkan
membengkaknya jumlah angka pengangguran seiring dengan diberhentikannya ribuan
bu-ruh industri rokok seperti yang ada di Jawa Timur. MUI Jawa Tengah juga
menunjukkan sikap kontranya terhadap fatwa tersebut dengan alasan fatwa itu
akan mematikan para petani tembakau yang sangat banyak dijumpai di Jawa Tengah
terutama daerah Temanggung.
Demikianlah sangat jelas terindera
betapa kuatnya aroma kepentingan baik individual, industri, ma-upun kelembagaan
dalam realitas sikap pro dan kontra terhadap fatwa haramnya rokok. Seluruhnya
terjadi disebabkan oleh satu hal saja yakni semua pihak telah sepakat dan
setuju untuk selalu meng-elaborasikan prinsip ekonomi kapitalistik yakni
manfaat (usefulness) termasuk prinsip lainnya yaitu the least the
cost the highest the profit (biaya serendah mungkin, keuntungan setinggi
mungkin).
Dengan demikian, hubungan faktual antara MUI,
penetapan halal-haram dan kapitalisme adalah ideologi kapitalisme telah menjadi
asas dan kaidah berpikir sebagian sangat besar umat Islam termasuk yang ada di
MUI, sehingga ideologi tersebut sepenuhnya menentukan pemikiran, ucapan maupun
sikap mereka. Pada kasus MUI, apa pun yang mereka hasilkan berupa fatwa,
jawaban, penjelasan, rekomen-dasi, usulan, seruan, himbauan dan sebagainya,
seluruhnya sama sekali bukan digali dari Islam (walau seolah menggunakan dalil
dari sumber Islam) dan juga bukan demi terlahirnya pemikiran-pemikiran Is-lami
untuk supaya keberlangsungan pemberlakuan Islam dalam realitas kehidupan
manusia dapat sela-lu terjamin dan terpelihara. Melainkan seluruhnya terlahir
dari “kandungan” ideologi kapitalisme beser-ta semua bentuk pemikiran turunan
maupun cabangnya dan tentu saja ditujukan untuk pengokohan ser-ta semakin
memantapkan penerapan ideologi tersebut dalam kehidupan manusia, khususnya kaum
muslim di Dunia Islam.
Penetapan halal dan haram
: berpikir tentang tasyri’
Halal (اَلْحَلاَلُ) adalah hukum Allah (حُكْمُ اللهِ) yang mencakup hukum wajib (اَلْوَاجِبُ
اَوِ الْفَرْضُ), sun-nah (اَلسُّنَّةُ
اَوِ النَّدْبُ), makruh (اَلْمَكْرُوْهُ
اَوِ الْكَرَاهَةُ) dan
mubah (اَلْمُبَاحُ
اَوِ الإِبَاحَةُ),
sedangkan haram adalah hu-kum haram itu sendiri (اَلْحَرَامُ نَفْسُهُ). Lima hukum syara’ ini (اَلأَحْكَامُ
الشَّرْعِيَّةُ الْخَمْسَةُ)
berlaku bagi benda-benda (اَلأَشْيَاءُ) maupun perbuatan manusia (اَفْعَالُ الْعِبَادِ). Perbedaannya adalah :
a. hukum
syara’ yang diberlakukan bagi benda-benda hanya mengenal halal (mubah) dan
haram saja serta tidak mengenal sunnah/nadb maupun makruh. Oleh karena itulah اَهْلُ
الْعِلْمِ (اَلْفُقَهَاءُ
وَالْمُجْتَهِدُوْنَ)
merumuskan status hukum benda-benda dalam kaidah :
اَلأَصْلُ فِيْ
الأَشْيَاءِ اَلإِبَاحَةُ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Tentu saja hakikat Islami ini (اَلْحَقِيْقُ
الإِسْلاَمِيُّ) dirumuskan
berdasarkan dalil-dalil syara yang ada da-lam sumber Islam )Al-Quran(, yakni :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ
لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا (البقرة : 29)
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ
مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ (لقمان : 20)
b. hukum
syara’ yang diberlakukan kepada perbuatan manusia adalah اَلأَحْكَامُ
الشَّرْعِيَّةُ الْخَمْسَةُ
yakni : wa-jib/fardu, sunnah/nadb/nafilah, makruh/karahah, mubah/ibahah dan
haram. Artinya perbuatan ma-nusia itu ada yang wajib/fardu, ada yang
sunnah/nadb/nafilah, ada yang makruh/karahah, ada yang mubah/ibahah dan ada
yang haram. Oleh karena itulah اَهْلُ الْعِلْمِ
merumuskan status hukum perbuat-an manusia dalam kaidah :
اَلأَصْلُ فِيْ
الأَفْعَالِ اَيْ اَفْعَالِ الْعِبَادِ اَلتَّقَيُّدُ بِالأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ الْخَمْسَةِ
Kaidah
tersebut mereka rumuskan berdasarkan seluruh dalil yang ada dalam Al-Quran
maupun As-Sunnah antara lain :
وَمَا ءَاتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
(الحشر : 7)
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ
بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ قَالَا كَانَ أَبُو
هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ
بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ (رواه مسلم)
Dari Ibni Syihab menyatakan telah mengabarkan kepada kami
Abu Salamah bin Abdirrahman dan Sa’iid bin Al-Musayyab keduanya berkata bahwa
Abu Hurairah bercerita bahwa dia telah mende-ngar Rasulallah saw berkata :
‘segala perkara yang telah aku larang kalian darinya maka jauhilah itu dan
segala perkara yang telah aku perintahkan kepada kalian maka lakukanlah itu
sekuat ke-mampuan kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian
karena mereka terlalu banyak mempersoalkan (ketetapan perintah maupun larangan)
dan karena sikap mereka yang me-nyalahi para Nabinya’.
Upaya memahami hukum Allah dari naskah-naskah syara’
(اَلنُّصُوْصُ
الشَّرْعِيَّةُ) adalah
menuntut ada-nya berpikir terhadap naskah-naskah tersebut yakni berpikir
tentang penetapan hukum syara’ dari nas-kah-naskah itu sendiri (اَلتَّفْكِيْرُ
بِالتَّشْرِيْعِ). Berpikir
tentang penetapan hukum syara’ selain membutuhkan pengetahuan (اَلْمَعْرِفَةُ) tentang Bahasa Arab dan
pemikiran-pemikiran Islam (اَلأَفْكَارُ الإِسْلاَمِيَّةُ), juga mem-butuhkan pengetahuan dan
pemahaman tentang fakta, lalu pengetahuan tentang hukum syara’ beserta
penerapan hukum syara’ tersebut terhadap fakta. Jika hukum syara’ tersebut
dapat diterapkan terhadap fakta yang dimaksud maka hukum syara’ itu adalah
hukum bagi fakta tersebut, sebaliknya bila hukum syara’ itu tidak dapat
diterapkan terhadap fakta yang dimaksud maka hukum syara’ itu adalah bukan
hukum bagi fakta tersebut. Oleh karena itu, berpikir tentang penetapan hukum
syara’ tidak dapat dila-kukan oleh setiap orang karena membutuhkan : (a)
berbagai hal yang berhubungan dengan lafadz-lafadz (اَلأَلْفَاظُ) maupun susunannya (اَلتَّرَاكِيْبُ), (b) berbagai hal yang berhubungan dengan
konsep-kon-sep penetapan hukum syara’ (اَلأَفْكَارُ
التَّشْرِيْعِيَّةُ) yakni
tentang informasi yang menunjukkan penetapan hu-kum syara’ (اَلْمَعْلُوْمَاتُ
التَّشْرِيْعِيَّةُ) dan
(c) pemahaman terhadap fakta yakni realitas hukum yang akan diam-bil (يُؤْخَذُ) atau yang akan digali (يُسْتَنْبَطُ).
Dengan demikian berpikir tentang naskah-naskah yang
digunakan dalam penetapan hukum syara’ (اَلنُّصُوْصُ
التَّشْرِيْعِيَّةُ) tidak
cukup hanya :
a.
berbekal pemahaman tentang lafadz-lafadz dan
susunannya, seperti yang biasa terjadi pada berpikir tentang naskah-naskah
sastra (اَلنُّصُوْصُ
الأَدَبِيَّةُ).
b.
berbekal pemahaman tentang makna-makna dan pemikiran,
seperti yang biasa terjadi pada berpikir tentang naskah-naskah pemikiran.
c. berbekal
pemahaman tentang peristiwa (اَلْحَوَادِثُ), fakta-fakta (اَلْوَقَائِعُ) maupun situasi kondisi terten-tu (اَلظُّرُوْفُ), seperti yang biasa terjadi pada berpikir
tentang naskah-naskah politik.
melainkan membutuhkan secara
bersamaan pemahaman tentang lafadz-lafadz dan susunannya, tentang makna-makna
dan pemikiran serta tentang peristiwa, fakta-fakta maupun situasi kondisi tertentu yang
dimaksudkan untuk ditetapkan hukumnya. Dengan kata lain membutuhkan semua hal
yang biasa dibu-tuhkan oleh seluruh naskah (sastra, pemikiran dan politik).
Oleh karena itu, berpikir tentang penetapan hukum syara’ sangat lebih sulit
daripada berpikir tentang naskah-naskah lainnya serta membutuhkan adanya
kedalaman dan kejernihan dalam waktu bersamaan. Artinya tidak cukup hanya aspek
kedalam-an (عُمُقٌ)
melainkan harus adanya kejernihan (اِسْتِنَارَةٌ) dan sebenarnya bila aspek kejernihan
telah terpe-nuhi maka itu adalah cukup sebab kejernihan dalam berpikir pasti
hanya akan muncul dari kedalaman berpikir.
Berpikir tentang naskah-naskah yang digunakan dalam
penetapan hukum syara’ berbeda-beda tergantung kepada tujuan dari berpikir itu
sendiri, karena tujuannya bisa untuk mengambil hukum sya-ra’ (اَخْذُ
الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ)
atau untuk menggali hukum syara’ (اِسْتِنْبَاطُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ) dan tentu saja ada perbe-daan di antara
keduanya. Berpikir untuk mengetahui hukum syara’ walau memang membutuhkan
pe-ngetahuan tentang lafadz-lafadz dan susunannya, namun sama sekali tidak
membutuhkan pengetahuan tentang nahwu maupun sharaf dan tidak pula butuh
pengetahuan tentang redaksional bahasa (مَتْنُ اللُّغَةِ) atau ilmu-ilmu balaghah (عُلُوْمُ
الْبَلاَغَةِ), melainkan
cukup mengetahui cara membaca dengan Bahasa Arab walaupun tidak mengetahui cara
menulisnya. Tegasnya, kemampuan membaca naskah berbahasa Arab dan memahami
segala hal yang tengah dibaca adalah cukup untuk mengetahui hukum syara’
langsung dari naskah-naskah syara’. Artinya, walaupun tetap dibutuhkan
pengetahuan tentang pemikiran-pemiki-ran Islam atau informasi tentang hukum
syara’ namun cukup pengetahuan tentang informasi awal saja yang lazim harus ada
untuk pengetahuan. Pengetahuan tentang ilmu ushul fiqih maupun pengetahuan
tentang ayat dan hadits sama sekali tidak dibutuhkan, melainkan cukup memahami
hukum syara’ dari orang lain melalui membacanya saja. Begitu juga tidak
dituntut adanya pengetahuan tentang hakikat fakta, tetapi cukup mengetahui
bahwa hukum ini adalah untuk fakta ini. Sebagai
contoh, saat sese-orang membaca untuk mengetahui apa hukum untuk daging al-‘alb
(لَحْمُ
الْعَلْبِ) maka dia cukup
menge-tahui bahwa hukum daging bangkai adalah haram dan mengetahui bahwa daging
al-‘alb tersebut ada-lah daging bangkai sebab tidak disembelih dengan
penyembelihan yang ditetapkan oleh syara’. Contoh lainnya adalah saat seseorang
membaca untuk mengetahui hukum kolonye maka cukuplah baginya me-ngetahui bahwa
setiap yang memabukkan (اَلْمُسْكِرُ) adalah haram dan kolonye itu adalah memabukkan dan demikian
seterusnya. Jadi, berpikir untuk mengetahui hukum syara’ dari naskah-naskah
syara’ da-pat dilakukan cukup dengan berbekal informasi yang memadai untuk
menafsirkan (memahami) fakta hukum yang akan dibahas.
Adapun berpikir untuk menggali hukum syara’, maka
tentu saja tidak cukup hanya berbekal ke-mampuan membaca naskah berbahasa Arab
saja lalu langsung dapat melakukan penggalian, melainkan membutuhkan
pengetahuan tentang tiga hal yakni : (a) lafadz-lafadz dan susunannya, (b)
pemikiran-pemikiran Islam dan (c) fakta yang diperuntukkan bagi pemikiran atau
bagi hukum tersebut. Itu pun bukan sekedar pengetahuan tetapi harus berupa
pengetahuan yang dapat mendukung upaya penggalian, sehingga haruslah menguasai
Bahasa Arab yakni nahwu, sharaf, balaghah dan lainnya, menguasai taf-sir,
hadits dan ushul fiqih serta harus benar-benar memahami fakta yang akan digali
hukum bagi fakta tersebut. Namun demikian bukan berarti adanya keharusan untuk
menguasai hal-hal tersebut adalah ha-rus seorang mujtahid, melainkan cukuplah
menguasainya dengan baik. Artinya, seseorang dapat saja bertanya kepada orang
lain tentang makna suatu kata atau dia mencarinya dalam kamus. Dia dapat
bertanya kepada seorang mujtahid berkenaan dengan nahwu dan sharaf atau dia
mencoba mengkajinya sendiri dalam kitab nahwu maupun sharaf untuk mengetahui
i’rab suatu kalimat atau tashrif suatu kata. Dia pun dapat bertanya kepada
ulama hadits atau membacanya dari kitab-kitab hadits untuk mengeta-hui
hadits-hadits tersebut. Lalu berkenaan dengan fakta, dia dapat bertanya kepada
seseorang yang me-mang memahami fakta tersebut walaupun orang tersebut adalah
non muslim, atau dia membacanya sendiri dalam buku-buku yang memang membahas
fakta itu.
Sekali lagi, arti dari harus menguasai adalah bukan
harus mujtahid atau seseorang yang pengeta-huannya harus seluas lautan (مُتَبَحِّرًا), melainkan cukuplah dia sebagai orang
yang menguasai hal-hal ter-sebut yang memungkinkannya untuk melakukan
penggalian hukum. Dengan demikian proses penggali-an itu walaupun membutuhkan
informasi yang jauh lebih banyak daripada informasi yang dibutuhkan dalam upaya
untuk mengetahui hukum syara’, namun bukan berarti seseorang itu harus mujtahid
dalam masing-masing dari tiga hal yang dibutuhkan dalam proses penggalian,
melainkan cukuplah dia me-nguasai informasi yang cukup tentang ketiga hal
tersebut sedemikian rupa sehingga memungkinkannya untuk melakukan penggalian.
Lalu ketika dia telah mampu melakukan penggalian maka dia adalah se-orang
mujtahid, sehingga penggalian atau ijtihad itu adalah sangat mungkin dan tidak
sulit untuk dila-kukan oleh seluruh manusia. Hal itu terutama setelah semakin
mudahnya semua orang untuk mengak-ses kitab-kitab tentang Bahasa Arab, syariah
Islamiyah maupun fakta-fakta kehidupan dan seluruhnya semakin membantu dalam
melakukan penggalian hukum syara’. Oleh karena itu, baik upaya untuk me-ngetahui
hukum syara’ maupun untuk menggalinya adalah perkara yang mudah bagi setiap
orang, wa-laupun memang proses penggalian hukum syara’ membutuhkan pengetahuan
atau informasi yang jauh lebih banyak dan lebih luas daripada untuk mengetahui
hukum syara’ semata.
Jadi, berpikir tentang penetapan hukum syara’ itu
walaupun merupakan jenis berpikir yang sangat sulit tapi tetap harus dilakukan
oleh umat Islam, baik itu hanya untuk mengetahui hukum syara’ mau-pun untuk
menggali hukum syara’ itu sendiri. Hanya saja harus diingat bahwa berpikir
untuk menggali hukum syara’ tidak boleh dilakukan serampangan dan ala kadarnya,
melainkan wajib dilakukan dengan disertai pemahaman (اَلْعِنَايَةُ) dan kesungguhan (اَلإِهْتِمَامُ). Selain itu siapa pun tidak boleh berani
melaku-kan proses penggalian atau ijtihad kecuali dia telah memenuhi semua hal
yang dibutuhkan dalam peng-galian tersebut. Dia juga harus selalu menjaga
keberadaan informasi yang cukup sehubungan dengan tiga hal yang dituntut ada
dalam berijtihad, yakni tentang Bahasa Arab, tentang perkara-perkara yang
berkaitan dengan syariah berikut pengetahuan tentang hakikat faktanya dan
penerapan hukum syara’ terhadap fakta tersebut. Walaupun aspek tentang
penerapan (اَلإِنْطِبَاقُ) bukanlah bagian dari pengetahuan yang dituntut ada untuk
penggalian, namun merupakan indikator untuk kesahihan pengetahuan tentang tiga
hal yang harus ada dalam penggalian itu sendiri.
Lalu jika seluruh
kualifikasi dan syarat-syarat yang wajib dipenuhi untuk aktivitas penggalian
hu-kum syara’ alias ijtihad tersebut dipetakan kepada realitas umat Islam yang
ada di MUI, maka hasilnya adalah sebuah kepastian bahwa mereka
itu sama sekali tidak layak tidak pantas (لَيْسُوْا
مُؤَهِّلِيْنَ) melaku-kan
penggalian (ijtihad) terhadap sumber-sumber hukum (Al-Quran dan As-Sunnah)
untuk mengetahui hukum syara’ atas suatu fakta atau masalah atau persoalan dan
seterusnya. Bahkan sekedar berfatwa pun mereka tidak layak sebab yang mendasari
pemikiran mereka dan lalu memimpinya adalah bukan Ideologi Islam melainkan
dipastikan ideologi kapitalisme sekularistik yang menjadikan kepentingan
se-bagai segalanya, layaknya posisi agama atau malah sebagai Tuhan itu sendiri.
Akibatnya adalah jika mereka memaksakan diri untuk berfatwa maka dapat
dipastikan itu bukan fatwa yang dihalalkan oleh Islam melainkan fatwa yang
diharamkan. Rasulullah saw menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَنْتَزِعُ الْعِلْمَ مِنْ النَّاسِ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعُلَمَاءَ
فَيَرْفَعُ الْعِلْمَ مَعَهُمْ وَيُبْقِي فِي النَّاسِ رُءُوسًا جُهَّالًا
يُفْتُونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَيَضِلُّونَ وَيُضِلُّونَ (رواه مسلم)
Sungguh Allah tidak akan
mencabut ilmu dari manusia begitu saja melainkan Allah akan mengambil ulama
lalu Dia akan mengangkat ilmu beserta mereka dan yang tertinggal di tengah
manusia adalah manusia-manusia bodoh yang akan selalu berfatwa tanpa disertai
ilmu. Maka mereka sesat dan me-nyesatkan.
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ
مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ
يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه
البخاري)
Sungguh Allah tidak akan
mencabut ilmu begitu saja setelah Dia berikan kepada kalian melainkan Dia akan
mencabutnya dari mereka dengan mengambil ulama beserta ilmunya, lalu yang
tersisa tinggalah manusia-manusia bodoh yang saat dimintai fatwa maka mereka
berfatwa berdasarkan kepentingan mereka. Maka mereka menyesatkan dan diri
mereka pun sesat.
Bagian hadits يُفْتُونَهُمْ
بِغَيْرِ عِلْمٍ atau فَيُفْتُونَ
بِرَأْيِهِمْ memastikan
realitas yang sama yakni berfatwa tentang Is-lam namun sama sekali bukan
berdasarkan pemahaman yang sahih terhadap semua ketentuan Islam yang terkandung
dalam dalil-dalil syar’iy (Al-Quran dan As-Sunnah), melainkan justru dilandasi
oleh kepentingan (internal maupun eksternal) yang memang diharuskan oleh
kekufuran (kapitalisme sekula-ristik) menjadi standard untuk segala sesuatu : بِغَيْرِ
عِلْمٍ atau بِرَأْيِهِمْ. Inilah realitas fatwa yang diharamkan
oleh Islam karena sama sekali bukan berdasarkan pemahaman yang sahih terhadap
dalil-dalil syar’iy maupun terhadap fakta/realitas yang akan ditetapkan
hukumnya. Mengapa demikian?
Aktivitas ijtihad selalu
dilakukan oleh sejak para shahabat hingga murid-murid para tabi’ut tabi-’in
(yakni murid اَئِمَّةُ الْمَذَاهِبِ) yang berada dan bernaung dalam madzhabnya masing-masing dan
itu ber-langsung terus sepanjang Khilafah Islamiyah ada dalam arena kehidupan
dunia hingga akhirnya dirun-tuhkan oleh Inggris pada 3 Maret 1924 M. Oleh
karena itu, ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid pada masa tersebut (lebih
dari 1300 tahun) adalah ijtihad yang diwajibkan oleh Islam untuk dilakukan dan
dijamin benar oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ
فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ (رواه النسائي)
Hal itu
karena saat para mujtahid melakukan ijtihad selain mereka menggunakan metode
penggalian yang benar (طَرِيْقَةُ الإِسْتِنْبَاطِ الصَّحِيْحَةُ) juga hanya Islam beserta seluruh
pemikirannya sajalah yang menjadi asas berpikir mereka. Apabila ada seorang
mujtahid yang dalam ijtihadnya terdistorsi oleh pemikiran lain di luar Islam
misalnya pemikiran mutakallimin atau bahkan filsafat, maka dia akan
tersingkirkan dengan sendirinya dari lapangan ijtihad bahkan dari pandangan
apresiatif umat Islam. Inilah yang terja-di atas Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Washil
bin ‘Atha, Jahmu bin Shafwan dan lainnya. Sekali lagi realitas itu dapat
berlangsung demikian hanya karena Islam yang menjadi satu-satunya main
stream (رَأْسُ الْأَمْرِ) dalam kehidupan manusia saat itu, sesuai dengan pernyataan
Rasulullah saw :
أَمَّا رَأْسُ
الْأَمْرِ فَالْإِسْلَامُ فَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ وَأَمَّا عَمُودُهُ فَالصَّلَاةُ
وَأَمَّا ذُرْوَةُ سَنَامِهِ فَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (رواه احمد)
“adapun
pokok segala urusan adalah Islam, maka siapa saja yang memasuki Islam pastilah
dia sela-mat. Adapun tiangnya adalah shalat dan perkara yang paling tinggi
kedudukannya adalah jihad fi sa-bilillah”.
Artinya
penyimpangan apa pun dan sekecil apa pun dalam kehidupan umat Islam saat itu
dapat dengan mudah diketahui dan selanjutnya disikapi, karena standard
benar-salah maupun halal-haram sangat je-las dan pasti : hitam-putih. Lebih
dari itu, setiap muslim sangat memahami dan menyadari hubungan konstelatif
dirinya dengan standard main stream tersebut sehingga seluruhnya menyatu
dalam ikatan kesepakatan ideologis berbasis عَنْ عَقْلٍ
وَاِدْرَاكٍ. Inilah
mengapa Rasulullah saw menyatakan :
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا
يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ
وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ (رواه البخاري)
“sebaik-baiknya umatku adalah pada masaku, kemudian
orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian orang-orang yang datang
setelah mereka, kemudian sungguh setelah kalian akan ada suatu kaum yang berani
bersyahadah tapi tidak mau membuktikannya, mereka selalu berkhianat dan tidak
pernah dapat dipercayai, mereka bernadzar tapi tidak pernah memenuhinya dan di
tengah-tengah me-reka bermunculan kekacauan”.
إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَكُونُ
بَعْدَهُمْ قَوْمٌ يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا
يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذِرُونَ وَلَا يُوفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ (رواه
مسلم)
“sungguh sebaik-baik kalian adalah pada masaku, kemudian
orang-orang yang datang setelah mere-ka, kemudian orang-orang yang datang
setelah mereka, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian
setelah kalian akan ada suatu kaum yang berani bersyahadah tapi tidak mau
mem-buktikannya, mereka selalu berkhianat dan tidak pernah dapat dipercayai,
mereka bernadzar tapi tidak pernah memenuhinya dan di tengah-tengah mereka
bermunculan kekacauan”.
Sementara itu, realitas umat Islam saat ini yang
telah berlangsung hampir 85 tahun bahkan sejak pertengahan abad ke-19 (mulai
saat Khalifah Mahmud
II, tahun 1808 – 1839 M berarti telah 170 ta-hun), adalah sama sekali
tidak memenuhi kualifikasi maupun kriteria tersebut dan itu sangat nampak dalam
sejumlah hal mendasar berikut :
1.
Islam berikut seluruh pemikirannya telah tidak lagi
menjadi asas penyelenggaraan kehidupan mere-ka di dunia, bahkan telah
digantikan sepenuhnya oleh aqidah sekularisme yang melahirkan anak kembar
berjuluk kapitalisme dan demokrasi. Artinya, main stream yang melandasi
pemikiran mau-pun sikap mereka adalah kapitalisme serta demokrasi dan tentu
saja main stream tersebut mengen-dalikan seutuhnya seluruh kepentingan
mereka.
2.
adanya kesepakatan konspiratif umat Islam dan kaum
kufar untuk menolak keras pemikiran yang menempatkan Islam sebagai ideologi dan
saat yang sama mereka mempropagandakan Islam seba-gai dapat melebur serta
menyatu utuh dengan ideologi kapitalisme dan Islam dapat “menerima” di-jadikan
sebagai sub ordinan atau sub sistem dari demokrasi.
3.
tali kekang pengendali kehidupan manusia di dunia 100
persen berada dalam genggaman kaum ku-far dengan berbagai instrumen
pelengkapnya (UNO, IMF, WB, G-20, G-8 dan lainnya) dan umat Islam berada di
posisi yang paling dikendalikan oleh mereka dalam segala dimensinya.
Oleh karena itu, ketika MUI mengeluarkan fatwa,
jawaban, penjelasan, rekomendasi, usulan, seruan, himbauan dan sebagainya,
adakah jaminan itu semua terbebas dari kepentingan konspiratif dari ideologi
kapitalisme yang menjadi main stream kehidupan umat Islam saat ini?
Faktanya, seluruh sumber daya manusia (SDM) yang
saat ini menjadi anggota, pimpinan bahkan ketua MUI mulai dari pusat hingga
kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah produk masa kini, yakni lahir,
tumbuh, dewasa hingga meraih jenjang akademik (Prof., DR., Drs., MAg., SAg.,
MHum., MM, MBA dan sebagainya) pada periode waktu setelah hilangnya kehidupan
Islami dari realitas dunia, yaitu pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Bahkan
andaikan masih ada dari mereka yang terlahir sebelum Khilafah runtuh (sebelum
1924), maka itu pun sama sekali bukan jaminan untuk apa pun sebab : (a) dia
atau mereka baru saja dilahirkan atau baru beberapa tahun saja menjalani
kehidupan di dunia sehingga : هُمْ غَيْرُ عَاقِلِيْنَ وَلَيْسَ
لَدَيْهِمْ اَيُّ تَفْكِيْرٍ
dan (b) banyak manusia yang menjadi pendahulu mereka seperti Jama-luddin
Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Ali Abdurraziq, Ahmad Amin,
Mu-hammad bin Abdilwahhab dan lainnya yang justru sangat berperan
dalam melicinkan jalan bagi kaum kufar untuk menghancurkan Islam lewat
peruntuhan Khilafah dan selanjutnya mereka memprovokasi umat
Islam sedunia untuk tidak lagi berupaya apa pun demi kembalinya Khilafah
tersebut. Ini adalah bukti empirik yang memastikan bahwa ketika
mereka mengeluarkan fatwa, jawaban, penjelasan, reko-mendasi, usulan, seruan,
himbauan dan sebagainya, tidak mungkin dapat terbebas lepas dari
kepenting-an konspiratif ideologi kapitalisme.
Realitas tersebut ternyata sangat bersesuaian dengan
hasil penginderaan terhadap seluruh produk mereka antara lain rekomendasi
Rakernas MUI tahun 2008 yang ditujukan kepada tiga pihak yakni :
1.
umat Islam yaitu berkenaan dengan
: (a) seruan kepada ormas Islam untuk berupaya agar gerakan amar ma’ruf nahyi
munkar yang mereka lakukan dapat berjalan semakin efektif dan tepat sasaran,
(b) persoalan sekularisme, pluralisme dan liberalisme, (c) keikutsertaan
masyarakat dalam pemilu untuk menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab
serta (d) pernikahan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur : mengimbau
umat Islam untuk menunda pernikahan putera puteri-nya sampai mencapai usia
dewasa dan matang baik secara jasmani maupun rohani sebagaimana diperlukan
dalam suatu rumah tangga yang sehat. Sekretaris Komisi Pengkajian MUI Drs.
H. Amirsyah Tambunan MAg. menyatakan : perkawinan di bawah umur selain
melanggar Undang-undang perlindungan anak juga melanggar UU Perkawinan No. 1
tahun 1974. UU Perkawinan Bab II pasal 7 tentang syarat-syarat perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun.
2. DPR
yaitu berkenaan dengan Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU)
yang sangat erat hubungannya dengan kepentingan masyarakat antara lain RUU
Pornografi yang harus segera disahkan dan diundang-undangkan. RUU lainnya yang
harus segera diproses adalah RUU tentang Jaminan Produk Halal dan harus
diselesaikan sebelum pemilu 2009 sesuai dengan aspirasi umat Islam. MUI juga
mengharapkan DPR untuk melakukan penyempurnaan terhadap UU Tentang Pengelolaan
Zakat dan Wakaf serta meninjau dan menyesuaikan UU No. 17 tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara dan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
3. pemerintah
berkenaan dengan masalah SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Peringatan
kepa-da Ahmadiyah yakni bila SKB
tersebut dilanggar, maka MUI mendesak pemerintah untuk segera
menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pelarangan dan pembubaran
organisasi Ah-madiyah serta Peraturan Daerah (Perda) tentang pelarangan
Ahmadiyah, seperti di Sumatera Sela-tan. Hal lain yang ditujukan kepada
pemerintah adalah : (a) terkait dengan KKN : mendukung KPK dalam
melaksanakan tugasnya untuk tidak melakukan tebang pilih, (b) mendesak
pemerintah untuk memberikan pembekalan agama dan akhlaqul karimah kepada
aparatur negara mulai dari rekrut-men sampai dengan pembinaan dan pelaksanaan
tugas dan (c) mengenai masalah kondisi ekonomi global yang disebabkan oleh
krisis finansial di Amerika Serikat (AS), mendesak pemerintah untuk menggali
potensi perekonomian syariah yang telah terbukti sehat dan kompetitif sehingga
dapat menjadi ekonomi alternatif yang menjadi salah satu pilar penyangga
perekonomian nasional.
Wal hasil, penetapan
halal dan haram (اَلتَّشْرِيْعُ) yang dilakukan oleh mereka adalah sebentuk pene-tapan yang
berlangsung بِغَيْرِ عِلْمٍ atau بِرَأْيِهِمْ dan sama sekali bukan :
نَتِيْجَةً عَنْ
فَهْمٍ صَحِيْحٍ عَنِ النُّصُوْصِ التَّشْرِيْعِيَّةِ وَعَنِ الْوَاقِعِ الَّذِيْ
يُرَادُ الْحُكْمُ عَلَيْهِ
hasil
dari pemahaman yang sahih terhadap naskah-naskah tasyri’ maupun terhadap fakta
yang dimak-sudkan untuk ditetapkan hukumnya.
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ
أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
(الفرقان : 43-44)
No comments:
Post a Comment