Saturday, January 12, 2013

ISLAM MENJAWAB TANTANGAN ZAMAN: HARUSKAH?



Persoalan kehidupan saat ini : mengapa muncul?
Danang Kuncoro Wicaksono (Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia/PPI Suriah 2008-2009) dalam tulisannya yang berjudul “Fikih dan Tuntutan Zaman” (Republika, 29 Mei 2009, OPINI) menyatakan : adapun tuduhan beberapa kalangan yang mengatakan bahwa fikih Islam belum bisa menjawab persoalan umat merupakan tuduhan yang sangat tidak mendasar. Realita yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Munculnya cabang-cabang Syariah dalam bank-bank konvesional di bebera-pa negara Eropa menunjukkan bahwa Islam merupakan solusi yang jitu bagi krisis yang tengah me-landa umat manusia. Bagitu juga undang-undang Ahwal Syakhsiyah yang mendapat pujian para ahli perundang-undangan dunia seperti Gustave Lebon, membuktikan bahwa Islam adalah aturan yang tepat dan sesuai dengan fitrah manusia. Materi Qodhoya Fiqhiyah Muashiroh (Contemporary Islamic Issues) pun kini telah menjadi mata kuliah tetap (muqorror) yang diajarkan di universitas-universitas di Timur Tengah. Semua ini menunjukkan bahwa aktivitas ekstraksi hukum (istinbath al-ahkam) dari sumber-sumbernya yang masih asli terkait dengan permasalahan-permasalahan baru yang muncul di setiap masa masih dan akan terus berlanjut. Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi kita semua, ‘Sia-pakah yang akan meneruskan perjuangan para ulama itu di masa mendatang? Siapakah yang akan memberikan fatwa-fatwa bagi umat terkait dengan persoalan yang muncul di masa yang akan datang?
Danang Kuncoro Wicaksono adalah satu dari sekian banyak umat Islam yang menyangkal tuduh-an bahwa fiqih Islam belum bisa menjawab persoalan umat. Artinya bagi dia dan yang sepakat dengan-nya, fiqih Islam itu selain harus mampu menjawab tantangan atau tuntutan zaman juga memang telah terbukti mampu melakukan hal tersebut. Unit-unit Syariah dalam bank-bank konvensional, undang-undang Ahwal Syakhsiyah serta ditetapkannya materi Qodhoya Fiqhiyah Muashiroh sebagai mata ku-liah di berbagai universitas Timur Tengah, dijadikan bukti faktual oleh mereka untuk memastikan bah-wa fiqih Islam adalah mampu menjawab tantangan atau tuntutan zaman.
Namun demikian, bukan berarti pihak yang menyatakan bahwa fiqih Islam belum bisa menjawab persoalan umat, menganggap fiqih tidak harus mampu menjawab persoalan-persoalan yang muncul da-lam arena kehidupan manusia tersebut. Bahkan dapat dikatakan mereka justru menuntut lebih banyak lagi yakni fiqih harus memiliki kemampuan yang lebih dari yang telah dapat dilakukan saat ini (per-bankan syariah, undang-undang hal ihwal urusan pribadi dan sebagainya). Kelompok inilah yang sela-ma ini menuntut dan mempropagandakan gagasan bahwa Islam harus dapat menerima apa pun yang berasal dari luar yang dianggap baik oleh dan untuk kemanusiaan. Mereka pun menuntut Islam untuk “rela” dijadikan sebagai pelengkap dan penyempurna sistema lain sekaligus sebagai “obat” bagi berba-gai penyakit maupun kerusakan akibat dari diberlakukannya sistema lain dalam kehidupan manusia. Tegasnya, mereka memaksa Islam (secara konsep maupun praktik) menjelma sebagai agama atau siste-ma yang inklusif serta pada saat yang bersamaan mereka mencitrakan Islam sedemikian rupa sehingga ciri ekslusifnya hilang sama sekali.
Realitas itulah yang dianggap oleh kedua kelompok sebagai persoalan kehidupan saat ini. Lalu, mengapa persoalan-persoalan tersebut muncul dalam kehidupan manusia?
Kepastian hidup manusia saat ini adalah kelanjutan dari pola kehidupan sekularistik yang telah berlaku atas mereka paling tidak sejak 3 Maret 1924 alias lebih dari 85 tahun yang lalu. Sepanjang itu interaksi apa pun yang telah, tengah dan akan terjadi di antara mereka seutuhnya diberlangsungkan ser-ta berjalan berdasarkan seluruh konsep kehidupan yang ditetapkan dalam aqidah sekularisme. Interaksi yang terjadi saat mereka berupaya memenuhi kebutuhan yang memunculkan transaksi jual beli alias perdagangan (تَبَادُلُ السِّلَعِ فِيْ التِّجَارَةِ) seluruhnya diberlangsungkan dengan peraturan/sistema perekonomi-an kapitalisme yang terpancar (مُنْبَثَقَةً) dari aqidah sekularisme tersebut. Interaksi sosial antar anggota masyarakat maupun antara rakyat dengan penguasa seluruhnya diberlangsungkan dengan sistema kene-garaan dan pemerintahan demokrasi yang juga benar-benar terpancar dari aqidah sekularisme. Interaksi antar satu negara dengan lainnya juga tidak lepas dari asas aqidah sekularisme yakni seluruhnya diber-langsungkan dalam pola hubungan antar negara kebangsaan.
Oleh karena itu, hakikat tersebut memastikan bahwa persoalan apa pun yang muncul dan akan se-lalu muncul dalam atau akibat dari interaksi antar manusia pada arena perekonomian, sosial maupun politik, sepenuhnya dan seharusnya dikembalikan kepada asas (aqidah) yakni sekularisme berikut se-luruh sistema yang terpancar darinya yakni demokrasi dan kapitalisme. Realitas ini harus dijalankan se-cara jujur dan konsisten serta tidak boleh dibarengi oleh adanya sikap manipulatif.
Kualifikasi suatu negara kebangsaan sebagai sangat maju, maju, berkembang dan tertinggal dari aspek perekonomian adalah hanya ditemukan dalam sistem kapitalisme : cadangan devisa di Bank Central, tingkat Produk Domestik Bruto/PDB (Gross Domestic Product), tingkat Produk Nasional Bru-to/GNP (Gross National Product), rasio utang luar negeri terhadap ekspor, tingkat pertumbuhan ekono-mi, tingkat inflasi, posisi nilai kurs mata uang terhadap mata uang kuat dunia, kuantitas dan kualitas utang luar negeri (pemerintah maupun swasta) dan sebagainya. Demikian juga persoalan pengajuan ke-pailitan suatu perusahaan (contoh General Motors/GM yang telah mengajukan kepailitan kepada Peme-rintah Federal Amerika Serikat), keputusan go public (mencatatkan diri di Bursa Efek), penerbitan su-rat utang (obligasi), surat penjaminan utang (letter of credit), penggabungan sejumlah perusahaan (mer-ger), akuisisi suatu perusahaan oleh perusahaan lainnya, pembuatan unit-unit usaha khusus pada suatu perusahaan terutama perbankan (office channeling) dan sebagainya, seluruhnya adalah hanya terjadi dalam sistem perekonomian kapitalisme.
Kualifikasi suatu negara kebangsaan sebagai sangat aman, cukup aman, rawan maupun berbaha-ya bahkan diberi cap sebagai negara para teroris dari aspek sosial dan politik adalah hanya ditemukan dalam sistem demokrasi : keberpihakan komunitas mayoritas terhadap demokrasi, peran serta masyara-kat dalam event demokrasi (pemilu, misalnya), tingkat pengelaborasian setiap anggota masyarakat ter-hadap konsep kebebasan menyeluruh (HAM), supremasi hukum, supremasi sipil dan sebagainya. Be-gitu juga persengketaan perbatasan dua atau lebih negara (contoh Indonesia dan Malaysia berkenaan dengan blok Ambalat atau antara Timor Leste dengan Australia tentang Celah Timor/East Gape), zona ekonomi ekslusif  (ZEE), wilayah udara suatu negara, wilayah perairan suatu negara, wilayah udara in-ternasional, wilayah laut internasional, hukum internasional, mahkamah internasional dan sebagainya, semuanya adalah hanya terjadi dan ditemukan dalam realitas negara kebangsaan maupun interaksinya satu sama lain yang sama-sama memberlakukan sistem pemerintahan demokrasi.
Oleh karena itu, kesimpulan Danang Kuncoro Wicaksono bahwa munculnya cabang-cabang Sya-riah dalam bank-bank konvesional di beberapa negara Eropa menunjukkan bahwa Islam merupakan solusi yang jitu bagi krisis yang tengah melanda umat manusia, adalah salah fatal sebab selain menya-lahi realitas Islam yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah juga tidak sesuai dengan fakta dari kemunculan office channeling syariah di berbagai bank-bank konvensional baik di Dunia Islam (Indo-nesia, Malaysia, Pakistan, Timur Tengah, Afrika Utara) maupun Dunia Kristiani (Amerika, Eropa, Australia, Asia Tengah, Asia Selatan). Demikian juga kesimpulan Danang bahwa undang-undang Ah-wal Syakhsiyah yang mendapat pujian para ahli perundang-undangan dunia seperti Gustave Lebon, membuktikan bahwa Islam adalah aturan yang tepat dan sesuai dengan fitrah manusia, adalah salah fatal, sebab :
1.       ahwal syakhshiyyah (اَحْوَالُ الشَّخْصِيَّةِ) alias peraturan Islam yang berkaitan dengan kehidupan pribadi adalah bagian tak terpisahkan dari syariah Islamiyah secara keseluruhan (جُمْلَةً) dan dalam pember-lakuannya tidak boleh diposisikan secara terpisah dari kewajiban pemberlakuan Islam dalam kehi-dupan secara utuh (كَافَّةً) yang telah ditetapkan oleh Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Memposisikan peraturan Islam yang berkaitan dengan اَحْوَالُ الشَّخْصِيَّةِ secara terpisah bahkan kemu-dian mengkompilasikannya kepada sistema peraturan kufur (demokrasi) suatu negara kebangsaan adalah realitas sikap muslim yang : (a) tidak melaksanakan perintah wajib untuk ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً dan (b) melanggar larangan haram mengikuti kekufuran وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ.
2.       bukti bahwa Islam adalah aturan yang tepat (yakni benar alias اَلْحَقُّ) dan sesuai dengan fitrah manu-sia sama sekali bukan berdasarkan adanya “pujian” atau penghargaan atau lainnya dari manusia si-apa pun orangnya, baik dari kalangan awam maupun ahli perundang-undangan dunia sekali pun. Islam adalah benar dan itu harus dibuktikan oleh aqal manusia sendiri sedemikian rupa (menginde-ra اَلْكَوْنُ وَالإِنْسَانُ وَالْحَيَاةُ) sehingga aqal menjadi puas (يَقْنَعُ الْعَقْلُ) dan secara otomatis perasaan menjadi tenteram tenang (يَطْمَئِنُّ الْقَلْبُ). Puasnya aqal dan tenangnya perasaan manusia setelah membuktikan Islam secara aqliyah adalah bukti yang tidak dapat disangkal lagi tentang benarnya Islam serta se-suainya Islam dengan fitrah manusia (naluri beragama : غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ). Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (الرعد : 28)
Orang-orang yang beriman itu pastilah perasaan mereka akan tenang tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah dengan dzikrullah pastilah perasaan akan tenang tenteram.
Juga alasan Ibrahim memohon kepada Allah SWT untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana Allah SWT menghidupkan kematian :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي (البقرة : 260)
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata : wahai Rab saya, perlihatkanlah kepada saya bagaimana Engkau menghidupkan kematian. Dia (Allah) berkata : apakah kamu tidak beriman? Dia (Ibrahim) berkata : tentu saja (saya beriman) akan tetapi supaya perasaan saya menjadi tenang
Mengapa perasaan Ibrahim menjadi tenang tenteram setelah dia melihat langsung bagaimana Allah SWT menghidupkan kematian? Tentu saja demikian, sebab dengan melihat (mengindera) fakta atau bukti tersebut maka aqal manusia (termasuk Ibrahim) menjadi puas yakni tidak akan pernah bertanya-tanya lagi dan seiring dengan telah diraihnya kepuasan aqal maka secara otomatis dan pasti perasaan akan tenang yakni tidak gelisah sebab tuntutan naluriahnya (غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ) telah terpe-nuhi sempurna.
Jadi, seluruh persoalan atau permasalahan atau problematika yang muncul dan akan selalu mun-cul dalam kehidupan manusia saat ini yang adalah akibat dari diberlakukannya sekularisme sebagai asas kehidupan mereka serta kapitalisme dan demokrasi sebagai sistema kehidupannya, seluruhnya me-rupakan konsekuensi logis dan risiko yang pasti akan dan harus diterima oleh mereka. Lalu, apa yang harus mereka lakukan saat mendapatkan realitas tersebut? Tentu saja yang harus mereka lakukan ada-lah bertanya kepada dan mencari solusi dalam asas berikut sistema kehidupan yang selama ini mere-ka yakini sehingga diputuskan untuk diberlakukan. Ketika mereka mendapatkan jawaban maupun solu-si yang dimaksudkan maka itu artinya asas berikut sistema kehidupan mereka dapat dipastikan adalah benar karena aqal mereka telah dapat membuktikannya. Sebaliknya, jika mereka sama sekali tidak mendapatkan jawaban maupun solusi yang dicari, maka seharusnya mereka segera saja meninggalkan asas berikut sistema kehidupan tersebut sebab aqal mereka sendiri telah dapat membuktikan dan me-mastikan bahwa asas dan sistema kehidupan yang selama ini mereka berlakukan tersebut adalah salah dan tidak sesuai dengan fitrah manusia termasuk mereka.

Haruskah Islam menjawab persoalan hidup saat ini?
Sejak 3 Maret 1924, tidak diragukan lagi hanya sekularisme berikut anak kembarnya (demokrasi dan kapitalisme) yang diberlakukan secara praktis dalam kehidupan manusia di dunia termasuk umat Islam. Oleh karena itu, krisis kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial dan sebagainya yang saat ini terus menerus melanda kehidupan manusia adalah dipastikan sebagai akibat dari pemberlakuan sistema ku-fur buatan tangan manusia tersebut. Inilah realitas yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم : 41)
Telah nampak terjadi kerusakan di daratan maupun lautan yang merupakan akibat dari peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri. Hal itu supaya sebagian dari yang telah mereka perbuat dapat me-reka rasakan sendiri sehingga mereka dapat sadar kembali
Ayat tersebut menunjukkan bahwa antara terjadinya realitas الْفَسَادُ dengan بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ berada da-lam pola hubungan sebab dan akibat (عَلَى ضَوْءِ الْقَاعِدَةِ السَّبَبِيَّةِ). Inilah mengapa dalam ayat ada bagian pernyataan Allah SWT : لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ, yakni dengan dirasakan dan dialami sendiri oleh mereka realitas الْفَسَادُ akibat diberlakukannya peraturan buatan mereka sendiri (بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ) maka seharusnya itu memunculkan kesadaran pada diri mereka untuk kembali kepada aturan Allah SWT dengan meninggalkan aturan yang tak layak, tak pantas dan tak berguna bagi kemanusiaan terse-but. Lalu, jika mereka tetap bersikukuh dan ngotot memberlakukan peraturan buatan mereka sendiri tersebut walaupun aqal dan perasaan mereka telah dapat membuktikan ketidak benaran, ketidak layak-kan dan ketidak pantasan peraturan itu, maka mereka tidak pantas dan tidak layak mengklaim diri seba-gai manusia melainkan lebih pantas lebih layak mengaku secara jujur sebagai binatang. Allah SWT menyatakan :
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (الحج : 46)
Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di muka bumi lalu dengan itu mereka akan memiliki aqal yang dapat mereka gunakan untuk berpikir atau telinga yang dapat mereka gunakan untuk mendengar. Maka sesungguhnya penglihatan itu tidaklah buta melainkan perasaan yang ada dalam dada itulah yang buta
Allah SWT menganjurkan manusia untuk melakukan perjalanan adalah untuk supaya mereka dapat mengindera berbagai fakta dan realitas kehidupan sepanjang perjalanan tersebut, lalu semakin banyak fakta berikut informasi yang diiperoleh mereka maka dapat dipastikan akan semakin kuat penginderaan mereka (penglihatan dan pendengaran) sehingga secara otomatis aqal mereka akan semakin jernih dalam memikirkan dan memutuskan sikap mereka selama hidup di dunia. Namun demikian, Allah SWT tetap mengingatkan manusia bahwa mereka pun memiliki perasaan (الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ) yang dapat saja mendominasi kesadaran aqal mereka sendiri jika mereka memposisikan perasaan tersebut se-bagai tuhan yang memiliki otoritas memutuskan benar dan salah, dilakukan atau ditinggalkan. Jadi, mengapa banyak manusia yang memilih bersikap kufur ketika sampai kepada mereka informasi tentang Islam? Jawabannya adalah karena mereka telah memutuskan kepentingan naluriahnya (اَهْوَاءَهُمْ) sebagai tuhan bagi diri mereka, sehingga penjelasan apa pun tetang Islam yang dilakukan oleh siapa pun terma-suk oleh Nabi Muhammad saw, sama sekali tidak ada gunanya bagi mereka.
Saat ini manusia mana pun termasuk kaum muslim dapat dengan mudah mengindera realitas ke-rusakan kemanusiaan (الْفَسَادُ) yang telah dan tengah berlangsung di seluruh dunia, namun karena mere-ka sendiri adalah bagian dari pelaku yang memberlakukan sistema kufur sekularisme beserta anak kembarnya (demokrasi dan kapitalisme) tersebut, maka hasil penginderaan tersebut sama sekali tidak dapat digunakan untuk berpikir memutuskan bahwa sistema kufur tersebut tidak layak dan tidak pantas bagi kehidupan manusia. Justru sebaliknya, hasil penginderaan tersebut mereka gunakan untuk mencari cara dan trik guna memanipulasikan realitas sistema kufur tersebut sedemikian rupa sehingga seolah sangat layak sangat pantas bagi kehidupan dan strategi itu terutama ditujukan kepada umat Islam. Aki-batnya tidaklah mengejutkan jika saat ini semakin banyak umat Islam yang semakin berpihak kepada kekufuran beserta kaum kufar pengusung utamanya dan pada saat yang bersamaan semakin menjauhi dan membenci Islam : دِيْنُهُمُ الَّذِيْ ارْتَضَاهُ اللهُ لَهُمْ. Mengapa umat Islam yang menjadi objek bidikan utama dari aksi manipulasi sistema kufur yang dilakukan oleh kaum kufar tersebut? Tentu saja akan demikian sebab kaum kufar : (a) sangat menyadari kelemahan, ketidak layakkan, ketidak pantasan sistem yang mereka buat sendiri untuk kehidupan manusia dan (b) sangat menyadari kesempurnaan Islam sehingga sangat layak sangat pantas diberlakukan dalam kehidupan manusia. Realitas itulah (a dan b) yang akan selalu dijauhkan dari penginderaan umat Islam, sebab jika kaum muslim menginderanya lalu menyada-ri kekeliruan mereka selama ini yang telah berpihak kepada kekufuran dan membenci Islam, maka ti-dak ada kekuatan apa pun yang saat ini dimiliki oleh kaum kufar yang akan dapat menghalangi dan mencegah kembalinya kejayaan berikut hegemoni Islam, umat Islam dan Dunia Islam atas seluruh du-nia. Keadaan inilah yang selama ini selalu menjadi night mare bagi kaum kufar sebab mereka telah merasakan pahit getirnya (menurut kepentingan naluriahnya) hidup di bawah naungan hegemoni Islam yang diemban secara praktis oleh Khilafah Islamiyah.
Haruskah Islam menjawab semua persoalan atau tuntutan atau tantangan yang muncul dalam ke-hidupan manusia saat ini?
Persoalannya bukan harus atau tidak harus melainkan berkenaan dengan realitas Islam itu sen-diri yakni diturunkan ke arena kehidupan manusia dengan mensifati dua hal yakni :
a.       menggantikan dan menghapus semua ketentuan Allah SWT yang telah diturunkan sebelumnya ter-utama yang bersumber dari Taurah dan Injil. Allah SWT menyatakan :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا (المائدة : 48)
Bagian ayat وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ memastikan bahwa Allah SWT menurunkan Al-Quran (الْكِتَابَ) dengan membawa serta atau menjadi sumber bagi risalah Islam (بِالْحَقِّ). Al-Quran bersikap mem-benarkan (مُصَدِّقًا) eksistensi kitab-kitab sebelumnya yang juga telah Allah SWT turunkan kepada manusia dan berposisi menjadi penghapus  syariah (مُهَيْمِنًا عَلَيْهِ) yang dibawa serta atau bersumber dari kitab-kitab tersebut. Dengan demikian secara aqliy, Islam haruslah risalah langit yang paling sempurna dan lengkap supaya dapat mengatur kehidupan manusia di dunia hingga berakhirnya ke-hidupan itu sendiri. Hal inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ (رواه البخاري)
Bahwa perumpamaanku dengan para Nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun sebuah rumah, lalu dia membaguskannya dan menjadikannya indah kecuali satu sudut tempat sebuah ba-ta. Lalu manusia pada mengelilingi rumah itu dan mereka sangat keheranan terhadap sudut itu dan mereka pada berkata mengapa batu bata ini tidak dipasangkan? Beliau berkata : maka akulah batu bata itu dan aku adalah penutup para Nabi.
b.       sebagai risalah paling akhir yang ditujukan kepada seluruh manusia di dunia. Secara aqliy realitas ini mengharuskan Islam paling sempurna dan paling lengkap serta terbebas dari entitas khas suatu kaum atau bangsa atau umat saja, melainkan harus menempatkan manusia selaku manusia apa ada-nya (اَلإِنْسَانُ مِنْ حَيْثُ هُوَ اِنْسَانٌ) bukan sebagai bangsa maupun etnis tertentu (كَقَوْمٍ مُعَيَّنٍ اَوْ نَوْعٍ مُعَيَّنٍ). Da-lil aqliy tersebut ternyata bersesuaian dengan dalil naqliy antara lain pernyataan Allah SWT dan Rasulullah saw berikut :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سبأ : 28)
Dan Kami (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali bagi manusia seluruhnya selaku pem-bawa kabar gembira dan peringatan dan tetapi sebagian sangat besar manusia tidak mengetahui (hal itu).
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
Diberikan kepadaku lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Aku ditolong dengan munculnya ketakutan (pada pihak musuh) dalam perjalanan sebulan dan dijadi-kan bumi itu bagiku sebagai masjid dan suci maka siapa pun dari umatku yang tiba kepadanya waktu shalat maka shalatlah dan dihalalkan bagiku ghanimah yang belum pernah dihalalkan kepa-da seorang pun sebelumku dan diberikan kepadaku syafaah dan seorang Nabi diutus kepada ka-umnya saja sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.
Kedua dalil tersebut memastikan posisi Islam tidak sama alias berbeda dengan risalah yang dibawa para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw termasuk risalah Taurah (Nabi Musa as) maupun risalah Injil (Nabi Isa as). Perbedaan mendasar tersebut ditunjukkan oleh bagian ayat وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ dan bagian hadits وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً.
Kedua sifat yang melekat pasti pada realitas Islam tersebut memastikan bahwa kondisi ideal dan normal yang harusnya terjadi dalam kehidupan manusia adalah seluruh manusia bersedia secara sa-dar aqliy untuk meninggalkan agama (اَلدِّيْنُ), peraturan (اَلنِّظَامُ) maupun syariah (اَلشَّرِيْعَةُ) yang selama ini (sebelum Islam diturunkan) diberlakukan dalam kehidupan mereka dan pada saat yang sama mereka segera dengan sadar aqliy memasuki Islam atau bersedia tunduk patuh kepada kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyah) walau mereka tetap bertahan dalam agamanya masing-masing.
Wal hasil, Islam tidak harus menjawab semua persoalan atau tuntutan atau tantangan yang mun-cul dalam kehidupan manusia saat ini akibat diberlakukannya aqidah kufur (sekularisme) berikut selu-ruh sistema yang terpancar darinya (demokrasi dan kapitalisme). Pemikiran yang jernih dan sikap yang benar adalah manusia wajib memberlakukan seluruh ketentuan Islam (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dalam kehidupan mereka tanpa disertai : pilih-pilih (اَلتَّخَيُّرُ), pentahapan (اَلتَّدَرُّجُ), aksi manipulatif (اَلتَّكْذِيْبُ) maupun sikap lainnya seperti melakukan Islamisasi kekufuran atau mengkompromikan Islam dan kekufuran atau me-nyempurnakan, memperbaiki serta menutupi berbagai kekurangan sistema kufur dengan menggunakan Islam. Sikap dan keputusan itulah satu-satunya yang akan dapat menghilangkan (bukan hanya menja-wab) semua persoalan atau tuntutan atau tantangan apa pun bentuknya yang muncul dalam kehidupan manusia saat ini akibat diberlakukannya aqidah kufur (sekularisme) berikut seluruh sistema yang ter-pancar darinya (demokrasi dan kapitalisme). Hal itu karena seluruh persoalan atau tuntutan atau tanta-ngan tersebut adalah akibat (اَلْعَاقِبَةُ اَيِ الْمُسَبَّبُ) dari sebuah sebab yang pasti (اَلسَّبَبُ الْقَاطِعُ) yakni adanya pemberlakuan sistema kufur buatan tangan manusia sendiri dalam kehidupan mereka. Sehingga ketika faktor sebab dihilangkan dan dienyahkan dari kehidupan tentu saja secara otomatis dan pasti keadaan yang merupakan akibat akan serta merta ikut terbawa musnah.

Syariah Islamiyah hanya cocok berlaku dalam wadah Khilafah Islamiyah!
Ketika Rasulullah saw menyatakan :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
maka bagian وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ dari ucapan beliau saw memastikan pola hubungan antara syariah Is-lamiyah dengan Khilafah Islamiyah, yakni :
اِنَّ الْخُلَفَاءَ يَسُوْسُوْنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ الدُّنْيَا بِانْطِبَاقِ الشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ عَلَيْهِمْ عَلَى سَبِيْلِ اْلإِلْزَامِ شَامِلاً كَامِلاً دُفْعَةً وَاحِدَةً
Bahwa para Khulafa akan memimpin dan mengurus kaum muslim di dunia dengan memberlakukan syariah Islamiyah terhadap mereka dengan paksa secara sempurna, menyeluruh dan utuh.
Realitas hubungan tersebut juga ditunjukkan oleh sejumlah pernyataan sahabat Nabi Muhammad saw antara lain :
قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ يَوْمَ مَاتَ فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Abu Bakar berkata pada hari kematian Rasulullah saw : sungguh Muhammad telah mati dan harus ada bagi agama ini seseorang yang memberlakukannya
Abu Bakar sangat memahami posisi Rasulullah saw sebagai Kepala Negara Islam yang berwewenang penuh untuk memberlakukan seluruh ketentuan Islam atas kehidupan manusia di dunia saat itu. Sehing-ga ketika dia mendapati kepastian wafatnya Nabi Muhammad saw, maka serta merta saja Abu Bakar menyadarinya untuk segera mencari pengganti kedudukan Kepala Negara yang baru saja ditinggalkan oleh Rasulullah saw tersebut. Bahkan sikap tersebut akhirnya disepakati oleh seluruh sahabat lain yang sama-sama memberikan bai’at mereka kepada Abu Bakar untuk mengisi kekosongan Kepala Negara Islam seiring wafatnya Rasulullah saw. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy dalam Kitab At-Taarikh meng-kisahkan :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah
Mengapa para sahabat berijma untuk “ngotot” harus adanya Khalifah yang akan menggantikan kedudu-kan Rasulullah saw selaku Kepala Negara Islam demi tetap berlangsungnya kehidupan mereka dalam naungan jamaah (Khilafah Islamiyah)? Jawabannya adalah tergambar secara pasti dalam riwayat beri-kut :
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
“dari Tamiim Ad-Daariyyi berkata pada masa Umar orang-orang telah sangat maju dalam hal bangu-nan, lalu Umar berkata : ‘wahai masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Is-lam itu tidak ada kecuali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya ima-rah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mere-ka dan siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka”
Jadi :تَكُوْنُ الإِمَارَةُ اَيِ الإِمَامَةُ اَيِ الْخِلاَفَةُ مِنْ اَجْلِ اِقَامَةِ الإِسْلاَمِ وَبَقَاءِ تَطْبِيْقِهِ فِيْ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا   (Imarah atau Imamah atau Khilafah itu ada demi untuk penegakkan Islam dan demi kelestarian pemberlakuannya dalam kehidupan dunia)
Oleh karena itu, seluruh ketentuan Islam (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah mustahil dapat diberlakukan da-lam wadah negara kebangsaan yang berasas aqidah sekularisme dan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi serta sistem perekonomian kapitalisme. Hal itu karena Islam sendiri menetapkan adanya ne-gara yakni Khilafah Islamiyah yang berkewajiban memberlakukan Islam secara utuh dalam realitas hi-dup manusia di dunia. Sehingga jika pun saat ini ada orang (Danang Kuncoro Wicaksono dan yang se-rupa dengannya) yang menganggap syariah Islamiyah dapat diberlakukan dalam wadah negara kebang-saan, maka itu adalah sikap manipulatif (اَلتَّكْذِيْبُ) baik terhadap realitas negara kebangsaan itu sendiri maupun terhadap realitas Islam.


Khatimah
Islam adalah Islam dan hanya dapat tegak jika diberlakukan dalam wadah pelaksanaan yang juga ditetapkan oleh Islam. Ketika Islam diberlakukan dalam wadahnya sendiri (Khilafah Islamiyah) maka selain akan berlangsung secara sempurna, menyeluruh dan utuh juga pada saat yang sama akan sangat mampu untuk mengatur seluruh interaksi di antara manusia yang memang niscaya terjadi ketika mere-ka berupaya untuk memenuhi seluruh kebutuhannya (مَصْلَحَتُهُمْ) masing-masing.
Sebaliknya jika Islam “dipaksa” diberlakukan dalam wadah kufur yakni negara kebangsaan maka selain itu adalah mustahil terjadi juga diharamkan oleh Islam dan akan mengantarkan manusia kepada kebinasaan yang lebih sangat mengerikan lagi yakni kehidupan mereka akan semakin kokoh terjerat dan tertelikung dalam sistem kufur berbasis sekularisme, seperti saat ini yang telah berlangsung lebih dari 85 tahun.


وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (طه : 124-126)
dan siapa saja yang berpaling dari peringatan Ku (Islam) maka sungguh baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia di hari qiyamah dalam keadaan buta. Dia berkata wahai Rabbku mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku melihat. Allah berkata demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami lalu kamu lupakan itu dan demikianlah pada hari ini kamu pun pasti akan dilupakan (oleh Aku)

No comments:

Post a Comment