New York, Jakarta dan Makkah : jaring pengaman bagi kekufuran
Raja Kerajaan
Saudi Arabia (KSA) : Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud pada hari Rabu 4 Juni
2008 telah membuka Konferensi Islam Internasional untuk Dialog (مُعْتَمَرُ
الإِسْلاَمِ الْعَالَمُ لِلْحِوَارِ) yang di-adakan di
Kota Makkah dan telah berlangsung hingga hari Sabtu 7 Juni 2008. Raja KSA yang
didam-pingi oleh mantan Presiden Republik Islam Iran (RII) Ali Akbar Hasyemi
Rafsanjani, Grand Syaikh Al-Azhar : Prof. Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Sekjen
رَابِطَةُ
الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ : Syaikh Abdullah Abdul Muhsin At-Turuki
dan Mufti KSA : Abdul Aziz Asy-Syaikh, menyatakan : muktamar ini merupakan
kesempatan untuk menunjukkan nilai-nilai keislaman. Nilai keislaman yang penuh
dengan semangat toleransi, sikap bijak serta dialog atas dasar keadilan. Latar
belakang muktamar ini adalah adanya keinginan kuat untuk menghadapi
keterbelakangan, kebodohan di kalangan umat Islam dan untuk menampilkan
nilai-nilai Islam yang mencerahkan. Tantangan umat Islam saat ini antara lain
adalah sikap berlebihan dalam beragama dan di antara bentuk dialog yang
diinginkan adalah tidak menggu-nakan kekerasan.
Sementara itu
mantan presiden RII menyatakan : muktamar ini merupakan babak pendahuluan
dari gagasan melakukan dialog antar penganut agama, tapi yang tidak boleh
dilupakan adalah dialog harus dimulai di kalangan internal umat Islam. Mengapa
perlu dialog sesama agama samawi? Hal itu karena agama-agama samawi menjiwai
seluruh peradaban manusia. Aktivitas dialog diharapkan dapat menghilangkan
sikap fanatisme sebab fanatisme biasanya lahir dari kebodohan. Begitu juga
sikap berlebihan dalam beragama biasanya muncul karena ketidaktahuan. Gagasan
mengembangkan dialog ini merupakan satu langkah menuju keterbukaan, karena
perselisihan terutama di kalangan umat Islam, telah melemahkan umat Islam
sendiri. Islam memiliki potensi besar berdialog dengan pihak lain. Pertama,
jumlah penduduk muslim mencapai seperempat penduduk dunia. Kedua, 57 suara di
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) adalah umat Islam. Ketiga, hampir 75 persen
kekayaan alam berada di dunia Islam. Secara geopolitik juga cukup bagus, yakni memiliki pasar dan
produksi yang luar biasa. Jadi dialog harus berangkat dari sikap yang kuat dan
tidak boleh menyerah.
Nampak sekali
bahwa dialog antar agama atau antar umat beragama benar-benar
dijadikan tema pokok dan utama (اَلْمَوْضُوْعُ الأَسَاسِيُّ
الرَّئِيْسِيُّ) dalam membangun pola relasi di antara
berbagai komu-nitas pemeluk agama dalam realitas kehidupan dunia. Inilah jalinan
jaring yang telah mulai dibangun fondasinya paling tidak sejak tahun
2007, yakni ketika 138 orang ulama dan pemuka Islam dari 43 ne-gara mengirim
surat kepada Paus Benedictus XVI yang isinya adalah sebuah permohonan kepada
Paus untuk meningkatkan dialog antara muslim dan Kristen. Bangunan jaring
pengaman tersebut dilanjut-kan dengan digelarnya KTT OKI 2008 di Dakar
Senegal pada 13 hingga 14 Maret 2008 dan tema me-ngalami sedikit pergeseran ke
arah dialog politik dan rekonsiliasi sejarah antara Dunia Islam dengan
Dunia Barat. Proses pembangunan jaring pengaman terus
berlanjut dengan penyelenggaraan dialog antar pemeluk enam agama yakni Islam,
Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu, pada hari Rabu 14 Mei 2008 di
Kota New York Amerika Serikat (AS). Tujuan dialog tersebut adalah penekanan
ulang tentang toleransi dan perdamaian di lingkungan masyarakat dunia termasuk
New York pasca diguncang peristiwa 11 September 2001. Lalu di Jakarta
pada tanggal 22 Mei 2008 telah diadakan Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia
(MUI, PGI, KWI, Walubi, PHDI, Matakin) dan menurut Slamet Effendi Yusuf (Ketua
Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia) tujuannya adalah : untuk mengawal
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan menghasilkan sejumlah
rekomendasi antara lain tekad umat beragama di Indonesia untuk menciptakan
kehidupan beragama yang penuh toleransi dan tolong menolong. Para pemimpin
agama mencemaskan adanya skenario ke depan tentang hubungan agama yang mengarah
ke perbenturan peradaban. Pertemuan ini menolak skenario perbenturan itu,
menolak skenario bahwa agama adalah sumber konflik. Sampai di sini bangunan
telah semakin jelas yakni berbentuk The Big and Long Tunnel between New York
and Jakarta dan lebih disempurnakan lagi mulai tanggal 4 hingga 7 Juni 2008
dengan diselenggarakannya Konferensi Islam Internasional untuk Dialog (مُعْتَمَرُ
الإِسْلاَمِ الْعَالَمُ لِلْحِوَارِ) di Kota Makkah KSA.
Sehingga bangunan makin tampak cantik dan megah serta tidak lagi hanya sebagai
poros lurus melainkan telah utuh menjelma ja-di jaring pengaman bagi
kekufuran yang pilar penyangganya tertancap kuat di New York (AS) lalu
Jakarta (NKRI) dan Makkah (KSA).
Mengapa
harus New York, Jakarta dan Makkah? Kota New York sejak awal telah
direncana-kan menjadi tempat yang strategis bagi propaganda AS,
di sana diputuskan didirikannya Markas Besar Perserikatan Bangsa Bangsa, gedung
kembar World Trade Centre AS yang menjadi lambang pasti
ke-digjayaan negara adikuasa itu, di kota itu juga terdapat pusat transaksi
perdagangan Internasional : New York Stock Exchange/NYSE alias bursa
sahamnya AS yang lebih dikenal dengan Dow Jones maupun New York
Mercantile Exchange/NYMEX yakni pusat perdagangan berbagai komoditas
strategis dunia seperti minyak mentah atau crude oil/CO. New York
jugalah yang menjadi pusat penyambutan dan pe-rayaan tahun baru 1 Januari,
yakni tepatnya di Time Square serta akhirnya pada tanggal 11
September 2001 gedung kembar World Trade Centre
“dikorbankan” sebagai argumen legitimasi dan jastifikasi di-mulainya perang
melawan terorisme dunia yang dilancarkan oleh AS.
Jakarta memang
bukan kota metropolitan yang strategis dan berarti banyak bagi dunia dari aspek
ekonomi (baik moneter maupun fiskal), namun Jakarta dipastikan memiliki posisi
sangat strategis dari aspek geopolitis. Negara Indonesia dengan populasi lebih
dari 250 juta jiwa ternyata masih menempati posisi sebagai tempat tinggal dan
hidupnya umat Islam terbesar di dunia : lebih dari 200 juta orang,
sehingga menyandang predikat sebagai negara demokrasi muslim terbesar di
dunia. Walau demikian ternyata percaturan geopolitik Indonesia tidaklah
merata melainkan terpusat (lebih dari 80 persen) di kawasan Jakarta dan
sekitarnya : Jabodetabek. Insiden 1 Juni 2008 lalu di Monas yang diikuti secara
spontan dan otomatis oleh reaksi berbagai lapisan serta segmentasi di daerah
(baik Jawa maupun luar Jawa) memastikan bahwa Jakarta adalah pusat geopolitis
NKRI. Artinya bila Jakarta “telah terkendali” sepenuhnya secara geopolitis maka
otomatis NKRI dapat dikendalikan secara menyeluruh dan begitu pula sebaliknya.
Inilah realitas yang mendorong kaum kufar (AS) untuk menjadikan Jakarta sebagai
salah satu tempat menancapkan pilar bagi bangunan jaring pengaman
mereka.
Kaum kufar, baik itu pemain lama yakni Inggris maupun pemain baru
yaitu AS sangat memahami realitas strategis Kota Makkah bagi kaum muslim
sedunia. Muhammad bin Abdillah dilahirkan di Kota Makkah dan selanjutnya pada
usia 40 tahun diangkat menjadi Nabi dan Rasul terakhir juga masih di kota itu.
Islam sebagai risalah dunia penghabisan adalah untuk pertama kalinya diturunkan
di Makkah dan selama 13 tahun terus berangsur turun di kota itu. Begitu juga
sejumlah simbol maupun tempat Islami ada di Kota Makkah : Ka’bah, Masjid
Al-Haram, Shafa, Marwah, sumur Zam Zam, maqam Nabi Ibrahim as, Batu Hitam (اَلْحَجَرُ
الأَسْوَدُ) dan yang paling strategis adalah peristiwa monumental
ke-menangan besar (اَلْفَتْحُ الْكَبِيْرُ)
Negara Islam di bawah kepemimpinan رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ
Nabi Muhammad saw yang berpusat di Madinah atas negara kufur Quraisy juga
terjadi di Kota Makkah : فَتْحُ مَكَّةَ. Lebih dari itu, Kota
Makkah adalah tempat yang diberi keistimewaan sebagai kota suci (kaum kufar
juga menge-tahuinya) oleh Allah SWT seperti yang terungkap dari pernyataan
Rasulullah saw saat akan hijrah :
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِمَكَّةَ مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ وَلَوْلَا أَنَّ
قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ (رواه الترمذي)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ وَقَفَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحَزْوَرَةِ فَقَالَ عَلِمْتُ أَنَّكِ
خَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ الْأَرْضِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنَّ
أَهْلَكِ أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ
وَالْحَزْوَرَةُ عِنْدَ بَابِ الْحَنَّاطِينَ (رواه احمد)
Oleh karena itu, AS harus
memastikan dirinya dapat mengendalikan Kota Makkah dengan sempurna melalui para
penguasa negara KSA termasuk yang saat ini tengah berkuasa : Raja Abdullah bin
Abdil Aziz As-Sa’ud (عَامِلٌ مِنْ عُمَلاَءِهَا),
persis seperti yang telah dilakukan oleh pendahulu AS sendiri : Inggris, saat
membesarkan kakek buyut sang Raja (bandit padang pasir Jazirah Arab : As-Sa’ud
bin Abdil Aziz) untuk menjadi salah satu senjata mematikan yang dimiliki negara
tersebut bagi posisi dan eksistensi Khilafah Utsmaniyah.
Wal hasil,
tiga pilar jaring pengaman bagi hegemoni kaum kufar dan kekufuran tersebut
memang harus ditancapkan di New York (Dunia Barat) : sebagai titik kendali
getar dan dua pilar lainnya wajib di dunia Islam yakni di Makkah (pusat arah
pandangan umat Islam sedunia : مَرْكَزُ اَنْظَرِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ
الْعَالَمِ) dan di Jakarta (pusat populasi umat Islam terbesar di dunia).
Dengan demikian, pengendalian dunia Islam benar-benar dapat dilakukan dan
dipertahankan dengan sangat sempurna, tanpa ada celah sekecil apa pun yang akan
memberikan kesempatan bagi Dunia Islam untuk berbalik arah melepaskan diri
mereka dari hegemoni tersebut dan untuk selanjutnya berupaya kembali meraih
kejayaan dan kemulia-an seperti di masa lalu. Kondisi inilah yang akan selalu
dipertahankan dengan keras dan serius oleh kaum kufar (AS) supaya mereka tetap
dapat hidup tenang di dunia.
Realitas toleransi : mengapa
dipaksakan melekat pada Islam?
Seruan toleransi
telah dikumandangkan dari hampir seluruh penjuru dunia : Vatican, Dakar, New
York, Jakarta, Makkah. Seruan tersebut seluruhnya selalu dikaitkan dengan pola
relasi antara Islam dan agama lainnya (terutama Kristen) atau antara Dunia
Islam dan Dunia Barat. Lebih dari itu, diakui atau tidak, disadari atau tidak,
disengaja atau tidak, seruan untuk bersikap toleran atau mengembangkan dengan
serius pola hubungan yang penuh toleransi, senantiasa dialamatkan, diarahkan
dan ditujukan kepada Islam, umat Islam dan Dunia Islam. Nampak jelas tengah
dicitrakan sebuah opini global bahwa selama ini yang “tidak pandai”, “tidak
pernah” dan “tidak bisa” bersikap toleran atau tidak mampu mengembangkan
hubungan berbasis toleransi adalah Islam, umat Islam dan Dunia Islam. Dengan
kata lain tengah ada upaya paksa secara internasional untuk melekatkan
sikap toleran atau realitas tole-ransi kepada Islam. Lalu, mengapa
hal tersebut terjadi atau tengah diberlaku-paksakan?
Sikap toleran
secara umum adalah kebalikan dari sikap hitam putih yakni sikap menolak atau
me-nerima sesuatu (اَلشَّيْءُ) berdasarkan realitas
benar (صَوَابٌ)
atau salah (خَطَأٌ) dari sesuatu tersebut. Apabila sesuatu
itu adalah benar maka pasti akan diterima sepenuhnya dan bila sesuatu itu
adalah salah maka pasti akan ditolak sepenuhnya. Secara aqliy, realitas benar
dari sesuatu (وَصْفُ صَوَابِ الشَّيْءِ) dipastikan
berdasarkan dua kategori, yaitu : (a) sesuai dengan faktanya atau (b) penetapan
dari wahyu alias pem-beritahuan dari Allah SWT. Sehingga sikap toleran adalah
sikap yang tidak pernah memastikan realitas benar atau salahnya sesuatu,
melainkan selalu didasarkan kepada pertimbangan manfaat (useful) atau
bahaya (harmful) dari sesuatu itu sendiri. Jika pada realitas sesuatu
itu (وَصْفُ
الشَّيْءِ) didapati adanya manfaat yang wajib dipertimbangkan
demi untuk merealisir kepentingan tertentu, maka realitas
se-suatu tersebut akan dipastikan untuk diterima walaupun pada kenyataannya
adalah salah dari hasil standardisasi dengan menggunakan dua kategori
yang ada. Sebaliknya, apabila pada realitas sesuatu itu (وَصْفُ الشَّيْءِ)
didapati adanya bahaya yang wajib dipertimbangkan agar tidak
mengganggu atau men-jadi penghalang dalam upaya merealisir
kepentingan tertentu, maka realitas sesuatu tersebut akan di-pastikan
untuk ditolak walaupun pada kenyataannya adalah benar dari
hasil standardisasi dengan menggunakan dua kategori yang ada. Sehingga sangat
jelas dalam konsep toleransi atau sikap toleran yang menjadi standard adalah sama
sekali bukan aspek benar atau salah secara hakiki dari sesuatu,
melainkan relevansi realitas sesuatu itu dengan upaya merealisir
kepentingan tertentu. Sebagai con-toh : apa pun bagian dari suatu agama
atau yang dianggap sangat kental aroma keagamaannya adalah wajib ditolak atau
dijauhkan dari ruang publik maupun ranah politik kenegaraan menurut ketentuan
yang digariskan oleh sekularisme. Dengan kata lain adalah keputusan yang salah
(menurut sekularis-me) memasukkan atau menyertakan “sistema perekonomian
berbasis syariah Islam” alias ajaran agama Islam ke dalam penyelenggaraan
perekonomian negara RI, sebab benar-benar telah menyalahi katentu-an
sekularisme : agama harus dipisahkan dari politik dan negara. Namun,
mengapa pada faktanya justru “sistema perekonomian berbasis syariah Islam” itu
akhir-akhir ini (paling tidak sejak memasuki tahun 2000) banyak digunakan, baik
secara mandiri utuh (misal di Bank Muamalat Indonesia/BMI) maupun sebagai
divisi khusus dari bank konvensional tertentu (Mandiri Syariah, BCA Syariah,
BNI Syariah, Danamon Syariah atau Jakarta Islamic Index/JII alias bursa saham
syariah dan lain-lain)? Ja-wabannya adalah seperti yang telah sejak lama
diungkapkan oleh berbagai pihak (pemerintah maupun swasta) dan di antaranya
adalah Menkeu NKRI Dr. Sri Mulyani Indrawati : bahwa pada awalnya
pem-bentukan sejumlah instrumen perekonomian berbasis syariah adalah untuk
menarik para investor dari kawasan Timur Tengah agar mereka mau menanamkan
modalnya di Indonesia. Inilah salah satu ben-tuk implementasi konsep
toleransi atau sikap toleran dalam penyelenggaraan negara yang berbasis
se-kularisme dan hakikat ini tidak hanya berlaku pada lini perekonomian suatu
negara melainkan juga pa-da aspek lainnya : hukum, pendidikan, politik,
keagamaan, ketatanegaraan dan sebagainya.
Jadi, konsep
toleransi atau sikap toleran adalah sebuah pemikiran yang muncul atau
bersumber dari konsep sekularisme yang secara langsung (alias turunan
pertamanya) menjadi asas demokrasi da-lam pemerintahan dan kapitalisme dalam
perekonomian. Lalu, karena sekularisme mewajibkan agama dipisahkan sepenuhnya
dari ruang publik, politik dan negara, maka secara otomatis entitas agama dan
kehidupan keagamaan adalah hanya ada dan berlangsung pada tingkat individu
alias menjadi urusan pribadi masing-masing manusia sehubungan dengan Tuhannya
(spiritualisme ritualisme). Konsep ini pun mengharuskan pemegang otoritas
wilayah negara (pemerintah) : (a) untuk tidak mencampuri urus-an agama dan
keagamaan warga negaranya, baik internal suatu agama maupun antar agama, (b)
bersi-kap netral terhadap semua agama yang ada di wilayah kekuasaannya yakni menjaga
jarak yang sama terhadap seluruh agama tersebut dan (c) menempatkan semua agama
secara sama yakni sama-sama benar serta wajib mencegah segala bentuk gejala ke
arah munculnya (secara terbuka) klaim sebagai pa-ling benar dengan kata lain
negara wajib mengamankan dan mengawal pelaksanaan pluralisme.
Oleh karena
itu, bila ada suatu agama (misal Islam) diklaim sebagai paling benar sehingga
agama lainnya (Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu) adalah salah atau bila ada
upaya dari komunitas peme-luk agama tertentu (misal umat Islam) untuk melarang
atau menghalangi atau memusnahkan eksistensi agama tertentu yang lain maupun
suatu aliran atau sekte tertentu dari suatu agama (misal Ahmadiyah), maka
menjadi kewajiban otoritas penyelenggara negara (pemerintah) untuk mencegahnya
(bila masih dapat dicegah) atau memberlakukan sanksi hukum (law enforcement)
bila telah menjadi sebuah insiden (misalnya insiden 1 Juni 2008 di Monas).
Secara
induktif, realitas tersebut sangat dikhawatirkan terjadi pada tingkat global
yakni bukan hanya antar negara melainkan antar blok besar yang ada di dunia
yaitu Dunia Islam dan Dunia Barat. Mengapa begitu dikhawatirkan
terjadinya pelemahan implementasi konsep toleransi atau sikap tole-ran bahkan
mungkin terjadinya aksi mencerabut konsep tersebut dari pemberlakuannya selama
ini?
Kekhawatiran
tersebut pada kenyataannya muncul dari pihak Dunia Barat dan sama sekali bukan
dari Dunia Islam. Kekhawatiran Dunia Barat terhadap semakin melemahnya
pemberlakuan konsep to-leransi atau sikap toleran di Dunia Islam bersifat
historis dan ideologis. Realitas historis yang sangat memicu
ketakutan Dunia Barat tersebut adalah sehubungan dengan semakin meluasnya
penyebaran ide-ide maupun pemikiran yang dipastikan akan memunculkan kembali
kesadaran umat Islam sedunia tentang adanya bagian yang sangat diwajibkan oleh
Islam atas mereka yang telah lama hilang (minimal 84 tahun) dari realitas
kehidupan dunia yaitu : Khilafah sebagai satu-satunya كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ
اِسْلاَمِيٌّ. Lebih menakutkan lagi bagi Dunia Barat adalah bila umat Islam
sangat menyadari bahwa yang berusa-ha keras terus menerus untuk dan memang
akhirnya berhasil meruntuhkan Khilafah adalah Dunia Barat yang diwakili oleh
pemain lamanya : Inggris. Lalu secara ideologis : Dunia Barat
sangat mengkhawa-tirkan munculnya kembali kesadaran umat Islam sedunia bahwa
ideologi mereka yaitu Islam telah ter-bukti sebagai ideologi yang paling sesuai
dengan jatidiri kemanusiaan sekaligus layak serta handal di-jadikan sebagai
kepemimpinan ideologis dunia (اَلْقِيَادَةُ الْفِكْرِيَّةُ
الدَّوْلِيَّةُ) dan itu terbukti dengan bertahannya
pemberlakuan Ideologi Islam atas kehidupan dunia selama lebih dari 1300 tahun.
Bahkan andai tidak ada upaya terus menerus tak kenal lelah dari Dunia Barat
(Inggris) untuk menghentikan pemberlakuan Ideologi Islam atas dunia tersebut
dengan cara meruntuhkan Khilafah, maka sangat mungkin (hampir pasti) hingga
saat ini pun (awal abad ke 21) pemberlakuan Ideologi Islam masih bertahan.
Inilah yang
meniscayakan Dunia Barat untuk semakin gencar mempropagandakan pemberlakuan
konsep toleransi maupun sikap toleran secara konsisten kepada Dunia Islam dan
mereka begitu berani serta percaya diri untuk melakukan upaya tersebut, karena
mereka sadar benar bahwa “kunci rahasia” kekuatan Islam berikut Dunia Islam (اَلْمِفْتَاحُ
السِّرِّيُّ لِقُوَّةِ الإٍِْسْلاَمِ وَالْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ )
yakni Khilafah telah tidak ada lagi dari realitas kehidupan dunia. Lalu, apakah
Islam mengakui adanya konsep toleransi mau-pun sikap toleran terhadap kekufuran?
Seiring dengan
Islam menolak dan mengharamkan konsep sekularisme, maka secara
otomatis seluruh pemikiran cabang maupun turunan
dari konsep tersebut (termasuk konsep toleransi dan sikap toleran) adalah ditolak
dan diharamkan oleh Islam. Lalu, bagaimana halnya dengan klaim sebagian
umat Islam yang menyatakan bahwa surat Al-Kafirun, Al-Baqarah ayat 139 dan
Asy-Syura ayat 15 ju-ga kasus ketika Rasulullah saw menerima dua orang utusan
dari Musailamah merupakan dalil yang me-nunjukkan bahwa Islam mengakui konsep
toleransi maupun sikap toleran terhadap kekufuran?
Berkenaan dengan surat Al-Kafirun yakni :
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا
عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ
دِينِ (الكافرون : 6-1)
harus diperhatikan beberapa hal berikut :
1. menurut
riwayat mutawatir, surat tersebut keseluruhannya diturunkan di Kota Makkah (مَكِّيَةٌ)
dan turun (سَبَبُ نُزُوْلِهَا) saat kaum kufar
Quraisy berkata kepada Rasulullah saw :
كُفَّ عَنْ آلِهَتِنَا فَلاَ تَذْكُرْهَا
بِسُوْءٍ , فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَاعْبُدْ آلِهَتَنَا سَنَةً وَنَعْبُدُ إِلَهَكَ
سَنَةً (وقد أخرج ابن أبي حاتم من حديث ابن عباس)
Kedua realitas tersebut tidak
boleh dipisahkan dari surat Al-Kafirun, sebab bila dipisahkan maka akan merusak
pemikiran yang ditunjukkan (مَدْلُوْلُ الأَفْكَارِ)
oleh surat itu sendiri.
2. selama
Nabi Muhammad saw 13 tahun dakwah di Kota Makkah maka yang pasti adalah bahwa
beliau saw beserta para shahabat binaan beliau yang terhimpun di rumah Al-Arqam
bin Abi Al-Arqam berada sepernuhnya dalam cengkeraman sistem kufur (جَاهِلِيَّةٌ
وَشَرٌّ) yang termanifestasikan dalam negara kufur (دَارُ
الْكُفْرِ) Quraisy. Artinya saat itu (termasuk ketika turunnya surat
Al-Kafirun) umat Islam masih menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat
kufur, sehingga seluruh peratu-ran yang diberlakukan di dalamnya yakni sistema
kufur jahiliyah bersifat mengikat dan memaksa seluruh anggota masyarakat
termasuk kaum muslim. Akibatnya adalah kaum muslim sama sekali tidak memiliki
kekuatan berupa kekuasaan apa pun untuk melakukan penolakan secara fisik,
terle-bih hal itu belum diperintahkan oleh Allah SWT kepada mereka : لَمْ
نُؤْمَرْ بِذَلِكَ بَعْدُ . Hal itu nampak sekali saat penguasa kufur
Quraisy mengajukan gagasan kompromistik :
كُفَّ عَنْ آلِهَتِنَا فَلاَ تَذْكُرْهَا
بِسُوْءٍ , فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَاعْبُدْ آلِهَتَنَا سَنَةً وَنَعْبُدُ إِلَهَكَ
سَنَةً
maka yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah
saw adalah penolakan tegas (hitam putih) terhadap gagasan tersebut (sesuai
dengan tuntutan dalam surat Al-Kafirun) dan bukan mela-kukan perlawanan secara
fisik (perang).
3. sodoran
gagasan kaum kufar Quraisy : فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَاعْبُدْ آلِهَتَنَا
سَنَةً وَنَعْبُدُ إِلَهَكَ سَنَةً dijawab tegas dengan surat Al-Kafirun
(sesuai dengan perintah Allah SWT) dan itu berarti walau umat Islam masih dalam
cengkeraman hegemoni kekufuran namun aksi kompromistik alias mentolerir
kekufuran bersanding sejajar dengan Islam adalah haram dibiarkan dan bagian
ayat لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ menunjukkan bahwa dalam kondisi umat Islam
belum memiliki kekuasaan (negara) maka keadaan paling maksimal yang berhubungan
dengan sikap pembiaran terhadap kekufuran adalah dengan cara menempatkan garis
batas tegas di antara Islam dan kekufuran tersebut walau belum melakukan
tindakan pemusnahan.
4. dengan
demikian pemikiran yang ditunjukkan oleh surat Al-Kafirun sama sekali bukan
sebentuk pengakuan dari Islam terhadap konsep toleransi atau adanya keharusan
dalam Islam untuk bersikap toleran terhadap kekufuran.
Pernyataan
Allah SWT dalam surat Al-Baqarah 139 yakni :
قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا فِي اللَّهِ وَهُوَ
رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ وَلَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ وَنَحْنُ لَهُ
مُخْلِصُونَ (البقرة : 139)
menunjukkan beberapa hal berikut :
1. perintah
(wajib) dari Allah SWT kepada umat Islam untuk melakukan penentangan dan
penantang-an kepada semua klaim ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) di antaranya
adalah hujjah mereka tentang Allah SWT sendiri : قُلْ أَتُحَاجُّونَنَا
فِي اللَّهِ وَهُوَ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ. Juga terhadap klaim
lainnya yakni anggapan mereka bahwa para Nabi sebelum Nabi Muhammad adalah
Yahudi atau Nasrani :
أَمْ
تَقُولُونَ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ
وَالْأَسْبَاطَ كَانُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ
اللَّهُ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَتَمَ شَهَادَةً عِنْدَهُ مِنَ اللَّهِ وَمَا
اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (البقرة : 140)
2. kaum
muslim wajib mempertelakan jatidiri dengan pasti bahwa mereka adalah komunitas
manusia yang benar-benar berbeda dengan Yahudi maupun Nasrani sehubungan dengan
ketaatan kepada se-mua ketentuan Allah SWT : وَنَحْنُ لَهُ
مُخْلِصُونَ.
3. bagian
ayat وَلَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ sama sekali bukan
dalil yang menunjukkan adanya tuntutan untuk bersikap toleran terhadap
kekufuran melainkan justru ungkapan penegasan bahwa setiap umat akan
bertanggungjawab terhadap perbuatannya masing-masing dan kaum muslim tidak akan
dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan kaum Yahudi maupun Nasrani,
walau kaum muslim membiarkan mereka tetap dalam agamanya masing-masing
berhubung mereka bersedia membayar jizyah sehingga statusnya adalah sebagai اَهْلُ
الذِّمَّةِ. Inilah yang ditunjukkan secara pasti oleh pernya-taan Allah
SWT dalam ayat :
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ
وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (البقرة : 141)
Jadi bagian ayat لَهَا
مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا
يَعْمَلُونَ memastikan apa yang dimaksud oleh bagian ayat وَلَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ. Kewajiban yang sama
juga dituntut oleh pernyataan Allah SWT dalam ayat :
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ ءَامَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ
كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ
يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (الشورى : 15)
yakni : (a) menyeru kaum Yahudi maupun Nasrani untuk masuk
ke dalam Islam : فَلِذَلِكَ فَادْعُ, (b) umat Islam wajib
istqamah dalam menjalankan perintah Allah SWT dan haram mempertimbangkan
kepentingan naluriah kaum Yahudi maupun Nasrani : وَاسْتَقِمْ كَمَا
أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ, (c) umat Islam wajib
memberlakukan semua ketentuan Islam terhadap kaum Yahudi maupun Nasrani
disertai penegasan bahwa kaum muslim mengimani semua kitab yang telah
diturunkan oleh Allah SWT sebelum Al-Quran : وَقُلْ ءَامَنْتُ
بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ
dan (d) bila kaum Yahudi dan Nasrani menolak seluruh seruan umat Islam maka
berlakulah : لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ, yakni semua perbuatan mereka itu
sepenuhnya menjadi tanggungjawab mereka sendiri dan tidak ada hubungan
argumentatif apa pun antara mereka dengan umat Islam akibat perbuatan mereka
itu. Jadi, ayat Asy-Syura 15 pun sama sekali tidak menunjukkan adanya tuntutan
dalam Islam kepada kaum muslim untuk memberlakukan konsep toleransi atau supaya
mereka bersikap toleran terhadap kekufuran.
Tentang
kasus dua orang utusan Musailamah maka haditsnya adalah sebagai berikut :
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أُثَالٍ
رَسُولَا مُسَيْلِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ لَهُمَا أَتَشْهَدَانِ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ قَالَا نَشْهَدُ أَنَّ
مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ لَوْ كُنْتُ قَاتِلًا رَسُولًا
لَقَتَلْتُكُمَا قَالَ عَبْدُ اللَّهِ قَالَ فَمَضَتْ السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ
لَا تُقْتَلُ (رواه احمد)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa :
1. Islam
mengharamkan penguasa Islam (Khalifah) membunuh utusan dari kaum kufar maupun
nega-ra kufur yang berstatus اَهْلُ الْحَرْبِيَّةِ فِعْلاً
sekalipun : لَوْ كُنْتُ قَاتِلًا رَسُولًا لَقَتَلْتُكُمَا.
Inilah juga yang dipahami oleh Abdullah bin Mas’ud sendiri dengan ungkapan : فَمَضَتْ
السُّنَّةُ أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ.
2. pengharaman
membunuh utusan yang ditetapkan oleh Islam memastikan bahwa dalam Islam sejak
awal telah ditetapkan adanya aspek اَلْحِصَانَةُ
الدِّبْلُوْمَاسِيَّةُ alias kekebalan diplomatik yang di
antaranya adalah ketentuan bahwa korps diplomatik (duta besar, konsul jenderal,
para utusan dan lainnya) ti-dak boleh (haram) dibunuh sebahaya apa pun tindakan
mereka terhadap Islam, umat Islam maupun Dunia Islam. Mereka hanya wajib diusir
dari wilayah kekuasaan Khilafah dan hubungan diplomatik dengan negara yang
bersangkutan secara otomatis putus, sehingga statusnya jadi اَهْلُ
الْحَرْبِيَّةِ فِعْلاً.
3. oleh
karena itu, hadits ini pun sama sekali tidak menunjukkan adanya pengakuan Islam
terhadap konsep toleransi atau bahwa Islam mewajibkan umat Islam untuk bersikap
toleran terhadap keku-furan.
Kemudian ada satu hal lagi yang juga dianggap
sebagai bentuk pengakuan terhadap konsep tole-ransi maupun sikap toleran, yaitu
berkenaan dengan ucapan Imam Malik :
اَلتَّعَاوُنُ فِيْمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ وَالتَّسَامُحُ فِيْمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ
“bekerjasama dalam
segala perkara yang disepakati dan saling membiarkan dalam segala perkara yang
diperselisihkan”.
Imam Malik رَحِمَهُ
اللهُ hidup pada abad ke-2 Hijriyah, yakni suatu masa yang di
dalamnya begitu banyak para mujtahidin dari generasi تَابِعِيْ
التَّابِعِيْنَ antara lain Imam Asy-Syafi’i atau Imam
Ahmad bin Hambal. Realitas yang melekat pasti pada para mujtahidin adalah :
اَلرَّأْيُ الَّذِيْ يَسْتَنْبِطُهُ الْمُجْتَهِدُ هُوَ حُكْمُ اللهِ فِيْ حَقِّهِ هُوَ لاَ فِيْ حَقِّ غَيْرِهِ
atau konsep sikap interaksi
pemikiran di antara para mujtahidin yang diajukan oleh Imam Asy-Syafi’i :
رَأْيِيْ صَوَابٌ وَاِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِيْ خَطَأٌ وَاِنْ كَانَ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ
Para mujtahidin tersebut hidup
dalam naungan Khilafah sehingga pola hubungan di antara mereka selalu dalam
ketentuan yang berkenaan dengan kewajiban seluruh umat Islam untuk senantiasa
men-jaga keutuhan tatanan hidup mereka (عَصَاهُمْ)
maupun jamaah mereka (جَمَاعَتُهُمْ), sesuai ketetapan
yang telah dinyatakan oleh Rasulullah saw :
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى
رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ
فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Dengan
demikian pemikiran yang disodorkan oleh Imam Malik tersebut tidak dapat
dilepaskan dari situasi dan kondisi kehidupan Islami yang dijalankan oleh
Khalifah serta wajib ditaati oleh setiap mus-lim di mana pun berada, termasuk
para mujtahidin. Adalah keadaan faktual di antara para mujtahidin lebih sering
terjadi perbedaan hasil ijtihad mereka daripada hasil ijtihad yang disepakati alias
sama. Inilah realitas yang diwakili oleh ucapan Imam Malik : وَالتَّسَامُحُ
فِيْمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ, yakni mereka telah berha-sil mengembangkan sikap saling
membiarkan (التَّسَامُحُ) dalam perselisihan pendapat hasil ijtihad
mereka masing-masing. Sedangkan untuk melaksanakan kewajiban mereka dalam
menjaga keutuhan tatanan hidup mereka (عَصَاهُمْ)
maupun jamaah mereka (جَمَاعَتُهُمْ), maka hanya satu
aksi riil yang selalu mereka realisir yakni : اَلتَّعَاوُنُ فِيْمَا
اتَّفَقَ عَلَيْهِ. Jadi, sikap saling membiarkan (التَّسَامُحُ)
di antara para mujtahidin se-hubungan dengan perbedaan hasil ijtihad mereka (اِخْتِلاَفُ
رَأْيِهِمْ مِنْ اِجْتِهَادِهِمْ) sama sekali berbeda dengan realitas yang
diwakili oleh konsep toleransi maupun sikap toleran.
Tantangan umat Islam saat ini
Raja KSA
Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud menyatakan : latar belakang muktamar ini
adalah adanya keinginan kuat untuk menghadapi keterbelakangan, kebodohan di
kalangan umat Islam dan untuk menampilkan nilai-nilai Islam yang mencerahkan.
Tantangan umat Islam saat ini antara lain adalah sikap berlebihan dalam
beragama dan di antara bentuk dialog yang diinginkan adalah tidak menggunakan
kekerasan. Jadi menurut sang Raja problematika utama umat Islam saat ini
adalah : (a) keterbelakangan, (b) kebodohan, (c) nilai-nilai Islam belum
mencerahkan, (d) umat Islam berlebihan dalam beragama dan (e) fenomena
kekerasan.
Umat Islam dikatakan tengah mengalami keterbelakangan adalah bisa saja
dikatakan demikian, bila pembanding atau standardnya adalah kemajuan teknologi,
industri, perekonomian (kapitalistik), militer serta pola kehidupan
negara-negara Barat (AS dan Eropa). Hal itu karena, tidak ada satu pun negara
di Dunia Islam yang dapat disejajarkan dengan negara-negara di Dunia Barat
tersebut. Namun, bila stempel keterbelakangan itu distandardisasikan kepada tingkat
pemikiran, maka baik umat Islam maupun kaum kufar di Dunia Barat adalah sama
saja yakni sama-sama terbelakang. Hal itu karena baik umat Islam
di Dunia Islam maupun kaum kufar di Dunia Barat sepakat untuk menjadikan
sekula-risme sebagai asas pemikiran mereka, padahal sekularisme adalah konsep
jalan tengah atau kompro-mistik di antara dua kutub besar kepentingan naluriah
manusia (kaum agamawan dan negarawan) di Eropa pada abad pertengahan. Artinya
pemikiran umat Islam maupun kaum kufar sama-sama terbela-kang, karena asas yang
mendasarinya bukan berasal dari Allah SWT yang mensifati اَلسَّمِيْعُ
الْعَلِيْمُ. Begitu juga berkaitan dengan realitas kebodohan memang benar
umat Islam sangat bodoh bahkan menempati posisi sebagai رُءُوسًا
جُهَّالًا sesuai dengan pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ
انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (رواه
البخاري)
Hal itu karena seiring dengan
semakin jarangnya eksistensi ulama sejati (خِيَارُ الْعُلَمَاءِ)
:
أَلَا إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ
الْعُلَمَاءِ وَإِنَّ خَيْرَ الْخَيْرِ خِيَارُ الْعُلَمَاءِ (رواه الدارمي)
maka yang ada secara pasti di
tengah-tengah manusia adalah شِرَارُ الْعُلَمَاءِ alias رُءُوسًا
جُهَّالًا yang berakibat dari hari ke hari umat Islam semakin bodoh sebab
yang memberi fatwa (penjelasan) tentang berbagai problematika maupun realitas
kehidupan kepada mereka adalah orang-orang tersebut.
Jadi,
sebenarnya (اَلْحَقِيْقَةُ) tidak ada perbedaan
sedikit pun antara umat Islam dengan para tokoh yang berkumpul di Kota Makkah :
Raja KSA Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud, mantan Presiden Re-publik Islam Iran
(RII) Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani, Grand Syaikh Al-Azhar : Prof. Dr. Muhammad
Sayyid Thanthawi, Sekjen رَابِطَةُ الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ
: Syaikh Abdullah Abdul Muhsin At-Turuki maupun Mufti KSA : Abdul Aziz
Asy-Syaikh, yakni sama-sama sebagai penyandang gelar “keterbelakangan” dan
“kebodohan”, hanya bebeda baju dan kedudukan.
Nilai-nilai Islam belum mencerahkan, pastilah
demikian bagi Raja KSA sebab asas pemikirannya dapat dipastikan bukan Islam
beserta seluruh pemikiran cabang maupun turunannya. Asas pemikiran sang raja
adalah sepenuhnya sekularisme beserta seluruh pemikiran cabang dan turunannya,
sehingga saat dia berhadapan dengan atau berusaha memahami berbagai nilai atau
pemikiran Islam maka bagi dia nilai-nilai maupun pemikiran Islam tersebut sama
sekali belum bahkan tidak akan mencerahkan siapa pun termasuk dirinya. Konsep,
nilai, pemikiran yang akan mencerahkan atau dianggap mencerah-kan oleh sang
raja maupun siapa pun tentu saja adalah sekularisme dan berbagai konsep lainnya
yang berasas kepada sekularisme : demokrasi dan kapitalisme. Inilah yang
ditunjukkan dengan pasti oleh pernyataan sang raja sendiri bahwa : tantangan
umat Islam saat ini antara lain adalah sikap berlebihan dalam beragama.
Ketika seseorang telah sepenuhnya menjadikan
sekularisme sebagai asas pemikirannya maka se-cara otomatis dan pasti dia akan
menilai dan menyimpulkan bahwa bila umat Islam menuntut dan ber-usaha supaya
Islam dijadikan sebagai sistema kehidupan dalam berpolitik dan bernegara
(sesuai de-ngan realitas Islam apa adanya) dalam institusi formal pelaksanaan
yang juga ditetapkan dalam Islam sendiri (Khilafah), maka pemikiran dan upaya
umat Islam tersebut adalah bukti adanya sikap berlebih-an dalam beragama. Hal
itu karena, bagi yang bersangkutan agama hanyalah aturan spiritual ritual
an-tara seorang manusia dengan Tuhannya dan haram serta tidak pantas dibawa
atau diseret ke ranah poli-tik, arena publik maupun entitas negara. Inilah yang
dimaksud oleh sang raja tentang sikap berlebihan umat Islam dalam beragama,
yakni melebihi batas ketentuan yang telah digariskan oleh sekularisme bahwa
agama harus dipisahkan dari kehidupan, politik dan negara.
Sikap keras atau tindak kekerasan dianggap sebagai
bentuk pasti dari tidak adanya toleransi atau tidak adanya sikap toleran dari
satu pihak kepada pihak lainnya atau bahkan dari kedua belah pihak se-kaligus.
Sebaliknya, kesediaan untuk berdialog adalah cerminan dari penerapan konsep
toleransi atau adanya sikap toleran dari kedua belah pihak yang bersedia untuk
dialog. Ketika Vatican membuka pin-tu Santo Petrus untuk berdialog dengan Dunia
Islam, maka dianggap itulah bentuk penerapan yang benar dari konsep toleransi
atau itulah sikap toleran Vatican terhadap Dunia Islam. Begitu juga ketika
Makkah membuka pintu gerbang kotanya yang suci untuk berdialog dengan Dunia
Kristiani, maka ke-sediaan tersebut dianggap sebagai realisasi konsep toleransi
atau itulah bukti sikap toleran Makkah ter-hadap Dunia Kristiani. Seiring
dengan kesediaan kedua pihak (Makkah dan Vatican) untuk bersikap to-leran satu
sama lainnya, maka keadaan tersebut dianggap bahkan dipastikan sebagai
satu-satunya meto-de atau jalan untuk menghilangkan sikap keras alias tindak
kekerasan di antara kedua belahan dunia itu.
Apabila di Dunia Islam sudah tidak ada lagi sikap
keras anti Dunia Kristiani alias Dunia Barat, begitu juga di Dunia Barat sudah
tidak ada lagi sikap keras anti Dunia Islam, maka itulah keadaan yang akan
mengantarkan seluruh dunia ke depan pintu gerbang kesejahteraannya. Benarkah
anggapan atau hipotesis seperti itu?
Sebenarnya aksioma atau hipotesis atau anggapan
tersebut tidak lebih dari refleksi kepentingan Dunia Barat untuk : (a) semakin
mempertahankan hegemoni mereka atas Dunia Islam bahkan seluruh dunia dan (b)
semakin menjauhkan umat Islam beserta Dunia Islam dari Islam yang diyakini bila
antara Islam dan Dunia Islam telah bersatu utuh lagi maka hegemoni Dunia Islam
atas Dunia Barat akan ter-ulang secara pasti untuk kedua kalinya serta sangat
sulit bagi Dunia Barat untuk mengakhirinya lagi se-perti yang pernah mereka
lakukan terhadap Khilafah Utsmaniyah pada tanggal 3 Maret 1924 M. Oleh karena
itu, Dunia Barat sangat berkeras untuk terus menerus “menggempur” Dunia Islam
dengan tawa-ran berdialog serta bersama-sama menumbuh kembangkan sikap toleran
di kedua belah pihak. Sekali lagi, demi tujuan inilah Dunia Barat dengan susah
payah membangun jaring pengaman bagi hegemo-ni mereka yang dibentuk dalam
bangunan “segitiga dialog untuk toleransi” dengan tiga pilar penyang-ganya
ditancapkan dengan kuat di New York, Jakarta dan Makkah.
Oleh karena itu, tantangan atau persoalan utama umat Islam saat ini
adalah : (a) mendekonstruksi alias memusnahkan sekularisme dari posisinya
sebagai asas pemikiran mereka dan (b) merekonstruksi alias membangun ulang
pemikiran mereka dengan hanya menjadikan Islam beserta seluruh pemikiran cabang
maupun turunannya sebagai satu-satunya asas. Selanjutnya, sangatlah mudah bagi
umat Islam untuk segera menyelesaikan persoalan vital yang wajib secepatnya
dikembalikan (اَلْقَضِيَّةُ الْمَصِيْرِيَّةُ ) yakni Khilafah
Islamiyah yang diwajibkan selalu terwujud pasti dan dipertahankan dalam
kehidupan mereka. Rasulullah saw menyatakan :
كَانَتْ
بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه
البخاري)
مَنْ
أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ
عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Agama samawi (دِيْنٌ
سَمَوِيٌّ) dan peradaban (اَلْحَضَارَةُ)
Agama Yahudi
yang bersumber dari Kitab Taurah dan agama Nasrani yang bersumber dari Kitab
Injil, tidak diragukan lagi adalah agama langit alias agama yang berasal dari
Allah SWT. Allah SWT telah memastikan bahwa baik Yahudi maupun Nasrani hanya
berlaku bagi umat tertentu dan tidak ber-laku secara global bagi semua manusia.
Agama Yahudi berlaku dan wajib dilaksanakan hanya oleh komunitas manusia yang
dipimpin oleh Nabi Musa dan harun as. yakni Bani Israil. Agama Nasrani berlaku
dan wajib dilaksanakan hanya oleh komunitas manusia yang dipimpin oleh Nabi Isa
as. yang juga masih dari kalangan Bani Israil. Seiring dengan wafatnya Nabi
Musa maka agama Yahudi pun berakhir masa berlakunya dan digantikan oleh agama
Nasrani, lalu dengan wafatnya Nabi Isa maka berakhir pula masa berlakunya agama
Nasrani. Kemudian Allah SWT mentaqdirkan Muhammad bin Abdillah sebagai Nabi dan
Rasul terakhir bagi umat manusia di dunia hingga tibanya اَلسَّاعَةُ
yang berarti bahwa agama Islam yang bersumber dari Al-Quran tidak akan pernah
berakhir masa berlakunya hingga batas akhir kehidupan manusia di dunia, walau
Nabi Muhammad saw sendiri telah wafat.
Oleh karena itu, memang benar setiap agama langit pasti membawa
sejumlah pemahaman terha-dap kehidupan manusia di dunia alias menjadi sumber
peradaban atau civilization atau اَلْحَضَارَةُ.
Agama Yahudi membawa serta اَلْحَضَارَةُ الْيَهُوْدِيَّةُ,
begitu juga agama Nasrani membawa serta اَلْحَضَارَةُ النَّصْرَانِيَّةُ.
Namun masing-masing peradaban langit (اَلْحَضَارَةُ
السَّمَوِيَّةُ) tersebut hanya berlaku bagi umatnya
masing-masing dan tidak berlaku bagi umat lainnya. Sementara itu اَلْحَضَارَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ yang dibawa serta oleh aga-ma Islam selain
berlaku hingga batas akhir kehidupan manusia di dunia juga berlaku bagi seluruh
ma-nusia bukan hanya kaum muslim semata. Inilah yang dimaksudkan oleh
pernyataan Allah SWT :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ
بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سبأ : 28)
Juga pernyataan Rasulullah saw
sendiri :
أُعْطِيتُ
خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي
أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ
لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى
قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
أُعْطِيتُ
خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى
قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ وَأُحِلَّتْ لِيَ
الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ
طَيِّبَةً طَهُورًا وَمَسْجِدًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ صَلَّى
حَيْثُ كَانَ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ بَيْنَ يَدَيْ مَسِيرَةِ شَهْرٍ وَأُعْطِيتُ
الشَّفَاعَةَ (رواه مسلم)
Realitas Peradaban Islam tersebut mewajibkan umat
Islam dan seluruh manusia untuk hanya teri-kat kepada dan memberlakukan
Peradaban Islam dalam sepanjang kehidupan mereka di dunia. Tidak ada
keperluannya sama sekali bagi kaum muslim untuk mempertimbangkan peradaban lain
di luar Islam, baik itu Peradaban Yahudi maupun Peradaban Nasrani karena
keduanya sudah tidak berlaku lagi alias sudah tamat riwayat hidupnya di dunia.
Begitu juga umat Islam tidak perlu dan tidak harus berma-in pikiran dengan
Peradaban Barat Sekularistik yang saat ini mendominasi dunia, kecuali dalam
rangka berusaha keras menumbangkan hegemoni peradaban tersebut dan menggantinya
secara total dan utuh dengan Peradaban Islam. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Dengan
demikian ketika mantan presiden RII Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani menyatakan : meng-apa
perlu dialog sesama agama samawi? Hal itu karena agama-agama samawi menjiwai
seluruh per-adaban manusia. Aktivitas dialog diharapkan dapat menghilangkan
sikap fanatisme sebab fanatisme biasanya lahir dari kebodohan. Begitu juga
sikap berlebihan dalam beragama biasanya muncul karena ketidaktahuan. Maka
tidak ada keraguan lagi siapa sebenarnya jatidiri sosok sang mantan presi-den
RII tersebut, yakni dia adalah sama dengan yang lainnya yang sama-sama hadir di
Kota Makkah pada tanggal 4 hingga 7 Juni 2008, yaitu sama-sama sebagai antek
kaum kufar (AS) sekaligus pengu-sung dan pembela kekufuran berbasis sekularisme
: Peradaban Barat (demokrasi dan kapitalisme).
Mereka itu berkumpul di Kota Makkah Al-Mukarramah
(tempat lahirnya Islam) sama sekali bu-kan untuk membela dan memuliakan Islam,
umat Islam dan Dunia Islam, melainkan sebaliknya mereka berkumpul di kota
tempat diangkatnya Muhammad bin Abdillah menjadi Nabi dan Rasul terakhir
terse-but adalah untuk membela mati-matian sekaligus memuliakan kekufuran, kaum
kufar dan Dunia Barat yang kufur. Lebih mengerikan lagi, hal itu mereka lakukan
dengan mengatasnamakan Allah SWT dan Rasulullah saw yang seolah-olah bagi
mereka baik Allah SWT maupun Rasulullah saw benar-benar te-lah memerintahkan
alias mewajibkan mereka untuk melakukan hal tersebut. Allah SWT melarang ka-um muslim untuk mengikuti dan mentaati
mereka :
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا
لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (هود : 113)
Hal itu
karena makna dari اَلرُّكُوْنُ adalah :
حَقِيْقَةُ الإِسْتِنَادِ وَالإِعْتِمَادِ
وَالسُّكُوْنِ اِلَى الشَّيْءِ وَالرِّضَا بِهِ قَالَ قَتَادَةُ : مَعْنَاهُ لاَ
تَوَدُّوْهُمْ وَلاَ تُطِيْعُوْهُمْ, اِبْنُ جُرَيْجٍ : لاَ تَمِيْلُوْا
اِلَيْهِمْ, اَبُوْ الْعَالِيَةِ : لاَ تَرْضَوْا اَعْمَالَهُمْ وَقَالَ اِبْنُ
زَيْدٍ : اَلرُّكُوْنُ هُنَا اَلإِدْهَانُ وَذَلِكَ اَلاَّ يُنْكِرَ عَلَيْهِمْ
كُفْرَهُمْ (تفسير القرطبي)
“sikap riil mengaitkan diri, bertumpu/bersandar, merasa tenteram
kepada sesuatu serta ridla kepada sesuatu tersebut. Qatadah berkata : maknanya
(makna لَا
تَرْكَنُوا)adalah janganlah kalian menyukai me-reka dan jangan pula
mentaati mereka. Menurut Ibnu Juraij : janganlah kalian cenderung kepada
me-reka. Menurut Abu Al-‘Aliyah : janganlah kalian meridlai perbuatan mereka
dan Ibnu Zaid menyata-kan : makna اَلرُّكُوْنُ
di sini adalah bersikap menyetujui sehingga yang bersangkutan tidak akan
meng-ingkari kekufuran mereka”.
Lalu karena ada bagian
ayat فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ
أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ yang
merupakan ancaman sehingga bermakna celaan (اَلذََّمُّ), maka larangan tersebut bersifat pasti
untuk ditinggalkan alias haram dilakukan.
Khatimah
Klaim
sekelompok orang yang mengaku sebagai muslim, yakni Raja KSA Abdullah bin Abdil
Aziz As-Sa’ud, mantan Presiden Republik Islam Iran (RII) Ali Akbar Hasyemi
Rafsanjani, Grand Syaikh Al-Azhar : Prof. Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Sekjen
رَابِطَةُ
الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ : Syaikh Abdul-lah Abdul Muhsin At-Turuki
dan Mufti KSA : Abdul Aziz Asy-Syaikh bahwa Islam penuh toleransi
yang berarti Islam mengakui dan bahkan mewajibkan umat Islam untuk
memberlakukan konsep tole-ransi serta bersikap toleran terhadap kekufuran
maupun kaum kufar adalah ungkapan dusta belaka yang sama sekali tidak ada
faktanya dalam Islam (كَلاَمٌ كَذِبٌ لَيْسَ لَهُ وَاقِعٌ
فِيْ الإِسْلاَمِ).
Mereka adalah orang-orang yang menyediakan dirinya
untuk diperalat, dimanfaatkan dan diguna-kan oleh kaum kufar untuk memperdaya
umat Islam langsung di jantung Dunia Islam sendiri : Makkah. Mereka adalah para
penyeru kekufuran sekaligus penyokong dan pembela hegemoni kaum kufar de-ngan
mengatasnamakan Islam, Rasulullah saw dan Allah SWT. Mereka adalah realitas
manusia yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw :
دُعَاةٌ
عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ
بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ
جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ
جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ
تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
(رواه البخاري)
No comments:
Post a Comment