Monday, August 27, 2012

HALAL DAN HARAM DALAM NAUNGAN KAPITALISME


MUI, fatwa halal-haram dan kapitalisme
Majelis Ulama Indonesia (MUI) lahir lalu tumbuh dan berkembang hingga kini adalah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang faktanya adalah sebuah negara yang menerapkan sistem perekonomian kapitalisme berbasis sekularisme. Realitas NKRI tersebut tidak mungkin disang-kal, karena dapat dibuktikan dengan mudah oleh perjalanan empiris NKRI sendiri paling tidak sejak ta-hun 1945 sampai sekarang tahun 2009 (64 tahun). Kemudian pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang telah dilaksanakan pada tanggal 26 – 28 Oktober 2008 lalu, MUI menegaskan jatidirinya sebagai pendukung utama pemberlakuan demokrasi maupun kapitalisme di NKRI. Hal ini berarti apa pun yang keluar dari MUI berupa fatwa, jawaban, penjelasan, rekomendasi, usulan, seruan, himbauan dan seba-gainya, seluruhnya tidak mungkin lepas dari realitas كِيَانٌ سِيَاسِيٌ تَنْفِيْذِيٌّ (wadah politik pelaksanaan) yang selama ini didukung penuh oleh mereka yakni NKRI yang tiada lain adalah negara kebangsaan kapita-listik sekularistik.
Oleh karena itu, produk MUI paling “anyar” yakni fatwa haram tentang rokok maupun golput (golongan putih) adalah sama saja dengan fatwa sebelumnya seperti : dukungan kepada pemerintah NKRI, DPR, KPK, pembenahan sistem kapitalisme (rekomendasi Rakernas MUI 2008) maupun per-nyataan salah satu petingginya (KH. Amidhan, 9 Oktober 2008) yang  mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan RUU Pornografi untuk membangun moral bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Produk fatwa apa pun dari MUI adalah mustahil dapat melepaskan diri dari bayang-bayang naungan kapitalisme sekularistik yang diberlakukan utuh dalam NKRI, sehingga sadar atau tidak, di-akui atau disangkal, seluruh kiprah MUI adalah diperuntukan bagi lestarinya kekufuran mencengke-ramkan hegemoninya atas kehidupan manusia di dunia termasuk Indonesia.
Realitas tersebut sangat nampak jelas pada kasus pro dan kotra terhadap fatwa MUI tentang ha-ramnya rokok maupun golput. Artinya, baik pihak yang pro MUI maupun yang kontra adalah sama saja yakni sama-sama melandaskan sikap masing-masing kepada seluruh ketentuan Ideologi Kapitalisme yang salah satu konsep utamanya adalah pertimbangan manfaat sebagai patokan untuk memutuskan sesuatu gagasan, kesimpulan, sikap maupun tindakan. Rinciannya adalah :
1.       ketika Gus Dur yang untuk pertama kalinya meneriakkan sikap golput kepada penginderaan publik Indonesia, maka mustahil disangkal (walau masih juga ada yang menyangkal) sikap dia itu adalah akibat seluruh kepentingannya terutama untuk maju lagi sebagai kandidat calon presiden (capres) tidak terakomodasikan dalam undang-undang pemilihan presiden (UU Pilpres) terbaru. Terlebih, dia pun telah putus asa akibat “putera mahkota” kesayangannya Muhaimin Iskandar benar-benar telah memberontak dan mengkhianati “kedudukan sakralnya” di PKB : Ketua Dewan Syura PKB. Sehingga ketika Gus Dur mendengar petir fatwa MUI yang mengharamkan golput, maka sudah dapat dipastikan dia akan bereaksi tidak setuju alias kontra fatwa. Jadi, terjadilah pertarungan sengit dua kepentingan yakni yang diusung oleh MUI dan yang diperjuangkan oleh Gus Dur dan keduanya bermuara di tempat yang sama yakni sama-sama memantapkan dirinya masing-masing dalam kekufuran : demokrasi.
2.       ketika MUI memutuskan fatwa : (a) haram umat Islam bersikap golput bila ada calon pemimpin (capres) yang memenuhi semua kriteria kebaikan dan (b) bila tidak ada satu pun calon pemimpin yang dapat memenuhi semua kriteria kebaikan maka haram bagi umat Islam untuk memilihnya, maka keduanya sarat dengan muatan kepentingan baik yang berasal dari internal MUI sendiri mau-pun dari arah eksternal. Namun terlepas dari arah mana kepentingan itu berasal yang pasti ada satu hal yang mendesak untuk diamankan yakni kepentingan paling penting : melestarikan posisi dan eksistensi MUI dalam arena kehidupan demokratis sekularistik dalam NKRI. Kepentingan paling penting inilah yang juga mendasari sikap kontra pihak lain terhadap fatwa tersebut dan ini terbukti dari argumen yang disodorkan saat mereka menyatakan sikap kontranya itu yakni : memilih dalam pemilu (baik legislatif maupun pilpres) adalah hak setiap warga negara dan bukan kewajiban, jadi mau melaksanakan haknya atau pun tidak sama sekali bukan perkara yang haram.
3.       ketika MUI memutuskan rokok adalah haram bagi wanita hamil, anak-anak, anggota MUI dan bila dilakukan di tempat umum, adalah sulit untuk disimpulkan bahwa keputusan ini terbebas dari ke-pentingan sebab jauh sebelum fatwa ini ditetapkan, ternyata telah lama ada peringatan dari peme-rintah dalam setiap produk rokok maupun iklan rokok tentang bahaya rokok bagi wanita hamil, ja-nin, anak-anak, menyebabkan kanker, impotensi dan sebagainya. Begitu juga untuk kasus merokok di tempat umum, ternyata Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah lebih dahulu menetap-kan peraturan daerah (perda) larangan merokok di tempat umum. Inilah realitas yang memastikan adanya tarik menarik kepentingan antara MUI dengan pemerintah (pusat maupun daerah tertentu) pada kasus rokok. Padahal, baik peringatan pemerintah maupun perda larangan merokok di tempat umum, juga tidak pernah lepas dari kepentingan. Ketika pemerintah mengharuskan para produsen rokok memuat iklan peringatan pemerintah tentang rokok tersebut, sebenarnya adalah untuk merea-lisir dua kepentingan yakni : (a) supaya terbebas dari tuntutan undang-undang yang berhubungan dengan perlindungan konsumen (rakyat) dan (b) agar tetap dapat menarik pajak dari rokok melalui pita cukai yang setiap tahunnya ditargetkan dapat menyumbang 30 persen kepada APBN tahun ber-jalan tersebut.
Lalu, pihak yang pro terhadap fatwa MUI tentang rokok misalnya KOMNAS Perlindungan Anak, sudah tentu juga membawa kepentingan (kebetulan sama dengan MUI) yakni supaya eksistensinya yang terlanjur diposisikan sebagai “pahlawan pembela anak-anak” dapat terus terjaga dan semakin mantap di tengah-tengah persaingan yang sangat ketat di arena tersebut. Bagaimana halnya dengan yang kontra fatwa MUI? Adalah Ketua MUI Jawa Timur KH. Abdusshomad Bukhari yang menilai fatwa haram rokok itu justru lebih besar mudaratnya daripada manfaatnya antara lain akan menye-babkan membengkaknya jumlah angka pengangguran seiring dengan diberhentikannya ribuan bu-ruh industri rokok seperti yang ada di Jawa Timur. MUI Jawa Tengah juga menunjukkan sikap kontranya terhadap fatwa tersebut dengan alasan fatwa itu akan mematikan para petani tembakau yang sangat banyak dijumpai di Jawa Tengah terutama daerah Temanggung.
Demikianlah sangat jelas terindera betapa kuatnya aroma kepentingan baik individual, industri, ma-upun kelembagaan dalam realitas sikap pro dan kontra terhadap fatwa haramnya rokok. Seluruhnya terjadi disebabkan oleh satu hal saja yakni semua pihak telah sepakat dan setuju untuk selalu meng-elaborasikan prinsip ekonomi kapitalistik yakni manfaat (usefulness) termasuk prinsip lainnya yaitu the least the cost the highest the profit (biaya serendah mungkin, keuntungan setinggi mungkin).
Dengan demikian, hubungan faktual antara MUI, penetapan halal-haram dan kapitalisme adalah ideologi kapitalisme telah menjadi asas dan kaidah berpikir sebagian sangat besar umat Islam termasuk yang ada di MUI, sehingga ideologi tersebut sepenuhnya menentukan pemikiran, ucapan maupun sikap mereka. Pada kasus MUI, apa pun yang mereka hasilkan berupa fatwa, jawaban, penjelasan, rekomen-dasi, usulan, seruan, himbauan dan sebagainya, seluruhnya sama sekali bukan digali dari Islam (walau seolah menggunakan dalil dari sumber Islam) dan juga bukan demi terlahirnya pemikiran-pemikiran Is-lami untuk supaya keberlangsungan pemberlakuan Islam dalam realitas kehidupan manusia dapat sela-lu terjamin dan terpelihara. Melainkan seluruhnya terlahir dari “kandungan” ideologi kapitalisme beser-ta semua bentuk pemikiran turunan maupun cabangnya dan tentu saja ditujukan untuk pengokohan ser-ta semakin memantapkan penerapan ideologi tersebut dalam kehidupan manusia, khususnya kaum muslim di Dunia Islam.


Penetapan halal dan haram : berpikir tentang tasyri’
Halal (اَلْحَلاَلُ) adalah hukum Allah (حُكْمُ اللهِ) yang mencakup hukum wajib (اَلْوَاجِبُ اَوِ الْفَرْضُ), sun-nah (اَلسُّنَّةُ اَوِ النَّدْبُ), makruh (اَلْمَكْرُوْهُ اَوِ الْكَرَاهَةُ) dan mubah (اَلْمُبَاحُ اَوِ الإِبَاحَةُ), sedangkan haram adalah hu-kum haram itu sendiri (اَلْحَرَامُ نَفْسُهُ). Lima hukum syara’ ini (اَلأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةُ الْخَمْسَةُ) berlaku bagi benda-benda (اَلأَشْيَاءُ) maupun perbuatan manusia (اَفْعَالُ الْعِبَادِ). Perbedaannya adalah :
a.       hukum syara’ yang diberlakukan bagi benda-benda hanya mengenal halal (mubah) dan haram saja serta tidak mengenal sunnah/nadb maupun makruh. Oleh karena itulah اَهْلُ الْعِلْمِ (اَلْفُقَهَاءُ وَالْمُجْتَهِدُوْنَ) merumuskan status hukum benda-benda dalam kaidah :
اَلأَصْلُ فِيْ الأَشْيَاءِ اَلإِبَاحَةُ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Tentu saja hakikat Islami ini (اَلْحَقِيْقُ الإِسْلاَمِيُّ) dirumuskan berdasarkan dalil-dalil syara yang ada da-lam sumber Islam )Al-Quran(, yakni :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا (البقرة : 29)
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ (لقمان : 20)
b.       hukum syara’ yang diberlakukan kepada perbuatan manusia adalah اَلأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةُ الْخَمْسَةُ yakni : wa-jib/fardu, sunnah/nadb/nafilah, makruh/karahah, mubah/ibahah dan haram. Artinya perbuatan ma-nusia itu ada yang wajib/fardu, ada yang sunnah/nadb/nafilah, ada yang makruh/karahah, ada yang mubah/ibahah dan ada yang haram. Oleh karena itulah اَهْلُ الْعِلْمِ  merumuskan status hukum perbuat-an manusia dalam kaidah :
اَلأَصْلُ فِيْ الأَفْعَالِ اَيْ اَفْعَالِ الْعِبَادِ اَلتَّقَيُّدُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْخَمْسَةِ
Kaidah tersebut mereka rumuskan berdasarkan seluruh dalil yang ada dalam Al-Quran maupun As-Sunnah antara lain :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ (الحشر : 7)
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ قَالَا كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ (رواه مسلم)
Dari Ibni Syihab menyatakan telah mengabarkan kepada kami Abu Salamah bin Abdirrahman dan Sa’iid bin Al-Musayyab keduanya berkata bahwa Abu Hurairah bercerita bahwa dia telah mende-ngar Rasulallah saw berkata : ‘segala perkara yang telah aku larang kalian darinya maka jauhilah itu dan segala perkara yang telah aku perintahkan kepada kalian maka lakukanlah itu sekuat ke-mampuan kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian karena mereka terlalu banyak mempersoalkan (ketetapan perintah maupun larangan) dan karena sikap mereka yang me-nyalahi para Nabinya’.
Upaya memahami hukum Allah dari naskah-naskah syara’ (اَلنُّصُوْصُ الشَّرْعِيَّةُ) adalah menuntut ada-nya berpikir terhadap naskah-naskah tersebut yakni berpikir tentang penetapan hukum syara’ dari nas-kah-naskah itu sendiri (اَلتَّفْكِيْرُ بِالتَّشْرِيْعِ). Berpikir tentang penetapan hukum syara’ selain membutuhkan pengetahuan (اَلْمَعْرِفَةُ) tentang Bahasa Arab dan pemikiran-pemikiran Islam (اَلأَفْكَارُ الإِسْلاَمِيَّةُ), juga mem-butuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang fakta, lalu pengetahuan tentang hukum syara’ beserta penerapan hukum syara’ tersebut terhadap fakta. Jika hukum syara’ tersebut dapat diterapkan terhadap fakta yang dimaksud maka hukum syara’ itu adalah hukum bagi fakta tersebut, sebaliknya bila hukum syara’ itu tidak dapat diterapkan terhadap fakta yang dimaksud maka hukum syara’ itu adalah bukan hukum bagi fakta tersebut. Oleh karena itu, berpikir tentang penetapan hukum syara’ tidak dapat dila-kukan oleh setiap orang karena membutuhkan : (a) berbagai hal yang berhubungan dengan lafadz-lafadz (اَلأَلْفَاظُ) maupun susunannya (اَلتَّرَاكِيْبُ), (b) berbagai hal yang berhubungan dengan konsep-kon-sep penetapan hukum syara’ (اَلأَفْكَارُ التَّشْرِيْعِيَّةُ) yakni tentang informasi yang menunjukkan penetapan hu-kum syara’ (اَلْمَعْلُوْمَاتُ التَّشْرِيْعِيَّةُ) dan (c) pemahaman terhadap fakta yakni realitas hukum yang akan diam-bil (يُؤْخَذُ) atau yang akan digali (يُسْتَنْبَطُ).
Dengan demikian berpikir tentang naskah-naskah yang digunakan dalam penetapan hukum syara’ (اَلنُّصُوْصُ التَّشْرِيْعِيَّةُ) tidak cukup hanya :
a.       berbekal pemahaman tentang lafadz-lafadz dan susunannya, seperti yang biasa terjadi pada berpikir tentang naskah-naskah sastra (اَلنُّصُوْصُ الأَدَبِيَّةُ).
b.       berbekal pemahaman tentang makna-makna dan pemikiran, seperti yang biasa terjadi pada berpikir tentang naskah-naskah pemikiran.
c.       berbekal pemahaman tentang peristiwa (اَلْحَوَادِثُ), fakta-fakta (اَلْوَقَائِعُ) maupun situasi kondisi terten-tu (اَلظُّرُوْفُ), seperti yang biasa terjadi pada berpikir tentang naskah-naskah politik.
melainkan membutuhkan secara bersamaan pemahaman tentang lafadz-lafadz dan susunannya, tentang makna-makna dan pemikiran serta tentang peristiwa, fakta-fakta  maupun situasi kondisi tertentu yang dimaksudkan untuk ditetapkan hukumnya. Dengan kata lain membutuhkan semua hal yang biasa dibu-tuhkan oleh seluruh naskah (sastra, pemikiran dan politik). Oleh karena itu, berpikir tentang penetapan hukum syara’ sangat lebih sulit daripada berpikir tentang naskah-naskah lainnya serta membutuhkan adanya kedalaman dan kejernihan dalam waktu bersamaan. Artinya tidak cukup hanya aspek kedalam-an (عُمُقٌ) melainkan harus adanya kejernihan (اِسْتِنَارَةٌ) dan sebenarnya bila aspek kejernihan telah terpe-nuhi maka itu adalah cukup sebab kejernihan dalam berpikir pasti hanya akan muncul dari kedalaman berpikir.
Berpikir tentang naskah-naskah yang digunakan dalam penetapan hukum syara’ berbeda-beda tergantung kepada tujuan dari berpikir itu sendiri, karena tujuannya bisa untuk mengambil hukum sya-ra’ (اَخْذُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ) atau untuk menggali hukum syara’ (اِسْتِنْبَاطُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ) dan tentu saja ada perbe-daan di antara keduanya. Berpikir untuk mengetahui hukum syara’ walau memang membutuhkan pe-ngetahuan tentang lafadz-lafadz dan susunannya, namun sama sekali tidak membutuhkan pengetahuan tentang nahwu maupun sharaf dan tidak pula butuh pengetahuan tentang redaksional bahasa (مَتْنُ اللُّغَةِ) atau ilmu-ilmu balaghah (عُلُوْمُ الْبَلاَغَةِ), melainkan cukup mengetahui cara membaca dengan Bahasa Arab walaupun tidak mengetahui cara menulisnya. Tegasnya, kemampuan membaca naskah berbahasa Arab dan memahami segala hal yang tengah dibaca adalah cukup untuk mengetahui hukum syara’ langsung dari naskah-naskah syara’. Artinya, walaupun tetap dibutuhkan pengetahuan tentang pemikiran-pemiki-ran Islam atau informasi tentang hukum syara’ namun cukup pengetahuan tentang informasi awal saja yang lazim harus ada untuk pengetahuan. Pengetahuan tentang ilmu ushul fiqih maupun pengetahuan tentang ayat dan hadits sama sekali tidak dibutuhkan, melainkan cukup memahami hukum syara’ dari orang lain melalui membacanya saja. Begitu juga tidak dituntut adanya pengetahuan tentang hakikat fakta, tetapi cukup mengetahui bahwa hukum ini adalah untuk fakta ini. Sebagai contoh, saat sese-orang membaca untuk mengetahui apa hukum untuk daging al-‘alb (لَحْمُ الْعَلْبِ) maka dia cukup menge-tahui bahwa hukum daging bangkai adalah haram dan mengetahui bahwa daging al-‘alb tersebut ada-lah daging bangkai sebab tidak disembelih dengan penyembelihan yang ditetapkan oleh syara’. Contoh lainnya adalah saat seseorang membaca untuk mengetahui hukum kolonye maka cukuplah baginya me-ngetahui bahwa setiap yang memabukkan (اَلْمُسْكِرُ) adalah haram dan kolonye itu adalah memabukkan dan demikian seterusnya. Jadi, berpikir untuk mengetahui hukum syara’ dari naskah-naskah syara’ da-pat dilakukan cukup dengan berbekal informasi yang memadai untuk menafsirkan (memahami) fakta hukum yang akan dibahas.
Adapun berpikir untuk menggali hukum syara’, maka tentu saja tidak cukup hanya berbekal ke-mampuan membaca naskah berbahasa Arab saja lalu langsung dapat melakukan penggalian, melainkan membutuhkan pengetahuan tentang tiga hal yakni : (a) lafadz-lafadz dan susunannya, (b) pemikiran-pemikiran Islam dan (c) fakta yang diperuntukkan bagi pemikiran atau bagi hukum tersebut. Itu pun bukan sekedar pengetahuan tetapi harus berupa pengetahuan yang dapat mendukung upaya penggalian, sehingga haruslah menguasai Bahasa Arab yakni nahwu, sharaf, balaghah dan lainnya, menguasai taf-sir, hadits dan ushul fiqih serta harus benar-benar memahami fakta yang akan digali hukum bagi fakta tersebut. Namun demikian bukan berarti adanya keharusan untuk menguasai hal-hal tersebut adalah ha-rus seorang mujtahid, melainkan cukuplah menguasainya dengan baik. Artinya, seseorang dapat saja bertanya kepada orang lain tentang makna suatu kata atau dia mencarinya dalam kamus. Dia dapat bertanya kepada seorang mujtahid berkenaan dengan nahwu dan sharaf atau dia mencoba mengkajinya sendiri dalam kitab nahwu maupun sharaf untuk mengetahui i’rab suatu kalimat atau tashrif suatu kata. Dia pun dapat bertanya kepada ulama hadits atau membacanya dari kitab-kitab hadits untuk mengeta-hui hadits-hadits tersebut. Lalu berkenaan dengan fakta, dia dapat bertanya kepada seseorang yang me-mang memahami fakta tersebut walaupun orang tersebut adalah non muslim, atau dia membacanya sendiri dalam buku-buku yang memang membahas fakta itu.
Sekali lagi, arti dari harus menguasai adalah bukan harus mujtahid atau seseorang yang pengeta-huannya harus seluas lautan (مُتَبَحِّرًا), melainkan cukuplah dia sebagai orang yang menguasai hal-hal ter-sebut yang memungkinkannya untuk melakukan penggalian hukum. Dengan demikian proses penggali-an itu walaupun membutuhkan informasi yang jauh lebih banyak daripada informasi yang dibutuhkan dalam upaya untuk mengetahui hukum syara’, namun bukan berarti seseorang itu harus mujtahid dalam masing-masing dari tiga hal yang dibutuhkan dalam proses penggalian, melainkan cukuplah dia me-nguasai informasi yang cukup tentang ketiga hal tersebut sedemikian rupa sehingga memungkinkannya untuk melakukan penggalian. Lalu ketika dia telah mampu melakukan penggalian maka dia adalah se-orang mujtahid, sehingga penggalian atau ijtihad itu adalah sangat mungkin dan tidak sulit untuk dila-kukan oleh seluruh manusia. Hal itu terutama setelah semakin mudahnya semua orang untuk mengak-ses kitab-kitab tentang Bahasa Arab, syariah Islamiyah maupun fakta-fakta kehidupan dan seluruhnya semakin membantu dalam melakukan penggalian hukum syara’. Oleh karena itu, baik upaya untuk me-ngetahui hukum syara’ maupun untuk menggalinya adalah perkara yang mudah bagi setiap orang, wa-laupun memang proses penggalian hukum syara’ membutuhkan pengetahuan atau informasi yang jauh lebih banyak dan lebih luas daripada untuk mengetahui hukum syara’ semata.
Jadi, berpikir tentang penetapan hukum syara’ itu walaupun merupakan jenis berpikir yang sangat sulit tapi tetap harus dilakukan oleh umat Islam, baik itu hanya untuk mengetahui hukum syara’ mau-pun untuk menggali hukum syara’ itu sendiri. Hanya saja harus diingat bahwa berpikir untuk menggali hukum syara’ tidak boleh dilakukan serampangan dan ala kadarnya, melainkan wajib dilakukan dengan disertai pemahaman (اَلْعِنَايَةُ) dan kesungguhan (اَلإِهْتِمَامُ). Selain itu siapa pun tidak boleh berani melaku-kan proses penggalian atau ijtihad kecuali dia telah memenuhi semua hal yang dibutuhkan dalam peng-galian tersebut. Dia juga harus selalu menjaga keberadaan informasi yang cukup sehubungan dengan tiga hal yang dituntut ada dalam berijtihad, yakni tentang Bahasa Arab, tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan syariah berikut pengetahuan tentang hakikat faktanya dan penerapan hukum syara’ terhadap fakta tersebut. Walaupun aspek tentang penerapan (اَلإِنْطِبَاقُ) bukanlah bagian dari pengetahuan yang dituntut ada untuk penggalian, namun merupakan indikator untuk kesahihan pengetahuan tentang tiga hal yang harus ada dalam penggalian itu sendiri.
Lalu jika seluruh kualifikasi dan syarat-syarat yang wajib dipenuhi untuk aktivitas penggalian hu-kum syara’ alias ijtihad tersebut dipetakan kepada realitas umat Islam yang ada di MUI, maka hasilnya adalah sebuah kepastian bahwa mereka itu sama sekali tidak layak tidak pantas (لَيْسُوْا مُؤَهِّلِيْنَ) melaku-kan penggalian (ijtihad) terhadap sumber-sumber hukum (Al-Quran dan As-Sunnah) untuk mengetahui hukum syara’ atas suatu fakta atau masalah atau persoalan dan seterusnya. Bahkan sekedar berfatwa pun mereka tidak layak sebab yang mendasari pemikiran mereka dan lalu memimpinya adalah bukan Ideologi Islam melainkan dipastikan ideologi kapitalisme sekularistik yang menjadikan kepentingan se-bagai segalanya, layaknya posisi agama atau malah sebagai Tuhan itu sendiri. Akibatnya adalah jika mereka memaksakan diri untuk berfatwa maka dapat dipastikan itu bukan fatwa yang dihalalkan oleh Islam melainkan fatwa yang diharamkan. Rasulullah saw menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْتَزِعُ الْعِلْمَ مِنْ النَّاسِ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعُلَمَاءَ فَيَرْفَعُ الْعِلْمَ مَعَهُمْ وَيُبْقِي فِي النَّاسِ رُءُوسًا جُهَّالًا يُفْتُونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَيَضِلُّونَ وَيُضِلُّونَ (رواه مسلم)
Sungguh Allah tidak akan mencabut ilmu dari manusia begitu saja melainkan Allah akan mengambil ulama lalu Dia akan mengangkat ilmu beserta mereka dan yang tertinggal di tengah manusia adalah manusia-manusia bodoh yang akan selalu berfatwa tanpa disertai ilmu. Maka mereka sesat dan me-nyesatkan.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)
Sungguh Allah tidak akan mencabut ilmu begitu saja setelah Dia berikan kepada kalian melainkan Dia akan mencabutnya dari mereka dengan mengambil ulama beserta ilmunya, lalu yang tersisa tinggalah manusia-manusia bodoh yang saat dimintai fatwa maka mereka berfatwa berdasarkan kepentingan mereka. Maka mereka menyesatkan dan diri mereka pun sesat.
Bagian hadits يُفْتُونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ atau فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ memastikan realitas yang sama yakni berfatwa tentang Is-lam namun sama sekali bukan berdasarkan pemahaman yang sahih terhadap semua ketentuan Islam yang terkandung dalam dalil-dalil syar’iy (Al-Quran dan As-Sunnah), melainkan justru dilandasi oleh kepentingan (internal maupun eksternal) yang memang diharuskan oleh kekufuran (kapitalisme sekula-ristik) menjadi standard untuk segala sesuatu : بِغَيْرِ عِلْمٍ atau بِرَأْيِهِمْ. Inilah realitas fatwa yang diharamkan oleh Islam karena sama sekali bukan berdasarkan pemahaman yang sahih terhadap dalil-dalil syar’iy maupun terhadap fakta/realitas yang akan ditetapkan hukumnya. Mengapa demikian?
Aktivitas ijtihad selalu dilakukan oleh sejak para shahabat hingga murid-murid para tabi’ut tabi-’in (yakni murid اَئِمَّةُ الْمَذَاهِبِ) yang berada dan bernaung dalam madzhabnya masing-masing dan itu ber-langsung terus sepanjang Khilafah Islamiyah ada dalam arena kehidupan dunia hingga akhirnya dirun-tuhkan oleh Inggris pada 3 Maret 1924 M. Oleh karena itu, ijtihad yang dilakukan oleh para mujtahid pada masa tersebut (lebih dari 1300 tahun) adalah ijtihad yang diwajibkan oleh Islam untuk dilakukan dan dijamin benar oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ (رواه النسائي)
Hal itu karena saat para mujtahid melakukan ijtihad selain mereka menggunakan metode penggalian yang benar (طَرِيْقَةُ الإِسْتِنْبَاطِ الصَّحِيْحَةُ) juga hanya Islam beserta seluruh pemikirannya sajalah yang menjadi asas berpikir mereka. Apabila ada seorang mujtahid yang dalam ijtihadnya terdistorsi oleh pemikiran lain di luar Islam misalnya pemikiran mutakallimin atau bahkan filsafat, maka dia akan tersingkirkan dengan sendirinya dari lapangan ijtihad bahkan dari pandangan apresiatif umat Islam. Inilah yang terja-di atas Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Washil bin ‘Atha, Jahmu bin Shafwan dan lainnya. Sekali lagi realitas itu dapat berlangsung demikian hanya karena Islam yang menjadi satu-satunya main stream (رَأْسُ الْأَمْرِ) dalam kehidupan manusia saat itu, sesuai dengan pernyataan Rasulullah saw :
أَمَّا رَأْسُ الْأَمْرِ فَالْإِسْلَامُ فَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ وَأَمَّا عَمُودُهُ فَالصَّلَاةُ وَأَمَّا ذُرْوَةُ سَنَامِهِ فَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (رواه احمد)
“adapun pokok segala urusan adalah Islam, maka siapa saja yang memasuki Islam pastilah dia sela-mat. Adapun tiangnya adalah shalat dan perkara yang paling tinggi kedudukannya adalah jihad fi sa-bilillah”.
Artinya penyimpangan apa pun dan sekecil apa pun dalam kehidupan umat Islam saat itu dapat dengan mudah diketahui dan selanjutnya disikapi, karena standard benar-salah maupun halal-haram sangat je-las dan pasti : hitam-putih. Lebih dari itu, setiap muslim sangat memahami dan menyadari hubungan konstelatif dirinya dengan standard main stream tersebut sehingga seluruhnya menyatu dalam ikatan kesepakatan ideologis berbasis عَنْ عَقْلٍ وَاِدْرَاكٍ. Inilah mengapa Rasulullah saw menyatakan :
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ (رواه البخاري)
“sebaik-baiknya umatku adalah pada masaku, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian sungguh setelah kalian akan ada suatu kaum yang berani bersyahadah tapi tidak mau membuktikannya, mereka selalu berkhianat dan tidak pernah dapat dipercayai, mereka bernadzar tapi tidak pernah memenuhinya dan di tengah-tengah me-reka bermunculan kekacauan”.

إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَكُونُ بَعْدَهُمْ قَوْمٌ يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذِرُونَ وَلَا يُوفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ (رواه مسلم)
“sungguh sebaik-baik kalian adalah pada masaku, kemudian orang-orang yang datang setelah mere-ka, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian setelah kalian akan ada suatu kaum yang berani bersyahadah tapi tidak mau mem-buktikannya, mereka selalu berkhianat dan tidak pernah dapat dipercayai, mereka bernadzar tapi tidak pernah memenuhinya dan di tengah-tengah mereka bermunculan kekacauan”.

Sementara itu, realitas umat Islam saat ini yang telah berlangsung hampir 85 tahun bahkan sejak pertengahan abad ke-19 (mulai saat Khalifah Mahmud II, tahun 1808 – 1839 M berarti telah 170 ta-hun), adalah sama sekali tidak memenuhi kualifikasi maupun kriteria tersebut dan itu sangat nampak dalam sejumlah hal mendasar berikut :
1.       Islam berikut seluruh pemikirannya telah tidak lagi menjadi asas penyelenggaraan kehidupan mere-ka di dunia, bahkan telah digantikan sepenuhnya oleh aqidah sekularisme yang melahirkan anak kembar berjuluk kapitalisme dan demokrasi. Artinya, main stream yang melandasi pemikiran mau-pun sikap mereka adalah kapitalisme serta demokrasi dan tentu saja main stream tersebut mengen-dalikan seutuhnya seluruh kepentingan mereka.
2.       adanya kesepakatan konspiratif umat Islam dan kaum kufar untuk menolak keras pemikiran yang menempatkan Islam sebagai ideologi dan saat yang sama mereka mempropagandakan Islam seba-gai dapat melebur serta menyatu utuh dengan ideologi kapitalisme dan Islam dapat “menerima” di-jadikan sebagai sub ordinan atau sub sistem dari demokrasi.
3.       tali kekang pengendali kehidupan manusia di dunia 100 persen berada dalam genggaman kaum ku-far dengan berbagai instrumen pelengkapnya (UNO, IMF, WB, G-20, G-8 dan lainnya) dan umat Islam berada di posisi yang paling dikendalikan oleh mereka dalam segala dimensinya.

Oleh karena itu, ketika MUI mengeluarkan fatwa, jawaban, penjelasan, rekomendasi, usulan, seruan, himbauan dan sebagainya, adakah jaminan itu semua terbebas dari kepentingan konspiratif dari ideologi kapitalisme yang menjadi main stream kehidupan umat Islam saat ini?
Faktanya, seluruh sumber daya manusia (SDM) yang saat ini menjadi anggota, pimpinan bahkan ketua MUI mulai dari pusat hingga kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah produk masa kini, yakni lahir, tumbuh, dewasa hingga meraih jenjang akademik (Prof., DR., Drs., MAg., SAg., MHum., MM, MBA dan sebagainya) pada periode waktu setelah hilangnya kehidupan Islami dari realitas dunia, yaitu pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Bahkan andaikan masih ada dari mereka yang terlahir sebelum Khilafah runtuh (sebelum 1924), maka itu pun sama sekali bukan jaminan untuk apa pun sebab : (a) dia atau mereka baru saja dilahirkan atau baru beberapa tahun saja menjalani kehidupan di dunia sehingga : هُمْ غَيْرُ عَاقِلِيْنَ وَلَيْسَ لَدَيْهِمْ اَيُّ تَفْكِيْرٍ dan (b) banyak manusia yang menjadi pendahulu mereka seperti Jama-luddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, Ali Abdurraziq, Ahmad Amin, Mu-hammad bin Abdilwahhab dan lainnya yang justru sangat berperan dalam melicinkan jalan bagi kaum kufar untuk menghancurkan Islam lewat peruntuhan Khilafah dan selanjutnya mereka memprovokasi umat Islam sedunia untuk tidak lagi berupaya apa pun demi kembalinya Khilafah tersebut. Ini adalah bukti empirik yang memastikan bahwa ketika mereka mengeluarkan fatwa, jawaban, penjelasan, reko-mendasi, usulan, seruan, himbauan dan sebagainya, tidak mungkin dapat terbebas lepas dari kepenting-an konspiratif ideologi kapitalisme.
Realitas tersebut ternyata sangat bersesuaian dengan hasil penginderaan terhadap seluruh produk mereka antara lain rekomendasi Rakernas MUI tahun 2008 yang ditujukan kepada tiga pihak yakni :
1.       umat Islam yaitu berkenaan dengan : (a) seruan kepada ormas Islam untuk berupaya agar gerakan amar ma’ruf nahyi munkar yang mereka lakukan dapat berjalan semakin efektif dan tepat sasaran, (b) persoalan sekularisme, pluralisme dan liberalisme, (c) keikutsertaan masyarakat dalam pemilu untuk menggunakan hak pilihnya secara bertanggungjawab serta (d) pernikahan yang dilakukan terhadap anak di bawah umur : mengimbau umat Islam untuk menunda pernikahan putera puteri-nya sampai mencapai usia dewasa dan matang baik secara jasmani maupun rohani sebagaimana diperlukan dalam suatu rumah tangga yang sehat. Sekretaris Komisi Pengkajian MUI Drs. H. Amirsyah Tambunan MAg. menyatakan : perkawinan di bawah umur selain melanggar Undang-undang perlindungan anak juga melanggar UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. UU Perkawinan Bab II pasal 7 tentang syarat-syarat perkawinan menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2.       DPR yaitu berkenaan dengan Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU) yang sangat erat hubungannya dengan kepentingan masyarakat antara lain RUU Pornografi yang harus segera disahkan dan diundang-undangkan. RUU lainnya yang harus segera diproses adalah RUU tentang Jaminan Produk Halal dan harus diselesaikan sebelum pemilu 2009 sesuai dengan aspirasi umat Islam. MUI juga mengharapkan DPR untuk melakukan penyempurnaan terhadap UU Tentang Pengelolaan Zakat dan Wakaf serta meninjau dan menyesuaikan UU No. 17 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3.       pemerintah berkenaan dengan masalah SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang Peringatan kepa-da Ahmadiyah yakni bila SKB  tersebut dilanggar, maka MUI mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pelarangan dan pembubaran organisasi Ah-madiyah serta Peraturan Daerah (Perda) tentang pelarangan Ahmadiyah, seperti di Sumatera Sela-tan. Hal lain yang ditujukan kepada pemerintah adalah : (a) terkait dengan KKN : mendukung KPK dalam melaksanakan tugasnya untuk tidak melakukan tebang pilih, (b) mendesak pemerintah untuk memberikan pembekalan agama dan akhlaqul karimah kepada aparatur negara mulai dari rekrut-men sampai dengan pembinaan dan pelaksanaan tugas dan (c) mengenai masalah kondisi ekonomi global yang disebabkan oleh krisis finansial di Amerika Serikat (AS), mendesak pemerintah untuk menggali potensi perekonomian syariah yang telah terbukti sehat dan kompetitif sehingga dapat menjadi ekonomi alternatif yang menjadi salah satu pilar penyangga perekonomian nasional.

Wal hasil, penetapan halal dan haram (اَلتَّشْرِيْعُ) yang dilakukan oleh mereka adalah sebentuk pene-tapan yang berlangsung بِغَيْرِ عِلْمٍ atau بِرَأْيِهِمْ dan sama sekali bukan :
نَتِيْجَةً عَنْ فَهْمٍ صَحِيْحٍ عَنِ النُّصُوْصِ التَّشْرِيْعِيَّةِ وَعَنِ الْوَاقِعِ الَّذِيْ يُرَادُ الْحُكْمُ عَلَيْهِ
hasil dari pemahaman yang sahih terhadap naskah-naskah tasyri’ maupun terhadap fakta yang dimak-sudkan untuk ditetapkan hukumnya.
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (الفرقان : 43-44)

No comments:

Post a Comment