Wednesday, January 16, 2013

ISLAM PENUH TOLERANSI : BENARKAH?



New York, Jakarta dan Makkah : jaring pengaman bagi kekufuran

Raja Kerajaan Saudi Arabia (KSA) : Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud pada hari Rabu 4 Juni 2008 telah membuka Konferensi Islam Internasional untuk Dialog (مُعْتَمَرُ الإِسْلاَمِ الْعَالَمُ لِلْحِوَارِ) yang di-adakan di Kota Makkah dan telah berlangsung hingga hari Sabtu 7 Juni 2008. Raja KSA yang didam-pingi oleh mantan Presiden Republik Islam Iran (RII) Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani, Grand Syaikh Al-Azhar : Prof. Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Sekjen رَابِطَةُ الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ : Syaikh Abdullah Abdul Muhsin At-Turuki dan Mufti KSA : Abdul Aziz Asy-Syaikh, menyatakan : muktamar ini merupakan kesempatan untuk menunjukkan nilai-nilai keislaman. Nilai keislaman yang penuh dengan semangat toleransi, sikap bijak serta dialog atas dasar keadilan. Latar belakang muktamar ini adalah adanya keinginan kuat untuk menghadapi keterbelakangan, kebodohan di kalangan umat Islam dan untuk menampilkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan. Tantangan umat Islam saat ini antara lain adalah sikap berlebihan dalam beragama dan di antara bentuk dialog yang diinginkan adalah tidak menggu-nakan kekerasan.
Sementara itu mantan presiden RII menyatakan : muktamar ini merupakan babak pendahuluan dari gagasan melakukan dialog antar penganut agama, tapi yang tidak boleh dilupakan adalah dialog harus dimulai di kalangan internal umat Islam. Mengapa perlu dialog sesama agama samawi? Hal itu karena agama-agama samawi menjiwai seluruh peradaban manusia. Aktivitas dialog diharapkan dapat menghilangkan sikap fanatisme sebab fanatisme biasanya lahir dari kebodohan. Begitu juga sikap berlebihan dalam beragama biasanya muncul karena ketidaktahuan. Gagasan mengembangkan dialog ini merupakan satu langkah menuju keterbukaan, karena perselisihan terutama di kalangan umat Islam, telah melemahkan umat Islam sendiri. Islam memiliki potensi besar berdialog dengan pihak lain. Pertama, jumlah penduduk muslim mencapai seperempat penduduk dunia. Kedua, 57 suara di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) adalah umat Islam. Ketiga, hampir 75 persen kekayaan alam berada di dunia Islam. Secara geopolitik  juga cukup bagus, yakni memiliki pasar dan produksi yang luar biasa. Jadi dialog harus berangkat dari sikap yang kuat dan tidak boleh menyerah.
Nampak sekali bahwa dialog antar agama atau antar umat beragama benar-benar dijadikan tema pokok dan utama (اَلْمَوْضُوْعُ الأَسَاسِيُّ الرَّئِيْسِيُّ) dalam membangun pola relasi di antara berbagai komu-nitas pemeluk agama dalam realitas kehidupan dunia. Inilah jalinan jaring yang telah mulai dibangun fondasinya paling tidak sejak tahun 2007, yakni ketika 138 orang ulama dan pemuka Islam dari 43 ne-gara mengirim surat kepada Paus Benedictus XVI yang isinya adalah sebuah permohonan kepada Paus untuk meningkatkan dialog antara muslim dan Kristen. Bangunan jaring pengaman tersebut dilanjut-kan dengan digelarnya KTT OKI 2008 di Dakar Senegal pada 13 hingga 14 Maret 2008 dan tema me-ngalami sedikit pergeseran ke arah dialog politik dan rekonsiliasi sejarah antara Dunia Islam dengan Dunia Barat. Proses pembangunan jaring pengaman terus berlanjut dengan penyelenggaraan dialog antar pemeluk enam agama yakni Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu, pada hari Rabu 14 Mei 2008 di Kota New York Amerika Serikat (AS). Tujuan dialog tersebut adalah penekanan ulang tentang toleransi dan perdamaian di lingkungan masyarakat dunia termasuk New York pasca diguncang peristiwa 11 September 2001. Lalu di Jakarta pada tanggal 22 Mei 2008 telah diadakan Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia (MUI, PGI, KWI, Walubi, PHDI, Matakin) dan menurut Slamet Effendi Yusuf (Ketua Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia) tujuannya adalah : untuk mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menghasilkan sejumlah rekomendasi antara lain tekad umat beragama di Indonesia untuk menciptakan kehidupan beragama yang penuh toleransi dan tolong menolong. Para pemimpin agama mencemaskan adanya skenario ke depan tentang hubungan agama yang mengarah ke perbenturan peradaban. Pertemuan ini menolak skenario perbenturan itu, menolak skenario bahwa agama adalah sumber konflik. Sampai di sini bangunan telah semakin jelas yakni berbentuk The Big and Long Tunnel between New York and Jakarta dan lebih disempurnakan lagi mulai tanggal 4 hingga 7 Juni 2008 dengan diselenggarakannya Konferensi Islam Internasional untuk Dialog (مُعْتَمَرُ الإِسْلاَمِ الْعَالَمُ لِلْحِوَارِ) di Kota Makkah KSA. Sehingga bangunan makin tampak cantik dan megah serta tidak lagi hanya sebagai poros lurus melainkan telah utuh menjelma ja-di jaring pengaman bagi kekufuran yang pilar penyangganya tertancap kuat di New York (AS) lalu Jakarta (NKRI) dan Makkah (KSA).
Mengapa harus New York, Jakarta dan Makkah? Kota New York sejak awal telah direncana-kan menjadi tempat yang strategis bagi propaganda AS, di sana diputuskan didirikannya Markas Besar Perserikatan Bangsa Bangsa, gedung kembar World Trade Centre AS yang menjadi lambang pasti ke-digjayaan negara adikuasa itu, di kota itu juga terdapat pusat transaksi perdagangan Internasional : New York Stock Exchange/NYSE alias bursa sahamnya AS yang lebih dikenal dengan Dow Jones maupun New York Mercantile Exchange/NYMEX yakni pusat perdagangan berbagai komoditas strategis dunia seperti minyak mentah atau crude oil/CO. New York jugalah yang menjadi pusat penyambutan dan pe-rayaan tahun baru 1 Januari, yakni tepatnya di Time Square serta akhirnya pada tanggal 11 September 2001 gedung kembar World Trade Centre “dikorbankan” sebagai argumen legitimasi dan jastifikasi di-mulainya perang melawan terorisme dunia yang dilancarkan oleh AS.
Jakarta memang bukan kota metropolitan yang strategis dan berarti banyak bagi dunia dari aspek ekonomi (baik moneter maupun fiskal), namun Jakarta dipastikan memiliki posisi sangat strategis dari aspek geopolitis. Negara Indonesia dengan populasi lebih dari 250 juta jiwa ternyata masih menempati posisi sebagai tempat tinggal dan hidupnya umat Islam terbesar di dunia : lebih dari 200 juta orang, sehingga menyandang predikat sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia. Walau demikian ternyata percaturan geopolitik Indonesia tidaklah merata melainkan terpusat (lebih dari 80 persen) di kawasan Jakarta dan sekitarnya : Jabodetabek. Insiden 1 Juni 2008 lalu di Monas yang diikuti secara spontan dan otomatis oleh reaksi berbagai lapisan serta segmentasi di daerah (baik Jawa maupun luar Jawa) memastikan bahwa Jakarta adalah pusat geopolitis NKRI. Artinya bila Jakarta “telah terkendali” sepenuhnya secara geopolitis maka otomatis NKRI dapat dikendalikan secara menyeluruh dan begitu pula sebaliknya. Inilah realitas yang mendorong kaum kufar (AS) untuk menjadikan Jakarta sebagai salah satu tempat menancapkan pilar bagi bangunan jaring pengaman mereka.
Kaum kufar, baik itu pemain lama yakni Inggris maupun pemain baru yaitu AS sangat memahami realitas strategis Kota Makkah bagi kaum muslim sedunia. Muhammad bin Abdillah dilahirkan di Kota Makkah dan selanjutnya pada usia 40 tahun diangkat menjadi Nabi dan Rasul terakhir juga masih di kota itu. Islam sebagai risalah dunia penghabisan adalah untuk pertama kalinya diturunkan di Makkah dan selama 13 tahun terus berangsur turun di kota itu. Begitu juga sejumlah simbol maupun tempat Islami ada di Kota Makkah : Ka’bah, Masjid Al-Haram, Shafa, Marwah, sumur Zam Zam, maqam Nabi Ibrahim as, Batu Hitam (اَلْحَجَرُ الأَسْوَدُ) dan yang paling strategis adalah peristiwa monumental ke-menangan besar (اَلْفَتْحُ الْكَبِيْرُ) Negara Islam di bawah kepemimpinan رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ Nabi Muhammad saw yang berpusat di Madinah atas negara kufur Quraisy juga terjadi di Kota Makkah : فَتْحُ مَكَّةَ. Lebih dari itu, Kota Makkah adalah tempat yang diberi keistimewaan sebagai kota suci (kaum kufar juga menge-tahuinya) oleh Allah SWT seperti yang terungkap dari pernyataan Rasulullah saw saat akan hijrah :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَّةَ مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ (رواه الترمذي)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحَزْوَرَةِ فَقَالَ عَلِمْتُ أَنَّكِ خَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ الْأَرْضِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكِ أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَالْحَزْوَرَةُ عِنْدَ بَابِ الْحَنَّاطِينَ (رواه احمد)
Oleh karena itu, AS harus memastikan dirinya dapat mengendalikan Kota Makkah dengan sempurna melalui para penguasa negara KSA termasuk yang saat ini tengah berkuasa : Raja Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud (عَامِلٌ مِنْ عُمَلاَءِهَا), persis seperti yang telah dilakukan oleh pendahulu AS sendiri : Inggris, saat membesarkan kakek buyut sang Raja (bandit padang pasir Jazirah Arab : As-Sa’ud bin Abdil Aziz) untuk menjadi salah satu senjata mematikan yang dimiliki negara tersebut bagi posisi dan eksistensi Khilafah Utsmaniyah.
Wal hasil, tiga pilar jaring pengaman bagi hegemoni kaum kufar dan kekufuran tersebut memang harus ditancapkan di New York (Dunia Barat) : sebagai titik kendali getar dan dua pilar lainnya wajib di dunia Islam yakni di Makkah (pusat arah pandangan umat Islam sedunia : مَرْكَزُ اَنْظَرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ الْعَالَمِ) dan di Jakarta (pusat populasi umat Islam terbesar di dunia). Dengan demikian, pengendalian dunia Islam benar-benar dapat dilakukan dan dipertahankan dengan sangat sempurna, tanpa ada celah sekecil apa pun yang akan memberikan kesempatan bagi Dunia Islam untuk berbalik arah melepaskan diri mereka dari hegemoni tersebut dan untuk selanjutnya berupaya kembali meraih kejayaan dan kemulia-an seperti di masa lalu. Kondisi inilah yang akan selalu dipertahankan dengan keras dan serius oleh kaum kufar (AS) supaya mereka tetap dapat hidup tenang di dunia.
Realitas toleransi : mengapa dipaksakan melekat pada Islam?
Seruan toleransi telah dikumandangkan dari hampir seluruh penjuru dunia : Vatican, Dakar, New York, Jakarta, Makkah. Seruan tersebut seluruhnya selalu dikaitkan dengan pola relasi antara Islam dan agama lainnya (terutama Kristen) atau antara Dunia Islam dan Dunia Barat. Lebih dari itu, diakui atau tidak, disadari atau tidak, disengaja atau tidak, seruan untuk bersikap toleran atau mengembangkan dengan serius pola hubungan yang penuh toleransi, senantiasa dialamatkan, diarahkan dan ditujukan kepada Islam, umat Islam dan Dunia Islam. Nampak jelas tengah dicitrakan sebuah opini global bahwa selama ini yang “tidak pandai”, “tidak pernah” dan “tidak bisa” bersikap toleran atau tidak mampu mengembangkan hubungan berbasis toleransi adalah Islam, umat Islam dan Dunia Islam. Dengan kata lain tengah ada upaya paksa secara internasional untuk melekatkan sikap toleran atau realitas tole-ransi kepada Islam. Lalu, mengapa hal tersebut terjadi atau tengah diberlaku-paksakan?
Sikap toleran secara umum adalah kebalikan dari sikap hitam putih yakni sikap menolak atau me-nerima sesuatu (اَلشَّيْءُ) berdasarkan realitas benar (صَوَابٌ) atau salah (خَطَأٌ) dari sesuatu tersebut. Apabila sesuatu itu adalah benar maka pasti akan diterima sepenuhnya dan bila sesuatu itu adalah salah maka pasti akan ditolak sepenuhnya. Secara aqliy, realitas benar dari sesuatu (وَصْفُ صَوَابِ الشَّيْءِ) dipastikan berdasarkan dua kategori, yaitu : (a) sesuai dengan faktanya atau (b) penetapan dari wahyu alias pem-beritahuan dari Allah SWT. Sehingga sikap toleran adalah sikap yang tidak pernah memastikan realitas benar atau salahnya sesuatu, melainkan selalu didasarkan kepada pertimbangan manfaat (useful) atau bahaya (harmful) dari sesuatu itu sendiri. Jika pada realitas sesuatu itu (وَصْفُ الشَّيْءِ) didapati adanya manfaat yang wajib dipertimbangkan demi untuk merealisir kepentingan tertentu, maka realitas se-suatu tersebut akan dipastikan untuk diterima walaupun pada kenyataannya adalah salah dari hasil standardisasi dengan menggunakan dua kategori yang ada. Sebaliknya, apabila pada realitas sesuatu itu (وَصْفُ الشَّيْءِ) didapati adanya bahaya yang wajib dipertimbangkan agar tidak mengganggu atau men-jadi penghalang dalam upaya merealisir kepentingan tertentu, maka realitas sesuatu tersebut akan di-pastikan untuk ditolak walaupun pada kenyataannya adalah benar dari hasil standardisasi dengan menggunakan dua kategori yang ada. Sehingga sangat jelas dalam konsep toleransi atau sikap toleran yang menjadi standard adalah sama sekali bukan aspek benar atau salah secara hakiki dari sesuatu, melainkan relevansi realitas sesuatu itu dengan upaya merealisir kepentingan tertentu. Sebagai con-toh : apa pun bagian dari suatu agama atau yang dianggap sangat kental aroma keagamaannya adalah wajib ditolak atau dijauhkan dari ruang publik maupun ranah politik kenegaraan menurut ketentuan yang digariskan oleh sekularisme. Dengan kata lain adalah keputusan yang salah (menurut sekularis-me) memasukkan atau menyertakan “sistema perekonomian berbasis syariah Islam” alias ajaran agama Islam ke dalam penyelenggaraan perekonomian negara RI, sebab benar-benar telah menyalahi katentu-an sekularisme : agama harus dipisahkan dari politik dan negara. Namun, mengapa pada faktanya justru “sistema perekonomian berbasis syariah Islam” itu akhir-akhir ini (paling tidak sejak memasuki tahun 2000) banyak digunakan, baik secara mandiri utuh (misal di Bank Muamalat Indonesia/BMI) maupun sebagai divisi khusus dari bank konvensional tertentu (Mandiri Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Danamon Syariah atau Jakarta Islamic Index/JII alias bursa saham syariah dan lain-lain)? Ja-wabannya adalah seperti yang telah sejak lama diungkapkan oleh berbagai pihak (pemerintah maupun swasta) dan di antaranya adalah Menkeu NKRI Dr. Sri Mulyani Indrawati : bahwa pada awalnya pem-bentukan sejumlah instrumen perekonomian berbasis syariah adalah untuk menarik para investor dari kawasan Timur Tengah agar mereka mau menanamkan modalnya di Indonesia. Inilah salah satu ben-tuk implementasi konsep toleransi atau sikap toleran dalam penyelenggaraan negara yang berbasis se-kularisme dan hakikat ini tidak hanya berlaku pada lini perekonomian suatu negara melainkan juga pa-da aspek lainnya : hukum, pendidikan, politik, keagamaan, ketatanegaraan dan sebagainya.
Jadi, konsep toleransi atau sikap toleran adalah sebuah pemikiran yang muncul atau bersumber dari konsep sekularisme yang secara langsung (alias turunan pertamanya) menjadi asas demokrasi da-lam pemerintahan dan kapitalisme dalam perekonomian. Lalu, karena sekularisme mewajibkan agama dipisahkan sepenuhnya dari ruang publik, politik dan negara, maka secara otomatis entitas agama dan kehidupan keagamaan adalah hanya ada dan berlangsung pada tingkat individu alias menjadi urusan pribadi masing-masing manusia sehubungan dengan Tuhannya (spiritualisme ritualisme). Konsep ini pun mengharuskan pemegang otoritas wilayah negara (pemerintah) : (a) untuk tidak mencampuri urus-an agama dan keagamaan warga negaranya, baik internal suatu agama maupun antar agama, (b) bersi-kap netral terhadap semua agama yang ada di wilayah kekuasaannya yakni menjaga jarak yang sama terhadap seluruh agama tersebut dan (c) menempatkan semua agama secara sama yakni sama-sama benar serta wajib mencegah segala bentuk gejala ke arah munculnya (secara terbuka) klaim sebagai pa-ling benar dengan kata lain negara wajib mengamankan dan mengawal pelaksanaan pluralisme.
Oleh karena itu, bila ada suatu agama (misal Islam) diklaim sebagai paling benar sehingga agama lainnya (Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu) adalah salah atau bila ada upaya dari komunitas peme-luk agama tertentu (misal umat Islam) untuk melarang atau menghalangi atau memusnahkan eksistensi agama tertentu yang lain maupun suatu aliran atau sekte tertentu dari suatu agama (misal Ahmadiyah), maka menjadi kewajiban otoritas penyelenggara negara (pemerintah) untuk mencegahnya (bila masih dapat dicegah) atau memberlakukan sanksi hukum (law enforcement) bila telah menjadi sebuah insiden (misalnya insiden 1 Juni 2008 di Monas).
Secara induktif, realitas tersebut sangat dikhawatirkan terjadi pada tingkat global yakni bukan hanya antar negara melainkan antar blok besar yang ada di dunia yaitu Dunia Islam dan Dunia Barat. Mengapa begitu dikhawatirkan terjadinya pelemahan implementasi konsep toleransi atau sikap tole-ran bahkan mungkin terjadinya aksi mencerabut konsep tersebut dari pemberlakuannya selama ini?
Kekhawatiran tersebut pada kenyataannya muncul dari pihak Dunia Barat dan sama sekali bukan dari Dunia Islam. Kekhawatiran Dunia Barat terhadap semakin melemahnya pemberlakuan konsep to-leransi atau sikap toleran di Dunia Islam bersifat historis dan ideologis. Realitas historis yang sangat memicu ketakutan Dunia Barat tersebut adalah sehubungan dengan semakin meluasnya penyebaran ide-ide maupun pemikiran yang dipastikan akan memunculkan kembali kesadaran umat Islam sedunia tentang adanya bagian yang sangat diwajibkan oleh Islam atas mereka yang telah lama hilang (minimal 84 tahun) dari realitas kehidupan dunia yaitu : Khilafah sebagai satu-satunya  كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ اِسْلاَمِيٌّ. Lebih menakutkan lagi bagi Dunia Barat adalah bila umat Islam sangat menyadari bahwa yang berusa-ha keras terus menerus untuk dan memang akhirnya berhasil meruntuhkan Khilafah adalah Dunia Barat yang diwakili oleh pemain lamanya : Inggris. Lalu secara ideologis : Dunia Barat sangat mengkhawa-tirkan munculnya kembali kesadaran umat Islam sedunia bahwa ideologi mereka yaitu Islam telah ter-bukti sebagai ideologi yang paling sesuai dengan jatidiri kemanusiaan sekaligus layak serta handal di-jadikan sebagai kepemimpinan ideologis dunia (اَلْقِيَادَةُ الْفِكْرِيَّةُ الدَّوْلِيَّةُ) dan itu terbukti dengan bertahannya pemberlakuan Ideologi Islam atas kehidupan dunia selama lebih dari 1300 tahun. Bahkan andai tidak ada upaya terus menerus tak kenal lelah dari Dunia Barat (Inggris) untuk menghentikan pemberlakuan Ideologi Islam atas dunia tersebut dengan cara meruntuhkan Khilafah, maka sangat mungkin (hampir pasti) hingga saat ini pun (awal abad ke 21) pemberlakuan Ideologi Islam masih bertahan.
Inilah yang meniscayakan Dunia Barat untuk semakin gencar mempropagandakan pemberlakuan konsep toleransi maupun sikap toleran secara konsisten kepada Dunia Islam dan mereka begitu berani serta percaya diri untuk melakukan upaya tersebut, karena mereka sadar benar bahwa “kunci rahasia” kekuatan Islam berikut Dunia Islam (اَلْمِفْتَاحُ السِّرِّيُّ لِقُوَّةِ الإٍِْسْلاَمِ وَالْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ ) yakni Khilafah telah tidak ada lagi dari realitas kehidupan dunia. Lalu, apakah Islam mengakui adanya konsep toleransi mau-pun sikap toleran terhadap kekufuran?
Seiring dengan Islam menolak dan mengharamkan konsep sekularisme, maka secara otomatis seluruh pemikiran cabang maupun turunan dari konsep tersebut (termasuk konsep toleransi dan sikap toleran) adalah ditolak dan diharamkan oleh Islam. Lalu, bagaimana halnya dengan klaim sebagian umat Islam yang menyatakan bahwa surat Al-Kafirun, Al-Baqarah ayat 139 dan Asy-Syura ayat 15 ju-ga kasus ketika Rasulullah saw menerima dua orang utusan dari Musailamah merupakan dalil yang me-nunjukkan bahwa Islam mengakui konsep toleransi maupun sikap toleran terhadap kekufuran?
Berkenaan dengan surat Al-Kafirun yakni :
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ   (الكافرون : 6-1)
harus diperhatikan beberapa hal berikut :
1.      menurut riwayat mutawatir, surat tersebut keseluruhannya diturunkan di Kota Makkah (مَكِّيَةٌ) dan turun (سَبَبُ نُزُوْلِهَا) saat kaum kufar Quraisy berkata kepada Rasulullah saw :
كُفَّ عَنْ آلِهَتِنَا فَلاَ تَذْكُرْهَا بِسُوْءٍ , فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَاعْبُدْ آلِهَتَنَا سَنَةً وَنَعْبُدُ إِلَهَكَ سَنَةً (وقد أخرج ابن أبي حاتم من حديث ابن عباس)
Kedua realitas tersebut tidak boleh dipisahkan dari surat Al-Kafirun, sebab bila dipisahkan maka akan merusak pemikiran yang ditunjukkan (مَدْلُوْلُ الأَفْكَارِ) oleh surat itu sendiri.
2.      selama Nabi Muhammad saw 13 tahun dakwah di Kota Makkah maka yang pasti adalah bahwa beliau saw beserta para shahabat binaan beliau yang terhimpun di rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam berada sepernuhnya dalam cengkeraman sistem kufur (جَاهِلِيَّةٌ وَشَرٌّ) yang termanifestasikan dalam negara kufur (دَارُ الْكُفْرِ) Quraisy. Artinya saat itu (termasuk ketika turunnya surat Al-Kafirun) umat Islam masih menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat kufur, sehingga seluruh peratu-ran yang diberlakukan di dalamnya yakni sistema kufur jahiliyah bersifat mengikat dan memaksa seluruh anggota masyarakat termasuk kaum muslim. Akibatnya adalah kaum muslim sama sekali tidak memiliki kekuatan berupa kekuasaan apa pun untuk melakukan penolakan secara fisik, terle-bih hal itu belum diperintahkan oleh Allah SWT kepada mereka : لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ بَعْدُ . Hal itu nampak sekali saat penguasa kufur Quraisy mengajukan gagasan kompromistik :
كُفَّ عَنْ آلِهَتِنَا فَلاَ تَذْكُرْهَا بِسُوْءٍ , فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَاعْبُدْ آلِهَتَنَا سَنَةً وَنَعْبُدُ إِلَهَكَ سَنَةً
maka yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw adalah penolakan tegas (hitam putih) terhadap gagasan tersebut (sesuai dengan tuntutan dalam surat Al-Kafirun) dan bukan mela-kukan perlawanan secara fisik (perang).
3.      sodoran gagasan kaum kufar Quraisy : فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَاعْبُدْ آلِهَتَنَا سَنَةً وَنَعْبُدُ إِلَهَكَ سَنَةً dijawab tegas dengan surat Al-Kafirun (sesuai dengan perintah Allah SWT) dan itu berarti walau umat Islam masih dalam cengkeraman hegemoni kekufuran namun aksi kompromistik alias mentolerir kekufuran bersanding sejajar dengan Islam adalah haram dibiarkan dan bagian ayat لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ menunjukkan bahwa dalam kondisi umat Islam belum memiliki kekuasaan (negara) maka keadaan paling maksimal yang berhubungan dengan sikap pembiaran terhadap kekufuran adalah dengan cara menempatkan garis batas tegas di antara Islam dan kekufuran tersebut walau belum melakukan tindakan pemusnahan.
4.      dengan demikian pemikiran yang ditunjukkan oleh surat Al-Kafirun sama sekali bukan sebentuk pengakuan dari Islam terhadap konsep toleransi atau adanya keharusan dalam Islam untuk bersikap toleran terhadap kekufuran.

Pernyataan Allah SWT dalam surat Al-Baqarah 139 yakni :
قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ (البقرة : 139)
menunjukkan beberapa hal berikut :
1.      perintah (wajib) dari Allah SWT kepada umat Islam untuk melakukan penentangan dan penantang-an kepada semua klaim ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) di antaranya adalah hujjah mereka tentang Allah SWT sendiri : قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ. Juga terhadap klaim lainnya yakni anggapan mereka bahwa para Nabi sebelum Nabi Muhammad adalah Yahudi atau Nasrani :
أَمْ تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (البقرة : 140)
2.      kaum muslim wajib mempertelakan jatidiri dengan pasti bahwa mereka adalah komunitas manusia yang benar-benar berbeda dengan Yahudi maupun Nasrani sehubungan dengan ketaatan kepada se-mua ketentuan Allah SWT : وَنَحْنُ لَهُ مُخْلِصُونَ.
3.      bagian ayat وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ sama sekali bukan dalil yang menunjukkan adanya tuntutan untuk bersikap toleran terhadap kekufuran melainkan justru ungkapan penegasan bahwa setiap umat akan bertanggungjawab terhadap perbuatannya masing-masing dan kaum muslim tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan kaum Yahudi maupun Nasrani, walau kaum muslim membiarkan mereka tetap dalam agamanya masing-masing berhubung mereka bersedia membayar jizyah sehingga statusnya adalah sebagai اَهْلُ الذِّمَّةِ. Inilah yang ditunjukkan secara pasti oleh pernya-taan Allah SWT dalam ayat :
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (البقرة : 141)
Jadi bagian ayat لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ memastikan apa yang dimaksud oleh bagian ayat وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ. Kewajiban yang sama juga dituntut oleh pernyataan Allah SWT dalam ayat :
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (الشورى : 15)
yakni : (a) menyeru kaum Yahudi maupun Nasrani untuk masuk ke dalam Islam : فَلِذَلِكَ فَادْعُ, (b) umat Islam wajib istqamah dalam menjalankan perintah Allah SWT dan haram mempertimbangkan kepentingan naluriah kaum Yahudi maupun Nasrani : وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ, (c) umat Islam wajib memberlakukan semua ketentuan Islam terhadap kaum Yahudi maupun Nasrani disertai penegasan bahwa kaum muslim mengimani semua kitab yang telah diturunkan oleh Allah SWT sebelum Al-Quran : وَقُلْ ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ dan (d) bila kaum Yahudi dan Nasrani menolak seluruh seruan umat Islam maka berlakulah : لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ, yakni semua perbuatan mereka itu sepenuhnya menjadi tanggungjawab mereka sendiri dan tidak ada hubungan argumentatif apa pun antara mereka dengan umat Islam akibat perbuatan mereka itu. Jadi, ayat Asy-Syura 15 pun sama sekali tidak menunjukkan adanya tuntutan dalam Islam kepada kaum muslim untuk memberlakukan konsep toleransi atau supaya mereka bersikap toleran terhadap kekufuran.
Tentang kasus dua orang utusan Musailamah maka haditsnya adalah sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أُثَالٍ رَسُولَا مُسَيْلِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا أَتَشْهَدَانِ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ قَالَا نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ لَوْ كُنْتُ قَاتِلًا رَسُولًا لَقَتَلْتُكُمَا قَالَ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ فَمَضَتْ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ (رواه احمد)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa :
1.      Islam mengharamkan penguasa Islam (Khalifah) membunuh utusan dari kaum kufar maupun nega-ra kufur yang berstatus اَهْلُ الْحَرْبِيَّةِ فِعْلاً sekalipun : لَوْ كُنْتُ قَاتِلًا رَسُولًا لَقَتَلْتُكُمَا. Inilah juga yang dipahami oleh Abdullah bin Mas’ud sendiri dengan ungkapan : فَمَضَتْ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ.
2.      pengharaman membunuh utusan yang ditetapkan oleh Islam memastikan bahwa dalam Islam sejak awal telah ditetapkan adanya aspek اَلْحِصَانَةُ الدِّبْلُوْمَاسِيَّةُ alias kekebalan diplomatik yang di antaranya adalah ketentuan bahwa korps diplomatik (duta besar, konsul jenderal, para utusan dan lainnya) ti-dak boleh (haram) dibunuh sebahaya apa pun tindakan mereka terhadap Islam, umat Islam maupun Dunia Islam. Mereka hanya wajib diusir dari wilayah kekuasaan Khilafah dan hubungan diplomatik dengan negara yang bersangkutan secara otomatis putus, sehingga statusnya jadi اَهْلُ الْحَرْبِيَّةِ فِعْلاً.
3.      oleh karena itu, hadits ini pun sama sekali tidak menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap konsep toleransi atau bahwa Islam mewajibkan umat Islam untuk bersikap toleran terhadap keku-furan.
Kemudian ada satu hal lagi yang juga dianggap sebagai bentuk pengakuan terhadap konsep tole-ransi maupun sikap toleran, yaitu berkenaan dengan ucapan Imam Malik :

اَلتَّعَاوُنُ فِيْمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ وَالتَّسَامُحُ فِيْمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ

“bekerjasama dalam segala perkara yang disepakati dan saling membiarkan dalam segala perkara yang diperselisihkan”.

Imam Malik رَحِمَهُ اللهُ hidup pada abad ke-2 Hijriyah, yakni suatu masa yang di dalamnya begitu banyak para mujtahidin dari generasi تَابِعِيْ التَّابِعِيْنَ antara lain Imam Asy-Syafi’i atau Imam Ahmad bin Hambal. Realitas yang melekat pasti pada para mujtahidin adalah :

اَلرَّأْيُ الَّذِيْ يَسْتَنْبِطُهُ الْمُجْتَهِدُ هُوَ حُكْمُ اللهِ فِيْ حَقِّهِ هُوَ لاَ فِيْ حَقِّ غَيْرِهِ

atau konsep sikap interaksi pemikiran di antara para mujtahidin yang diajukan oleh Imam Asy-Syafi’i :

رَأْيِيْ صَوَابٌ وَاِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِيْ خَطَأٌ وَاِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ

Para mujtahidin tersebut hidup dalam naungan Khilafah sehingga pola hubungan di antara mereka selalu dalam ketentuan yang berkenaan dengan kewajiban seluruh umat Islam untuk senantiasa men-jaga keutuhan tatanan hidup mereka (عَصَاهُمْ) maupun jamaah mereka (جَمَاعَتُهُمْ), sesuai ketetapan yang telah dinyatakan oleh Rasulullah saw :
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Dengan demikian pemikiran yang disodorkan oleh Imam Malik tersebut tidak dapat dilepaskan dari situasi dan kondisi kehidupan Islami yang dijalankan oleh Khalifah serta wajib ditaati oleh setiap mus-lim di mana pun berada, termasuk para mujtahidin. Adalah keadaan faktual di antara para mujtahidin lebih sering terjadi perbedaan hasil ijtihad mereka daripada hasil ijtihad yang disepakati alias sama. Inilah realitas yang diwakili oleh ucapan Imam Malik : وَالتَّسَامُحُ فِيْمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ, yakni mereka telah berha-sil mengembangkan sikap saling membiarkan (التَّسَامُحُ) dalam perselisihan pendapat hasil ijtihad mereka masing-masing. Sedangkan untuk melaksanakan kewajiban mereka dalam menjaga keutuhan tatanan hidup mereka (عَصَاهُمْ) maupun jamaah mereka (جَمَاعَتُهُمْ), maka hanya satu aksi riil yang selalu mereka realisir yakni : اَلتَّعَاوُنُ فِيْمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ. Jadi, sikap saling membiarkan (التَّسَامُحُ) di antara para mujtahidin se-hubungan dengan perbedaan hasil ijtihad mereka (اِخْتِلاَفُ رَأْيِهِمْ مِنْ اِجْتِهَادِهِمْ) sama sekali berbeda dengan realitas yang diwakili oleh konsep toleransi maupun sikap toleran.


Tantangan umat Islam saat ini

Raja KSA Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud menyatakan : latar belakang muktamar ini adalah adanya keinginan kuat untuk menghadapi keterbelakangan, kebodohan di kalangan umat Islam dan untuk menampilkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan. Tantangan umat Islam saat ini antara lain adalah sikap berlebihan dalam beragama dan di antara bentuk dialog yang diinginkan adalah tidak menggunakan kekerasan. Jadi menurut sang Raja problematika utama umat Islam saat ini adalah : (a) keterbelakangan, (b) kebodohan, (c) nilai-nilai Islam belum mencerahkan, (d) umat Islam berlebihan dalam beragama dan (e) fenomena kekerasan.
Umat Islam dikatakan tengah mengalami keterbelakangan adalah bisa saja dikatakan demikian, bila pembanding atau standardnya adalah kemajuan teknologi, industri, perekonomian (kapitalistik), militer serta pola kehidupan negara-negara Barat (AS dan Eropa). Hal itu karena, tidak ada satu pun negara di Dunia Islam yang dapat disejajarkan dengan negara-negara di Dunia Barat tersebut. Namun, bila stempel keterbelakangan itu distandardisasikan kepada tingkat pemikiran, maka baik umat Islam maupun kaum kufar di Dunia Barat adalah sama saja yakni sama-sama terbelakang. Hal itu karena baik umat Islam di Dunia Islam maupun kaum kufar di Dunia Barat sepakat untuk menjadikan sekula-risme sebagai asas pemikiran mereka, padahal sekularisme adalah konsep jalan tengah atau kompro-mistik di antara dua kutub besar kepentingan naluriah manusia (kaum agamawan dan negarawan) di Eropa pada abad pertengahan. Artinya pemikiran umat Islam maupun kaum kufar sama-sama terbela-kang, karena asas yang mendasarinya bukan berasal dari Allah SWT yang mensifati اَلسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. Begitu juga berkaitan dengan realitas kebodohan memang benar umat Islam sangat bodoh bahkan menempati posisi sebagai رُءُوسًا جُهَّالًا sesuai dengan pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (رواه البخاري)
Hal itu karena seiring dengan semakin jarangnya eksistensi ulama sejati (خِيَارُ الْعُلَمَاءِ) :
أَلَا إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ الْعُلَمَاءِ وَإِنَّ خَيْرَ الْخَيْرِ خِيَارُ الْعُلَمَاءِ (رواه الدارمي)
maka yang ada secara pasti di tengah-tengah manusia adalah شِرَارُ الْعُلَمَاءِ alias رُءُوسًا جُهَّالًا yang berakibat dari hari ke hari umat Islam semakin bodoh sebab yang memberi fatwa (penjelasan) tentang berbagai problematika maupun realitas kehidupan kepada mereka adalah orang-orang tersebut.
Jadi, sebenarnya (اَلْحَقِيْقَةُ) tidak ada perbedaan sedikit pun antara umat Islam dengan para tokoh yang berkumpul di Kota Makkah : Raja KSA Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud, mantan Presiden Re-publik Islam Iran (RII) Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani, Grand Syaikh Al-Azhar : Prof. Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Sekjen رَابِطَةُ الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ : Syaikh Abdullah Abdul Muhsin At-Turuki maupun Mufti KSA : Abdul Aziz Asy-Syaikh, yakni sama-sama sebagai penyandang gelar “keterbelakangan” dan “kebodohan”, hanya bebeda baju dan kedudukan.
Nilai-nilai Islam belum mencerahkan, pastilah demikian bagi Raja KSA sebab asas pemikirannya dapat dipastikan bukan Islam beserta seluruh pemikiran cabang maupun turunannya. Asas pemikiran sang raja adalah sepenuhnya sekularisme beserta seluruh pemikiran cabang dan turunannya, sehingga saat dia berhadapan dengan atau berusaha memahami berbagai nilai atau pemikiran Islam maka bagi dia nilai-nilai maupun pemikiran Islam tersebut sama sekali belum bahkan tidak akan mencerahkan siapa pun termasuk dirinya. Konsep, nilai, pemikiran yang akan mencerahkan atau dianggap mencerah-kan oleh sang raja maupun siapa pun tentu saja adalah sekularisme dan berbagai konsep lainnya yang berasas kepada sekularisme : demokrasi dan kapitalisme. Inilah yang ditunjukkan dengan pasti oleh pernyataan sang raja sendiri bahwa : tantangan umat Islam saat ini antara lain adalah sikap berlebihan dalam beragama.
Ketika seseorang telah sepenuhnya menjadikan sekularisme sebagai asas pemikirannya maka se-cara otomatis dan pasti dia akan menilai dan menyimpulkan bahwa bila umat Islam menuntut dan ber-usaha supaya Islam dijadikan sebagai sistema kehidupan dalam berpolitik dan bernegara (sesuai de-ngan realitas Islam apa adanya) dalam institusi formal pelaksanaan yang juga ditetapkan dalam Islam sendiri (Khilafah), maka pemikiran dan upaya umat Islam tersebut adalah bukti adanya sikap berlebih-an dalam beragama. Hal itu karena, bagi yang bersangkutan agama hanyalah aturan spiritual ritual an-tara seorang manusia dengan Tuhannya dan haram serta tidak pantas dibawa atau diseret ke ranah poli-tik, arena publik maupun entitas negara. Inilah yang dimaksud oleh sang raja tentang sikap berlebihan umat Islam dalam beragama, yakni melebihi batas ketentuan yang telah digariskan oleh sekularisme bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, politik dan negara.
Sikap keras atau tindak kekerasan dianggap sebagai bentuk pasti dari tidak adanya toleransi atau tidak adanya sikap toleran dari satu pihak kepada pihak lainnya atau bahkan dari kedua belah pihak se-kaligus. Sebaliknya, kesediaan untuk berdialog adalah cerminan dari penerapan konsep toleransi atau adanya sikap toleran dari kedua belah pihak yang bersedia untuk dialog. Ketika Vatican membuka pin-tu Santo Petrus untuk berdialog dengan Dunia Islam, maka dianggap itulah bentuk penerapan yang benar dari konsep toleransi atau itulah sikap toleran Vatican terhadap Dunia Islam. Begitu juga ketika Makkah membuka pintu gerbang kotanya yang suci untuk berdialog dengan Dunia Kristiani, maka ke-sediaan tersebut dianggap sebagai realisasi konsep toleransi atau itulah bukti sikap toleran Makkah ter-hadap Dunia Kristiani. Seiring dengan kesediaan kedua pihak (Makkah dan Vatican) untuk bersikap to-leran satu sama lainnya, maka keadaan tersebut dianggap bahkan dipastikan sebagai satu-satunya meto-de atau jalan untuk menghilangkan sikap keras alias tindak kekerasan di antara kedua belahan dunia itu.
Apabila di Dunia Islam sudah tidak ada lagi sikap keras anti Dunia Kristiani alias Dunia Barat, begitu juga di Dunia Barat sudah tidak ada lagi sikap keras anti Dunia Islam, maka itulah keadaan yang akan mengantarkan seluruh dunia ke depan pintu gerbang kesejahteraannya. Benarkah anggapan atau hipotesis seperti itu?
Sebenarnya aksioma atau hipotesis atau anggapan tersebut tidak lebih dari refleksi kepentingan Dunia Barat untuk : (a) semakin mempertahankan hegemoni mereka atas Dunia Islam bahkan seluruh dunia dan (b) semakin menjauhkan umat Islam beserta Dunia Islam dari Islam yang diyakini bila antara Islam dan Dunia Islam telah bersatu utuh lagi maka hegemoni Dunia Islam atas Dunia Barat akan ter-ulang secara pasti untuk kedua kalinya serta sangat sulit bagi Dunia Barat untuk mengakhirinya lagi se-perti yang pernah mereka lakukan terhadap Khilafah Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret 1924 M. Oleh karena itu, Dunia Barat sangat berkeras untuk terus menerus “menggempur” Dunia Islam dengan tawa-ran berdialog serta bersama-sama menumbuh kembangkan sikap toleran di kedua belah pihak. Sekali lagi, demi tujuan inilah Dunia Barat dengan susah payah membangun jaring pengaman  bagi hegemo-ni mereka yang dibentuk dalam bangunan “segitiga dialog untuk toleransi” dengan tiga pilar penyang-ganya ditancapkan dengan kuat di New York, Jakarta dan Makkah.
Oleh karena itu, tantangan atau persoalan utama umat Islam saat ini adalah : (a) mendekonstruksi alias memusnahkan sekularisme dari posisinya sebagai asas pemikiran mereka dan (b) merekonstruksi alias membangun ulang pemikiran mereka dengan hanya menjadikan Islam beserta seluruh pemikiran cabang maupun turunannya sebagai satu-satunya asas. Selanjutnya, sangatlah mudah bagi umat Islam untuk segera menyelesaikan persoalan vital yang wajib secepatnya dikembalikan (اَلْقَضِيَّةُ الْمَصِيْرِيَّةُ ) yakni Khilafah Islamiyah yang diwajibkan selalu terwujud pasti dan dipertahankan dalam kehidupan mereka. Rasulullah saw menyatakan :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)


Agama samawi (دِيْنٌ سَمَوِيٌّ) dan peradaban (اَلْحَضَارَةُ)
Agama Yahudi yang bersumber dari Kitab Taurah dan agama Nasrani yang bersumber dari Kitab Injil, tidak diragukan lagi adalah agama langit alias agama yang berasal dari Allah SWT. Allah SWT telah memastikan bahwa baik Yahudi maupun Nasrani hanya berlaku bagi umat tertentu dan tidak ber-laku secara global bagi semua manusia. Agama Yahudi berlaku dan wajib dilaksanakan hanya oleh komunitas manusia yang dipimpin oleh Nabi Musa dan harun as. yakni Bani Israil. Agama Nasrani berlaku dan wajib dilaksanakan hanya oleh komunitas manusia yang dipimpin oleh Nabi Isa as. yang juga masih dari kalangan Bani Israil. Seiring dengan wafatnya Nabi Musa maka agama Yahudi pun berakhir masa berlakunya dan digantikan oleh agama Nasrani, lalu dengan wafatnya Nabi Isa maka berakhir pula masa berlakunya agama Nasrani. Kemudian Allah SWT mentaqdirkan Muhammad bin Abdillah sebagai Nabi dan Rasul terakhir bagi umat manusia di dunia hingga tibanya اَلسَّاعَةُ yang berarti bahwa agama Islam yang bersumber dari Al-Quran tidak akan pernah berakhir masa berlakunya hingga batas akhir kehidupan manusia di dunia, walau Nabi Muhammad saw sendiri telah wafat.
Oleh karena itu, memang benar setiap agama langit pasti membawa sejumlah pemahaman terha-dap kehidupan manusia di dunia alias menjadi sumber peradaban atau civilization atau اَلْحَضَارَةُ. Agama Yahudi membawa serta اَلْحَضَارَةُ الْيَهُوْدِيَّةُ, begitu juga agama Nasrani membawa serta اَلْحَضَارَةُ النَّصْرَانِيَّةُ. Namun masing-masing peradaban langit (اَلْحَضَارَةُ السَّمَوِيَّةُ) tersebut hanya berlaku bagi umatnya masing-masing dan tidak berlaku bagi umat lainnya. Sementara itu اَلْحَضَارَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ yang dibawa serta oleh aga-ma Islam selain berlaku hingga batas akhir kehidupan manusia di dunia juga berlaku bagi seluruh ma-nusia bukan hanya kaum muslim semata. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سبأ : 28)
Juga pernyataan Rasulullah saw sendiri :
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَيِّبَةً طَهُورًا وَمَسْجِدًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ صَلَّى حَيْثُ كَانَ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ بَيْنَ يَدَيْ مَسِيرَةِ شَهْرٍ وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ (رواه مسلم)

Realitas Peradaban Islam tersebut mewajibkan umat Islam dan seluruh manusia untuk hanya teri-kat kepada dan memberlakukan Peradaban Islam dalam sepanjang kehidupan mereka di dunia. Tidak ada keperluannya sama sekali bagi kaum muslim untuk mempertimbangkan peradaban lain di luar Islam, baik itu Peradaban Yahudi maupun Peradaban Nasrani karena keduanya sudah tidak berlaku lagi alias sudah tamat riwayat hidupnya di dunia. Begitu juga umat Islam tidak perlu dan tidak harus berma-in pikiran dengan Peradaban Barat Sekularistik yang saat ini mendominasi dunia, kecuali dalam rangka berusaha keras menumbangkan hegemoni peradaban tersebut dan menggantinya secara total dan utuh dengan Peradaban Islam. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Dengan demikian ketika mantan presiden RII Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani menyatakan : meng-apa perlu dialog sesama agama samawi? Hal itu karena agama-agama samawi menjiwai seluruh per-adaban manusia. Aktivitas dialog diharapkan dapat menghilangkan sikap fanatisme sebab fanatisme biasanya lahir dari kebodohan. Begitu juga sikap berlebihan dalam beragama biasanya muncul karena ketidaktahuan. Maka tidak ada keraguan lagi siapa sebenarnya jatidiri sosok sang mantan presi-den RII tersebut, yakni dia adalah sama dengan yang lainnya yang sama-sama hadir di Kota Makkah pada tanggal 4 hingga 7 Juni 2008, yaitu sama-sama sebagai antek kaum kufar (AS) sekaligus pengu-sung dan pembela kekufuran berbasis sekularisme : Peradaban Barat (demokrasi dan kapitalisme).
Mereka itu berkumpul di Kota Makkah Al-Mukarramah (tempat lahirnya Islam) sama sekali bu-kan untuk membela dan memuliakan Islam, umat Islam dan Dunia Islam, melainkan sebaliknya mereka berkumpul di kota tempat diangkatnya Muhammad bin Abdillah menjadi Nabi dan Rasul terakhir terse-but adalah untuk membela mati-matian sekaligus memuliakan kekufuran, kaum kufar dan Dunia Barat yang kufur. Lebih mengerikan lagi, hal itu mereka lakukan dengan mengatasnamakan Allah SWT dan Rasulullah saw yang seolah-olah bagi mereka baik Allah SWT maupun Rasulullah saw benar-benar te-lah memerintahkan alias mewajibkan mereka untuk melakukan hal tersebut. Allah SWT melarang  ka-um muslim untuk mengikuti dan mentaati mereka :
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (هود : 113)
Hal itu karena makna dari اَلرُّكُوْنُ adalah :
حَقِيْقَةُ الإِسْتِنَادِ وَالإِعْتِمَادِ وَالسُّكُوْنِ اِلَى الشَّيْءِ وَالرِّضَا بِهِ قَالَ قَتَادَةُ : مَعْنَاهُ لاَ تَوَدُّوْهُمْ وَلاَ تُطِيْعُوْهُمْ, اِبْنُ جُرَيْجٍ : لاَ تَمِيْلُوْا اِلَيْهِمْ, اَبُوْ الْعَالِيَةِ : لاَ تَرْضَوْا اَعْمَالَهُمْ وَقَالَ اِبْنُ زَيْدٍ : اَلرُّكُوْنُ هُنَا اَلإِدْهَانُ وَذَلِكَ اَلاَّ يُنْكِرَ عَلَيْهِمْ كُفْرَهُمْ (تفسير القرطبي)
“sikap riil mengaitkan diri, bertumpu/bersandar, merasa tenteram kepada sesuatu serta ridla kepada sesuatu tersebut. Qatadah berkata : maknanya (makna لَا تَرْكَنُوا)adalah janganlah kalian menyukai me-reka dan jangan pula mentaati mereka. Menurut Ibnu Juraij : janganlah kalian cenderung kepada me-reka. Menurut Abu Al-‘Aliyah : janganlah kalian meridlai perbuatan mereka dan Ibnu Zaid menyata-kan : makna اَلرُّكُوْنُ di sini adalah bersikap menyetujui sehingga yang bersangkutan tidak akan meng-ingkari kekufuran mereka”.

Lalu karena ada bagian ayat فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ yang merupakan ancaman sehingga bermakna celaan (اَلذََّمُّ), maka larangan tersebut bersifat pasti untuk ditinggalkan alias haram dilakukan.


Khatimah
Klaim sekelompok orang yang mengaku sebagai muslim, yakni Raja KSA Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud, mantan Presiden Republik Islam Iran (RII) Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani, Grand Syaikh Al-Azhar : Prof. Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Sekjen رَابِطَةُ الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ : Syaikh Abdul-lah Abdul Muhsin At-Turuki dan Mufti KSA : Abdul Aziz Asy-Syaikh bahwa Islam penuh toleransi yang berarti Islam mengakui dan bahkan mewajibkan umat Islam untuk memberlakukan konsep tole-ransi serta bersikap toleran terhadap kekufuran maupun kaum kufar adalah ungkapan dusta belaka yang sama sekali tidak ada faktanya dalam Islam (كَلاَمٌ كَذِبٌ لَيْسَ لَهُ وَاقِعٌ فِيْ الإِسْلاَمِ).
Mereka adalah orang-orang yang menyediakan dirinya untuk diperalat, dimanfaatkan dan diguna-kan oleh kaum kufar untuk memperdaya umat Islam langsung di jantung Dunia Islam sendiri : Makkah. Mereka adalah para penyeru kekufuran sekaligus penyokong dan pembela hegemoni kaum kufar de-ngan mengatasnamakan Islam, Rasulullah saw dan Allah SWT. Mereka adalah realitas manusia yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw :
دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه البخاري)


No comments:

Post a Comment