Wednesday, December 19, 2012

ISLAM KULTURAL DAN ISLAM POLITIK : ADAKAH?



Wacana Islam Kultural dan Islam Politik : upaya lain dalam menghancurkan Islam!
Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama NKRI : Prof. Dr. Nasaruddin Umar menyata-kan : Di Asia Tenggara, Melayu khususnya, kaum suni menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin. Islam mewarnai dan tewarnai budaya lokal menjadikannya tidak tampil garang. Sehingga ada guyonan “Islam memang lahir di Tanah Arab, tapi tugas mereka sudah selesai. Tugas mengembang-kan Islam kini ada di pundak Muslim Asia karena mereka didukung oleh soft culture yang sangat kaya dan tidak sarat konflik seperti di Arab”.
Kepala Bidang Litbang dan Diklat Departemen Agama NKRI : Prof. Dr. Atho Muzhar menyata-kan : Benarkah kaum suni selamanya demikian? Ternyata tidak. Kelompok aswaja yang identik dengan keluwesan, toleransi dan kerja sama dengan pihak penguasa suatu ketika bisa meloncat dan keluar dari pakem itu. Aswaja ada yang berkembang menjadi kelompok-kelompok ekstrem, misalnya Darul Islam yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia tahun 1948. Pada penghujung abad lalu dan awal abad ini, beberapa kelompok yang tergabung dalam ormas Islam tertentu juga cenderung menja-di kelompok yang ekstrem dalam upaya menegakkan syariah atau bahkan Khilafah Islamiyah. Dengan kata lain, ada dua kekuatan Islam suni di Tanah Air : aswaja yang bergerak pada pemeliharaan Islam konvensional atau kultural dan aswaja yang berkembang menjadi Islam syariat dan politik. Ke depan interaksi dan tarik menarik antara kelompok Islam politik dan kelompok Islam kultural akan terus ber-langsung di Indonesia. Inilah perlunya memperkuat sistem yang mampu mendorong berkembangnya Islam kultural di Tanah Air. Apabila sistem NKRI itu lemah, tidak sanggup mendorong berkembangnya Islam kultural dan tidak sanggup menekan berkembangnya Islam politik, maka boleh jadi persaingan antar dua kelompok Islam suni ini akan tidak terkendali di masa depan.
Demikianlah resume pemikiran dua orang pejabat tinggi Departemen Agama (Depag) NKRI ber-kenaan dengan perkembangan mutakhir “Islam suni” alias aswaja (ahlu sunnah wal jamaah) di Indone-sia. Keduanya sepakat bahwa :
1.       sifat asli aswaja Melayu adalah tidak garang melainkan luwes, penuh toleransi, dapat bekerja sama dengan penguasa dan mengambil jalan kultural yakni : (a) mewarnai dan terwarnai oleh budaya lo-kal atau (b) bergerak pada pemeliharaan Islam secara konvensional.
2.       karena muncul perkembangan yang mengkhawatirkan yakni adanya aswaja yang menjadi atau cen-derung menjadi kelompok-kelompok ekstrem alias menjadi Islam syariat dan politik, maka sistem NKRI harus diperkuat supaya sanggup mendorong berkembangnya Islam kultural dan sanggup me-nekan berkembangnya Islam politik. Hal itu karena bila sistem NKRI tidak demikian maka Islam politik dikhawatirkan akan dapat mendominasi atau bahkan mengalahkan Islam kultural : … maka boleh jadi persaingan antar dua kelompok Islam suni ini akan tidak terkendali di masa depan.
3.       Islam kultural (اَلإِسْلاَمُ الثَّقَافِيُّ) adalah berlawanan alias diametral dengan Islam politik (اَلإِسْلاَمُ السِيَاسِيُّ), yakni Islam kultural bersikap bekerja sama dengan penguasa yang ada (misal pemerintah NKRI), sedangkan Islam politik justru berkonfrontasi dengan penguasa yang ada serta berusaha keras untuk menerapkan syariah Islamiyah atau bahkan menegakkan negara Islam : Khilafah Islamiyah.
4.       para pengusung Islam politik adalah sangat berbahaya bagi eksistensi suatu negara kebangsaan (mi-sal NKRI), sebab mereka menganggap semua negara kebangsaan adalah salah menurut Islam dan Islam sendiri telah menetapkan bentuk negara tersendiri yakni Khilafah Islamiyah yang wajib dite-gakkan dalam realitas kehidupan dunia.
Kesepakatan kedua pejabat tinggi Depag NKRI itu merupakan seruan ultimatum kepada umat Islam paling tidak yang bermukim di kawasan Asia Tenggara bahwa mereka wajib memusuhi, menja-uhi dan meninggalkan ide Islam politik sekaligus kelompok ekstrem pengusungnya. Seruan tersebut ti-dak hanya bersifat the command into the bottom layer alias seruan kepada rakyat biasa, melainkan juga seruan untuk bekerja sama multilateral G to G (minimal dalam wadah ASEAN) untuk memperkuat sis-tem negara masing-masing sehingga dapat dengan mudah untuk : (a) memberangus dan memusnahkan kelompok Islam politik yang telah terlanjur ada serta (b) menutup setiap celah sekecil apa pun bagi muncul dan terbentuknya kelompok Islam politik. Bahkan penyebutan kelompok Darul Islam (DI) yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1948 sebagai aswaja ekstrem, merupakan tambahan stigma citra buruk dan menyeramkan yang diarahkan secara pasti kepada realitas para pe-ngusung Islam politik di negeri Indonesia serta kawasan Asia Tenggara.
Benarkah Islam terbelah menjadi Islam kultural (اَلإِسْلاَمُ الثَّقَافِيُّ) dan Islam politik (اَلإِسْلاَمُ السِيَاسِيُّ)? Mengapa atau untuk apakah kedua orang pejabat tinggi Depag itu mewacanakan hal tersebut?
Islam kultural (اَلإِسْلاَمُ الثَّقَافِيُّ) bermakna Islam yang disifati oleh kultur (culture atau اَلثَّقَافَةُ) alias kebudayaan. Pengistilahan ini menunjukkan bahwa antara Islam dan kebudayaan merupakan dua hal yang terpisah tapi dapat digabungkan dengan cara yang satu mensifati (اَلصِّفَةُ) yang lainnya (اَلْمَوْصُوْفُ). Jadi sebenarnya bisa Islam yang disifati oleh kultur (اَلإِسْلاَمُ الثَّقَافِيُّ) : Islam kultural dan bisa juga Islam yang mensifati kultur (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) : kultur yang Islami atau kebudayaan yang muncul dari Islam. Pernyataan Nasaruddin Umar bahwa di Asia Tenggara Islam mewarnai dan tewarnai budaya lokal menjadikannya tidak tampil garang, memang sangat tepat (sesuai dengan faktanya) untuk memberikan makna bagi istilah Islam kultural. Artinya, makna Islam kultural memastikan bahwa kultur yang mensi-fati Islam itu sama sekali bukan dari Islam atau tidak harus berasal dari Islam sendiri. Dengan kata lain, istilah Islam kultural menempatkan Islam sebagai harus dapat menerima kultur apa pun dan dari mana pun asalnya, termasuk dari kekufuran (sekularisme dan turunannya maupun budaya lokal). Te-gasnya, istilah Islam kultural telah memaksa Islam untuk bersatu secara utuh dengan kekufuran apa pun bentuk dan manifestasinya.
Adapun istilah kultur yang Islami atau kebudayaan yang muncul dari Islam (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) ber-makna :
هِيَ الْمَعَارِفُ الَّتِيْ كَانَتِ الْعَقِيْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ سَبَبًا فِيْ بَحْثِهَا سَوَاءً اَكَانَتْ هَذِهِ الْمَعَارِفُ تَتَضَمَّنُ الْعَقِيْدَةَ الإِسْلاَمِيَّةَ وَتَبْحَثُهَا مِثْلَ عِلْمِ التَّوْحِيْدِ اَمْ كَانَتْ مَبْنِيَّةً عَلَى الْعَقِيْدَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ مِثْلَ الْفِقْهِ وَالتَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ اَمْ كَانَ يَقْتَضِيْهَا فَهْمُ مَا يَنْبَثِقُ عَنِ الْعَقِيْدَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ مِنَ الأَحْكَامِ مِثْلَ الْمَعَارِفِ الَّتِيْ يُوْجِبُهَا الإِجْتِهَادُ فِيْ الإِسْلاَمِ كَعُلُوْمِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ وَ مُصْطَلَحِ الْحَدِيْثِ وَعِلْمِ الأُصُوْلِ. فَهَذِهِ كُلُّهَا ثَقَافَةٌ اِسْلاَمِيَّةٌ ِلأَنَّ الْعَقِيْدَةَ الإِسْلاَمِيَّةَ هِيَ السَّبَبُ فِيْ بَحْثِهَا.
“pengetahuan yang aqidah Islamiyah menjadi sebab dalam pembahasan pengetahuan tersebut, baik pengetahuan itu mencakup aqidah Islamiyah sendiri berikut pembahasannya seperti ilmu tauhid, atau pengetahuan itu dibangun di atas asas aqidah Islamiyah seperti fiqih, tafsir dan hadits, maupun penge-tahuan yang diharuskan ada oleh pemahaman terhadap segala perkara yang terpancar dari aqidah Islamiyah yakni berupa hukum-hukum, seperti ilmu-ilmu tentang bahasa Arab, musthalah hadits dan ushul fiqih. Seluruhnya adalah kultur yang Islami, karena aqidah Islamiyah adalah yang menjadi se-bab dalam pembahasannya”.
Makna tersebut memastikan bahwa yang disebut atau dikategorikan atau berada dalam realitas kultur yang Islami (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah segala pengetahuan (الْمَعَارِفُ) yang muncul atau ada dengan sebab dalam pembahasannya adalah aqidah Islamiyah, misalnya ilmu tauhid, fiqih, tafsir, hadits, ilmu-ilmu tentang bahasa Arab, musthalah hadits dan ushul fiqih. Jadi, pengetahuan apa pun yang tidak terbukti aqidah Islamiyah sebagai satu-satunya sebab dalam pembahasannya, maka itu dapat dipastikan bukan kultur yang Islami dan tidak boleh (haram) dikategorikan sebagai kultur yang Islami. Oleh karena itu kultur yang Islami seluruhnya wajib dikembalikan kepada Al-Quran dan As-Sunnah dan dari kedua sumber itulah serta dengan memahami dan mengikatkan diri kepada keduanya, diperoleh semua cabang dari kultur yang Islami. Kedua sumber Islam itu sendiri adalah bagian kultur yang Islami karena aqidah Islamiyah mewajibkan untuk mengambil dan mengikatkan diri kepada yang ada dalam keduanya. Allah SWT menyatakan :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل : 44)
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
Wal hasil, istilah yang benar karena sesuai dengan fakta dan realitas Islam sendiri adalah kultur yang Islami alias اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ, sedangkan istilah Islam kultural (اَلإِسْلاَمُ الثَّقَافِيُّ) adalah nyata-nyata salah dan haram digunakan oleh umat Islam karena selain tidak sesuai dengan fakta dan realitas Islam, melain-kan juga bertentangan dengan fakta dan realitas Islam tersebut.
Lalu, bagaimana halnya dengan istilah Islam politik (اَلإِسْلاَمُ السِيَاسِيُّ)? Islam politik secara bahasa bermakna Islam yang disifati oleh politik dan ini menunjukkan bahwa keadaan orisinil Islam itu adalah tidak bersifat politik alias tidak ada kaitannya dengan politik. Istilah politik yang digunakan untuk mensifati Islam memiliki realitas yang ditentukan oleh arah pandangan (وِجْهَةُ النَّظَرِ) sekularisme yakni : the ways in which people gain, use, and lose power (C. Calhoun, 2002) : suatu jalan di mana orang-orang memperoleh, menggunakan dan kehilangan kekuasaan. Sehingga istilah اَلإِسْلاَمُ السِيَاسِيُّ bermakna Islam yang digunakan untuk meraih kekuasaan sekaligus menggunakannya dan ini memastikan bahwa sistema politik yang digunakan untuk mensifati Islam tersebut adalah : (a) tidak harus dari Islam sendiri sebab Islam faktanya bukanlah sistema politik dan (b) harus dari luar Islam supaya Islam yang faktanya hanya “agama spiritualistik ritualistik” menjadi sempurna. Dengan demikian, Islam menjadi layak dan mampu digunakan sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan sekaligus menggunakannya.
Adapun istilah politik yang Islami atau politik yang muncul dari Islam (اَلسِّيَاسَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) menun-jukkan secara pasti bahwa sistema politik tersebut adalah digali dari sumber-sumber Islam sehingga benar-benar jadi Islami. Realitas politik yang Islami yakni :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“mengurus kepentingan rakyat atau umat baik dalam maupun luar negeri dengan menggunakan hu-kum syara (Islam)”.
adalah definisi yang hanya digali dari sumber Islam (As-Sunnah) yakni pernyataan Rasulullah saw :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (رواه البخاري)
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ (رواه البخاري)
مَنْ اَصْبَحَ وَهْمُهُ غَيْرُ اللهِ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ وَمَنْ اَصْبَحَ وَلَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِميْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ (رواه الحاكم في المستدرك ص. 320)
Definisi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa salah satu bagian dari pemikiran Islam (اَلأَفْكَارُ الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah pemikiran tentang politik (اَلأَفْكَارُ السِّيَاسِيَّةُ) yang realitasnya selain berbeda dengan realitas politik sekularistik, melainkan juga bertentangan diametral dengan politik sekularistik itu. Perbedaan dan pertentangan yang paling menonjol dan penting adalah dalam sistema politik sekularistik ternyata poli-tik merupakan sistema yang mekanisme kerjanya digunakan untuk meraih kekuasaan sekaligus meng-gunakannya. Sedangkan dalam sistema politik Islami, realitas politik adalah sikap riil negara (Khilafah) dalam memposisikan rakyatnya (رَعِيَّتُهَا) yakni mengurus dan memenuhi kepentingan mereka, baik pada ruang lingkup dalam negeri (دَاخِلِيَّةً) maupun luar negeri (خَارِجِيَّةً) dengan hanya memberlakukan syariah Islamiyah (بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ). Oleh karena itu, istilah Islam politik (اَلإِسْلاَمُ السِيَاسِيُّ) adalah nyata-nyata sa-lah karena : (a) bertentangan sangat mendasar dan diametral dengan realitas pemikiran politik yang ada dalam sumber-sumber Islam dan (b) telah memaksa Islam untuk berada bersama-sama dengan barisan agama-agama lain yang telah sejak awal keberadaannya tunduk, patuh, ruku, sujud kepada the new god for humanity (tuhan baru bagi kemanusiaan) : sekularisme. Sedangkan istilah politik yang Islami ada-lah benar karena sesuai dengan atau memang itulah realitas pemikiran politik yang ditunjukkan dalam sumber-sumber Islam sendiri. Wal hasil, kaum muslim haram menggunakan dan mempropagandakan istilah Islam politik (اَلإِسْلاَمُ السِيَاسِيُّ) dan sebaliknya mereka wajib hanya menggunakan dan mendakwah-kan istilah politik yang Islami (اَلسِّيَاسَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ).
Ringkasan realitas pemikiran yang berkenaan dengan Islam kultural, kultur yang Islami, Islam politik dan politik yang Islami adalah :
1.       istilah Islam kultural (اَلإِسْلاَمُ الثَّقَافِيُّ) walau nyata-nyata salah menurut Islam, namun justru dalam kehidupan umat Islam saat ini yang telah berlangsung lebih dari 84 tahun, benar-benar dielaborasi-kan dan diimplementasikan. Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kultur yang mensifati Islam itu sama sekali bukan dari Islam atau tidak harus berasal dari Islam sendiri. Dengan kata la-in, istilah Islam kultural menempatkan Islam sebagai harus dapat menerima kultur apa pun dan dari mana pun asalnya, termasuk dari kekufuran (sekularisme dan turunannya maupun budaya lokal). Tegasnya, istilah Islam kultural telah memaksa Islam untuk bersatu secara utuh dengan kekufuran apa pun bentuk dan manifestasinya. Hal lain yang juga ingin ditunjukkan dengan pengopinian isti-lah tersebut adalah untuk memastikan bahwa Islam hanyalah sebuah agama yang sama persis de-ngan agama-agama lain dan sama sekali tidak memiliki keunggulan maupun keistimewaan apa pun dibandingkan agama-agama lainnya tersebut. Kenyataan inilah yang terepresentasikan pasti dalam eksistensi berbagai ormas Islam, baik yang dicap sebagai tradisional (NU, misalnya) maupun yang mengklaim diri sebagai pembaharu dan moderen (misal Muhammadiyah dan Persis).
2.       istilah kultur yang Islami (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) walau benar karena memang sesuai dengan realitas Islam sendiri, namun sudah sejak lebih dari 84 tahun sama sekali tidak terelaborasikan maupun terimple-mentasikan dalam fakta kehidupan dunia. Keadaan itu sangat wajar terjadi karena memang yang memiliki otoritas untuk menjaga dan memberlakukan kultur yang Islami adalah Khalifah yang telah lebih dari 84 tahun dilenyapkan dari kehidupan manusia di dunia. Lebih dari itu, jika pun saat ini ada perbincangan tentang kebudayaan Islami maka itu pun amat sangat reduktif yakni dibatasi se-cara paksa dalam perkara seni (the art) : seni lukis, pahat, kaligrafi, tari dan sebagainya. Lalu, jika pun umat Islam berusaha mengangkat persoalan seputar ilmu tauhid, ilmu musthalah hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih, bahasa Arab dan sebagainya, ternyata itu pun dimaksudkan sebagai bagian dari Islam yang berposisi layaknya agama lain : agama spiritualistik ritualistik. Kondisi ini sangat nam-pak dalam dinamika pola pondok pesantren baik yang bermerek tradisional maupun moderen.
3.       istilah Islam politik (اَلإِسْلاَمُ السِيَاسِيُّ) walau nyata-nyata salah karena bertentangan mendasar dengan pemikiran Islam berkenaan dengan politik, namun saat ini tengah gencar secara sengaja dan teren-cana diopinikan dan dipropagandakan ke tengah hiruk pikuk kekisruhan pemikiran umat Islam. La-lu, walau realitas implementatif istilah tersebut divonis salah dan harus dilenyapkan karena berpo-sisi sebagai lawan utama paling berat bagi Islam kultural, namun tetap saja disebarluaskan dengan tujuan untuk menunjukkan kepada umat Islam bahwa : (a) Islam dan politik adalah dua perkara yang tidak ada hubungannya sama sekali serta tidak boleh dipaksa berhubungan, (b) politik sangat dapat bahkan dipastikan akan merusak jatidiri Islam yang sebenarnya sebagai agama spiritualistik ritualistik yang harus dijaga kesucian maupun kesakralannya dan (c) politik adalah entitas publik sedangkan Islam sebagai agama adalah entitas pribadi, sehingga bila dipaksakan berhubungan ma-ka dipastikan akan terjadi kehancuran salah satu oleh eksistensi yang lainnya. Oleh karena itu, jika terpaksa mengelaborasi dan mengimplementasikan Islam politik maka itu pun harus tetap berada dalam pakem maupun koridor alias aturan main (the rule of game) yang telah digariskan oleh ideo-logi kapitalisme sekularistik, seperti yang terungkap jelas dalam gagasan Machiavelli : kawan tidak ada yang abadi, lawan tidak ada yang abadi, melainkan kepentingan sajalah yang abadi. Inilah yang terungkap vulgar dalam dinamika eksistensi parpol bermerek Islam di tengah-tengah kepung-an parpol yang mengusung nasionalisme. Contoh nyata adalah antara PDIP vs PKS. Sikap PDIP dan PKS di DPR (melalui fraksinya masing-masing) terhadap RUU Pornografi adalah sangat ber-tentangan paling tidak dalam satu aspek yakni PDIP sangat menentang pengesahan RUU tersebut menjadi UU, sedangkan PKS sangat setuju segera melakukan pengesahannya. Namun, realitas sa-ngat ironis terjadi pada saat yang bersamaan, yakni pada kasus pemilihan Walikota dan Wakilnya di Kota Bogor 25 Oktober 2008, ternyata PDIP berkoalisi “sangat intim” dengan PKS yaitu sama-sama mengusung pasangan calon walikota (incombent dukungan Golkar dan PDIP) dan calon wakil walikota (dari PKS) yang sama. Dua kenyataan yang sangat ironis tersebut “hanya dapat” dipahami bila pemikiran siapa pun yang menyaksikannya didasarkan kepada gagasan Machiavelli tersebut. Wal hasil walau PDIP (sebagai wakil resmi parpol nasionalis) menggunakan model “baju” yang berbeda dengan PKS (dianggap yang paling dapat mewakili parpol Islam), namun keduanya sepa-kat untuk menjadikan Machiavelli sebagai the another new god for humanity (tuhan baru yang la-innya bagi kemanusiaan).
4.       istilah politik yang Islami (اَلسِّيَاسَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) walau memang benar karena demikianlah yang ditun-jukkan oleh sumber-sumber dalil dalam Islam (As-Sunnah) namun posisinya saat ini adalah sama persis dengan istilah kultur yang Islami (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ), yakni sama-sama tidak terelaborasikan ma-upun terimplementasikan dalam realitas kehidupan dunia saat ini. Kenyataan tersebut adalah wajar terjadi karena memang satu-satunya pihak yang diberi otoritas penuh oleh Islam untuk memberla-kukannya dalam masyarakat hanyalah Khalifah yang memimpin Khilafah secara tunggal.

Jadi, sangat jelas sudah yang dimaksudkan oleh kedua Pejabat Tinggi Depag NKRI itu yang ber-usaha keras secara sistemik mengopinikan bahkan mempropagandakan istilah Islam kultural dan Islam politik, yakni keduanya atas nama pelayan setia kekufuran (sekularisme dan keturunannya) dan kaum kufar (وَعَلَى رَأْسِهِمُ الْوِلاَيَاتُ الْمُتَّحِدَةُ الأَمِيْرِكِيَّةُ) tengah berupaya menghancurkan Islam yang sebelumnya banyak bagiannya juga telah mereka hancurkan dengan cara lain (Islamisasi kekufuran). Keduanya ju-ga lainnya yang sama dan sejenis dengan mereka berdua, tengah dengan patuh dan sabar menjalankan perintah kaum kufar yang selalu berusaha keras untuk memerangi umat Islam hingga kaum muslim me-ninggalkan Islam secara utuh. Allah SWT menyatakan :
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة : 217)


Kristalisasi upaya penghancuran terhadap Islam
Seiring dengan berlangsungnya krisis finansial global yang begitu cepat dan meluas secara siste-mik, maka terjadi pula upaya pendiskreditan secara ideologis yang serangannya diarahkan kepada umat Islam yang mengemban Islam sebagai ideologi dunia (مَبْدَأُ الدُّنْيَا) dan bukan agama individual (دِيْنٌ فَرْدِيٌ). Inilah yang terungkap sangat jelas dari pernyataan :
1.       pengacara senior : Adnan Buyung Nasution dalam tulisannya berjudul “Konstitusionalisme Vs Fundamentalisme” : Akhirnya, saya ingin sungguh-sungguh meyakinkan segenap bangsa ini, anca-man fundamentalisme agama ini nyata dan berbahaya karena bertujuan menciptakan negara ber-dasarkan agama.
2.       Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama NKRI : Prof. Dr. Nasaruddin Umar : aswaja menjadi kelompok moderat Islam yang “santun”, itu sebabnya meraup banyak pengikut di berba-gai belahan dunia. Kaum suni juga lebih toleran terhadap pemerintah di suatu negara, tidak seper-ti Syiah yang mengambil sikap frontal.
3.       Kepala Bidang Litbang dan Diklat Departemen Agama NKRI : Prof. Dr. Atho Muzhar : Inilah per-lunya memperkuat sistem yang mampu mendorong berkembangnya Islam kultural di Tanah Air. Apabila sistem NKRI itu lemah, tidak sanggup mendorong berkembangnya Islam kultural dan tidak sanggup menekan berkembangnya Islam politik, maka boleh jadi persaingan antar dua kelompok Islam suni ini akan tidak terkendali di masa depan.
Tiga orang yang mengaku beragama Islam penyandang gelar Prof. tersebut sangat mewakili pandangan dan opini tiga komunitas manusia di dunia terhadap perkembangan mutakhir pemikiran se-bagian umat Islam yang oleh ketiganya disebut sebagai “kelompok garang dan tidak santun” atau “ke-lompok ekstrem” atau “kelompok fundamental yang mengotori keadaban publik dengan menggunakan cara-cara kekerasan”. Tiga komunitas manusia yang mereka wakili itu adalah :
1.       kaum kufar khususnya yang terepresentasikan dalam realitas negara-negara maju (G8) di bawah ke-pemimpinan Amerika Serikat (AS).
2.       kaum muslim yang berposisi sebagai penguasa di negeri-negeri Islam (حُكَّامُ الْبِلاَدِ الإِسْلاَمِيَّةِ) yang ha-kikatnya mereka itu adalah para pelayan setia kaum kufar berikut kepentingan-kepentingannya di Dunia Islam.
3.       kaum muslim yang memposisikan diri sebagai kelompok intelektual (اَلْمُثَقَّفُوْنَ) dan mereka selama ini telah dengan sadar menyediakan aqal serta dirinya untuk mengusung kebudayaan Barat yang kufur (اَلثَّقَافَةُ الْغَرْبِيَّةُ الْكَافِرَةُ) sekaligus menyebarluaskannya di Dunia Islam.

Dua keadaan dunia terkini tersebut yakni : (a) terjadinya krisis finansial global yang berlangsung sangat cepat dan sistemik serta (b) serangan pendiskreditan secara ideologis yang diarahkan secara khusus kepada umat Islam pengemban Islam sebagai ideologi dunia (مَبْدَأُ الدُّنْيَا), telah semakin menciut-kan bahkan mematikan keberanian umat Islam (berbasis kesadaran) untuk berupaya terus merubah ke-hidupan dunia saat ini yang berasas kekufuran menjadi kembali Islami, yakni menempatkan Islam se-bagai satu-satunya asas untuk membangun pola kehidupan dunia hakiki yang benar-benar sesuai de-ngan jatidiri manusia itu sendiri. Akibatnya adalah sangat mengerikan yakni :
1.       munculnya sikap skeptis pada hampir seluruh umat Islam terhadap kemungkinan kemenangan Is-lam dan Dunia Islam atas kekufuran berikut Dunia Barat. Sikap skeptis itu telah mendorong bahkan mengendalikan mereka untuk selalu menolak dengan sangat keras seruan apa pun yang mengarah kepada menjadikan Islam sebagai asas kehidupan dalam wadah pelaksanaan Khilafah Islamiyah.
2.       semakin terkucilnya posisi kaum muslim (perorangan maupun harakah) yang mengemban dakwah Islam secara ideologis serta untuk diberlakukan dalam realitas kehidupan manusia di dunia secara ideologis pula. Lebih dari itu, posisi kaum muslim ini semakin mengerikan karena tidak hanya di-kucilkan melainkan juga dimusuhi secara terang-terangan.
3.       semakin memudahkan bagi para penguasa di negeri-negeri Islam untuk memperalat satu kelompok umat Islam (baik secara sadar maupun tidak) sebagai senjata ampuh mereka dalam memberangus dan melenyapkan kelompok umat Islam lainnya yang terindikasikan sebagai pengusung Islam seca-ra ideologis. Sehingga sangat kuat terkesan bahwa mayoritas kaum muslim sangat menentang dan menolak pemikiran maupun upaya apa pun yang mengarah kepada aktivitas dakwah Islam secara ideologis.
Oleh karena itu, tiga keadaan yang saat ini merupakan akibat dari krisis finansial global dan sera-ngan pendiskreditan secara ideologis tersebut, akan selalu dipertahankan oleh kaum kufar supaya te-rus menerus terwujud di Dunia Islam. Harus diingat bahwa “penyebab” munculnya tiga keadaan itu sa-ngat mungkin selalu akan dirubah oleh kaum kufar, namun apa pun bentuk dari “penyebab”nya yang dipastikan oleh mereka adalah akibatnya harus tetap yakni tiga keadaan tersebut. Artinya dari waktu ke waktu, bentuk aksi atau kondisi atau situasi atau keadaan yang akan dijadikan “penyebab” oleh kaum kufar untuk memunculkan tiga keadaan tersebut akan selalu dirubah. Contoh : pada tahun 2008 ini kri-sis finansial global dan pendiskreditan secara ideologis yang digunakan secara optimal oleh kaum kufar unuk memunculkan tiga keadaan di Dunia Islam. Tujuh tahun yang lalu (peristiwa 11 September 2001), kaum kufar tengah gencar-gencarnya memulai penggunaan isyu “perang melawan terorisme” sebagai “penyebab” untuk memunculkan tiga keadaan di Dunia Islam. Mungkin sekali, tujuh tahun atau sepu-luh tahun dari sekarang, mereka pun akan menggunakan “penyebab” yang lain demi tetap terjaminnya kemunculan tiga keadaan tersebut.
Wal hasil, kaum kufar beserta para pelayan setia mereka dari berbagai segmen dan lapisan di Du-nia Islam akan terus berusaha melakukan kristalisasi berbagai metode dan cara untuk menghancurkan Islam dan Dunia Islam. Mereka tidak akan pernah hidup tenang dan nyaman di dunia selama di belahan Dunia Islam masih ada terdengar dan terlihat sekelompok umat Islam (sekecil apa pun) yang menyeru-kan dan mengemban Islam secara ideologis untuk diberlakukan secara ideologis pula dalam wadah pe-laksanaan politis : Khilafah Islamiyah. Allah SWT menyatakan :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ هَا أَنْتُمْ أُولَاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلَا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ  إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ (آل عمران : 120-118)

No comments:

Post a Comment