Hijrah dan Piagam Madinah
Khaeron Sirin (Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran/PTIQ) dalam
tulisannya berjudul “Sema-ngat Hijrah Melawan Korupsi” (Media Indonesia, Kamis
17 Desember 2009, OPINI, halaman 26) me-nyatakan :
Setelah 13 tahun Nabi Saw membangun landasan tauhid sebagai dasar
tatanan masyarakat di Me-kah, Allah Swt memberinya petunjuk untuk hijrah ke
Yatsrib (Madinah). Di sanalah, Nabi Saw beserta kelompok-kelompok masyarakat
secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani dengan merumuskan
ketentuan hidup bersama, yaitu Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah), sebagai
upaya membangun sebuah komunitas negara-kota yang beradab (al-Madinah
al-Munawarah), sebagai lawan terhadap masyarakat jahiliah di Mekah. Dalam
piagam itu, umat manusia untuk pertama kalinya diper-kenalkan wawasan
kebebasan, pluralisme dan toleransi serta keadilan.
Peristiwa tersebut telah mengubah peta baru dalam sejarah Islam
dan menjadi tonggak awal me-nata komunitas masyarakat yang maju dan beradab. Di
sini, hijrah tidak sekadar dimaknai sebagai pro-ses perpindahan individu atau
kelompok dari satu tempat menuju tempat lain. Ada nilai atau wacana yang
melingkupi saat-saat sebelum dan sesudah hijrah Nabi Saw, yang oleh Umar ibn
al-Khattab, ke-mudian ditetapkan sebagai awal Tahun Baru Islam. Pertama,
komitmen ajaran tauhid (monotheisme) sekaligus penolakan terhadap segala bentuk
kemusyrikan dan kezaliman. Kedua, pembentukan struktur sosial yang egaliter dan
beradab. Ketiga, perombakan kekuasaan yang otoritatif dan absolut ke sistem
kekuasaan yang transparan dan demokratis. Ketiga nilai itulah yang perlu
direnungkan sekaligus ‘dihij-rahkan’ (ditransformasikan) ke dalam kehidupan
bangsa saat ini.
Jika hijrah di masa Nabi dalam rangka membangun komitmen
perjuangan Islam melawan ke-musyrikan dan penindasan, dalam konteks sekarang,
hijrah bisa dimaknai untuk membangun komitmen perjuangan melawan korupsi yang
membelit negeri ini. Sebab korupsi di negeri ini telah merambah ke hampir semua
lini kehidupan.
Oleh karena itu, ketika bangsa ini, khususnya umat Islam,
memperingati Tahun Baru Islam (Hij-rah), semestinya kita berusaha membangun
komitmen dan arah perjalanan hidupnya ke arah yang le-bih baik. Di sini, hijrah
merupakan awal migrasi dari kesesatan menuju ketakwaan, dari keragu-raguan
menuju keteguhan hati, dari ketakutan menuju kekuatan memperjuangkan kebenaran,
dan dari kezalim-an menuju keadilan. Artinya, kita dituntut menggali semangat
esensial di balik ‘eksperimen’ hijrah Na-bi Saw dan para sahabatnya menuju
masyarakat madani. Tentunya dengan mentransformasikan sema-ngat hijrah tersebut
ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan negara bangsa.
Dalam hal ini, hijrah dimaknai sebagai upaya
mencari strategi baru untuk merancang dan meru-muskan konstitusi dan hukum yang
tegas dalam pemberantasan korupsi. Di era yang semuanya dida-sarkan atas
realita ilmiah, hijrah Nabi juga penting untuk dimaknai dengan
pengertian-pengertian rea-listis dan kontekstual. Hal itu penting untuk memperkuat
keyakinan umat Islam betapa hijrah Nabi Saw sejatinya memiliki relevansi
terhadap realitas kekinian, utamanya dalam upaya pemberantasan korupsi.
Luar biasa! Itulah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan
(اَلتَّعْبِيْرُ)
keberanian seorang bernama Khaeron Sirin dalam :
1.
memposisikan Piagam Madinah sebagai rumusan tentang kebebasan,
pluralisme, toleransi dan kea-dilan yang diberlakukan oleh Rasulullah saw di
masyarakat madani di Madinah.
2.
melemparkan tuduhan keji kepada Khalifah Umar bin Khaththab bahwa
beliau menetapkan peris-tiwa hijrah sebagai awal penanggalan dalam almanak
Islam itu dengan pertimbangan : Pertama, komitmen ajaran tauhid
(monotheisme) sekaligus penolakan terhadap segala bentuk kemusyrikan dan
kezaliman. Kedua, pembentukan struktur sosial yang egaliter dan beradab.
Ketiga, peromba-kan kekuasaan yang otoritatif dan absolut ke sistem kekuasaan
yang transparan dan demokratis.
3.
membajak realitas hijrah dalam Islam lalu dia gunakan sebagai
kerangka untuk membangun komit-men perjuangan melawan korupsi. Kemudian setelah
dibajak, dia pun menempelkan realitas baru secara paksa kepada hijrah yakni : hijrah
merupakan awal migrasi dari kesesatan menuju ketakwa-an, dari keragu-raguan
menuju keteguhan hati, dari ketakutan menuju kekuatan memperjuangkan kebenaran,
dan dari kezaliman menuju keadilan.
4.
menuding Rasulullah saw telah menjadikan hijrah sebagai
‘eksperimen’ menuju masyarakat mada-ni, lalu dia menempelkan stempel dimensi
kuno kepada realitas hijrah tersebut : Tentunya dengan mentransformasikan
semangat hijrah tersebut ke dalam dimensi-dimensi modern kehidupan nega-ra
bangsa. Lebih dari itu, dia tetapkan makna hijrah sebagai upaya mencari
strategi baru untuk merancang dan merumuskan konstitusi dan hukum yang tegas
dalam pemberantasan korupsi.
5.
menjadikan metode ilmiah (scientific methods alias اَلطَّرِيْقَةُ الْعِلْمِيَّةُ)
sebagai penentu sah dan tidaknya suatu konsep, atau benar dan salahnya suatu
pemikiran, atau realistis dan tidaknya suatu pengertian, atau apakah yang harus
digunakan itu tekstual ataukah kontekstual. Metode tersebut dia gunakan saat
melekatkan sejumlah makna, atau pengertian, atau realitas baru, kepada realitas
hijrah lalu dia pastikan bahwa hal itu penting dilakukan untuk : memperkuat
keyakinan umat Islam betapa hijrah Nabi Saw sejatinya memiliki relevansi
terhadap realitas kekinian, utamanya dalam upaya pembe-rantasan korupsi.
Lalu, apakah dapat dibenarkan kelima sikap dari orang tersebut?
Benar dan salahnya dari seluruh sikap Khaeron Sirin harus dibahas satu persatu
sebagai berikut :
1.
Piagam Madinah adalah :
مَجْمُوْعُ
الْقَوَاعِدِ كُلِّيَةً كَانَتْ اَوْ عَامَّةً الَّتِيْ حَدَّدَهَا رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتَنْظِيْمِ عَلاَقَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ
بِغَيْرِهِمْ مِنَ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى وَغَيْرِهِمَا مِنَ الْكُفَّارِ
الَّذِيْنَ يَسْكُنُوْنَ حَوْلَ الْمَدِيْنَةِ اَيْ دَاخِلَهَا وَخَارِجَهَا
Kumpulan
ketentuan (aturan main) baik yang kulliyah maupun ammah yang telah Rasulullah
saw tetapkan untuk mengatur interaksi kaum muslim dengan lainnya dari kalangan
Yahudi dan Nasha-ra maupun selain mereka dari kalangan kaum kufar lainnya yang
seluruhnya tinggal di sekitar Madinah yakni di dalam maupun di luar Madinah
antara
lain menempatkan kaum muslim sebagai اِنَّهُمْ
اُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُوْنِ النَّاسِ (bahwa mereka itu adalah umat yang
satu yang berbeda dengan manusia lainnya). Contoh lainnya adalah ketika
seorang muslimah dari kalangan Arab datang ke pasar kaum Yahudi Bani Qainuqa (بَنِيْ قَيْنُقَاعٍ) dengan mem-bawa perhiasan lalu
wanita tersebut duduk di salah satu kios yang ada. Ketika itulah dari arah
bela-kang si wanita datang seorang pria Yahudi secara mengendap-ngendap lalu
mengaitkan pakaian ba-gian atas hingga punggung wanita itu ke sebuah paku,
sehingga ketika wanita itu berdiri maka ter-bukalah auratnya. Melihat hal itu,
seluruh Yahudi yang ada mentertawakannya bahkan hingga ber-sorak sorai.
Kemudian saat itu seorang pria muslim tiba di kios tersebut dan di sana masih
ada si Yahudi maka si pria muslim itu pun membunuhnya. Seketika itu juga, semua
Yahudi yang ada sa-ngat marah kepadanya dan lalu membunuhnya. Keluarga pria
muslim tadi mengajak kaum muslim untuk mengeroyok Yahudi, lalu menyerang mereka
sehingga terjadilah bentrokan antara kaum muslim dengan Yahudi Bani Qainuqa.
Rasulullah saw telah meminta kepada Yahudi supaya mere-ka menghentikan aksinya
namun malahan mereka semakin menjadi jadi. Akhirnya Rasulullah saw ke luar dari
Madinah bersama dengan kaum muslim dan mengepung perkampungan Bani Qainuqa
dengan sangat ketat. Lalu setelah melakukan masyurah dengan kaum muslim senior
maka beliau memutuskan untuk membunuh mereka seluruhnya. Walaupun tidak jadi
melaksanakan keputusan tersebut karena ada permintaan dari Abdullah bin Ubay
bin Salul, namun Rasulullah saw tetap memberlakukan aturan main lainnya (yang
ada di Piagam Madinah) yakni mengusir mereka dari sekitar Madinah ke arah utara
hingga perbatasan Syam sebagai balasan atas perbuatannya itu.
Oleh karena
itu, secara realitas Piagam Madinah yang diberlakukan sepanjang kepemimpinan
Ra-sulullah saw, juga seluruh syariah Islamiyah yang ditunjukkan oleh dalil
(Al-Quran dan As-Sun-nah) memastikan bahwa Islam tidak pernah
mengenal apalagi mengakui konsep kebebasan (اَلْحُرِّيَّةُ), pluralisme,
toleransi maupun keadilan (dalam makna saat ini). Islam memastikan
bahwa seluruh si-kap dan tingkah laku manusia selama hidup di dunia adalah
terikat (مُقَيَّدٌ) dengan ketentuan hukum syara’ (اَلأَصْلُ فِيْ الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ), sama sekali tidak bebas. Inilah yang ditunjukkan oleh banyak
sekali dalil antara lain :
وَمَا
ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى
أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Hakikat pluralisme
adalah memposisikan ragam agama sebagai sama saja, yakni sama-sama me-ngajarkan
manusia untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan. Artinya, pluralisme
me-nentang adanya klaim sebagai paling benar dari agama tertentu atas agama
lainnya. Lalu, konsep pluralisme mengalami perkembangan ke arah keragaman
lainnya seperti etnis, bangsa, suku bang-sa, bahasa, warna kulit dan
sebagainya. Apakah Islam membenarkan konsep pluralisme?
Sejak awal
diturunkan, Islam memastikan dirinya sebagai satu-satunya din
yang benar dan dituju-kan untuk dimenangkan atas semua agama yang ada
sebelumnya termasuk yang bersumber dari Ki-tab Taurah (Yahudi) dan Injil
(Nasrani). Klaim Islam sebagai paling benar disertai dengan sejumlah bukti dan
hujjah serta diserukan kepada aqal manusia, sehingga sama sekali bukan doktrin
maupun dogma imajinatif. Oleh karena itu, jika semua manusia yang ada sejak
Islam diturunkan hingga saat ini menggunakan aqal mereka dan mengenyahkan
kepentingan distortif naluriahnya maka dapat di-pastikan mereka akan memutuskan
dengan benar yakni seluruhnya masuk Islam dan meninggalkan agama-agama
masing-masing sebelumnya. Jika itu yang terjadi maka perjalanan waktu dunia
sela-ma 1431 tahun hanya akan diwarnai oleh Islam sebagai satu-satunya ideologi
dunia serta oleh dua gugus besar manusia yakni umat Islam dan ahlu dzimmah.
Inilah yang dimaksudkan oleh pernyata-an Allah SWT :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ
الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ
مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ
فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (آل عمران : 19)
هُوَ
الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى
الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (التوبة : 33)
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة :
29)
Jadi,
realitas keragaman agama saat ini sama sekali bukan taqdir Allah SWT apalagi
sebuah keten-tuan,
melainkan sebagai akibat dari sikap penolakan manusia sendiri terhadap Islam.
Sehingga fak-ta tersebut adalah diharamkan oleh Islam dan menjadi kewajiban
Khalifah untuk mengembalikan-nya kepada realitas yang diperintahkan oleh Islam,
yakni hanya Islam satu-satunya دِينُ
الْحَقِّ
yang diberlakukan dalam kehidupan manusia di dunia. Lalu,
bagaimana Islam menempatkan keragaman etnis,
bangsa, suku bangsa, bahasa, warna kulit dan sebagainya?
Secara
pasti, Islam tidak menjadikan keragaman tersebut sebagai pertimbangan
pemberlakuan ke-tentuan Islam melainkan hanya sebagai realitas sunnatullah
alias taqdir Allah SWT atas kehidupan dunia itu sendiri dan tujuannya adalah
supaya manusia secara lazim dan lumrah dapat saling me-ngenal lalu
berinteraksi. Inilah yang ditunjukkan dengan pasti oleh dalil :
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
(الحجرات : 13)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ
رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى
أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ
وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى (رواه احمد)
Nampak sekali
kedua dalil tersebut menyebut realitas keragaman manusiawi : bangsa (Arab dan
non Arab), suku bangsa, warna kulit (merah dan hitam), lalu menempatkannya
sebagai bagian dari jatidiri manusia sendiri (مِنْ مَاهِيَةِ الإِنْسَانِ). Lalu pernyataan Allah SWT إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ dan bagian hadits أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ
عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ
إِلَّا بِالتَّقْوَى,
memastikan bahwa yang menjadi faktor penentu mulia dan tidaknya manusia adalah
sikap mereka yakni taqwa. Jadi, bagaimana mungkin Piagam Madinah yang merupakan
kumpulan aturan main interaksi antara kaum muslim dengan ahlu dzimmah, dituduh
oleh Khaeron Sirin sebagai rumusan tentang pluralisme.
Seruan toleransi
telah dikumandangkan dari hampir seluruh penjuru dunia : Vatican, Dakar,
New York, Jakarta, Makkah. Seruan tersebut seluruhnya selalu dikaitkan dengan
pola relasi antara Islam dan agama lainnya (terutama Kristen) atau antara Dunia
Islam dan Dunia Barat. Lebih dari itu, diakui atau tidak, disadari atau tidak,
disengaja atau tidak, seruan untuk bersikap toleran atau me-ngembangkan dengan
serius pola hubungan yang penuh toleransi, senantiasa dialamatkan, diarah-kan
dan ditujukan kepada Islam, umat Islam dan Dunia Islam. Nampak jelas tengah
dicitrakan se-buah opini global bahwa selama ini yang “tidak pandai”, “tidak
pernah” dan “tidak bisa” bersikap toleran atau tidak mampu mengembangkan
hubungan berbasis toleransi adalah Islam, umat Islam dan Dunia Islam. Dengan
kata lain tengah ada upaya paksa secara internasional untuk melekat-kan
sikap toleran atau realitas toleransi kepada Islam. Lalu, mengapa
hal tersebut terjadi atau tengah diberlaku-paksakan?
Sikap toleran secara umum adalah
kebalikan dari sikap hitam putih yakni sikap menolak atau me-nerima sesuatu (اَلشَّيْءُ) berdasarkan realitas benar (صَوَابٌ) atau salah (خَطَأٌ) dari sesuatu tersebut. Apabila sesuatu
itu adalah benar maka pasti akan diterima sepenuhnya dan bila sesuatu itu
adalah salah maka pasti akan ditolak sepenuhnya. Secara aqliy, realitas benar
sesuatu (وَصْفُ
صَوَابِ الشَّيْءِ)
dipastikan berdasarkan dua kategori, yaitu : (a) sesuai dengan faktanya atau
(b) penetapan dari wahyu alias pemberitahuan dari Allah SWT. Sehingga sikap
toleran adalah sikap yang tidak pernah memastikan realitas benar atau salahnya
sesuatu, melainkan selalu didasarkan kepada pertimbang-an manfaat (useful)
atau bahaya (harmful) dari sesuatu itu sendiri. Jika pada realitas
sesuatu itu didapati adanya manfaat
yang wajib dipertimbangkan demi untuk merealisir kepentingan terten-tu,
maka realitas sesuatu tersebut akan dipastikan untuk diterima
walaupun pada kenyataannya adalah salah dari hasil standardisasi
dengan menggunakan dua kategori yang ada. Sebaliknya, apa-bila pada realitas
sesuatu itu didapati adanya bahaya yang wajib dipertimbangkan
supaya tidak mengganggu atau menjadi penghalang
dalam upaya merealisir kepentingan tertentu, maka reali-tas
sesuatu tersebut akan dipastikan untuk ditolak walaupun pada kenyataannya
adalah benar dari hasil standardisasi dengan menggunakan dua kategori
yang ada. Sehingga sangat jelas dalam konsep toleransi atau sikap toleran yang
menjadi standard adalah sama sekali bukan aspek benar atau salah
secara hakiki dari sesuatu, melainkan relevansi realitas sesuatu itu
dengan upaya me-realisir kepentingan tertentu. Sebagai contoh :
apa pun bagian dari suatu agama atau yang diang-gap sangat kental aroma
keagamaannya adalah wajib ditolak atau dijauhkan dari ruang publik mau-pun
ranah politik kenegaraan menurut ketentuan yang digariskan oleh sekularisme.
Dengan kata lain adalah keputusan yang salah (menurut sekularisme) memasukkan
atau menyertakan “sistema perekonomian berbasis syariah Islam” alias ajaran
agama Islam ke dalam penyelenggaraan pereko-nomian negara RI, sebab benar-benar
telah menyalahi katentuan sekularisme : agama harus dipi-sahkan dari politik
dan negara. Namun, mengapa pada faktanya justru “sistema perekonomian
berbasis syariah Islam” itu akhir-akhir ini (paling tidak sejak memasuki tahun
2000) banyak digu-nakan, baik secara mandiri utuh (misal di Bank Muamalat
Indonesia/BMI) maupun sebagai divisi khusus dari bank konvensional tertentu
(Mandiri Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Danamon Syariah atau Jakarta
Islamic Index/JII alias bursa saham syariah dan lain-lain)? Jawabannya adalah seperti
yang telah sejak lama diungkapkan oleh berbagai pihak (pemerintah maupun
swasta) dan di antaranya adalah Menkeu NKRI Dr. Sri Mulyani Indrawati : bahwa
pada awalnya pembentukan sejumlah instrumen perekonomian berbasis syariah
adalah untuk menarik para investor dari ka-wasan Timur Tengah agar mereka mau
menanamkan modalnya di Indonesia. Inilah salah satu ben-tuk implementasi
konsep toleransi atau sikap toleran dalam penyelenggaraan negara yang berbasis
sekularisme dan hakikat ini tidak hanya berlaku pada lini perekonomian suatu
negara melainkan juga pada aspek lainnya : hukum, pendidikan, politik,
keagamaan, ketatanegaraan dan sebagainya.
Jadi, konsep toleransi atau sikap
toleran adalah sebuah pemikiran yang muncul atau bersumber dari konsep
sekularisme yang secara langsung (alias turunan pertamanya) menjadi asas
demokrasi dalam pemerintahan dan kapitalisme dalam perekonomian. Lalu, karena
sekularisme mewajibkan agama dipisahkan sepenuhnya dari ruang publik, politik
dan negara, maka secara otomatis entitas agama dan kehidupan keagamaan adalah
hanya ada dan berlangsung pada tingkat individu alias menjadi urusan pribadi
masing-masing manusia sehubungan dengan Tuhannya (spiritualisme ritua-lisme).
Konsep ini pun mengharuskan pemegang otoritas wilayah negara (pemerintah) : (a)
untuk tidak mencampuri urusan agama dan keagamaan warga negaranya, baik
internal suatu agama mau-pun antar agama, (b) bersikap netral terhadap semua
agama yang ada di wilayah kekuasaannya yakni menjaga jarak yang sama terhadap
seluruh agama tersebut dan (c) menempatkan semua aga-ma secara sama yakni
sama-sama benar serta wajib mencegah segala bentuk gejala ke arah muncul-nya
(secara terbuka) klaim sebagai paling benar dengan kata lain negara wajib
mengamankan dan mengawal pelaksanaan pluralisme.
Oleh karena itu, bila ada suatu agama
(misal Islam) diklaim sebagai paling benar sehingga agama lainnya (Kristen,
Hindu, Budha, Kong Hu Chu) adalah salah atau bila ada upaya dari komunitas
pe-meluk agama tertentu (misal umat Islam) untuk melarang atau menghalangi atau
memusnahkan ek-sistensi agama tertentu yang lain maupun suatu aliran atau sekte
tertentu dari suatu agama (misal Ahmadiyah), maka menjadi kewajiban otoritas
penyelenggara negara (pemerintah) untuk mence-gahnya (bila masih dapat dicegah)
atau memberlakukan sanksi hukum (law enforcement) bila telah menjadi
sebuah insiden (misalnya insiden 1 Juni 2008 di Monas).
Wal hasil, bagaimana mungkin Piagam
Madinah dituduh sebagai rumusan tentang toleransi seperti yang diklaim oleh
Khaeron Sirin, padahal Islam (sumber pemikiran Piagam Madinah) adalah me-nolak
dan mengharamkan dengan pasti realitas tersebut.
Adil (اَلْعَدْلُ) adalah sifat dari
Islam sehingga keadilan (اَلْعَدَلَةُ) adalah bagian dari
syariah Islamiyah sehingga secara otomatis umat Islam pun adalah umat yang وَسَطًا
yakni خِيَارًا عُدُوْلاً atau خِيَارًا
وَأَجْوَدًا.
Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا (البقرة : 143)
Dengan demikian, memang
benar Piagam Madinah dapat dipastikan mensifati keadilan Islam sebab dia adalah
bagian tak terpisahkan dari pemberlakuan seluruh ketentuan Islam yang dipimpin
lang-sung oleh Rasulullah saw selama 10 tahun beliau hidup di Madinah hingga
diwafatkan oleh Allah SWT. Namun, apakah realitas keadilan itukah yang
dimaksudkan oleh Khaeron Sirin saat dia me-nyatakan bahwa Piagam Madinah adalah
rumusan tentang keadilan?
Nampaknya sangat
sulit untuk dikatakan bahwa realitas keadilan yang dia maksudkan adalah
se-perti yang ditunjukkan oleh Al-Baqarah ayat 143, sebab dia mengelompokkan
“keadilan” tersebut dengan “kebebasan, pluralisme dan toleransi”. Sangat
mungkin dia memaksudkan dengan “keadil-an” itu adalah secara realitas
kekinian, atau yang dituntut oleh pola kehidupan saat
ini, atau yang diniscayakan oleh konsep pluralisme itu sendiri.
Realitas kekinian memastikan keadilan itu sebagai berdiri di atas
semua golongan, atau tidak berpihak secara harga mati kepada
golongan tertentu, atau tidak menjadikan golongan mayoritas sebagai diktator
yang menindas golongan minoritas. Pola kehidupan saat ini yang berbasis
sekularisme menuntut bahwa pemerintahan yang adil atau keadilan
suatu pemerintahan adalah sikap mereka yang menempatkan semua golongan
masyarakat terutama yang berlatar agama secara sama dan setara,
tanpa mempertimbangkan apakah golongan tersebut mayoritas ataukah minoritas.
Inilah realitas kehidupan yang diniscayakan oleh pluralisme sendiri, yakni
tidak boleh terjadi adanya golongan mayoritas (terutama berbasis agama) yang
ber-posisi sebagai penentu dan pengendali pola kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Dengan kata lain, pluralisme meniscayakan bahwa pemerintahan dan
kekuasaan dilarang berada dalam gengga-man golongan mayoritas berbasis agama
tersebut, sebab dipastikan tidak akan pernah dapat mewu-judkan keadilan bahkan
sebaliknya hanya akan menimpakkan kekejaman dalam kehidupan. Jadi, keadilan
yang dimaksudkan oleh Khaeron Sirin adalah bukan menurut Islam
melainkan menurut yang diniscayakan oleh pluralisme.
Khaeron Sirin pun mengklaim bahwa masyarakat yang dipimpin oleh
Rasulullah saw di Madinah adalah masyarakat madani, benarkah? Masyarakat madani
atau civil society adalah antithesis dari masyarakat yang dikendalikan
bukan oleh golongan sipil, atau masyarakat yang ditandai oleh tidak adanya
supremasi sipil, atau masyarakat yang dikendalikan oleh pemerintahan diktator
militeristik (walau tidak selalu harus militer yang melakukannya). Menurut para
konseptor masyarakat madani, golongan sipil yakni non militer dan
non agamawan alias golongan netral adalah wajib
menun-jukkan supremasinya dalam pemerintahan dan politik. Hal itu karena, jika
golongan militer yang memegang supremasi dalam pemerintahan dan politik maka
dapat dipastikan akan mewujudkan diktator militeristik. Lalu jika golongan
agamawan yang memegangnya maka dipastikan akan me-rusak bahkan menghancurkan
tatanan yang dituntut harus ada oleh pluralisme. Oleh karena itu, semua
realitas masyarakat madani tersebut sama sekali tidak sesuai dengan realitas
masyarakat Is-lami yang untuk pertama kalinya terwujud di Madinah di bawah
kepemimpinan tunggal Rasulullah saw selaku سُلْطَانًا
وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ
(penguasa dan kepala negara). Jadi, sekali lagi Khaeron Sirin telah
me-nuduh dan menuding Rasulullah saw sebagai telah menyalahi ketentuan Allah
SWT yang mewa-jibkan beliau membentuk masyarakat madani, sedangkan yang beliau
wujudkan adalah justru bu-kan masyarakat madani melainkan masyarakat berbasis
agama (Islam).
2.
Islam mengharamkan sikap syirik (اَلإِشْرَاكُ) dan zhalim (اَلظُّلْمُ) dan itu ditunjukkan oleh banyak dalil
antara lain pernyataan Allah SWT :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (النساء :
48)
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى
عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ
الظَّالِمُونَ (الأنعام : 21)
Oleh karena
itu, tuduhan Khaeron Sirin kepada Khalifah Umar bin Khaththab bahwa beliau
mene-tapkan peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan dalam almanak Islam itu
dengan pertimbangan : Pertama, komitmen ajaran tauhid (monotheisme) sekaligus
penolakan terhadap segala bentuk ke-musyrikan dan kezaliman, adalah tidak
benar karena tidak sesuai dengan fakta dari hijrah itu sen-diri. Hijrah
dilakukan oleh Rasulullah saw semata karena adanya perintah Allah SWT dan itu
sei-ring dengan adanya اَلسَّبَبُ yang menjadikan kewajiban hijrah harus
dilaksanakan. Allah SWT me-nyatakan :
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ
الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا
مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً
فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
(النساء : 97)
Fakta كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ (keadaan kami adalah tertindas di
bumi itu) adalah اَلسَّبَبُ wajib
dilakukan-nya hijrah : فَتُهَاجِرُوا فِيهَا. Jika aspek اَلسَّبَبُ telah wujud di suatu negeri namun penduduk negeri itu tetap
bertahan dan tidak hijrah ke negeri lain, maka mereka telah berdosa (ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ) karena tidak melaksanakan kewajiban
yang ada saat itu yakni hijrah. Inilah yang dipastikan oleh bagian akhir dari
ayat yakni : فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا. Harus diingat bahwa selama di Makkah hingga mencapai puncaknya
pada tahun ke-13 dari اَلْبِعْثَةُ, fakta kehidupan umat Islam yang menjadi اَلسَّبَبُ bagi mereka wajib
melaksanakan hijrah selalu melekat pada mereka yakni ketidak berdayaan (كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ)
untuk memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT dalam kehidupan mere-ka. Lalu
saat Nabi Muhammad saw beserta Muhajirin tiba di Madinah maka seketika itu juga
fakta kehidupan mereka berubah total 100 persen yakni dari كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ
menjadi masyarakat Is-lami dengan wadah دَارُ
الإِسْلاَمِ yang berada dalam
realitas عِزٌّ وَمَنْعَةٌ.
Akibat berikutnya adalah sejak itu hijrah haram dilakukan lagi oleh umat Islam
mana pun yang telah berada sekaligus hidup dalam wadah tersebut (دَارُ الإِسْلاَمِ)
dan inilah maksud yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ فَتْحِ
مَكَّةَ وَلَكِنْ أُبَايِعُهُ عَلَى الْإِسْلَامِ (رواه البخاري)
Peristiwa فَتْحُ مَكَّةَ (penaklukan Negeri Makkah) terjadi
setelah terbentuknya دَارُ الإِسْلاَمِ yang berpusat di
Madinah Al-Munawwarah dan dengan demikian secara otomatis Makkah adalah bagian
tak ter-pisahkan dari دَارُ الإِسْلاَمِ yakni menjadi
salah satu wilayah dari wilayah دَارُ
الإِسْلاَمِ. Oleh karena itu adalah benar (sesuai dengan faktanya) ketika
Makkah telah ditaklukkan maka seluruh realitas hij-rah tidak berlaku lagi dan
haram diberlakukan. Hal itu karena realitas hijrah adalah :
اَلْخُرُوْجُ
مِنْ دَارِ الْكُفْرِ اِلَى دَارِ الإِسْلاَمِ
Makkah adalah دَارُ
الْكُفْرِ saat hijrah dilaksanakan dan Madinah yang menjadi tujuan hijrah
dipasti-kan adalah دَارُ الإِسْلاَمِ, hanya saja سُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ (penguasa dan kepala negara) yakni Nabi Mu-hammad saw masih dalam perjalanan dan belum
tiba di sana. Lalu, apakah ketentuan itu hanya ber-laku bagi Makkah ataukah
juga berlaku bagi negeri mana pun yang telah ditaklukkan? Tentu saja tidak
hanya berkenaan dengan status Negeri Makkah melainkan termasuk negeri mana pun
(اَيُّ بَلَدٍ) yang telah ditaklukkan baik secara
perang (عُنْوَةً) maupun secara damai (صُلْحًا). Inilah yang dimak-sudkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
لَا
هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ
فَانْفِرُوا (رواه البخاري)
Jadi,
hijrah saat itu dilakukan adalah supaya umat Islam yang dipimpin oleh
Rasulullah saw dapat melaksanakan seluruh ketentuan Islam (syariah Islamiyah)
dalam wadah دَارُ الإِسْلاَمِ yang telah
ter-bentuk secara riil pada peristiwa Bai’at Aqabah II. Realitas inilah yang
dijadikan pertimbangan asa-si dan utama (اَسَاسِيًّا
وَرَئِيْسِيًّا) oleh Khalifah Umar bin Khaththab dalam memutuskan untuk
menjadi-kan peristiwa hijrah sebagai awal penghitungan almanak dalam pola
kehidupan Islami. Khalifah Umar tidak diragukan lagi sangat memahami realitas
tersebut, karena beliau sendiri adalah salah satu pelakunya. Apalagi keputusan
tersebut ditetapkan oleh khalifah tidak secara tertutup melain-kan dilihat dan
didengar oleh seluruh sahabat yang hadir di Madinah saat itu dan siapa pun dari
me-reka dapat dengan leluasa menunjukkan penolakannya. Namun ternyata tidak ada
seorang pun yang melakukan sikap itu, sehingga keputusan tersebut otomatis
menjadi Ijma Sahabat (دَلِيْلاً شَرْعِيًّا).
Konsep masyarakat Islami (اَلْمُجْتَمَعُ
الإِسْلاَمِيُّ) tidak mengenal adanya struktur sosial sekaligus tidak
menunjukkan hal tersebut dalam perjalanannya, sejak masa Nabi Muhammad saw
hingga era Kha-lifah terakhir dari barisan Khulafa Rasyidun : Ali bin Abi
Thalib. Realitas masyarakat Islami hanya mengenal adanya penguasa (اَلْحَاكِمُ اَوِ السُّلْطَانُ) dan rakyat (اَلْمَحْكُوْمُ اَوِ الرَّعِيَّةُ ) berikut seluruh aturan yang mengatur
interaksi antara para penguasa tersebut dengan rakyatnya. Inilah yang
ditunjukkan secara pasti oleh banyak dalil antara lain :
فَالْإِمَامُ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ
وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ
إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ
وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ (رواه احمد)
tidak ada seorang Imam atau Wali
pun yang menutup pintu rumahnya untuk menghalangi orang-orang yang memiliki
kebutuhan, mengusir orang-orang faqir dan mengusir orang-orang miskin, kecuali
pastilah Allah ‘Azza wa-jalla akan menutup seluruh pintu langit untuk
menghalangi selu-ruh kebutuhannya
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ
الْجِهَادِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ تُقَالُ لِإِمَامٍ جَائِرٍ (رواه احمد)
Wahai
Rasulullah, jihad manakah yang paling dicintai oleh Allah ‘Azza wajalla? Beliau
berkata : ucapan yang benar yang ditujukan kepada Imam Jair
Inilah
bagian dari peradaban Islami alias Islamic Civilization (اَلْحَضَارَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) yang berkenaan de-ngan masyarakat
dan aturan main bagi interaksi rakyat dan penguasa.
Mungkin yang dimaksudkan oleh Khaeron Sirin dengan
ucapannya : kekuasaan yang otoritatif dan absolut adalah gambaran pasti dari Negara Kufur Makkah yang
dikendalikan oleh kaum kufar Qu-raisy. Bila itu yang dimaksudkan maka ucapan
dia adalah benar karena sesuai dengan realitas nega-ra kufur tersebut. Lalu,
mungkin yang dia maksudkan dengan ungkapan : sistem kekuasaan yang transparan dan
demokratis adalah Negara Islam Madinah yang dikendalikan oleh Rasulullah
saw. Jika itu yang dimaksudkan maka Khaeron
Sirin telah salah dalam mengindera realitas Negara Ma-dinah sehingga dia
simpulkan secara keliru, sangat sembarangan dan sangat sembrono sebagai se-buah
negara yang memiliki sifat transparan dan demokratis. Hal itu karena, tidak
diragukan lagi bahwa antara Islam dan demokrasi tidak memiliki hubungan apa pun
dan lebih dari itu Islam dan demokrasi bertentangan mulai dari aqidah hingga
rincian seluruh peraturan (sistema) yang ada di dalamnya. Bahkan Islam adalah
diametral dari demokrasi dan itu dipastikan oleh konsep dasar da-lam demokrasi
yakni : (a) kedaulatan di tengan rakyat dan (b) rakyat adalah sumber kekuasaan.
3.
sekali lagi, hijrah adalah اَلْخُرُوْجُ
مِنْ دَارِ الْكُفْرِ اِلَى دَارِ الإِسْلاَمِ
dan اَلسَّبَبُ dalam melaksanakannya adalah كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ
(ketidak berdayaan umat Islam untuk memberlakukan seluruh ketentuan Allah
SWT dalam kehidupan mereka). Inilah realitas hijrah yang ditetapkan secara
gamblang oleh seluruh dalil yang ada dalam sumber Islam : Al-Quran dan
As-Sunnah, sekaligus menolak gagasan kisruh yang disodorkan oleh Khaeron Sirin
untuk dilekatkan kepada hijrah : awal migrasi dari kesesatan menuju
ketakwaan, dari keragu-raguan menuju keteguhan hati, dari ketakutan menuju
kekuatan memperjuangkan kebenaran, dan dari kezaliman menuju keadilan.
Apakah dalam pola kehidupan berbasis kekufuran seperti yang berlaku di NKRI,
umat Islam dapat bersikap taqwa, teguh, memi-liki kekuatan untuk memperjuangkan
kebenaran dan memperoleh keadilan? Jawabannya adalah pasti tidak dapat bahkan
tidak mungkin.
4.
bagaimana mungkin Khaeron Sirin menuding Rasulullah saw telah
menjadikan hijrah sebagai eks-perimen alias percobaan menuju masyarakat madani,
padahal hijrah adalah perintah Allah SWT yang wajib dilaksanakan ketika faktor اَلسَّبَبُ telah terwujud melekat
dalam realitas kehidupan umat Islam. Lagipula, jika Rasulullah saw menjadikan
hijrah sebagai eksperimen, maka tentu beliau ada-lah manusia yang paling berani
dalam menentang dan menolak perintah allah SWT. Hal itu karena hijrah dalam
perintah Allah SWT adalah ibadah yang telah ditetapkan tatacara pelaksanaan,
waktu maupun tempat yang menjadi tujuannya. Sehingga ketika dikatakan bahwa
Rasulullah saw telah bereksperimen dengan hijrah, maka itu berarti beliau saw
telah 100 persen melanggar ketentuan Allah SWT tentang perintah hijrah berikut
cara pelaksanaannya. Jika Rasulullah saw telah bersikap seperti itu dalam satu
perintah (hijrah), maka sulit untuk dipastikan aturan Islam mana yang masih
orisinil berasal dari seruan Allah SWT dan mana yang sudah berupa hasil
eksperimen Nabi Mu-hammad saw sendiri. Akibatnya adalah realitas Islam sama
sekali tidak berbeda dari realitas penda-hulunya yakni Agama Taurah dan Agama
Injil. Inilah konsekuensi pasti dari tuduhan dan tudingan kepada Rasulullah saw
bahwa beliau telah menjadikan hijrah sebagai ‘eksperimen’ menuju masya-rakat
madani. Artinya, tidak hanya syariah hijrah yang diragukan yakni apakah benar
dari Allah SWT ataukah hanya rekayasa Nabi Muhammad saw, melainkan seluruh
syariah Islamiyah juga be-rada dalam posisi yang serupa.
Ungkapan Khaeron
Sirin yakni : Tentunya dengan mentransformasikan semangat hijrah tersebut ke
dalam dimensi-dimensi modern kehidupan negara bangsa, memastikan bahwa
dirinya tengah berusaha keras untuk :
a.
menggeret paksa realitas hijrah atau paling tidak semangat hijrah
ke dalam pola kehidupan ne-gara kebangsaan. Artinya, dia memutuskan untuk
mempertahankan negara kebangsaan supaya tetap berlaku dan salah satu caranya
adalah dengan mengimbuhkan Islam kepada fakta perja-lanan negara kebangsaan
tersebut. Dia memberikan contoh bentuk implementasi cara tersebut yakni melalui
gagasan : Dalam hal ini, hijrah dimaknai sebagai upaya mencari strategi baru
untuk merancang dan merumuskan konstitusi dan hukum yang tegas dalam pemberantasan
ko-rupsi.
b.
menggiring opini umat Islam untuk menjadikan negara kebangsaan
sebagai satu-satunya wadah kehidupan mereka di dunia, sedangkan Islam (secara
menyeluruh maupun bagian per bagian) hanya sebagai pelengkap dari perjalanan
negara kebangsaan tersebut, atau Islam itu dapat di-transformasikan
pemberlakuannya dalam wadah negara kebangsaan.
5.
ungkapan : Di era yang semuanya didasarkan atas realita ilmiah,
hijrah Nabi juga penting untuk dimaknai dengan pengertian-pengertian realistis
dan kontekstual, memastikan Khaeron Sirin seba-gai muslim yang kesekian
juta atau bahkan ratus juta yang berhasil dijerat oleh metode ilmiah, lalu dia
(juga mereka) memposisikan metode tersebut pada kedudukan sakral dan menentukan
keabsa-han segala sesuatu, baik yang bersifat materi fisik (مَادِّيَةً) maupun bukan (غَيْرَ مَادِّيَةٍ).
Inilah mengapa dia gunakan metode ilmiah untuk menetapkan makna-makna baru bagi
hijrah dan itu dilakukan de-ngan anggapan bahwa hal itu penting untuk
memperkuat keyakinan umat Islam betapa hijrah Nabi Saw sejatinya memiliki
relevansi terhadap realitas kekinian, utamanya dalam upaya pemberantas-an
korupsi.
Anggapan tersebut menunjukkan bahwa realitas
hijrah yang ditetapkan oleh banyak dalil dalam sumber Islam adalah tidak cukup,
atau tidak sesuai, atau bahkan tidak tepat untuk memaknai hijrah di masa kini.
Menurut dia, makna hijrah saat itu harus diatur, dirancang dan dirumuskan
sedemi-kian rupa sehingga relevan dengan realitas kekinian, sebagai contoh
dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dia nyatakan hijrah adalah upaya
mencari strategi baru untuk merancang dan merumuskan konstitusi dan hukum yang
tegas dalam pemberantasan korupsi. Setelah itu dia katakan secara mantiq (مَنْطِقِيًّا)
atau silogisma (jika begini maka begitu) atau filosofis, bahwa jika hi-jrah tidak
dimaknai dengan pengertian-pengertian realistis dan kontekstual maka
keyakinan umat Islam akan tergerus karena mereka sama sekali
tidak menemukan relevansi hijrah dengan realitas kekinian sebagai contoh dengan
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Anggapan tersebut
dapat dipastikan muncul dari digunakannya metode ilmiah untuk menetapkan
realitas atau hakikat atau sifat sesuatu di luar benda-benda materi fisik (اَلأَشْيَاءُ الْمَادِّيَّةُ),
misalnya rea-litas suatu peristiwa, atau persoalan, atau perjalanan kehidupan,
atau peradaban, atau perbuatan ma-nusia, atau suatu pemikiran dan sebagainya.
Inilah biang keladi munculnya berbagai gagasan kha-yali yang ditujukan atau
dilekatkan kepada sejumlah bagian dari syariah Islamiyah, misalnya :
a.
harta zakat harus digunakan seoptimal mungkin untuk mengentaskan
kemiskinan, atau harta za-kat itu tidak boleh diberikan kepada mustahiq secara
gratisan dan untuk tujuan konsumtif mela-inkan harus dijadikan modal bergulir
serta untuk tujuan produktif, atau mengapa petani yang panen hanya satu musim
sekali (hampir 5 bulan) wajib zakat sedangkan para CEO yang gaji per bulannya
lebih dari 10 kali lipat pendapatan petani dalam satu musim panen, ternyata
tidak wajib zakat dan sebagainya.
b.
seorang muslim yang hajinya mabrur akan tampak dari tingkah
lakunya ketika telah kembali ke kampung halamannya masing-masing, yakni akan
lebih shaleh, lebih santun, lebih tawadlu, le-bih sayang kepada keluarga dan
sebagainya. Dengan kata lain, dia akan semakin meningkat ka-dar kesalehan
sosialnya seiring dengan kesalehan individualnya.
c.
seluruh bagian shalat itu baik ucapan maupun gerakan harus
berdampak sosial tidak hanya ritu-al, sesuai dengan gambaran shalat berjamaah,
atau shalat berjamaah itu adalah gambaran struk-tur kehidupan demokratis dalam
Islam.
d.
shaum adalah upaya Allah SWT untuk memberikan pelajaran kepada
kaum kaya bagaimana penderitaan yang selalu dialami tiap hari oleh kaum miskin
dan sebagainya.
Wal hasil, seluruh gagasan Khaeron Sirin
berkenaan dengan hijrah dan Piagam Madinah tidak di-ragukan lagi adalah salah,
sembarangan dan sembrono sekaligus tidak ada nilainya sama sekali dalam
timbangan Islam bahkan Islam berlepas diri dari itu semuanya. Umat Islam haram
menjadikan gagasan dia sebagai standard, patokan atau menggunakannya sebagai
rujukan dalam melakukan atau tidak me-lakukan sesuatu, baik berhubungan dengan
hijrah, Piagam Madinah, Tahun Baru Islam dan lainnya. Khaeron Sirin telah memastikan
dirinya sebagai bagian dari barisan نَاسٌ
جُهَّالٌ yang dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah
saw :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ
الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ
مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ
فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)
Tahun Baru Islam : adakah dan perlukah
diperingati?
Faktanya istilah Tahun Baru atau New Year
atau اَلْعَامُ الْجَدِيْدُ tidak pernah dikenal dalam kehidupan Islami
yang berlangsung lebih dari 12 abad dan yang pertama kalinya menggagas istilah
tersebut ada-lah Dunia Kristiani : Happy New Year. Jika pun dipaksakan
bahwa dalam kehidupan Islami ada istilah yang dianggap berkenaan dengan
“tahun”, maka itu biasa diucapkan saat Idul Fitri :
تَقَبَّلَ
اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ كُلُّ عَامٍ وَاَنْتُمْ بِخَيْرٍ اَوْ مِنَ
الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ كُلُّ عَامٍ وَاَنْتُمْ بِخَيْرٍ
Nampak
sekali walau dalam ucapan tersebut menyebut “tahun” namun sama sekali tidak ada
kaitannya dengan istilah “Tahun Baru” melainkan sebuah harapan dari seorang
muslim kepada saudaranya seaqi-dah supaya sepanjang tahun yang akan dilalui
sejak Idul Fitri selalu berada dalam بِخَيْرٍ yakni tetap
da-lam pola kehidupan Islami.
Oleh karena itu, dalam kehidupan Islami tidak
pernah dikenal Tahun Baru Islam dan itu semakin tidak dikenal bila
memperhatikan kembali pertimbangan yang digunakan oleh Khalifah Umar dalam
memutuskan menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal dari penanggalan Islami (اَلتَّارِيْخُ الإِسْلاَمِيُّ).
Lagi-pula, kebiasaan (اَلْعُرْفُ) yang menjadikan awal tahun untuk
diperingati atau dirayakan adalah berasal dari atau terjadi di luar Islam dan
di luar Dunia Islam : Dunia Kristiani menjadikan Tahun Baru (1 Ja-nuari)
sebagai rangkaian perayaan dari tanggal 25 Desember, atau Dunia Konfusian
menjadikan Tahun Baru (Cap Go Meh) sebagai rangkaian dari Imlek dan sebagainya.
Lebih dari itu, dalil naqliy banyak menunjukkan (اَمَارَةً) seruan (اَلْخِطَابُ) untuk tidak menyerupai pola kehidupan dan
tingkah laku kaum ku-far baik Yahudi-Nashara maupun lainnya, antara lain
pernyataan Rasulullah saw :
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ
النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ
وَرَسُولُهُ (رواه البخاري)
اَلإِطْرَاءُ
= مُجَاوَزَةُ الْحَدِّ فِيْ الْمَدْحِ
لَا تُطْرُونِي
كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّمَا
أَنَا عَبْدٌ فَقُولُوا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ (رواه احمد)
غَيِّرُوا
الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ (رواه الترمذي واحمد)
غَيِّرُوا
الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى (رواه احمد)
لَتَتْبَعُنَّ
سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ
دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ
وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ (رواه البخاري)
بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى
يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي
وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه احمد)
Seruan
dalam seluruh dalil tersebut adalah طَلَبًا
جَازِمًا لِلتَّرْكِ وَهُوَ حَرَامٌ (tuntutan yang pasti untuk
ditinggal-kan yakni haram). Hal itu karena adanya qarinah celaan (وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي) atau anca-man (حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ), sehingga memberikan faedah طَلَبًا جَازِمًا لِلتَّرْكِ.
Selain itu, Khalifah Umar menetapkan awal
penanggalan dalam kehidupan Islami adalah peristi-wa hijrah adalah bentuk
pelaksanaan dari sejumlah ketentuan Islam yang berhubungan pasti dengan
waktu-waktu (مَوْقُوْتا). Allah SWT menyatakan :
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ (البقرة : 189)
Haji, shaum Ramadlan, Idul Fitri, Idul Adha, Hari Tasyrik,
ukuran setahun (حَوْلاً) untuk harta zakat se-lain hewan
ternak dan ukuran umur bagi zakat ternak, lama berlakunya perjanjian, gencatan
senjata, perdamaian, penarikan kharaj, penarikan jizyah dan lainnya, adalah
syariah Islamiyah yang pelaksana-annya berhubungan pasti dengan waktu. Jadi,
walaupun selama Rasulullah saw dan Khalifah Abu Bakar digunakan penaggalan
Rumiyah (Romawi) artinya boleh saja penanggalan tersebut digunakan, namun
Khalifah Umar menetapkan bahwa segala perkara dalam kehidupan Islami (Khilafah
Islamiyah) wajib berbeda dengan pola kehidupan umat lainnya. Inilah yang dipahamkan
lalu diberlakukan oleh Khalifah Umar dari pernyataan Rasulullah saw :
لَتَتْبَعُنَّ
سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ
دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ
وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ (رواه البخاري)
بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى
يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي
وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه احمد)
Wal hasil, Islam dan kehidupan Islami tidak pernah mengenal
apalagi mengakui istilah maupun realitas “Tahun Baru”, sehingga sama sekali
tidak ada keperluannya untuk disambut, diperingati dan dirayakan. Artinya
tanggal 1 Muharram bukan sebagai 1 Januari yakni bukan Tahun Baru melainkan
sama saja dengan tanggal 1 dari 11 bulan lainnya dalam almanak hijriyah. Selain
dalam Islam tidak ada “Tahun Baru” dan tidak perlu disambut,
diperingati dan dirayakan, juga memposisikan tanggal 1 Mu-harram sebagai sama
dengan tanggal 1 Januari adalah haram dalam Islam karena telah
melanggar hu-kum haram menyerupai ahlil kitab : غَيِّرُوا
الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى (رواه احمد).
Mengapa hijrah dibajak?
Kepastiannya adalah hijrah yang merupakan milik Islam telah dibajak
dengan cara melekatkan makna, pengertian maupun realitas
di luar yang telah ditetapkan serta ditunjukkan oleh dalil dalam sumber-sumber
Islam : Al-Quran dan As-Sunnah. Mengapa pembajakan itu mereka (salah satunya
ada-lah Khaeron Sirin) lakukan? Jawabannya adalah mereka menganggap jika makna,
pengertian dan reali-tas hijrah hanya diambil dari dalil-dalil tersebut, maka
hijrah sama sekali tidak memiliki relevansi de-ngan kehidupan kekinian dan itu
(seperti yang diklaim secara filosofis oleh Khaeron Sirin) akan meng-gerus
keyakinan umat Islam terhadap hijrah itu sendiri.
Tentu saja, anggapan seperti itu muncul akibat mereka menggunakan
metode ilmiah dalam me-netapkan keabsahan segala sesuatu termasuk perkara yang
berada di luar jangkauan peruntukan metode tersebut, misalnya realitas hijrah.
Selain itu, mereka (sadar atau tidak) melakukan pembajakan terhadap hijrah
adalah akibat mereka telah kehilangan orientasi alias dis orientasi
yakni karena mereka “merasa” telah selesai melaksanakan kewajiban untuk
melakukan عَمَلٌ صَالِحٌ mulai dari syahadah hingga haji. Ke-adaan
“telah merasa rampung rapi” tersebut mendorong mereka untuk mencari dan
mengais-ngais ge-rangan apalagi yang harus dilakukan menurut Islam. Lalu,
apakah yang menjadikan mereka terjebak dalam anggapan imajinatif tersebut?
Karena seluruh sikap dan tindakan manusia dikendalikan dan
ditentukan oleh pemahaman mere-ka terhadap kehidupan, maka dapat dipastikan
bahwa munculnya anggapan yang kemudian menjadi si-kap mereka itu adalah karena
pemahaman yang ada adalah muncul dari atau hasil akhir dari proses ber-pikir
yang berbasis sekularisme berikut seluruh pemikiran cabang maupun turunannya.
Mereka telah menjadikan aqidah khayaliyah tersebut sebagai قَنَاعَتُهُمْ اَيْ قَاعِدَتُهُمْ وَقِيَادَتُهُمُ الْفِكْرِيَّةُ (qanaah
mereka yakni aturan main berikut kepemimpinan berpikir mereka), sehingga
pasti akan mereka pertahankan bahkan walau harus dengan mengorbankan nyawa
sekali pun.
Hadist Nabi Muhammad saw berkenaan dengan الْكَذِبُ (bohong alias dusta) :
أَيُّهَا النَّاسُ مَا
يَحْمِلُكُمْ عَلَى أَنْ تَتَابَعُوا فِي الْكَذِبِ كَمَا يَتَتَابَعُ الْفَرَاشُ
فِي النَّارِ كُلُّ الْكَذِبِ يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ آدَمَ إِلَّا ثَلَاثَ خِصَالٍ
رَجُلٌ كَذَبَ عَلَى امْرَأَتِهِ لِيُرْضِيَهَا أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ فِي خَدِيعَةِ
حَرْبٍ أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ بَيْنَ امْرَأَيْنِ مُسْلِمَيْنِ لِيُصْلِحَ
بَيْنَهُمَا (رواه احمد)
لَا يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلَّا فِي
ثَلَاثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ
وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ (رواه الترمذي)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ
شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ
كَذِبُ الرَّجُلِ مَعَ امْرَأَتِهِ لِتَرْضَى عَنْهُ أَوْ كَذِبٌ فِي الْحَرْبِ
فَإِنَّ الْحَرْبَ خَدْعَةٌ أَوْ كَذِبٌ فِي إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ (رواه
احمد)
حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ
سُلَيْمَانَ الْجِيزِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَسْوَدِ عَنْ نَافِعٍ يَعْنِي ابْنَ
يَزِيدَ عَنْ ابْنِ الْهَادِي أَنَّ عَبْدَ الْوَهَّابِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ
حَدَّثَهُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أُمِّهِ
أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ قَالَتْ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنْ الْكَذِبِ إِلَّا فِي
ثَلَاثٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا
أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلَا
يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ وَالرَّجُلُ يَقُولُ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ
يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا (رواه ابو داود)
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ
قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنَ
الْهَادِ عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أُمِّهِ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ قَالَتْ
مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِي
شَيْءٍ مِنْ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الرَّجُلِ يَقُولُ الْقَوْلَ يُرِيدُ
بِهِ الْإِصْلَاحَ وَالرَّجُلِ يَقُولُ الْقَوْلَ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلِ
يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةِ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا (رواه احمد)
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ
حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أُمِّهِ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ أَنَّهَا
قَالَتْ رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْكَذِبِ فِي
ثَلَاثٍ فِي الْحَرْبِ وَفِي الْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ وَقَوْلِ الرَّجُلِ
لِامْرَأَتِهِ (رواه احمد)
blog nya baru ya sahabat?
ReplyDeleteterus update blog ini..
biar makin banyak manfaat nya
pastinya kalu ada makalh lain lagi
DeleteThanks infonya//
ReplyDeletesama-sama ..
Delete