International Conference
Of Islamic Scholars (ICIS) III : ada apa dengan temanya?
Peace Building and Conflict Prevention in the
Muslim World atau terungkap dalam Bahasa Arab sebagai : لِتَأْكِيْدِ
دَوْرِ الإِسْلاَمِ كَرَحْمَةٍ لِلْعَالَمِيْنَ نَحْوَ بِنَاءِ السَّلاَمِ
وَالْحَدِّ مِنَ الصِّرَاعِ فِيْ الدُّوْلِ الإِسْلاَمِيَّةِ,
adalah tema besar yang diusung dalam penyelenggaraan ICIS III yang telah
berlangsung di Jakarta sejak tanggal 29 Juli hingga 1 Agustus 2008. Konferensi
tersebut dihadiri oleh 350 orang perwakilan dan pemikir Islam dari 67 negara.
ICIS sendiri diadakan setiap dua tahun sekali sejak tahun 2004 dan
penyelenggaranya ada-lah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU). Secara bahasa
tema tersebut dalam ungkapan Bahasa Indonesia adalah : untuk mengokohkan
peran Islam sebagai rahmatan lil’alamin seputar membangun perdamaian dan
pencegahan konflik di Dunia Islam. Namun untuk memahami ada apa
dengan tema tersebut, tentu saja harus merujuk kepada orang-orang yang
berkiprah langsung sekaligus merencana-kan acara ICIS III :
1.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) ICIS : KH. Hasyim Muzadi
pada pembukaan ICIS III menyatakan : Islam sebagai rahmat semesta alam yang
mempromosikan damai, solidaritas dan keadilan tidak ingin dibajak oleh mereka
yang mengobarkan kebencian, kekerasan dan teror. Islam membawa nilai-nilai
moderasi, seperti toleransi. Konflik dan kekerasan yang masih terjadi di
sejumlah Dunia Islam disebabkan faktor ketidakadilan global dan perebutan
sumber daya alam, di samping sejum-lah masalah internal lain.
2.
Presiden NKRI : Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan : perlunya
memperkuat ekonomi dan kesejahteraan sosial di antara umat. Hal ini merupakan
langkah pertama yang harus dilakukan un-tuk mendorong keberlangsungan perdamaian
di Dunia Islam. Hampir 40 persen umat hidup di ba-wah garis kemiskinan. Jutaan
orang muslim menjalani hidup kurang dari satu dolar AS (sekitar Rp 9200) per
hari. Dalam kenyataan, Dunia Islam memasok 70 persen energi, 40 persen bahan
baku industri dunia, serta 20 persen populasi warga dunia. Dunia Islam memiliki
kekuatan mencapai perdamaian dan keamanan. Konferensi ini adalah peluang bagi
kita untuk memperkuat ukhuwah sejagat. Ini juga merupakan peluang untuk
memformulasi langkah praktis mengatasi batas-batas politik, ekonomi dan sosial
untuk perdamaian dan kemajuan.
3.
Wakil Presiden NKRI : Jusuf Kalla menyatakan : rasa
egoisme dan ketidakadilan di antara umat tak hanya memicu konflik antarumat
manusia itu sendiri, tetapi juga konflik antarumat beragama dan konflik antara
umat dan negara. Konflik yang terjadi akan semakin sulit diselesaikan apabila
konflik tersebut telah dibumbui dengan solidaritas keagamaan. Inti dari konflik
apa pun yang terja-di selama ini adalah ketidakadilan dan rasa egoisme di antara
kita. Terjadinya pemihakan kepada pihak-pihak yang berkonflik dengan adanya
solidaritas agama semakin mempersulit selesainya konflik.
4.
Menteri Pertahanan NKRI : Juwono Sudarsono menyatakan :
negara memiliki peran penting dalam menjembatani penyelesaian konflik
antarkelompok masyarakat. Namun, penyelesaian konflik ka-dang membutuhkan waktu
panjang. Selain peran pemerintah, peran pemimpin agama juga tak ka-lah
pentingnya. Pengaruh tokoh agama baik lokal maupun nasional terhadap masyarakat
masih kuat dan akan mampu mendorong masing-masing yang bertikai maju ke meja
perundingan. Sikap moderat, toleran dan kebangsaan yang dimiliki para tokoh
agama mampu mengurangi sikap kon-frontasi yang dimiliki massa. Namun hanya
sedikit tokoh agama yang memiliki sikap-sikap seperti itu.
5.
Menteri Luar Negeri NKRI : Hassan Wirajuda menyatakan :
pentingnya pemahaman atas perkem-bangan politik internasional dan struktur
global. Dengan pemahaman itu, akan membantu menger-ti akar penyebab terjadinya
ketegangan dan konflik termasuk perkembangan demokrasi di ranah global. Di
tingkat global demokrasi muncul sebagai nilai universal dan bentuk pemerintahan
yang dapat diterima. Tantangan kita adalah bagaimana meyakinkan semua pihak
bahwa demokrasi memberikan kesejahteraan bagi semua. Indonesia telah berupaya
tanpa lelah selama sepuluh ta-hun terakhir mewujudkan reformasi dan
demokratisasi. Kini Indonesia menjadi negara ketiga ter-demokratis di dunia.
Ini pun menepis anggapan bahwa demokrasi tak sesuai dengan Islam. Dialog yang
terus menerus juga menjadi langkah yang perlu dilakukan. Dialog yang dilakukan
antara bu-daya, keyakinan dan peradaban yang berbeda akan melahirkan kerja sama
dan saling hormat menghormati.
6.
Ulama Iran, Ayatollah Ali Tashkiri menyatakan : konflik
yang bermunculan di negara-negara Islam disebabkan faktor eksternal. Ia mengacu
pada penjajahan Dunia Barat terhadap negara-negara Islam. Negara-negara Barat
menjadi penyebab utama terjadinya konflik. Namun kita pun harus mengakui
kebodohan kita sendiri juga menjadi salah satu penyebabnya. Umat Islam kini
ha-rus menyadari baik faktor eksternal maupun internal yang bisa menimbulkan
konflik di negara-negara Islam.
7.
Cendekiawan muslim Somalia : Ali Mahmoud Hassan
menyatakan : faktor eksternal menjadi pe-nyebab terjadinya konflik di negara
Islam. Namun faktor internal juga tak bisa diabaikan. Negara-negara Islam tak
memiliki kesatuan langkah ekonomi, politik dan pandangan agar bisa mencegah
masuknya kekuatan Barat yang hegemonik. Negara-negara Islam tak memiliki
kesatuan langkah hingga tak memiliki kekuatan.
8.
Ulama Suriah : Wahbah Zuhaili menyatakan : karena
ICIS III ini dihadiri para ulama, cendeki-awan dan diplomat yang memiliki
peranan penting dalam masyarakatnya, maka melalui konferensi ini mereka
menyatukan pandangan dan rencana aksi untuk berupaya memecahkan konflik yang
terjadi di negara-negara Islam. Konferensi ini menjadi sarana untuk menyatukan
langkah demi mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.
9.
Cendekiawan Palestina : Sulaiman Hassan Qeeq menyatakan
: konflik yang terjadi di Palestina se-benarnya bukanlah konflik agama
tetapi konflik antara penjajah dan rakyat yang terjajah. Umat Islam di
Palestina bisa hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani yang ada di sana.
Kami ingin hidup berdampingan dengan damai baik dengan umat Yahudi maupun
Nasrani yang ada di Palestina. Pandangan umat Islam Palestina didasarkan kepada
ajaran Islam dan yang dicontoh-kan Nabi Muhammad saw. Saat Nabi Muhammad berada
di Madinah, menjalin perjanjian kerja sama dengan umat lainnya yang ada di
Madinah kala itu.
10.
Ulama Lebanon : Maher Mezher menyatakan : konflik
yang terjadi di Lebanon tak bisa dipandang sebagai konflik Sunni-Syiah karena
di sana juga ada Druze dan warga Nasrani yang juga terlibat dalam konflik. Kami
juga tidak mempersoalkan Israel karena Yahudi-nya, tetapi karena mereka
mencaplok wilayah kami dan belum mengembalikannya hingga saat ini.
11.
Ketua Urusan Hubungan Antaragama dan Antarbudaya UNESCO
: Gary D. Bouma menyatakan : ketakutan terhadap Islam (Islamic phobia) di
negara-negara Barat juga tidak seragam. Di negara-negara Barat yang pluralisme
agamanya tinggi, seperti Australia, Islamic phobia tidak menonjol. Kalaupun ada
kasus seperti warga menolak pendirian sekolah Islam yang terjadi di kota Camden
Australia, hal itu lebih karena kekhawatiran warga akan turunnya nilai tanah di
daerah itu dan ketakutan-ketakutan yang diembuskan tokoh-tokoh agama lain yang
sebenarnya bukan karena ala-san agama.
Jalinan pemikiran antara tema besar ICIS III dengan
pernyataan sejumlah tokoh yang terlibat da-lam konferensi tersebut menunjukkan
:
1.
seperti pertemuan tokoh Dunia Islam sebelumnya
sepanjang paruh pertama tahun 2008 ini (New York, Makkah dan Jakarta), maka
pada ICIS III pun masih berlanjut yaitu perumusan upaya untuk semakin
menampilkan Islam dan Dunia Islam yang pro perdamaian dan anti segala bentuk
kekerasan. Rumusan yang dimaksudkan sepenuhnya merujuk kepada realitas
Islam sebagai rahma-tan lil’alamiin.
2.
tekad bulat dari seluruh peserta ICIS III untuk menolak
stigma bahwa agama sebagai sumber kon-flik dan menempatkan faktor ketidakadilan
global sebagai penyebab utama terjadinya konflik ter-sebut, baik untuk
level internal Dunia Islam maupun antara Dunia Islam dengan Dunia Barat.
3.
munculnya gagasan atau pemikiran untuk menggeser
realitas konflik berlatar agama (misal umat Islam di Palestina dengan Yahudi
Israel) menjadi realitas konflik yang muncul dari adanya penjaja-han satu pihak
(Israel) terhadap pihak lainnya (bangsa Palestina).
4.
adanya klaim penegasan bahwa umat Islam sangat
bersedia hidup berdampingan secara damai de-ngan komunitas pemeluk agama lain,
seperti Yahudi dan Nasrani demi terciptanya perdamaian se-jagat.
5.
adanya seruan kepada para tokoh agama (terutama Islam)
untuk bersikap moderat, toleran dan ke-bangsaan
demi untuk mengurangi sikap konfrontatif alias kekerasan yang dimiliki massa,
sekali-gus agar mereka berusaha keras untuk semakin memperbanyak jumlah tokoh
yang seperti itu.
6.
adanya kesepakatan bahwa penyebab konflik itu ada yang eksternal
dan internal. Faktor eksternal adalah campur tangan
negara-negara Barat di Dunia Islam. Sedangkan faktor internal adalah
nega-ra-negara di Dunia Islam tak memiliki kesatuan langkah
ekonomi, politik dan pandangan agar bisa mencegah masuknya kekuatan Barat yang
hegemonik. Negara-negara di Dunia Islam tak memiliki kesatuan langkah hingga
tak memiliki kekuatan.
7.
adanya kesepakatan bahwa demokrasi adalah nilai-nilai
universal dan bentuk pemerintahan yang dapat diterima, sehingga harus
ada upaya untuk meyakinkan semua pihak tentang demokrasi.
8. keinginan
untuk mencegah terjadinya pembajakan agama (Islam) oleh sekelompok orang yang
sa-ngat senang mengobarkan kebencian, kekerasan dan teror.
Demikianlah, sejumlah
agenda yang dapat dipahamkan dari tema besar ICIS III berikut pernyata-an
beberapa tokoh (ulama, cendekiawan, pejabat pemerintahan dan lainnya) yang
turut serta hadir da-lam konferensi tersebut. Lalu, bagaimana
mengurai gagasan atau usulan atau pemikiran tersebut?
Tema ICIS III : لِتَأْكِيْدِ
دَوْرِ الإِسْلاَمِ كَرَحْمَةٍ لِلْعَالَمِيْنَ نَحْوَ بِنَاءِ السَّلاَمِ
وَالْحَدِّ مِنَ الصِّرَاعِ فِيْ الدُّوْلِ الإِسْلاَمِيَّةِ,
me-nunjukkan beberapa hal :
a. pada
bagian لِتَأْكِيْدِ
دَوْرِ الإِسْلاَمِ, berarti yang menjadi objek utama
pembahasan adalah peran Islam yang harus semakin dikuatkan dan
dikokohkan karena selama ini walau memang telah berperan namun
belum optimal, yakni belum memberikan hasil yang diharapkan oleh semua pihak
terutama Dunia Barat. Padahal Islam diturunkan oleh Allah SWT bukan
untuk diperankan sebagai bagian dari atau dalam
suatu sistema lainnya, melainkan Islam diturunkan sebagai sistema yang
utuh dan mandiri. Inilah yang dipastikan oleh Allah SWT dalam
pernyataannya :
وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (الأنعام
: 153)
Jadi, Islam itu harus diberlakukan
secara mandiri dan bukan sebagai bagian dari sistema lainnya sehingga bagaimana
mungkin dan bisa semua manusia dalam ICIS III berkeinginan untuk memak-sakan
suatu peran kepada Islam seperti yang ditetapkan oleh kaum kufar
(Dunia Barat) yang semua perbuatannya di dunia hanya didasarkan kepada kepentingan
naluriah mereka (أَهْوَاءَهُمْ). Allah SWT
menyatakan :
وَلَوِ اتَّبَعَ
الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ
أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
b. bagian
كَرَحْمَةٍ
لِلْعَالَمِيْنَ menunjukkan adanya pemaksaan
kedudukan atau status terhadap Islam, se-bab penggunaan huruf كَ (حَرْفُ
جَرٍّ) dalam bagian tersebut memberikan makna bahwa antara Islam dan رَحْمَةٌ
لِلْعَالَمِيْنَ merupakan dua hal yang terpisah. Padahal
bila merujuk kepada sumber dalil (Al-Quran) yang mengungkapkan hal ini yaitu : وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء : 107),
maka jelas se-kali bahwa antara Islam (Iاَلرِّسَالَةُ
الَّتِيْ جَاءَ بِهَا رَسُوْلُ اللهِ ) dan رَحْمَةً
adalah memiliki pola hubungan yang pasti : صِفَةٌ وَمَوْصُوْفٌ.
Artinya jika Islam ada maka otomatis رَحْمَةً
juga ada dan eksistensi رَحْمَةً memastikan keberadaan
Islam : تَكُوْنُ
رِسَالَةُ الإِسْلاَمِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. Jadi jika kehidupan
manusia di dunia ingin berada dalam رَحْمَةً,
maka itu sangatlah mudah bagi mereka yaitu hanya dengan cara member-lakukan
Islam dalam seluruh aspek kehidupan mereka, sama sekali tidak rumit.
c. bagian
نَحْوَ
بِنَاءِ السَّلاَمِ وَالْحَدِّ مِنَ الصِّرَاعِ memastikan bahwa
peran Islam yang belum optimal adalah pa-da aspek membangun perdamaian dan
mencegah konflik. Padahal realitas
dunia saat ini yang tidak damai serta penuh dengan konflik adalah akibat
diterapkannya sistema kehidupan buatan manusia sendiri yakni sekularisme yang
kemudian menjadi asas sistema pemerintahan demokrasi dan per-ekonomian
kapitalisme. Ini adalah fakta riil yang tidak hanya tersaksikan bahkan sangat
dirasakan oleh semua manusia di belahan dunia mana pun. Inilah kerusakan yang
sebenarnya (اَلْمَفْسَدَةُ الْحَقِيْقِيَّةُ)
yang merupakan akibat pasti dari sistema kufur buatan tangan
manusia sendiri tersebut. Allah SWT menyatakan : ظَهَرَ الْفَسَادُ
فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ
الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم : 41). Oleh karena itu,
untuk menghilangkan secara permanen semua bentuk الْفَسَادُ
tersebut, maka sangat mudah yakni tinggalkan semua sistema kufur
yang telah 84 tahun lebih menyengsarakan kehidup-an manusia dan berlakukan
sistema Islam : شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً.
Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا
يُحْيِيكُمْ (الأنفال : 24)
d. bagian
فِيْ
الدُّوْلِ الإِسْلاَمِيَّةِ memberikan makna di dunia saat ini ada
banyak Negara Islam namun bila memperhatikan pengungkapan tema
dalam Bahasa Inggris : in the Muslim World, maka pengung-kapan tema
dalam Bahasa Arab tersebut sama sekali tidak tepat atau tidak
sama dengan yang da-lam Bahasa Inggris. Hal itu karena ungkapan yang
sepadan dengan فِيْ الدُّوْلِ الإِسْلاَمِيَّةِ
(Bahasa Arab) dalam Bahasa Inggris adalah in the Islamic States,
sedangkan ungkapan in the Muslim World atau in the Islamic World (Bahasa
Inggris) adalah sepadan dengan فِيْ الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ
dalam Bahasa Arab. Nampaknya “kesalahan” fatal ini sangat disengaja dilakukan
dengan tujuan untuk penyesatan po-litik (اَلتَّضْلِيْلُ
السِّيَاسِيُّ) yakni ingin menunjukkan
kepada umat Islam bahwa di Dunia Islam telah ba-nyak negara Islam. Padahal
sejak 3 Maret 1924 alias sejak lebih dari 84 tahun yang lalu yakni saat
Khilafah Utsmaniyah diruntuhkan oleh Kerajaan Inggris, hingga kini belum pernah
ada lagi negara Islam (اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ
alias Islamic
State). Sejak saat itu di seluruh dunia termasuk Dunia Islam yang
ada riil adalah negara-negara kebangsaan (Nation States alias اَلدَّوْلَةُ
الْقَوْمِيَّةُ), bahkan eksistensinya se-makin menguat
seiring dengan upaya Dunia Barat untuk semakin menjauhkan pemikiran dan
kesa-daran kaum muslim dari kewajiban mereka yang paling utama yaitu berusaha
keras mengembalikan Khilafah Islamiyah dalam realitas kehidupan dunia.
Sebenarnya, realitas kemanusiaan yang telah berusia
paling tidak 2008 tahun memastikan bahwa salah satu yang menjadi penyebab
konflik dalam kehidupan mereka adalah agama. Konflik yang dipicu
oleh latar agama berlangsung sangat massif dan panjang, karena melibatkan
entitas the faith alias keya-kinan. Pada faktanya keyakinan itu ada yang
: (a) berbasis pembuktian dengan menggunakan aqal ma-nusia sendiri, seperti
Islam dan (b) berbasis dorongan naluri keagamaan semata sehingga bertumpu pa-da
dogma serta doktrin keagamaan, seperti pada agama di luar Islam. Walaupun
demikian, setiap peng-anut keyakinan tersebut dapat dipastikan akan
mempertahankan dan membela keyakinannya masing-masing hingga mati (يَقِيْنُهُمْ
قَنَاعَتُهُمْ). Akibatnya ketika terjadi ancaman atau
serangan (riil maupun hanya anggapan) dari pihak penganut keyakinan lain, maka
tidak diragukan lagi akan mendorong adanya aksi mempertahankan dan membela
keyakinannya walaupun harus dengan cara perang. Inilah yang menye-babkan
tentara Salib dari Romawi melakukan serangan ke Timur (Khilafah Islamiyah)
dalam misi Pe-rang Salib. Perang Salib yang berlangsung lebih dari 200 tahun
merupakan bukti otentik bahwa konflik dengan latar agama adalah ada serta
bersifat sangat dahsyat.
Realitas posisi agama
itulah yang diantisipasi oleh Islam yakni dengan menetapkan kewajiban se-ruan
kepada Islam (اَلدَّعْوَةُ اِلَى الإِسْلاَمِ)
harus bertumpu pada fungsi aqal manusia (memikirkan dan mema-hami). Allah SWT
menyatakan :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل : 125)
Namun demikian tetap saja
manusia lebih mengedepankan pertimbangan kepentingan naluriah mereka untuk
tetap mempertahankan agama masing-masing, walau aqal mereka sendiri sangat dapat
menerima seruan Islam. Sikap manusia terhadap seruan Islam tersebut telah
diinformasikan oleh Allah SWT ke-pada Nabi Muhammad saw :
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا
يُؤْمِنُونَ (البقرة : 6)
Oleh karena
itu, Islam menetapkan langkah lain dalam menghadapi penolakan manusia terhadap
lang-kah pertama : اَلدَّعْوَةُ اِلَى الإِسْلاَمِ,
yaitu tawaran untuk menjadi اَهْلُ الذِّمَّةِ
dengan membayar jizyah kepada Khilafah atau bila masih menolak juga maka pilihan
mereka tinggal satu : diperangi hingga hancur. Ja-di selama ada manusia yang
masih menolak seruan Islam maka kekerasan (perang) dan konflik berlatar agama
pasti akan selalu ada dan itu semua adalah dapat diterima oleh aqal sebagai
konsekuensi penola-kan itu sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh jawaban Rasulullah
saw ketika beliau ditanya :
فَأَيُّ الْهِجْرَةِ
أَفْضَلُ قَالَ الْجِهَادُ قَالَ وَمَا الْجِهَادُ قَالَ أَنْ تُقَاتِلَ
الْكُفَّارَ إِذَا لَقِيتَهُمْ (رواه احمد)
Bagian jawaban beliau : أَنْ
تُقَاتِلَ الْكُفَّارَ إِذَا لَقِيتَهُمْ memastikan bahwa
selama ada kaum kufar yang bukan berkualifikasi اَهْلُ الذِّمَّةِ,
maka perang dan konflik atas nama agama akan selalu terjadi di
dunia.
Dengan demikian gagasan dalam ICIS III untuk menggeser
realitas konflik berlatar agama terse-but menjadi konflik akibat adanya
penjajahan adalah sebuah kekisruhan yang manipulatif, sebab sejak dulu baik itu
penjajahan (اَلإِسْتِعْمَارُ)
yang dilakukan oleh Barat ataupun penaklukan (اَلْفُتُوْحَاتُ)
yang dilakukan oleh Khilafah, keduanya diselenggarakan atas nama
dan demi melaksanakan perintah aga-ma. Hal yang serupa juga
terjadi hingga saat ini seperti yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina
atau AS terhadap Afghanistan dan Iraq maupun yang lainnya.
Klaim bahwa umat Islam sangat
bersedia hidup berdampingan secara damai dengan komunitas pemeluk agama lain,
seperti Yahudi dan Nasrani demi terciptanya perdamaian sejagat, adalah sangat
salah dan bertentangan dengan semua informasi wahyu yang ada dalam sumber Islam
: Al-Quran dan As-Sunnah. Hal itu karena Islam menetapkan sebaliknya yakni kaum
kufar (Yahudi dan Nasrani) akan dibiarkan tetap dalam agama mereka
masing-masing asal mereka mau tunduk patuh kepada kekuasaan Islam yang
diselenggarakan oleh Khilafah dan itu harus dibuktikan dengan kesediaan mereka
memba-yar jizyah kepada Khilafah. Banyak dalil yang menunjukkan ketetapan
tersebut di antaranya :
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
أَمَّرَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ إِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ
الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى إِحْدَى ثَلَاثِ خِلَالٍ أَوْ خِصَالٍ فَأَيَّتُهُمْ
مَا أَجَابُوكَ إِلَيْهَا فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ
إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ
... اِلَى اَنْ قَالَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا أَنْ يَدْخُلُوا فِي الْإِسْلَامِ
فَسَلْهُمْ إِعْطَاءَ الْجِزْيَةِ فَإِنْ فَعَلُوا فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ
عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ (رواه الدارمي)
قَاتِلُوا الَّذِينَ
لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا
حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
(التوبة : 29)
Sikap
moderat dan toleran hanya layak dimiliki oleh manusia (individual maupun
kolektif) peng-usung ide atau pemikiran yang sama sekali tidak memiliki
kepercayaan diri untuk menyatakan klaim sebagai paling benar. Tentu saja, sikap
tersebut sangat tidak pantas dan tidak layak dimiliki oleh umat Islam karena
Islam yang menjadi asas pemikiran serta sikap mereka, sejak awal dengan penuh
percaya diri menyatakan klaim sebagai paling benar. Klaim Islam sebagai paling
benar sangat bersesuaian de-ngan faktanya (dalil aqliy) dan ditetapkan
berdasarkan wahyu (dalil naqliy). Fakta menunjukkan bahwa Islam adalah agama
langit (دِيْنٌ
سَمَوِيٌّ) yang paling akhir diturunkan oleh Allah SWT, sehingga aqal
me-mastikan karena Islam menggantikan risalah Nabi Isa as. yang bersumber dari
Injil maka Islam adalah paling benar dan tidak akan pernah ada lagi yang
melebihi status “paling benar” Islam tersebut. Kete-tapan aqal itu ternyata
sesuai dengan dalil naqliy yang di antaranya adalah :
إِنَّ الدِّينَ
عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا
مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ
اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (آل عمران : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ
غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
أَوَلَا أَدُلُّكَ
عَلَى رَأْسِ الْأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذُرْوَةِ سَنَامِهِ أَمَّا رَأْسُ الْأَمْرِ
فَالْإِسْلَامُ فَمَنْ أَسْلَمَ سَلِمَ وَأَمَّا عَمُودُهُ فَالصَّلَاةُ وَأَمَّا
ذُرْوَةُ سَنَامِهِ فَالْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (رواه احمد)
Kebangsaan
adalah sikap yang otomatis muncul dari pengusung ikatan kebangsaan (اَلرَّابِطَةُ
الْقَوْمِيَّةُ). Ika-tan tersebut adalah sangat primitif
serta tidak beradab (uncivilized), karena terbentuk hanya dari naluri
manusia untuk mempertahankan dirinya (غَرِيْزَةُ
الإِنْسَانِ لِلدِّفَاعِ عَنْ نَفْسِهِمْ) dan sama sekali
tidak melibatkan fungsi aqal mereka (تَفْكِيْرُهُمْ).
Tentu saja sikap ini secara identik terdapat dalam binatang dan inilah me-ngapa
Islam mengharamkan umat Islam mensifati dirinya dengan sikap tersebut.
Rasulullah saw me-nyatakan :
مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ
وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ
رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ
يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ (رواه مسلم)
Realitas عَصَبَةٌ
adalah اَلْقَرَابَةُ
مِنْ جِهَةِ الأَبِّ وَهُنَا قَوْمُهُ وَعَشِيْرَتُهُ : kerabat dari jalur
bapak dan yang dimaksudkan adalah bangsanya dan keluarganya. Jadi bila seorang
muslim marah gara-gara bangsanya diganggu atau dihinakan, menyeru kepada
kebangsaan dan menolong bangsanya, maka dia telah melakukan perbuatan yang
diharamkan oleh Islam : فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ.
Campur tangan negara-negara Barat di
Dunia Islam tidak pernah terjadi saat Dunia Islam masih dipersatukan oleh
Khilafah Islamiyah yang berlangsung lebih dari 1300 tahun. Sepanjang kurun
waktu yang panjang tersebut yang dilakukan oleh Dunia Barat (terutama Inggris)
adalah berusaha keras tak kenal lelah untuk meruntuhkan Khilafah dengan
berbagai cara. Upaya keras mereka mencapai hasilnya yang gemilang saat Inggris
berhasil meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah di awal abad ke-20 tepatnya tanggal 3
Maret 1924. Sejak itu hingga saat ini, campur tangan bahkan dominasi Dunia
Barat sangat besar dan menentukan mati dan hidupnya negara-negara yang ada di
Dunia Islam. Semua negara di Dunia Islam benar-benar lemah karena memang secara
ideologi, politik maupun ekonomi sepenuhnya dikendalikan oleh Barat. Jadi
ketidakberdayaan negara-negara di Dunia Islam dalam menghadapi hege-moni Dunia
Barat (AS dan sekutunya) bukan akibat dari negara-negara di Dunia Islam tak
memiliki kesatuan langkah ekonomi, politik dan pandangan, melainkan
akibat sudah tidak ada lagi Khilafah yang dapat menyatukan negeri-negeri Islam
sekaligus melindungi, mempertahankan dan membelanya. Inilah yang seharusnya
dibahas untuk disadari oleh seluruh umat Islam temasuk yang hadir dalam acara
ICIS III. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)
Benarkah demokrasi adalah nilai-nilai
universal dan bentuk pemerintahan yang dapat diterima? Pertanyaan ini
sangat wajib diajukan kepada siapa pun yang memiliki pemikiran seperti
demikian, ka-rena benar-benar sangat manipulatif bila dihubungkan dengan asal
usul demokrasi sendiri. Bila demo-krasi diklaim sebagai nilai-nilai universal,
maka semua orang dan seluruh sistema yang ada di dunia harus dapat
menerima dengan tanpa paksaan (اِجْبَارٌ)
dan intimidasi (اِكْرَاهٌ) maupun manipulasi (خِدَاعٌ).
Namun faktanya semua syarat tersebut tidak ada satupun yang dapat dipenuhi oleh
demokrasi, sebagai contoh umat Islam pada akhirnya “dapat” menerima demokrasi
setelah terlebih dahulu dipoles dan di-kemas dengan salah satu bagian dari
pemikiran Islam yakni syura. Bahkan demokrasi diklaim adalah syura itu sendiri
serta bagian dari Islam karena telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw juga
Khu-lafa Rasyidun. Adanya pengemasan dan pemolesan demokrasi dengan Islam
adalah tentu saja aksi ma-nipulasi, sebab tidak ada keberanian dan kepercayaan
diri secuil pun untuk menampilkan demokrasi apa adanya sesuai dengan jatidiri
sebenarnya. Tujuannya sudah pasti adalah agar umat Islam tidak me-nolak demokrasi.
Aksi manipulasi ini sekaligus sebagai realitas pemaksaan dan intimidasi secara
pe-mikiran dan tidak jarang disertai pula dengan pemaksaan maupun intimidasi
secara fisik (perundang-undangan). Inilah aspek paling mendasar yang jadi bukti
pembantah dan pembatal untuk klaim bahwa demokrasi adalah nilai-nilai
universal dan bentuk pemerintahan yang dapat diterima. Selain itu,
demo-krasi pun pada akhirnya diterima oleh Dunia Islam, karena dua faktor :
a.
semua konsep yang ditawarkan dalam demokrasi adalah
sangat sesuai dengan kecenderungan nalu-riah manusia, sehingga benar-benar
dapat memenuhi semua hasrat yang dituntut naluriah tersebut. Inilah yang sangat
gamblang tergambar dalam konsep kebebasan menyeluruh : bebas beragama,
berpendapat, berkepemilikan dan berkepribadian.
b. tingkat
berpikir umat Islam sedang pada taraf yang paling rendah dan itu ditandai
dengan tidak lagi menjadikan Islam sebagai satu-satunya asas berpikir mereka,
bahkan mereka sangat membenci Islam karena dianggap selama ini membelenggu
kepentingan naluriah mereka.
Andai tingkat berpikir umat
Islam tetap terpelihara seperti pada generasi pertama mereka, maka dapat
dipastikan demokrasi atau pun yang lainnya tidak akan pernah laku
dan diterima di Dunia Islam.
Pembajakan agama adalah ungkapan yang
saat ini mulai sering digunakan oleh atau dalam ber-bagai forum yang
mengelaborasi tema antikekerasan, antiteror dan antikebencian. Diawali dengan
me-nempatkan semua agama sebagai mengajarkan kasih sayang, perdamaian,
persaudaraan, keadilan, ke-manusiaan, maka siapa pun dan dari penganut agama
apa pun yang menyuarakan perang, teror, anti ka-um kufar, klaim paling benar
yang memicu konflik dan sebagainya dikategorikan selaku pembajak agama.
Forum ICIS III pun jelas sekali digelar untuk melakukan pencegahan atau mungkin
serangan balik terhadap aksi pembajakan agama tersebut, terutama agama Islam.
Wal hasil, inilah yang dimaksudkan oleh tema besar
yang diusung dalam forum ICIS III tahun 2008 ini. Tema tersebut benar-benar
telah menggeret paksa Islam dan umat Islam ke arah opini yang memposisikan
Islam sebagai agama antikekerasan, antiteror dan antikebencian sekaligus
membangun citra baru bagi Islam yakni agama yang sangat cinta damai, toleran,
moderat dan siap untuk hidup ber-dampingan di tengah-tengah kehidupan dunia
yang plural.
Aksi merusak Islam multi
jenjang
Forum ICIS III tidak diragukan lagi dijadikan ajang,
arena, gelanggang, lapangan untuk merusak dan membantai Islam dari berbagai
arah dan dimensi alias multi jenjang. Pemikiran aqidah, syariah dan ideologis
Islam, seluruhnya diserang dengan sangat dahsyat dengan tujuan supaya Islam
hancur lebur.
Perjalanan berbagai forum dialog, diskusi,
konferensi dan lainnya yang melibatkan para pemuka agama-agama yang ada di
dunia, khususnya yang berlangsung sejak awal tahun 2008 selalu
menjadi-kan Islam dan kaum muslim sebagai objek utama pembahasan mereka. Begitu
juga, pada setiap forum yang diadakan internal Dunia Islam termasuk ICIS III
juga sebelumnya (Dakar, Makkah, Jakarta) sela-lu menjadikan Islam
dan umat Islam sebagai materi pembahasan utamanya. Tidak diragukan lagi, Islam
adalah satu-satunya agama yang hampir tidak pernah luput dari bidikan kajian,
analisis, percoba-an, perusakan, perekonstruksian, baik yang dilakukan oleh
Dunia Islam sendiri maupun apalagi oleh Dunia Barat. Demikian juga, umat Islam
adalah satu-satunya komunitas penganut agama di dunia yang selalu diposisikan
sebagai tidak memberikan peran berarti kepada dunia, membebebani kehidupan
du-nia, radikal, intoleran, eksklusif, pendukung pemikiran primordial dan anti
kaum kufar.
Kondisi umat Islam dan
Dunia Islam tersebut sebenarnya bukan hal baru, melainkan telah
diber-langsungkan secara paksa dan sengaja oleh Dunia Barat sejak akhir abad
ke-19 (sebelum Perang Dunia I), yakni saat Inggris telah hampir berhasil
menghancurkan Khilafah sebagai satu-satunya institusi for-mal yang menyatukan
Dunia Islam serta melindungi dan menjaga keutuhannya. Artinya keadaan kaum
muslim itu telah berlangsung lebih dari 100 tahun (satu abad) yang berakibat
pasti semakin lemah po-sisi dan eksistensi mereka serta semakin mudah
untuk dihancur-binasakan, walaupun jumlah popu-lasi mereka semakin banyak.
Rasulullah saw menyatakan :
يُوشِكُ الْأُمَمُ
أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ
قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ
وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ
عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ
الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ
الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ (رواه ابو داود)
Jumlah umat Islam yang
banyak (بَلْ
أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ) adalah tidak ada artinya sama
sekali karena mereka sudah tidak lagi memiliki kedudukan mulia (اَلْمَقَامُ
الْعُلْيَا) di dunia yang ditandai secara pasti oleh keber-adaan Khilafah.
Akibatnya, kaum kufar (عَدُوِّكُمْ) tidak lagi merasa
“miris alias takut alias الْمَهَابَةَ “ kepada umat Islam,
karena kaum muslim telah berstatus sangat identik dengan mereka yakni sama-sama
se-bagai penghamba الْوَهْنَ yang dicirikan dengan
kesediaan untuk mentaati kekufuran (حُبُّ الدُّنْيَا)
serta tidak berani menghadapi risiko (كَرَاهِيَةُ
الْمَوْتِ) bila menentang kekufuran.
Mentari pagi abad ke-21 ini ditandai dengan bukan
hanya intensifikasi perusakan dan penghan-curan Dunia Islam, tapi juga telah
berlanjut dengan ekstensifikasi areal perusakan yakni ke arah Islam itu
sendiri. Islam telah dijadikan objek satu-satunya oleh kaum kufar (dibantu
dengan setia oleh umat Islam sendiri, antek mereka) untuk dirusak dari berbagai
segi, aspek, sendi maupun pilarnya : sumber hukum (Al-Quran dan As-Sunnah),
aqidah, syariah serta model atau pola pemberlakuannya. Sangat di-sayangkan, di
tengah aksi kaum kufar tersebut, ternyata umat Islam sendiri tidak atau belum
(hingga saat ini) menyadari realitas kehidupan mereka tersebut. Akibatnya
adalah semakin mudah dan leluasa bagi kaum kufar untuk melaksanakan semua
rencana mereka itu.
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ يُقَاتَلُ
مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ
مِنْهُ (رواه مسلم)
الْإِيمَانُ
مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه)
No comments:
Post a Comment