Asas pemikiran kaum muslim : Islam ataukah Buddha ataukah kekufuran lainnya?
Ketua Umum Sangha Agung Indonesia yang juga sebagai Pembina
Majelis Buddhayana Indone-sia : Mahathera Nyanasuryanadi dalam tulisannya
berjudul "Makna Sebuah Kemenangan" (Kompas, Jumat 8 Mei 2009, OPINI)
menyatakan : Makna historis Waisak adalah sebuah dialektika kehidupan yang
telah mencapai titik transformasi "paripurna', sebuah kemenangan nurani
atas segala ambiguitas kehidupan. Buddha tidak lagi diombang-ambingkan suasana
hidup yang selalu bersinggungan dengan berbagai masalah (dukkha), baik fisik,
mental, maupun sosial. Berbagai beban persoalan hidup yang fundamental
dipandang dengan cara elegan, realistis, sehingga tampak jelas, masalah hanya
buah tarik menarik antara persepsi ego, keinginan ceroboh, dan konstruksi
mental yang tidak terampil. Ka-pasitas untuk bangkit (buddho) dalam mengatasi
segala persoalan secara tenang, terkontrol dalam bingkai keterjagaan
(mindfulness/eling) merupakan esensi peringatan Waisak sekaligus cara hidup
menuju kemenangan dan pembebasan yang selalu relevan untuk diterapkan dalam
aneka kehidupan. Kemenangan sejati terletak di hati, bukan dalam pakaian,
makanan, dan materi. Makna kemenangan harus lebih diarahkan pada upaya meraih
kualitas diri yang lebih baik dan mempertahankannya. Kua-litas untuk berdamai
dalam diri dan harmoni dengan semua. Kemenangan Siddharta Gautama mela-wan mara
(nafsu keinginan) merupakan bentuk kemenangan sejati, menjadi refleksi diri
bagi kita un-tuk bangkit dan berjuang dengan semangat dan selalu sadar (eling)
tiap saat. Eksistensi Budhha de-ngan berbagai kapasitas dan keluhurannya bukan
hanya monopoli Siddharta, tetapi bersifat universal, dapat diwujudkan oleh
siapa pun yang peduli dan sadar dalam menjalankan kehidupan. Kemampuan untuk
sadar akan memperlancar intensitas perjumpaan mental dengan sisi-sisi paling
alami yang kita miliki berupa benih kasih, kepedulian, dan kebijaksanaan atau
benih dan sifat kebuddhaan (Buddha-ta). Kemenangan sejati sebagai buah proses
pemupukan kesadaran pada hakikatnya bukan kemenang-an yang bernuansa heroik
destruktif, bukan kemenangan yang dilakukan dengan menekan berbagai karakter
negatif yang kita miliki. Kemenangan atau pembebasan dilakukan dengan sepenuh
hati, ber-damai dengan segala karakter negatif yang kita miliki, berdamai
dengan diri sendiri. Pada dasarnya kita seperti keping mata uang dengan dua
sisi, kebaikan dan keburukan, dan menghilangkan satu sisi berarti menghilangkan
yang lain. Memperlakukan sisi baik dengan cara yang salah akan melahirkan sisi
buruk. Sementara tidak menghendaki sisi buruk menekan atau "membenci"
sisi buruk hanya akan menambah masalah. Cara kesadaran (eling) bekerja adalah
memperlakukan dua sisi dalam basis yang sama, memahaminya secara alami, serta
menyinarinya secara apa adanya dan perlahan akan terbebas dari dualisme
baik-buruk sebagai puncak kedamaian dari kemenangan spiritual. Apalagi
pelaksanaan Pemilu 2009 berpotensi memunculkan perbedaan yang kian tajam,
seperti perbedaan paham dan pe-mikiran, berpuncak pada perbedaan status
kekalahan dan kemenangan. Pada titik inilah kedamaian dalam diri, keampuhan
untuk hidup harmonis dengan sesama, memunculkan peran yang sangat vital. Hanya
dengan rasa damai, sebuah masyarakat dimungkinkan mampu bermusyawarah bersama
secara tulus dalam mengatasi masalah, rukun berhimpun, hidup harmonis dalam
naungan konstitusi sebagai syarat kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Waisak
tahun ini bertepatan dengan pesta demokrasi. Da-lam masyarakat yang bebas dan
demokratis, yang diperlukan adalah kedamaian, bukan perselisihan, pertengkaran,
dan permusuhan. Demokrasi mempertahankan perdamaian dan persatuan, bukan pepe-rangan
dan perpecahan. Keragaman dan kebinekaan merupakan realitas, kebersamaan dalam
perbe-daan merupakan kebutuhan. Proses pencapaian kebuddhaan merupakan
transformasi personal yang sadar dalam membangun kemenangan, damai dalam diri,
dan harmoni dengan sesama.
Sekretaris Jenderal World Buddhist Sangha
Council yang juga Pimpinan Vihara Mahavira Graha Pusat : Prajnavira
Mahasthavira dalam tulisannya berjudul "Berkah Tri Suci Waisak"
(Kompas, Jumat 8 Mei 2009, OPINI) menyatakan : Mengingat semua makhluk hidup
adalah calon Buddha, insan yang memiliki benih ke-Buddha-an, hendaknya
memperlakukan orang lain dengan penuh hormat, saling me-nyayangi, dan mendukung
satu sama lain. Konsep yang amat mendasar itu perlu terus dikumandang-kan
sehingga kita semua disadarkan akan persamaan dan bukan mencari perbedaan.
Dengan persa-maan, rasa hormat, dan menjauhi saling menyakiti akan menimbulkan
perdamaian, mencegah pepera-ngan, dan memajukan kualitas kehidupan secara
global. Bakti kepada orang tua, Tri Ratna, bangsa dan negara, serta semua
makhluk dapat melimpahkan berkah yang mulia untuk kemajuan kehidupan spiritual
yang menjadi fondasi kuat bagi individu yang akan berkarya membawa perubahan
yang baik bagi negeri Indonesia.
Sarva Satva Bhavantu Sukhitatta, semoga semua makhluk hidup dalam damai dan
bahagia.
Pada tanggal 24-26 Juni 2008 di Jakarta,
Muhammadiyah telah secara langsung memfasilitasi penyelenggaraan The 2nd
World Peace Forum (Forum Perdamaian Dunia Ke-2) yang dihadiri oleh 200
tokoh agama dari 36 negara. World Peace Forum dengan slogan One
Humanity, One Destiny, One Responsibility (Satunya Kemanusiaan, Satunya
Tujuan, Satunya Tanggungjawab) saat ini diketuai oleh Ketum PP Muhammadiyah Din
Syamsuddin dan saat membacakan hasil pertemuan selama tiga hari itu menyatakan
: perdamaian tidak bisa dirasakan selama kita tidak bisa menghilangkan
ketidaksetaraan, ketidakadilan, eksploitasi, ekstremisme, tidak toleran,
diskriminasi dan semua bentuk kekerasan ber-senjata, pemusnahan ras, terorisme,
agresi hingga pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, kami mendesak
semua pemerintah untuk memperbesar investasi perdamaian mereka, ketimbang
inves-tasi kekerasan. Sistem politik dan ekonomi suatu negara bisa
menjerumuskan negara bersangkutan ke dalam jurang kekerasan. Sistem ekonomi
kapitalistik justru menciptakan kesenjangan yang amat lebar antara kaum miskin
dan kaum kaya. Kelompok yang tidak diuntungkan, miskin tentunya, tidak bisa
berbuat apa-apa. Sehingga mereka berpaling pada jalan kekerasan untuk merespon
kondisi hidupnya. Sistem politik demokrasi, haruslah demokrasi yang bermoral,
demokrasi yang menegakkan keadilan dan demokrasi yang bertumpu pada pemerataan.
Agama bukanlah akar segala bentuk kekerasan, na-mun agama bisa disalahgunakan
dan disalahartikan memang membuat pertikaian dan perpecahan.
Wakil Sekretaris Jenderal
(Wasekjen) Kepemimpinan Rakyat Islam Sedunia (KRIS) atau World Islamic
People’s Leadership yang mewakili Benua Asia Din Syamsuddin pada forum Sidang
Dewan Eksekutif Organisasi tersebut menyatakan : inilah saatnya bagi Dunia
Islam untuk mengajukan solusi bagi kerusakan peradaban yang ditandai dengan
kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan hidup serta kekerasan dengan
perang. Kerusakan peradaban yang terjadi saat ini juga diperburuk aneka kri-sis,
seperti pangan, energi, lingkungan hidup dan keuangan. Aneka krisis yang tengah
mencengkeram saat ini terjadi akibat sistem dunia yang anti Tuhan. Dunia
memerlukan sistem alternatif yang tak ha-nya mengedepankan aspek materiil tapi
juga spiritual. Saat ini diperlukan paradigma baru yang dapat membawa manfaat
bagi manusia dan kemanusiaan, yakni Sustainable Development with Meaning atau
Pembangunan Berkelanjutan dengan Makna. Dalam bidang ekonomi, sistem itu
memadukan per-tumbuhan dalam pemerataan. Sedangkan dalam bidang politik,
mendorong demokrasi yang tetap ber-tumpu pada nilai etika dan moral.
Raja Kerajaan Saudi Arabia (KSA) : Abdullah bin
Abdil Aziz As-Sa’ud saat membuka Konfe-rensi Dunia Islam untuk Dialog (مُعْتَمَرُ
الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ لِلْحِوَارِ) pada hari Rabu 4 Juni 2008 yang diadakan di Kota Makkah menyatakan
: muktamar ini merupakan kesempatan untuk menunjukkan nilai-nilai keis-laman.
Nilai keislaman yang penuh dengan semangat toleransi, sikap bijak serta dialog
atas dasar ke-adilan. Latar belakang muktamar ini adalah adanya keinginan kuat
untuk menghadapi keterbelakang-an, kebodohan di kalangan umat Islam dan untuk
menampilkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan. Tantangan umat Islam saat ini
antara lain adalah sikap berlebihan dalam beragama dan di antara bentuk dialog
yang diinginkan adalah tidak menggunakan kekerasan.
Muhammadun
AS (peneliti Center for
Pesantren and Democracy Studies) dalam tulisan berjudul “Rajab, Momentum
Merajut Solidaritas” menyatakan : Rajab sangat strategis dalam menggemakan
spirit persaudaraan dan perdamaian antarsesama. Terlebih juga dalam Rajab ini
Nabi Muhammad menjalankan wisata spiritual yang sangat monumental, yakni Isra
Mi’raj. Nabi Muhammad tidak mau bersenang di surga. Beliau lebih memilih
kembali ke bumi untuk menegakkan nilai kemanusiaan. Mu-hammad lebih memilih
sebagai manusia yang setiap saat selalu perhatian dengan setiap permasalahan
kemanusiaan. Masalah-masalah kemanusiaan selalu dicarikan solusi strategis
dengan jalan yang te-duh, damai, dan penuh persaudaraan. Jalan beragama yang
teduh dan inspiratif inilah yang mengan-tarkan Abu Bakar percaya sepenuhnya
terhadap semua yang dilakukan Nabi dalam Isra’ Mi’raj. Nilai-nilai
persaudaraan, kedamaian, dan kejujuran yang diajarkan dan dicontohkan Nabi
serta para saha-batnya menjadi tonggak sangat berharga bagi umat Islam untuk
menggelorakan berbagai tindak anti-kekerasan, antiteror, antikorupsi, dan
antikejahatan kemanusiaan lainnya. Spirit yang ditancapkan Nabi tersebut sangat
tepat di tengah kondisi sosial bangsa yang sedang berkecamuk dengan berbagai
tragedi kemanusiaan yang tak kunjung usai. Bangsa Indonesia sedang dilanda berbagai
krisis kebang-saan dan kemanusiaan yang terus datang silih berganti.
Mahathera Nyanasuryanadi dan Prajnavira
Mahasthavira adalah dua sosok pemuka Agama Bud-dha yang secara pasti mewakili
seluruh konsep keagamaan yang diklaim bersumber dari pendirinya : Siddharta
Gautama alias Sang Buddha. Sehingga tidak salah jika seluruh
gagasan yang dicurahkan oleh mereka berdua dalam tulisannya masing-masing,
dipastikan dan disimpulkan sebagai gambaran riil dari realitas konsep-konsep
keagamaan agama Buddha. Hal itu karena walau keduanya adalah pe-muka Agama
Buddha, namun mewakili atau berlatar belakang dua aliran yang berbeda dari
sekian ba-nyak aliran Agama Buddha. Mahathera adalah Ketua Umum Sangha Agung Indonesia dan Pembina Majelis Buddhayana Indonesia,
sedangkan Prajnavira adalah Sekretaris Jenderal World Buddhist Sang-ha
Council yang juga Pimpinan Vihara Mahavira Graha Pusat. Sementara itu, Raja
Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud, Din Syamsuddin maupun Muhammadun AS adalah
segelintir kecil orang bagian dari umat Islam, namun karena mereka adalah the
opinion leader (pimpinan opini) massa kaum muslim di
kelompoknya masing-masing atau bahkan secara lintas kelompok, maka eksistensi
pemikiran maupun sikap mereka dapat dipastikan mewakili realitas
umat Islam seluruhnya (Muhammadiyah, NU, Waha-bi dan lainnya). Dengan demikian,
seluruh pemikiran maupun sikap kelima orang tersebut dapat dibe-narkan
jika berposisi mewakili realitas umat Islam dan para penganut Agama Buddha.
Gagasan atau isyu
yang telah melekat erat pada sikap mereka dapat dipertelakan secara perbandi-ngan
sebagai berikut :
Isyu
|
Umat Islam
|
Penganut Buddha
|
Status
|
Posisi agama
hanya spiritualistik ritualistik
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Pemisahan agama
dari politik dan negara
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Menerima
demokrasi sebagai sistem kehidupan
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Menerima negara
kebangsaan
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Makna sadar
sebagai eling
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Agama sebagai
sumber konflik
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Agama sebagai
penyempurna demokrasi
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Toleransi dan
hidup harmonis berdampingan
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Pro perdamaian
dan anti kekerasan (anti perang)
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Menerima
pluralisme (kesamaan agama-agama)
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Kemenangan
sejati, kemenangan hati
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Konsep individu
baik, masyarakat pun baik
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Konsep jasmani
dan rohani
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Konsep manusia
bersisi baik dan buruk
|
Ya
|
Ya
|
Sama persis
|
Nampak sangat jelas dalam semua entitas mendasar berkenaan dengan
realitas agama, negara, politik, individu, masyarakat, interaksi antar individu
dalam masyarakat, konsistensi individu dalam agama yang dianutnya, padangan
terhadap kehidupan dan seterusnya, sama sekali tidak ada
perbedaan secuil pun antara umat Islam dengan penganut Agama Buddha. Kenyataan
ini mau tidak mau memaksa munculnya sebuah kesimpulan yakni : adakah
perbedaan antara Islam dengan Buddha dan apakah yang membedakan antara realitas
umat Islam dengan penganut Agama Buddha?
Apabila pemikiran hanya berdasarkan
aspek-aspek tersebut, maka dapat dipastikan tidak ada per-bedaan apa pun antara
Islam dan Buddha, baik sebagai agama maupun sebagai peradaban dan fakta ter-sebut
secara otomatis mendorong wujudnya thesis bahwa umat Islam dan penganut Agama
Buddha adalah sama persis, tidak ada keistimewaan satu dari yang lainnya. Jika
memang demikian, konsep atau pemikiran agama mana yang menjadikan kehomogenan
tersebut, Islam ataukah Buddha? Kepastian Is-lam ataukah Buddha yang
menyebabkan terjadinya kesamaan tersebut, harus ditelusuri dari semua enti-tas
mendasar yang ada yakni :
1. posisi agama hanya sebagai spiritualisme ritualisme secara pasti
dikonsepkan dalam Buddha dan ini sangat gamblang diungkapkan oleh kedua tokoh
Buddha sendiri :
a. Mahathera Nyanasuryanadi : Cara kesadaran (eling) bekerja
adalah memperlakukan dua sisi dalam basis yang sama, memahaminya secara alami,
serta menyinarinya secara apa adanya dan perlahan akan terbebas dari dualisme
baik-buruk sebagai puncak kedamaian dari keme-nangan spiritual.
b.
Prajnavira Mahasthavira :
Bakti kepada orang tua, Tri Ratna, bangsa dan negara, serta semua makhluk
dapat melimpahkan berkah yang mulia untuk kemajuan kehidupan spiritual yang
menjadi fondasi kuat bagi individu yang akan berkarya membawa perubahan yang
baik bagi negeri Indonesia.
Sarva Satva Bhavantu Sukhitatta, semoga semua makhluk hidup dalam da-mai dan
bahagia.
Sedangkan Islam sama
sekali tidak mengenal atau mengkonsepkan dirinya dalam pemikiran spiri-tualistik
ritualistik melainkan sebaliknya secara kontradiktif dengan Buddha, yakni Islam
adalah se-buah ideologi (اَلْمَبْدَأُ) yang dicirikan oleh
dua hal asasi yaitu adanya aqidah dan sistem yang terpan-car dari aqidah itu
sendiri. Inilah yang terungkap dalam rumusan :
عَقِيْدَةٌ
عَقْلِيَّةٌ يَنْبَثِقُ عَنْهَا نِظَامٌ الَّذِيْ يُنَظِّمُ عَلاَقَاتِ
الإِنْسَانِ بِخَالِقِهِ وَبِنَفْسِهِ وَبِغَيْرِهِ مِنْ بَنِي الإِنْسَانِ
وَبِعِبَارِةٍ أُخْرَى اَلإِسْلاَمُ هُوَ الدِّيْنُ وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ
Aqidah aqliyah yang terpancar darinya sistem
yang akan mengatur interaksi manusia dengan Kha-liqnya, dirinya sendiri dan
sesama manusia dan dengan kata lain Islam adalah din dan daulah adalah bagian
darinya.
Rumusan tersebut ditunjukkan secara gamblang
oleh banyak dalil yang ada dalam sumber Islam itu sendiri (Al-Quran dan
As-Sunnah) antara lain :
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ
شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا (المائدة : 48)
Dan Kami (Allah) telah menurunkan Al-Kitab
(Al-Quran) kepada mu (Muhammad) dengan mem-bawa Al-Haq (Islam) yang menjadi
pembenar bagi segala Kitab yang sebelumnya dan sekaligus sebagai penghapus bagi
Kitab-Kitab tersebut, maka berlakukanlah pemerintahan di tengah-tengah mereka
dengan segala sesuatu yang telah Allah turunkan tersebut dan janganlah kamu
mengikuti kepentingan naluriah mereka terhadap Al-Haq yang telah datang
kepadamu. Bagi setiap kalian telah Kami jadikan syariah dan minhaj (pola/jalan)
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا
انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ
نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)
Sungguh akan
dibatalkan ketentuan Islam itu satu per satu, lalu ketika satu ketentuan telah
terba-talkan, segera saja manusia beralih kepada ketentuan berikutnya dan yang
pertama kali dibatal-kan adalah pemerintahan serta yang paling akhir adalah
shalat
2.
memang konsep pemisahan
agama dari politik dan negara adalah bukan konsep orisinal Buddha melainkan
konsep kompromistik yang muncul di Benua Eropa (Dunia Kristiani) yang dilakukan
oleh dua kubu yang selama ini bertentangan bahkan bertarung secara ideologis,
pemikiran maupun fisik : Kaisar dan Agamawan Gereja dengan rakyat dan pemikir
plus filosof. Itulah sekularisme yang ditunjukkan oleh gagasan Give The God His Right and
Give The Emperor His Right Too. Namun karena
Agama Buddha adalah sekedar spiritualisme ritualisme dan sama sekali tidak memi-liki
konsep yang bersentuhan langsung atau tidak dengan ideologi, politik maupun
kenegaraan, ma-ka secara otomatis dan niscaya agama tersebut berada dalam
barisan yang bernaung di bawah kiba-ran bendera sekularisme. Jadi Agama Buddha
bersikap sekularistik adalah sebuah kepastian realitas baik direncanakan maupun
tidak.
Adapun Islam sejak awal
diturunkan memang berciri diri yang khas dan berbeda dengan agama
lainnya baik yang sama-sama berasal dari langit (Yahudi dan Nashara) maupun
apalagi dengan agama yang notabene buatan angan-angan manusia belaka (Hindu,
Buddha maupun lainnya). Per-bedaan khas tersebut adalah Islam memastikan harus
adanya institusi politik pelaksanaan syariah Islamiyah (كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ لِلشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ) yakni negara yang juga
berbentuk khas : Khilafah Isla-miyah yang dipimpin secara tunggal oleh Khalifah.
Inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah dalil antara lain :
كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه
البخاري)
Keadaan Bani Israil itu yang
memimpin dan mengurus mereka adalah para Nabi, setiap seorang Nabi wafat ada
Nabi lain menyusul di belakangnya dan sungguh tidak ada lagi Nabi setelah
diriku dan yang akan ada adalah Khulafa lalu mereka akan banyak. Mereka (para
sahabat) bertanya lalu apakah yang engkau akan perintahkan kepada kami? Beliau
menjawab : penuhilah oleh kalian bai’atnya yang pertama maka yang pertama saja.
Berikanlah oleh kalian kepada mereka hak me-reka maka sungguh Allah akan
bertanya kepada mereka tentang rakyat yang mereka pimpin dan urus
عَنْ تَمِيمٍ
الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ
عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ
إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا
بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ
وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ
(رواه الدارمي)
dari
Tamiim Ad-Daariyyi berkata pada masa Umar orang-orang telah sangat maju dalam
hal ba-ngunan, lalu Umar berkata : ‘wahai masyarakat Arab, tanah itu akan
tetaplah tanah, namun sung-guh Islam itu tidak ada kecuali dalam bentuk jamaah
dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya imarah dan imarah itu tidak ada
kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja yang dija-dikan pemimpin oleh
kaumnya berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehidupan bagi dirinya dan
bagi mereka dan siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya bukan berdasar-kan
pemahaman maka orang itu adalah kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka
3.
agama Buddha jelas dapat
menerima demokrasi sebagai sistem kehidupan yakni sistem pemerinta-han dan ini
dinyatakan dengan sangat vulgar oleh Mahathera Nyanasuryanadi : Waisak tahun
ini bertepatan dengan pesta demokrasi. Dalam masyarakat yang bebas dan
demokratis, yang diperlu-kan adalah kedamaian, bukan perselisihan,
pertengkaran, dan permusuhan. Demokrasi memperta-hankan perdamaian dan
persatuan, bukan peperangan dan perpecahan.
Sikap Buddha tersebut
sangat wajar dan lumrah karena seluruh ketentuan yang ada di dalamnya sa-ma
sekali tidak ada satu pun yang dapat digunakan sebagai sistem pemerintahan
maupun bentuk negara. Semuanya hanyalah pranata yang berkaitan erat dengan
aspek spiritualisme ritualisme indi-vidual, yakni (menurut anggapan mereka)
hanya mengatur interaksi manusia dengan Tuhan.
Islam dan demokrasi bertentangan
dalam seluruh aspeknya mulai dari asas hingga pemikiran ca-bang maupun
turunannya. Sebagai contoh demokrasi memiliki dua konsep pokok yakni :
kedaulat-an di tangan rakyat (اَلسِّيَادَةُ
لِلشَّعْبِ)
dan rakyat adalah sumber kekuasaan (اَلشَّعْبُ
مَصْدَرُ السُّلْطَاتِ).
Tentu saja kedua konsep pokok demokrasi tersebut bertentangan dengan realitas
Islam yang memastikan bahwa اَلسِّيَادَةُ
لِلشَّرْعِ (kedaulatan
di tangan syara') dan اَلسُّلْطَانُ لِلأُمَّةِ
وَلَيْسَتِ الأُمَّةُ مَصْدَرَهُ (kekuasaan ada-lah milik umat dan umat bukan
sumbernya). Inilah yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syara :
اِنِ الْحُكْمُ اِلاَّ لِلَّهِ اَمَرَ
اَلاَّ تَعْبُدُوْا اِلاَّ اِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ
اَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ (يوسف : 40)
Sungguh penetapan hukum itu adalah otoritas
Allah dan Dia telah memerintahkan janganlah ka-lian mentaati selain Dia. Itulah
din yang benar akan tetapi sebagian sangat besar manusia tidak mengetahui hal
itu
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ
دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ
اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا
وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ
إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
(رواه البخاري)
Dari
Junadah bin Abi Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah
sakit, lalu kami berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu,
ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu
lewat hadits tersebut yang telah engkau dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah)
berkata : Nabi saw telah menyeru kami lalu kami pun membai’at be-liau, lalu
beliau pun memberitahukan dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari
kami agar didengar dan ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan,
kemudahan maupun adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun
memerintahkan supaya kami tidak mere-but kekuasaan dari tangan pemiliknya
kecuali (kata beliau) : kalian melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya
di sisi kalian dari Allah
4.
karena realitas Agama
Buddha tidak memiliki konsep apa pun yang berhubungan langsung maupun tidak
dengan negara, maka dapat dipastikan eksistensinya tidak akan pernah
berbenturan dengan bentuk negara apa pun termasuk negara kebangsaan, misalnya
Negara Kesatuan Republik Indone-sia (NKRI). Inilah yang secara implisit
diungkapkan oleh Mahathera Nyanasuryanadi : Hanya de-ngan rasa damai, sebuah
masyarakat dimungkinkan mampu bermusyawarah bersama secara tulus dalam
mengatasi masalah, rukun berhimpun, hidup harmonis dalam naungan konstitusi
sebagai syarat kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Prajnavira Mahasthavira
menyatakan : Bakti kepada orang tua, Tri Ratna, bangsa dan negara, serta
semua makhluk dapat melimpahkan berkah yang mulia untuk kemajuan kehidupan
spiritual yang menjadi fondasi kuat bagi individu yang akan ber-karya membawa
perubahan yang baik bagi negeri Indonesia.
Sementara itu, Islam
memastikan bahwa bentuk negara yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah Khilafah
Islamiyah dan realitas Khilafah jelas diametral dengan negara kebangsaan. Oleh
karena itu, Islam menolak bentuk negara kebangsaan tersebut, sebab selain tidak
sesuai dan tidak layak ba-gi kehidupan manusia juga dalam Islam sendiri telah
tersedia lengkap segala hal yang berhubungan langsung maupun tidak dengan
kenegaraan. Bentuk negara, kepala negara, struktur negara, cara pengelolaan
negara, strategi negara dalam mensejahterakan rakyat dan seterusnya telah
disediakan konsep pemikirannya oleh Islam dan bahkan telah berlaku implementatif
dalam realitas kehidupan manusia, sejak abad ke-6 hingga awal abad ke-20
masehi. Jadi, Islam selain menolak negara ke-bangsaan juga sama sekali tidak
berkepentingan dengan bentuk negara seperti itu sebab pada fak-tanya bentuk
negara tersebut sangat tidak bernilai bagi kemanusiaan. Para
sahabat telah berijma :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ
حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ
يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا
بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
“Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid
bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu
saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar dibai’at?’ Dia (Sa’iid)
menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci
tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan
jamaah”
5. Mahathera Nyanasuryanadi memastikan realitas "sadar"
sebagai eling dalam pernyataannya : Ke-menangan Siddharta Gautama
melawan mara (nafsu keinginan) merupakan bentuk kemenangan sejati, menjadi
refleksi diri bagi kita untuk bangkit dan berjuang dengan semangat dan selalu
sa-dar (eling) tiap saat. Lalu apakah realitas sadar dalam Islam?
Realitas "sadar"
atau realize atau اَلإِدْرَاكُ adalah :
اِسْتِعْمَالُ الإِنْسَانِ
عَقْلَهُ لِيَفْهَمَ كَوْنَ حَيَاتِهِ فِيْ الدُّنْيَا وَهُوَ لِطَاعَةِ اللهِ تَعَالَى
عَلَى الإِطْلاَقِ
Manusia memfungsikan aqalnya untuk memahami
eksistensi hidupnya di dunia yaitu untuk taat ke-pada Allah SWT secara mutlak
Itulah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah
SWT :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالإِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ (الذاريات : 56)
Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali untuk supaya mereka taat kepada Ku
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ
فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَعْمَى (طه :
124)
Dan siapa saja yang memalingkan diri dari
peringatan Ku (Islam) maka sungguh baginya ada ke-hidupan yang sempit dan Kami
akan mengumpulkan dia di hari qiyamah dalam keadaan buta
Dengan demikian
realitas "sadar" dalam Islam jelas berbeda dengan realitas
"sadar" yang dikonsep-kan dalam Agama Buddha maupun agama-agama
lainnya.
6.
pernyataan Mahathera
Nyanasuryanadi bahwa : Hanya dengan rasa damai, sebuah masyarakat
di-mungkinkan mampu bermusyawarah bersama secara tulus dalam mengatasi masalah,
rukun ber-himpun, hidup harmonis dalam naungan konstitusi sebagai syarat
kemajuan dan kesejahteraan bangsa, merupakan pengakuan bahwa agama memang sumber
konflik. Inilah yang diusahakan oleh dia untuk dihindari dengan cara
menumbuhkan kembangkan rasa damai dalam masyarakat. Lalu, bagaimanakah
pemikiran Islam sendiri tentang isyu agama sebagai sumber konflik?
Islam diturunkan
oleh Allah SWT dengan objek yang dibidik adalah manusia dengan khasiat aqal-nya
yang sangat luar biasa sekaligus membuatnya layak menerima seruan Islam
tersebut. Islam me-nyatakan bahwa walaupun bukan yang pertama kali diturunkan
bahkan yang paling akhir, tetapi dia adalah bagian tak terpisahkan dari aturan Allah
SWT yang telah diturunkan setidaknya mulai kepa-da Nabi Nuh hingga Nabi Isa as.
Lalu ketika Islam diturunkan ternyata harus berhadapan dengan para pemeluk dua
agama langit sebelumnya (Yahudi dan Nashara) yang tetap "ngotot"
bahwa aga-ma mereka masih berlaku serta diklaim benar, maka Islam menyeru aqal
mereka supaya segera me-nyadari keadaan bahwa Allah SWT telah dengan pasti
mengakhiri masa berlakunya kedua agama langit pendahulu Islam tersebut. Inilah
yang gamblang dinyatakan oleh Allah SWT dalam Al-Quran :
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ
كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ
يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (الشورى : 15)
Lalu oleh karena itu, serulah
mereka dan istiqamahlah seperti yang telah diperintahkan kepadamu dan jangalah
kamu mengikuti kepentingan naluriah mereka (Yahudi dan Nashara) dan katakanlah
aku beriman kepada Kitab yang telah Allah turunkan dan aku diperintahkan untuk
memberlakukan hukum di antara kalian. Allah adalah Rab kami dan Rab kalian,
bagi kami segala perbuatan kami dan bagi kalian segala perbuatan kalian, tidak
ada hujjah antara kami dan kalian. Allah pasti akan mengumpulkan kita semua dan
kepada Nya semua akan kembali
أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا
هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ
مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا
تَعْمَلُونَ (البقرة : 140)
Ataukah kalian (Yahudi dan Nashara)
menyatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, mereka semua
adalah Yahudi atau Nashara? Katakanlah apakah kalian yang lebih tahu (tentang
mereka) ataukah Allah. Dan siapa lagi yang lebih zhalim daripada seseorang yang
me-nyembunyikan kesaksian yang ada pada dirinya yang dia terima dari Allah dan
Allah tidak akan lupa terhadap segala perbuatan kalian
Andaikan saja Yahudi dan Nashara alias ahlul
kitab menerima seruan tersebut dengan aqal mereka dan menjauhkan diri dari
distorsi kepentingan naluriah mereka, maka dapat dipastikan yang akan ada hari
ini adalah hanya umat Islam. Akibatnya adalah tidak akan pernah
ada realitas yang saat ini masih menggelayut yakni konflik antar pemeluk agama
langit (Yahudi, Kristiani dan Umat Is-lam). Jadi konflik antar pemeluk agama
langit saat ini adalah bukan disebabkan oleh realitas intrin-sik agama langit
itu sendiri (Yahudi, Nashrani dan Islam) melainkan oleh kesombongan
dan ke-bodohan ahlul kitab yang sangat tidak bersedia menerima
kenyataan bahwa agama mereka telah dihentikan masa berlakunya oleh Allah SWT
sendiri seiring dengan diturunkannya Islam melalui Nabi Muhammad saw. Lalu
bagaimana halnya dengan agama-agama non langit termasuk Buddha sendiri?
Semua manusia
adalah sama saja yakni sama-sama memiliki aqal yang berkhasiat untuk berpikir
serta memahami segala sesuatu yang ada dan terindera di sekelilingnya. Sehingga
walau yang saat ini menjelma sebagai pemeluk agama Buddha, Hindu, Kong Huchu
dan sebagainya adalah tidak pernah sampai kepada mereka wahyu langit secara
langsung dari para Nabi pembawanya, tetapi bu-kankah eksistensi Islam adalah
terpampang jelas di hadapan mereka dan bukankah mereka pasti da-pat menggunakan
aqalnya untuk memahami realitas Islam apa adanya? Apabila proses aqliyah itu
mereka lakukan dengan menjauhkan distorsi kepentingan naluriah mereka, maka
dapat dipastikan mereka akan meninggalkan agama yang selama ini mereka anut dan
berbondong-bondong masuk ke haribaan Islam. Sehingga tidak akan pernah ada
realitas konflik antar pemeluk agama! Jadi Is-lam memastikan bahwa agama
(apalagi Islam) adalah sama sekali bukan sumber konflik dalam ke-manusiaan
bahkan justru pemersatu kehidupan mereka, walau masih ada yang tetap bersikukuh
da-lam agama masing-masing. Inilah yang telah diimplementasikan oleh Rasulullah
saw dengan mem-buat Piagam Madinah yang seluruh isinya adalah mengatur pola
interaksi antara kaum muslim de-ngan kaum kufar baik yang berstatus ahlu
dzimmah maupun ahlu harbiyah.
7.
Mahathera Nyanasuryanadi
menyatakan : Waisak tahun ini bertepatan dengan pesta demokrasi. Dalam
masyarakat yang bebas dan demokratis, yang diperlukan adalah kedamaian, bukan
perseli-sihan, pertengkaran, dan permusuhan. Demokrasi mempertahankan
perdamaian dan persatuan, bukan peperangan dan perpecahan. Pernyataan
tersebut adalah pengakuan sadar bahwa Buddha sebagai agama mendukung sepenuhnya
realitas demokrasi sebagai sistem pemerintahan suatu nega-ra bahkan
memposisikan diri sebagai penyempurna segala kekurangan maupun kelemahan yang
ada dalam demokrasi. Lalu, bagaimana dengan Islam?
Pernyataan keheranan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS) Hillary
Clinton saat me-nyatakan : jika ingin mengetahui Islam (yang modern),
demokrasi dan pengakuan atas peran wani-ta, maka datanglah ke Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir,
Indonesia sebagai negara muslim ter-besar, terbukti mampu menunjukkan pada
dunia internasional bahwa demokrasi dan Islam dapat berjalan seiring sejalan, memastikan sebuah pengakuan faktual bahwa sejatinya antara Islam
dan demokrasi adalah mustahil dapat dipersatukan dan berjalan
bersamaan. Selain itu, realitas Islam yang memastikan bahwa kedaulatan di
tangan syara' (اَلسِّيَادَةُ لِلشَّرْعِ) dan kekuasaan itu
milik umat dan umat bukan sumbernya (اَلسُّلْطَانُ
لِلأُمَّةِ وَلَيْسَتِ الأُمَّةُ مَصْدَرَهُ), sangat jelas bertentangan 180 derajat
dengan konsep dasar demokrasi yakni kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat adalah
sumber keku-asaan. Apalagi realitas demokrasi sama sekali tidak ada hubungan
apa pun dengan agama yang ma-na pun termasuk Kristen yang saat itu mendomainasi
kehidupan masyarakat Eropa. Oleh karena itu posisi Islam sangat jelas yakni
menolak dan mengharamkan demokrasi serta mengharamkan umat Islam mengambilnya,
memberlakukannya dan mendakwahnya.
8. Mahathera Nyanasuryanadi menyatakan : Makna kemenangan harus
lebih diarahkan pada upaya meraih kualitas diri yang lebih baik dan
mempertahankannya. Kualitas untuk berdamai dalam diri dan harmoni dengan semua.
Prajnavira Mahasthavira menyatakan : Mengingat semua makhluk hi-dup adalah
calon Buddha, insan yang memiliki benih ke-Buddha-an, hendaknya memperlakukan
orang lain dengan penuh hormat, saling menyayangi, dan mendukung satu sama lain.
Pernyataan kedua tokoh
Buddha tersebut memastikan bahwa dalam konsep Agama Buddha tole-ransi dan hidup
harmonis berdampingan antar penganut agama yang berbeda adalah perkara yang
sangat prinsip serta pokok dalam menjalankan kehidupan keagamaan harian. Lalu,
adakah dalam Islam konsep toleransi dan hidup harmonis berdampingan antar
penganut agama yang berbeda?
Penginderaan terhadap Islam seharusnya atau idealnya dilakukan
ketika Islam diberlakukan oleh manusia sebagai ideologi kehidupan (قِيَادَةً فِكْرِيَّةً) mereka dalam wadah pelaksanaan Khilafah
Islami-yah yang dikendalikan secara tunggal oleh Khalifah. Sehingga pemikiran,
konsep, gagasan apa pun yang ada, terungkap, diberlakukan dan implementatif
dalam realitas Khilafah Islamiyah terutama saat kepemimpinan Khulafa Rasyidun,
seluruhnya adalah gambaran pasti dari pengimplementasian syariah Islamiyah
secara sempurna, menyeluruh dan utuh. Oleh karena itu, toleransi dalam makna
yang saat ini dipropagandakan yakni pengakuan bahwa semua agama sama saja dan
sama-sama be-nar, tentu saja tidak dikenal dalam Islam bahkan ditolak oleh
Islam sebab sejak awal Islam mene-gaskan dirinya sebagai paling benar dan
satu-satunya yang benar. Klaim tersebut secara otomatis memastikan bahwa di
luar Islam baik itu agama, peraturan, sistema, ideologi dan sebagainya adalah
salah dan haram digunakan oleh umat Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan
Allah SWT dalam Al-Quran :
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللهِ
الإِسْلاَمُ (آل عمران : 19)
Sungguh din yang benar menurut Allah adalah
Islam
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ
الإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِيْ الآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِيْنَ (آل عمران : 85)
Dan siapa saja yang mencari selain Islam
sebagai din maka tidak akan pernah diterima darinya dan dia di akhirat adalah
bagian dari kaum yang merugi
Oleh karena itu, gambaran yang pasti dari
sikap kaum muslim yang dapat menerima kehadiran kaum kufar dalam kehidupan
Islami mereka adalah dalam rangka mengikuti ketentuan Islam itu sendiri seperti
yang dinyatakan oleh Rasulullah saw :
وَإِذَا لَقِيتَ
عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ
فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ
ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ
عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ
الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا
لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ (رواه مسلم)
Dan jika kamu bertemu dengan musuhmu dari
kalangan musyrikin maka serulah mereka kepada ti-ga pilihan atau tawaran, lalu
mana pun di antara tiga pilihan itu yang mereka penuhi kepada mu maka terimalah
dari mereka dan tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka kepada
Islam, lalu jika mereka memenuhi seruan mu itu maka terimalah dari mereka dan
tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka kepada sikap untuk merubah
realitas negara mereka (ne-gara kufur harbi) menjadi negara muhajirin (Negara
Islam) dan kabarkanlah kepada mereka bah-wa jika mereka melakukannya maka haq
mereka sama dengan haq muhajirin dan kewajiban mere-ka sama dengan kewajiban
muhajirin
Adapun realitas
interaksi sesama umat Islam dalam Khilafah Islamiyah adalah tergambar dalam
ucapan Imam Malik :
اَلتَّعَاوُنُ فِيْمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ وَالتَّسَامُحُ فِيْمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ
Bekerjasama dalam segala perkara
yang disepakati dan saling membiarkan dalam segala perkara yang diperselisihkan
Juga ucapan Imam
Asy-Syafi’i :
رَأْيِيْ صَوَابٌ وَاِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ
الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِيْ خَطَأٌ وَاِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
Pendapat saya adalah benar walaupun masih mengandung
kasalahan dan pendapat orang lain adalah salah walaupun masih mengandung
kebenaran
Demikianlah realitas sikap
umat Islam terhadap ahlu dzimmah juga fakta interaksi di antara sesama kaum
muslim dalam naungan Khilafah Islamiyah. Jadi sikap mereka tersebut adalah
tidak mungkin untuk diberlakukan dalam kehidupan saat ini yang telah lebih dari
85 tahun dicengkeram oleh bru-talisme negara kebangsaan dengan demokrasi sebagai
sistem pemerintahannya dan kapitalisme se-bagai sistem perekonomiannya. Adalah
kesalahan sangat fatal jika ada upaya dari siapa pun untuk mengaktualisasikan
sikap tersebut saat ini, sebab selain mustahil juga tidak sesuai dengan
perun-tukannya, yakni tidak ada kesesuaian antara konsep dengan wadah pelaksanaannya.
9.
sikap pro perdamaian dan
anti kekerasan (anti perang) sangat terlihat jelas dalam pernyataan Maha-thera
Nyanasuryanadi : Kemenangan sejati sebagai buah proses pemupukan kesadaran
pada haki-katnya bukan kemenangan yang bernuansa heroik destruktif, bukan
kemenangan yang dilakukan dengan menekan berbagai karakter negatif yang kita
miliki. Kemenangan atau pembebasan dilaku-kan dengan sepenuh hati, berdamai
dengan segala karakter negatif yang kita miliki, berdamai de-ngan diri sendiri.
Demikian juga diungkap oleh Prajnavira Mahasthavira : Dengan persamaan,
ra-sa hormat, dan menjauhi saling menyakiti akan menimbulkan perdamaian,
mencegah peperangan, dan memajukan kualitas kehidupan secara global. Artinya,
Agama Buddha memang sangat anti perang sehingga menegaskan dirinya sebagai
sangat pro perdamaian dengan pihak mana pun. Lalu, bagaimana dengan Islam
sendiri?
Ketentuan Islam
berkenaan dengan perang atau tidak perang sangat hitam putih dan realitas itu
ter-gambar jelas dalam sejumlah dalil sebagai berikut :
قَاتِلُوْا
الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ
يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَلاَ يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ
مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوْا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطَوْا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ
وَّهُمْ صَاغِرُوْنَ (التوبة : 29)
Perangilah
oleh kalian (umat Islam) orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
beri-man kepada hari akhir dan mereka tidak mengharamkan segala perkara yang
telah Allah dan Rasul-Nya haramkan dan mereka tidak beragama dengan agama yang
benar (Islam) yakni mereka itu adalah orang-orang yang diberikan kepada mereka
Kitab (Taurah dan Injil), hingga mereka bersedia memberikan jizyah dengan
tangan mereka sendiri dalam keadaan mereka tunduk patuh
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ
سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ
بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ
فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ يَا أَهْلَ
الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا
نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا
بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا
بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (رواه البخاري)
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
dari Muhammad bin Abdillah dan Rasul-Nya kepada Hiraklius Penguasa Ro-mawi,
salam bagi siapa saja yang mengikuti al-huda. Adapun setelah itu, maka sungguh
aku me-nyeru anda dengan seruan Islam, masuklah anda ke dalam Islam niscaya
anda selamat dan Allah pasti akan memberikan kepada anda pahala anda dua kali
lipat. Lalu jika anda menolak seruan ku ini maka dosa seluruh rakyat anda
menjadi tanggungan anda. Dan wahai ahlal kitab marilah ka-lian menuju kepada
kata-kata yang sama antara kami dan kalian yakni kita tidak akan mentaati se-lain
Allah dan kita sama sekali tidak akan bersikap syirik kepadanya dan sebagian
dari kita tidak akan menjadikan sebagian lainnya sebagai tuhan selain Allah,
lalu jika kalian (kaum kufar) meno-lak seruan ini maka katakanlah oleh kalian
(umat Islam) saksikanlah oleh kalian bahwa kami ada-lah kaum muslim
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ
الْإِيمَانِ الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ
بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ
بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا
يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ (رواه ابو داود)
Tiga hal merupakan bagian dari
pokok iman yakni menahan tangan dari orang yang telah meng-ucapkan لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
dan kita tidak akan mengkafirkan seseorang karena dosanya dan kita tidak akan
mengeluarkan seseorang dari Islam karena suatu perbuatan. Dan jihad itu akan
terus ber-langsung sejak Allah mengutus diriku hingga orang terakhir dari
umatku yang memerangi dajjal, tidak akan membatalkan pemberlakuan jihad جَوْرُ
جَائِرٍ dan tidak pula عَدْلُ
عَادِلٍ dan iman itu
ditentu-kan oleh kadar kemampuan aqal
Jadi,
selama dakwah dalam rangka menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia diterima
dengan sadar oleh kaum kufar maka selama itu pula tidak akan pernah ada perang
dengan mereka. Jika pun me-reka tidak mau masuk Islam namun bersedia tunduk
patuh kepada kekuasaan Islam (Khilafah Isla-miyah) dengan bukti membayar jizyah
maka mereka pun tidak akan pernah diperangi. Sebaliknya ketika dakwah
menghadapi rintangan atau penolakan fisik dari kaum kufar maka perang pasti
akan dilakukan dan dilancarkan kepada mereka hingga mereka berikrar masuk Islam
atau membayar jizyah atau memang mereka harus diperangi hingga hancur musnah.
10.
sikap pluralistik pada
hakikatnya adalah mustahil dimiliki oleh penganut agama mana pun apalagi umat
Islam, sebab ketika seseorang memutuskan untuk menganut suatu agama tentu saja
seharus-nya itu dilakukan setelah dia melakukan pembuktian aqliyah tentang
kebenaran agama tersebut. Sehingga sekali masuk suatu agama, maka itu adalah
keputusan untuk selama hidup di dunia dan dia akan pertahankan walau harus
dengan nyawa sekali pun.
Memang benar jika semua
manusia di dunia menggunakan aqalnya saat memutuskan untuk menga-nut suatu
agama, maka dapat dipastikan mereka semua hanya akan memilih Islam sebab Islam
saja-lah yang dapat dibuktikan kebenarannya melalui pembuktian aqliyah.
Sedangkan agama lainnya termasuk yang dulunya bersumber dari Taurah maupun
Injil sekali pun, sama sekali tidak akan me-menuhi kualifikasi memuaskan aqal
ketika aqal mencoba membuktikan kebenarannya. Namun karena pada faktanya justru
manusia hanya menggunakan perasaannya (غَرِيْزَةُ
التَّدَيُّنِ)
saat memutus-kan untuk menganut suatu agama, maka realitas saat inilah yang
terjadi yakni justru hanya satu per enam penduduk bumi saja yang mau menganut
Islam dan itu pun hanya sebagian sangat kecil saja yang diawali dengan
pembuktian aqliyah. Akibatnya adalah terwujudlah realitas pluralistik
agama-agama serta muncul pula fakta lainnya yakni agama adalah sumber konflik
kemanusiaan karena masing-masing pemeluk agama mengklaim agamanya sebagai
paling benar. Thesis inilah yang ke-mudian dibuat antithesisnya dalam rumusan
pluralisme yaitu sikap yang menempatkan semua aga-ma sebagai sama saja yakni
sama-sama mengajarkan kebaikan, kebajikan, keadilan, kejujuran, per-damaian,
kemanusiaan dan sebagainya. Antithesis tersebut sengaja dibentuk untuk
mengantisipasi sekaligus menghindarkan agama dari faktanya sebagai berpotensi
menjadi sumber komflik dalam kehidupan manusia di dunia. Tentu saja rumusan
gagasan tersebut adalah ditolak oleh Islam sebab Islam sejak awal diturunkan
justru menyatakan diri sebagai paling benar dan yang lainnya apa pun itu adalah
salah dalam pandangan Islam. Jadi, pluralisme tidak dikenal oleh Islam dan
tidak pernah ada dalam syariah Islamiyah. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan
Allah SWT :
يَآ اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا
خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوْا اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ اَتْقَاكُمْ (الحجرات : 13)
Wahai manusia sungguh Kami (Allah) telah
menciptakan kalian dari seorang pria dan wanita dan Kami telah jadikan kalian
berbangsa dan berkabilah supaya kalian saling mengenal. Sungguh yang paling
mulia di antara kalian menurut Allah adalah yang paling taqwa di antara kalian
Jadi bagian ayat يَآ اَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوْا
hanya mengungkap rea-litas manusia di dunia yang sebenarnya jika tidak
dipertelakan oleh ayat pun telah dapat diindera dengan mudah oleh manusia.
Artinya bagian ayat tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan pluralisme,
melainkan justru sebaliknya menolak ide tersebut dan itu dipastikan oleh bagian
akhir dari ayat : اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ
اَتْقَاكُمْ yang sekaligus sebagai perintah
wajib kepada seluruh manusia un-tuk bersikap taqwa kepada Allah SWT melalui pemberlakuan
Islam dalam kehidupan mereka.
11.
konsep kemenangan sejati
adalah kemenangan hati nyata-nyata ada dalam Agama Buddha seperti yang
dinyatakan oleh Mahathera Nyanasuryanadi : Kemenangan atau pembebasan
dilakukan de-ngan sepenuh hati, berdamai dengan segala karakter negatif yang
kita miliki, berdamai dengan di-ri sendiri. Hal senada juga diungkapkan
oleh Prajnavira Mahasthavira : Dengan persamaan, rasa hormat, dan menjauhi
saling menyakiti akan menimbulkan perdamaian, mencegah peperangan, dan
memajukan kualitas kehidupan secara global. Lalu bagaimana dalam Islam
sendiri berkenaan dengan realitas kemenangan?
Islam memastikan
kemenangan sejati adalah ketika seluruh kehidupan manusia di dunia sepenuh-nya
dijalankan hanya berdasarkan ideologi Islam sehingga kekufuran atau sistem
kufur tidak lagi diberlakukan oleh manusia mana pun baik itu kaum kufar maupun
apalagi umat Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَقَاتِلُوْهُمْ
حَتَّى لاَ تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ ِللهِ فَإِنِ انْتَهَوْا
فَلاَ عُدْوَانَ اِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ (البقرة : 193)
Dan perangilah
mereka (kaum kufar) oleh kalian (umat Islam) hingga tidak akan ada lagi kekufur-an
itu dan agama sepenuhnya milik Allah (Islam) lalu jika mereka (kaum kufar) berhenti
(dari ke-kufurannya) maka tidak ada permusuhan kecuali kepada orang-orang yang
bersikap zhalim (mem-berlakukan kekufuran)
12.
konsep individu baik
maka masyarakat pasti baik adalah tidak pernah dikenal dalam pemikiran Is-lami
bahkan sebaliknya Islam memiliki konsep tersendiri yang khas berkenaan dengan
itu dan rea-litas tersebut terumuskan dalam definisi masyarakat :
مَجْمُوْعٌ مِنْ اُنَاسٍ بَيْنَهُمْ عَلاَقَاتٌ
دَائِمِيَّةٌ بِوِحْدَةِ الأَفْكَارِ وَالمَشَاعِرِ وَالأَنْظِمَةِ
Kumpulan manusia
yang terjadi interaksi terus menerus di antara mereka berdasarkan satunya
pemikiran, perasaan dan peraturan
Realitas masyarakat tersebut ditunjukkan oleh
pernyataan Rasulullah saw :
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ
وَالْوَاقِعِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ
بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي
أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ
فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ
فَوْقَنَا فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ
أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا (رواه البخاري)
Hadits tersebut memastikan bahwa eksistensi masyarakat
itu (terjamin utuh atau musnah) ditentu-kan oleh :
a.
اَلأَنْظِمَةُ الَّتِيْ تُطَبِّقُهَا (peraturan yang diberlakukan di dalamnya)
dan ini ditunjukkan oleh bagian ha-dits : مَثَلُ الْقَائِمِ
عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا.
b.
اَلأَفْكَارُ الَّتِيْ تَحْمِلُهَا (pemikiran yang diemban oleh masyarakat)
dan ini ditunjukkan oleh bagian ha-dits : فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ
وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا
وَنَجَوْا جَمِيعًا.
c.
اَلْمَشَاعِرُ الَّتِيْ تَكُوْنُ فِيْهَا
حِيْنَ تُشْبِعُ حَاجَاتِهَا
(perasaan yang ada saat melakukan pemenuhan kebutuhan di dalamnya) dan ini
ditunjukkan oleh bagian hadits : فَقَالُوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي
نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا.
d.
اَلْعَلاَقَاتُ الدَّائِمِيَّةُ بَيْنَ
اَفْرَدِهَا (interaksi terus
menerus di antara mereka) dan ini ditunjukkan oleh ba-gian hadits :
كَمَثَلِ قَوْمٍ
اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا
فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنْ الْمَاءِ مَرُّوا عَلَى
مَنْ فَوْقَهُمْ
13.
Islam melarang umat
Islam membahas atau memikirkan sesuatu yang tidak terindera atau mereka tidak
memiliki informasi apa pun tentang sesuatu tersebut, termasuk tentang nyawa (اَلرُّوْحُ).
Inilah yang dipastikan oleh pernyataan Allah SWT :
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ
قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلاَّ
قَلِيْلاً (الإسراء : 85)
Dan mereka akan bertanya kepada mu (Muhammad)
tentang ruh, katakanlah ruh itu adalah bagi-an dari urusan Rab ku dan kalian
tidak diberi ilmu kecuali sangat sedikit
Sebanyak apa pun ilmu yang dimiliki manusia
ternyata sama sekali tidak mencakup ilmu (informa-si) tentang ruh, sehingga Allah
SWT mengharamkan mereka memikirkan ruh sebab tidak mungkin dilakukan sehubungan
informasi tentang ruh itu tidak diberikan kepada mereka. Oleh karena itu,
realitas ruh yang masih diberikan kepada manusia oleh Allah SWT adalah bermakna
kesadaran ma-nusia tentang hubungannya dengan Allah SWT (اِدْرَاكُ الإِنْسَانِ صِلَتَهُ بِاللهِ).
Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
اَللهُ
يَتَوَفَّى الأَنْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَالَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَامِهَا
فَيُمْسِكُ الَّتِيْ قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الأُخْرَى اِلَى اَجَلٍ
مُّسَمًّى اِنَّ فِيْ ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ (الزمر : 42)
Allah mewafatkan manusia saat kematiannya dan
yang belum saatnya mati ketika tidurnya, lalu Dia tetap memegang kesadaran
manusia yang telah Dia tetapkan baginya kematian dan mengem-balikan yang lain
hingga batas ajalnya. Sungguh dalam hal itu ada bukti keberadaa Allah bagi ka-um
yang berpikir
Karena realitas
manusia saat tidur disamakan dengan ketika mereka telah mati, maka ada satu hal
atau perkara atau aspek yang sama-sama hilang dari manusia baik saat mereka
tidur maupun ketika mereka telah mati, yakni kesadaran hubungannya dengan Allah
SWT (اِدْرَاكُ الإِنْسَانِ صِلَتَهُ بِاللهِ). Jadi ayat ini justru mewajibkan manusia
untuk memikirkan kedua realitas manusia tersebut sehingga da-pat memahami makna
ruh yang masih dapat dijangkau oleh aqal mereka melalui penginderaan ter-hadap
fakta manusia saat tidur dan ketika telah mati. Inilah konsep Islam berkenaan
dengan ruh yang pasti bertolak belakang dengan konsep dalam agama lain termasuk
Buddha.
14. Mahathera Nyanasuryanadi menyatakan : Pada dasarnya kita
seperti keping mata uang dengan dua sisi, kebaikan dan keburukan, dan
menghilangkan satu sisi berarti menghilangkan yang lain. Inilah konsep
Buddha terhadap realitas manusia yang menurut mereka kadang melakukan kebaikan
dan kadang keburukan. Tentu saja entitas baik maupun buruk yang dimaksudkan
adalah menurut mereka atau berdasarkan konsep darma yang ada dalam Agama
Buddha.
Lalu bagaimana dalam
pandangan Islam tentang anggapan Agama Buddha tersebut? Realitas ma-nusia dalam
padangan Islam sangatlah sederhana yakni hanya bertumpu kepada hal atau aspek
atau perkara yang terindera dari manusia itu sendiri. Rasulullah saw menyatakan
:
كُلُّ مَوْلُودٍ
يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ
يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا
جَدْعَاءَ (رواه البخاري)
Setiap yang anak dilahirkan di atas fitrah
(naluri beragama), lalu kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan dia Yahudi
atau Nashrani atau Majusi, seperti hewan pasti akan terlahir darinya hewan yang
serupa, apakah kamu lihat darinya ada bagian telinga yang berasal dari bukan
hewan itu?
Topik pembahasan dari hadits tersebut adalah
bukan berkenaan dengan keadaan orisinal manusia saat dilahirkan (يُولَدُ
عَلَى الْفِطْرَةِ) melainkan realitas
berikutnya yakni ketika mereka telah dapat berpi-kir. Dalil ini menuntut setiap
manusia untuk memfungsikan aqalnya demi memahami fakta lingku-ngan yang tengah
mewadahi hidupnya, yakni apakah benar dan sesuai dengan fitrah orisinal atau-kah
justru salah dan bertentangan dengan fitrah orisinal tersebut. Fakta lingkungan
yang harus per-tama kali diindera adalah realitas kedua orang tua, apakah
mereka berdua Yahudi, Nashrani, Majusi ataukah Muslim? Apa pun realitas mereka
berdua itu adalah harus menjadi objek terindera lalu ha-rus dicari seluruh
informasi tentang objek tersebut baik yang langsung tentang objek itu atau yang
berhubungan dengannya. Inilah fase krusial dalam kehidupan seorang manusia,
yakni jika benar dalam melakukan proses berpikir tentang realitas kedua orang
tua, maka dia akan menjelma seba-gai manusia yang benar sekaligus
dapat menjawab dan memenuhi tuntutan keadaan orisinalnya dengan
tepat. Sebaliknya jika dia salah dalam berpikir atau tidak sempurna maka itulah
yang di-maksudkan dengan bagian hadits : فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ,
yakni gagal menjelma sebagai manusia yang benar sekaligus gagal
dalam menjawab dan memenuhi tuntutan keadaan orisinal-nya. Inilah
konsep realitas manusia yang benar dan yang salah dalam pandangan
Islam.
Dengan demikian, jelas sudah apa yang menjadi
asas pemikiran umat Islam saat ini yakni sama sekali bukan Islam
melainkan bisa konsep-konsep Buddha, Hindu, Kristen atau yang paling pasti ada-lah
sekularisme yang melahirkan anak kembar berjuluk demokrasi dan kapitalisme.
Khatimah
Wal hasil,
realitas umat Islam saat ini benar-benar telah punah tak bersisa
dan yang ada hanya-lah sosok-sosok manusia yang bersikukuh mengaku diri sebagai
kaum muslim walau hakikatnya mere-ka lebih pantas lebih layak
memposisikan diri sebagai bagian dari kaum Yahudi, Kristiani, Buddhist, Hindu,
sekularis dan lainnya dari sistem kufur di luar Islam. Sikap "ngotot"
tersebut memang sangat menghalangi kemampuan mereka untuk memahami realitas
sejati kekinian diri mereka sendiri sehing-ga perjalanan waktu sama sekali
tidak dapat mengantarkan mereka kepada perubahan yang mendasar dan pokok
tentang jatidiri mereka selama ini. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah
SWT :
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ
لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ
بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
Dan jika al-haq (Islam) mengikuti kepentingan naluriah
mereka (manusia) maka pastilah rusak binasa langit maupun bumi beserta siapa
pun yang ada di dalamnya. Padahal Kami (Allah) telah mendatang-kan kepada
mereka aturan mereka namun mereka semua berpaling dari aturan mereka itu
No comments:
Post a Comment