Persoalan kehidupan saat ini : mengapa
muncul?
Danang Kuncoro Wicaksono
(Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia/PPI Suriah 2008-2009) dalam
tulisannya yang berjudul “Fikih dan Tuntutan Zaman” (Republika, 29 Mei 2009,
OPINI) menyatakan : adapun tuduhan beberapa kalangan yang mengatakan bahwa
fikih Islam belum bisa menjawab persoalan umat merupakan tuduhan yang sangat
tidak mendasar. Realita yang ada justru menunjukkan sebaliknya. Munculnya cabang-cabang
Syariah dalam bank-bank konvesional di bebera-pa negara Eropa menunjukkan bahwa
Islam merupakan solusi yang jitu bagi krisis yang tengah me-landa umat manusia.
Bagitu juga undang-undang Ahwal Syakhsiyah yang mendapat pujian para ahli
perundang-undangan dunia seperti Gustave Lebon, membuktikan bahwa Islam adalah
aturan yang tepat dan sesuai dengan fitrah manusia. Materi Qodhoya Fiqhiyah
Muashiroh (Contemporary Islamic Issues) pun kini telah menjadi mata kuliah
tetap (muqorror) yang diajarkan di universitas-universitas di Timur Tengah.
Semua ini menunjukkan bahwa aktivitas ekstraksi hukum (istinbath al-ahkam) dari
sumber-sumbernya yang masih asli terkait dengan permasalahan-permasalahan baru
yang muncul di setiap masa masih dan akan terus berlanjut. Sekarang yang
menjadi pertanyaan bagi kita semua, ‘Sia-pakah yang akan meneruskan perjuangan
para ulama itu di masa mendatang? Siapakah yang akan memberikan fatwa-fatwa
bagi umat terkait dengan persoalan yang muncul di masa yang akan datang?
Danang Kuncoro Wicaksono
adalah satu dari sekian banyak umat Islam yang menyangkal tuduh-an bahwa fiqih
Islam belum bisa menjawab persoalan umat. Artinya bagi dia dan yang sepakat
dengan-nya, fiqih Islam itu selain harus mampu menjawab tantangan atau tuntutan
zaman juga memang telah terbukti mampu melakukan hal tersebut. Unit-unit
Syariah dalam bank-bank konvensional, undang-undang Ahwal Syakhsiyah
serta ditetapkannya materi Qodhoya Fiqhiyah Muashiroh sebagai mata
ku-liah di berbagai universitas Timur Tengah, dijadikan bukti faktual oleh
mereka untuk memastikan bah-wa fiqih Islam adalah mampu menjawab tantangan atau
tuntutan zaman.
Namun demikian, bukan
berarti pihak yang menyatakan bahwa fiqih Islam belum bisa menjawab
persoalan umat, menganggap fiqih tidak harus mampu menjawab
persoalan-persoalan yang muncul da-lam arena kehidupan manusia tersebut. Bahkan
dapat dikatakan mereka justru menuntut lebih banyak lagi yakni fiqih harus
memiliki kemampuan yang lebih dari yang telah dapat dilakukan saat ini
(per-bankan syariah, undang-undang hal ihwal urusan pribadi dan sebagainya).
Kelompok inilah yang sela-ma ini menuntut dan mempropagandakan gagasan bahwa
Islam harus dapat menerima apa pun yang berasal dari luar yang dianggap baik
oleh dan untuk kemanusiaan. Mereka pun menuntut Islam untuk “rela” dijadikan
sebagai pelengkap dan penyempurna sistema lain sekaligus sebagai “obat” bagi
berba-gai penyakit maupun kerusakan akibat dari diberlakukannya sistema lain
dalam kehidupan manusia. Tegasnya, mereka memaksa Islam (secara konsep maupun
praktik) menjelma sebagai agama atau siste-ma yang inklusif serta pada saat
yang bersamaan mereka mencitrakan Islam sedemikian rupa sehingga ciri
ekslusifnya hilang sama sekali.
Realitas itulah yang
dianggap oleh kedua kelompok sebagai persoalan kehidupan saat ini. Lalu,
mengapa persoalan-persoalan tersebut muncul dalam kehidupan manusia?
Kepastian hidup manusia
saat ini adalah kelanjutan dari pola kehidupan sekularistik yang telah berlaku
atas mereka paling tidak sejak 3 Maret 1924 alias lebih dari 85 tahun yang
lalu. Sepanjang itu interaksi apa pun yang telah, tengah dan akan terjadi di
antara mereka seutuhnya diberlangsungkan ser-ta berjalan berdasarkan seluruh
konsep kehidupan yang ditetapkan dalam aqidah sekularisme. Interaksi yang
terjadi saat mereka berupaya memenuhi kebutuhan yang memunculkan transaksi jual
beli alias perdagangan (تَبَادُلُ السِّلَعِ فِيْ
التِّجَارَةِ) seluruhnya diberlangsungkan dengan peraturan/sistema
perekonomi-an kapitalisme yang terpancar (مُنْبَثَقَةً) dari aqidah
sekularisme tersebut. Interaksi sosial antar anggota masyarakat maupun antara
rakyat dengan penguasa seluruhnya diberlangsungkan dengan sistema kene-garaan
dan pemerintahan demokrasi yang juga benar-benar terpancar dari aqidah
sekularisme. Interaksi antar satu negara dengan lainnya juga tidak lepas dari
asas aqidah sekularisme yakni seluruhnya diber-langsungkan dalam pola hubungan
antar negara kebangsaan.
Oleh karena itu, hakikat
tersebut memastikan bahwa persoalan apa pun yang muncul dan akan se-lalu muncul
dalam atau akibat dari interaksi antar manusia pada arena
perekonomian, sosial maupun politik, sepenuhnya dan seharusnya
dikembalikan kepada asas (aqidah) yakni sekularisme berikut se-luruh sistema
yang terpancar darinya yakni demokrasi dan kapitalisme. Realitas ini harus
dijalankan se-cara jujur dan konsisten serta tidak boleh dibarengi oleh adanya
sikap manipulatif.
Kualifikasi suatu negara
kebangsaan sebagai sangat maju, maju, berkembang dan tertinggal dari aspek
perekonomian adalah hanya ditemukan dalam sistem kapitalisme : cadangan devisa
di Bank Central, tingkat Produk Domestik Bruto/PDB (Gross Domestic Product),
tingkat Produk Nasional Bru-to/GNP (Gross National Product), rasio utang
luar negeri terhadap ekspor, tingkat pertumbuhan ekono-mi, tingkat inflasi,
posisi nilai kurs mata uang terhadap mata uang kuat dunia, kuantitas dan
kualitas utang luar negeri (pemerintah maupun swasta) dan sebagainya. Demikian
juga persoalan pengajuan ke-pailitan suatu perusahaan (contoh General Motors/GM
yang telah mengajukan kepailitan kepada Peme-rintah Federal Amerika Serikat),
keputusan go public (mencatatkan diri di Bursa Efek), penerbitan su-rat
utang (obligasi), surat penjaminan utang (letter of credit),
penggabungan sejumlah perusahaan (mer-ger), akuisisi suatu perusahaan
oleh perusahaan lainnya, pembuatan unit-unit usaha khusus pada suatu perusahaan
terutama perbankan (office channeling) dan sebagainya, seluruhnya adalah
hanya terjadi dalam sistem perekonomian kapitalisme.
Kualifikasi suatu negara
kebangsaan sebagai sangat aman, cukup aman, rawan maupun berbaha-ya bahkan
diberi cap sebagai negara para teroris dari aspek sosial dan politik adalah
hanya ditemukan dalam sistem demokrasi : keberpihakan komunitas mayoritas
terhadap demokrasi, peran serta masyara-kat dalam event demokrasi (pemilu,
misalnya), tingkat pengelaborasian setiap anggota masyarakat ter-hadap konsep
kebebasan menyeluruh (HAM), supremasi hukum, supremasi sipil dan sebagainya.
Be-gitu juga persengketaan perbatasan dua atau lebih negara (contoh Indonesia
dan Malaysia berkenaan dengan blok Ambalat atau antara Timor Leste dengan
Australia tentang Celah Timor/East Gape), zona ekonomi ekslusif (ZEE), wilayah udara suatu negara, wilayah
perairan suatu negara, wilayah udara in-ternasional, wilayah laut
internasional, hukum internasional, mahkamah internasional dan sebagainya,
semuanya adalah hanya terjadi dan ditemukan dalam realitas negara kebangsaan
maupun interaksinya satu sama lain yang sama-sama memberlakukan sistem
pemerintahan demokrasi.
Oleh karena itu,
kesimpulan Danang Kuncoro Wicaksono bahwa munculnya cabang-cabang Sya-riah
dalam bank-bank konvesional di beberapa negara Eropa menunjukkan bahwa Islam
merupakan solusi yang jitu bagi krisis yang tengah melanda umat manusia,
adalah salah fatal sebab selain menya-lahi realitas Islam
yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah juga tidak sesuai dengan fakta
dari kemunculan office channeling syariah di berbagai bank-bank
konvensional baik di Dunia Islam (Indo-nesia, Malaysia, Pakistan, Timur Tengah,
Afrika Utara) maupun Dunia Kristiani (Amerika, Eropa, Australia, Asia Tengah,
Asia Selatan). Demikian juga kesimpulan Danang bahwa undang-undang Ah-wal
Syakhsiyah yang mendapat pujian para ahli perundang-undangan dunia seperti
Gustave Lebon, membuktikan bahwa Islam adalah aturan yang tepat dan sesuai
dengan fitrah manusia, adalah salah fatal, sebab :
1.
ahwal syakhshiyyah (اَحْوَالُ الشَّخْصِيَّةِ) alias peraturan Islam yang berkaitan
dengan kehidupan pribadi adalah bagian tak terpisahkan dari syariah Islamiyah
secara keseluruhan (جُمْلَةً) dan dalam pember-lakuannya tidak
boleh diposisikan secara terpisah dari kewajiban pemberlakuan Islam dalam
kehi-dupan secara utuh (كَافَّةً) yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Memposisikan peraturan Islam yang berkaitan dengan اَحْوَالُ الشَّخْصِيَّةِ secara terpisah bahkan kemu-dian
mengkompilasikannya kepada sistema peraturan kufur (demokrasi) suatu negara
kebangsaan adalah realitas sikap muslim yang : (a) tidak melaksanakan perintah
wajib untuk ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً dan (b)
melanggar larangan haram mengikuti kekufuran وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ.
2.
bukti bahwa Islam
adalah aturan yang tepat (yakni benar alias اَلْحَقُّ) dan sesuai
dengan fitrah manu-sia sama sekali bukan berdasarkan adanya “pujian” atau
penghargaan atau lainnya dari manusia si-apa pun orangnya, baik dari kalangan
awam maupun ahli perundang-undangan dunia sekali pun. Islam adalah benar dan
itu harus dibuktikan oleh aqal manusia sendiri sedemikian rupa (menginde-ra اَلْكَوْنُ وَالإِنْسَانُ وَالْحَيَاةُ) sehingga aqal menjadi puas (يَقْنَعُ الْعَقْلُ) dan secara otomatis perasaan menjadi
tenteram tenang (يَطْمَئِنُّ الْقَلْبُ). Puasnya aqal
dan tenangnya perasaan manusia setelah membuktikan Islam secara aqliyah adalah
bukti yang tidak dapat disangkal lagi tentang benarnya Islam serta
se-suainya Islam dengan fitrah manusia (naluri beragama : غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ). Inilah yang dimaksudkan oleh
pernyataan Allah SWT :
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ
قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(الرعد : 28)
Orang-orang
yang beriman itu pastilah perasaan mereka akan tenang tenteram dengan
dzikrullah. Ingatlah dengan dzikrullah pastilah perasaan akan tenang tenteram.
Juga alasan
Ibrahim memohon kepada Allah SWT untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana Allah
SWT menghidupkan kematian :
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ
تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي (البقرة : 260)
Dan
ingatlah ketika Ibrahim berkata : wahai Rab saya, perlihatkanlah kepada saya
bagaimana Engkau menghidupkan kematian. Dia (Allah) berkata : apakah kamu tidak
beriman? Dia (Ibrahim) berkata : tentu saja (saya beriman) akan tetapi supaya
perasaan saya menjadi tenang
Mengapa
perasaan Ibrahim menjadi tenang tenteram setelah dia melihat langsung bagaimana
Allah SWT menghidupkan kematian? Tentu saja demikian, sebab dengan melihat
(mengindera) fakta atau bukti tersebut maka aqal manusia (termasuk Ibrahim)
menjadi puas yakni tidak akan pernah bertanya-tanya lagi dan seiring dengan
telah diraihnya kepuasan aqal maka secara otomatis dan pasti perasaan akan
tenang yakni tidak gelisah sebab tuntutan naluriahnya (غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ) telah terpe-nuhi sempurna.
Jadi, seluruh persoalan
atau permasalahan atau problematika yang muncul dan akan selalu mun-cul dalam
kehidupan manusia saat ini yang adalah akibat dari diberlakukannya sekularisme
sebagai asas kehidupan mereka serta kapitalisme dan demokrasi sebagai sistema
kehidupannya, seluruhnya me-rupakan konsekuensi logis dan risiko yang pasti
akan dan harus diterima oleh mereka. Lalu, apa yang harus mereka lakukan saat
mendapatkan realitas tersebut? Tentu saja yang harus mereka lakukan ada-lah bertanya
kepada dan mencari solusi dalam asas berikut sistema kehidupan yang
selama ini mere-ka yakini sehingga diputuskan untuk diberlakukan.
Ketika mereka mendapatkan jawaban maupun solu-si yang dimaksudkan maka itu
artinya asas berikut sistema kehidupan mereka dapat dipastikan adalah benar
karena aqal mereka telah dapat membuktikannya. Sebaliknya, jika mereka sama
sekali tidak mendapatkan jawaban maupun solusi yang dicari, maka seharusnya
mereka segera saja meninggalkan asas berikut sistema kehidupan
tersebut sebab aqal mereka sendiri telah dapat membuktikan dan me-mastikan
bahwa asas dan sistema kehidupan yang selama ini mereka berlakukan tersebut
adalah salah dan tidak sesuai dengan fitrah manusia
termasuk mereka.
Haruskah
Islam menjawab persoalan hidup saat ini?
Sejak
3 Maret 1924, tidak diragukan lagi hanya sekularisme berikut anak kembarnya
(demokrasi dan kapitalisme) yang diberlakukan secara praktis dalam kehidupan
manusia di dunia termasuk umat Islam. Oleh karena itu, krisis kemanusiaan,
politik, ekonomi, sosial dan sebagainya yang saat ini terus menerus melanda
kehidupan manusia adalah dipastikan sebagai akibat dari pemberlakuan sistema
ku-fur buatan tangan manusia tersebut. Inilah realitas yang dimaksudkan oleh
pernyataan Allah SWT :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم : 41)
Telah nampak terjadi kerusakan di daratan maupun lautan
yang merupakan akibat dari peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri. Hal itu
supaya sebagian dari yang telah mereka perbuat dapat me-reka rasakan sendiri
sehingga mereka dapat sadar kembali
Ayat tersebut menunjukkan bahwa antara terjadinya realitas الْفَسَادُ dengan بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي
النَّاسِ berada da-lam pola hubungan sebab dan akibat (عَلَى ضَوْءِ الْقَاعِدَةِ السَّبَبِيَّةِ). Inilah mengapa dalam ayat ada
bagian pernyataan Allah SWT : لِيُذِيقَهُمْ
بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ, yakni dengan dirasakan dan dialami
sendiri oleh mereka realitas الْفَسَادُ akibat
diberlakukannya peraturan buatan mereka sendiri (بِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ) maka seharusnya itu
memunculkan kesadaran pada diri mereka untuk kembali kepada aturan Allah SWT
dengan meninggalkan aturan yang tak layak, tak pantas dan tak berguna bagi
kemanusiaan terse-but. Lalu, jika mereka tetap bersikukuh dan ngotot
memberlakukan peraturan buatan mereka sendiri tersebut walaupun aqal dan
perasaan mereka telah dapat membuktikan ketidak benaran, ketidak layak-kan dan
ketidak pantasan peraturan itu, maka mereka tidak pantas dan tidak layak
mengklaim diri seba-gai manusia melainkan lebih pantas lebih layak mengaku
secara jujur sebagai binatang. Allah SWT menyatakan :
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ
فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي
الصُّدُورِ (الحج : 46)
Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di muka bumi lalu
dengan itu mereka akan memiliki aqal yang dapat mereka gunakan untuk berpikir
atau telinga yang dapat mereka gunakan untuk mendengar. Maka sesungguhnya
penglihatan itu tidaklah buta melainkan perasaan yang ada dalam dada itulah
yang buta
Allah
SWT menganjurkan manusia untuk melakukan perjalanan adalah untuk supaya mereka
dapat mengindera berbagai fakta dan realitas kehidupan sepanjang perjalanan
tersebut, lalu semakin banyak fakta berikut informasi yang diiperoleh mereka
maka dapat dipastikan akan semakin kuat penginderaan mereka (penglihatan dan
pendengaran) sehingga secara otomatis aqal mereka akan semakin jernih dalam
memikirkan dan memutuskan sikap mereka selama hidup di dunia. Namun demikian,
Allah SWT tetap mengingatkan manusia bahwa mereka pun memiliki perasaan (الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ) yang dapat saja mendominasi
kesadaran aqal mereka sendiri jika mereka memposisikan perasaan tersebut
se-bagai tuhan yang memiliki otoritas memutuskan benar dan salah,
dilakukan atau ditinggalkan. Jadi, mengapa banyak manusia yang memilih
bersikap kufur ketika sampai kepada mereka informasi tentang Islam? Jawabannya
adalah karena mereka telah memutuskan kepentingan naluriahnya (اَهْوَاءَهُمْ) sebagai tuhan bagi diri mereka,
sehingga penjelasan apa pun tetang Islam yang dilakukan oleh siapa pun
terma-suk oleh Nabi Muhammad saw, sama sekali tidak ada gunanya bagi mereka.
Saat ini manusia mana pun
termasuk kaum muslim dapat dengan mudah mengindera realitas ke-rusakan
kemanusiaan (الْفَسَادُ) yang telah dan
tengah berlangsung di seluruh dunia, namun karena mere-ka sendiri adalah bagian
dari pelaku yang memberlakukan sistema kufur sekularisme beserta anak kembarnya
(demokrasi dan kapitalisme) tersebut, maka hasil penginderaan tersebut sama
sekali tidak dapat digunakan untuk berpikir memutuskan bahwa sistema kufur
tersebut tidak layak dan tidak pantas bagi kehidupan manusia. Justru
sebaliknya, hasil penginderaan tersebut mereka gunakan untuk mencari cara dan
trik guna memanipulasikan realitas sistema kufur tersebut sedemikian rupa sehingga
seolah sangat layak sangat pantas bagi kehidupan dan strategi itu terutama
ditujukan kepada umat Islam. Aki-batnya tidaklah mengejutkan jika saat ini
semakin banyak umat Islam yang semakin berpihak kepada kekufuran beserta kaum
kufar pengusung utamanya dan pada saat yang bersamaan semakin menjauhi dan
membenci Islam : دِيْنُهُمُ الَّذِيْ ارْتَضَاهُ
اللهُ لَهُمْ. Mengapa umat Islam yang menjadi objek bidikan utama dari aksi
manipulasi sistema kufur yang dilakukan oleh kaum kufar tersebut? Tentu saja
akan demikian sebab kaum kufar : (a) sangat menyadari kelemahan, ketidak
layakkan, ketidak pantasan sistem yang mereka buat sendiri untuk kehidupan
manusia dan (b) sangat menyadari kesempurnaan Islam sehingga sangat layak
sangat pantas diberlakukan dalam kehidupan manusia. Realitas itulah (a dan b)
yang akan selalu dijauhkan dari penginderaan umat Islam, sebab jika kaum muslim
menginderanya lalu menyada-ri kekeliruan mereka selama ini yang telah berpihak
kepada kekufuran dan membenci Islam, maka ti-dak ada kekuatan apa pun yang saat
ini dimiliki oleh kaum kufar yang akan dapat menghalangi dan mencegah
kembalinya kejayaan berikut hegemoni Islam, umat Islam dan Dunia Islam atas
seluruh du-nia. Keadaan inilah yang selama ini selalu menjadi night mare
bagi kaum kufar sebab mereka telah merasakan pahit getirnya (menurut
kepentingan naluriahnya) hidup di bawah naungan hegemoni Islam yang diemban
secara praktis oleh Khilafah Islamiyah.
Haruskah Islam menjawab
semua persoalan atau tuntutan atau tantangan yang muncul dalam ke-hidupan
manusia saat ini?
Persoalannya bukan harus
atau tidak harus melainkan berkenaan dengan realitas Islam itu sen-diri
yakni diturunkan ke arena kehidupan manusia dengan mensifati dua hal yakni :
a.
menggantikan dan
menghapus semua ketentuan Allah SWT yang telah diturunkan sebelumnya ter-utama
yang bersumber dari Taurah dan Injil. Allah SWT menyatakan :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا
عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
(المائدة : 48)
Bagian ayat وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ memastikan bahwa Allah SWT menurunkan
Al-Quran (الْكِتَابَ) dengan membawa
serta atau menjadi sumber bagi risalah Islam (بِالْحَقِّ). Al-Quran bersikap mem-benarkan (مُصَدِّقًا) eksistensi
kitab-kitab sebelumnya yang juga telah Allah SWT turunkan kepada manusia dan
berposisi menjadi penghapus syariah (مُهَيْمِنًا عَلَيْهِ) yang dibawa serta atau bersumber
dari kitab-kitab tersebut. Dengan demikian secara aqliy, Islam haruslah risalah
langit yang paling sempurna dan lengkap supaya dapat mengatur kehidupan manusia
di dunia hingga berakhirnya ke-hidupan itu sendiri. Hal inilah yang dimaksudkan
oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ
الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ
وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ
يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ
اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ (رواه
البخاري)
Bahwa
perumpamaanku dengan para Nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun
sebuah rumah, lalu dia membaguskannya dan menjadikannya indah kecuali satu
sudut tempat sebuah ba-ta. Lalu manusia pada mengelilingi rumah itu dan mereka
sangat keheranan terhadap sudut itu dan mereka pada berkata mengapa batu bata
ini tidak dipasangkan? Beliau berkata : maka akulah batu bata itu dan aku
adalah penutup para Nabi.
b.
sebagai risalah paling
akhir yang ditujukan kepada seluruh manusia di dunia. Secara aqliy realitas ini
mengharuskan Islam paling sempurna dan paling lengkap serta terbebas dari
entitas khas suatu kaum atau bangsa atau umat saja, melainkan harus menempatkan
manusia selaku manusia apa ada-nya (اَلإِنْسَانُ
مِنْ حَيْثُ هُوَ اِنْسَانٌ) bukan sebagai bangsa maupun etnis
tertentu (كَقَوْمٍ مُعَيَّنٍ اَوْ نَوْعٍ
مُعَيَّنٍ). Da-lil aqliy tersebut ternyata bersesuaian dengan dalil
naqliy antara lain pernyataan Allah SWT dan Rasulullah saw berikut :
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سبأ : 28)
Dan Kami (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali bagi
manusia seluruhnya selaku pem-bawa kabar gembira dan peringatan dan tetapi
sebagian sangat besar manusia tidak mengetahui (hal itu).
أُعْطِيتُ
خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي
أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ
لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى
قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
Diberikan kepadaku lima hal yang belum pernah
diberikan kepada seorang pun sebelumku. Aku ditolong dengan munculnya ketakutan
(pada pihak musuh) dalam perjalanan sebulan dan dijadi-kan bumi itu bagiku
sebagai masjid dan suci maka siapa pun dari umatku yang tiba kepadanya waktu
shalat maka shalatlah dan dihalalkan bagiku ghanimah yang belum pernah
dihalalkan kepa-da seorang pun sebelumku dan diberikan kepadaku syafaah dan
seorang Nabi diutus kepada ka-umnya saja sedangkan aku diutus kepada seluruh
manusia.
Kedua dalil tersebut memastikan posisi Islam
tidak sama alias berbeda dengan risalah yang dibawa para Nabi sebelum Nabi
Muhammad saw termasuk risalah Taurah (Nabi Musa as) maupun risalah Injil (Nabi
Isa as). Perbedaan mendasar tersebut ditunjukkan oleh bagian ayat وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ dan bagian hadits وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ
إِلَى النَّاسِ عَامَّةً.
Kedua sifat yang melekat pasti pada realitas
Islam tersebut memastikan bahwa kondisi ideal dan normal
yang harusnya terjadi dalam kehidupan manusia adalah seluruh manusia bersedia
secara sa-dar aqliy untuk meninggalkan agama (اَلدِّيْنُ), peraturan (اَلنِّظَامُ) maupun syariah (اَلشَّرِيْعَةُ) yang selama ini (sebelum Islam diturunkan)
diberlakukan dalam kehidupan mereka dan pada saat yang sama mereka segera
dengan sadar aqliy memasuki Islam atau bersedia tunduk patuh kepada kekuasaan
Islam (Khilafah Islamiyah) walau mereka tetap bertahan dalam agamanya
masing-masing.
Wal hasil, Islam tidak
harus menjawab semua persoalan atau tuntutan atau tantangan yang
mun-cul dalam kehidupan manusia saat ini akibat diberlakukannya aqidah kufur
(sekularisme) berikut selu-ruh sistema yang terpancar darinya (demokrasi dan
kapitalisme). Pemikiran yang jernih dan sikap yang benar adalah manusia wajib
memberlakukan seluruh ketentuan Islam (اَلشَّرِيْعَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) dalam kehidupan mereka tanpa disertai : pilih-pilih (اَلتَّخَيُّرُ), pentahapan (اَلتَّدَرُّجُ), aksi manipulatif (اَلتَّكْذِيْبُ) maupun sikap lainnya seperti
melakukan Islamisasi kekufuran atau mengkompromikan Islam dan kekufuran atau
me-nyempurnakan, memperbaiki serta menutupi berbagai kekurangan sistema kufur
dengan menggunakan Islam. Sikap dan keputusan itulah satu-satunya yang akan
dapat menghilangkan (bukan hanya menja-wab) semua persoalan atau tuntutan atau
tantangan apa pun bentuknya yang muncul dalam kehidupan manusia saat ini akibat
diberlakukannya aqidah kufur (sekularisme) berikut seluruh sistema yang
ter-pancar darinya (demokrasi dan kapitalisme). Hal itu karena seluruh
persoalan atau tuntutan atau tanta-ngan tersebut adalah akibat (اَلْعَاقِبَةُ اَيِ الْمُسَبَّبُ) dari sebuah sebab yang
pasti (اَلسَّبَبُ الْقَاطِعُ) yakni adanya
pemberlakuan sistema kufur buatan tangan manusia sendiri dalam kehidupan
mereka. Sehingga ketika faktor sebab dihilangkan dan dienyahkan
dari kehidupan tentu saja secara otomatis dan pasti keadaan yang merupakan
akibat akan serta merta ikut terbawa musnah.
Syariah
Islamiyah hanya cocok berlaku dalam wadah Khilafah Islamiyah!
Ketika
Rasulullah saw menyatakan :
كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه
البخاري)
maka
bagian وَسَيَكُونُ
خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
dari ucapan beliau saw memastikan pola hubungan antara syariah Is-lamiyah
dengan Khilafah Islamiyah, yakni :
اِنَّ الْخُلَفَاءَ
يَسُوْسُوْنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ الدُّنْيَا بِانْطِبَاقِ الشَّرِيْعَةِ
الإِسْلاَمِيَّةِ عَلَيْهِمْ عَلَى سَبِيْلِ اْلإِلْزَامِ شَامِلاً كَامِلاً
دُفْعَةً وَاحِدَةً
Bahwa
para Khulafa akan memimpin dan mengurus kaum muslim di dunia dengan
memberlakukan syariah Islamiyah terhadap mereka dengan paksa secara sempurna,
menyeluruh dan utuh.
Realitas
hubungan tersebut juga ditunjukkan oleh sejumlah pernyataan sahabat Nabi
Muhammad saw antara lain :
قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ يَوْمَ مَاتَ
فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ
مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Abu Bakar berkata pada hari kematian Rasulullah saw :
sungguh Muhammad telah mati dan harus ada bagi agama ini seseorang yang
memberlakukannya
Abu Bakar sangat memahami posisi Rasulullah saw sebagai Kepala
Negara Islam yang berwewenang penuh untuk memberlakukan seluruh ketentuan Islam
atas kehidupan manusia di dunia saat itu. Sehing-ga ketika dia mendapati
kepastian wafatnya Nabi Muhammad saw, maka serta merta saja Abu Bakar
menyadarinya untuk segera mencari pengganti kedudukan Kepala Negara yang baru
saja ditinggalkan oleh Rasulullah saw tersebut. Bahkan sikap tersebut akhirnya
disepakati oleh seluruh sahabat lain yang sama-sama memberikan bai’at mereka
kepada Abu Bakar untuk mengisi kekosongan Kepala Negara Islam seiring wafatnya
Rasulullah saw. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy dalam Kitab At-Taarikh
meng-kisahkan :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ
حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ
يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ
يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
Amru
bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan
wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi :
‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian
Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari
namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah
Mengapa
para sahabat berijma untuk “ngotot” harus adanya Khalifah yang akan
menggantikan kedudu-kan Rasulullah saw selaku Kepala Negara Islam demi tetap
berlangsungnya kehidupan mereka dalam naungan jamaah (Khilafah Islamiyah)?
Jawabannya adalah tergambar secara pasti dalam riwayat beri-kut :
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ
النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ
الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا
جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ
قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ
عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
“dari Tamiim Ad-Daariyyi berkata pada
masa Umar orang-orang telah sangat maju dalam hal bangu-nan, lalu Umar berkata
: ‘wahai masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Is-lam
itu tidak ada kecuali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan
adanya ima-rah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa
saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasarkan pemahaman maka orang itu
adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mere-ka dan siapa saja yang dijadikan
pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah
kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka”
Jadi :تَكُوْنُ
الإِمَارَةُ اَيِ الإِمَامَةُ اَيِ الْخِلاَفَةُ مِنْ اَجْلِ اِقَامَةِ
الإِسْلاَمِ وَبَقَاءِ تَطْبِيْقِهِ فِيْ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا (Imarah atau Imamah
atau Khilafah itu ada demi untuk penegakkan Islam dan demi kelestarian
pemberlakuannya dalam kehidupan dunia)
Oleh karena itu, seluruh
ketentuan Islam (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah mustahil
dapat diberlakukan da-lam wadah negara kebangsaan yang berasas aqidah
sekularisme dan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi serta sistem
perekonomian kapitalisme. Hal itu karena Islam sendiri menetapkan adanya
ne-gara yakni Khilafah Islamiyah yang berkewajiban memberlakukan Islam secara
utuh dalam realitas hi-dup manusia di dunia. Sehingga jika pun saat ini ada
orang (Danang Kuncoro Wicaksono dan yang se-rupa dengannya) yang menganggap
syariah Islamiyah dapat diberlakukan dalam wadah negara kebang-saan, maka itu
adalah sikap manipulatif (اَلتَّكْذِيْبُ) baik terhadap
realitas negara kebangsaan itu sendiri maupun terhadap realitas Islam.
Khatimah
Islam adalah Islam dan
hanya dapat tegak jika diberlakukan dalam wadah pelaksanaan yang juga
ditetapkan oleh Islam. Ketika Islam diberlakukan dalam wadahnya sendiri
(Khilafah Islamiyah) maka selain akan berlangsung secara sempurna, menyeluruh
dan utuh juga pada saat yang sama akan sangat mampu untuk mengatur seluruh
interaksi di antara manusia yang memang niscaya terjadi ketika mere-ka berupaya
untuk memenuhi seluruh kebutuhannya (مَصْلَحَتُهُمْ) masing-masing.
Sebaliknya jika Islam
“dipaksa” diberlakukan dalam wadah kufur yakni negara kebangsaan maka selain
itu adalah mustahil terjadi juga diharamkan oleh Islam dan akan
mengantarkan manusia kepada kebinasaan yang lebih sangat mengerikan lagi yakni
kehidupan mereka akan semakin kokoh terjerat dan tertelikung dalam sistem kufur
berbasis sekularisme, seperti saat ini yang telah berlangsung lebih dari 85
tahun.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ
ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَلِكَ
أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (طه : 124-126)
dan siapa saja yang
berpaling dari peringatan Ku (Islam) maka sungguh baginya kehidupan yang sempit
dan Kami akan mengumpulkan dia di hari qiyamah dalam keadaan buta. Dia berkata
wahai Rabbku mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku
melihat. Allah berkata demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami lalu
kamu lupakan itu dan demikianlah pada hari ini kamu pun pasti akan dilupakan
(oleh Aku)
No comments:
Post a Comment