Saturday, January 19, 2013

ISLAM POLITIK : FAKTA ATAU KHAYALAN ?



Kebingungan merumuskan konsep
Analis sosial-politik : Zacky Khairul Umam dalam tulisannya yang berjudul “Agenda dan Trayek Islam Politik” menyatakan : simbol Islam tidak selamanya menjamin kebajikan (virtue) politik yang utama. Relevansi yang lestari dari tekanan besar atas Islam politik itu adalah upaya mengembalikan wahana politik sebagai bangunan untuk kemaslahatan publik tanpa memiliki kecenderungan untuk memutlakkan keyakinan teologis dalam praktek politik yang serbanisbi. Agenda yang terus diperbarui bukan terletak pada memperbesar the symbolic atau yang serbabau simbol dengan embel-embel eks-klusif, melainkan dengan memperteguh komitmen publik yang lebih luas. Yakni, melalui pertimbangan bahwa maksim teologis tidak bisa mengabsolutkan praktik kewarganegaraan. Ujian nasional bagi Islam politik adalah perubahan menuju kelenturan yang lebih baik. Ketertutupan sudah tidak laku lagi bagi masa depan demokratisasi, apalagi jika yang diperjuangkan terlalu absurd dan utopis. Sikap be-berapa partai politik (Islam) yang berusaha untuk mengubah paradigma partai menuju partai inklusif atau pluralis bersifat imperatif pada dirinya. Di situ ada ruang kosong politik yang sejatinya diisi gaya dan aksi yang memberdayakan, bukan memerdaya melalui ilusi-ilusi yang serbananti (after life poli-tic). Perlu diingat, kejenuhan masyarakat dengan Islam politik tertumpu pada jani-janji mesianik tanpa disertai penjemputan solusi yang riil. Islam politik tidak boleh kalah sekulernya dengan identitas se-lainnya, dengan anggapan bahwa ‘sekuler’ dijernihkan sebagai visi dan aksi yang sangat mementing-kan  kesejahteraan duniawi. Ukurannya sangat pragmatis, yakni menyentuh kebutuhan masyarakat yang nyata, perbaikan taraf kehidupan, dan membangun etos. Peluang antara partai Islam dan partai sekuler sama besarnya, tidak diukur dengan klaim primordial.
Nampak sangat jelas bahwa sang penulis adalah realitas seorang muslim yang sangat kebingung-an dalam merumuskan konsep Islam politik, partai politik Islam dan partai politik sekuler bahkan dia pun berusaha untuk memanipulir realitas sekuler atau sekularisme itu sendiri. Kondisi bingung itu se-makin nyata ketika dia :
a.       memetakan partai sekuler sebagai mempunyai sifat melentur yang lebih baik selama ini untuk me-rebut kantong-kantong massa yang jelas. Program yang ditawarkan konkret dan mampu mencium aroma kebutuhan masyarakat level bawah, terlepas dari apakah itu komoditas politik atau bukan.
b.       mengungkapkan fakta tentang Islam politik sebagai sulit memiliki sifat melentur, khususnya yang selama ini bersimbol dan mengusung agama sebagai asasnya. Islam politik bersifat eksklusif dan itu merupakan tabiat dasarnya entah dilihat sebagai kekhasan, identitas, maupun sebagai bentuk dakwah politik.
c.       memanipulir realitas sekuler lalu dianggap sebagai visi dan aksi yang sangat mementingkan kese-jahteraan duniawi.
d.      mengkonfrontir antara keyakinan teologis dengan praktik politik yakni mendudukan keyakinan teologis sebagai mutlak dan praktik politik sebagai serbanisbi.
Hal lain dari pernyataan penulis yang harus dipetakan realitasnya adalah partai politik Islam eksklusif, partai politik Islam inklusif, ketertutupan, masa depan demokratisasi, absurditas, utopia dan klaim pri-mordial.
Islam politik atau political Islam atau اَلإِسْلاَمُ السِّيَاسِيُّ, secara bahasa bermakna Islam yang bersifat politik atau Islam yang bergerak/berjalan/berkiprah di arena politik. Itu berarti ada juga Islam non po-litik atau اَلإِسْلاَمُ غَيْرُ السِّيَاسِيِّ yang bermakna Islam yang tidak bersifat politik atau Islam yang tidak berge-rak/berjalan/berkiprah di arena politik. Lalu, benarkah realitas tersebut ada atau melekat pada Islam?
Pelekatan sifat politik dan non politik kepada Islam tentu saja hanya sebagai pertama : akibat dari suatu sebab yaitu gara-gara Islam ditempatkan di bawah naungan atau dalam koridor konsep sekularis-me. Sekularisme adalah satu-satunya konsep kompromistik buatan manusia yang bertanggungjawab atas terjadinya realitas dunia yang tersegregasikan menjadi wilayah otoritas Tuhan dan wilayah otori-tas negara/politik dan keduanya wajib dipisahkan dengan tegas dan pasti. Sehingga saat Islam dipaksa berada dalam wadah berbasis sekularisme maka mau tidak mau harus mengikuti dan tunduk kepada seluruh sistema pokok, cabang maupun turunannya yang di antaranya adalah Islam harus kehilangan identitas alias jatidirinya sendiri (وَصْفُ وَاقِعِهِ الْحَقِيْقِيُّ) yang tidak pernah mengenal pemisahan seperti itu. Kedua : akibat dari penerapan realitas politik berbasis demokrasi kepada realitas Islam sehingga Islam terbelah menjadi Islam yang berpolitik yakni ikut serta atau berkiprah dalam kekuasaan (negara) dan Islam yang spiritualistik ritualistik yakni yang menjauhkan diri (عُزْلَةً) dari kekuasaan (negara). Sangat disayangkan, malapetaka besar (disasters atau اَلْمُصِيْبَةُ الْكَبِيْرَةُ) yang terjadi atas Islam itu ternyata ditim-pakan dengan sadar oleh kaum muslim sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, maka akan semakin parah dan berkarat kenyataan mengerikan dan menyedihkan tersebut kecuali bila umat Islam kembali menata pemikiran mereka yakni dengan mengganti secara utuh asas berpikir mereka dari sekularisme menjadi Islam saja. Hal itu karena Islam adalah اَلدِّيْنُ وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ dan realitas itu ditunjukkan secara pasti oleh pernyataan Rasulullah saw :
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)
yang pada bagian : وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ memastikan bahwa realitas Islam adalah bersatunya اَلدِّيْنُ وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ.
Partai politik Islam atau Islamic political party atau حِزْبٌ سِيَاسِيٌّ اِسْلاَمِيٌّ bermakna suatu partai po-litik yang bersifat Islam atau partai politik yang asasnya adalah Islam. Realitas ini merupakan akibat selanjutnya dari adanya Islam politik dan Islam non politik yang dengan kata lain muncul disebabkan oleh penyebab yang sama yakni penempatan Islam secara paksa di bawah naungan sekularisme. Apa-kah Islam menetapkan syariah yang berhubungan dengan partai politik Islam atau yang mengharuskan partai politik berasaskan Islam?
Politik atau politics atau اَلسِّيَاسَةُ adalah bagian dari syariah Islamiyah seperti halnya shalat wajib lima waktu, shaum Ramadlan, jihad, dakwah, ekonomi dan lainnya. Islam menetapkan realitas politik secara khas dan berbeda dengan ideologi lain, yakni :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“mengurus kepentingan rakyat atau umat baik dalam maupun luar negeri dengan menggunakan hu-kum syara (Islam)”.
Realitas politik (وَاقِعُ السِّيَاسَةِ) tersebut ditunjukkan secara pasti oleh sejumlah dalil yaitu :
عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)

عَنْ الْحَسَنِ قَالَ أَتَيْنَا مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ نَعُودُهُ فَدَخَلَ عَلَيْنَا عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (رواه البخاري)

عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ (رواه البخاري)
Lalu, bagaimana halnya dengan partai politik dalam Islam? Islam menetapkan status hukum keberada-an partai politik adalah wajib kifayah (فَرْضُ الْكِفَايَةِ) yakni dalam kehidupan Islami (Khilafah) wajib ada satu partai politik yang aktivitasnya juga ditetapkan dalam Islam. Allah SWT menyatakan :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
yang menunjukkan :
1.       أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ itu aktivitasnya yang wajib dilakukan oleh mareka adalah اَلدَّعْوَةُ : يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ dan politik (اَلسِّيَاسَةُ) : وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ. Hal itu karena makna اَلسِّيَاسَةُ dalam اَلْقَامُوْسُ الْمُحِيْطُ adalah :
وَسُسْتَ الرَّعِيَّةَ سِيَاسَةً أَمَرْتَهَا وَنَهَيْتَهَا
“anda menjalankan politik kepada rakyat berarti anda memerintah dan melarang mereka”.
Sehingga aktivitas وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ itu adalah dapat dipastikan sebagai aktivitas politik (أَعْمَالٌ سِيَاسِيَّةٌ) di dalam negeri Khilafah, baik itu yang berasal : (a) dari Khalifah kepada rak-yat (تَنْفِيْذُ وَتَطْبِيْقُ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَى الرَّعِيَّةِ), (b) dari rakyat kepada Khalifah, Wali, ‘Amil (مُحَاسَبَةُ الْحُكَّامِ) dan (c) dari sesama rakyat secara horizontal (اَلنُّصْحُ بَيْنَ الرَّعِيَّةِ بَعْضُهُمْ بَعْضًا).
2.       bagian وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ adalah pujian (اَلْمَدْحُ) sehingga keberadaan partai politik dalam Islam ada-lah wajib dan karena ada اَلْقَرِيْنَةُ berupa huruf  مِنْ (مِنْكُمْ) yang bermakna لِتَبْعِيْضٍ (sebagian dari seluruh) maka status hukumnya adalah fardu kifayah, yaitu wajib ada minimal satu partai politik.
3.       oleh karena itu, partai politik dalam Islam bukan sebuah partai yang berasas Islam melainkan :
يَكُوْنُ الْحِزْبُ السِّيَاسِيُّ فِيْ الإِسْلاَمِ هُوَ حِزْبًا سِيَاسِيًّا مَبْدَأَهُ الإِسْلاَمَ وَتَكُوْنُ أَحْكَامُهُ وَأَفْكَارُهُ وَأَرَاءُهُ مَأْخُوْذَةً مِنَ الإِسْلاَمِ
“partai politik dalam Islam adalah sebuah partai politik yang ideologinya Islam dan hukum-hu-kumnya, pemikiran-pemikirannya serta ide-idenya diambil dari Islam”.
4.       jadi dalam kehidupan Islami (Khilafah) tidak pernah ada partai politik Islam alias sebuah partai politik yang bersifat Islam atau berasas Islam. Partai politik Islam hanya ada dan tumbuh dalam kehidupan berbasis sekularisme seperti saat ini dan keberadaannya merupakan antithesis dari partai politik sekuler misalnya partai politik nasionalis. Bentuk partai politik dalam kehidupan Islami ada-lah partai politik alias الْحِزْبُ السِّيَاسِيُّ, tidak ada embel-embel lain.

Partai politik sekuler adalah partai politik yang bersifat sekuler atau berasas sekularisme dan saat ini di negara mana pun, semua partai politik yang ada adalah otomatis partai politik sekuler walau tidak menyandang nama/embel-embel/simbol sekularisme secara terbuka. Hal itu karena semua negara yang ada di dunia saat ini menggunakan dan memberlakukan sekularisme sebagai asasnya. Partai De-mokrat dan Partai Republik di Amerika Serikat (AS), Partai Konservatif dan Partai Buruh di Inggris dan Australia, Partai Ibu Pertiwi dan Partai Refah di Turki, Partai UMNO di Malaysia, maupun PDIP, PKS, PBB, Golkar, PPP, Hanura, PDS dan lainnya di Indonesia, adalah contoh riil dari realitas partai politik sekuler walau semuanya tidak menempelkan identitas sekuler secara vulgar. Jadi, partai politik yang ada di suatu negara akan secara pasti mengikuti sistema yang menjadi asas dan diberlakukan da-lam negara tersebut. Saat ini (minimal telah berlangsung 84 tahun), sekularisme adalah satu-satunya sistema yang menjadi asas semua negara yang ada dan secara riil diberlakukan dalam penyelenggaraan pemerintahannya (demokrasi). Sehingga tidak ada satu pun partai politik yang bukan sekuler di dunia, baik itu Dunia Barat maupun Dunia Islam.
Sekularisme adalah sebuah realitas yang tidak hanya poluler saat ini melainkan juga secara sadar diterapkan dan diberlakukan oleh semua manusia, baik di Dunia Islam maupun Dunia Barat. Konsep tersebut bahkan dicantumkan dengan tegas dalam hampir semua konstitusi negara-negara maju seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, Australia dan lainnya. Sekularisme memiliki realitas yang pasti yaitu : Give The God His Right and Give The Emperor His Right Too yang berarti pemisahan secara tegas antara kehidupan politik dan kenegaraan dengan kehidupan keagamaan. Kemudian dari realitas tersebut muncul dua kelompok besar manusia dalam suatu negara : negarawan (رِجَالُ الدَّوْلَةِ) dan agamawan atau rohaniwan (رِجَالُ الدِّيْنِ اَوْ اَلرُّوْحَنِيُّوْنَ). Lalu, perjalanan negara berbasis sekularisme mana pun selama lebih dari 84 tahun menunjukkan dengan pasti bahwa implementasi dan aktualisasi konsep tersebut tetap konsisten bahkan selalu disertai upaya-upaya yang sangat seirus untuk semakin mengokohkan pember-lakuannya terutama di Dunia Islam. Seluruhnya menjadi dalil dan bukti tak terbantahkan bahwa seku-larisme sama sekali bukan sistema yang berwujud visi dan aksi yang sangat mementingkan kesejah-teraan duniawi, melainkan konsep yang meniadakan dan menolak peran Tuhan (agama) dalam kehidu-pan politik serta negara (فَصْلُ الدِّيْنِ عَنِ السِّيَاسَةِ وَالدَّوْلَةِ). Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Zacky Khairul Umam tengah “mengigau dan meracau” ketika dia berusaha memanipulir realitas sekularisme dengan menganggapnya sebagai visi dan aksi yang sangat mementingkan kesejahteraan duniawi.
Partai politik Islam eksklusif dan partai politik Islam inklusif adalah dua bentuk partai politik dalam negara berbasis sekularisme yang keduanya sama-sama menjadikan Islam sebagai sifat realitas partai atau menjadikan Islam sebagai asas kedua bentuk partai tersebut. Perbedaannya adalah pada as-pek cakupan keanggotaan partai, yakni partai politik Islam eksklusif hanya menerima anggota dari kalangan umat Islam begitu juga pengurus partai adalah hanya umat Islam. Sedangkan partai politik Islam inklusif sama sekali tidak mempersoalkan latar belakang agama para anggota maupun pengurus partai sendiri. Inilah yang sangat nyata terjadi di Indonesia yakni PAN, PKB, PKS adalah contoh pasti dari bentuk partai politik Islam inklusif, sedangkan PPP dan PBB adalah contoh riil dari partai politik Islam eksklusif. Lalu, bagaimana realitas partai politik dalam negara Khilafah?
Khilafah Islamiyah ditentukan eksistensinya oleh keberadaan Khalifah, yaitu jika Khalifah ada akibat telah dibai’at oleh kaum muslim عَلَى رِضَاهُمْ وَاخْتِيَارِهِمْ عَلَى الْعَمَلِ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِهِ, maka Khilafah dipastikan terwujud sempurna. Sebaliknya bila Khalifah tidak ada (oleh sebab apa pun) maka dapat dipastikan Khilafah pun sirna. Sumber dalil dalam Islam (Al-Quran dan As-Sunnah) menunjukkan bah-wa Khalifah itu memiliki dua jenis syarat yakni syarat pengangkatan (شُرُوْطُ الإِنْعِقَادِ) dan syarat keutama-an (شُرُوْطُ الأَفْضَلِيَةِ). Syarat pengangkatan seseorang supaya sah menjadi Khalifah melalui metode bai’at adalah مُسلِمًا, ذَكَرًا, بَالِغًا, عَاقِلاً, عَدْلاً, حُرًّا, قَادِرًا. Syarat pengangkatan tersebut wajib dipenuhi seluruhnya dan sekaligus menjadi syarat keberlangsungan (شُرُوْطُ الإِسْتِمْرَارِيَّةِ) kedudukannya sebagai Khalifah. Adapun syarat keutamaan adalah syarat yang akan lebih utama bila dipenuhi namun bila tidak pun maka sama sekali tidak menjadikan seseorang sebagai tidak sah jadi Khalifah : مُجْتَهِدًا, شَجَاعًا, قُرُشِيًّا, هَاشِمِيًّا, عَلَوِيًّا. Ini-lah realitas Khalifah dalam negara Khilafah yakni dia wajib seorang muslim dan memikul kewajiban untuk memberlakukan hukum syara : تَنْفِيْذُ وَتَطْبِيْقُ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ. Dengan demikian, partai politik dalam Islam wajib eksklusif yakni hanya beranggota umat Islam dengan pengurus partai yang juga hanya dari kalangan kaum muslim. Hal itu karena tugas utama partai politik dalam Islam adalah berupa aktivitas اَلدَّعْوَةُ dan اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ yang bila objeknya adalah para penguasa Islam (Khalifah, Mu’a-win Tafwidl, Wali, ‘Amil) maka aktivitas اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ itu riilnya adalah مُحَاسَبَةُ الْحُكَّامِ (mengoreksi para penguasa) dalam tugasnya memberlakukan hukum syara. Artinya realitas objek akti-vitas ini adalah Islam (hukum syara), umat Islam dan para penguasa Islam, sehingga haram diserahkan kepada kaum kufar walau dari kalangan اَهْلُ الذِّمَّةِ sekalipun.
Ketertutupan alias eksklusifitas dan demokratisasi adalah dua hal yang memang saling berhu-bungan erat secara bertentangan (kontradiktif) dalam negara yang berbasis sekularisme dengan demo-krasi sebagai sistem pemerintahannya. Ketertutupan bermakna menolak semua yang tidak sama dan ti-dak sejenis atau hanya menerima semua yang sama dan yang sejenis. Sebagai contoh : Islam adalah tertutup (eksklusif) karena menolak semua hal yang berasal dari luar Islam bahkan semua hal yang ber-asal dari luar tersebut dikategorikan oleh Islam sebagai kufur. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Contoh lainnya adalah partai politik dalam Islam wajib tertutup (eksklusif) yakni hanya menerima ang-gota dari umat Islam dengan pengurus yang juga hanya dari umat Islam. Lalu, adakah keadaan sebalik-nya dari ketertutupan atau eksklusifitas yakni keterbukaan atau inklusifitas?
Dikatakan bahwa sekularisme dan demokrasi adalah bersifat inklusif alias terbuka, yakni sama sekali tidak pernah menolak apa pun dan dari mana pun, melainkan selalu menerima apa pun dan dari mana pun. Bila realitas ini dipastikan sebagai jatidiri dari sekularisme dan demokrasi, maka dapat di-pastikan pula bahwa sekularisme dan demokrasi adalah tertutup alias eksklusif dan sama sekali tidak terbuka alias inklusif. Hal itu karena realitas sekularisme dan demokrasi yang tidak pernah menolak apa pun dan dari mana pun serta selalu menerima apa pun dan dari mana pun, adalah ketentuan alias aturan main alias the rule of game or the rule of law dari kedua sistema tersebut. Sehingga saat sekula-risme dan demokrasi mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan aturan mainnya sendiri maka itu artinya sekularisme dan demokrasi adalah tertutup alias eksklusif karena hanya mengikuti dan melaksanakan aturan mainnya sendiri dan menolak untuk mengikuti dan melaksanakan aturan main dari luar. Seba-liknya bila sekularisme dan demokrasi tidak hanya mengikuti dan melaksanakan aturan mainnya sen-diri melainkan bersedia menerima aturan main dari luar dirinya maka barulah dapat dikatakan dengan pasti bahwa sekularisme dan demokrasi adalah terbuka alias inklusif.
Pada faktanya, sekularisme dan demokrasi pasti tidak akan pernah bersedia untuk menerima atu-ran main dari luar, misalnya dari Islam, bahkan pasti akan menolaknya dengan tegas. Hal yang sama terjadi pada Islam yakni Islam pasti akan menolak aturan main dari luar dirinya, misalnya dari sekula-risme dan demokrasi. Memang jika diposisikan secara konfrontatif dan dipantau secara supervisial ma-ka seolah hanya Islam yang tertutup, sedangkan sekularisme dan demokrasi adalah terbuka. Namun bila dikembalikan kepada the rule of game or the rule of law masing-masing, maka baik itu Islam mau-pun sekularisme dan demokrasi adalah sama-sama tertutup (eksklusif). Jadi standard untuk memutus-kan apakah sesuatu itu terbuka ataukah tertutup adalah ditaati atau tidak ditaatinya the rule of game or the rule of law dari sesuatu itu sendiri. Bila the rule of game or the rule of law dari sesuatu tersebut ditaati secara penuh maka sesuatu itu pasti bersifat tertutup, sebaliknya jika the rule of game or the rule of law dari sesuatu tersebut tidak ditaati (walau hanya sebagiannya) maka sesuatu itu dipastikan bersifat terbuka. Sehingga yang akan menjadi jaminan 100 persen bagi masa depan eksistensi sesuatu adalah ditaati atau tidak ditaatinya the rule of game or the rule of law dari sesuatu itu sendiri. Jika the rule of game or the rule of law dari sesuatu itu ditaati dengan penuh maka masa depan eksistensi sesua-tu tersebut terjamin 100 persen. Sebaliknya jika the rule of game or the rule of law dari sesuatu itu ti-dak ditaati (walau hanya sebagiannya) maka tidak ada jaminan apa pun bagi masa depan eksistensi se-suatu tersebut. Tegasnya, masa depan eksistensi sekularisme, demokrasi dan demokratisasi sepenuhnya ditentukan oleh ditaatinya the rule of game or the rule of law dari sekularisme dan demokrasi sendiri. Begitu juga masa depan eksistensi Islam sepenuhnya ditentukan oleh ditaatinya the rule of game or the rule of law dari Islam sendiri. Dari sinilah, demi supaya masa depan eksistensi Islam tidak terjamin se-dikitpun maka dilakukanlah dengan sangat gencar propaganda agar umat Islam segera merekonstruksi Islam. Provokasi destruktif tersebut disertai juga dengan argumen penguat yakni rekonstruksi Islam itu harus dilakukan supaya Islam bisa tampil modern serta dapat diterima oleh semua pihak terutama Du-nia Barat.
Absurditas dan utopia dapat dipahamkan maknanya melalui penggunaannya dalam pernyataan Zacky : … apalagi jika yang diperjuangkan terlalu absurd dan utopis. Maknanya adalah yang diper- juangkan itu tidak jelas, tidak pasti, tidak konkrit dan hampir sebagai khayalan. Jadi absurditas adalah ketidakjelasan, ketidakpastian dan ketidak konkritan sedangkan utopia adalah keadaan yang hampir khayalan atau imajinasi.
Memang benar, ketika umat Islam yang hidup dalam negara berbasis sekularisme (misal Indone-sia) membentuk sebuah partai politik Islam maka dapat dipastikan akan mengalami atau paling tidak sangat sulit menghindari absurditas dan utopia, bila mereka konsisten terhadap sifat atau asas Islam yang melekat pada partai mereka itu. Kondisi tersebut akan serta merta hilang jika umat Islam merubah paradigma partai mereka yakni walau dengan tetap mempertahankan Islam sebagai sifat atau asas par-tai, namun yang selain itu (hukum-hukum, pemikiran-pemikiran dan ide-ide) sepenuhnya telah meng-ikuti atau mengambil dari sekularisme atau yang muncul dari sekularisme. Inilah yang digagas atau di-usulkan oleh Zacky dalam pernyataannya : sikap beberapa partai politik (Islam) yang berusaha untuk mengubah paradigma partai menuju partai inklusif atau pluralis bersifat imperatif pada dirinya atau dalam pernyataan : Islam politik tidak boleh kalah sekulernya dengan identitas selainnya.
Partai politik Islam yang dibentuk dalam sistema sekularisme (atau turunannya) dan lalu hidup pada rentang waktu yang lama di dalamnya, maka akan mengalami :
a.       pertumbuhan, perkembangan, fleksibilitas, akseptabilitas, reliabilitas bahkan sangat mungkin men-jadi pemain utama, bila semua hukum, pemikiran dan ide yang diberlakukan dalam partai serta di-perjuangkan dalam realitas kehidupan, seluruhnya telah berganti dengan yang berasal dari sekula-risme. Lalu, aspek yang masih dikaitkan dengan Islam hanyalah tinggal nama atau asas atau sifat dan itu pun layaknya stempel formalitas hanya untuk menunjukkan kepada kaum muslim bahwa partai tersebut masih sebagai partai Islam.
b.       kemunduran, kegagalan, kebangkrutan, kekakuan, keterkucilan bahkan kematiannya, bila tetap te-guh bertahan dalam identitas Islam dan itu tidak hanya pada aspek nama, asas, sifat melainkan juga untuk seluruh hukum, pemikiran dan ide yang diberlakukan dalam partai serta diperjuangkan dalam realitas kehidupan.
Kedua keadaan partai politik Islam yang saling bertolak belakang tersebut memastikan bahwa Islam berikut seluruh hukum, pemikiran dan ide yang ada di dalamnya adalah bersifat tertutup (eksklusif) bahkan berada dalam posisi جَامِعًا مَانِعًا, yaitu menerima atau menghimpun semua hal/perkara yang ter-bukti berasal dari Islam sendiri (جَامِعًا) dan menolak semua hal/perkara yang terbukti bukan berasal dari Islam (مَانِعًا). Hal ini sekaligus menjadi dalil aqliy atau bukti yang argumentatif bahwa Islam adalah se-buah ideologi yang diametral dengan ideologi lainnya (kapitalisme, sosialisme) baik itu aspek aqidah maupun sistema yang terpancar dari aqidah itu sendiri. Kemudian, bila Islam telah berhasil dipaksa un-tuk menanggalkan statusnya yang جَامِعًا مَانِعًا, walau hal itu baru berlaku atau terjadi pada bagian yang sa-ngat sedikit, maka sejak itulah Islam telah mengalami kehancuran :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ (المائدة : 51)
Klaim primordial adalah suatu klaim yang didasarkan kepada atau muncul dari entitas agama, etnis, ras, suku bahkan ketuhanan. Sebagai contoh : ketika umat Islam menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar menurut Allah SWT (إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ), maka opini seperti itu ada-lah klaim primordial. Inilah yang dimaksudkan oleh Zacky saat menyatakan : peluang antara partai Islam dan partai sekuler sama besarnya, tidak diukur dengan klaim primordial. Artinya, walau Islam memiliki klaim berasal dari Allah SWT (Tuhan), namun klaim tersebut tidak akan pernah menjadikan partai politik Islam memiliki peluang atau kesempatan yang lebih besar untuk berhasil serta diterima oleh publik daripada partai politik sekuler. Klaim primordial adalah diharamkan oleh sekularisme, ka-rena pemikiran cabang dari konsep itu memastikan bahwa sekularisme tidak akan pernah dan tidak boleh mempermasalahkan atau mempertimbangkan aspek primordial terutama agama dan ketuhanan.
Wal hasil, inilah fakta gamblang yang menunjukkan dan mewakili realitas sebagian sangat besar umat Islam yang selalu kisruh dan bingung dalam menetapkan keputusan (حُكْمُ الْعَقْلِ) terhadap hakikat sesuatu (حَقِيْقَةُ الشِّيْءِ اَيْ مَاهِيَتُهُ) termasuk merumuskan konsep tentang jatidiri partai politik Islam, partai politik sekuler, Islam politik, sekularisme, kehidupan Islam, kehidupan kufur, realitas eksklusif, realitas inklusif dan sebagainya, seperti yang dialami oleh Zacky Khairul Umam.


Islam politik (اَلإِسْلاَمُ السِّيَاسِيُّ) : fakta atau khayalan?
Realitas Islam (وَاقِعُ الإِسْلاَمِ) yang terbukti secara empirik lebih dari 1300 tahun oleh perjalanan ke-manusiaan itu sendiri, sehingga tidak mungkin diingkari oleh kaum kufar sekalipun adalah :
1.       اَلإِسْلاَمُ هُوَ الدِّيْنُ وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ, yakni terhimpun di dalamnya secara utuh antara الدِّيْنُ dan الدَّوْلَةُ. Jatidiri Islam ini bukan hanya telah terimplementasikan riil dalam realitas kehidupan yang panjang namun bahkan bersifat harus diberlakukan abadi yaitu sepanjang lifecycle (دَوْرُ الْحَيَاةِ) belum berakhir. An-dai umat Islam yang hidup di awal abad ke-20 tetap menyadari kewajiban yang paling utama mere-ka yaitu mempertahankan keberlangsungan Khilafah (اَلْخِلاَفَةُ الْعُثْمَانِيَّةُ), maka walau sekuat apa pun Kerajaan Inggris berusaha untuk meruntuhkannya adalah dapat dipastikan hingga hari ini pun Khi-lafah masih ada dan dapat terus menaungi perjalanan kemanusiaan di dunia.
2.       Islam walaupun memang دِيْنٌ سَمَوِيٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ namun bukan berarti Islam itu adalah agama ketuhanan (دِيْنٌ اِلَهِيٌّ). Islam adalah agama untuk manusia dan yang melaksanakannya juga adalah mereka bu-kan Allah SWT, artinya Islam sama sekali bukan agama spiritualistik ritualistik seperti yang disifati oleh agama-agama lainnya di luar Islam.
3.       Islam tidak pernah mengenal konsep sekularisme dan bahkan bersifat diametral dengan konsep kompromistik rekaan manusia berbasis kepentingan naluriahnya tersebut. Artinya Islam tidak akan pernah terpecah menjadi Islam politik (اَلإِسْلاَمُ السِّيَاسِيُّ) dan Islam non politik (اَلإِسْلاَمُ غَيْرُ السِّيَاسِيِّ), hingga kapan pun Islam itu hanya satu yakni Islam saja. Akibatnya, dalam kehidupan masyarakat Islam (Khilafah) tidak pernah ada pengelompokkan manusia sebagai kaum agamawan (رِجَالُ الدِّيْنِ) dan grup negarawan (رِجَالُ الدَّوْلَةِ), melainkan seluruh umat Islam berstatus sama yakni sebagai pe-ngemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.

Oleh karena itu, baik dalil aqliy maupun dalil naqliy memastikan bahwa Islam politik adalah se-kedar khayalan atau imajinasi seseorang yang : (a) tidak pernah mengetahui atau tidak mau peduli alias tidak mau tahu tentang realitas Islam sepanjang 1300 tahun lebih, (b) terkungkung oleh stigma keputus asaan terhadap fakta mutakhir keadaan Dunia Islam secara makro dan individu muslim secara mikro di tengah keterpesonaannya oleh Dunia Barat secara makro dan individu kafir secara mikro dan (c) telah setuju 100 persen dengan konsep sekularisme dan sepakat untuk menjadikannya sebagai The New God for Humanity yang seluruh aspek kehidupannya berbasis kepentingan naluriah semata.

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (التوبة : 32)

No comments:

Post a Comment