Friday, December 14, 2012

ISLAM ADA DI DUNIA BARAT : BENARKAH?


Sekedar memposisikan Al-Quran pun kisruh luar biasa
Urwatul Wustqo (peminat Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam tulisannya berju-dul “Rethingking Alquran” menyatakan : seraya kembali menghayati kritik yang pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (1991) bahwa sebaik-baiknya memperlakukan Alquran adalah de-ngan cara menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan, bukan sekedar pelantunan ayat-ayat sucinya yang merdu. Penghayatan dan pengamalan itulah yang sesungguhnya menjadi inti diturunkan-nya Alquran. Ada perbedaan signifikan ketika Alquran turun dalam masyarakat Arab zaman Nabi dan Alquran yang sudah build-up di zaman sekarang. Jika dulu setiap kali turun, ayat Alquran tidak dipa-hami sebagai kalimat yang sendiri-sendiri, namun langsung berdasarkan kenyataan sehari-hari se-hingga proses memahaminya tidak membawa kesulitan serius. Tapi kini Alquran menghampiri pemba-canya lewat teks-teks yang sudah melampaui zaman pertama kali ketika turun. Karena itu, perlu ada upaya untuk memahami Alquran secara serius, di antaranya terus menafsirkannya secara aktual. Se-harusnya Alquran dijadikan instrumen bagi sebuah realitas. Ia jangan lagi ditempatkan pada posisi normatif dan mitos-mitos dalam kehidupan, tetapi harus dihadapkan pada realitas-realitas empirik dan kontekstual. Pemahaman teks Alquran yang keliru sebenarnya dapat menimbulkan dilema-dilema da-lam kehidupan kaum muslim, terutama ketika menghadapi problem modernitas dan globalitas. Dari sisi itu pertanyaan-pertanyaan baru selalu bermunculan dan terus menyelimuti tanpa kemudian bisa menjawabnya karena ajaran-ajaran Alquran tidak lagi relevan. Model penafsiran Alquran yang rea-listik dan aktual tidak memiliki pretensi untuk melucuti ‘kesakralan’ Alquran, tetapi ajaran Alquran ti-dak seharusnya dibawa hanya pada persoalan ‘mistifikasi’. Karena itu ia tidak mengena pada subs-tansi-substansinya. Pendekatan Alquran yang realistik merupakan konstruksi baru bagi kaum muslim dalam menghadapi persoalan-persoalan modern. Di tengah kebingungannya menghadapi realitas tersebut, hal itu seakan membuka tabir baru wajah Islam yang penuh dengan khazanah dan nomenkla-tur berbagai aura pemikiran keagamaan yang kemudian diperpadukan dengan kondisi aktual. Di situ Islam menjadi agama yang realistik dan dapat memberi kontribusi yang praktis bagi peradaban. Teks Alquran menjadi spiritnya (zeitgeist) dan sumber penyemangat bagi kehidupan. Karena peradaban Islam sesungguhnya dimulai dari peradaban tekstual, jika Islam ingin menemukan kembali peradaban-nya, teks jangan berhenti pada hanya sebatas teks keagamaan atau apalagi teks dapat menjerumuskan pada mitos-mitos sosial. Teks itu harus diterjemahkan secara rasional dan diaktualisasikan dalam rea-litas sehingga bisa mencipta peradaban kaum muslim yang sesungguhnya.
Sejumlah gagasan Urwatul Wustqo yang harus dikritisi adalah :
1.       menghayati dan mengamalkan Al-Quran adalah cara terbaik memperlakukan Al-Quran
Istilah “menghayati” faktanya berasal dari bahasa Arab berupa isim اَلْحَيَاةُ yang padannya dalam ba-hasa Indonesia adalah kehidupan, misalnya اَلْحَيَاةُ الدُّنْيَا maka padannya adalah kehidupan dunia. Se-hingga “menghayati” bermakna meng-kehidupan yakni : (a) menjadikannya berada dalam kehidup-an atau (b) menjadikannya mendasari kehidupan. Lalu, istilah “mengamalkan” juga berasal dari bahasa Arab berupa fi’il عَمِلَ dan isimnya (اَلْمَصْدَرُ) اَلْعَمَلُ, padannya dalam bahasa Indonesia adalah mengerjakan atau berbuat untuk bentuk fi’il dan padanan untuk bentuk isimnya adalah pekerjaan atau perbuatan. Sehingga “mengamalkan” bermakna mengerjakan atau berbuat itu sendiri. Dengan demikian realitas dari “menghayati Al-Quran” adalah : (a) menjadikan Al-Quran berada dalam ke-hidupan atau (b) menjadikan Al-Quran mendasari kehidupan. Lalu, realitas dari “mengamalkan Al-Quran” adalah mengerjakan sesuatu atau berbuat sesuatu sesuai dengan Al-Quran. Jadi, pernyataan cara terbaik memperlakukan Al-Quran adalah dengan menghayati dan mengamalkannya adalah benar karena sesuai dengan realitas Al-Quran itu sendiri.
Namun, apakah realitas tersebut yang dimaksudkan atau diinginkan oleh Urwatul Wustqo? Jawa-bannya adalah sama sekali bukan dan hal itu ditunjukkan oleh bagian lain dari pernyataan dia sen-diri yakni : (a) penggunaan gagasan Gus Dur : bahwa sebaik-baiknya memperlakukan Alquran ada-lah dengan cara menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan, bukan sekedar pelantunan ayat-ayat sucinya yang merdu dan (b) lazimnya pendekatan Alquran yang sudah didekati baru sampai pada masalah-masalah klasik, seperti jurisprudensi (ilmu fikih), teologi dogmatik (ilmu ka-lam), penafsiran esoterik (ilmu tasawuf), ilmu tata bahasa (ilmu nahwu) dan ilmu-ilmu Qurani itu sendiri (ilmu ulumul Alquran). Mengapa dua bagian pernyataan Urwatul Wustqo tersebut menjadi bukti atau argumen bahwa yang dimaksudkan atau diinginkan adalah bukan realitas seperti yang ditunjukkan oleh makna bahasa maupun makna istilah dari “menghayati” dan “mengamalkan”?
Hal itu karena, fakta memastikan bahwa sejak Gus Dur menjadi terkenal dalam pentas keormasan (PB NU) maupun politik (PKB) hingga saat ini, dia adalah manusia yang paling tidak “menghaya-ti” dan “mengamalkan” Al-Quran. Hampir seluruh pemikirannya baik yang terucapkan maupun yang berupa sikap adalah bukti pasti yang menunjukkan bahwa Gus Dur sangat tidak jujur dan juga tidak serius tentang pernyataan : bahwa sebaik-baiknya memperlakukan Alquran adalah dengan cara menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan, bukan sekedar pelantunan ayat-ayat su-cinya yang merdu. Oleh karena itu, pemikiran maupun sikap Urwatul Wustqo adalah sama persis dan identik dengan “sang idola” : Gus Dur.
Urwatul Wustqo memposisikan ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu nahwu dan عُلُوْمُ الْقُرْءَانِ, sebagai bentuk pendekatan kepada Al-Quran untuk masalah-masalah klasik. Kesimpulan ini tentu saja sangat keliru karena :
a.       istilah “pendekatan” atau approach sangat erat hubungannya dengan atau bagian dari prosedur metodologi ilmiah (scientific methods atau اَلطَّرِيْقَةُ الْعِلْمِيَّةُ) terutama yang berkaitan dengan keten-tuan bahwa hasil suatu penelitian atau percobaan “harus” berada dalam selang kepercayaan (confidence interval) minimal 95 persen, supaya memberikan informasi yang minimal signifi-cant (berarti) dan terhindar dari posisi not significant. Metodologi ilmiah dibentuk atau diran-cang atau dirumuskan untuk experimental design in laboratory scale (rancangan penelitian atau percobaan skala laboratorium) dan itu pun diperuntukkan bagi objek atau materi yang bersifat fisik (biologi, fisika, kimia, listrik, elektronik dan sebagainya), sama sekali bukan untuk dite-rapkan bagi behaviour alias perilaku (hewan apalagi manusia). Oleh karena bila metode ini ter-masuk prosedurnya (pendekatan) diterapkan (applied) kepada Al-Quran misalnya, padahal selu-ruh informasi dalam Al-Quran itu berkenaan dengan human’s behaviour (سُلُوْكُ الإِنْسَانِ) maka da-pat dipastikan bahwa hasil yang akan diperoleh adalah salah alias syntax error (bukan hanya not significant) karena tidak sesuai dengan ketentuan awal (pra syarat) yang dituntut oleh meto-de ilmiah sendiri. Jadi, bagaimana mungkin seseorang dapat dengan begitu gegabah menyata-kan bahwa ilmu fiqih dan yang lainnya itu adalah bentuk pendekatan kepada Al-Quran untuk masalah-masalah klasik.
b.      lebih dari itu, ilmu fiqih, ilmu kalam dan ilmu tasawuf adalah pengetahuan (اَلْمَعْرِفَةُ) atau infor-masi  yang diperoleh dari hasil menggunakan dalil (اَلإِسْتِدْلاَلُ) baik itu ayat Al-Quran maupun As-Sunnah.  Hanya saja, ada اَلإِسْتِدْلاَلُ yang benar seperti ilmu fiqih dan ada juga اَلإِسْتِدْلاَلُ yang salah seperti ilmu kalam dan ilmu tasawuf. Fiqih (اَلْفِقْهُ) didefinisikan sebagai :
عِلْمٌ بِلأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُسْتَنْبَطَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Untuk keperluan  الْمُسْتَنْبَطَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ, maka dirumuskanlah kaidah-kaidah (اَلْقَوَاعِدُ) sebagai metode penggalian (طَرِيْقَةُ الإِسْتِنْبَاطِ) terhadap dalil (اَلأَدِلَّةُ). Rumusan kaidah-kaidah tersebut di-sebut dengan istilah Ushul Fiqih (أُصُوْلُ الْفِقْهِ) : اَلْقَوَاعِدُ الَّتِيْ يُبْتَنَى عَلَيْهَا الْفِقْهُ. Tujuan dirumuskannya Ushul Fiqih adalah untuk selalu menjaga agar pada saat melakukan penggalian pemahaman ter-hadap dalil berlangsung dengan benar dan inilah yang menjadi jaminan bahwa informasi dalam fiqih adalah benar sesuai dengan seruan dari Allah SWT (اَلشَّارِعُ). Sehingga fiqih sama sekali bukan bentuk pendekatan terhadap Al-Quran untuk masalah klasik melainkan sebentuk upaya untuk menggali dan memahami seruan Allah SWT dari informasi wahyu tertulis baik itu Al-Quran maupun As-Sunnah.

Ilmu kalam muncul seiring dengan kemunculan para pegiatnya : اَلْمُتَكَلِّمُوْنَ. Mereka adalah pim-pinan Mu’tazilah : وَاصِلُ بْنُ عَطَاءٍ yang merupakan anggota halaqah  اَلْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ dan sekelompok orang yang menamakan diri mereka sebagai Jabariyah dengan salah satu aktivisnya yang paling masyhur adalah جَهْمُ بْنُ صَفْوَانٍ. Pendapat (اَلرَّأْيُ) yang pokok dari Mu’tazilah adalah :
اِنَّ الْعَبْدَ حُرُّ الإِرَادَةِ فِيْ اَفْعَالِهِ كُلِّهَا وَاَنَّهُ هُوَ الَّذِيْ يَخْلُقُ اَفْعَالَهُ وَ يَخْلُقُ الْخَوَّاصَ الَّتِيْ تَحْدُثُ فِيْ الأَشْيَاءِ مِنْ اَفْعَالِهِ
“bahwa manusia itu memiliki kebebasan keinginan dalam seluruh perbuatannya dan dia juga yang menciptakan seluruh perbuatannya tersebut termasuk yang menciptakan khasiat-khasiat (kegunaan) yang ada dalam benda-benda akibat seluruh perbuatannya tersebut”.
Tentu saja pendapat Mu’tazilah ini ditentang habis oleh kaum Jabariyah yang menyatakan :
اِنَّ الإِنْسَانَ مَجْبُوْرٌ وَلَيْسَتْ لَهُ اِرَادَةٌ حُرَّةٌ وَلاَ قُدْرَةَ عَلَى خَلْقِ اَفْعَالِهِ وَهُوَ كَالرِّيْشَةِ فِيْ مَهَبِ الرِّيْحِ اَوْ كَالْخُشُبَةِ بَيْنَ يَدَيِ الأَمْوَاجِ وَاِنَّمَا يَخْلُقُ اللهُ الأَعْمَالَ عَلَى يَدَيْهِ
“bahwa manusia itu dipaksa dan sama sekali tidak memiliki kebebasan keinginan, dia tidak memiliki kekuatan untuk menciptakan perbuatannya, dia seperti bulu yang diterbangkan hem-pasan angin atau seperti sebilah papan kayu yang ada di tengah-tengah gelombang laut. Hanya Allah sajalah yang mencipatkan perbuatan manusia oleh tangan-Nya”.

Nyata sekali bahwa kedua pendapat tersebut adalah saling bertentangan dan diametral, sehingga mendorong Abu Hasan Al-‘Asy’ariy (اَبُوْ الْحَسَنِ اَلأَشْعَرِيُّ) yang kemudian dikenal sebagai pendiri kelompok Ahlu Sunnah alias Asy-‘Ariyah untuk merumuskan jalan tengah :
اِنَّ الإِنْسَانَ لَهُ كَسْبٌ اِخْتِيَارِيٌّ (اَفْعَالٌ اِخْتِيَارِيَّةٌ) فِيْ اَفْعَالِهِ فَهُوَ يُحَاسَبُ عَلَى هَذَا الْكَسْبِ الإِخْتِيَارِيِّ
“bahwa manusia itu memiliki pilihan aksi dalam perbuatannya dan dia akan dihisab atas pilih-an aksi tersebut”.
Namun ternyata konsep Ahlu Sunnah pun tidak menyelesaikan persoalan bahkan semakin me-nambahnya, karena konsep jalan tengah ini pun sebenarnya sama saja dengan pendapat kaum Jabariyah. Artinya baik Ahlu Sunnah maupun Jabariyah adalah sama yakni mereka itu pada hakikatnya adalah : هُمْ جَبَّرِيُّوْنَ. Jadi, ketiga kelompok mutakalimin ini sebenarnya hanya dua saja yakni Mu’tazilah dan Jabariyah dan ketiga-tiganya adalah sangat salah sebab mereka sepenuh-nya dipengaruhi oleh dua golongan besar para filosof Yunani, yakni :
اَلأَبِيْقُوْرِيُّوْنَ يَرَوْنَ اَنَّ الإِرَادَةَ حُرَّةٌ فِيْ الإِخْتِيَارِ وَالإِنْسَانُ يَفْعَلُ جَمِيْعَ الأَفْعَالِ بِإِرَادَتِهِ وَاخْتِيَارِهِ دُوْنَ اَيِّ اِكْرَاهٍ
“kaum Abiquriy berpendapat bahwa keinginan itu adalah bebas dalam bentuk pilihan dan ma-nusia melakukan semua perbuatannya berdasarkan keinginan dan pilihannya tanpa ada paksa-an apa pun”.

اَلرُّوَاقِيُّوْنَ يَرَوْنَ اَنَّ الإِرَادَةَ مُجْبَرَةٌ عَلَى السَّيْرِ فِيْ طَرِيْقٍ لاَيُمْكِنُهَا اَنْ تَتَعَدَّاهَا وَالإِنْسَانُ لاَ يَفْعَلُ شَيْئًا بِإِرَادَتِهِ وَاِنَّمَا هُوَ مَجْبُوْرٌ عَلَى فِعْلِ اَيِّ شَيْءٍ وَلاَ يَمْلِكُ اَنْ يَفْعَلَ وَاَلاَّ يَفْعَلَ
“kaum Ruwaqiy berpendapat bahwa keinginan itu dipaksa untuk berjalan dalam arena yang ti-dak akan mungkin untuk dilewati batas-batasnya dan manusia itu tidak akan melakukan sesua-tu berdasarkan keinginannya, dia dipaksa untuk melakukan sesuatu apa pun dan dia tidak me-miliki kebebasan untuk melakukan atau untuk tidak melakukan”.

Jadi ilmu kalam ada di tengah-tengah kehidupan umat Islam adalah akibat keterpengaruhan para pegiatnya yakni mutakalimin oleh dua gugus besar filsafat Yunani dan itu berawal dari diterjemahkannya buku-buku filsafat Yunani tersebut ke dalam Bahasa Arab. Lalu karena me-reka adalah umat Islam tentu saja tidak ingin melepaskan diri dari sumber-sumber Islam itu sendiri yakni Al-Quran dan As-Sunnah. Namun sayang sekali yang mereka lakukan adalah mencari asas legal dari sumber Islam tersebut bagi pemikiran dan sikap mereka yang sudah ter-lanjur dikooptasi oleh filsafat Yunani atau dengan kata lain mereka menjadikan dalil-dalil dari sumber Islam sebagai legitimasi bagi pemikiran maupun sikap mereka itu. Inilah yang dimak-sudkan dengan penggunaan dalil (اَلإِسْتِدْلاَلُ) yang salah, sehingga hasil akhirnya adalah dapat di-pastikan juga salah, tidak akan pernah mungkin benar hingga kapan pun. Hal yang serupa juga terjadi pada komunitas sufah dengan pemikiran tasawuf mereka yakni mereka menggunakan dalil-dalil dari sumber Islam sebagai legitimasi bagi pemikiran dan sikap mereka yang sudah terlanjur skeptis terhadap realitas sosial dan politik Dunia Islam saat itu (Khilafah Abasiyah).
Sedangkan ilmu nahwu jelas sekali bukan bentuk pendekatan terhadap Al-Quran pada masalah-masalah klasik, melainkan اَلْمَعْرِفَةُ yang disusun oleh para ulama Bahasa Arab ketika mereka mendapati kenyataan telah terjadinya berbagai kerusakan dalam lisan Bahasa Arab seiring de-ngan semakin tidak diperhatikannya penggunaan Bahasa Arab اَلْفُصْحَةُ dalam pergaulan sehari-hari kaum muslim maupun dalam program pengajaran (سِيَاسَةُ التَّعْلِيْمِ) yang diselenggarakan oleh Khilafah Abasiyah. Inilah yang sangat mengherankan mengapa seorang Urwatul Wustqo yang mengklaim diri sebagai peminat Sastra Arab tapi kemudian begitu tidak tahu tentang latar be-lakang munculnya ilmu nahwu dalam realitas kehidupan kaum muslim. Tidak diragukan lagi sikap sangat gegabah  juga diperlihatkan oleh dia saat memposisikan عُلُوْمُ الْقُرْءَانِ pada keduduk-an yang sama dengan ilmu nahwu.
2.       penghayatan dan pengamalan adalah inti diturunkannya Al-Quran
Memang benar, aqal manusia meniscayakan (يُحَتِّمُهُ عَقْلُ الإِنْسَانِ) bahwa Al-Quran diturunkan adalah untuk “dihayati dan diamalkan” yakni untuk menggantikan kedudukan Injil yang sudah berakhir masa berlakunya seiring dengan wafatnya Nabi Isa as. Al-Quran sendiri telah menginformasikan kepada aqal manusia bahwa manusia wajib mengikuti segala ketentuan Allah SWT yang telah dite-tapkan dalam Al-Quran. Allah SWT menyatakan :
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (الأنعام : 161)
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (الأنعام : 153)

Rasulullah saw menyatakan :
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ثُمَّ قَالَ ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوهُ (رواه مسلم)
Namun, berdasarkan pemikiran maupun sikap Urwatul Wustqo yang dipaparkan dalam tulisannya maka dapat dipastikan bahwa dia sama sekali tidak jujur dan tidak serius dalam pernyataan bahwa penghayatan dan pengamalan adalah inti diturunkannya Al-Quran. Hal itu karena justru dia sendiri telah mengingkarinya dalam berbagai pernyataan lain dari bagian tulisannya, seperti : seharusnya Alquran dijadikan instrumen bagi sebuah realitas. Ia jangan lagi ditempatkan pada posisi normatif dan mitos-mitos dalam kehidupan, tetapi harus dihadapkan pada realitas-realitas empirik dan kon-tekstual.
3.       ada perbedaan signifikan antara Al-Quran saat diturunkan di zaman Nabi dengan Al-Quran yang sudah build-up seperti sekarang
Jika pun realitas tersebut dianggap sebagai perbedaan, maka itu hanya berupa perbedaan bentuk fi-sik Al-Quran semata dan sama sekali tidak menyangkut kandungan informasi yang ada dalam dua bentuk fisik yang berbeda itu. Adalah benar (karena faktanya demikian) sepanjang 23 tahun Nabi Muhammad saw berada di tengah-tengah manusia, maka bentuk fisik Al-Quran adalah : (a) berupa hapalan dalam otak para shahabat termasuk Nabi sendiri dan (b) sebagian berupa tulisan yang ditu-lis (sesuai perintah Nabi) dalam berbagai media (pelepah pohon kurma, tulang, batu dan lainnya). Lalu, setelah ditetapkan oleh Allah SWT sempurna maka terjadilah dua peristiwa besar yakni :
a.       Islam telah sempurna : الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة : 3).
b.       wafatnya Nabi Muhammad saw :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (آل عمران : 144)
Kedua peristiwa tersebut menuntut aqal untuk memutuskan bahwa :
a.       karena Nabi Muhammad saw telah wafat dan adanya celaan (اَلذَّمُّ) yang sangat keras dari Allah SWT dalam bagian ayat وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا, maka seluruh umat Islam wajib men-jadikan Al-Quran seutuhnya sebagai sumber informasi seluruh ketentuan Allah SWT hingga tibanya akhir kehidupan dunia.
b.      karena tidak akan pernah ada lagi Nabi lain yang diutus oleh Allah SWT pasca wafatnya Nabi Muhammad saw dan Islam telah sempurna, maka seluruh manusia di dunia wajib hanya men-jadikan Islam sebagai asas kehidupan mereka di dunia.
Oleh karena itu, mengapa harus terjebak dalam realitas perbedaan bentuk fisik Al-Quran tersebut padahal aqal dapat membuktikan bahwa isi dari kedua bentuk fisik itu sama sekali tidak ada perbe-daan. Lagipula para shahabat Nabi telah bersepakat ketika mereka dipimpin oleh Khalifah Utsman untuk menyetujui langkah Khalifah menyatukan seluruh bentuk hapalan maupun tulisan Al-Quran dalam sebuah mushaf : اَلْمُصْحَفُ الْعُثْمَانِيُّ. Bahkan Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud yang memiliki mushaf sendiri ternyata juga sepakat dengan Khalifah untuk memusnahkan mushaf milik masing-masing dan lalu hanya berpegang teguh kepada mushaf resmi yang ditetapkan Khalifah. Lebih bahkan lagi, saat Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah ternyata beliau sama sekali tidak ber-usaha untuk merevisi keputusan Khalifah Utsman tersebut padahal sangat terbuka kesempatan un-tuk itu mengingat kedudukan beliau sebagai Khalifah. Jadi, seluruh realitas tersebut ditambah fakta lainnya dari era tabi’in maupun tabi’ut tabi’in, memastikan kepada aqal bahwa adalah sebuah kesia-siaan alias tidak ada gunanya sama sekali untuk mempersoalkan realitas perbedaan bentuk fisik yang pernah dialami oleh Al-Quran.
Adapun pernyataan Urwatul Wustqo : tapi kini Alquran menghampiri pembacanya lewat teks-teks yang sudah melampaui zaman pertama kali ketika turun. Karena itu, perlu ada upaya untuk mema-hami Alquran secara serius, di antaranya terus menafsirkannya secara aktual.
Nampak sekali bahwa ada : (a) ketidakberdayaan (powerless), (b) ketidak percayaan diri dan (c) kekisruhan pemikiran, pada diri sang penulis, karena walau dia menyatakan perlu ada upaya untuk memahami Alquran secara serius, namun sebenarnya itu adalah bentuk ungkapan riil keadaan diri-nya yang memang sangat kebingungan dalam memposisikan dan ketika harus berhadapan dengan Al-Quran saat ini. Akhirnya dia sangat ingin menyampaikan pesan kuat bahwa Al-Quran harus tunduk dan wajib mengikuti realitas kekinian. Inilah yang dia maksudkan dalam pernyataan : pen-dekatan Alquran yang realistik merupakan konstruksi baru bagi kaum muslim dalam menghadapi persoalan-persoalan modern atau di situ Islam menjadi agama yang realistik dan dapat memberi kontribusi yang praktis bagi peradaban. Teks Alquran menjadi spiritnya (zeitgeist) dan sumber pe-nyemangat bagi kehidupan.
4.       Al-Quran harus ditafsirkan secara aktual, dijadikan sebuah instrumen bagi realitas, harus dihadap-kan kepada realitas-realitas empirik dan kontekstual
Aktual atau اَلْوَاقِعِيَّةُ berarti sesuai dengan fakta atau menyesuaikan diri dengan fakta, sehingga saat dikatakan Al-Quran harus ditafsirkan secara aktual maka itu bermakna bahwa Al-Quran harus ditafsirkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan fakta atau dapat menyesuaikan diri dengan fakta.
Instrumen dalam bahasa Inggris instrument dapat bermakna alat/peralatan (tools) atau bisa juga yang berkaitan dengan musik yakni instrumentalia : musik tanpa disertai suara manusia, hanya suara dari alat-alat musik. Penggunaan lain saat ini adalah di sektor finansial misal : SBI atau SUN atau SUKUK adalah tiga jenis instrumen pembiayaan untuk menutupi defisit APBN. Artinya SBI atau SUN atau SUKUK itu adalah alat yang digunakan sebagai sumber pembiayaan. Jadi, bila dika-takan bahwa Al-Quran harus dijadikan sebuah instrumen bagi realitas, maka maknanya adalah Al-Quran harus menjadi alat atau peralatan atau dijadikan sebuah sumber bagi realitas. Tentu saja yang menjadi subjeknya atau penentunya adalah realitas itu sendiri bukan Al-Quran, yakni ketika Al-Quran dapat memenuhi tuntutan realitas maka Al-Quran digunakan bila sebaliknya maka tidak.
Realitas empirik adalah kenyataan atau fakta yang ditunjukkan oleh atau terjadi dalam perjalanan kehidupan manusia di dunia. Kontekstual berarti yang menyertai makna tekstual atau sebuah mak-na yang bersifat implisit dan tidak eksplisit. Sehingga saat dikatakan bahwa Al-Quran harus diha-dapkan kepada realitas-realitas empirik dan kontekstual, maka itu berarti posisi dan eksistensi Al-Quran sangat bergantung kepada kenyataan atau fakta yang ditunjukkan oleh atau terjadi dalam perjalanan kehidupan manusia di dunia. Apabila realitas empirik menunjukkan bahwa Al-Quran adalah benar, maka itu berarti Al-Quran adalah benar dan bila realitas empirik menunjukkan bahwa Al-Quran adalah salah atau ada kesalahan maka Al-Quran harus mengikuti realitas empirik itu.
Demikian juga saat Al-Quran menyatakan haramnya sesuatu secara tekstual namun secara konteks-tual sesuatu yang diharamkan itu adalah dibutuhkan oleh atau bermanfaat bagi manusia maka Al-Quran wajib mengikuti tuntutan kontekstual tersebut. Singkatnya, Al-Quran harus dimaknai sede-mikian rupa sehingga bersesuian dengan atau dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan realitas ke-hidupan manusia, bila masih diinginkan manusia memberikan penghargaanya kepada Al-Quran. Inilah yang dimaksudkan oleh sang penulis saat dia menyatakan : di situ Islam menjadi agama yang realistik dan dapat memberi kontribusi yang praktis bagi peradaban.

5.       teks Al-Quran menjadi spirit dan sumber penyemangat bagi kehidupan dan harus diterjemahkan se-cara rasional dan diaktualisasikan dalam realitas sehingga bisa mencipta peradaban kaum muslim yang sesungguhnya
Pernyataan bahwa teks Al-Quran menjadi spirit dan sumber penyemangat bagi kehidupan, semakin memastikan apa sesungguhnya yang tengah direncanakan dan dirancang oleh Urwatul Wustqo saat dia memaparkan seluruh gagasannya di bawah tema “Rethingking Alquran”. Dia begitu ingin agar Al-Quran dijadikan sebagai salah satu rujukan (dari sekian banyak rujukan) oleh manusia di dunia sehingga memiliki kesejajaran dan kesetaraan dengan rujukan lain dalam memberikan kontri-businya kepada peradaban manusia (human civilization atau اَلْحَضَارَةُ الإِنْسَانِيَّةُ). Jika keinginannya yang sangat kuat itu dapat terealisir, maka hal itu menjadi sebuah kebanggaan sekaligus penam-bah kepercayaan diri minimal bagi dia sendiri dan bahkan bagi seluruh umat Islam yang sepakat dengan semua gagasannya tersebut. Inilah yang terungkap dalam penegasan : Al-Quran harus di-terjemahkan secara rasional dan diaktualisasikan dalam realitas sehingga bisa mencipta peradab-an kaum muslim yang sesungguhnya. Apakah itu “peradaban kaum muslim yang sesungguhnya” ?
Peradaban atau civilization atau اَلْحَضَارَةُ adalah :
مَجْمُوْعُ الْمَفَاهِيْمِ عَنِ الْحَيَاةِ
“kumpulan pemahaman tentang kehidupan”

Oleh karena itu, sebuah peradaban sangat ditentukan identitasnya oleh aqidah atau ideologi atau cara pandang terhadap kehidupan yang menjadi asasnya. Aqidah Islamiyah beserta ideologi dan cara pandangannya terhadap kehidupan membentuk Peradaban Islam atau Islamic Civilization atau اَلْحَضَارَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ. Demikian juga dengan aqidah sekularisme (aqidah Dunia Barat) berikut ideologi dan cara pandangannya terhadap kehidupan akan membentuk Peradaban Barat atau Western Civili-zation atau اَلْحَضَارَةُ الْغَرْبِيَّةُ. Identitas tersebut adalah ciri khas yang tidak mungkin (menurut aqal) un-tuk dirubah atau disenyawakan dengan identitas lain atau dikompromikan dengan identitas lain atau dijadikan mozaik dengan maupun bagi identitas lain. Hal itu karena secara pasti akan meng-hilangkan bahkan menganulir ciri khas masing-masing yang berakibat secara otomatis eksistensi peradaban yang bersangkutan tidak akan lagi terwujud alias musnah dari realitas.
Jadi, bila Peradaban Islam yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah :
a.       dirubah dengan cara merubah pemahaman terhadap kedua sumber tersebut yakni tidak lagi menggunakan metode pemahaman yang seharusnya menurut Islam itu sendiri (Ushul Fiqih) maka dapat dipastikan Peradaban Islam akan hilang dan yang akan muncul adalah peradaban baru yang mengikuti pemahaman baru akibat dari digunakannya metode pemahaman yang telah berubah dan yang pasti itu sama sekali bukan Peradaban Islam.
b.      disenyawakan dengan identitas lain maka yang pasti baik itu identitas Peradaban Islam mau-pun peradaban lain yang menjadi partner senyawanya akan musnah. Tingkat kemusnahan dari identitas masing-masing yang saling bersenyawa itu akan sangat bergantung kepada porsi atau bagian dari masing-masing yang terlibat dalam persenyawaan. Contoh : bila porsi dari masing-masing adalah sama yakni 50 persen dan 50 persen, maka tingkat kemusnahan masing-masing juga adalah 50 persen, demikian seterusnya. Harus diingat bahwa walau misalnya porsi perse-nyawaan dari Peradaban Barat hanya satu (1) persen dan dari Peradaban Islam adalah 99 persen maka itu telah seutuhnya menghilangkan identitas alias ciri khas Peradaban Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
c.       dikompromikan dengan identitas lain berarti Peradaban Islam dipaksa untuk mengakui atau membiarkan atau menerima identitas peradaban lain. Hal itu karena makna istilah kompromi adalah mengakui, membiarkan dan menerima walau dengan cara paksa berdasarkan pertim-bangan tertentu misalnya kepentingan atau manfaat. Tentu saja hal ini akan menghilangkan ciri khas Peradaban Islam secara pasti dan akan menjadikan ciri khas peradaban lain semakin me-nonjol atau menguat. Sebagai contoh, Islam adalah : هُوَ الدِّيْنُ وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ dan ini merupakan salah satu dari ciri khas Peradaban Islam. Namun karena saat ini (telah berlangsung lebih dari 84 ta-hun) yang mendominasi kehidupan manusia adalah Peradaban Barat yang berbasis sekularisme yang menetapkan : فَصْلُ الدِّيْنِ عَنِ الْحَيَاةِ وَالدَّوْلَةِ, maka sebagian sangat besar umat Islam berusaha keras untuk melakukan kompromi terhadap dua kutub diametral tersebut. Hasilnya adalah dibi-arkannya kemunculan partai politik (parpol) yang berasas Islam dengan syarat tetap tunduk patuh kepada atau selalu berada dalam naungan atau pakem sistem pemerintahan yang diwajib-kan oleh sekularisme sendiri yakni demokrasi.
d.      dijadikan mozaik dengan maupun bagi identitas lain yang berarti Peradaban Islam diposisi-kan saling melengkap dan menyempurnakan dengan peradaban lain atau justru Peradaban Islam benar-benar dijadikan pelengkap atau penyempurna atau penutup semua kekurangan maupun kelemahan dari peradaban lain. Sebagai contoh, sistem perekonomian kapitalistik yang merupa-kan salah satu ciri khas Peradaban Barat hanya mengenal adanya pertumbuhan dan sama sekali tidak peduli dengan pemerataan. Inilah yang ditunjukkan oleh upaya para ekonom maupun praktisi (pemerintah dan swasta) untuk selalu menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi tetap ting-gi walau hanya ditopang oleh atau bertumpu pada realitas konglomerasi. Skema konglomerasi memastikan bahwa ada sekelompok sangat kecil dari pelaku ekonomi (tidak pernah lebih dari 20 persen total jumlah penduduk) yang menguasai dan mengendalikan sebagai sangat besar dari kekayaan (tidak pernah kurang dari 80 persen). Tentu saja skema ini merupakan kelemahan sangat nyata dari perekonomian kapitalistik yang berakibat munculnya ancaman bahaya mema-tikan bagi para konglomerat dari kelompok melarat. Oleh karena itu, ketika mereka mendapati dalam Islam adanya konsep zakat, infaq, shadaqah (yang mereka sebut sebagai aspek filantropi) yang dianggap akan dapat menurunkan tingkat ancaman dari kelompok melarat, maka tanpa ragu-ragu lagi seluruh konsep tersebut diadopsi dalam bentuk (kasus di Indonesia) kemunculan berbagai lembaga yang bersangkut paut dengan zakat, infaq, shadaqah (BAZNAS, ZIS, DD dan sebagainya) dengan mengibarkan bendera keberpihakan kepada kaum dhuafa. Hal yang serupa juga terjadi pada fenomena kemunculan berbagai bank syariah (office channeling), lembaga fi-nansial syariah (JII) dan sebagainya. Tentu saja yang akan kehilangan identitas bahkan eksis-tensinya adalah Peradaban Islam dan sebaliknya Peradaban Barat akan semakin menguat serta menjadi tambah kokoh.
Wal hasil, inilah fakta aktual dan pasti yang mempertelakan bahwa betapa kisruhnya pemikiran umat Islam bahkan untuk sekedar memastikan posisi Al-Quran yang sebenarnya sudah jelas yakni sebagai sumber hukum dalam Islam (مَصْدَرُ الْحُكْمِ فِيْ الإِسْلاَمِ).


Islam justru ada di Dunia Barat : benarkah?
Sir Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of Islamic Thought (1985) menyatakan : Islam justru tidak ada di Dunia Islam sendiri, Islam justru ada di Dunia Barat.
Tentu saja, pernyataan Iqbal itu memberikan sejumlah kemungkinan kandungan informasi yakni :
a.       Dunia Islam sama sekali tidak memberlakukan Islam
b.       Dunia Barat benar-benar memberlakukan Islam
c.       Tidak ada kejelasan sama sekali dalam diri Iqbal sendiri antara diberlakukan dan tidak diberlaku-kannya Islam

Lalu, bagaimanakah menjelaskan ketiga kemungkinan tersebut?
Dunia Islam yang dicirikan dengan pasti oleh adanya Khilafah Islamiyah yang dipimpin secara tunggal oleh Khalifah selalu memberlakukan Islam walau disertai pasang surut atau fluktuasi dalam hal konsistensi  pemberlakuan Islam tersebut (اِلْتِزَامُ الْخِلاَفَةِ فِيْ تَنْفِيْذِ وَتَطْبِيْقِ الإِسْلاَمِ), terutama pasca era Khulafa Rasyidin. Pemberlakuan Islam itu berlangsung sangat lama yakni dimulai sejak abad ke-6 M hingga awal abad ke-20 M, yang berarti lebih dari 13 abad alias lebih dari 1300 tahun. Dunia Islam baru ber-henti memberlakukan Islam saat diruntuhkannya Khilafah oleh Inggris pada tanggal 3 Maret 1924.
Terhitung sejak saat itu hingga saat ini termasuk ketika Iqbal menulis bukunya (1985), memang benar Dunia Islam tidak pernah lagi memberlakukan Islam yang dengan kata lain memang benar Islam tidak ada lagi di Dunia Islam. Lebih dari 84 tahun, Islam hanya ada di dalam benak umat Islam secara individual dan itupun dapat digambarkan seumpama lampu pelita yang hampir padam karena kehabisan bahan bakarnya di tengah tiupan angin (kekufuran) yang semakin kencang. Jadi, bila realitas ini yang dimaksudkan oleh Iqbal, maka dia telah benar dalam menyimpulkannya.
Namun, karena ada pernyataan dia : Islam justru ada di Dunia Barat, maka dapat dipastikan bah-wa pemikirannya adalah tidak jelas dan kisruh berkenaan dengan analisis atau pandangan dia terhadap persoalan tersebut. Hal itu karena, saat dia menyatakan bahwa Islam justru ada di Dunia Barat maka ada satu hal prinsip yang wajib dipertanyakan : apa standard yang digunakan untuk membuat kesimpu-lan seperti itu?
Adalah sangat mustahil bagi Iqbal untuk membuat konklusi seperti itu bila dia menggunakan Per-adaban Islam sebagai standardnya. Hal itu karena : (a) Dunia Islam sekalipun tidak pernah memberla-kukan lagi Islam sejak institusi Khilafah hilang dari genggaman mereka dan (b) adalah Dunia Barat sendiri saat itu dipimpin oleh Inggris (United Kingdom) yang menjadi pelaku utama dalam meruntuh-kan sekaligus menghancurkan Khilafah yang berpusat di Dunia Islam. Sehingga, sekali lagi, jika stan-dard yang digunakan oleh Iqbal adalah realitas tersebut, maka kesimpulannya haruslah : sejak Khilafah diruntuhkan maka Islam tidak ada lagi di Dunia Islam bahkan di seluruh pelosok dunia.
Dengan demikian, pemikiran Iqbal tengah benar-benar dikooptasi oleh realitas yang ada di Dunia Islam dan di Dunia Barat ketika dia menulis bukunya (Reconstruction of Islamic Thought,1985). Reali-tas di Dunia Islam pada tahun 1985 adalah ulang tahun keruntuhan Khilafah yang ke-61 sehingga kon-disinya dapat dipastikan tengah terjadi intensifikasi pemberlakuan demokrasi maupun kapitalisme di berbagai bagian negerinya. Proses tersebut faktanya selalu disertai atau paling tidak diawali oleh ada-nya rezim represif yang pada umumnya dimotori atau bahkan dikendalikan oleh militer, sehingga terke-san sangat kuat aroma kediktatorannya serta ketidak berpihakannya kepada rakyat kecil jelata. Inilah kenyataan politik maupun sosial Dunia Islam yang sangat mengkooptasi diri Iqbal sehingga dia begitu ceroboh menyimpulkan : Islam justru tidak ada di Dunia Islam sendiri. Dikatakan demikian karena pemikiran dia itu semata hanya bertumpu kepada kenyataan yang tengah berjalan dan sama sekali tidak didasarkan kepada ketentuan Ideologi Islam sendiri.
Sementara itu, pada saat yang sama dia begitu terpesona oleh fakta politik dan sosial yang tengah berlangsung di Dunia Barat (AS dan Eropa) yang memang telah sampai kepada tingkat settlement alias keadaan sangat mantap dan stabil. Akibatnya tertampak sangat jelas : (a) pemerintahan yang demokra-tis dan jauh dari diktatorisme, (b) keberpihakan pemerintah kepada rakyat, (c) posisi tawar dari rakyat yang sangat tinggi yang ditunjukkan oleh adanya parlemen atau DPR dan lainnya. Lalu, saat dia men-dapati semua fakta di Dunia Barat itu, maka dia pun sedikit teringat bahwa Islam sangat menekankan syura, perlindungan terhadap kaum tertindas (اَلْمُسْتَضْعَفُوْنَ), pemerintahan yang penuh dengan kasih sa-yang dan seterusnya. Akhirnya dengan menggabungkan dua hal tersebut, dia membuat kesimpulan lain yaitu : Islam justru ada di Dunia Barat.
Jadi, Sir Muhammad Iqbal adalah satu dari sekian sangat banyak umat Islam yang sama sekali tidak memiliki pemahaman apa pun baik itu tentang Islam (berikut Dunia Islam) maupun kekufuran (beserta Dunia Barat). Inilah potret seindah warna aslinya dari realitas pemikiran umat Islam yang se-iring dengan berjalannya waktu ternyata semakin kisruh.



أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (الحج : 46)


يُوشِكُ إِنْ طَالَتْ بِكَ مُدَّةٌ أَنْ تَرَى قَوْمًا فِي أَيْدِيهِمْ مِثْلُ أَذْنَابِ الْبَقَرِ يَغْدُونَ فِي غَضَبِ اللَّهِ وَيَرُوحُونَ فِي سَخَطِ اللَّهِ (رواه مسلم)

No comments:

Post a Comment