Kebingungan merumuskan konsep
Analis
sosial-politik : Zacky Khairul Umam dalam tulisannya yang berjudul “Agenda dan
Trayek Islam Politik” menyatakan : simbol Islam tidak selamanya menjamin
kebajikan (virtue) politik yang utama. Relevansi yang lestari dari tekanan
besar atas Islam politik itu adalah upaya mengembalikan wahana politik sebagai
bangunan untuk kemaslahatan publik tanpa memiliki kecenderungan untuk
memutlakkan keyakinan teologis dalam praktek politik yang serbanisbi. Agenda
yang terus diperbarui bukan terletak pada memperbesar the symbolic atau yang
serbabau simbol dengan embel-embel eks-klusif, melainkan dengan memperteguh
komitmen publik yang lebih luas. Yakni, melalui pertimbangan bahwa maksim
teologis tidak bisa mengabsolutkan praktik kewarganegaraan. Ujian nasional bagi
Islam politik adalah perubahan menuju kelenturan yang lebih baik. Ketertutupan
sudah tidak laku lagi bagi masa depan demokratisasi, apalagi jika yang
diperjuangkan terlalu absurd dan utopis. Sikap be-berapa partai politik (Islam)
yang berusaha untuk mengubah paradigma partai menuju partai inklusif atau
pluralis bersifat imperatif pada dirinya. Di situ ada ruang kosong politik yang
sejatinya diisi gaya dan aksi yang memberdayakan, bukan memerdaya melalui
ilusi-ilusi yang serbananti (after life poli-tic). Perlu diingat, kejenuhan
masyarakat dengan Islam politik tertumpu pada jani-janji mesianik tanpa
disertai penjemputan solusi yang riil. Islam politik tidak boleh kalah sekulernya
dengan identitas se-lainnya, dengan anggapan bahwa ‘sekuler’ dijernihkan
sebagai visi dan aksi yang sangat mementing-kan
kesejahteraan duniawi. Ukurannya sangat pragmatis, yakni menyentuh
kebutuhan masyarakat yang nyata, perbaikan taraf kehidupan, dan membangun etos.
Peluang antara partai Islam dan partai sekuler sama besarnya, tidak diukur
dengan klaim primordial.
Nampak
sangat jelas bahwa sang penulis adalah realitas seorang muslim yang sangat
kebingung-an dalam merumuskan konsep Islam politik, partai politik Islam
dan partai politik sekuler bahkan dia pun berusaha untuk memanipulir
realitas sekuler atau sekularisme itu sendiri. Kondisi bingung itu se-makin
nyata ketika dia :
a.
memetakan
partai sekuler sebagai mempunyai sifat melentur yang lebih baik selama ini
untuk me-rebut kantong-kantong massa yang jelas. Program yang ditawarkan
konkret dan mampu mencium aroma kebutuhan masyarakat level bawah, terlepas dari
apakah itu komoditas politik atau bukan.
b.
mengungkapkan
fakta tentang Islam politik sebagai sulit memiliki sifat melentur, khususnya
yang selama ini bersimbol dan mengusung agama sebagai asasnya. Islam politik
bersifat eksklusif dan itu merupakan tabiat dasarnya entah dilihat sebagai
kekhasan, identitas, maupun sebagai bentuk dakwah politik.
c.
memanipulir
realitas sekuler lalu dianggap sebagai visi dan aksi yang sangat mementingkan
kese-jahteraan duniawi.
d. mengkonfrontir antara
keyakinan teologis dengan praktik politik yakni mendudukan keyakinan teologis
sebagai mutlak dan praktik politik sebagai serbanisbi.
Hal lain dari pernyataan penulis yang harus dipetakan
realitasnya adalah partai politik Islam eksklusif, partai politik Islam
inklusif, ketertutupan, masa depan demokratisasi, absurditas, utopia dan klaim
pri-mordial.
Islam
politik
atau political Islam atau اَلإِسْلاَمُ
السِّيَاسِيُّ, secara bahasa bermakna Islam
yang bersifat politik atau Islam yang bergerak/berjalan/berkiprah di
arena politik. Itu berarti ada juga Islam non po-litik atau اَلإِسْلاَمُ
غَيْرُ السِّيَاسِيِّ yang bermakna Islam yang tidak
bersifat politik atau Islam yang tidak berge-rak/berjalan/berkiprah di
arena politik. Lalu, benarkah realitas tersebut ada atau melekat pada
Islam?
Pelekatan sifat politik dan non politik
kepada Islam tentu saja hanya sebagai pertama : akibat
dari suatu sebab yaitu gara-gara Islam ditempatkan di bawah naungan atau
dalam koridor konsep sekularis-me. Sekularisme adalah satu-satunya konsep
kompromistik buatan manusia yang bertanggungjawab atas terjadinya realitas
dunia yang tersegregasikan menjadi wilayah otoritas Tuhan dan wilayah
otori-tas negara/politik dan keduanya wajib dipisahkan dengan tegas dan
pasti. Sehingga saat Islam dipaksa berada dalam wadah berbasis sekularisme
maka mau tidak mau harus mengikuti dan tunduk kepada seluruh sistema
pokok, cabang maupun turunannya yang di antaranya adalah Islam harus
kehilangan identitas alias jatidirinya sendiri (وَصْفُ
وَاقِعِهِ الْحَقِيْقِيُّ) yang tidak pernah mengenal pemisahan
seperti itu. Kedua : akibat dari penerapan realitas
politik berbasis demokrasi kepada realitas Islam sehingga Islam terbelah
menjadi Islam yang berpolitik yakni ikut serta atau berkiprah dalam
kekuasaan (negara) dan Islam yang spiritualistik ritualistik yakni yang
menjauhkan diri (عُزْلَةً) dari
kekuasaan (negara). Sangat disayangkan, malapetaka besar (disasters atau
اَلْمُصِيْبَةُ
الْكَبِيْرَةُ) yang terjadi atas Islam itu
ternyata ditim-pakan dengan sadar oleh kaum muslim sendiri. Seiring dengan
berjalannya waktu, maka akan semakin parah dan berkarat kenyataan mengerikan
dan menyedihkan tersebut kecuali bila umat Islam kembali menata pemikiran
mereka yakni dengan mengganti secara utuh asas berpikir mereka dari sekularisme
menjadi Islam saja. Hal itu karena Islam adalah اَلدِّيْنُ
وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ dan realitas itu ditunjukkan secara
pasti oleh pernyataan Rasulullah saw :
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى
الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ
النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ
الصَّلَاةُ (رواه احمد)
yang pada bagian : وَأَوَّلُهُنَّ
نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
memastikan bahwa realitas Islam adalah bersatunya اَلدِّيْنُ
وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ.
Partai
politik Islam
atau Islamic political party atau حِزْبٌ سِيَاسِيٌّ
اِسْلاَمِيٌّ bermakna suatu partai po-litik
yang bersifat Islam atau partai politik yang asasnya adalah Islam.
Realitas ini merupakan akibat selanjutnya dari adanya Islam politik dan Islam
non politik yang dengan kata lain muncul disebabkan oleh penyebab yang sama
yakni penempatan Islam secara paksa di bawah naungan sekularisme. Apa-kah
Islam menetapkan syariah yang berhubungan dengan partai politik Islam atau yang
mengharuskan partai politik berasaskan Islam?
Politik atau politics atau اَلسِّيَاسَةُ adalah bagian dari syariah Islamiyah seperti halnya shalat
wajib lima waktu, shaum Ramadlan, jihad, dakwah, ekonomi dan lainnya. Islam
menetapkan realitas politik secara khas dan berbeda dengan ideologi lain, yakni
:
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ
الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ
“mengurus kepentingan rakyat atau umat baik dalam maupun luar
negeri dengan menggunakan hu-kum syara (Islam)”.
Realitas politik (وَاقِعُ
السِّيَاسَةِ) tersebut ditunjukkan secara pasti
oleh sejumlah dalil yaitu :
عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا
حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه
البخاري)
عَنْ الْحَسَنِ قَالَ أَتَيْنَا مَعْقِلَ بْنَ
يَسَارٍ نَعُودُهُ فَدَخَلَ عَلَيْنَا عُبَيْدُ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ
أُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ
وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (رواه البخاري)
عَنْ الْحَسَنِ أَنَّ
عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ زِيَادٍ عَادَ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي
مَاتَ فِيهِ فَقَالَ لَهُ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ
رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
(رواه البخاري)
Lalu, bagaimana halnya dengan
partai politik dalam Islam? Islam menetapkan status hukum keberada-an partai
politik adalah wajib kifayah (فَرْضُ الْكِفَايَةِ) yakni dalam kehidupan Islami (Khilafah) wajib ada satu partai
politik yang aktivitasnya juga ditetapkan dalam Islam. Allah SWT menyatakan :
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
yang menunjukkan :
1.
أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ itu aktivitasnya yang wajib dilakukan oleh mareka adalah اَلدَّعْوَةُ : يَدْعُونَ إِلَى
الْخَيْرِ dan politik (اَلسِّيَاسَةُ) : وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ. Hal
itu karena makna اَلسِّيَاسَةُ dalam اَلْقَامُوْسُ
الْمُحِيْطُ adalah :
وَسُسْتَ الرَّعِيَّةَ
سِيَاسَةً أَمَرْتَهَا وَنَهَيْتَهَا
“anda menjalankan politik kepada rakyat berarti anda
memerintah dan melarang mereka”.
Sehingga aktivitas وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ itu adalah dapat dipastikan sebagai
aktivitas politik (أَعْمَالٌ سِيَاسِيَّةٌ) di dalam negeri Khilafah, baik itu yang berasal : (a) dari
Khalifah kepada rak-yat (تَنْفِيْذُ وَتَطْبِيْقُ الأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ عَلَى الرَّعِيَّةِ), (b)
dari rakyat kepada Khalifah, Wali, ‘Amil (مُحَاسَبَةُ
الْحُكَّامِ) dan (c) dari sesama rakyat secara
horizontal (اَلنُّصْحُ بَيْنَ الرَّعِيَّةِ بَعْضُهُمْ
بَعْضًا).
2.
bagian
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ adalah pujian (اَلْمَدْحُ) sehingga keberadaan partai politik dalam Islam ada-lah wajib
dan karena ada اَلْقَرِيْنَةُ berupa
huruf مِنْ (مِنْكُمْ) yang
bermakna لِتَبْعِيْضٍ
(sebagian dari seluruh) maka status hukumnya adalah fardu kifayah, yaitu wajib
ada minimal satu partai politik.
3. oleh karena itu, partai
politik dalam Islam bukan sebuah partai yang berasas Islam melainkan :
يَكُوْنُ الْحِزْبُ السِّيَاسِيُّ فِيْ
الإِسْلاَمِ هُوَ حِزْبًا سِيَاسِيًّا مَبْدَأَهُ الإِسْلاَمَ وَتَكُوْنُ
أَحْكَامُهُ وَأَفْكَارُهُ وَأَرَاءُهُ مَأْخُوْذَةً مِنَ الإِسْلاَمِ
“partai
politik dalam Islam adalah sebuah partai politik yang ideologinya Islam dan
hukum-hu-kumnya, pemikiran-pemikirannya serta ide-idenya diambil dari Islam”.
4.
jadi
dalam kehidupan Islami (Khilafah) tidak pernah ada partai politik
Islam alias sebuah partai politik yang bersifat Islam atau berasas Islam.
Partai politik Islam hanya ada dan tumbuh dalam
kehidupan berbasis sekularisme seperti saat ini dan keberadaannya merupakan antithesis
dari partai politik sekuler misalnya partai politik nasionalis. Bentuk partai
politik dalam kehidupan Islami ada-lah partai politik alias الْحِزْبُ
السِّيَاسِيُّ, tidak ada embel-embel lain.
Partai
politik sekuler
adalah partai politik yang bersifat sekuler atau berasas sekularisme
dan saat ini di negara mana pun, semua partai politik yang ada adalah otomatis
partai politik sekuler walau tidak menyandang nama/embel-embel/simbol
sekularisme secara terbuka. Hal itu karena semua negara yang ada di dunia saat
ini menggunakan dan memberlakukan sekularisme sebagai asasnya. Partai De-mokrat
dan Partai Republik di Amerika Serikat (AS), Partai Konservatif dan Partai
Buruh di Inggris dan Australia, Partai Ibu Pertiwi dan Partai Refah di Turki,
Partai UMNO di Malaysia, maupun PDIP, PKS, PBB, Golkar, PPP, Hanura, PDS dan
lainnya di Indonesia, adalah contoh riil dari realitas partai politik sekuler
walau semuanya tidak menempelkan identitas sekuler secara vulgar. Jadi, partai
politik yang ada di suatu negara akan secara pasti mengikuti sistema yang
menjadi asas dan diberlakukan da-lam negara tersebut. Saat ini (minimal telah
berlangsung 84 tahun), sekularisme adalah satu-satunya sistema yang menjadi
asas semua negara yang ada dan secara riil diberlakukan dalam penyelenggaraan
pemerintahannya (demokrasi). Sehingga tidak ada satu pun partai politik yang
bukan sekuler di dunia, baik itu Dunia Barat maupun Dunia Islam.
Sekularisme adalah sebuah realitas yang
tidak hanya poluler saat ini melainkan juga secara sadar diterapkan dan
diberlakukan oleh semua manusia, baik di Dunia Islam maupun Dunia Barat. Konsep
tersebut bahkan dicantumkan dengan tegas dalam hampir semua konstitusi
negara-negara maju seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, Australia dan
lainnya. Sekularisme memiliki realitas yang pasti yaitu : Give The God
His Right and Give The Emperor His Right Too yang berarti pemisahan
secara tegas antara kehidupan politik dan kenegaraan dengan kehidupan
keagamaan. Kemudian dari realitas tersebut muncul dua kelompok besar manusia
dalam suatu negara : negarawan (رِجَالُ الدَّوْلَةِ) dan agamawan atau rohaniwan (رِجَالُ
الدِّيْنِ اَوْ اَلرُّوْحَنِيُّوْنَ). Lalu,
perjalanan negara berbasis sekularisme mana pun selama lebih dari 84 tahun
menunjukkan dengan pasti bahwa implementasi dan aktualisasi konsep tersebut
tetap konsisten bahkan selalu disertai upaya-upaya yang sangat seirus untuk
semakin mengokohkan pember-lakuannya terutama di Dunia Islam. Seluruhnya
menjadi dalil dan bukti tak terbantahkan bahwa seku-larisme sama sekali
bukan sistema yang berwujud visi dan aksi yang sangat mementingkan
kesejah-teraan duniawi, melainkan konsep yang meniadakan dan menolak
peran Tuhan (agama) dalam kehidu-pan politik serta negara (فَصْلُ
الدِّيْنِ عَنِ السِّيَاسَةِ وَالدَّوْلَةِ). Oleh
karena itu, sangat jelas bahwa Zacky Khairul Umam tengah “mengigau dan meracau”
ketika dia berusaha memanipulir realitas sekularisme dengan menganggapnya
sebagai visi dan aksi yang sangat mementingkan kesejahteraan duniawi.
Partai
politik Islam eksklusif
dan partai politik Islam inklusif adalah dua bentuk partai
politik dalam negara berbasis sekularisme yang keduanya sama-sama menjadikan
Islam sebagai sifat realitas partai atau menjadikan Islam sebagai asas kedua
bentuk partai tersebut. Perbedaannya adalah pada as-pek cakupan keanggotaan
partai, yakni partai politik Islam eksklusif hanya menerima
anggota dari kalangan umat Islam begitu juga pengurus partai adalah hanya umat
Islam. Sedangkan partai politik Islam inklusif sama sekali tidak
mempersoalkan latar belakang agama para anggota maupun pengurus partai sendiri.
Inilah yang sangat nyata terjadi di Indonesia yakni PAN, PKB, PKS adalah contoh
pasti dari bentuk partai politik Islam inklusif, sedangkan PPP
dan PBB adalah contoh riil dari partai politik Islam eksklusif.
Lalu, bagaimana realitas partai politik dalam negara Khilafah?
Khilafah
Islamiyah ditentukan eksistensinya oleh keberadaan Khalifah, yaitu jika
Khalifah ada akibat telah dibai’at oleh kaum muslim عَلَى
رِضَاهُمْ وَاخْتِيَارِهِمْ عَلَى الْعَمَلِ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِهِ, maka Khilafah dipastikan terwujud sempurna. Sebaliknya bila
Khalifah tidak ada (oleh sebab apa pun) maka dapat dipastikan Khilafah pun
sirna. Sumber dalil dalam Islam (Al-Quran dan As-Sunnah) menunjukkan bah-wa
Khalifah itu memiliki dua jenis syarat yakni syarat pengangkatan (شُرُوْطُ
الإِنْعِقَادِ) dan syarat keutama-an (شُرُوْطُ
الأَفْضَلِيَةِ). Syarat pengangkatan seseorang
supaya sah menjadi Khalifah melalui metode bai’at adalah مُسلِمًا, ذَكَرًا, بَالِغًا, عَاقِلاً, عَدْلاً, حُرًّا, قَادِرًا. Syarat pengangkatan tersebut wajib dipenuhi seluruhnya dan
sekaligus menjadi syarat keberlangsungan (شُرُوْطُ
الإِسْتِمْرَارِيَّةِ) kedudukannya sebagai Khalifah.
Adapun syarat keutamaan adalah syarat yang akan lebih utama bila
dipenuhi namun bila tidak pun maka sama sekali tidak menjadikan seseorang
sebagai tidak sah jadi Khalifah : مُجْتَهِدًا, شَجَاعًا, قُرُشِيًّا, هَاشِمِيًّا, عَلَوِيًّا. Ini-lah realitas Khalifah dalam negara Khilafah yakni dia
wajib seorang muslim dan memikul kewajiban untuk memberlakukan hukum syara : تَنْفِيْذُ
وَتَطْبِيْقُ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ. Dengan
demikian, partai politik dalam Islam wajib eksklusif yakni hanya beranggota
umat Islam dengan pengurus partai yang juga hanya dari kalangan kaum muslim.
Hal itu karena tugas utama partai politik dalam Islam adalah berupa aktivitas اَلدَّعْوَةُ dan اَلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
الْمُنْكَرِ yang bila objeknya adalah para
penguasa Islam (Khalifah, Mu’a-win Tafwidl, Wali, ‘Amil) maka aktivitas اَلأَمْرُ
بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ itu
riilnya adalah مُحَاسَبَةُ الْحُكَّامِ (mengoreksi para penguasa) dalam tugasnya memberlakukan hukum
syara. Artinya realitas objek akti-vitas ini adalah Islam (hukum syara), umat
Islam dan para penguasa Islam, sehingga haram diserahkan kepada kaum kufar
walau dari kalangan اَهْلُ الذِّمَّةِ
sekalipun.
Ketertutupan alias eksklusifitas
dan demokratisasi adalah dua hal yang memang saling berhu-bungan
erat secara bertentangan (kontradiktif) dalam negara yang berbasis sekularisme
dengan demo-krasi sebagai sistem pemerintahannya. Ketertutupan bermakna menolak
semua yang tidak sama dan ti-dak sejenis atau hanya menerima
semua yang sama dan yang sejenis. Sebagai contoh : Islam adalah tertutup
(eksklusif) karena menolak semua hal yang berasal dari luar Islam
bahkan semua hal yang ber-asal dari luar tersebut dikategorikan oleh Islam
sebagai kufur. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Contoh lainnya adalah partai politik dalam Islam wajib
tertutup (eksklusif) yakni hanya menerima ang-gota dari umat Islam dengan
pengurus yang juga hanya dari umat Islam. Lalu, adakah keadaan sebalik-nya dari
ketertutupan atau eksklusifitas yakni keterbukaan atau inklusifitas?
Dikatakan
bahwa sekularisme dan demokrasi adalah bersifat inklusif alias terbuka, yakni
sama sekali tidak pernah menolak apa pun dan dari mana pun,
melainkan selalu menerima apa pun dan dari mana pun. Bila
realitas ini dipastikan sebagai jatidiri dari sekularisme dan demokrasi, maka
dapat di-pastikan pula bahwa sekularisme dan demokrasi adalah tertutup
alias eksklusif dan sama sekali tidak terbuka alias inklusif.
Hal itu karena realitas sekularisme dan demokrasi yang tidak pernah menolak
apa pun dan dari mana pun serta selalu menerima apa pun dan dari
mana pun, adalah ketentuan alias aturan main alias the rule of game or the
rule of law dari kedua sistema tersebut. Sehingga saat sekula-risme dan
demokrasi mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan aturan mainnya sendiri maka
itu artinya sekularisme dan demokrasi adalah tertutup alias eksklusif karena hanya
mengikuti dan melaksanakan aturan mainnya sendiri dan menolak
untuk mengikuti dan melaksanakan aturan main dari luar.
Seba-liknya bila sekularisme dan demokrasi tidak hanya mengikuti dan
melaksanakan aturan mainnya sen-diri melainkan bersedia
menerima aturan main dari luar dirinya maka barulah dapat dikatakan dengan
pasti bahwa sekularisme dan demokrasi adalah terbuka alias inklusif.
Pada
faktanya, sekularisme dan demokrasi pasti tidak akan pernah
bersedia untuk menerima atu-ran main dari luar, misalnya dari
Islam, bahkan pasti akan menolaknya dengan tegas.
Hal yang sama terjadi pada Islam yakni Islam pasti akan menolak
aturan main dari luar dirinya, misalnya dari sekula-risme dan demokrasi. Memang
jika diposisikan secara konfrontatif dan dipantau secara supervisial ma-ka
seolah hanya Islam yang tertutup, sedangkan sekularisme dan demokrasi adalah
terbuka. Namun bila dikembalikan kepada the rule of game or the rule of law
masing-masing, maka baik itu Islam mau-pun sekularisme dan demokrasi adalah
sama-sama tertutup (eksklusif). Jadi standard untuk memutus-kan apakah sesuatu
itu terbuka ataukah tertutup adalah ditaati atau tidak ditaatinya
the rule of game or the rule of law dari sesuatu itu sendiri. Bila the
rule of game or the rule of law dari sesuatu tersebut ditaati
secara penuh maka sesuatu itu pasti bersifat tertutup, sebaliknya
jika the rule of game or the rule of law dari sesuatu tersebut tidak
ditaati (walau hanya sebagiannya) maka sesuatu itu dipastikan bersifat terbuka.
Sehingga yang akan menjadi jaminan 100 persen bagi masa depan eksistensi
sesuatu adalah ditaati atau tidak ditaatinya the rule of game
or the rule of law dari sesuatu itu sendiri. Jika the rule of game or
the rule of law dari sesuatu itu ditaati dengan penuh maka masa depan
eksistensi sesua-tu tersebut terjamin 100 persen. Sebaliknya jika the rule
of game or the rule of law dari sesuatu itu ti-dak ditaati (walau hanya
sebagiannya) maka tidak ada jaminan apa pun bagi masa depan eksistensi se-suatu
tersebut. Tegasnya, masa depan eksistensi sekularisme, demokrasi dan
demokratisasi sepenuhnya ditentukan oleh ditaatinya the rule
of game or the rule of law dari sekularisme dan demokrasi sendiri. Begitu
juga masa depan eksistensi Islam sepenuhnya ditentukan oleh ditaatinya
the rule of game or the rule of law dari Islam sendiri. Dari sinilah,
demi supaya masa depan eksistensi Islam tidak terjamin se-dikitpun maka
dilakukanlah dengan sangat gencar propaganda agar umat Islam
segera merekonstruksi Islam. Provokasi destruktif tersebut disertai juga dengan
argumen penguat yakni rekonstruksi Islam itu harus dilakukan supaya Islam bisa
tampil modern serta dapat diterima oleh semua pihak terutama Du-nia Barat.
Absurditas dan utopia
dapat dipahamkan maknanya melalui penggunaannya dalam pernyataan Zacky : … apalagi
jika yang diperjuangkan terlalu absurd dan utopis. Maknanya adalah yang
diper- juangkan itu tidak jelas, tidak pasti, tidak konkrit dan hampir sebagai
khayalan. Jadi absurditas adalah ketidakjelasan, ketidakpastian dan
ketidak konkritan sedangkan utopia adalah keadaan yang hampir khayalan
atau imajinasi.
Memang
benar, ketika umat Islam yang hidup dalam negara berbasis sekularisme (misal
Indone-sia) membentuk sebuah partai politik Islam maka dapat dipastikan
akan mengalami atau paling tidak sangat sulit menghindari absurditas
dan utopia, bila mereka konsisten terhadap sifat atau asas Islam
yang melekat pada partai mereka itu. Kondisi tersebut akan serta merta hilang
jika umat Islam merubah paradigma partai mereka yakni walau dengan tetap
mempertahankan Islam sebagai sifat atau asas par-tai, namun yang selain itu
(hukum-hukum, pemikiran-pemikiran dan ide-ide) sepenuhnya telah meng-ikuti atau
mengambil dari sekularisme atau yang muncul dari sekularisme. Inilah yang
digagas atau di-usulkan oleh Zacky dalam pernyataannya : sikap beberapa
partai politik (Islam) yang berusaha untuk mengubah paradigma partai menuju
partai inklusif atau pluralis bersifat imperatif pada dirinya atau dalam
pernyataan : Islam politik tidak boleh kalah sekulernya dengan identitas
selainnya.
Partai
politik Islam yang dibentuk dalam sistema sekularisme (atau turunannya) dan
lalu hidup pada rentang waktu yang lama di dalamnya, maka akan mengalami :
a.
pertumbuhan,
perkembangan, fleksibilitas, akseptabilitas, reliabilitas bahkan sangat mungkin
men-jadi pemain utama, bila semua hukum, pemikiran dan ide yang diberlakukan
dalam partai serta di-perjuangkan dalam realitas kehidupan, seluruhnya telah
berganti dengan yang berasal dari sekula-risme. Lalu, aspek yang masih dikaitkan
dengan Islam hanyalah tinggal nama atau asas atau sifat dan itu pun layaknya
stempel formalitas hanya untuk menunjukkan kepada kaum muslim bahwa partai
tersebut masih sebagai partai Islam.
b. kemunduran, kegagalan,
kebangkrutan, kekakuan, keterkucilan bahkan kematiannya, bila tetap te-guh
bertahan dalam identitas Islam dan itu tidak hanya pada aspek nama, asas, sifat
melainkan juga untuk seluruh hukum, pemikiran dan ide yang diberlakukan dalam
partai serta diperjuangkan dalam realitas kehidupan.
Kedua keadaan partai politik
Islam yang saling bertolak belakang tersebut memastikan bahwa
Islam berikut seluruh hukum, pemikiran dan ide yang ada di dalamnya adalah
bersifat tertutup (eksklusif) bahkan berada dalam posisi جَامِعًا
مَانِعًا, yaitu menerima atau menghimpun semua hal/perkara
yang ter-bukti berasal dari Islam sendiri (جَامِعًا) dan menolak semua hal/perkara yang terbukti
bukan berasal dari Islam (مَانِعًا). Hal
ini sekaligus menjadi dalil aqliy atau bukti yang argumentatif bahwa Islam
adalah se-buah ideologi yang diametral dengan ideologi
lainnya (kapitalisme, sosialisme) baik itu aspek aqidah maupun sistema
yang terpancar dari aqidah itu sendiri. Kemudian, bila Islam telah berhasil
dipaksa un-tuk menanggalkan statusnya yang جَامِعًا مَانِعًا, walau hal itu baru berlaku atau terjadi pada bagian yang
sa-ngat sedikit, maka sejak itulah Islam telah mengalami kehancuran :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ (المائدة : 51)
Klaim
primordial
adalah suatu klaim yang didasarkan kepada atau muncul dari
entitas agama, etnis, ras, suku bahkan ketuhanan. Sebagai contoh : ketika umat
Islam menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar menurut Allah
SWT (إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ), maka opini seperti itu ada-lah klaim primordial.
Inilah yang dimaksudkan oleh Zacky saat menyatakan : peluang antara partai
Islam dan partai sekuler sama besarnya, tidak diukur dengan klaim primordial.
Artinya, walau Islam memiliki klaim berasal dari Allah SWT (Tuhan), namun klaim
tersebut tidak akan pernah menjadikan partai politik Islam
memiliki peluang atau kesempatan yang lebih besar untuk berhasil serta diterima
oleh publik daripada partai politik sekuler. Klaim primordial adalah diharamkan
oleh sekularisme, ka-rena pemikiran cabang dari konsep itu memastikan bahwa
sekularisme tidak akan pernah dan tidak boleh
mempermasalahkan atau mempertimbangkan aspek primordial terutama agama dan ketuhanan.
Wal
hasil, inilah fakta gamblang yang menunjukkan dan mewakili realitas sebagian
sangat besar umat Islam yang selalu kisruh dan bingung
dalam menetapkan keputusan (حُكْمُ الْعَقْلِ) terhadap hakikat sesuatu (حَقِيْقَةُ الشِّيْءِ
اَيْ مَاهِيَتُهُ) termasuk merumuskan konsep tentang
jatidiri partai politik Islam, partai politik sekuler, Islam politik,
sekularisme, kehidupan Islam, kehidupan kufur, realitas eksklusif, realitas
inklusif dan sebagainya, seperti yang dialami oleh Zacky Khairul Umam.
Islam politik (اَلإِسْلاَمُ
السِّيَاسِيُّ) : fakta atau khayalan?
Realitas Islam (وَاقِعُ الإِسْلاَمِ) yang terbukti secara empirik lebih dari 1300 tahun oleh
perjalanan ke-manusiaan itu sendiri, sehingga tidak mungkin diingkari oleh kaum
kufar sekalipun adalah :
1. اَلإِسْلاَمُ
هُوَ الدِّيْنُ وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ, yakni
terhimpun di dalamnya secara utuh antara الدِّيْنُ dan الدَّوْلَةُ.
Jatidiri Islam ini bukan hanya telah terimplementasikan riil dalam realitas
kehidupan yang panjang namun bahkan bersifat harus diberlakukan abadi yaitu
sepanjang lifecycle (دَوْرُ الْحَيَاةِ) belum berakhir. An-dai umat Islam yang hidup di awal abad
ke-20 tetap menyadari kewajiban yang paling utama mere-ka yaitu mempertahankan
keberlangsungan Khilafah (اَلْخِلاَفَةُ
الْعُثْمَانِيَّةُ), maka walau sekuat apa pun
Kerajaan Inggris berusaha untuk meruntuhkannya adalah dapat dipastikan hingga
hari ini pun Khi-lafah masih ada dan dapat terus menaungi perjalanan
kemanusiaan di dunia.
2. Islam
walaupun memang دِيْنٌ سَمَوِيٌّ
مِنْ عِنْدِ اللهِ namun
bukan berarti Islam itu adalah agama ketuhanan (دِيْنٌ
اِلَهِيٌّ). Islam adalah
agama untuk manusia dan yang melaksanakannya juga adalah mereka bu-kan Allah
SWT, artinya Islam sama sekali bukan agama spiritualistik ritualistik seperti
yang disifati oleh agama-agama lainnya di luar Islam.
3.
Islam
tidak pernah mengenal konsep sekularisme dan bahkan bersifat diametral dengan
konsep kompromistik rekaan manusia berbasis kepentingan naluriahnya tersebut.
Artinya Islam tidak akan pernah terpecah menjadi Islam politik (اَلإِسْلاَمُ
السِّيَاسِيُّ) dan Islam non politik (اَلإِسْلاَمُ
غَيْرُ السِّيَاسِيِّ), hingga kapan pun Islam itu hanya
satu yakni Islam saja. Akibatnya, dalam kehidupan masyarakat Islam (Khilafah)
tidak pernah ada pengelompokkan manusia sebagai kaum agamawan (رِجَالُ
الدِّيْنِ) dan grup negarawan (رِجَالُ
الدَّوْلَةِ), melainkan seluruh umat Islam
berstatus sama yakni sebagai pe-ngemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan
dakwah dan jihad.
Oleh
karena itu, baik dalil aqliy maupun dalil naqliy memastikan bahwa Islam
politik adalah se-kedar khayalan atau imajinasi seseorang yang : (a)
tidak pernah mengetahui atau tidak mau peduli alias tidak mau tahu tentang
realitas Islam sepanjang 1300 tahun lebih, (b) terkungkung oleh stigma keputus
asaan terhadap fakta mutakhir keadaan Dunia Islam secara makro dan individu
muslim secara mikro di tengah keterpesonaannya oleh Dunia Barat secara makro
dan individu kafir secara mikro dan (c) telah setuju 100 persen dengan konsep
sekularisme dan sepakat untuk menjadikannya sebagai The New God for
Humanity yang seluruh aspek kehidupannya berbasis kepentingan naluriah
semata.
يُرِيدُونَ
أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ
يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (التوبة : 32)
No comments:
Post a Comment