Thursday, November 29, 2012

INIKAH CARA MEMPOSISIKAN ISLAM ?


Harusnya mereka diam saja!
Kota Paris pada tanggal 24-25 Maret 2009 lalu telah menjadi tempat penyelenggaraan Sidang De-wan Eksekutif Organisasi Kepemimpinan Rakyat Islam Sedunia (KRIS) atau World Islamic People’s Leadership dan menyepakati berbagai hal terkait strategi Dunia Islam dalam menghadapi tantangan global dan krisis multidimensi. Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) KRIS yang mewakili Benua Asia Din Syamsuddin yang juga Ketum PP Muhammadiyah pada forum tersebut menyatakan : inilah saat-nya bagi Dunia Islam untuk mengajukan solusi bagi kerusakan peradaban yang ditandai dengan ke-miskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan hidup serta kekerasan dengan perang. Kerusakan perada-ban yang terjadi saat ini juga diperburuk aneka krisis, seperti pangan, energi, lingkungan hidup dan keuangan. Aneka krisis yang tengah mencengkeram saat ini terjadi akibat sistem dunia yang anti Tu-han. Dunia memerlukan sistem alternatif yang tak hanya mengedepankan aspek materiil tapi juga spi-ritual. Saat ini diperlukan paradigma baru yang dapat membawa manfaat bagi manusia dan kemanu-siaan, yakni Sustainable Development with Meaning atau Pembangunan Berkelanjutan dengan Mak-na. Dalam bidang ekonomi, sistem itu memadukan pertumbuhan dalam pemerataan. Sedangkan dalam bidang politik, mendorong demokrasi yang tetap bertumpu pada nilai etika dan moral. Kongres KRIS yang akan digelar Oktober 2009 di Tripoli Libya diharapkan mampu merumuskan strategi Dunia Is-lam untuk ikut membangun kembali tatanan dunia baru yang lebih berkeadilan dan berperadaban.
KRIS adalah organisasi yang menghimpun para pemimpin Islam sedunia untuk membina dan menggerakkan potensi rakyat Islam agar bangkit menuju kemajuan. KRIS merupakan organisasi Islam dunia yang berbasis di Tripoli Libya dan hingga saat ini dipimpin oleh Sekjen Ahmad Muhammad Sha-rif dari Libya.
Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor pada hari Rabu 25 Maret 2009 lalu telah menjadi tempat Mukernas (Musyawarah Kerja Nasional) Ulama Al-Quran dan mengeluarkan himbauan kepada para calon anggota legislatif (caleg) untuk tidak menggunakan ayat-ayat suci Al-Quran untuk kepentingan sesaat, terutama pada masa kampanye. Berikut ini adalah pernyataan dari sejumlah ulama yang hadir dalam Mukernas tersebut :
1.       Menteri Agama (Menag) NKRI Maftuh Basyuni : janganlah ayat-ayat suci Al-Quran dijual murah, hanya sekadar untuk menarik suara dalam pemilu. Pemilu kan sifatnya hanya sementara, sedang-kan ajaran Al-Quran adalah ajaran agama yang sifatnya abadi, yang tidak boleh dikorbankan be-gitu saja. Menjelang digelarnya Pemilu 2009, saya mengajak para ulama dan tokoh masyarakat untuk meneguhkan kembali tekad memelihara persatuan dan kesatuan dalam wadah persaudaraan sebangsa dan setanah air. Pemilu hanyalah sebuah proses dan jalan untuk memakmurkan dan me-nyejahterakan rakyat. Maka, sangatlah naif bila kita terjebak dalam kemelut proses yang berke-panjangan, sementara tujuan yang sebenarnya terlupakan. Kita berharap, persatuan dan kesatuan bangsa tidak tergadaikan oleh kepentingan pribadi dan kelompok.
2.       Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Nangroe Aceh Darussalam (NAD) Prof. Tengku Muslim Ibrahim : peringatan Menteri Agama itu sangat penting, apalagi buat saya pribadi. Politik sekarang banyak tidak benarnya, walaupun sebenarnya antara Islam dan politik tidak bisa dipi-sahkan. Ayat-ayat suci Al-Quran tak boleh dipolitisasi, saat saya masih kecil sering mendengar ayat-ayat Al-Quran digunakan untuk kepentingan politik sehingga maknanya jadi menyimpang. Sa-ya menghimbau agar para caleg dan politisi tak menjual ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan se-saat.
3.       Direktur Tarbiyah Masjid Al-Falaah Surabaya Prof. KH. Roem Rowi : jangan sampai ayat-ayat suci Al-Quran digunakan untuk kepentingan sesaat yakni untuk kepentingan pemilu. Kan ayatnya sudah jelas di dalam Al-Quran, walaa tasytaruu biayaatii tsamanan qolilan (janganlah kalian jual beli ayat-ayat Ku dengan harga yang murah). Bukan berarti pula dengan harga yang mahal ayat-ayat Al-Quran juga diperbolehkan untuk dijual. Harga murah itu karena semua dunia dan seisinya ini murah sekali bagi Allah SWT.
4.       Ketua Majelis Ulama (MUI) Jawa Barat KH. Hafidz Usman : apa yang disampaikan Menteri Aga-ma sangat baik sekali. Jangan sampai ayat-ayat suci Al-Quran dijual dengan harga murah, karena momentum sekarang ini merupakan momentum yang sangat bahaya sekali, jika mereka (caleg) menggunakan ayat suci Al-Quran tapi hanya untuk kepentingan sesaat. Sesungguhnya Al-Quran merupakan pedoman hidup manusia, bukan untuk satu kelompok dan tak boleh digunakan bagi ke-pentingan sesaat saja, apalagi jika hanya untuk dipermainkan. Mudah-mudahan semuanya bisa memahami. Karena, memang sesungguhnya Al-Quran itu adalah pegangan hidup manusia dan bu-kan untuk kepentingan sesaat. Terutama, hanya untuk mendapatkan suara dalam pemilihan umum.
5.       Ketua MUI Pusat KH. Ma’ruf Amin : sah-sah saja bila ayat-ayat Al-Quran digunakan para caleg untuk berkampanye, asalkan dalam konteks yang benar. Misalkan menjadi pemimpin yang rahma-tan lil alamin dan ayatnya disesuaikan. Ayat-ayat Al-Quran tak boleh digunakan dalam kampanye jika para caleg tidak tepat dalam memaknainya. Tapi kalau ayatnya benar, ya tak apa-apa, tidak ada masalah.
Demikianlah, keseluruhan “ocehan” para tokoh tersebut memaksa munculnya sebuah pertanyaan yakni inikah atau beginikah cara memposisikan Islam? Pertanyaan tersebut sangat wajar mengemuka dan disodorkan kepada mereka serta umat Islam, sebab mereka sampai detik ini masih “ngotot” mengaku diri sebagai beragama Islam serta dengan penuh percaya diri mengatasnamakan Islam dan umat Islam. Pertanyaan itu juga merupakan sebuah ekspresi pemikiran menelaah dan mengkaji terhadap berbagai ucapan maupun sikap mereka selama ini termasuk yang paling mutakhir tersebut.
Ketum PP Muhammadiyah menyatakan bahwa telah terjadi kerusakan peradaban yang ditandai dengan kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan hidup serta kekerasan dengan perang dan itu di-perburuk oleh adanya aneka krisis, seperti pangan, energi, lingkungan hidup dan keuangan. Lalu Din mengajukan sebuah solusi yakni : aneka krisis yang tengah mencengkeram saat ini terjadi akibat sis-tem dunia yang anti Tuhan. Dunia memerlukan sistem alternatif yang tak hanya mengedepankan aspek materiil tapi juga spiritual. Saat ini diperlukan paradigma baru yang dapat membawa manfaat bagi manusia dan kemanusiaan, yakni Sustainable Development with Meaning atau Pembangunan Berke-lanjutan dengan Makna. Din pun memastikan bahwa untuk mewujudkan hal itu diperlukan peran aktif Dunia Islam dan itu dapat direalisir melalui KRIS (akan digelar Oktober 2009 di Tripoli Libya) yang diharapkan mampu merumuskan strategi Dunia Islam untuk ikut membangun kembali tatanan dunia baru yang lebih berkeadilan dan berperadaban. Aspek with Meaning yang dimaksudkan oleh Din ada-lah : dalam bidang ekonomi, sistem itu memadukan pertumbuhan dalam pemerataan. Sedangkan dalam bidang politik, mendorong demokrasi yang tetap bertumpu pada nilai etika dan moral.
Dengan demikian, maksud Din dengan tatanan dunia baru yang lebih berkeadilan dan berper-adaban dapat dipastikan adalah penyelenggaraan kehidupan manusia di dunia dengan sistem pereko-nomian kapitalisme dan sistem pemerintahan demokrasi yang telah disempurnakan dengan aspek spiri-tual maupun ke Tuhanan yang diambil atau berasal terutama dari agama Islam. Benarkah yang dimak-sudkan Din dengan Dunia memerlukan sistem alternatif yang tak hanya mengedepankan aspek materiil tapi juga spiritual, itu adalah Islam? Tentu saja demikian, sebab dia menghubungkan dengan pasti an-tara ucapannya tersebut dengan harapan dia sendiri kepada Kongres KRIS agar dapat membuat rumus-an strategi Dunia Islam untuk ikut membangun kembali tatanan dunia baru yang lebih berkeadilan dan berperadaban. Sehingga sangat jelas aspek spiritual maupun ke Tuhanan yang dimaksudkan adalah Is-lam atau dari Islam bukan agama atau dari agama yang lain, karena semesta pembicaraannya adalah umat Islam dan Dunia Islam. Maksudnya tersebut semakin dia tegaskan melalui ucapan : sedangkan dalam bidang politik, mendorong demokrasi yang tetap bertumpu pada nilai etika dan moral, yakni bertumpu pada nilai etika maupun moral yang ada dalam Islam atau menurut Islam.
Jadi, ketika Din menyatakan : inilah saatnya bagi Dunia Islam untuk mengajukan solusi bagi ke-rusakan peradaban, tentu saja yang dia maksudkan sama sekali bukan menjadikan Islam dan perada-bannya (اَلإِسْلاَمُ وَحَضَارَتُهُ) sebagai pengganti secara totalitas (كَافَّةً) peradaban kufur kapitalistik sekularis-tik (اَلْحَضَارَةُ الرَّأْسُمَالِيَّةُ الْعِلْمَانِيَّةُ) melainkan menjadikan Islam berikut peradabannya sebagai penyempurna dan pelengkap untuk semua kekurangan yang ada pada peradaban kufur tersebut maupun berbagai kerusakan kemanusiaan yang timbul akibat pemberlakuannya dalam kehidupan dunia. Inilah kepasti-an loyalitas (اَلْوَلاَءُ) Ketum Muhammadiyah kepada kaum kufar dan kekufurannya : kapitalisme dan de-mokrasi sekularistik. Loyalitas tersebut bahkan dari hari ke hari semakin dia mantapkan dan kokohkan dengan berbagai cara melalui sejumlah forum antara lain World Islamic People’s Leadership maupun CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations). Sehingga Prof. Din Syamsuddin benar-benar telah berada dalam realitas yang diharamkan oleh Islam seperti yang dinyatakan oleh Allah SWT dalam ayat :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ (المائدة : 51)
“wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan kaum Yahudi dan Nashara sebagai auliya karena mereka adalah auliya satu sama lainnya. Dan siapa saja di antara kalian yang menja-dikan mereka sebagai auliya, maka dia adalah bagian dari mereka”.
Imam Al-Qurthubiy menjelaskan bagian ayat فَإِنَّهُ مِنْهُمْ dengan ungkapan  اَنَّ حُكْمَهُ كَحُكْمِهِمْ : bahwa status hukum dia adalah sama persis dengan status hukum mereka. Jadi ketika Allah SWT menyatakan :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة : 29)
“perangilah oleh kalian (umat Islam) orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak beri-man kepada hari akhir dan mereka tidak mengharamkan segala perkara yang telah Allah dan Rasul-Nya haramkan dan mereka tidak beragama dengan agama yang benar (Islam) yakni mereka itu adalah orang-orang yang diberikan kepada mereka Kitab (Taurah dan Injil), hingga mereka bersedia membe-rikan jizyah dengan tangan mereka sendiri dalam keadaan mereka tunduk patuh”.
maka Prof. Din Syamsuddin dan lain-lain dari kalangan umat Islam yang bersikap serupa dengan dia adalah terkena oleh bidikan pernyataan Allah SWT tersebut persis seperti kaum Yahudi dan Nashara, yakni wajib dibunuh.
Menag Maftuh Basyuni, Ketua MPU NAD Prof. Tengku Muslim Ibrahim, Direktur Tarbiyah Masjid Al-Falaah Surabaya Prof. KH. Roem Rowi dan Ketua MUI Jawa Barat KH. Hafidz Usman se-pakat untuk melarang para caleg dan politisi menggunakan ayat-ayat Al-Quran dalam kampanye mere-ka untuk menarik suara rakyat dalam pemilu 2009. Argumen yang mendasari ketidaksetujuan mereka itu adalah seperti yang diungkap oleh Prof. KH. Roem Rowi : Kan ayatnya sudah jelas di dalam Al-Quran, walaa tasytaruu biayaatii tsamanan qolilan (janganlah kalian jual beli ayat-ayat Ku dengan harga yang murah). Lalu, bagaimana berkenaan dengan persoalan tersebut? Bagaimana pula dengan si-kap Ketua MUI Pusat KH. Ma’ruf Amin yang tidak sependapat dengan mereka?
Hal-hal yang harus dibahas dalam atau sehubungan dengan himbauan Mukernas Ulama Al-Quran kepada para caleg untuk tidak menggunakan ayat-ayat suci Al-Quran untuk kepentingan sesaat, teruta-ma pada masa kampanye, adalah :
1.       seputar ayat-ayat Al-Quran yang di dalamnya ada lafadz لاَ تَشْتَرُوْا atau اِشْتَرَوْا atau يَشْتَرُوْنَ dan berhu-bungan dengan ungkapan بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا. Ayat-ayat yang dimaksudkan adalah :
يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ وَءَامِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ (البقرة : 40-41)
Karena ayat ini diawali dengan seruan (اَلنِّدَاءُ) kepada Bani Israil : يَابَنِي إِسْرَائِيلَ dan tidak ada lafadz umum yang menjadikannya berlaku untuk selain mereka, maka seluruh ketentuan yang ada di da-lamnya baik berupa perintah maupun larangan adalah hanya berlaku khusus bagi mereka termasuk bagian ayat وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا.
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة : 44)
Ayat ini diawali dengan pernyataan إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا, sehingga seluruh ketentuan yang ditunjukkan oleh ayat adalah informasi kepada umat Islam tentang macam-macam perintah maupun larangan Allah SWT yang berlaku bagi kaum Yahudi berikut tokoh-tokoh mereka (لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ) dan seluruhnya ada dalam Taurah termasuk bagian ayat وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا.
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ (البقرة : 16)
Ayat ini merupakan rangkaian informasi seputar sikap kaum munafiq terhadap Nabi Muhammad saw dan Islam yang dimulai pada ayat 8 (وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ) dan ayat 16 tersebut merupakan kesimpulan dari seluruh sikap mereka terhadap Islam yakni hakikat sikap mereka adalah menolak mentah-mentah seluruh ketentuan Allah SWT dalam Islam (الْهُدَى) sekali-gus memastikan diri mereka untuk memilih dan berpihak kepada kekufuran (الضَّلَالَةَ). Realitas sikap mereka itulah yang diungkap oleh Allah SWT dengan istilah “membeli” (اشْتَرَوُا), yakni membeli الضَّلَالَةَ dengan الْهُدَى. Artinya mereka membuang jauh-jauh الْهُدَى dan memeluk erat sekaligus mem-berlakukan الضَّلَالَةَ.
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ لَا تَسْفِكُونَ دِمَاءَكُمْ وَلَا تُخْرِجُونَ أَنْفُسَكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ ثُمَّ أَقْرَرْتُمْ وَأَنْتُمْ تَشْهَدُونَ ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ (البقرة : 83-86)
Seluruh ketentuan Allah SWT (perintah dan larangan yang diungkap dengan : مِيثَاقٌ) yang diinfor-masikan dalam ayat ini kepada Nabi Muhammad saw adalah berlaku bagi Bani Israil, sebab ayat ini diawali dengan pernyataan untuk diperhatikan : وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ. Lalu sikap Bani Israil yang menyalahi dan melanggar seluruh ketentuan tersebut diungkapkan oleh Allah SWT dengan istilah : أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ (البقرة : 174-175)
Ayat ini diawali dengan pernyataan إِنَّ الَّذِينَ dan ungakapan itu bersifat umum sehingga haramnya sikap يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ dan وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا adalah berlaku bagi siapa saja termasuk umat Islam maupun pendahulu mereka (Yahudi dan Nashara). Kedua sikap yang diharamkan tersebut di-gambarkan sebagai أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ.
إِنَّ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (آل عمران : 177)
Karena ayat ini diawali dengan pernyataan إِنَّ الَّذِينَ, maka haramnya sikap اشْتَرَوُا الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ adalah berlaku secara umum bagi siapa saja termasuk umat Islam.
اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِهِ إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (التوبة : 9)
Ayat ini didahului oleh informasi tentang kaum musyrik pada ayat 7 dan 8, sehingga pernyataan Allah SWT اشْتَرَوْا بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا adalah realitas sikap kaum musyrik tersebut sehubungan dengan eksistensi Islam dan Nabi Muhammad saw.
إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ لَا خَلَاقَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (آل عمران : 77)
Haramnya bersikap يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا yang ditetapkan dalam ayat ini adalah berlaku ba-gi siapa saja termasuk umat Islam, sebab ayat diawali dengan إِنَّ الَّذِينَ yang bersifat umum.
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ (آل عمران : 187)
Bagian awal ayat yang diungkap dengan وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ memastikan bahwa sikap فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا adalah sikap ahlul kitab (Yahudi dan Nashara) dan sikap mereka tersebut telah diharamkan oleh Allah SWT melalui bagian akhir ayat : فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ.
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (آل عمران : 199)
Bagian awal ayat ini yang berbunyi وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ memastikan bahwa tidak semua ahlul kitab bersikap maksiat kepada Allah SWT dengan menyalahi seluruh ketentuan Nya. Sikap mereka di-gambarkan : لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ (النساء : 44)
Bagian ayat أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ memastikan bahwa sikap يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ adalah realitas sikap sebagian sangat besar dari ahlul kitab.
Oleh karena itu, haramnya bersikap يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا yang ada pada البقرة : 40-41, المائدة : 44, البقرة : 83-86, آل عمران : 187, آل عمران : 199, dan النساء : 44, adalah berlaku bagi Bani Israil alias ahlul kitab yakni Yahudi dan Nashara. Faktanya mereka selalu melanggar ketentuan Allah SWT tersebut kecuali sebagian kecil dari mereka seperti yang ditunjukkan oleh آل عمران : 199. Demikian juga ayat البقرة : 16 adalah realitas sikap kaum munafiq sehingga diharamkannya sikap itu khusus bagi mereka. Hal yang serupa ditunjukkan oleh التوبة : 9 yang menginformasikan realitas sikap ka-um musyrik, sehingga sikap itu hanya diharamkan atas mereka. Jadi, diharamkannya bersikap يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا yang berlaku bagi umat Islam adalah bukan yang ditunjukkan oleh ayat-ayat tersebut, melainkan oleh ayat lainnya yakni : البقرة : 174-175, آل عمران : 77, آل عمران : 177. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan ungkapan يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا?
Upaya memahami ungkapan tersebut harus diawali dengan memahami realitas بِآيَاتِ اللَّهِ, sebab ini-lah yang merupakan tema pembahasan (مَوْضُوْعُ الْبَحْثِ) ayat-ayat tersebut. Artinya yang diharamkan oleh Allah SWT bukan sembarang menjual/menukar (اَيُّ اِشْتِرَاءٍ) melainkan اِشْتِرَاءٌ بِآيَاتِ اللَّهِ, sehingga objek hukum (مَنَاطُ الْحُكْمِ) yang diharamkan yakni اِشْتِرَاءٌ بِآيَاتِ اللَّهِ tersebut dapat direalisir (اَلتَّحْقِيْقُ) un-tuk ditinggalkan dengan tepat.
Bagian pernyataan Allah SWT وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا pada البقرة : 40-41 ternyata didahului oleh وَءَامِنُوا بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ dan diikuti oleh وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ, sehingga :
a.       realitas بِآيَاتِي dipastikan oleh bagian بِمَا أَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَكُمْ yang dalam hal ini adalah Al-Quran. Secara umum realitas بِآيَاتِي atau بِآيَاتِ اللَّهِ ditunjukkan oleh seluruh ayat yang memuat salah satu dari kedua bentuk tarkib tersebut atau berkenaan dengan tema tersebut (اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى atau اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ atau اشْتَرَوُا الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ atau يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ atau يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ) yakni
مَا اَنْزَلَ اللهُ عَلَى رُسُلِهِ مِنَ الْحُكْمِ وَالشَّرِيْعَةِ وَالنِّظَامِ اَيِ الْهُدَى لِلْحَيَاةِ الإِنْسَانِيَّةِ فِيْ الدُّنْيَا
Segala perkara yang telah Allah turunkan kepada para Rasul Nya berupa hukum, syariah dan sistem atau dengan kata lain adalah hidayah untuk kehidupan manusia di dunia.
Realitas ini juga ditunjukkan secara gamblang oleh pernyataan Allah SWT :
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا أُولَئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ (البقرة : 174-175)
Bagian إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا memastikan realitas dari بِآيَاتِ اللَّهِ, yakni مَا اَنْزَلَ اللهُ عَلَى رُسُلِهِ مِنَ الْحُكْمِ وَالشَّرِيْعَةِ وَالنِّظَامِ اَيِ الْهُدَى لِلْحَيَاةِ الإِنْسَانِيَّةِ فِيْ الدُّنْيَا.
b.      realitas sikap اِشْتِرَاءٌ بِآيَاتِ اللَّهِ adalah dijelaskan oleh perintah وَءَامِنُوا dan وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ, juga larangan وَلَا تَكُونُوا أَوَّلَ كَافِرٍ بِهِ, yakni كُفْرُ الشَّخْصِ بِمَا اَنْزَلَ اللهُ وَتَرْكُهُ تَقْوَى اللهِ : sikap kufur seseorang kepada se-gala perkara yang telah Allah turunkan serta dia meninggalkan taqwa kepada Allah. Sikap ini merupakan realitas sebaliknya dari sikap yang wajib dilakukan oleh manusia, seperti yang ter-ungkap oleh bagian لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيلًا dari آل عمران : 199.
c.       realitas ثَمَنًا قَلِيلًا adalah bukan realitas bahasa melainkan realitas istilah yang ditunjukkan oleh se-luruh dalil itu sendiri. Sikap اِشْتِرَاءٌ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً disamakan dengan sikap اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى atau اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ atau اشْتَرَوُا الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ atau يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَأَيْمَانِهِمْ atau يَشْتَرُونَ الضَّلَالَةَ, sehingga dapat dipastikan bahwa realitas ثَمَنًا قَلِيْلاً adalah :
اَلْكُفْرُ وَالضَّلاَلَةُ وَكَوْنُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا دُوْنَ نِظَامٍ مِنَ اللهِ اَيْ كَوْنُهَا بِنِظَامٍ كَسَبَتْهُ اَيْدِي النَّاسِ
Kekufuran, kesesatan dan realitas kehidupan dunia tanpa aturan dari Allah atau realitas kehi-dupan dunia dengan menggunakan aturan yang dibuat oleh tangan manusia sendiri.
Wal hasil, himbauan mereka untuk tidak menggunakan ayat-ayat Al-Quran dalam kampanye pemilu 2009, bahkan mereka menolak dan tidak setuju terhadap aksi tersebut adalah sama seka-li tidak ada nilainya dalam pandangan Islam dan sama sekali bukan bentuk pembelaan terha-dap Islam itu sendiri. Hal itu karena berdasarkan realitas sikap اِشْتِرَاءٌ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً tersebut lalu memetakan dan menerapkannya kepada fakta sikap mereka selama ini bahkan hingga detik ini, maka diperoleh sebuah kesimpulan yang pasti yakni justru merekalah yang paling serius dan paling getol dalam melakukan aksi اِشْتِرَاءٌ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً alias كَانُوْا يَشْتَرُوْنَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَنًا قَلِيْلاً.
Adapun tentang pernyataan Ketua MUI Pusat KH. Ma’ruf Amin yakni sah-sah saja bila ayat-ayat Al-Quran digunakan para caleg untuk berkampanye, asalkan dalam konteks yang benar. Misalkan menjadi pemimpin yang rahmatan lil alamin dan ayatnya disesuaikan. Ayat-ayat Al-Quran tak boleh digunakan dalam kampanye jika para caleg tidak tepat dalam memaknainya. Tapi kalau ayatnya benar, ya tak apa-apa, tidak ada masalah, memang merupakan pemikiran atau gagasan yang sangat kacau balau dan amburadul, namun sangat jujur. Fakta pemikiran-nya yang sangat kacau balau dan amburadul ditunjukkan secara pasti oleh ketidakmampuan-nya dalam membedakan mana Islam dan mana kekufuran (demokrasi) : Misalkan menjadi pe-mimpin yang rahmatan lil alamin dan ayatnya disesuaikan. Sedangkan aspek “sangat jujur” yang dia miliki adalah karena dia tidak sungkan-sungkan dan tidak pura-pura untuk menyata-kan dengan tegas adalah halal menjadikan Islam sebagai hiasan, asesoris dan pelengkap bagi sistem demokrasi.
2.       realitas hubungan antara Al-Quran sebagai sumber hukum Islam dengan Pemilu 2009.
Perdebatan maupun perbedaan pendapat yang terjadi di antara para fuqaha dan mujtahid pasca ge-nerasi sahabat Nabi Muhammad saw tentang sumber hukum dalam Islam (مَصَادِرُ الْحُكْمِ فِيْ الإِسْلاَمِ) ternyata tidak berlaku untuk Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka sepakat bulat bahwa Al-Quran dan As-Sunnah adalah dua sumber hukum dalam Islam yang tidak perlu diperdebatkan lagi bahkan menempati perkara yang terkategori مَعْلُوْمٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ. Oleh karena itu, jika ada seorang pun da-ri kalangan umat Islam saat ini yang mempersoalkan atau mencoba mempersoalkan realitas kedu-dukan Al-Quran dan As-Sunnah tersebut, maka tidak diragukan lagi dia telah kufur dan keluar dari Islam secara pasti. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ أَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَءَامَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَى مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ (محمد : 1-3)
“orang-orang yang bersikap kufur dan menghalangi manusia dari jalan Allah, pastilah Allah akan menyesatkan perbuatan mereka. Dan orang-orang yang beriman serta melakukan amal saleh dan mereka beriman kepada semua yang telah diturunkan kepada Muhammad dan itu adalah al-haq dari Rab mereka, pastilah Allah akan melayakkan kehidupan mereka. Hal itu karena orang-orang yang bersikap kufur hanya mengikuti al-bathil dan karena orang-orang yang beriman hanya me-ngikuti al-haq dari Rab mereka. Demikianlah Allah menetapkan bagi manusia perumpamaan rea-litas kehidupan mereka”.
Adapun realitas Pemilu (the elections alias اَلإِنْتِخَابُ) baik untuk 2009, yang sebelumnya maupun yang akan datang di NKRI bahkan di seluruh negara kebangsaan yang ada di dunia termasuk Ame-rika Serikat (AS), adalah bagian tak terpisahkan dari atau memang diselenggarakan dalam naungan sistem pemerintahan demokrasi. Realitas ini adalah pasti dan tidak ada seorang pun baik kalangan awam maupun negarawan dan politisi yang menyatakan pendapat serta opini yang berbeda, karena ini adalah sifat fakta dari demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu, antara Al-Quran dengan Pemilu 2009 adalah sama sekali tidak ada hubungannya bahkan Islam yang bersumber dari Al-Quran tersebut mengharamkan realitas demokrasi berikut seluruh konsep cabang maupun turunannya, termasuk pemilu. Sehingga seluruh umat Islam haram menurut Islam terlibat (aktif maupun pasif) dalam seluruh rangkaian prosesi pemilu tersebut di ma-na pun termasuk di NKRI.
3.       Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia.
Ketua Majelis Ulama (MUI) Jawa Barat KH. Hafidz Usman menyatakan : Sesungguhnya Al-Quran merupakan pedoman hidup manusia, bukan untuk satu kelompok dan tak boleh digunakan bagi ke-pentingan sesaat saja, apalagi jika hanya untuk dipermainkan. Benarkah pemikiran sang kiyai dan apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan “pedoman hidup” tersebut?
Jika “pedoman hidup” yang dimaksudkan adalah untuk mewakili pernyataan Al-Quran sendiri yang ditegaskan dalam ayat :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ (البقرة : 185)
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ لِتَشْقَى (طه : 2)
maka pemikiran tersebut adalah benar karena sesuai dengan realitas posisi Al-Quran itu sendiri yakni sebagai sumber hukum alias sumber hidayah untuk kehidupan manusia di dunia. Namun, apakah itu yang dimaksudkan oleh Ketua MUI Jawa Barat tersebut? Menilik seluruh pernyataannya sangat jelas bahwa sang kiyai tidak mempersoalkan demokrasi maupun pemilu melainkan hanya menolak dan melarang penggunaan ayat-ayat Al-Quran dalam kampanye pemilu untuk menarik suara pemilih alias rakyat dari kalangan umat Islam. Padahal sangat telah jelas bahwa demokrasi adalah haram begitu juga mengambil dan menggunakannya sebagai sistem kehidupan bagi manu-sia, sehingga pernyataan atau pemikiran dia tentang Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia sa-ngat sulit untuk dianggap sebagai bentuk penterjemahan dari البقرة : 185 maupun طه : 2. Hal itu karena dengan hanya menolak penggunaan ayat-ayat Al-Quran dalam kampanye pemilu maka se-cara otomatis dia sangat setuju dengan pemilu tersebut bahkan menghalalkannya. Oleh karena itu, seharusnya dia jujur saja bahwa yang dimaksudkan bukan Al-Quran yang berposisi sebagai “pedo-man hidup” melainkan demokrasi, sedangkan Al-Quran hanya pelengkap atau penyempurnanya.
Jadi, seluruh pemikiran, pernyataan maupun sikap mereka itu (Menag Maftuh Basyuni, Ketua MPU NAD Prof. Tengku Muslim Ibrahim, Direktur Tarbiyah Masjid Al-Falaah Surabaya Prof. KH. Roem Rowi, Ketua MUI Jawa Barat KH. Hafidz Usman, Ketua MUI Pusat KH. Ma’ruf Amin, Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan lainnya yang sejenis dengan mereka) memastikan seharus-nya mereka semua diam saja, sebab sama sekali tidak memahami Islam maupun kekufuran. Itu pun ji-ka mereka masih mengklaim diri sebagai كَانُوْا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ. Rasulullah saw menyatakan :
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (رواه البخاري)
“dan siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berucaplah yang benar (sesuai de-ngan Islam) atau diam sajalah”.
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ (رواه احمد)
“dari bukti bagusnya keIslaman seseorang adalah dia meninggalkan semua perkara yang tidak berarti (menurut Islam)”.
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ (رواه مسلم)
“seorang mukmin yang kuat (pikiran dan jasadnya) adalah lebih baik dan lebih dicintai Allah daripa-da mukmin yang lemah (pikiran dan jasadnya)”.
Khatimah
Sebagian sangat besar umat Islam terutama di Indonesia adalah penganut paham mutakallimin sekte Asy’ariyah alias ahlu sunnah yang pada faktanya tidak berbeda sedikit pun dengan sekte Jabari-yah. Salah satu ciri khas penganut paham ini adalah menjadikan khabar ahad sebagai asas atau dalil un-tuk membangun aqidah. Sebagai contoh mereka meyakini akan turunnya kembali Nabi Isa atau Imam Mahdi serta akan munculnya makhluq mengerikan Dajjal. Mereka pun meyakini bahwa turunnya Nabi Isa maupun Imam Mahdi adalah untuk membereskan keadaan kehidupan manusia di dunia yang kacau balau, amburadul, menyimpang dari Islam serta penuh dengan kekufuran, persis seperti yang saat ini tengah berlangsung bahkan telah lama berlangsung. Mereka juga sering menggambarkan Nabi Isa mau-pun Imam Mahdi itu sebagai Ratu Adil yang akan membela umat Islam dan menghancurkan kaum ku-far berikut kekufurannya. Keyakinan tersebut memastikan mereka untuk hanya menunggu kedatangan atau turunnya Nabi Isa maupun Imam Mahdi, tanpa berbuat atau melakukan apa pun sebab bagi mereka semua kekacauan, kekisruhan, keamburadulan, kekufuran, kerusakan, kehinaan, kenistaan dan sebagai-nya akan dibereskan dan diselesaikan oleh Nabi Isa dan atau Imam Mahdi. Bahkan ketika ada kritikan maupun desakan kepada mereka agar tidak hanya menunggu melainkan segera berbuat sesuatu, maka dengan sangat lantang mereka berucap : itu bukan tugas kami, tapi tugas Ratu Adil jadi biarkanlah te-tap begitu dan tunggulah waktu kadatangannya!
Keyakinan itulah yang juga dianut secara pasti atau dijadikan asas pemikiran oleh Menag Maf-tuh Basyuni, Ketua MPU NAD Prof. Tengku Muslim Ibrahim, Direktur Tarbiyah Masjid Al-Falaah Su-rabaya Prof. KH. Roem Rowi, Ketua MUI Jawa Barat KH. Hafidz Usman, Ketua MUI Pusat KH. Ma’-ruf Amin, Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan lainnya yang sejenis dengan mereka. Na-mun, jika memang mereka memiliki paham keyakinan seperti itu lalu mengapa ketika mereka memas-tikan diri dalam posisi menunggu tersebut justru memiliki pemikiran, melontarkan gagasan dan mela-kukan perbuatan atau bersikap yang nyata-nyata bertentangan atau menyalahi 100 persen dengan yang mereka yakini akan diperbuat atau dilakukan oleh Nabi Isa maupun Imam Mahdi saat keduanya atau salah satunya turun kembali ke arena kehidupan manusia di dunia. Bukankah realitas sikap mereka itu secara otomatis mengeliminir keyakinannya sendiri bahkan berarti meruntuhkan segala sesuatu yang telah mereka bangun dan pertahankan dengan susah payah selama ini? Padahal seharusnya jika mereka memang manusia-manusia yang jujur dan konsisten dengan keputusannya sendiri maka sikap yang pa-ling layak dan paling pantas mereka lakukan adalah diam menunggu tidak usah berpikir, tidak usah melontarkan gagasan dan tidak usah berbuat apa pun! Sekali lagi, seharusnya mereka diam saja. Ini-lah sikap aneh yang paling menonjol yang ditunjukkan oleh mereka, yakni demi meraih kepentingan pragmatis maka mereka rela dan penuh percaya diri untuk menyalahi bahkan meninggalkan semua keyakinan yang selama ini mereka bangun dan pertahankan sekuat mungkin.
Oleh karena itu, realitas sikap mereka tersebut memastikan satu hal yakni mereka telah dengan sangat mantap menjadikan kepentingan naluriahnya (اَهْوَاءُهُمْ) sebagai Tuhan yang memiliki otoritas un-tuk menetapkan hukum. Mereka lupa atau sengaja berpura-pura lupa bahwa Allah SWT telah mengha-ramkan sikap seperti yang mereka miliki tersebut bahkan Allah SWT menghinakan siapa pun yang ber-sikap demikian dengan memposisikannya lebih sesat daripada binatang. Allah SWT menyatakan :

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (الفرقان : 43-44)
“apakah engkau (Muhammad) memperhatikan seseorang yang menjadikan kepentingan naluriahnya sebagai Tuhannya, lalu apakah engkau bisa menjadi penolong baginya? Ataukah engkau mengira bah-wa sebagian besar mereka itu mendengar atau beraqal? Mereka itu tidak lain kecuali seperti binatang bahkan mereka hidup lebih sesat daripada binatang”

No comments:

Post a Comment