Sekedar
memposisikan Al-Quran pun kisruh luar biasa
Urwatul Wustqo (peminat
Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam tulisannya berju-dul
“Rethingking Alquran” menyatakan : seraya kembali menghayati kritik yang
pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1991) bahwa sebaik-baiknya
memperlakukan Alquran adalah de-ngan cara menghayati dan mengamalkannya dalam
kehidupan, bukan sekedar pelantunan ayat-ayat sucinya yang merdu. Penghayatan
dan pengamalan itulah yang sesungguhnya menjadi inti diturunkan-nya Alquran.
Ada perbedaan signifikan ketika Alquran turun dalam masyarakat Arab zaman Nabi
dan Alquran yang sudah build-up di zaman sekarang. Jika dulu setiap kali turun,
ayat Alquran tidak dipa-hami sebagai kalimat yang sendiri-sendiri, namun
langsung berdasarkan kenyataan sehari-hari se-hingga proses memahaminya tidak
membawa kesulitan serius. Tapi kini Alquran menghampiri pemba-canya lewat
teks-teks yang sudah melampaui zaman pertama kali ketika turun. Karena itu,
perlu ada upaya untuk memahami Alquran secara serius, di antaranya terus
menafsirkannya secara aktual. Se-harusnya Alquran dijadikan instrumen bagi
sebuah realitas. Ia jangan lagi ditempatkan pada posisi normatif dan mitos-mitos
dalam kehidupan, tetapi harus dihadapkan pada realitas-realitas empirik dan
kontekstual. Pemahaman teks Alquran yang keliru sebenarnya dapat menimbulkan
dilema-dilema da-lam kehidupan kaum muslim, terutama ketika menghadapi problem
modernitas dan globalitas. Dari sisi itu pertanyaan-pertanyaan baru selalu
bermunculan dan terus menyelimuti tanpa kemudian bisa menjawabnya karena
ajaran-ajaran Alquran tidak lagi relevan. Model penafsiran Alquran yang
rea-listik dan aktual tidak memiliki pretensi untuk melucuti ‘kesakralan’
Alquran, tetapi ajaran Alquran ti-dak seharusnya dibawa hanya pada persoalan
‘mistifikasi’. Karena itu ia tidak mengena pada subs-tansi-substansinya.
Pendekatan Alquran yang realistik merupakan konstruksi baru bagi kaum muslim
dalam menghadapi persoalan-persoalan modern. Di tengah kebingungannya
menghadapi realitas tersebut, hal itu seakan membuka tabir baru wajah Islam
yang penuh dengan khazanah dan nomenkla-tur berbagai aura pemikiran keagamaan
yang kemudian diperpadukan dengan kondisi aktual. Di situ Islam menjadi agama
yang realistik dan dapat memberi kontribusi yang praktis bagi peradaban. Teks
Alquran menjadi spiritnya (zeitgeist) dan sumber penyemangat bagi kehidupan.
Karena peradaban Islam sesungguhnya dimulai dari peradaban tekstual, jika Islam
ingin menemukan kembali peradaban-nya, teks jangan berhenti pada hanya sebatas
teks keagamaan atau apalagi teks dapat menjerumuskan pada mitos-mitos sosial.
Teks itu harus diterjemahkan secara rasional dan diaktualisasikan dalam
rea-litas sehingga bisa mencipta peradaban kaum muslim yang sesungguhnya.
Sejumlah gagasan Urwatul
Wustqo yang harus dikritisi adalah :
1.
menghayati dan
mengamalkan Al-Quran adalah cara terbaik memperlakukan Al-Quran
Istilah
“menghayati” faktanya berasal dari bahasa Arab berupa isim اَلْحَيَاةُ yang padannya dalam ba-hasa Indonesia adalah kehidupan,
misalnya اَلْحَيَاةُ الدُّنْيَا maka padannya
adalah kehidupan dunia. Se-hingga “menghayati” bermakna meng-kehidupan
yakni : (a) menjadikannya berada dalam kehidup-an atau (b) menjadikannya
mendasari kehidupan. Lalu, istilah “mengamalkan” juga berasal dari bahasa Arab
berupa fi’il عَمِلَ dan isimnya (اَلْمَصْدَرُ) اَلْعَمَلُ, padannya dalam
bahasa Indonesia adalah mengerjakan atau berbuat untuk bentuk
fi’il dan padanan untuk bentuk isimnya adalah pekerjaan atau
perbuatan. Sehingga “mengamalkan” bermakna mengerjakan atau berbuat
itu sendiri. Dengan demikian realitas dari “menghayati Al-Quran” adalah : (a)
menjadikan Al-Quran berada dalam ke-hidupan atau (b) menjadikan Al-Quran mendasari
kehidupan. Lalu, realitas dari “mengamalkan Al-Quran” adalah mengerjakan
sesuatu atau berbuat sesuatu sesuai dengan Al-Quran. Jadi,
pernyataan cara terbaik memperlakukan Al-Quran adalah dengan menghayati dan
mengamalkannya adalah benar karena sesuai dengan realitas
Al-Quran itu sendiri.
Namun,
apakah realitas tersebut yang dimaksudkan atau diinginkan oleh Urwatul Wustqo?
Jawa-bannya adalah sama sekali bukan dan hal itu ditunjukkan oleh
bagian lain dari pernyataan dia sen-diri yakni : (a) penggunaan gagasan Gus Dur
: bahwa sebaik-baiknya memperlakukan Alquran ada-lah dengan cara menghayati
dan mengamalkannya dalam kehidupan, bukan sekedar pelantunan ayat-ayat sucinya
yang merdu dan (b) lazimnya pendekatan Alquran yang sudah didekati baru
sampai pada masalah-masalah klasik, seperti jurisprudensi (ilmu fikih), teologi
dogmatik (ilmu ka-lam), penafsiran esoterik (ilmu tasawuf), ilmu tata bahasa
(ilmu nahwu) dan ilmu-ilmu Qurani itu sendiri (ilmu ulumul Alquran). Mengapa
dua bagian pernyataan Urwatul Wustqo tersebut menjadi bukti atau argumen
bahwa yang dimaksudkan atau diinginkan adalah bukan realitas seperti yang
ditunjukkan oleh makna bahasa maupun makna istilah dari “menghayati” dan
“mengamalkan”?
Hal itu
karena, fakta memastikan bahwa sejak Gus Dur menjadi terkenal dalam pentas
keormasan (PB NU) maupun politik (PKB) hingga saat ini, dia adalah manusia yang
paling tidak “menghaya-ti” dan “mengamalkan” Al-Quran. Hampir seluruh
pemikirannya baik yang terucapkan maupun yang berupa sikap adalah bukti pasti
yang menunjukkan bahwa Gus Dur sangat tidak jujur dan juga tidak serius tentang
pernyataan : bahwa sebaik-baiknya memperlakukan Alquran adalah dengan cara
menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan, bukan sekedar pelantunan
ayat-ayat su-cinya yang merdu. Oleh karena itu, pemikiran maupun sikap
Urwatul Wustqo adalah sama persis dan identik dengan “sang idola” : Gus Dur.
Urwatul Wustqo memposisikan ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu
tasawuf, ilmu nahwu dan عُلُوْمُ الْقُرْءَانِ, sebagai bentuk
pendekatan kepada Al-Quran untuk masalah-masalah klasik. Kesimpulan ini tentu
saja sangat keliru karena :
a.
istilah “pendekatan”
atau approach sangat erat hubungannya dengan atau bagian dari prosedur
metodologi ilmiah (scientific methods atau اَلطَّرِيْقَةُ
الْعِلْمِيَّةُ) terutama yang berkaitan dengan keten-tuan bahwa hasil suatu
penelitian atau percobaan “harus” berada dalam selang kepercayaan (confidence
interval) minimal 95 persen, supaya memberikan informasi yang minimal signifi-cant
(berarti) dan terhindar dari posisi not significant. Metodologi ilmiah
dibentuk atau diran-cang atau dirumuskan untuk experimental design in
laboratory scale (rancangan penelitian atau percobaan skala laboratorium)
dan itu pun diperuntukkan bagi objek atau materi yang bersifat fisik (biologi,
fisika, kimia, listrik, elektronik dan sebagainya), sama sekali bukan untuk
dite-rapkan bagi behaviour alias perilaku (hewan apalagi manusia). Oleh
karena bila metode ini ter-masuk prosedurnya (pendekatan) diterapkan (applied)
kepada Al-Quran misalnya, padahal selu-ruh informasi dalam Al-Quran itu
berkenaan dengan human’s behaviour (سُلُوْكُ
الإِنْسَانِ) maka da-pat dipastikan bahwa hasil yang akan
diperoleh adalah salah alias syntax error (bukan hanya not
significant) karena tidak sesuai dengan ketentuan awal (pra syarat) yang
dituntut oleh meto-de ilmiah sendiri. Jadi, bagaimana mungkin seseorang dapat
dengan begitu gegabah menyata-kan bahwa ilmu fiqih dan yang
lainnya itu adalah bentuk pendekatan kepada Al-Quran untuk masalah-masalah
klasik.
b.
lebih dari itu, ilmu
fiqih, ilmu kalam dan ilmu tasawuf adalah pengetahuan (اَلْمَعْرِفَةُ) atau infor-masi yang diperoleh dari hasil menggunakan dalil (اَلإِسْتِدْلاَلُ) baik itu ayat Al-Quran maupun
As-Sunnah. Hanya saja, ada اَلإِسْتِدْلاَلُ yang benar seperti ilmu fiqih dan ada
juga اَلإِسْتِدْلاَلُ yang salah seperti ilmu kalam dan
ilmu tasawuf. Fiqih (اَلْفِقْهُ) didefinisikan
sebagai :
عِلْمٌ
بِلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُسْتَنْبَطَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا
التَّفْصِيْلِيَّةِ
Untuk keperluan الْمُسْتَنْبَطَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ, maka
dirumuskanlah kaidah-kaidah (اَلْقَوَاعِدُ) sebagai metode
penggalian (طَرِيْقَةُ الإِسْتِنْبَاطِ) terhadap dalil
(اَلأَدِلَّةُ). Rumusan kaidah-kaidah tersebut
di-sebut dengan istilah Ushul Fiqih (أُصُوْلُ
الْفِقْهِ) : اَلْقَوَاعِدُ الَّتِيْ يُبْتَنَى
عَلَيْهَا الْفِقْهُ. Tujuan dirumuskannya Ushul Fiqih adalah untuk selalu menjaga
agar pada saat melakukan penggalian pemahaman ter-hadap dalil berlangsung
dengan benar dan inilah yang menjadi jaminan bahwa informasi dalam fiqih adalah
benar sesuai dengan seruan dari Allah SWT (اَلشَّارِعُ). Sehingga fiqih
sama sekali bukan bentuk pendekatan terhadap Al-Quran untuk masalah klasik
melainkan sebentuk upaya untuk menggali dan memahami seruan Allah SWT dari
informasi wahyu tertulis baik itu Al-Quran maupun As-Sunnah.
Ilmu kalam muncul seiring dengan kemunculan para pegiatnya
: اَلْمُتَكَلِّمُوْنَ. Mereka adalah pim-pinan Mu’tazilah :
وَاصِلُ بْنُ عَطَاءٍ yang merupakan anggota halaqah اَلْحَسَنُ
الْبَصْرِيُّ dan sekelompok orang yang menamakan diri mereka sebagai
Jabariyah dengan salah satu aktivisnya yang paling masyhur adalah جَهْمُ بْنُ صَفْوَانٍ. Pendapat (اَلرَّأْيُ) yang pokok dari Mu’tazilah adalah :
اِنَّ
الْعَبْدَ حُرُّ الإِرَادَةِ فِيْ اَفْعَالِهِ كُلِّهَا وَاَنَّهُ هُوَ الَّذِيْ
يَخْلُقُ اَفْعَالَهُ وَ يَخْلُقُ الْخَوَّاصَ الَّتِيْ تَحْدُثُ فِيْ الأَشْيَاءِ
مِنْ اَفْعَالِهِ
“bahwa manusia itu memiliki kebebasan
keinginan dalam seluruh perbuatannya dan dia juga yang menciptakan seluruh
perbuatannya tersebut termasuk yang menciptakan khasiat-khasiat (kegunaan) yang
ada dalam benda-benda akibat seluruh perbuatannya tersebut”.
Tentu saja pendapat Mu’tazilah ini ditentang
habis oleh kaum Jabariyah yang menyatakan :
اِنَّ الإِنْسَانَ مَجْبُوْرٌ
وَلَيْسَتْ لَهُ اِرَادَةٌ حُرَّةٌ وَلاَ قُدْرَةَ عَلَى خَلْقِ اَفْعَالِهِ
وَهُوَ كَالرِّيْشَةِ فِيْ مَهَبِ الرِّيْحِ اَوْ كَالْخُشُبَةِ بَيْنَ يَدَيِ
الأَمْوَاجِ وَاِنَّمَا يَخْلُقُ اللهُ الأَعْمَالَ عَلَى يَدَيْهِ
“bahwa manusia
itu dipaksa dan sama sekali tidak memiliki kebebasan keinginan, dia tidak
memiliki kekuatan untuk menciptakan perbuatannya, dia seperti bulu yang
diterbangkan hem-pasan angin atau seperti sebilah papan kayu yang ada di
tengah-tengah gelombang laut. Hanya Allah sajalah yang mencipatkan perbuatan
manusia oleh tangan-Nya”.
Nyata
sekali bahwa kedua pendapat tersebut adalah saling bertentangan dan diametral,
sehingga mendorong Abu Hasan Al-‘Asy’ariy (اَبُوْ
الْحَسَنِ اَلأَشْعَرِيُّ) yang kemudian dikenal sebagai pendiri kelompok
Ahlu Sunnah alias Asy-‘Ariyah untuk merumuskan jalan tengah :
اِنَّ
الإِنْسَانَ لَهُ كَسْبٌ اِخْتِيَارِيٌّ (اَفْعَالٌ اِخْتِيَارِيَّةٌ) فِيْ
اَفْعَالِهِ فَهُوَ يُحَاسَبُ عَلَى هَذَا الْكَسْبِ الإِخْتِيَارِيِّ
“bahwa manusia itu memiliki pilihan
aksi dalam perbuatannya dan dia akan dihisab atas pilih-an aksi tersebut”.
Namun
ternyata konsep Ahlu Sunnah pun tidak menyelesaikan persoalan bahkan semakin
me-nambahnya, karena konsep jalan tengah ini pun sebenarnya sama saja dengan
pendapat kaum Jabariyah. Artinya baik Ahlu Sunnah maupun Jabariyah adalah sama
yakni mereka itu pada hakikatnya adalah : هُمْ
جَبَّرِيُّوْنَ. Jadi, ketiga kelompok mutakalimin ini sebenarnya hanya dua
saja yakni Mu’tazilah dan Jabariyah dan ketiga-tiganya adalah sangat
salah sebab mereka sepenuh-nya dipengaruhi oleh dua golongan besar para
filosof Yunani, yakni :
اَلأَبِيْقُوْرِيُّوْنَ
يَرَوْنَ اَنَّ الإِرَادَةَ حُرَّةٌ فِيْ الإِخْتِيَارِ وَالإِنْسَانُ يَفْعَلُ
جَمِيْعَ الأَفْعَالِ بِإِرَادَتِهِ وَاخْتِيَارِهِ دُوْنَ اَيِّ اِكْرَاهٍ
“kaum Abiquriy
berpendapat bahwa keinginan itu adalah bebas dalam bentuk pilihan dan ma-nusia
melakukan semua perbuatannya berdasarkan keinginan dan pilihannya tanpa ada
paksa-an apa pun”.
اَلرُّوَاقِيُّوْنَ يَرَوْنَ اَنَّ
الإِرَادَةَ مُجْبَرَةٌ عَلَى السَّيْرِ فِيْ طَرِيْقٍ لاَيُمْكِنُهَا اَنْ
تَتَعَدَّاهَا وَالإِنْسَانُ لاَ يَفْعَلُ شَيْئًا بِإِرَادَتِهِ وَاِنَّمَا هُوَ
مَجْبُوْرٌ عَلَى فِعْلِ اَيِّ شَيْءٍ وَلاَ يَمْلِكُ اَنْ يَفْعَلَ وَاَلاَّ
يَفْعَلَ
“kaum Ruwaqiy
berpendapat bahwa keinginan itu dipaksa untuk berjalan dalam arena yang ti-dak
akan mungkin untuk dilewati batas-batasnya dan manusia itu tidak akan melakukan
sesua-tu berdasarkan keinginannya, dia dipaksa untuk melakukan sesuatu apa pun
dan dia tidak me-miliki kebebasan untuk melakukan atau untuk tidak melakukan”.
Jadi ilmu kalam ada di tengah-tengah kehidupan umat Islam
adalah akibat keterpengaruhan para pegiatnya yakni mutakalimin oleh dua gugus
besar filsafat Yunani dan itu berawal dari diterjemahkannya buku-buku filsafat
Yunani tersebut ke dalam Bahasa Arab. Lalu karena me-reka adalah umat Islam
tentu saja tidak ingin melepaskan diri dari sumber-sumber Islam itu sendiri
yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Namun sayang sekali yang mereka lakukan adalah
mencari asas legal dari sumber Islam tersebut bagi pemikiran dan sikap mereka
yang sudah ter-lanjur dikooptasi oleh filsafat Yunani atau dengan kata lain
mereka menjadikan dalil-dalil dari sumber Islam sebagai legitimasi bagi
pemikiran maupun sikap mereka itu. Inilah yang dimak-sudkan dengan penggunaan
dalil (اَلإِسْتِدْلاَلُ) yang salah, sehingga hasil akhirnya
adalah dapat di-pastikan juga salah, tidak akan pernah mungkin benar hingga
kapan pun. Hal yang serupa juga terjadi pada komunitas sufah dengan
pemikiran tasawuf mereka yakni mereka menggunakan dalil-dalil dari sumber Islam
sebagai legitimasi bagi pemikiran dan sikap mereka yang sudah terlanjur skeptis
terhadap realitas sosial dan politik Dunia Islam saat itu (Khilafah Abasiyah).
Sedangkan
ilmu nahwu jelas sekali bukan bentuk pendekatan terhadap Al-Quran pada
masalah-masalah klasik, melainkan اَلْمَعْرِفَةُ yang disusun
oleh para ulama Bahasa Arab ketika mereka mendapati kenyataan telah terjadinya
berbagai kerusakan dalam lisan Bahasa Arab seiring de-ngan semakin tidak
diperhatikannya penggunaan Bahasa Arab اَلْفُصْحَةُ dalam pergaulan
sehari-hari kaum muslim maupun dalam program pengajaran (سِيَاسَةُ التَّعْلِيْمِ) yang diselenggarakan oleh Khilafah
Abasiyah. Inilah yang sangat mengherankan mengapa seorang Urwatul
Wustqo yang mengklaim diri sebagai peminat Sastra Arab tapi
kemudian begitu tidak tahu tentang latar be-lakang munculnya ilmu
nahwu dalam realitas kehidupan kaum muslim. Tidak diragukan lagi sikap sangat
gegabah juga diperlihatkan oleh
dia saat memposisikan عُلُوْمُ الْقُرْءَانِ pada keduduk-an
yang sama dengan ilmu nahwu.
2.
penghayatan dan
pengamalan adalah inti diturunkannya Al-Quran
Memang
benar, aqal manusia meniscayakan (يُحَتِّمُهُ
عَقْلُ الإِنْسَانِ) bahwa Al-Quran diturunkan adalah untuk “dihayati dan
diamalkan” yakni untuk menggantikan kedudukan Injil yang sudah berakhir masa berlakunya
seiring dengan wafatnya Nabi Isa as. Al-Quran sendiri telah menginformasikan
kepada aqal manusia bahwa manusia wajib mengikuti segala ketentuan Allah SWT
yang telah dite-tapkan dalam Al-Quran. Allah SWT menyatakan :
وَمَا
ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
قُلْ
إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ
إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (الأنعام : 161)
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي
مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ
سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (الأنعام : 153)
Rasulullah
saw menyatakan :
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ
اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ
اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ
ثُمَّ قَالَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ (رواه مسلم)
Namun, berdasarkan pemikiran maupun sikap Urwatul
Wustqo yang dipaparkan dalam tulisannya maka dapat dipastikan bahwa dia
sama sekali tidak jujur dan tidak serius dalam pernyataan bahwa penghayatan dan pengamalan adalah inti diturunkannya
Al-Quran. Hal itu karena justru dia sendiri telah mengingkarinya dalam berbagai
pernyataan lain dari bagian tulisannya, seperti : seharusnya Alquran
dijadikan instrumen bagi sebuah realitas. Ia jangan lagi ditempatkan pada
posisi normatif dan mitos-mitos dalam kehidupan, tetapi harus dihadapkan pada
realitas-realitas empirik dan kon-tekstual.
3.
ada perbedaan
signifikan antara Al-Quran saat diturunkan di zaman Nabi dengan Al-Quran yang
sudah build-up seperti sekarang
Jika pun
realitas tersebut dianggap sebagai perbedaan, maka itu hanya berupa perbedaan
bentuk fi-sik Al-Quran semata dan sama sekali tidak menyangkut kandungan
informasi yang ada dalam dua bentuk fisik yang berbeda itu. Adalah benar
(karena faktanya demikian) sepanjang 23 tahun Nabi Muhammad saw berada di
tengah-tengah manusia, maka bentuk fisik Al-Quran adalah : (a) berupa hapalan
dalam otak para shahabat termasuk Nabi sendiri dan (b) sebagian berupa tulisan
yang ditu-lis (sesuai perintah Nabi) dalam berbagai media (pelepah pohon kurma,
tulang, batu dan lainnya). Lalu, setelah ditetapkan oleh Allah SWT sempurna
maka terjadilah dua peristiwa besar yakni :
a.
Islam telah sempurna :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة : 3).
b.
wafatnya Nabi Muhammad
saw :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ
عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ
شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (آل عمران : 144)
Kedua peristiwa tersebut menuntut aqal untuk memutuskan
bahwa :
a.
karena Nabi Muhammad
saw telah wafat dan adanya celaan (اَلذَّمُّ) yang sangat
keras dari Allah SWT dalam bagian ayat وَمَنْ
يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا, maka seluruh
umat Islam wajib men-jadikan Al-Quran seutuhnya sebagai sumber informasi
seluruh ketentuan Allah SWT hingga tibanya akhir kehidupan dunia.
b.
karena tidak akan
pernah ada lagi Nabi lain yang diutus oleh Allah SWT pasca wafatnya Nabi
Muhammad saw dan Islam telah sempurna, maka seluruh manusia di dunia wajib
hanya men-jadikan Islam sebagai asas kehidupan mereka di dunia.
Oleh karena
itu, mengapa harus terjebak dalam realitas perbedaan bentuk fisik
Al-Quran tersebut padahal aqal dapat membuktikan bahwa isi dari kedua bentuk
fisik itu sama sekali tidak ada perbe-daan. Lagipula para shahabat Nabi telah
bersepakat ketika mereka dipimpin oleh Khalifah Utsman untuk menyetujui langkah
Khalifah menyatukan seluruh bentuk hapalan maupun tulisan Al-Quran dalam sebuah
mushaf : اَلْمُصْحَفُ الْعُثْمَانِيُّ. Bahkan Ali bin
Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud yang memiliki mushaf sendiri ternyata juga
sepakat dengan Khalifah untuk memusnahkan mushaf milik masing-masing dan lalu
hanya berpegang teguh kepada mushaf resmi yang ditetapkan Khalifah. Lebih
bahkan lagi, saat Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah ternyata beliau sama
sekali tidak ber-usaha untuk merevisi keputusan Khalifah Utsman tersebut
padahal sangat terbuka kesempatan un-tuk itu mengingat kedudukan beliau sebagai
Khalifah. Jadi, seluruh realitas tersebut ditambah fakta lainnya dari era
tabi’in maupun tabi’ut tabi’in, memastikan kepada aqal bahwa adalah sebuah
kesia-siaan alias tidak ada gunanya sama sekali untuk mempersoalkan realitas
perbedaan bentuk fisik yang pernah dialami oleh Al-Quran.
Adapun
pernyataan Urwatul Wustqo : tapi kini Alquran menghampiri pembacanya lewat
teks-teks yang sudah melampaui zaman pertama kali ketika turun. Karena itu,
perlu ada upaya untuk mema-hami Alquran secara serius, di antaranya terus
menafsirkannya secara aktual.
Nampak
sekali bahwa ada : (a) ketidakberdayaan (powerless), (b) ketidak
percayaan diri dan (c) kekisruhan pemikiran, pada diri sang penulis, karena
walau dia menyatakan perlu ada upaya untuk memahami Alquran secara serius,
namun sebenarnya itu adalah bentuk ungkapan riil keadaan diri-nya yang memang sangat
kebingungan dalam memposisikan dan ketika harus berhadapan dengan
Al-Quran saat ini. Akhirnya dia sangat ingin menyampaikan pesan kuat bahwa
Al-Quran harus tunduk dan wajib mengikuti realitas kekinian. Inilah yang dia
maksudkan dalam pernyataan : pen-dekatan Alquran yang realistik merupakan
konstruksi baru bagi kaum muslim dalam menghadapi persoalan-persoalan modern
atau di situ Islam menjadi agama yang realistik dan dapat memberi kontribusi
yang praktis bagi peradaban. Teks Alquran menjadi spiritnya (zeitgeist) dan
sumber pe-nyemangat bagi kehidupan.
4.
Al-Quran harus
ditafsirkan secara aktual, dijadikan sebuah instrumen bagi realitas, harus
dihadap-kan kepada realitas-realitas empirik dan kontekstual
Aktual atau
اَلْوَاقِعِيَّةُ berarti sesuai dengan fakta atau
menyesuaikan diri dengan fakta, sehingga saat dikatakan Al-Quran harus
ditafsirkan secara aktual maka itu bermakna bahwa Al-Quran harus ditafsirkan
sedemikian rupa supaya sesuai dengan fakta atau dapat menyesuaikan
diri dengan fakta.
Instrumen
dalam bahasa Inggris instrument dapat bermakna alat/peralatan (tools)
atau bisa juga yang berkaitan dengan musik yakni instrumentalia : musik
tanpa disertai suara manusia, hanya suara dari alat-alat musik. Penggunaan
lain saat ini adalah di sektor finansial misal : SBI atau SUN atau SUKUK
adalah tiga jenis instrumen pembiayaan untuk menutupi defisit APBN. Artinya
SBI atau SUN atau SUKUK itu adalah alat yang digunakan sebagai sumber
pembiayaan. Jadi, bila dika-takan bahwa Al-Quran harus dijadikan sebuah
instrumen bagi realitas, maka maknanya adalah Al-Quran harus menjadi alat
atau peralatan atau dijadikan sebuah sumber bagi realitas. Tentu saja yang
menjadi subjeknya atau penentunya adalah realitas itu sendiri bukan Al-Quran,
yakni ketika Al-Quran dapat memenuhi tuntutan realitas maka Al-Quran digunakan
bila sebaliknya maka tidak.
Realitas
empirik adalah kenyataan atau fakta yang ditunjukkan oleh atau terjadi
dalam perjalanan kehidupan manusia di dunia. Kontekstual berarti yang
menyertai makna tekstual atau sebuah mak-na yang bersifat implisit
dan tidak eksplisit. Sehingga saat dikatakan bahwa Al-Quran harus diha-dapkan
kepada realitas-realitas empirik dan kontekstual, maka itu berarti posisi dan
eksistensi Al-Quran sangat bergantung kepada kenyataan atau fakta yang
ditunjukkan oleh atau terjadi dalam perjalanan kehidupan manusia di dunia.
Apabila realitas empirik menunjukkan bahwa Al-Quran adalah benar, maka itu
berarti Al-Quran adalah benar dan bila realitas empirik menunjukkan bahwa
Al-Quran adalah salah atau ada kesalahan maka Al-Quran harus mengikuti realitas
empirik itu.
Demikian juga saat Al-Quran menyatakan haramnya sesuatu
secara tekstual namun secara konteks-tual sesuatu yang diharamkan itu adalah
dibutuhkan oleh atau bermanfaat bagi manusia maka Al-Quran wajib mengikuti
tuntutan kontekstual tersebut. Singkatnya, Al-Quran harus dimaknai
sede-mikian rupa sehingga bersesuian dengan atau dapat menyesuaikan diri dengan
tuntutan realitas ke-hidupan manusia, bila masih diinginkan manusia memberikan
penghargaanya kepada Al-Quran. Inilah yang dimaksudkan oleh sang penulis saat
dia menyatakan : di situ Islam menjadi agama yang realistik dan dapat
memberi kontribusi yang praktis bagi peradaban.
5.
teks Al-Quran menjadi
spirit dan sumber penyemangat bagi kehidupan dan harus diterjemahkan se-cara
rasional dan diaktualisasikan dalam realitas sehingga bisa mencipta peradaban
kaum muslim yang sesungguhnya
Pernyataan
bahwa teks Al-Quran menjadi spirit dan sumber penyemangat bagi kehidupan,
semakin memastikan apa sesungguhnya yang tengah direncanakan dan
dirancang oleh Urwatul Wustqo saat dia memaparkan seluruh gagasannya di bawah
tema “Rethingking Alquran”. Dia begitu ingin agar Al-Quran dijadikan sebagai
salah satu rujukan (dari sekian banyak rujukan) oleh manusia di dunia sehingga
memiliki kesejajaran dan kesetaraan dengan rujukan lain dalam memberikan
kontri-businya kepada peradaban manusia (human civilization atau اَلْحَضَارَةُ الإِنْسَانِيَّةُ). Jika keinginannya yang sangat kuat
itu dapat terealisir, maka hal itu menjadi sebuah kebanggaan sekaligus
penam-bah kepercayaan diri minimal bagi dia sendiri dan bahkan bagi
seluruh umat Islam yang sepakat dengan semua gagasannya tersebut. Inilah yang
terungkap dalam penegasan : Al-Quran harus di-terjemahkan secara rasional
dan diaktualisasikan dalam realitas sehingga bisa mencipta peradab-an kaum
muslim yang sesungguhnya. Apakah itu “peradaban kaum muslim yang
sesungguhnya” ?
Peradaban atau civilization atau اَلْحَضَارَةُ adalah :
مَجْمُوْعُ الْمَفَاهِيْمِ عَنِ
الْحَيَاةِ
“kumpulan
pemahaman tentang kehidupan”
Oleh karena
itu, sebuah peradaban sangat ditentukan identitasnya oleh aqidah atau ideologi
atau cara pandang terhadap kehidupan yang menjadi asasnya. Aqidah
Islamiyah beserta ideologi dan cara pandangannya terhadap kehidupan membentuk
Peradaban Islam atau Islamic Civilization atau اَلْحَضَارَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ. Demikian juga dengan aqidah
sekularisme (aqidah Dunia Barat) berikut ideologi dan cara pandangannya
terhadap kehidupan akan membentuk Peradaban Barat atau Western Civili-zation
atau اَلْحَضَارَةُ الْغَرْبِيَّةُ. Identitas
tersebut adalah ciri khas yang tidak mungkin (menurut aqal)
un-tuk dirubah atau disenyawakan dengan identitas
lain atau dikompromikan dengan identitas lain atau dijadikan
mozaik dengan maupun bagi identitas lain. Hal itu karena secara pasti
akan meng-hilangkan bahkan menganulir ciri khas masing-masing
yang berakibat secara otomatis eksistensi peradaban yang bersangkutan tidak
akan lagi terwujud alias musnah dari realitas.
Jadi, bila Peradaban Islam yang bersumber dari Al-Quran dan
As-Sunnah :
a.
dirubah dengan cara merubah pemahaman terhadap kedua sumber
tersebut yakni tidak lagi menggunakan metode pemahaman yang seharusnya menurut
Islam itu sendiri (Ushul Fiqih) maka dapat dipastikan Peradaban Islam akan
hilang dan yang akan muncul adalah peradaban baru yang mengikuti pemahaman baru
akibat dari digunakannya metode pemahaman yang telah berubah dan yang pasti itu
sama sekali bukan Peradaban Islam.
b.
disenyawakan dengan identitas lain maka yang pasti baik itu identitas
Peradaban Islam mau-pun peradaban lain yang menjadi partner senyawanya akan
musnah. Tingkat kemusnahan dari identitas masing-masing yang saling
bersenyawa itu akan sangat bergantung kepada porsi atau bagian dari
masing-masing yang terlibat dalam persenyawaan. Contoh : bila porsi dari
masing-masing adalah sama yakni 50 persen dan 50 persen, maka tingkat
kemusnahan masing-masing juga adalah 50 persen, demikian seterusnya. Harus diingat
bahwa walau misalnya porsi perse-nyawaan dari Peradaban Barat hanya satu (1)
persen dan dari Peradaban Islam adalah 99 persen maka itu telah seutuhnya
menghilangkan identitas alias ciri khas Peradaban Islam. Inilah yang
dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
c.
dikompromikan
dengan identitas lain berarti
Peradaban Islam dipaksa untuk mengakui atau membiarkan atau
menerima identitas peradaban lain. Hal itu karena makna istilah kompromi
adalah mengakui, membiarkan dan menerima walau dengan cara paksa berdasarkan
pertim-bangan tertentu misalnya kepentingan atau manfaat. Tentu saja hal ini
akan menghilangkan ciri khas Peradaban Islam secara pasti dan akan menjadikan
ciri khas peradaban lain semakin me-nonjol atau menguat. Sebagai contoh, Islam
adalah : هُوَ الدِّيْنُ وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ dan ini
merupakan salah satu dari ciri khas Peradaban Islam. Namun karena saat ini
(telah berlangsung lebih dari 84 ta-hun) yang mendominasi kehidupan manusia
adalah Peradaban Barat yang berbasis sekularisme yang menetapkan : فَصْلُ الدِّيْنِ عَنِ الْحَيَاةِ وَالدَّوْلَةِ, maka sebagian
sangat besar umat Islam berusaha keras untuk melakukan kompromi
terhadap dua kutub diametral tersebut. Hasilnya adalah dibi-arkannya
kemunculan partai politik (parpol) yang berasas Islam dengan syarat
tetap tunduk patuh kepada atau selalu berada dalam naungan atau pakem sistem
pemerintahan yang diwajib-kan oleh sekularisme sendiri yakni demokrasi.
d.
dijadikan mozaik
dengan maupun bagi identitas lain
yang berarti Peradaban Islam diposisi-kan saling melengkap dan menyempurnakan
dengan peradaban lain atau justru Peradaban Islam benar-benar dijadikan
pelengkap atau penyempurna atau penutup semua kekurangan maupun kelemahan dari
peradaban lain. Sebagai contoh, sistem perekonomian kapitalistik yang merupa-kan
salah satu ciri khas Peradaban Barat hanya mengenal adanya pertumbuhan dan sama
sekali tidak peduli dengan pemerataan. Inilah yang ditunjukkan oleh upaya para
ekonom maupun praktisi (pemerintah dan swasta) untuk selalu menjaga tingkat
pertumbuhan ekonomi tetap ting-gi walau hanya ditopang oleh atau bertumpu pada
realitas konglomerasi. Skema konglomerasi memastikan bahwa ada sekelompok
sangat kecil dari pelaku ekonomi (tidak pernah lebih dari 20 persen
total jumlah penduduk) yang menguasai dan mengendalikan sebagai
sangat besar dari kekayaan (tidak pernah kurang dari 80 persen). Tentu saja
skema ini merupakan kelemahan sangat nyata dari perekonomian kapitalistik yang
berakibat munculnya ancaman bahaya mema-tikan bagi para konglomerat dari
kelompok melarat. Oleh karena itu, ketika mereka mendapati dalam Islam adanya
konsep zakat, infaq, shadaqah (yang mereka sebut sebagai aspek filantropi)
yang dianggap akan dapat menurunkan tingkat ancaman dari kelompok melarat, maka
tanpa ragu-ragu lagi seluruh konsep tersebut diadopsi dalam
bentuk (kasus di Indonesia) kemunculan berbagai lembaga yang bersangkut paut
dengan zakat, infaq, shadaqah (BAZNAS, ZIS, DD dan sebagainya) dengan
mengibarkan bendera keberpihakan kepada kaum dhuafa. Hal yang serupa juga
terjadi pada fenomena kemunculan berbagai bank syariah (office channeling),
lembaga fi-nansial syariah (JII) dan sebagainya. Tentu saja yang akan
kehilangan identitas bahkan eksis-tensinya adalah Peradaban Islam dan
sebaliknya Peradaban Barat akan semakin menguat serta menjadi tambah kokoh.
Wal
hasil, inilah fakta aktual dan pasti yang mempertelakan bahwa betapa
kisruhnya pemikiran umat Islam bahkan untuk sekedar memastikan posisi
Al-Quran yang sebenarnya sudah jelas yakni sebagai sumber hukum dalam Islam (مَصْدَرُ الْحُكْمِ فِيْ الإِسْلاَمِ).
Islam
justru ada di Dunia Barat : benarkah?
Sir Muhammad Iqbal dalam
bukunya Reconstruction of Islamic Thought (1985) menyatakan : Islam
justru tidak ada di Dunia Islam sendiri, Islam justru ada di Dunia Barat.
Tentu saja, pernyataan
Iqbal itu memberikan sejumlah kemungkinan kandungan informasi yakni :
a.
Dunia Islam sama
sekali tidak memberlakukan Islam
b.
Dunia Barat
benar-benar memberlakukan Islam
c.
Tidak ada kejelasan
sama sekali dalam diri Iqbal sendiri antara diberlakukan dan tidak
diberlaku-kannya Islam
Lalu, bagaimanakah menjelaskan ketiga kemungkinan tersebut?
Dunia Islam yang dicirikan
dengan pasti oleh adanya Khilafah Islamiyah yang dipimpin secara tunggal oleh
Khalifah selalu memberlakukan Islam walau disertai pasang surut atau fluktuasi
dalam hal konsistensi pemberlakuan Islam
tersebut (اِلْتِزَامُ الْخِلاَفَةِ فِيْ
تَنْفِيْذِ وَتَطْبِيْقِ الإِسْلاَمِ), terutama pasca era Khulafa
Rasyidin. Pemberlakuan Islam itu berlangsung sangat lama yakni dimulai sejak
abad ke-6 M hingga awal abad ke-20 M, yang berarti lebih dari 13 abad alias
lebih dari 1300 tahun. Dunia Islam baru ber-henti memberlakukan Islam saat
diruntuhkannya Khilafah oleh Inggris pada tanggal 3 Maret 1924.
Terhitung sejak saat itu
hingga saat ini termasuk ketika Iqbal menulis bukunya (1985), memang benar
Dunia Islam tidak pernah lagi memberlakukan Islam yang dengan kata lain memang
benar Islam tidak ada lagi di Dunia Islam. Lebih dari 84 tahun, Islam hanya ada
di dalam benak umat Islam secara individual dan itupun dapat digambarkan
seumpama lampu pelita yang hampir padam karena kehabisan bahan bakarnya di
tengah tiupan angin (kekufuran) yang semakin kencang. Jadi, bila realitas ini
yang dimaksudkan oleh Iqbal, maka dia telah benar dalam menyimpulkannya.
Namun, karena ada
pernyataan dia : Islam justru ada di Dunia Barat, maka dapat dipastikan
bah-wa pemikirannya adalah tidak jelas dan kisruh berkenaan dengan analisis
atau pandangan dia terhadap persoalan tersebut. Hal itu karena, saat dia
menyatakan bahwa Islam justru ada di Dunia Barat maka ada satu hal
prinsip yang wajib dipertanyakan : apa standard yang digunakan untuk membuat
kesimpu-lan seperti itu?
Adalah sangat mustahil
bagi Iqbal untuk membuat konklusi seperti itu bila dia menggunakan Per-adaban
Islam sebagai standardnya. Hal itu karena : (a) Dunia Islam sekalipun tidak
pernah memberla-kukan lagi Islam sejak institusi Khilafah hilang dari genggaman
mereka dan (b) adalah Dunia Barat sendiri saat itu dipimpin oleh Inggris (United
Kingdom) yang menjadi pelaku utama dalam meruntuh-kan sekaligus
menghancurkan Khilafah yang berpusat di Dunia Islam. Sehingga, sekali lagi,
jika stan-dard yang digunakan oleh Iqbal adalah realitas tersebut, maka
kesimpulannya haruslah : sejak Khilafah diruntuhkan maka Islam tidak ada lagi
di Dunia Islam bahkan di seluruh pelosok dunia.
Dengan demikian, pemikiran
Iqbal tengah benar-benar dikooptasi oleh realitas yang ada di Dunia Islam dan
di Dunia Barat ketika dia menulis bukunya (Reconstruction of Islamic Thought,1985).
Reali-tas di Dunia Islam pada tahun 1985 adalah ulang tahun keruntuhan Khilafah
yang ke-61 sehingga kon-disinya dapat dipastikan tengah terjadi intensifikasi
pemberlakuan demokrasi maupun kapitalisme di berbagai bagian negerinya. Proses
tersebut faktanya selalu disertai atau paling tidak diawali oleh ada-nya rezim
represif yang pada umumnya dimotori atau bahkan dikendalikan oleh militer,
sehingga terke-san sangat kuat aroma kediktatorannya serta ketidak
berpihakannya kepada rakyat kecil jelata. Inilah kenyataan politik maupun
sosial Dunia Islam yang sangat mengkooptasi diri Iqbal sehingga dia begitu
ceroboh menyimpulkan : Islam justru tidak ada di Dunia Islam
sendiri. Dikatakan demikian karena pemikiran dia itu semata hanya bertumpu
kepada kenyataan yang tengah berjalan dan sama sekali tidak didasarkan kepada
ketentuan Ideologi Islam sendiri.
Sementara itu, pada saat
yang sama dia begitu terpesona oleh fakta politik dan sosial yang tengah
berlangsung di Dunia Barat (AS dan Eropa) yang memang telah sampai kepada
tingkat settlement alias keadaan sangat mantap dan stabil. Akibatnya
tertampak sangat jelas : (a) pemerintahan yang demokra-tis dan jauh dari
diktatorisme, (b) keberpihakan pemerintah kepada rakyat, (c) posisi tawar dari
rakyat yang sangat tinggi yang ditunjukkan oleh adanya parlemen atau DPR dan
lainnya. Lalu, saat dia men-dapati semua fakta di Dunia Barat itu, maka dia pun
sedikit teringat bahwa Islam sangat menekankan syura, perlindungan terhadap
kaum tertindas (اَلْمُسْتَضْعَفُوْنَ), pemerintahan
yang penuh dengan kasih sa-yang dan seterusnya. Akhirnya dengan menggabungkan
dua hal tersebut, dia membuat kesimpulan lain yaitu : Islam justru ada di
Dunia Barat.
Jadi, Sir Muhammad Iqbal
adalah satu dari sekian sangat banyak umat Islam yang sama sekali tidak
memiliki pemahaman apa pun baik itu tentang Islam (berikut Dunia Islam) maupun
kekufuran (beserta Dunia Barat). Inilah potret seindah warna aslinya
dari realitas pemikiran umat Islam yang se-iring dengan berjalannya waktu
ternyata semakin kisruh.
أَفَلَمْ
يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ
ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (الحج : 46)
يُوشِكُ
إِنْ طَالَتْ بِكَ مُدَّةٌ أَنْ تَرَى قَوْمًا فِي أَيْدِيهِمْ مِثْلُ أَذْنَابِ
الْبَقَرِ يَغْدُونَ فِي غَضَبِ اللَّهِ وَيَرُوحُونَ فِي سَخَطِ اللَّهِ (رواه
مسلم)
No comments:
Post a Comment