Sunday, December 30, 2012

REALITAS UMAT ISLAM : MASIH ADAKAH?


Asas pemikiran kaum muslim : Islam ataukah Buddha ataukah kekufuran lainnya?
Ketua Umum Sangha Agung Indonesia yang juga sebagai Pembina Majelis Buddhayana Indone-sia : Mahathera Nyanasuryanadi dalam tulisannya berjudul "Makna Sebuah Kemenangan" (Kompas, Jumat 8 Mei 2009, OPINI) menyatakan : Makna historis Waisak adalah sebuah dialektika kehidupan yang telah mencapai titik transformasi "paripurna', sebuah kemenangan nurani atas segala ambiguitas kehidupan. Buddha tidak lagi diombang-ambingkan suasana hidup yang selalu bersinggungan dengan berbagai masalah (dukkha), baik fisik, mental, maupun sosial. Berbagai beban persoalan hidup yang fundamental dipandang dengan cara elegan, realistis, sehingga tampak jelas, masalah hanya buah tarik menarik antara persepsi ego, keinginan ceroboh, dan konstruksi mental yang tidak terampil. Ka-pasitas untuk bangkit (buddho) dalam mengatasi segala persoalan secara tenang, terkontrol dalam bingkai keterjagaan (mindfulness/eling) merupakan esensi peringatan Waisak sekaligus cara hidup menuju kemenangan dan pembebasan yang selalu relevan untuk diterapkan dalam aneka kehidupan. Kemenangan sejati terletak di hati, bukan dalam pakaian, makanan, dan materi. Makna kemenangan harus lebih diarahkan pada upaya meraih kualitas diri yang lebih baik dan mempertahankannya. Kua-litas untuk berdamai dalam diri dan harmoni dengan semua. Kemenangan Siddharta Gautama mela-wan mara (nafsu keinginan) merupakan bentuk kemenangan sejati, menjadi refleksi diri bagi kita un-tuk bangkit dan berjuang dengan semangat dan selalu sadar (eling) tiap saat. Eksistensi Budhha de-ngan berbagai kapasitas dan keluhurannya bukan hanya monopoli Siddharta, tetapi bersifat universal, dapat diwujudkan oleh siapa pun yang peduli dan sadar dalam menjalankan kehidupan. Kemampuan untuk sadar akan memperlancar intensitas perjumpaan mental dengan sisi-sisi paling alami yang kita miliki berupa benih kasih, kepedulian, dan kebijaksanaan atau benih dan sifat kebuddhaan (Buddha-ta). Kemenangan sejati sebagai buah proses pemupukan kesadaran pada hakikatnya bukan kemenang-an yang bernuansa heroik destruktif, bukan kemenangan yang dilakukan dengan menekan berbagai karakter negatif yang kita miliki. Kemenangan atau pembebasan dilakukan dengan sepenuh hati, ber-damai dengan segala karakter negatif yang kita miliki, berdamai dengan diri sendiri. Pada dasarnya kita seperti keping mata uang dengan dua sisi, kebaikan dan keburukan, dan menghilangkan satu sisi berarti menghilangkan yang lain. Memperlakukan sisi baik dengan cara yang salah akan melahirkan sisi buruk. Sementara tidak menghendaki sisi buruk menekan atau "membenci" sisi buruk hanya akan menambah masalah. Cara kesadaran (eling) bekerja adalah memperlakukan dua sisi dalam basis yang sama, memahaminya secara alami, serta menyinarinya secara apa adanya dan perlahan akan terbebas dari dualisme baik-buruk sebagai puncak kedamaian dari kemenangan spiritual. Apalagi pelaksanaan Pemilu 2009 berpotensi memunculkan perbedaan yang kian tajam, seperti perbedaan paham dan pe-mikiran, berpuncak pada perbedaan status kekalahan dan kemenangan. Pada titik inilah kedamaian dalam diri, keampuhan untuk hidup harmonis dengan sesama, memunculkan peran yang sangat vital. Hanya dengan rasa damai, sebuah masyarakat dimungkinkan mampu bermusyawarah bersama secara tulus dalam mengatasi masalah, rukun berhimpun, hidup harmonis dalam naungan konstitusi sebagai syarat kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Waisak tahun ini bertepatan dengan pesta demokrasi. Da-lam masyarakat yang bebas dan demokratis, yang diperlukan adalah kedamaian, bukan perselisihan, pertengkaran, dan permusuhan. Demokrasi mempertahankan perdamaian dan persatuan, bukan pepe-rangan dan perpecahan. Keragaman dan kebinekaan merupakan realitas, kebersamaan dalam perbe-daan merupakan kebutuhan. Proses pencapaian kebuddhaan merupakan transformasi personal yang sadar dalam membangun kemenangan, damai dalam diri, dan harmoni dengan sesama.
Sekretaris Jenderal World Buddhist Sangha Council yang juga Pimpinan Vihara Mahavira Graha Pusat : Prajnavira Mahasthavira dalam tulisannya berjudul "Berkah Tri Suci Waisak" (Kompas, Jumat 8 Mei 2009, OPINI) menyatakan : Mengingat semua makhluk hidup adalah calon Buddha, insan yang memiliki benih ke-Buddha-an, hendaknya memperlakukan orang lain dengan penuh hormat, saling me-nyayangi, dan mendukung satu sama lain. Konsep yang amat mendasar itu perlu terus dikumandang-kan sehingga kita semua disadarkan akan persamaan dan bukan mencari perbedaan. Dengan persa-maan, rasa hormat, dan menjauhi saling menyakiti akan menimbulkan perdamaian, mencegah pepera-ngan, dan memajukan kualitas kehidupan secara global. Bakti kepada orang tua, Tri Ratna, bangsa dan negara, serta semua makhluk dapat melimpahkan berkah yang mulia untuk kemajuan kehidupan spiritual yang menjadi fondasi kuat bagi individu yang akan berkarya membawa perubahan yang baik bagi negeri Indonesia. Sarva Satva Bhavantu Sukhitatta, semoga semua makhluk hidup dalam damai dan bahagia.
Pada tanggal 24-26 Juni 2008 di Jakarta, Muhammadiyah telah secara langsung memfasilitasi penyelenggaraan The 2nd World Peace Forum (Forum Perdamaian Dunia Ke-2) yang dihadiri oleh 200 tokoh agama dari 36 negara. World Peace Forum dengan slogan One Humanity, One Destiny, One Responsibility (Satunya Kemanusiaan, Satunya Tujuan, Satunya Tanggungjawab) saat ini diketuai oleh Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan saat membacakan hasil pertemuan selama tiga hari itu menyatakan : perdamaian tidak bisa dirasakan selama kita tidak bisa menghilangkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, eksploitasi, ekstremisme, tidak toleran, diskriminasi dan semua bentuk kekerasan ber-senjata, pemusnahan ras, terorisme, agresi hingga pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, kami mendesak semua pemerintah untuk memperbesar investasi perdamaian mereka, ketimbang inves-tasi kekerasan. Sistem politik dan ekonomi suatu negara bisa menjerumuskan negara bersangkutan ke dalam jurang kekerasan. Sistem ekonomi kapitalistik justru menciptakan kesenjangan yang amat lebar antara kaum miskin dan kaum kaya. Kelompok yang tidak diuntungkan, miskin tentunya, tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga mereka berpaling pada jalan kekerasan untuk merespon kondisi hidupnya. Sistem politik demokrasi, haruslah demokrasi yang bermoral, demokrasi yang menegakkan keadilan dan demokrasi yang bertumpu pada pemerataan. Agama bukanlah akar segala bentuk kekerasan, na-mun agama bisa disalahgunakan dan disalahartikan memang membuat pertikaian dan perpecahan.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Kepemimpinan Rakyat Islam Sedunia (KRIS) atau World Islamic People’s Leadership yang mewakili Benua Asia Din Syamsuddin pada forum Sidang Dewan Eksekutif Organisasi tersebut menyatakan : inilah saatnya bagi Dunia Islam untuk mengajukan solusi bagi kerusakan peradaban yang ditandai dengan kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan hidup serta kekerasan dengan perang. Kerusakan peradaban yang terjadi saat ini juga diperburuk aneka kri-sis, seperti pangan, energi, lingkungan hidup dan keuangan. Aneka krisis yang tengah mencengkeram saat ini terjadi akibat sistem dunia yang anti Tuhan. Dunia memerlukan sistem alternatif yang tak ha-nya mengedepankan aspek materiil tapi juga spiritual. Saat ini diperlukan paradigma baru yang dapat membawa manfaat bagi manusia dan kemanusiaan, yakni Sustainable Development with Meaning atau Pembangunan Berkelanjutan dengan Makna. Dalam bidang ekonomi, sistem itu memadukan per-tumbuhan dalam pemerataan. Sedangkan dalam bidang politik, mendorong demokrasi yang tetap ber-tumpu pada nilai etika dan moral.
Raja Kerajaan Saudi Arabia (KSA) : Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud saat membuka Konfe-rensi Dunia Islam untuk Dialog (مُعْتَمَرُ الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ لِلْحِوَارِ) pada hari Rabu 4 Juni 2008 yang diadakan di Kota Makkah menyatakan : muktamar ini merupakan kesempatan untuk menunjukkan nilai-nilai keis-laman. Nilai keislaman yang penuh dengan semangat toleransi, sikap bijak serta dialog atas dasar ke-adilan. Latar belakang muktamar ini adalah adanya keinginan kuat untuk menghadapi keterbelakang-an, kebodohan di kalangan umat Islam dan untuk menampilkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan. Tantangan umat Islam saat ini antara lain adalah sikap berlebihan dalam beragama dan di antara bentuk dialog yang diinginkan adalah tidak menggunakan kekerasan.
Muhammadun AS (peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies) dalam tulisan berjudul “Rajab, Momentum Merajut Solidaritas” menyatakan : Rajab sangat strategis dalam menggemakan spirit persaudaraan dan perdamaian antarsesama. Terlebih juga dalam Rajab ini Nabi Muhammad menjalankan wisata spiritual yang sangat monumental, yakni Isra Mi’raj. Nabi Muhammad tidak mau bersenang di surga. Beliau lebih memilih kembali ke bumi untuk menegakkan nilai kemanusiaan. Mu-hammad lebih memilih sebagai manusia yang setiap saat selalu perhatian dengan setiap permasalahan kemanusiaan. Masalah-masalah kemanusiaan selalu dicarikan solusi strategis dengan jalan yang te-duh, damai, dan penuh persaudaraan. Jalan beragama yang teduh dan inspiratif inilah yang mengan-tarkan Abu Bakar percaya sepenuhnya terhadap semua yang dilakukan Nabi dalam Isra’ Mi’raj. Nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, dan kejujuran yang diajarkan dan dicontohkan Nabi serta para saha-batnya menjadi tonggak sangat berharga bagi umat Islam untuk menggelorakan berbagai tindak anti-kekerasan, antiteror, antikorupsi, dan antikejahatan kemanusiaan lainnya. Spirit yang ditancapkan Nabi tersebut sangat tepat di tengah kondisi sosial bangsa yang sedang berkecamuk dengan berbagai tragedi kemanusiaan yang tak kunjung usai. Bangsa Indonesia sedang dilanda berbagai krisis kebang-saan dan kemanusiaan yang terus datang silih berganti.
Mahathera Nyanasuryanadi dan Prajnavira Mahasthavira adalah dua sosok pemuka Agama Bud-dha yang secara pasti mewakili seluruh konsep keagamaan yang diklaim bersumber dari pendirinya : Siddharta Gautama alias Sang Buddha. Sehingga tidak salah jika seluruh gagasan yang dicurahkan oleh mereka berdua dalam tulisannya masing-masing, dipastikan dan disimpulkan sebagai gambaran riil dari realitas konsep-konsep keagamaan agama Buddha. Hal itu karena walau keduanya adalah pe-muka Agama Buddha, namun mewakili atau berlatar belakang dua aliran yang berbeda dari sekian ba-nyak aliran Agama Buddha. Mahathera adalah Ketua Umum Sangha Agung Indonesia dan Pembina Majelis Buddhayana Indonesia, sedangkan Prajnavira adalah Sekretaris Jenderal World Buddhist Sang-ha Council yang juga Pimpinan Vihara Mahavira Graha Pusat. Sementara itu, Raja Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud, Din Syamsuddin maupun Muhammadun AS adalah segelintir kecil orang bagian dari umat Islam, namun karena mereka adalah the opinion leader (pimpinan opini) massa kaum muslim di kelompoknya masing-masing atau bahkan secara lintas kelompok, maka eksistensi pemikiran maupun sikap mereka dapat dipastikan mewakili realitas umat Islam seluruhnya (Muhammadiyah, NU, Waha-bi dan lainnya). Dengan demikian, seluruh pemikiran maupun sikap kelima orang tersebut dapat dibe-narkan jika berposisi mewakili realitas umat Islam dan para penganut Agama Buddha.
Gagasan atau isyu yang telah melekat erat pada sikap mereka dapat dipertelakan secara perbandi-ngan sebagai berikut :
Isyu
Umat Islam
Penganut Buddha
Status
Posisi agama hanya spiritualistik ritualistik
Ya
Ya
Sama persis
Pemisahan agama dari politik dan negara
Ya
Ya
Sama persis
Menerima demokrasi sebagai sistem kehidupan
Ya
Ya
Sama persis
Menerima negara kebangsaan
Ya
Ya
Sama persis
Makna sadar sebagai eling
Ya
Ya
Sama persis
Agama sebagai sumber konflik
Ya
Ya
Sama persis
Agama sebagai penyempurna demokrasi
Ya
Ya
Sama persis
Toleransi dan hidup harmonis berdampingan
Ya
Ya
Sama persis
Pro perdamaian dan anti kekerasan (anti perang)
Ya
Ya
Sama persis
Menerima pluralisme (kesamaan agama-agama)
Ya
Ya
Sama persis
Kemenangan sejati, kemenangan hati
Ya
Ya
Sama persis
Konsep individu baik, masyarakat pun baik
Ya
Ya
Sama persis
Konsep jasmani dan rohani
Ya
Ya
Sama persis
Konsep manusia bersisi baik dan buruk
Ya
Ya
Sama persis
Nampak sangat jelas dalam semua entitas mendasar berkenaan dengan realitas agama, negara, politik, individu, masyarakat, interaksi antar individu dalam masyarakat, konsistensi individu dalam agama yang dianutnya, padangan terhadap kehidupan dan seterusnya, sama sekali tidak ada perbedaan secuil pun antara umat Islam dengan penganut Agama Buddha. Kenyataan ini mau tidak mau memaksa munculnya sebuah kesimpulan yakni : adakah perbedaan antara Islam dengan Buddha dan apakah yang membedakan antara realitas umat Islam dengan penganut Agama Buddha?
Apabila pemikiran hanya berdasarkan aspek-aspek tersebut, maka dapat dipastikan tidak ada per-bedaan apa pun antara Islam dan Buddha, baik sebagai agama maupun sebagai peradaban dan fakta ter-sebut secara otomatis mendorong wujudnya thesis bahwa umat Islam dan penganut Agama Buddha adalah sama persis, tidak ada keistimewaan satu dari yang lainnya. Jika memang demikian, konsep atau pemikiran agama mana yang menjadikan kehomogenan tersebut, Islam ataukah Buddha? Kepastian Is-lam ataukah Buddha yang menyebabkan terjadinya kesamaan tersebut, harus ditelusuri dari semua enti-tas mendasar yang ada yakni :
1.       posisi agama hanya sebagai spiritualisme ritualisme secara pasti dikonsepkan dalam Buddha dan ini sangat gamblang diungkapkan oleh kedua tokoh Buddha sendiri :
a.       Mahathera Nyanasuryanadi : Cara kesadaran (eling) bekerja adalah memperlakukan dua sisi dalam basis yang sama, memahaminya secara alami, serta menyinarinya secara apa adanya dan perlahan akan terbebas dari dualisme baik-buruk sebagai puncak kedamaian dari keme-nangan spiritual.
b.       Prajnavira Mahasthavira : Bakti kepada orang tua, Tri Ratna, bangsa dan negara, serta semua makhluk dapat melimpahkan berkah yang mulia untuk kemajuan kehidupan spiritual yang menjadi fondasi kuat bagi individu yang akan berkarya membawa perubahan yang baik bagi negeri Indonesia. Sarva Satva Bhavantu Sukhitatta, semoga semua makhluk hidup dalam da-mai dan bahagia.
Sedangkan Islam sama sekali tidak mengenal atau mengkonsepkan dirinya dalam pemikiran spiri-tualistik ritualistik melainkan sebaliknya secara kontradiktif dengan Buddha, yakni Islam adalah se-buah ideologi (اَلْمَبْدَأُ) yang dicirikan oleh dua hal asasi yaitu adanya aqidah dan sistem yang terpan-car dari aqidah itu sendiri. Inilah yang terungkap dalam rumusan :
عَقِيْدَةٌ عَقْلِيَّةٌ يَنْبَثِقُ عَنْهَا نِظَامٌ الَّذِيْ يُنَظِّمُ عَلاَقَاتِ الإِنْسَانِ بِخَالِقِهِ وَبِنَفْسِهِ وَبِغَيْرِهِ مِنْ بَنِي الإِنْسَانِ وَبِعِبَارِةٍ أُخْرَى اَلإِسْلاَمُ هُوَ الدِّيْنُ وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ
Aqidah aqliyah yang terpancar darinya sistem yang akan mengatur interaksi manusia dengan Kha-liqnya, dirinya sendiri dan sesama manusia dan dengan kata lain Islam adalah din dan daulah adalah bagian darinya.
Rumusan tersebut ditunjukkan secara gamblang oleh banyak dalil yang ada dalam sumber Islam itu sendiri (Al-Quran dan As-Sunnah) antara lain :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا (المائدة : 48)
Dan Kami (Allah) telah menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepada mu (Muhammad) dengan mem-bawa Al-Haq (Islam) yang menjadi pembenar bagi segala Kitab yang sebelumnya dan sekaligus sebagai penghapus bagi Kitab-Kitab tersebut, maka berlakukanlah pemerintahan di tengah-tengah mereka dengan segala sesuatu yang telah Allah turunkan tersebut dan janganlah kamu mengikuti kepentingan naluriah mereka terhadap Al-Haq yang telah datang kepadamu. Bagi setiap kalian telah Kami jadikan syariah dan minhaj (pola/jalan)
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)
Sungguh akan dibatalkan ketentuan Islam itu satu per satu, lalu ketika satu ketentuan telah terba-talkan, segera saja manusia beralih kepada ketentuan berikutnya dan yang pertama kali dibatal-kan adalah pemerintahan serta yang paling akhir adalah shalat
2.       memang konsep pemisahan agama dari politik dan negara adalah bukan konsep orisinal Buddha melainkan konsep kompromistik yang muncul di Benua Eropa (Dunia Kristiani) yang dilakukan oleh dua kubu yang selama ini bertentangan bahkan bertarung secara ideologis, pemikiran maupun fisik : Kaisar dan Agamawan Gereja dengan rakyat dan pemikir plus filosof. Itulah sekularisme yang ditunjukkan oleh gagasan Give The God His Right and Give The Emperor His Right Too. Namun karena Agama Buddha adalah sekedar spiritualisme ritualisme dan sama sekali tidak memi-liki konsep yang bersentuhan langsung atau tidak dengan ideologi, politik maupun kenegaraan, ma-ka secara otomatis dan niscaya agama tersebut berada dalam barisan yang bernaung di bawah kiba-ran bendera sekularisme. Jadi Agama Buddha bersikap sekularistik adalah sebuah kepastian realitas baik direncanakan maupun tidak.
Adapun Islam sejak awal diturunkan memang berciri diri yang khas dan berbeda dengan agama lainnya baik yang sama-sama berasal dari langit (Yahudi dan Nashara) maupun apalagi dengan agama yang notabene buatan angan-angan manusia belaka (Hindu, Buddha maupun lainnya). Per-bedaan khas tersebut adalah Islam memastikan harus adanya institusi politik pelaksanaan syariah Islamiyah (كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ لِلشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ) yakni negara yang juga berbentuk khas : Khilafah Isla-miyah yang dipimpin secara tunggal oleh Khalifah. Inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah dalil antara lain :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Keadaan Bani Israil itu yang memimpin dan mengurus mereka adalah para Nabi, setiap seorang Nabi wafat ada Nabi lain menyusul di belakangnya dan sungguh tidak ada lagi Nabi setelah diriku dan yang akan ada adalah Khulafa lalu mereka akan banyak. Mereka (para sahabat) bertanya lalu apakah yang engkau akan perintahkan kepada kami? Beliau menjawab : penuhilah oleh kalian bai’atnya yang pertama maka yang pertama saja. Berikanlah oleh kalian kepada mereka hak me-reka maka sungguh Allah akan bertanya kepada mereka tentang rakyat yang mereka pimpin dan urus
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
dari Tamiim Ad-Daariyyi berkata pada masa Umar orang-orang telah sangat maju dalam hal ba-ngunan, lalu Umar berkata : ‘wahai masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sung-guh Islam itu tidak ada kecuali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya imarah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja yang dija-dikan pemimpin oleh kaumnya berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mereka dan siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya bukan berdasar-kan pemahaman maka orang itu adalah kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka
3.       agama Buddha jelas dapat menerima demokrasi sebagai sistem kehidupan yakni sistem pemerinta-han dan ini dinyatakan dengan sangat vulgar oleh Mahathera Nyanasuryanadi : Waisak tahun ini bertepatan dengan pesta demokrasi. Dalam masyarakat yang bebas dan demokratis, yang diperlu-kan adalah kedamaian, bukan perselisihan, pertengkaran, dan permusuhan. Demokrasi memperta-hankan perdamaian dan persatuan, bukan peperangan dan perpecahan.
Sikap Buddha tersebut sangat wajar dan lumrah karena seluruh ketentuan yang ada di dalamnya sa-ma sekali tidak ada satu pun yang dapat digunakan sebagai sistem pemerintahan maupun bentuk negara. Semuanya hanyalah pranata yang berkaitan erat dengan aspek spiritualisme ritualisme indi-vidual, yakni (menurut anggapan mereka) hanya mengatur interaksi manusia dengan Tuhan.
Islam dan demokrasi bertentangan dalam seluruh aspeknya mulai dari asas hingga pemikiran ca-bang maupun turunannya. Sebagai contoh demokrasi memiliki dua konsep pokok yakni : kedaulat-an di tangan rakyat (اَلسِّيَادَةُ لِلشَّعْبِ) dan rakyat adalah sumber kekuasaan (اَلشَّعْبُ مَصْدَرُ السُّلْطَاتِ). Tentu saja kedua konsep pokok demokrasi tersebut bertentangan dengan realitas Islam yang memastikan bahwa اَلسِّيَادَةُ لِلشَّرْعِ (kedaulatan di tangan syara') dan اَلسُّلْطَانُ لِلأُمَّةِ وَلَيْسَتِ الأُمَّةُ مَصْدَرَهُ (kekuasaan ada-lah milik umat dan umat bukan sumbernya). Inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syara :
اِنِ الْحُكْمُ اِلاَّ لِلَّهِ اَمَرَ اَلاَّ تَعْبُدُوْا اِلاَّ اِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ (يوسف : 40)
Sungguh penetapan hukum itu adalah otoritas Allah dan Dia telah memerintahkan janganlah ka-lian mentaati selain Dia. Itulah din yang benar akan tetapi sebagian sangat besar manusia tidak mengetahui hal itu
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah sakit, lalu kami berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits tersebut yang telah engkau dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi saw telah menyeru kami lalu kami pun membai’at be-liau, lalu beliau pun memberitahukan dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar didengar dan ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan maupun adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan supaya kami tidak mere-but kekuasaan dari tangan pemiliknya kecuali (kata beliau) : kalian melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian dari Allah
4.       karena realitas Agama Buddha tidak memiliki konsep apa pun yang berhubungan langsung maupun tidak dengan negara, maka dapat dipastikan eksistensinya tidak akan pernah berbenturan dengan bentuk negara apa pun termasuk negara kebangsaan, misalnya Negara Kesatuan Republik Indone-sia (NKRI). Inilah yang secara implisit diungkapkan oleh Mahathera Nyanasuryanadi : Hanya de-ngan rasa damai, sebuah masyarakat dimungkinkan mampu bermusyawarah bersama secara tulus dalam mengatasi masalah, rukun berhimpun, hidup harmonis dalam naungan konstitusi sebagai syarat kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Prajnavira Mahasthavira menyatakan : Bakti kepada orang tua, Tri Ratna, bangsa dan negara, serta semua makhluk dapat melimpahkan berkah yang mulia untuk kemajuan kehidupan spiritual yang menjadi fondasi kuat bagi individu yang akan ber-karya membawa perubahan yang baik bagi negeri Indonesia.
Sementara itu, Islam memastikan bahwa bentuk negara yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah Khilafah Islamiyah dan realitas Khilafah jelas diametral dengan negara kebangsaan. Oleh karena itu, Islam menolak bentuk negara kebangsaan tersebut, sebab selain tidak sesuai dan tidak layak ba-gi kehidupan manusia juga dalam Islam sendiri telah tersedia lengkap segala hal yang berhubungan langsung maupun tidak dengan kenegaraan. Bentuk negara, kepala negara, struktur negara, cara pengelolaan negara, strategi negara dalam mensejahterakan rakyat dan seterusnya telah disediakan konsep pemikirannya oleh Islam dan bahkan telah berlaku implementatif dalam realitas kehidupan manusia, sejak abad ke-6 hingga awal abad ke-20 masehi. Jadi, Islam selain menolak negara ke-bangsaan juga sama sekali tidak berkepentingan dengan bentuk negara seperti itu sebab pada fak-tanya bentuk negara tersebut sangat tidak bernilai bagi kemanusiaan. Para sahabat telah berijma :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
“Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar dibai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah”
5.       Mahathera Nyanasuryanadi memastikan realitas "sadar" sebagai eling dalam pernyataannya : Ke-menangan Siddharta Gautama melawan mara (nafsu keinginan) merupakan bentuk kemenangan sejati, menjadi refleksi diri bagi kita untuk bangkit dan berjuang dengan semangat dan selalu sa-dar (eling) tiap saat. Lalu apakah realitas sadar dalam Islam?
Realitas "sadar" atau realize atau اَلإِدْرَاكُ adalah :
اِسْتِعْمَالُ الإِنْسَانِ عَقْلَهُ لِيَفْهَمَ كَوْنَ حَيَاتِهِ فِيْ الدُّنْيَا وَهُوَ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى عَلَى الإِطْلاَقِ
Manusia memfungsikan aqalnya untuk memahami eksistensi hidupnya di dunia yaitu untuk taat ke-pada Allah SWT secara mutlak
Itulah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ (الذاريات : 56)
Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk supaya mereka taat kepada Ku
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَعْمَى (طه : 124)
Dan siapa saja yang memalingkan diri dari peringatan Ku (Islam) maka sungguh baginya ada ke-hidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia di hari qiyamah dalam keadaan buta
Dengan demikian realitas "sadar" dalam Islam jelas berbeda dengan realitas "sadar" yang dikonsep-kan dalam Agama Buddha maupun agama-agama lainnya.
6.       pernyataan Mahathera Nyanasuryanadi bahwa : Hanya dengan rasa damai, sebuah masyarakat di-mungkinkan mampu bermusyawarah bersama secara tulus dalam mengatasi masalah, rukun ber-himpun, hidup harmonis dalam naungan konstitusi sebagai syarat kemajuan dan kesejahteraan bangsa, merupakan pengakuan bahwa agama memang sumber konflik. Inilah yang diusahakan oleh dia untuk dihindari dengan cara menumbuhkan kembangkan rasa damai dalam masyarakat. Lalu, bagaimanakah pemikiran Islam sendiri tentang isyu agama sebagai sumber konflik?
Islam diturunkan oleh Allah SWT dengan objek yang dibidik adalah manusia dengan khasiat aqal-nya yang sangat luar biasa sekaligus membuatnya layak menerima seruan Islam tersebut. Islam me-nyatakan bahwa walaupun bukan yang pertama kali diturunkan bahkan yang paling akhir, tetapi dia adalah bagian tak terpisahkan dari aturan Allah SWT yang telah diturunkan setidaknya mulai kepa-da Nabi Nuh hingga Nabi Isa as. Lalu ketika Islam diturunkan ternyata harus berhadapan dengan para pemeluk dua agama langit sebelumnya (Yahudi dan Nashara) yang tetap "ngotot" bahwa aga-ma mereka masih berlaku serta diklaim benar, maka Islam menyeru aqal mereka supaya segera me-nyadari keadaan bahwa Allah SWT telah dengan pasti mengakhiri masa berlakunya kedua agama langit pendahulu Islam tersebut. Inilah yang gamblang dinyatakan oleh Allah SWT dalam Al-Quran :
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (الشورى : 15)
Lalu oleh karena itu, serulah mereka dan istiqamahlah seperti yang telah diperintahkan kepadamu dan jangalah kamu mengikuti kepentingan naluriah mereka (Yahudi dan Nashara) dan katakanlah aku beriman kepada Kitab yang telah Allah turunkan dan aku diperintahkan untuk memberlakukan hukum di antara kalian. Allah adalah Rab kami dan Rab kalian, bagi kami segala perbuatan kami dan bagi kalian segala perbuatan kalian, tidak ada hujjah antara kami dan kalian. Allah pasti akan mengumpulkan kita semua dan kepada Nya semua akan kembali
أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (البقرة : 140)
Ataukah kalian (Yahudi dan Nashara) menyatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, mereka semua adalah Yahudi atau Nashara? Katakanlah apakah kalian yang lebih tahu (tentang mereka) ataukah Allah. Dan siapa lagi yang lebih zhalim daripada seseorang yang me-nyembunyikan kesaksian yang ada pada dirinya yang dia terima dari Allah dan Allah tidak akan lupa terhadap segala perbuatan kalian
Andaikan saja Yahudi dan Nashara alias ahlul kitab menerima seruan tersebut dengan aqal mereka dan menjauhkan diri dari distorsi kepentingan naluriah mereka, maka dapat dipastikan yang akan ada hari ini adalah hanya umat Islam. Akibatnya adalah tidak akan pernah ada realitas yang saat ini masih menggelayut yakni konflik antar pemeluk agama langit (Yahudi, Kristiani dan Umat Is-lam). Jadi konflik antar pemeluk agama langit saat ini adalah bukan disebabkan oleh realitas intrin-sik agama langit itu sendiri (Yahudi, Nashrani dan Islam) melainkan oleh kesombongan dan ke-bodohan ahlul kitab yang sangat tidak bersedia menerima kenyataan bahwa agama mereka telah dihentikan masa berlakunya oleh Allah SWT sendiri seiring dengan diturunkannya Islam melalui Nabi Muhammad saw. Lalu bagaimana halnya dengan agama-agama non langit termasuk Buddha sendiri?
Semua manusia adalah sama saja yakni sama-sama memiliki aqal yang berkhasiat untuk berpikir serta memahami segala sesuatu yang ada dan terindera di sekelilingnya. Sehingga walau yang saat ini menjelma sebagai pemeluk agama Buddha, Hindu, Kong Huchu dan sebagainya adalah tidak pernah sampai kepada mereka wahyu langit secara langsung dari para Nabi pembawanya, tetapi bu-kankah eksistensi Islam adalah terpampang jelas di hadapan mereka dan bukankah mereka pasti da-pat menggunakan aqalnya untuk memahami realitas Islam apa adanya? Apabila proses aqliyah itu mereka lakukan dengan menjauhkan distorsi kepentingan naluriah mereka, maka dapat dipastikan mereka akan meninggalkan agama yang selama ini mereka anut dan berbondong-bondong masuk ke haribaan Islam. Sehingga tidak akan pernah ada realitas konflik antar pemeluk agama! Jadi Is-lam memastikan bahwa agama (apalagi Islam) adalah sama sekali bukan sumber konflik dalam ke-manusiaan bahkan justru pemersatu kehidupan mereka, walau masih ada yang tetap bersikukuh da-lam agama masing-masing. Inilah yang telah diimplementasikan oleh Rasulullah saw dengan mem-buat Piagam Madinah yang seluruh isinya adalah mengatur pola interaksi antara kaum muslim de-ngan kaum kufar baik yang berstatus ahlu dzimmah maupun ahlu harbiyah.
7.       Mahathera Nyanasuryanadi menyatakan : Waisak tahun ini bertepatan dengan pesta demokrasi. Dalam masyarakat yang bebas dan demokratis, yang diperlukan adalah kedamaian, bukan perseli-sihan, pertengkaran, dan permusuhan. Demokrasi mempertahankan perdamaian dan persatuan, bukan peperangan dan perpecahan. Pernyataan tersebut adalah pengakuan sadar bahwa Buddha sebagai agama mendukung sepenuhnya realitas demokrasi sebagai sistem pemerintahan suatu nega-ra bahkan memposisikan diri sebagai penyempurna segala kekurangan maupun kelemahan yang ada dalam demokrasi. Lalu, bagaimana dengan Islam?
Pernyataan keheranan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS) Hillary Clinton saat me-nyatakan : jika ingin mengetahui Islam (yang modern), demokrasi dan pengakuan atas peran wani-ta, maka datanglah ke Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sebagai negara muslim ter-besar, terbukti mampu menunjukkan pada dunia internasional bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring sejalan, memastikan sebuah pengakuan faktual bahwa sejatinya antara Islam dan demokrasi adalah mustahil dapat dipersatukan dan berjalan bersamaan. Selain itu, realitas Islam yang memastikan bahwa kedaulatan di tangan syara' (اَلسِّيَادَةُ لِلشَّرْعِ) dan kekuasaan itu milik umat dan umat bukan sumbernya (اَلسُّلْطَانُ لِلأُمَّةِ وَلَيْسَتِ الأُمَّةُ مَصْدَرَهُ), sangat jelas bertentangan 180 derajat dengan konsep dasar demokrasi yakni kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber keku-asaan. Apalagi realitas demokrasi sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan agama yang ma-na pun termasuk Kristen yang saat itu mendomainasi kehidupan masyarakat Eropa. Oleh karena itu posisi Islam sangat jelas yakni menolak dan mengharamkan demokrasi serta mengharamkan umat Islam mengambilnya, memberlakukannya dan mendakwahnya.
8.       Mahathera Nyanasuryanadi menyatakan : Makna kemenangan harus lebih diarahkan pada upaya meraih kualitas diri yang lebih baik dan mempertahankannya. Kualitas untuk berdamai dalam diri dan harmoni dengan semua. Prajnavira Mahasthavira menyatakan : Mengingat semua makhluk hi-dup adalah calon Buddha, insan yang memiliki benih ke-Buddha-an, hendaknya memperlakukan orang lain dengan penuh hormat, saling menyayangi, dan mendukung satu sama lain.
Pernyataan kedua tokoh Buddha tersebut memastikan bahwa dalam konsep Agama Buddha tole-ransi dan hidup harmonis berdampingan antar penganut agama yang berbeda adalah perkara yang sangat prinsip serta pokok dalam menjalankan kehidupan keagamaan harian. Lalu, adakah dalam Islam konsep toleransi dan hidup harmonis berdampingan antar penganut agama yang berbeda?
Penginderaan terhadap Islam seharusnya atau idealnya dilakukan ketika Islam diberlakukan oleh manusia sebagai ideologi kehidupan (قِيَادَةً فِكْرِيَّةً) mereka dalam wadah pelaksanaan Khilafah Islami-yah yang dikendalikan secara tunggal oleh Khalifah. Sehingga pemikiran, konsep, gagasan apa pun yang ada, terungkap, diberlakukan dan implementatif dalam realitas Khilafah Islamiyah terutama saat kepemimpinan Khulafa Rasyidun, seluruhnya adalah gambaran pasti dari pengimplementasian syariah Islamiyah secara sempurna, menyeluruh dan utuh. Oleh karena itu, toleransi dalam makna yang saat ini dipropagandakan yakni pengakuan bahwa semua agama sama saja dan sama-sama be-nar, tentu saja tidak dikenal dalam Islam bahkan ditolak oleh Islam sebab sejak awal Islam mene-gaskan dirinya sebagai paling benar dan satu-satunya yang benar. Klaim tersebut secara otomatis memastikan bahwa di luar Islam baik itu agama, peraturan, sistema, ideologi dan sebagainya adalah salah dan haram digunakan oleh umat Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT dalam Al-Quran :
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلاَمُ (آل عمران : 19)
Sungguh din yang benar menurut Allah adalah Islam
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِيْ الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ (آل عمران : 85)
Dan siapa saja yang mencari selain Islam sebagai din maka tidak akan pernah diterima darinya dan dia di akhirat adalah bagian dari kaum yang merugi
Oleh karena itu, gambaran yang pasti dari sikap kaum muslim yang dapat menerima kehadiran kaum kufar dalam kehidupan Islami mereka adalah dalam rangka mengikuti ketentuan Islam itu sendiri seperti yang dinyatakan oleh Rasulullah saw :
وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ (رواه مسلم)
Dan jika kamu bertemu dengan musuhmu dari kalangan musyrikin maka serulah mereka kepada ti-ga pilihan atau tawaran, lalu mana pun di antara tiga pilihan itu yang mereka penuhi kepada mu maka terimalah dari mereka dan tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka kepada Islam, lalu jika mereka memenuhi seruan mu itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka kepada sikap untuk merubah realitas negara mereka (ne-gara kufur harbi) menjadi negara muhajirin (Negara Islam) dan kabarkanlah kepada mereka bah-wa jika mereka melakukannya maka haq mereka sama dengan haq muhajirin dan kewajiban mere-ka sama dengan kewajiban muhajirin
Adapun realitas interaksi sesama umat Islam dalam Khilafah Islamiyah adalah tergambar dalam ucapan Imam Malik :

اَلتَّعَاوُنُ فِيْمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ وَالتَّسَامُحُ فِيْمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ

Bekerjasama dalam segala perkara yang disepakati dan saling membiarkan dalam segala perkara yang diperselisihkan
Juga ucapan Imam Asy-Syafi’i :
رَأْيِيْ صَوَابٌ وَاِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِيْ خَطَأٌ وَاِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
Pendapat saya adalah benar walaupun masih mengandung kasalahan dan pendapat orang lain adalah salah walaupun masih mengandung kebenaran
Demikianlah realitas sikap umat Islam terhadap ahlu dzimmah juga fakta interaksi di antara sesama kaum muslim dalam naungan Khilafah Islamiyah. Jadi sikap mereka tersebut adalah tidak mungkin untuk diberlakukan dalam kehidupan saat ini yang telah lebih dari 85 tahun dicengkeram oleh bru-talisme negara kebangsaan dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya dan kapitalisme se-bagai sistem perekonomiannya. Adalah kesalahan sangat fatal jika ada upaya dari siapa pun untuk mengaktualisasikan sikap tersebut saat ini, sebab selain mustahil juga tidak sesuai dengan perun-tukannya, yakni tidak ada kesesuaian antara konsep dengan wadah pelaksanaannya.
9.       sikap pro perdamaian dan anti kekerasan (anti perang) sangat terlihat jelas dalam pernyataan Maha-thera Nyanasuryanadi : Kemenangan sejati sebagai buah proses pemupukan kesadaran pada haki-katnya bukan kemenangan yang bernuansa heroik destruktif, bukan kemenangan yang dilakukan dengan menekan berbagai karakter negatif yang kita miliki. Kemenangan atau pembebasan dilaku-kan dengan sepenuh hati, berdamai dengan segala karakter negatif yang kita miliki, berdamai de-ngan diri sendiri. Demikian juga diungkap oleh Prajnavira Mahasthavira : Dengan persamaan, ra-sa hormat, dan menjauhi saling menyakiti akan menimbulkan perdamaian, mencegah peperangan, dan memajukan kualitas kehidupan secara global. Artinya, Agama Buddha memang sangat anti perang sehingga menegaskan dirinya sebagai sangat pro perdamaian dengan pihak mana pun. Lalu, bagaimana dengan Islam sendiri?
Ketentuan Islam berkenaan dengan perang atau tidak perang sangat hitam putih dan realitas itu ter-gambar jelas dalam sejumlah dalil sebagai berikut :
قَاتِلُوْا الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَلاَ يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوْا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطَوْا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَّهُمْ صَاغِرُوْنَ (التوبة : 29)
Perangilah oleh kalian (umat Islam) orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak beri-man kepada hari akhir dan mereka tidak mengharamkan segala perkara yang telah Allah dan Rasul-Nya haramkan dan mereka tidak beragama dengan agama yang benar (Islam) yakni mereka itu adalah orang-orang yang diberikan kepada mereka Kitab (Taurah dan Injil), hingga mereka bersedia memberikan jizyah dengan tangan mereka sendiri dalam keadaan mereka tunduk patuh
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (رواه البخاري)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ dari Muhammad bin Abdillah dan Rasul-Nya kepada Hiraklius Penguasa Ro-mawi, salam bagi siapa saja yang mengikuti al-huda. Adapun setelah itu, maka sungguh aku me-nyeru anda dengan seruan Islam, masuklah anda ke dalam Islam niscaya anda selamat dan Allah pasti akan memberikan kepada anda pahala anda dua kali lipat. Lalu jika anda menolak seruan ku ini maka dosa seluruh rakyat anda menjadi tanggungan anda. Dan wahai ahlal kitab marilah ka-lian menuju kepada kata-kata yang sama antara kami dan kalian yakni kita tidak akan mentaati se-lain Allah dan kita sama sekali tidak akan bersikap syirik kepadanya dan sebagian dari kita tidak akan menjadikan sebagian lainnya sebagai tuhan selain Allah, lalu jika kalian (kaum kufar) meno-lak seruan ini maka katakanlah oleh kalian (umat Islam) saksikanlah oleh kalian bahwa kami ada-lah kaum muslim
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ (رواه ابو داود)
Tiga hal merupakan bagian dari pokok iman yakni menahan tangan dari orang yang telah meng-ucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ dan kita tidak akan mengkafirkan seseorang karena dosanya dan kita tidak akan mengeluarkan seseorang dari Islam karena suatu perbuatan. Dan jihad itu akan terus ber-langsung sejak Allah mengutus diriku hingga orang terakhir dari umatku yang memerangi dajjal, tidak akan membatalkan pemberlakuan jihad جَوْرُ جَائِرٍ dan tidak pula عَدْلُ عَادِلٍ dan iman itu ditentu-kan oleh kadar kemampuan aqal
Jadi, selama dakwah dalam rangka menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia diterima dengan sadar oleh kaum kufar maka selama itu pula tidak akan pernah ada perang dengan mereka. Jika pun me-reka tidak mau masuk Islam namun bersedia tunduk patuh kepada kekuasaan Islam (Khilafah Isla-miyah) dengan bukti membayar jizyah maka mereka pun tidak akan pernah diperangi. Sebaliknya ketika dakwah menghadapi rintangan atau penolakan fisik dari kaum kufar maka perang pasti akan dilakukan dan dilancarkan kepada mereka hingga mereka berikrar masuk Islam atau membayar jizyah atau memang mereka harus diperangi hingga hancur musnah.
10.   sikap pluralistik pada hakikatnya adalah mustahil dimiliki oleh penganut agama mana pun apalagi umat Islam, sebab ketika seseorang memutuskan untuk menganut suatu agama tentu saja seharus-nya itu dilakukan setelah dia melakukan pembuktian aqliyah tentang kebenaran agama tersebut. Sehingga sekali masuk suatu agama, maka itu adalah keputusan untuk selama hidup di dunia dan dia akan pertahankan walau harus dengan nyawa sekali pun.
Memang benar jika semua manusia di dunia menggunakan aqalnya saat memutuskan untuk menga-nut suatu agama, maka dapat dipastikan mereka semua hanya akan memilih Islam sebab Islam saja-lah yang dapat dibuktikan kebenarannya melalui pembuktian aqliyah. Sedangkan agama lainnya termasuk yang dulunya bersumber dari Taurah maupun Injil sekali pun, sama sekali tidak akan me-menuhi kualifikasi memuaskan aqal ketika aqal mencoba membuktikan kebenarannya. Namun karena pada faktanya justru manusia hanya menggunakan perasaannya (غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ) saat memutus-kan untuk menganut suatu agama, maka realitas saat inilah yang terjadi yakni justru hanya satu per enam penduduk bumi saja yang mau menganut Islam dan itu pun hanya sebagian sangat kecil saja yang diawali dengan pembuktian aqliyah. Akibatnya adalah terwujudlah realitas pluralistik agama-agama serta muncul pula fakta lainnya yakni agama adalah sumber konflik kemanusiaan karena masing-masing pemeluk agama mengklaim agamanya sebagai paling benar. Thesis inilah yang ke-mudian dibuat antithesisnya dalam rumusan pluralisme yaitu sikap yang menempatkan semua aga-ma sebagai sama saja yakni sama-sama mengajarkan kebaikan, kebajikan, keadilan, kejujuran, per-damaian, kemanusiaan dan sebagainya. Antithesis tersebut sengaja dibentuk untuk mengantisipasi sekaligus menghindarkan agama dari faktanya sebagai berpotensi menjadi sumber komflik dalam kehidupan manusia di dunia. Tentu saja rumusan gagasan tersebut adalah ditolak oleh Islam sebab Islam sejak awal diturunkan justru menyatakan diri sebagai paling benar dan yang lainnya apa pun itu adalah salah dalam pandangan Islam. Jadi, pluralisme tidak dikenal oleh Islam dan tidak pernah ada dalam syariah Islamiyah. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
يَآ اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقَاكُمْ (الحجرات : 13)
Wahai manusia sungguh Kami (Allah) telah menciptakan kalian dari seorang pria dan wanita dan Kami telah jadikan kalian berbangsa dan berkabilah supaya kalian saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kalian menurut Allah adalah yang paling taqwa di antara kalian
Jadi bagian ayat يَآ اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا hanya mengungkap rea-litas manusia di dunia yang sebenarnya jika tidak dipertelakan oleh ayat pun telah dapat diindera dengan mudah oleh manusia. Artinya bagian ayat tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan pluralisme, melainkan justru sebaliknya menolak ide tersebut dan itu dipastikan oleh bagian akhir dari ayat : اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقَاكُمْ yang sekaligus sebagai perintah wajib kepada seluruh manusia un-tuk bersikap taqwa kepada Allah SWT melalui pemberlakuan Islam dalam kehidupan mereka.
11.   konsep kemenangan sejati adalah kemenangan hati nyata-nyata ada dalam Agama Buddha seperti yang dinyatakan oleh Mahathera Nyanasuryanadi : Kemenangan atau pembebasan dilakukan de-ngan sepenuh hati, berdamai dengan segala karakter negatif yang kita miliki, berdamai dengan di-ri sendiri. Hal senada juga diungkapkan oleh Prajnavira Mahasthavira : Dengan persamaan, rasa hormat, dan menjauhi saling menyakiti akan menimbulkan perdamaian, mencegah peperangan, dan memajukan kualitas kehidupan secara global. Lalu bagaimana dalam Islam sendiri berkenaan dengan realitas kemenangan?
Islam memastikan kemenangan sejati adalah ketika seluruh kehidupan manusia di dunia sepenuh-nya dijalankan hanya berdasarkan ideologi Islam sehingga kekufuran atau sistem kufur tidak lagi diberlakukan oleh manusia mana pun baik itu kaum kufar maupun apalagi umat Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَقَاتِلُوْهُمْ حَتَّى لاَ تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ ِللهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلاَ عُدْوَانَ اِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ (البقرة : 193)
Dan perangilah mereka (kaum kufar) oleh kalian (umat Islam) hingga tidak akan ada lagi kekufur-an itu dan agama sepenuhnya milik Allah (Islam) lalu jika mereka (kaum kufar) berhenti (dari ke-kufurannya) maka tidak ada permusuhan kecuali kepada orang-orang yang bersikap zhalim (mem-berlakukan kekufuran)
12.   konsep individu baik maka masyarakat pasti baik adalah tidak pernah dikenal dalam pemikiran Is-lami bahkan sebaliknya Islam memiliki konsep tersendiri yang khas berkenaan dengan itu dan rea-litas tersebut terumuskan dalam definisi masyarakat :
مَجْمُوْعٌ مِنْ اُنَاسٍ بَيْنَهُمْ عَلاَقَاتٌ دَائِمِيَّةٌ بِوِحْدَةِ الأَفْكَارِ وَالمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ
Kumpulan manusia yang terjadi interaksi terus menerus di antara mereka berdasarkan satunya pemikiran, perasaan dan peraturan
Realitas masyarakat tersebut ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا (رواه البخاري)
Hadits tersebut memastikan bahwa eksistensi masyarakat itu (terjamin utuh atau musnah) ditentu-kan oleh :
a.       اَلأَنْظِمَةُ الَّتِيْ تُطَبِّقُهَا (peraturan yang diberlakukan di dalamnya) dan ini ditunjukkan oleh bagian ha-dits : مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا.
b.       اَلأَفْكَارُ الَّتِيْ تَحْمِلُهَا (pemikiran yang diemban oleh masyarakat) dan ini ditunjukkan oleh bagian ha-dits : فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا.
c.       اَلْمَشَاعِرُ الَّتِيْ تَكُوْنُ فِيْهَا حِيْنَ تُشْبِعُ حَاجَاتِهَا (perasaan yang ada saat melakukan pemenuhan kebutuhan di dalamnya) dan ini ditunjukkan oleh bagian hadits : فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا.
d.      اَلْعَلاَقَاتُ الدَّائِمِيَّةُ بَيْنَ اَفْرَدِهَا (interaksi terus menerus di antara mereka) dan ini ditunjukkan oleh ba-gian hadits :
كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ
13.   Islam melarang umat Islam membahas atau memikirkan sesuatu yang tidak terindera atau mereka tidak memiliki informasi apa pun tentang sesuatu tersebut, termasuk tentang nyawa (اَلرُّوْحُ). Inilah yang dipastikan oleh pernyataan Allah SWT :
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلاَّ قَلِيْلاً (الإسراء : 85)
Dan mereka akan bertanya kepada mu (Muhammad) tentang ruh, katakanlah ruh itu adalah bagi-an dari urusan Rab ku dan kalian tidak diberi ilmu kecuali sangat sedikit
Sebanyak apa pun ilmu yang dimiliki manusia ternyata sama sekali tidak mencakup ilmu (informa-si) tentang ruh, sehingga Allah SWT mengharamkan mereka memikirkan ruh sebab tidak mungkin dilakukan sehubungan informasi tentang ruh itu tidak diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, realitas ruh yang masih diberikan kepada manusia oleh Allah SWT adalah bermakna kesadaran ma-nusia tentang hubungannya dengan Allah SWT (اِدْرَاكُ الإِنْسَانِ صِلَتَهُ بِاللهِ). Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
اَللهُ يَتَوَفَّى الأَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِيْ قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الأُخْرَى اِلَى اَجَلٍ مُّسَمًّى اِنَّ فِيْ ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ (الزمر : 42)
Allah mewafatkan manusia saat kematiannya dan yang belum saatnya mati ketika tidurnya, lalu Dia tetap memegang kesadaran manusia yang telah Dia tetapkan baginya kematian dan mengem-balikan yang lain hingga batas ajalnya. Sungguh dalam hal itu ada bukti keberadaa Allah bagi ka-um yang berpikir
Karena realitas manusia saat tidur disamakan dengan ketika mereka telah mati, maka ada satu hal atau perkara atau aspek yang sama-sama hilang dari manusia baik saat mereka tidur maupun ketika mereka telah mati, yakni kesadaran hubungannya dengan Allah SWT (اِدْرَاكُ الإِنْسَانِ صِلَتَهُ بِاللهِ). Jadi ayat ini justru mewajibkan manusia untuk memikirkan kedua realitas manusia tersebut sehingga da-pat memahami makna ruh yang masih dapat dijangkau oleh aqal mereka melalui penginderaan ter-hadap fakta manusia saat tidur dan ketika telah mati. Inilah konsep Islam berkenaan dengan ruh yang pasti bertolak belakang dengan konsep dalam agama lain termasuk Buddha.
14.   Mahathera Nyanasuryanadi menyatakan : Pada dasarnya kita seperti keping mata uang dengan dua sisi, kebaikan dan keburukan, dan menghilangkan satu sisi berarti menghilangkan yang lain. Inilah konsep Buddha terhadap realitas manusia yang menurut mereka kadang melakukan kebaikan dan kadang keburukan. Tentu saja entitas baik maupun buruk yang dimaksudkan adalah menurut mereka atau berdasarkan konsep darma yang ada dalam Agama Buddha.
Lalu bagaimana dalam pandangan Islam tentang anggapan Agama Buddha tersebut? Realitas ma-nusia dalam padangan Islam sangatlah sederhana yakni hanya bertumpu kepada hal atau aspek atau perkara yang terindera dari manusia itu sendiri. Rasulullah saw menyatakan :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
Setiap yang anak dilahirkan di atas fitrah (naluri beragama), lalu kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan dia Yahudi atau Nashrani atau Majusi, seperti hewan pasti akan terlahir darinya hewan yang serupa, apakah kamu lihat darinya ada bagian telinga yang berasal dari bukan hewan itu?
Topik pembahasan dari hadits tersebut adalah bukan berkenaan dengan keadaan orisinal manusia saat dilahirkan (يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ) melainkan realitas berikutnya yakni ketika mereka telah dapat berpi-kir. Dalil ini menuntut setiap manusia untuk memfungsikan aqalnya demi memahami fakta lingku-ngan yang tengah mewadahi hidupnya, yakni apakah benar dan sesuai dengan fitrah orisinal atau-kah justru salah dan bertentangan dengan fitrah orisinal tersebut. Fakta lingkungan yang harus per-tama kali diindera adalah realitas kedua orang tua, apakah mereka berdua Yahudi, Nashrani, Majusi ataukah Muslim? Apa pun realitas mereka berdua itu adalah harus menjadi objek terindera lalu ha-rus dicari seluruh informasi tentang objek tersebut baik yang langsung tentang objek itu atau yang berhubungan dengannya. Inilah fase krusial dalam kehidupan seorang manusia, yakni jika benar dalam melakukan proses berpikir tentang realitas kedua orang tua, maka dia akan menjelma seba-gai manusia yang benar sekaligus dapat menjawab dan memenuhi tuntutan keadaan orisinalnya dengan tepat. Sebaliknya jika dia salah dalam berpikir atau tidak sempurna maka itulah yang di-maksudkan dengan bagian hadits : فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ, yakni gagal menjelma sebagai manusia yang benar sekaligus gagal dalam menjawab dan memenuhi tuntutan keadaan orisinal-nya. Inilah konsep realitas manusia yang benar dan yang salah dalam pandangan Islam.
Dengan demikian, jelas sudah apa yang menjadi asas pemikiran umat Islam saat ini yakni sama sekali bukan Islam melainkan bisa konsep-konsep Buddha, Hindu, Kristen atau yang paling pasti ada-lah sekularisme yang melahirkan anak kembar berjuluk demokrasi dan kapitalisme.


Khatimah
Wal hasil, realitas umat Islam saat ini benar-benar telah punah tak bersisa dan yang ada hanya-lah sosok-sosok manusia yang bersikukuh mengaku diri sebagai kaum muslim walau hakikatnya mere-ka lebih pantas lebih layak memposisikan diri sebagai bagian dari kaum Yahudi, Kristiani, Buddhist, Hindu, sekularis dan lainnya dari sistem kufur di luar Islam. Sikap "ngotot" tersebut memang sangat menghalangi kemampuan mereka untuk memahami realitas sejati kekinian diri mereka sendiri sehing-ga perjalanan waktu sama sekali tidak dapat mengantarkan mereka kepada perubahan yang mendasar dan pokok tentang jatidiri mereka selama ini. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
Dan jika al-haq (Islam) mengikuti kepentingan naluriah mereka (manusia) maka pastilah rusak binasa langit maupun bumi beserta siapa pun yang ada di dalamnya. Padahal Kami (Allah) telah mendatang-kan kepada mereka aturan mereka namun mereka semua berpaling dari aturan mereka itu

No comments:

Post a Comment