Wacana Islam Kultural dan
Islam Politik : upaya lain dalam menghancurkan Islam!
Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama NKRI
: Prof. Dr. Nasaruddin Umar menyata-kan : Di Asia Tenggara, Melayu
khususnya, kaum suni menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin. Islam
mewarnai dan tewarnai budaya lokal menjadikannya tidak tampil garang. Sehingga
ada guyonan “Islam memang lahir di Tanah Arab, tapi tugas mereka sudah selesai.
Tugas mengembang-kan Islam kini ada di pundak Muslim Asia karena mereka
didukung oleh soft culture yang sangat kaya dan tidak sarat konflik seperti di
Arab”.
Kepala Bidang Litbang
dan Diklat Departemen Agama NKRI : Prof. Dr. Atho Muzhar menyata-kan : Benarkah
kaum suni selamanya demikian? Ternyata tidak. Kelompok aswaja yang identik
dengan keluwesan, toleransi dan kerja sama dengan pihak penguasa suatu ketika
bisa meloncat dan keluar dari pakem itu. Aswaja ada yang berkembang menjadi
kelompok-kelompok ekstrem, misalnya Darul Islam yang memproklamasikan Negara
Islam Indonesia tahun 1948. Pada penghujung abad lalu dan awal abad ini,
beberapa kelompok yang tergabung dalam ormas Islam tertentu juga cenderung
menja-di kelompok yang ekstrem dalam upaya menegakkan syariah atau bahkan
Khilafah Islamiyah. Dengan kata lain, ada dua kekuatan Islam suni di Tanah Air
: aswaja yang bergerak pada pemeliharaan Islam konvensional atau kultural dan
aswaja yang berkembang menjadi Islam syariat dan politik. Ke depan interaksi
dan tarik menarik antara kelompok Islam politik dan kelompok Islam kultural
akan terus ber-langsung di Indonesia. Inilah perlunya memperkuat sistem yang
mampu mendorong berkembangnya Islam kultural di Tanah Air. Apabila sistem NKRI
itu lemah, tidak sanggup mendorong berkembangnya Islam kultural dan tidak
sanggup menekan berkembangnya Islam politik, maka boleh jadi persaingan antar
dua kelompok Islam suni ini akan tidak terkendali di masa depan.
Demikianlah resume pemikiran dua orang pejabat
tinggi Departemen Agama (Depag) NKRI ber-kenaan dengan perkembangan mutakhir
“Islam suni” alias aswaja (ahlu sunnah wal jamaah) di Indone-sia. Keduanya
sepakat bahwa :
1.
sifat asli aswaja Melayu adalah tidak garang melainkan
luwes, penuh toleransi, dapat bekerja sama dengan penguasa dan mengambil jalan
kultural yakni : (a) mewarnai dan terwarnai oleh budaya lo-kal atau (b)
bergerak pada pemeliharaan Islam secara konvensional.
2.
karena muncul perkembangan yang mengkhawatirkan yakni
adanya aswaja yang menjadi atau cen-derung menjadi kelompok-kelompok ekstrem
alias menjadi Islam syariat dan politik, maka sistem NKRI harus diperkuat
supaya sanggup mendorong berkembangnya Islam kultural dan sanggup me-nekan
berkembangnya Islam politik. Hal itu karena bila sistem NKRI tidak demikian
maka Islam politik dikhawatirkan akan dapat mendominasi atau bahkan mengalahkan
Islam kultural : … maka boleh jadi persaingan antar dua kelompok Islam suni
ini akan tidak terkendali di masa depan.
3.
Islam kultural (اَلإِسْلاَمُ
الثَّقَافِيُّ) adalah
berlawanan alias diametral dengan Islam politik (اَلإِسْلاَمُ
السِيَاسِيُّ), yakni Islam
kultural bersikap bekerja sama dengan penguasa yang ada (misal pemerintah
NKRI), sedangkan Islam politik justru berkonfrontasi dengan penguasa yang ada
serta berusaha keras untuk menerapkan syariah Islamiyah atau bahkan menegakkan
negara Islam : Khilafah Islamiyah.
4. para
pengusung Islam politik adalah sangat berbahaya bagi eksistensi suatu negara
kebangsaan (mi-sal NKRI), sebab mereka menganggap semua negara kebangsaan
adalah salah menurut Islam dan Islam sendiri telah menetapkan bentuk negara
tersendiri yakni Khilafah Islamiyah yang wajib dite-gakkan dalam realitas
kehidupan dunia.
Kesepakatan kedua pejabat tinggi Depag NKRI itu
merupakan seruan ultimatum kepada umat Islam paling tidak yang
bermukim di kawasan Asia Tenggara bahwa mereka wajib memusuhi,
menja-uhi dan meninggalkan ide Islam politik sekaligus kelompok ekstrem
pengusungnya. Seruan tersebut ti-dak hanya bersifat the command into the
bottom layer alias seruan kepada rakyat biasa, melainkan juga seruan untuk
bekerja sama multilateral G to G (minimal dalam wadah ASEAN) untuk
memperkuat sis-tem negara masing-masing sehingga dapat dengan mudah untuk : (a)
memberangus dan memusnahkan kelompok Islam politik yang telah terlanjur ada
serta (b) menutup setiap celah sekecil apa pun bagi muncul dan terbentuknya
kelompok Islam politik. Bahkan penyebutan kelompok Darul Islam (DI) yang
memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) tahun 1948 sebagai aswaja
ekstrem, merupakan tambahan stigma citra buruk dan menyeramkan
yang diarahkan secara pasti kepada realitas para pe-ngusung Islam politik di
negeri Indonesia serta kawasan Asia Tenggara.
Benarkah Islam terbelah menjadi Islam
kultural (اَلإِسْلاَمُ
الثَّقَافِيُّ) dan Islam
politik (اَلإِسْلاَمُ
السِيَاسِيُّ)? Mengapa
atau untuk apakah kedua orang pejabat tinggi Depag itu
mewacanakan hal tersebut?
Islam kultural (اَلإِسْلاَمُ
الثَّقَافِيُّ) bermakna Islam
yang disifati oleh kultur (culture atau اَلثَّقَافَةُ) alias kebudayaan. Pengistilahan
ini menunjukkan bahwa antara Islam dan kebudayaan merupakan dua hal yang
terpisah tapi dapat digabungkan dengan cara yang satu mensifati (اَلصِّفَةُ) yang lainnya (اَلْمَوْصُوْفُ). Jadi sebenarnya bisa Islam yang disifati
oleh kultur (اَلإِسْلاَمُ الثَّقَافِيُّ) : Islam kultural dan bisa juga Islam yang mensifati
kultur (اَلثَّقَافَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) : kultur
yang Islami atau kebudayaan yang muncul dari Islam. Pernyataan
Nasaruddin Umar bahwa di Asia Tenggara Islam mewarnai dan tewarnai budaya
lokal menjadikannya tidak tampil garang, memang sangat tepat (sesuai dengan
faktanya) untuk memberikan makna bagi istilah Islam kultural. Artinya, makna
Islam kultural memastikan bahwa kultur yang mensi-fati Islam itu sama sekali
bukan dari Islam atau tidak harus berasal dari Islam sendiri. Dengan
kata lain, istilah Islam kultural menempatkan Islam sebagai harus
dapat menerima kultur apa pun dan dari mana pun asalnya, termasuk dari
kekufuran (sekularisme dan turunannya maupun budaya lokal). Te-gasnya, istilah
Islam kultural telah memaksa Islam untuk bersatu secara utuh
dengan kekufuran apa pun bentuk dan manifestasinya.
Adapun istilah kultur
yang Islami atau kebudayaan yang muncul dari Islam (اَلثَّقَافَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ)
ber-makna :
هِيَ الْمَعَارِفُ
الَّتِيْ كَانَتِ الْعَقِيْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ سَبَبًا فِيْ بَحْثِهَا سَوَاءً
اَكَانَتْ هَذِهِ الْمَعَارِفُ تَتَضَمَّنُ الْعَقِيْدَةَ الإِسْلاَمِيَّةَ
وَتَبْحَثُهَا مِثْلَ عِلْمِ التَّوْحِيْدِ اَمْ كَانَتْ مَبْنِيَّةً عَلَى
الْعَقِيْدَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ مِثْلَ الْفِقْهِ وَالتَّفْسِيْرِ وَالْحَدِيْثِ
اَمْ كَانَ يَقْتَضِيْهَا فَهْمُ مَا يَنْبَثِقُ عَنِ الْعَقِيْدَةِ
الإِسْلاَمِيَّةِ مِنَ الأَحْكَامِ مِثْلَ الْمَعَارِفِ الَّتِيْ يُوْجِبُهَا
الإِجْتِهَادُ فِيْ الإِسْلاَمِ كَعُلُوْمِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ وَ
مُصْطَلَحِ الْحَدِيْثِ وَعِلْمِ الأُصُوْلِ. فَهَذِهِ كُلُّهَا ثَقَافَةٌ
اِسْلاَمِيَّةٌ ِلأَنَّ الْعَقِيْدَةَ الإِسْلاَمِيَّةَ هِيَ السَّبَبُ فِيْ
بَحْثِهَا.
“pengetahuan yang aqidah Islamiyah
menjadi sebab dalam pembahasan pengetahuan tersebut, baik pengetahuan itu
mencakup aqidah Islamiyah sendiri berikut pembahasannya seperti ilmu tauhid,
atau pengetahuan itu dibangun di atas asas aqidah Islamiyah seperti fiqih,
tafsir dan hadits, maupun penge-tahuan yang diharuskan ada oleh pemahaman
terhadap segala perkara yang terpancar dari aqidah Islamiyah yakni berupa
hukum-hukum, seperti ilmu-ilmu tentang bahasa Arab, musthalah hadits dan ushul
fiqih. Seluruhnya adalah kultur yang Islami, karena aqidah Islamiyah adalah
yang menjadi se-bab dalam pembahasannya”.
Makna
tersebut memastikan bahwa yang disebut atau dikategorikan atau
berada dalam realitas kultur yang Islami (اَلثَّقَافَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah
segala pengetahuan (الْمَعَارِفُ) yang muncul atau ada dengan sebab
dalam pembahasannya adalah aqidah Islamiyah, misalnya ilmu tauhid, fiqih,
tafsir, hadits, ilmu-ilmu tentang bahasa Arab, musthalah hadits dan ushul
fiqih. Jadi, pengetahuan apa pun yang tidak terbukti aqidah Islamiyah sebagai
satu-satunya sebab dalam pembahasannya, maka itu dapat dipastikan bukan
kultur yang Islami dan tidak boleh (haram) dikategorikan sebagai
kultur yang Islami. Oleh karena itu kultur yang Islami seluruhnya wajib
dikembalikan kepada Al-Quran dan As-Sunnah dan dari kedua sumber itulah serta dengan
memahami dan mengikatkan diri kepada keduanya, diperoleh semua cabang dari
kultur yang Islami. Kedua sumber Islam itu sendiri adalah bagian kultur yang
Islami karena aqidah Islamiyah mewajibkan untuk mengambil dan mengikatkan diri
kepada yang ada dalam keduanya. Allah SWT menyatakan :
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ (النحل : 44)
وَمَا ءَاتَاكُمُ
الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
Wal hasil, istilah yang
benar karena sesuai dengan fakta dan realitas Islam sendiri
adalah kultur yang Islami alias اَلثَّقَافَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ,
sedangkan istilah Islam kultural (اَلإِسْلاَمُ الثَّقَافِيُّ) adalah nyata-nyata salah
dan haram digunakan oleh umat Islam karena selain tidak sesuai
dengan fakta dan realitas Islam, melain-kan juga bertentangan
dengan fakta dan realitas Islam tersebut.
Lalu, bagaimana halnya dengan istilah Islam politik
(اَلإِسْلاَمُ
السِيَاسِيُّ)? Islam
politik secara bahasa bermakna Islam yang disifati oleh politik dan ini
menunjukkan bahwa keadaan orisinil Islam itu adalah tidak bersifat politik
alias tidak ada kaitannya dengan politik. Istilah politik yang digunakan
untuk mensifati Islam memiliki realitas yang ditentukan oleh arah pandangan (وِجْهَةُ
النَّظَرِ) sekularisme
yakni : the ways
in which people gain, use, and lose power (C. Calhoun, 2002) : suatu jalan di mana orang-orang
memperoleh, menggunakan dan kehilangan kekuasaan. Sehingga istilah اَلإِسْلاَمُ
السِيَاسِيُّ bermakna Islam yang digunakan
untuk meraih kekuasaan sekaligus menggunakannya dan ini memastikan bahwa
sistema politik yang digunakan untuk mensifati Islam tersebut adalah : (a)
tidak harus dari Islam sendiri sebab Islam faktanya bukanlah sistema politik
dan (b) harus dari luar Islam supaya Islam yang faktanya hanya “agama
spiritualistik ritualistik” menjadi sempurna. Dengan demikian, Islam menjadi
layak dan mampu digunakan sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan
sekaligus menggunakannya.
Adapun istilah politik yang Islami atau politik yang
muncul dari Islam (اَلسِّيَاسَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) menun-jukkan secara pasti bahwa sistema politik tersebut
adalah digali dari sumber-sumber Islam sehingga benar-benar jadi
Islami. Realitas politik yang Islami yakni :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ
اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“mengurus kepentingan rakyat atau umat baik dalam maupun luar
negeri dengan menggunakan hu-kum syara (Islam)”.
adalah definisi yang hanya digali dari sumber
Islam (As-Sunnah) yakni pernyataan Rasulullah saw :
كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه
البخاري)
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي
رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (رواه البخاري)
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ
اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ
الْجَنَّةِ (رواه البخاري)
مَنْ اَصْبَحَ
وَهْمُهُ غَيْرُ اللهِ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ وَمَنْ اَصْبَحَ وَلَمْ يَهْتَمَّ
بِأَمْرِ الْمُسْلِميْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ (رواه الحاكم في المستدرك ص. 320)
Definisi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa salah satu
bagian dari pemikiran Islam (اَلأَفْكَارُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah pemikiran tentang politik (اَلأَفْكَارُ
السِّيَاسِيَّةُ) yang realitasnya selain berbeda
dengan realitas politik sekularistik, melainkan juga bertentangan
diametral dengan politik sekularistik itu. Perbedaan dan pertentangan
yang paling menonjol dan penting adalah dalam sistema politik sekularistik
ternyata poli-tik merupakan sistema yang mekanisme kerjanya digunakan untuk
meraih kekuasaan sekaligus meng-gunakannya. Sedangkan dalam sistema politik
Islami, realitas politik adalah sikap riil negara (Khilafah) dalam memposisikan
rakyatnya (رَعِيَّتُهَا) yakni
mengurus dan memenuhi kepentingan mereka, baik pada ruang lingkup dalam negeri
(دَاخِلِيَّةً) maupun luar negeri (خَارِجِيَّةً) dengan hanya memberlakukan syariah Islamiyah (بِالأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ). Oleh karena itu, istilah Islam politik
(اَلإِسْلاَمُ
السِيَاسِيُّ) adalah nyata-nyata
sa-lah karena : (a) bertentangan sangat mendasar dan diametral dengan
realitas pemikiran politik yang ada dalam sumber-sumber Islam dan (b) telah
memaksa Islam untuk berada bersama-sama dengan barisan agama-agama lain yang
telah sejak awal keberadaannya tunduk, patuh, ruku, sujud kepada the new
god for humanity (tuhan baru bagi kemanusiaan) : sekularisme. Sedangkan
istilah politik yang Islami ada-lah benar karena sesuai dengan
atau memang itulah realitas pemikiran politik yang ditunjukkan dalam
sumber-sumber Islam sendiri. Wal hasil, kaum muslim haram
menggunakan dan mempropagandakan istilah Islam politik (اَلإِسْلاَمُ
السِيَاسِيُّ) dan
sebaliknya mereka wajib hanya menggunakan dan mendakwah-kan
istilah politik yang Islami (اَلسِّيَاسَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ).
Ringkasan realitas
pemikiran yang berkenaan dengan Islam kultural, kultur yang Islami, Islam
politik dan politik yang Islami adalah :
1. istilah
Islam kultural (اَلإِسْلاَمُ الثَّقَافِيُّ) walau nyata-nyata salah menurut Islam, namun
justru dalam kehidupan umat Islam saat ini yang telah berlangsung lebih dari 84
tahun, benar-benar dielaborasi-kan dan diimplementasikan. Hal itu
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kultur yang mensifati Islam itu sama
sekali bukan dari Islam atau tidak harus berasal dari Islam sendiri.
Dengan kata la-in, istilah Islam kultural menempatkan Islam sebagai harus
dapat menerima kultur apa pun dan dari mana pun asalnya, termasuk dari
kekufuran (sekularisme dan turunannya maupun budaya lokal). Tegasnya, istilah
Islam kultural telah memaksa Islam untuk bersatu secara utuh
dengan kekufuran apa pun bentuk dan manifestasinya. Hal lain yang juga ingin
ditunjukkan dengan pengopinian isti-lah tersebut adalah untuk memastikan bahwa
Islam hanyalah sebuah agama yang sama persis de-ngan agama-agama lain dan sama
sekali tidak memiliki keunggulan maupun keistimewaan apa pun dibandingkan
agama-agama lainnya tersebut. Kenyataan inilah yang terepresentasikan pasti
dalam eksistensi berbagai ormas Islam, baik yang dicap sebagai tradisional (NU,
misalnya) maupun yang mengklaim diri sebagai pembaharu dan moderen (misal
Muhammadiyah dan Persis).
2. istilah
kultur yang Islami (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) walau benar karena memang
sesuai dengan realitas Islam sendiri, namun sudah sejak lebih dari 84 tahun sama
sekali tidak terelaborasikan maupun terimple-mentasikan dalam fakta
kehidupan dunia. Keadaan itu sangat wajar terjadi karena memang yang memiliki
otoritas untuk menjaga dan memberlakukan kultur yang Islami adalah Khalifah
yang telah lebih dari 84 tahun dilenyapkan dari kehidupan manusia di dunia.
Lebih dari itu, jika pun saat ini ada perbincangan tentang kebudayaan Islami
maka itu pun amat sangat reduktif yakni dibatasi se-cara paksa dalam perkara
seni (the art) : seni lukis, pahat, kaligrafi, tari dan sebagainya.
Lalu, jika pun umat Islam berusaha mengangkat persoalan seputar ilmu tauhid,
ilmu musthalah hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih, bahasa Arab dan sebagainya,
ternyata itu pun dimaksudkan sebagai bagian dari Islam yang berposisi layaknya
agama lain : agama spiritualistik ritualistik. Kondisi ini sangat
nam-pak dalam dinamika pola pondok pesantren baik yang bermerek tradisional
maupun moderen.
3. istilah
Islam politik (اَلإِسْلاَمُ السِيَاسِيُّ) walau nyata-nyata salah karena bertentangan
mendasar dengan pemikiran Islam berkenaan dengan politik, namun saat ini tengah
gencar secara sengaja dan teren-cana diopinikan dan dipropagandakan ke tengah
hiruk pikuk kekisruhan pemikiran umat Islam. La-lu, walau realitas
implementatif istilah tersebut divonis salah dan harus dilenyapkan
karena berpo-sisi sebagai lawan utama paling berat bagi Islam kultural, namun
tetap saja disebarluaskan dengan tujuan untuk menunjukkan kepada umat Islam
bahwa : (a) Islam dan politik adalah dua perkara yang tidak ada hubungannya
sama sekali serta tidak boleh dipaksa berhubungan, (b) politik sangat dapat
bahkan dipastikan akan merusak jatidiri Islam yang sebenarnya sebagai agama spiritualistik
ritualistik yang harus dijaga kesucian maupun kesakralannya dan (c) politik
adalah entitas publik sedangkan Islam sebagai agama adalah entitas pribadi,
sehingga bila dipaksakan berhubungan ma-ka dipastikan akan terjadi kehancuran
salah satu oleh eksistensi yang lainnya. Oleh karena itu, jika terpaksa
mengelaborasi dan mengimplementasikan Islam politik maka itu pun harus tetap
berada dalam pakem maupun koridor alias aturan main (the rule of game)
yang telah digariskan oleh ideo-logi kapitalisme sekularistik, seperti yang
terungkap jelas dalam gagasan Machiavelli : kawan tidak ada yang abadi,
lawan tidak ada yang abadi, melainkan kepentingan sajalah yang abadi.
Inilah yang terungkap vulgar dalam dinamika eksistensi parpol bermerek Islam di
tengah-tengah kepung-an parpol yang mengusung nasionalisme. Contoh nyata adalah
antara PDIP vs PKS. Sikap PDIP dan PKS di DPR (melalui fraksinya masing-masing)
terhadap RUU Pornografi adalah sangat ber-tentangan paling tidak
dalam satu aspek yakni PDIP sangat menentang pengesahan RUU tersebut menjadi
UU, sedangkan PKS sangat setuju segera melakukan pengesahannya. Namun, realitas
sa-ngat ironis terjadi pada saat yang bersamaan, yakni pada kasus pemilihan
Walikota dan Wakilnya di Kota Bogor 25 Oktober 2008, ternyata PDIP berkoalisi
“sangat intim” dengan PKS yaitu sama-sama mengusung pasangan calon walikota (incombent
dukungan Golkar dan PDIP) dan calon wakil walikota (dari PKS) yang sama. Dua
kenyataan yang sangat ironis tersebut “hanya dapat” dipahami bila pemikiran
siapa pun yang menyaksikannya didasarkan kepada gagasan Machiavelli tersebut.
Wal hasil walau PDIP (sebagai wakil resmi parpol nasionalis) menggunakan model
“baju” yang berbeda dengan PKS (dianggap yang paling dapat mewakili parpol
Islam), namun keduanya sepa-kat untuk menjadikan Machiavelli sebagai the
another new god for humanity (tuhan baru yang la-innya bagi
kemanusiaan).
4.
istilah politik yang Islami (اَلسِّيَاسَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) walau memang benar karena demikianlah yang
ditun-jukkan oleh sumber-sumber dalil dalam Islam (As-Sunnah) namun posisinya
saat ini adalah sama persis dengan istilah kultur yang Islami (اَلثَّقَافَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ), yakni sama-sama
tidak terelaborasikan ma-upun terimplementasikan dalam realitas kehidupan dunia
saat ini. Kenyataan tersebut adalah wajar terjadi karena memang satu-satunya
pihak yang diberi otoritas penuh oleh Islam untuk memberla-kukannya
dalam masyarakat hanyalah Khalifah yang memimpin Khilafah secara tunggal.
Jadi, sangat jelas sudah
yang dimaksudkan oleh kedua Pejabat Tinggi Depag NKRI itu yang ber-usaha keras
secara sistemik mengopinikan bahkan mempropagandakan istilah Islam kultural dan
Islam politik, yakni keduanya atas nama pelayan setia kekufuran (sekularisme
dan keturunannya) dan kaum kufar (وَعَلَى رَأْسِهِمُ الْوِلاَيَاتُ
الْمُتَّحِدَةُ الأَمِيْرِكِيَّةُ)
tengah berupaya menghancurkan Islam yang sebelumnya banyak bagiannya juga telah
mereka hancurkan dengan cara lain (Islamisasi kekufuran).
Keduanya ju-ga lainnya yang sama dan sejenis dengan mereka berdua, tengah
dengan patuh dan sabar menjalankan perintah kaum kufar yang selalu berusaha
keras untuk memerangi umat Islam hingga kaum muslim me-ninggalkan Islam secara
utuh. Allah SWT menyatakan :
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى
يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ
دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (البقرة :
217)
Kristalisasi upaya
penghancuran terhadap Islam
Seiring dengan berlangsungnya krisis finansial
global yang begitu cepat dan meluas secara siste-mik, maka terjadi pula upaya
pendiskreditan secara ideologis yang serangannya diarahkan kepada umat Islam
yang mengemban Islam sebagai ideologi dunia (مَبْدَأُ الدُّنْيَا) dan bukan agama individual (دِيْنٌ
فَرْدِيٌ). Inilah yang
terungkap sangat jelas dari pernyataan :
1. pengacara
senior : Adnan Buyung Nasution dalam tulisannya berjudul “Konstitusionalisme Vs
Fundamentalisme” : Akhirnya, saya ingin sungguh-sungguh meyakinkan segenap
bangsa ini, anca-man fundamentalisme agama ini nyata dan berbahaya karena
bertujuan menciptakan negara ber-dasarkan agama.
2. Direktur
Jenderal Bimas Islam Departemen Agama NKRI : Prof. Dr. Nasaruddin Umar : aswaja
menjadi kelompok moderat Islam yang “santun”, itu sebabnya meraup banyak
pengikut di berba-gai belahan dunia. Kaum suni juga lebih toleran terhadap
pemerintah di suatu negara, tidak seper-ti Syiah yang mengambil sikap frontal.
3. Kepala
Bidang Litbang dan Diklat Departemen Agama NKRI : Prof. Dr. Atho Muzhar : Inilah
per-lunya memperkuat sistem yang mampu mendorong berkembangnya Islam kultural
di Tanah Air. Apabila sistem NKRI itu lemah, tidak sanggup mendorong
berkembangnya Islam kultural dan tidak sanggup menekan berkembangnya Islam
politik, maka boleh jadi persaingan antar dua kelompok Islam suni ini akan
tidak terkendali di masa depan.
Tiga orang yang mengaku
beragama Islam penyandang gelar Prof. tersebut sangat mewakili pandangan dan
opini tiga komunitas manusia di dunia terhadap perkembangan mutakhir pemikiran
se-bagian umat Islam yang oleh ketiganya disebut sebagai “kelompok garang dan
tidak santun” atau “ke-lompok ekstrem” atau “kelompok fundamental yang
mengotori keadaban publik dengan menggunakan cara-cara kekerasan”. Tiga
komunitas manusia yang mereka wakili itu adalah :
1.
kaum kufar khususnya yang terepresentasikan dalam
realitas negara-negara maju (G8) di bawah ke-pemimpinan Amerika Serikat (AS).
2.
kaum muslim yang berposisi sebagai penguasa di
negeri-negeri Islam (حُكَّامُ الْبِلاَدِ الإِسْلاَمِيَّةِ) yang ha-kikatnya mereka itu adalah para
pelayan setia kaum kufar berikut kepentingan-kepentingannya di Dunia Islam.
3.
kaum muslim yang memposisikan diri sebagai kelompok
intelektual (اَلْمُثَقَّفُوْنَ) dan mereka selama ini telah dengan sadar menyediakan aqal
serta dirinya untuk mengusung kebudayaan Barat yang kufur (اَلثَّقَافَةُ
الْغَرْبِيَّةُ الْكَافِرَةُ)
sekaligus menyebarluaskannya di Dunia Islam.
Dua keadaan dunia
terkini tersebut yakni : (a) terjadinya krisis finansial global yang
berlangsung sangat cepat dan sistemik serta (b) serangan pendiskreditan secara
ideologis yang diarahkan secara khusus kepada umat Islam pengemban Islam
sebagai ideologi dunia (مَبْدَأُ الدُّنْيَا), telah semakin menciut-kan bahkan mematikan keberanian umat
Islam (berbasis kesadaran) untuk berupaya terus merubah ke-hidupan dunia saat
ini yang berasas kekufuran menjadi kembali Islami, yakni menempatkan Islam
se-bagai satu-satunya asas untuk membangun pola kehidupan dunia hakiki yang
benar-benar sesuai de-ngan jatidiri manusia itu sendiri. Akibatnya adalah
sangat mengerikan yakni :
1.
munculnya sikap skeptis pada hampir seluruh umat Islam
terhadap kemungkinan kemenangan Is-lam dan Dunia Islam atas kekufuran berikut
Dunia Barat. Sikap skeptis itu telah mendorong bahkan mengendalikan mereka
untuk selalu menolak dengan sangat keras seruan apa pun yang mengarah kepada
menjadikan Islam sebagai asas kehidupan dalam wadah pelaksanaan Khilafah Islamiyah.
2.
semakin terkucilnya posisi kaum muslim (perorangan
maupun harakah) yang mengemban dakwah Islam secara ideologis serta untuk
diberlakukan dalam realitas kehidupan manusia di dunia secara ideologis pula.
Lebih dari itu, posisi kaum muslim ini semakin mengerikan karena tidak hanya
di-kucilkan melainkan juga dimusuhi secara terang-terangan.
3. semakin
memudahkan bagi para penguasa di negeri-negeri Islam untuk memperalat satu
kelompok umat Islam (baik secara sadar maupun tidak) sebagai senjata ampuh mereka
dalam memberangus dan melenyapkan kelompok umat Islam lainnya yang
terindikasikan sebagai pengusung Islam seca-ra ideologis. Sehingga sangat kuat
terkesan bahwa mayoritas kaum muslim sangat menentang dan menolak pemikiran
maupun upaya apa pun yang mengarah kepada aktivitas dakwah Islam secara
ideologis.
Oleh karena itu, tiga keadaan yang saat ini
merupakan akibat dari krisis finansial global dan sera-ngan pendiskreditan
secara ideologis tersebut, akan selalu dipertahankan oleh kaum
kufar supaya te-rus menerus terwujud di Dunia Islam. Harus diingat bahwa
“penyebab” munculnya tiga keadaan itu sa-ngat mungkin selalu akan dirubah oleh
kaum kufar, namun apa pun bentuk dari “penyebab”nya yang dipastikan oleh mereka
adalah akibatnya harus tetap yakni tiga keadaan tersebut. Artinya dari waktu ke
waktu, bentuk aksi atau kondisi atau situasi
atau keadaan yang akan dijadikan “penyebab” oleh kaum kufar untuk
memunculkan tiga keadaan tersebut akan selalu dirubah. Contoh : pada tahun 2008
ini kri-sis finansial global dan pendiskreditan secara ideologis yang digunakan
secara optimal oleh kaum kufar unuk memunculkan tiga keadaan di Dunia Islam.
Tujuh tahun yang lalu (peristiwa 11 September 2001), kaum kufar tengah
gencar-gencarnya memulai penggunaan isyu “perang melawan terorisme” sebagai
“penyebab” untuk memunculkan tiga keadaan di Dunia Islam. Mungkin sekali, tujuh
tahun atau sepu-luh tahun dari sekarang, mereka pun akan menggunakan “penyebab”
yang lain demi tetap terjaminnya kemunculan tiga keadaan tersebut.
Wal hasil, kaum kufar beserta para pelayan setia
mereka dari berbagai segmen dan lapisan di Du-nia Islam akan terus berusaha
melakukan kristalisasi berbagai metode dan cara untuk
menghancurkan Islam dan Dunia Islam. Mereka tidak akan pernah hidup tenang dan
nyaman di dunia selama di belahan Dunia Islam masih ada terdengar dan terlihat
sekelompok umat Islam (sekecil apa pun) yang menyeru-kan dan mengemban Islam
secara ideologis untuk diberlakukan secara ideologis pula dalam wadah
pe-laksanaan politis : Khilafah Islamiyah. Allah SWT menyatakan :
No comments:
Post a Comment