Tuesday, January 29, 2013

ISLAM SEMAKIN DIKALAHKAN!



Pemerintah NKRI adalah pelanjut para Khalifah : benarkah?
Tabloid Republika Dialog Jumat (edisi 11 Desember 2009) dalam Laporan Utama (halaman 3) memuat pernyataan Muchtar Zarkasyi (Ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat Nasional/BAZ-NAS yang juga Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang revisi terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat) sebagai berikut :
Hanya BAZ yang diakui pemerintah untuk mengelola zakat di Indonesia. Ia lalu mengutip surat at-Taubah [9] ayat 103 yang artinya, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Dalam ayat tersebut, perintah untuk mengambil (khuz) zakat dari sebagian harta umat Islam, di-berikan kepada penguasa. “Kalau sekarang harus pemerintah yang mengambil zakat, karena itu pelan-jut dari pengganti-pengganti penguasa. Setelah Nabi Muhammad saw itu kan dilanjutkan Khulafa ar-Rasyidun, kemudian dilanjutkan oleh khalifah-khalifah yang lain. Jadi perintah untuk mengambil dan memungut zakat itu pada penguasa.
Membayar zakat merupakan kewajibannya setiap Muslim yang mampu. Sedangkan, cara me-ngumpulkannya itu dilimpahkan kepada pemerintah atau penguasa. “Mengapa harus pemerintah? Ka-rena pemerintah yang bisa mempunyai daya untuk memaksa wajib zakat bila mereka tidak mau mem-bayar zakat”.
Jika BAZ menjadi satu-satunya pengelola zakat, tak akan terjadi kekacauan dalam pengumpulan dan penyaluran. “Maka, semuanya harus bergabung dengan wadah yang tunggal ini. Tidak berarti amil yang sudah bekerja itu kemudian tidak boleh melakukan pekerjaan. Bekerjalah bersama-sama dalam wadah yang diangkat oleh pemerintah ini. Jadi ini untuk kebaikan dan kepentingan mustahik.
Demikianlah, terlepas dari pro kontra seputar wacana yang digulirkan oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk merevisi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pe-ngelolaan Zakat dengan pertimbangan bahwa selama sembilan tahun diberlakukan UU Pengelolaan Za-kat kurang memuaskan, maka seseorang yang mengaku muslim dan bernama : Muchtar Zarkasyi tidak diragukan lagi telah melakukan kemungkaran sekaligus pengingkaran terhadap salah satu bagian dari syariah Islamiyah yang mengatur tentang Khilafah dan Khalifah. Bahkan orang tersebut pun telah begi-tu berani menempatkan NKRI sebagai setara dengan Khilafah Islamiyah dan para penguasanya sebagai pelanjut dari para Khalifah. Benarkah anggapan orang tersebut, baik berdasarkan dalil aqliy maupun naqliy?
Realitas NKRI dapat dipastikan bukan Khilafah Islamiyah sebab seluruh aspeknya yang terindera memastikan demikian dan itu ditunjukkan oleh :
1.       kelima sila dalam rumusan Pancasila menempatkan NKRI sebagai negara kebangsaan (nation state alias اَلدَّوْلَةُ الْقَوْمِيَّةُ) yang bertumpu kepada atau dibangun berdasarkan entitas etnis alias bangsa alias اَلْقَوْمِيَّةُ yang dikategorikan sebagai Bangsa Indonesia. Banga Indonesia sendiri didefiniskan sebagai himpunan dari suku-suku bangsa yang ada di seluruh pulau yang tercakup dalam Wawasan Nusan-tara. Selain itu, Pancasila mempertelakan bahwa secara konsep NKRI adalah negara kebangsaan yang tidak memberlakukan sebuah ideologi tertentu melainkan campuran dari kapitalisme (sila 1, 2, 3, 4) dan sosialisme (3, 5). Walaupun demikian, secara praktis ternyata NKRI adalah negara yang sepenuhnya berjalan di atas Ideologi Kapitalisme.
2.       konstitusi NKRI yakni UUD 1945 (baik yang masih orisinal maupun hasil amandemen) memas-tikan bahwa NKRI adalah negara sekularistik yakni : (a) tidak mengingkari eksistensi Tuhan atau tidak anti agama dan (b) memisahkan agama dari politik dan negara dan agama diposisikan sebagai hanya urusan pribadi orang per orang warga negara. Inilah yang ditunjukkan secara gamblang oleh pasal 29 ayat 1 dan 2.
3.       pemberlakuan demokrasi secara riil dalam penyelenggaraan pemerintahan dan itu ditunjukkan oleh adanya penerapan Trias Politica : legislatif (DPR), eksekutif (pemerintah) dan yudikatif (MA beri-kut seluruh badan peradilan di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota). Sistem pemerintahan NKRI adalah demokrasi juga ditunjukkan oleh dua konsep dasar demokrasi itu sendiri yang benar-benar dianut serta diejawantahkan yakni : (a) kedaulatan di tangan rakyat dan (b) rakyat adalah sumber kekuasaan.
Oleh karena itu, dalil aqliy menetapkan bahwa NKRI bukan dan tidak boleh dikategorikan seba-gai Khilafah Islamiyah melainkan sebaliknya mewajibkan realitas NKRI sebagai negara kebangsaan sekularistik dengan Ideologi Kapitalisme sebagai sistem perekonomiannya dan demokrasi sebagai sis-tem pemerintahannya. Lalu bagaimana menurut dalil naqliy?
Dalil naqliy dalam Islam yakni Al-Quran dan As-Sunnah (juga Ijma Sahabat dan Qiyas yang ke-duanya dibenarkan sebagai dalil oleh Al-Quran dan As-Sunnah sendiri) memiliki dua sifat pasti yakni :
1.       menyatakan (دَلِيْلاً), atau menunjukkan (اَمَارَةً) suatu peraturan (اَلشَّرِيْعَةُ), atau hukum (اَلْحُكْمُ), atau kon-sep (اَلْفِكْرُ) tentang kehidupan manusia di dunia yakni sistema yang mengatur seluruh sikap maupun tingkah laku mereka selama hidup di dunia. Adapun realitasnya sebagai :
a.       دَلِيْلاً ditunjukkan oleh sifatnya yang :
اَنْ يَدُلَّ عَلَى الْحُكْمِ دَلاَلَةً قَطْعِيَّةً فَإِنْ دَلَّ دَلاَلَةً قَطْعِيَّةً بِأَنْ كَانَ قَطْعِيًّا كَالْقُرْآنِ وَالْحَدِيْثِ الْمُتَوَاتِرِ وَكَانَ قَطْعِيَّ الدَّلاَلَةِ اَيْضًا فَلاَ اِشْكَالَ فِيْ اعْتِبَارِهِ
Menunjukkan hukum dengan dalalah yang pasti, maka jika menunjukkan hukum dengan dala-lah yang pasti karena sumbernya yang pasti seperti Al-Quran dan Hadits Mutawatir, juga da-lalahnya pasti, maka tidak ada persoalan dalam penetapannya.
Sebagai contoh : realitas اَلْجَنَّةُ, neraka, jin, malaikat, iblis, jihad, shalat lima waktu, zakat, shaum Ramadlan, haji, Islam, kewajiban memberlakukan Islam dalam kehidupan dan sebagainya, se-luruhnya dinyatakan olehاَلدَّلِيْلُ النَّقْلِيُّ كَانَ ثُبُوْتَهُ قَطْعِيَّةً وَدَلاَلَتَهُ قَطْعِيَّةً اَيْضًا  (dalil naqliy yang sumber maupun dalalahnya bersifat pasti).
b.       اَمَارَةً ditunjukkan oleh sifatnya yang :
اَنْ يَدُلَّ عَلَى الْحُكْمِ دَلاَلَةً ظَنِّيَّةً وَاِنْ دَلَّ عَلَى الْحُكْمِ دَلاَلَةً ظَنِّيَّةً وَكَانَ اَصْلُهُ اَيْ ثُبُوْتُهُ قَطْعِيًّا وَهُوَ الْكِتَابُ وَالْحَدِيْثُ الْمُتَوَاتِرُ فَهُوَ مُعْتَبَرٌ اَيْضًا وَاِنْ كَانَ اَصْلُهُ اَيْ ثُبُوْتُهُ ظَنِّيًّا كَخَبَرِ اْلآحَادِ فَحِيْنَئِذٍ يَجِبُ التَّثَبُّتُ مِنْهُ وَلاَ يَصِحُّ اِطْلاَقُ الْقَوْلِ بِقَبُوْلِهِ اَيِ التَّثَبُّتُ مِنَ الْخَبَرِ هَلْ هُوَ صَحِيْحٌ اَمْ لاَ قَبْلَ الْحُكْمِ بِقَبُوْلِهِ فَإِنْ صَحَّ قُبِلَ وَلَوْ كَانَ ظَنِّيًّا لأَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ الْمَوْثُوْقِ بِصُدُوْرِهِ يُعْتَبَرُ حُجَّةً وَاِنْ لَّمْ يُقْطَعْ بِصُدُوْرِهِ وَالتَّثَبُّتُ يَكُوْنُ لِمَعْرِفَةِ الْوَثَاقَةِ وَالإِطْمِئْنَانِ اِلَى اَنَّهُ صُدِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
menunjukkan hukum dengan dalalah yang bersifat dugaan, dan jika menunjukkan hukum de-ngan dalalah yang bersifat dugaan dan sumbernya adalah pasti yakni Al-Quran dan Hadits Mutawatir, maka hukumnya dapat dipastikan juga. Dan jika sumbernya adalah bersifat duga-an seperti kabar ahad maka saat itu wajib melakukan proses pemastian dan tidak boleh mene-rima pernyataan itu secara mutlak, yakni pemastian terhadap kabar apakah sahih ataukah ti-dak sebelum memutuskan untuk menerimanya. Lalu jika sahih maka diterima walaupun bersi-fat dugaan, karena kabar dari seorang yang terpercaya posisinya sebagai sumber adalah huj-jah walaupun tidak dapat dipastikan kesumberannya tersebut. Proses pemastian dilakukan un-tuk mengetahui tingkat kepercayaan maupun kemantapan untuk menetapkan bahwa kabar itu berasal dari Nabi saw
sebagai contoh adalah tentang perburuhan (اَلإِجَارَةُ) dalam Islam yakni :  عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ بِعِوَضٍ (aqad atas suatu manfaat dengan adanya imbalan/upah) yang realitasnya ditetapkan oleh sumber yang pasti yaitu Al-Quran :
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ (الطلاق : 6)
maka walaupun dalalahnya bukan bersifat pasti (اَمَارَةً yakni adanya dua pihak yang beraqad : seseorang dengan mantan istrinya, lalu manfaat : mantan istri menyusui anak orang itu dan upah/imbalan : فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ), namun tidak ada persoalan dalam menerimanya dan tidak perlu dilakukan pembuktian apa pun dalam penetapan kesahihannya alias secara otomatis مُعْتَبَرٌ. Se-dangkan (sebagai contoh lainnya) berkenaan dengan eksistensi niyat (اَلنِّيَّةُ) yang ditunjukkan oleh kabar ahad yakni hadits berikut :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواخ البخاري)
maka sebelum diputuskan untuk diterima sebagai hujjah tentang wajibnya niyat, harus lebih da-hulu dilakukan pemastian (التَّثَبُّتُ) tentang kesahihan kabar tersebut dan ternyata menurut Imam Bukhari sendiri kabar ahad tersebut adalah sahih, maka barulah dapat diterima sebagai hujjah untuk menetapkan bahwa niyat itu adalah wajib hukumnya.
2.       memandang (اَلنَّظْرَةُ) dan menetapkan (اَلتَّحْقِيْقُ) suatu hukum terhadap suatu fakta, persoalan, perma-salahan, realitas dan sejenisnya dari kehidupan manusia, baik ketika wadah kehidupan mereka adalah Khilafah Islamiyah maupun seperti saat ini yakni negara kebangsaan berbasis sekularisme. Sebagai contoh :
a.       belum lama berselang dari saat dibai’at di Saqiifah Bani Saa’idah, Khalifah Abu Bakar harus berhadapan dengan persoalan yang cukup pelik yakni adanya sekelompok umat Islam yang me-nolak membayar zakat kepada beliau dengan alasan bahwa, menurut mereka, zakat itu hanya wajib dibayarkan kepada Rasulullah saw sedangkan saat itu beliau saw telah wafat, maka oto-matis kewajiban zakat pun gugur alias tidak wajib lagi. Menghadapi persoalan tersebut, Umar bin Khaththab selaku pembantu Khalifah (اَلْمُعَاوِنُ) menyarankan kepada Abu Bakar untuk tidak memerangi mereka dan hanya memusatkan seluruh kekuatan kepada pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Namun ternyata Khalifah Abu Bakar menolak usulan tersebut lalu me-mastikan untuk memerangi mereka dan keputusan beliau ditunjukkan oleh hadits berikut :
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا تُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ وَكَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنْ الْعَرَبِ قَالَ عُمَرُ يَا أَبَا بَكْرٍ كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا كَانُوا يُؤَدُّونَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا قَالَ عُمَرُ فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ أَنْ قَدْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ لِلْقِتَالِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ (رواه البخاري)
Dari Ibni Syihab telah mengabarkan kepada saya Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah bahwa Abu Hurairah berkata : ketika diwafatkan Nabi saw dan Abu Bakar menjadi Khalifah, lalu sebagian orang Arab ada yang kufur. Umar berkata : wahai Abu Bakar, bagaimana anda akan memerangi manusia padahal Rasulullah saw telah berkata : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka berucap لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ, oleh karena itu siapa saja yang telah berucap لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ maka terjagalah dari diriku harta dan nyawanya kecuali dengan perun-tukannya dan hisabnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Abu Bakar berkata : demi Allah, sungguh aku akan memerangi siapa saja yang memisahkan shalat dan zakat. Maka sungguh zakat itu adalah ketentuan atas harta, demi Allah andai mereka menghalangi aku dari seekor anak unta betina (belum genap setahun) yang biasanya mereka serahkan itu kepada Rasulullah saw, pastilah aku akan memerangi mereka akibat penolakan itu. Umar berkata : maka demi Allah, tidak ada hal lain dalam diri Abu Bakar kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang, lalu aku tahu bahwa dia memang benar.
b.       ketika umat Islam dipimpin dan diurus oleh Khalifah Umar bin Khaththab, ada dua keputusan beliau yang menunjukkan cara pandang dan ketetapan Islam terhadap suatu persoalan atau fak-ta. Pertama, Umar memutuskan bahwa para muallaf yakni :
صِنْفٌ مِنَ الْقَادَةِ اَوِ الزُّعَمَاءِ اَوِ الْمُؤَثِّرِيْنَ اَوِ الأَبْطَالِ الَّذِيْنَ لَمْ يُرَسِّخْ اِيْمَانُهُمْ وَيَرَى الْخَلِيْفَةُ اَوْ وُلاَتُهُ اَنْ يُّعْطُوْا مِنَ الزَّكَاةِ تَأْلِيْفًا لِقُلُوْبِهِمْ اَوْ تَرْسِيْخًا لإِيْمَانِهِمْ اَوْ لإِسْتِخْدَامِهِمْ لِمَصْلَحَةِ الإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ اَوْ لِلتَّأْثِيْرِ عَلَى جَمَاعَاتِهِمْ
sekelompok para petinggi atau pemuka atau pembesar yang iman mereka belum mantap lalu Khalifah atau para Walinya memandang perlu mereka diberi bagian dari zakat sebagai cara untuk melunakkan perasaan mereka, atau memantapkan iman mereka, atau menggunakan me-reka demi kemaslahatan Islam dan kaum muslim, atau untuk mempengaruhi kelompok mereka (ketika sebelum mereka masuk Islam)
tidak lagi diberi bagian dari zakat dengan pertimbangan Islam telah kuat dan menyebar luas, sehingga keberadaan mereka tidak lagi perlu diberi perlakuan khusus :
تَأْلِيْفًا لِقُلُوْبِهِمْ اَوْ تَرْسِيْخًا لإِيْمَانِهِمْ اَوْ لإِسْتِخْدَامِهِمْ لِمَصْلَحَةِ الإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ اَوْ لِلتَّأْثِيْرِ عَلَى جَمَاعَاتِهِمْ
Hal itu karena dengan telah kuat dan menyebarluasnya Islam, maka secara otomatis faktor ala-san (اَلْعِلَّةُ) yang menyebabkan mereka mendapatkan bagian zakat, yakni تَأْلِيْفًا لِقُلُوْبِهِمْ sudah tidak ada lagi sehingga hukum memberikan bagian zakat kepada mereka tidak perlu diberlakukan la-gi (bukan tidak ada). Bahkan dalam suatu riwayat Khalifah Umar dengan tegas menyatakan bahwa jika mereka (para muallaf) berbuat macam-macam, maka لَيْسَ لَهُمْ اِلاَّ السَّيْفُ (tidak apa pun bagi mereka kecuali pedang).
Kedua, ketika kaum muslim pada masa Khalifah Umar berhasil menaklukkan dengan pepera-ngan alias paksa (عُنْوَةً) tanah Iraq, Syam dan Mesir, maka Umar memutuskan untuk tidak mem-bagikan seluruh tanah tersebut kepada peserta perang melainkan ditetapkan sebagai fai-iy bagi kaum muslim yakni dari tanahnya diambil kharaj dan dari penduduknya yang ahlu dzimmah diambil jizyah. Walaupun sebagian sahabat yakni Bilal, Abdurrahman bin Auf dan Zubair me-nyampaikan hujjah (bahkan terjadi perdebatan sengit) perbuatan Rasulullah saw yang melaku-kan pembagian tanah Khaibar setelah ditaklukkan, namun akhirnya mereka semua sepakat de-ngan pandangan Umar : اَلرَّأْيُ رَأْيُكَ فَنِعْمَ مَا قُلْتَ وَمَا رَاَيْتَ (pendapat itu adalah pendapat anda maka itulah sebaik-baik yang anda katakan dan anda tetapkan). Keputusan Khalifah Umar didasar-kan kepada pernyataan Allah SWT :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (الحشر : 10)
Sikap generasi umat Islam berikutnya yang tinggal di Iraq, Syam maupun Mesir harus dijaga supaya tidak membenci (غِلًّا) kepada para pendahulu mereka dan itu hanya dapat dilakukan jika tanah negeri-negeri tersebut tetap berada dalam pengelolaan penduduknya, yakni tidak dibagi-kan kepada peserta penaklukkan melainkan diposisikan sebagai فَيْئًا لِلْمُسْلِمِيْنَ (fai-iy milik seluruh kaum muslim) dengan mengambil kharaj atas tanahnya dan jizyah atas penduduknya yang ber-status ahlu dzimmah.
c.       pasca umat Islam kehilangan Khilafah Islamiyah paling tidak sejak tanggal 3 Maret 1924, maka dalam kehidupan mereka memang sangat banyak fakta, persoalan, permasalahan, realitas dan lainnya yang muncul dari atau ditimbulkan oleh wadah kehidupan mereka yang berupa negara kebangsaan sekularistik. Eksistensi UNO (United Nations Organization) berikut keanggotaan umat Islam di dalamnya, atau perbankan (bermerek syariah maupun ribawiyah) berikut keterli-batan (langsung atau tidak) umat Islam di dalamnya, atau transaksi perdagangan mata uang ali-as pasar uang maupun bursa saham berikut keterlibatan umat Islam di dalamnya, atau pember-lakuan demokrasi sebagai sistem pemerintahan suatu negara berikut keterlibatan umat Islam di dalamnya (penguasa, pejabat, pegawai), atau keberadaan perseroan kapitalistik, koperasi, ber-bagai jenis perusahaan asuransi berikut keterlibatan (pendiri, pemilik, pengelola, anggota, pega-wai) umat Islam di dalamnya, atau lainnya masih sangat banyak, adalah realitas kekinian yang hanya terjadi setelah kehidupan dunia tidak lagi berada dalam wadah Islami yakni Khilafah Is-lamiyah.
Artinya, Islam tidak pernah mengenal apalagi mengakui UNO, perbankan, pasar uang, bursa saham, demokrasi, negara kebangsaan, perseroan kapitalistik, koperasi, asuransi, konflik perba-tasan antar negara, konflik berlatar agama, suku maupun ras dan sebagainya yang saat ini nyata ada bahkan berlaku dalam kehidupan manusia di dunia. Oleh karena itu, ketika saat ini seluruh fakta maupun realitas tersebut ada dan berlaku (implemented) maka tentu saja wajib dikembali-kan kepada penyebabnya yakni aqidah sekularisme berikut konsep turunannya yakni demokrasi dan kapitalisme. Sedangkan Islam sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu semua dan berlepas diri dari semuanya, sebab ketika Islam masih menjadi asas kehidupan manusia di du-nia dapat dipastikan bahwa seluruh fakta maupun realitas kekinian tersebut adalah tidak pernah ada.
Wal hasil, Islam mengharamkan seluruh negara kebangsaan yang ada di dunia saat ini (hampir 200 buah) termasuk NKRI, Malaysia, Kerajaan Saudi Arabia, Mesir dan lain-lain baik yang ada di Dunia Islam maupun di Dunia Barat. Seluruhnya berikut semua bentuk maupun jenis aktivi-tas kenegaraan, kerakyatan, perusahaan dan sebagainya yang ada serta berlangsung di dalam-nya, adalah diharamkan oleh Islam dan memang bukan berasal dari atau muncul dari aqidah Is-lamiyah berikut seluruh peraturan yang terpancar darinya yakni syariah Islamiyah.
Dengan demikian, pernyataan Muchtar Zarkasyi yakni : Dalam ayat tersebut, perintah untuk mengambil (khuz) zakat dari sebagian harta umat Islam, diberikan kepada penguasa. “Kalau sekarang harus pemerintah yang mengambil zakat, karena itu pelanjut dari pengganti-peng-ganti penguasa. Setelah Nabi Muhammad saw itu kan dilanjutkan Khulafa ar-Rasyidun, kemu-dian dilanjutkan oleh khalifah-khalifah yang lain. Jadi perintah untuk mengambil dan memu-ngut zakat itu pada penguasa, tidak diragukan lagi merupakan bentuk penolakan secara sadar, pasti dan konsisten terhadap syariah Islamiyah yang mengatur tentang Khilafah maupun Khali-fah. Jika sikap tersebut dilakukan oleh dia (juga siapa pun) dalam kehidupan Khilafah Islami-yah maka dipastikan Khalifah wajib memerangi mereka, hingga mereka taubat dan kembali ke-pada Islam.


Realitas Rasulullah saw, Khulafa Rasyidun dan Khulafa setelahnya
Ketika Nabi Muhammad saw masih melaksanakan dakwah di Negeri Makkah, suatu saat para sahabat menyampaikan usulan kepada beliau untuk melawan keganasan, kesadisan dan kebrutalan para penguasa Quraisy, sekaligus melakukan pembalasan kepada mereka maka jawaban beliau saw adalah : لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ بَعْدُ (kita belum diperintahkan untuk melakukan itu). Apa sebenarnya yang dimaksudkan oleh jawaban Rasulullah saw tersebut, atau realitas apakah yang belum dimiliki oleh umat Islam saat itu sehingga memastikan beliau saw untuk berucap لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ بَعْدُ?
Apa yang dimaksudkan dan realitas apakah yang belum dimiliki oleh umat Islam saat itu, selu-ruhnya dapat ditemukan jawabannya melalui penelaahan terhadap dialog yang terjadi antara Rasulullah saw dengan seluruh qabilah Jazirah Arab (terutama dari Yatsrib) yang hadir di Masjid Al-Haram pada setiap musim haji. Ketika delegasi Aus dan Khazraj bertemu dengan Nabi Muhammad saw untuk kese-kian kalinya maka mereka menyatakan :
اِنَّا قَدْ تَرَكْنَا قَوْمَنَا وَلاَ قَوْمٌ مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالشَّرِّ مَابَيْنَهُمْ فَعَسَى اللهُ اَنْ يَّجْمَعَهُمْ بِكَ فَسَنَقْدَمُ عَلَيْهِمْ فَنَدْعُوْهُمْ اِلَى اَمْرِكَ وَتَعْرُضُ عَلَيْهِمُ الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ (سِيْرَةُ اِبْنِ هِشَامٍ ص. 328-329)
Sungguh kami telah meninggalkan kaum kami dan tidak satu kaum pun yang memiliki permusuhan dan keburukan yang lebih besar dari mereka. Oleh karena itu semoga Allah akan menyatukan mereka me-lalui dirimu lalu kita akan mendatangi mereka lalu menyeru mereka kepada urusanmu dan kamu akan menyampaikan kepada mereka perkara yang telah kami penuhi kepada mu dari agama ini
Lalu, apakah yang dimaksudkan oleh mereka dengan pernyataan الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ? Realitas yang mereka maksudkan dapat dipahami dari ucapan As’ad bin Zararah yang saat itu berkedudukan se-bagai pimpinan suku Khazraj kepada Nabi Muhammad saw :
وَدَعَوْتَنَا وَنَحْنُ جَمَاعَةٌ فِيْ دَارٍ عِزٌّ وَمَنْعَةٌ لاَيَطْمَعُ فِيْهَا اَحَدٌ اَنْ يَّرَأَسَ عَلَيْنَا رَجُلٌ مِنْ غَيْرِنَا قَدْ اَفْرَدَهُ قَوْمُهُ وَاَسْلَمَهُ اَعْمَامُهُ وَتِلْكَ رَتْبَةٌ صُعْبَةٌ فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ (دَلاَئِلُ مِنَ النُّبُوَّةِ لأَبِيْ نُّعَيْمٍ اَلأَصْبَهَانِيْ ص. 106)
Dan kamu telah menyeru kami sedangkan kami adalah komunitas yang tengah hidup di suatu negara dalam keadaan mulia dan kuat. Tidak ada seorang pun dalam komunitas itu yang akan suka orang da-ri selain kami memimpin kami, hal itu karena kepemimpinan telah berlangsung hanya di tangan kaum-nya dan itu telah diserahkan oleh leluhurnya (paman-pamannya). Tentu saja itu adalah permintaan yang sangat sulit, namun kami telah memenuhi permintaanmu tersebut.
Ucapan فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ merupakan jawaban As’ad bin Zararah seketika mendengar seruan Nabi Muham-mad saw, lalu karena dia mengaitkan jawaban itu dengan realitas kesulitan yang harus mereka hadapi jika mereka memenuhi permintaan Rasulullah saw tersebut dengan alasan selama ini kekuasaan di suku Khazraj selalu dipegang oleh salah seorang dari kalangan mereka sendiri, maka sangat jelas maksud dari الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ atau فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ, yakni kesediaan mereka (penduduk Yatsrib) untuk menyerahkan kekuasaan kepada Rasulullah saw atau menjadikan beliau sebagai pemimpin mereka sesuai dengan seruan beliau selama ini kepada mereka. Peristiwa inilah yang menjadi pintu gerbang ba-gi terjadinya Bai’at Aqabah I dan II yang keduanya merupakan bai’at pengangkatan (بَيْعَةُ الإِنْعِقَادِ) yang diberikan oleh penduduk Yatsrib kepada Rasulullah saw untuk menjadi penguasa mereka nanti setelah beliau diperintahkan hijrah ke negeri tersebut oleh Allah SWT. Oleh karena itu jelas sekali bahwa rea-litas yang belum dimiliki oleh umat Islam selama bersama dengan Nabi Muhammad saw dakwah di Negeri Makkah adalah قُوَّةٌ وَمَنْعَةٌ (kekuatan untuk memaksa dan mencegah). Realitas tersebut tentu saja hanya dimiliki oleh negara (دَارٌ اَوْ دَوْلَةٌ), seperti yang dimiliki oleh دَارُ كُفْرٍ قُرَيْشِيٍّ (negara kufur Quraisy) saat itu.
Kesiapan dan kesediaan penduduk Yatsrib untuk dipimpin oleh Rasulullah saw sebagai penguasa mereka (سُلْطَانُهُمْ) yang ditampakkan secara pasti pada peristiwa Bai’at Aqabah I dan II, adalah menjadi realitas اَلسَّبَبُ bagi dilakukannya hijrah ke negeri tersebut yakni setahun dari saat terjadinya Bai’at Aqa-bah II. Sehingga secara otomatis ketika Rasulullah saw telah tiba di Negeri Yatsrib, maka nama negeri itu pun berubah menjadi مَدِيْنَةُ الرَّسُوْلِ alias اَلْمَدِيْنَةُ الْمُنَوَّرَةُ (Madinah Al-Munawwarah) yang sekaligus seba-gai pusat negara dan kekuasaan (عَاصِمَةُ الدَّوْلَةِ وَالسُّلْطَانِ). Seketika itu juga umat Islam yang tersusun dari Muhajirin dan Anshar mewujud sebagai masyarakat Islami (اَلْمُجْتَمَعُ الإِسْلاَمِيُّ) untuk pertama kalinya da-lam wadah Islami yang langsung dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
yakni umat Islam hanya diberi kesempatan satu kali oleh Allah SWT untuk dipimpin dan diurus oleh seorang nabi : Nabi Muhammad saw. Artinya, realitas sosok Muhammad saw selama 10 tahun di Ma-dinah adalah : كَانَ نَبِيًّا وَرَسُوْلاً وَسُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ (sebagai Nabi, Rasul, Sultan dan Kepala Negara). Oleh karena itu dapat diungkapkan :  كَانَ الْقَوْمُ الْمُسْلِمُوْنَ يَسُوْسُهُمْ نَبِيٌّ وَاحِدٌ وَبَعْدَ ذَلِكَ يَسُوْسُهُمُ الْخُلَفَاءُ (kaum muslim itu hanya satu orang Nabi yang mengurus dan memimpin mereka dan setelah itu yang mengurus dan memimpin mereka adalah para Khalifah). Realitas tersebut akan semakin gamblang dengan adanya in-formasi lain dari Rasulullah saw yang ditujukan kepada Ka’ab bin ‘Ujrah :
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي (رواه احمد)
Aku memohon kepada Allah perlindungan bagimu dari imarah sufaha. Dia (Ka’ab) berkata : apakah itu imarah sufaha? Beliau berkata : yakni para penguasa yang akan ada setelah aku, mereka memim-pin tidak dengan hidayahku dan mereka juga tidak memberlakukan aturan dengan sunnahku, maka siapa saja yang membenarkan mereka atas kebohongan mereka dan membantu mereka terhadap ke-zhaliman mereka maka orang-orang itu bukan bagian dariku dan aku bukan bagian dari mereka dan mereka tidak boleh berharap dariku mendapat telagaku, dan siapa saja yang tidak membenarkan me-reka atas kebohongan mereka dan tidak membantu mereka terhadap kezhaliman mereka maka orang-orang itu adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka dan mereka boleh berharap dariku mendapat telagaku
yang menunjukkan bahwa :
1.       akan adanya إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ yakni أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي, memastikan bahwa Na-bi Muhammad saw sendiri adalah اَلأَمِيْرُ (penguasa).
2.       para penguasa pasca Nabi Muhammad saw wajib memenuhi kualifikasi يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَيَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي (memimpin dengan hidayahku dan memberlakukan aturan dengan sunnahku) dan haram bagi me-reka melakukan yang sebaliknya yakni mensifati diri sebagai إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ.
3.       ketika ada إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ dalam Khilafah Islamiyah, maka seluruh umat Islam diharamkan membenar-kan kedustaan mereka dan diharamkan membantu/mendukung mereka. Hal itu karena mereka ada-lah penguasa Islam yang telah meninggalkan Islam sehingga wajib diperangi bukan dibantu.
Kegamblangan posisi Rasulullah saw selaku سُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ semakin pasti dengan adanya wewenang yang beliau pegang yakni memberikan fasilitas kepada para penguasa yang berada di bawah kendali-nya (Wali dan Amil). Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ كَانَ لَنَا عَامِلًا فَلْيَكْتَسِبْ زَوْجَةً فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَكْتَسِبْ خَادِمًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَسْكَنٌ فَلْيَكْتَسِبْ مَسْكَنًا قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ أُخْبِرْتُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّخَذَ غَيْرَ ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ أَوْ سَارِقٌ (رواه ابو داود)
Siapa saja yang menjadi amil kami, maka carilah seorang istri. Lalu jika dia belum punya pembantu maka carilah pembantu, jika dia belum punya rumah carilah rumah. Dia (Mustaurid bin Syaddad) ber-kata : Abu Bakar menyatakan : dikabarkan kepadaku bahwa Nabi saw berkata : siapa saja yang meng-ambil selain itu maka dia telah berbuat curang atau telah mencuri
مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا أَوْ لَيْسَتْ لَهُ دَابَّةٌ فَلْيَتَّخِذْ دَابَّةً وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ (رواه احمد)
Siapa saja yang menjadi wali kami untuk suatu pekerjaan dan dia tidak punya tempat tinggal maka ambillah tempat tinggal atau dia tidak punya istri maka menikahlah atau dia tidak punya pembantu maka ambillah pembantu atau dia tidak punya kendaraan maka ambillah kendaraan dan siapa saja yang mengambil sesuatu selain itu maka dia adalah berlaku curang
Upah (رِزْقًا), istri (زَوْجَةً), rumah (مَسْكَنًا اَيْ مَنْزِلاً), pembantu (خَادِمًا) dan kendaraan (دَابَّةً) adalah fasilitas mendasar yang pasti dibutuhkan oleh setiap orang termasuk para pejabat (Wali dan Amil) dan pegawai negara Khilafah Islamiyah. Fasilitas dasar tersebut wajib disediakan secara gratis oleh Khalifah, karena waktu yang dimiliki oleh para Wali dan Amil sepenuhnya digunakan untuk melaksanakan tugasnya yakni berupaya keras dan konsisten memberlakukan syariah Islamiyah sekaligus mengantarkan setiap orang penduduk Khilafah Islamiyah kepada kesejahteraan hidupnya di dunia.
Lalu, bagaimana halnya dengan realitas Khulafa Rasyidun maupun Khulafa setelahnya? Realitas Khulafa Rasyidun sebagai penguasa dipastikan oleh pernyataan Rasulullah saw :
وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Jadi Khulafa Rasyidun juga Khulafa setelahnya adalah memiliki realitas yang sama dengan Nabi Mu-hammad saw yakni sebagai سُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ, sebab yang dikecualikan oleh Nabi sendiri atas realitas pa-ra Khalifah tersebut adalah hanya realitas beliau sebagai نَبِيًّا وَرَسُوْلاً (وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي). Lalu secara khusus Rasulullah saw sendiri membedakan realitas Khulafa Rasyidun dengan para Khalifah setelahnya :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
Bagian فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ se-hubungan dengan realitas Khulafa Rasyidun, memastikan bahwa seluruh sikap, keputusan, tindakan maupun ketetapan masing-masing dari Khulafa Rasyidun (سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ) adalah sama de-ngan ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw sendiri (سُنَّتِي) yakni sama-sama sebagai dalil syar’iy (دَلِيْلاً شَرْعِيًّا). Mengapa demikian? Hal itu karena perjalanan pemerintahan dan kekuasaan yang dikendalikan oleh Khulafa Rasyidun adalah sama persis dengan perjalanan pemerintahan dan ke-kuasaan saat masih dikendalikan oleh Rasulullah saw. Rasulullah saw memastikan hal itu :
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
Ucapan Rasulullah saw ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ memastikan bahwa Khilafah Islamiyah yang perta-ma kali terwujud setelah beliau wafat yakni yang dikendalikan oleh Khulafa Rasyidun adalah berlang-sung sepenuhnya di atas seluruh ketentuan Islam. Kepastian tersebut juga telah secara riil dilaksanakan oleh keempat Khalifah dari barisan Khulafa Rasyidun : Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Thalib. Inilah realitas yang pasti melekat pada setiap sosok Khulafa Rasyidun be-rikut sikap, keputusan, tindakan maupun ketetapan mereka selama masa kepemimpinannya masing-masing, sehingga layak dan pantas memperoleh keistimewaan yang sangat mendekati keistimewaan Rasulullah saw sendiri (فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ).
Adapun para Khalifah setelah Khulafa Rasyidun yang dimulai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan tentu saja tidak memiliki realitas keistimewaan tersebut, bahkan sebaliknya mereka secara bergantian mensifati realitas مُلْكًا عَاضًّا (يُصِيْبُ الرَّعِيَّةَ فِيْهِ عَسْفٌ وَظُلْمٌ) atau مُلْكًا جَبْرِيَّةً (اَلْقَهْرُ وَشِدَّةُ الظُّلْمِ). Lebih bahkan lagi, eksistensi Umar bin Abdil Aziz walau sangat diharapkan oleh banyak umat Islam saat itu sebagai Kha-lifah yang dapat memenuhi kualifikasi ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ, namun ternyata dia tidak berhasil mewujudkannya sehubungan dengan : (1) dia sendirian dalam haq dan (2) dia sangat singkat menjadi Khalifah yakni dari tahun 99 – 102 H (717 – 720 M) alias hanya tiga tahun. Namun demikian, seluruh Khalifah yang ada pasca Khulafa Rasyidun adalah tetap memiliki realitas yang sama dengan Khulafa Rasyidun yakni sebagai سُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ (penguasa dan kepala negara).
Wal hasil, itulah realitas Rasulullah saw, Khulafa Rasyidun dan para Khalifah setelahnya, yang dilupakan dan tidak pernah dipahamkan oleh Muchtar Zarkasyi, sehingga dengan sangat berani, sem-brono dan sembarangan dia menyamakan serta menyetarakan para penguasa saat ini yang ada di Dunia Islam termasuk NKRI (presiden, perdana menteri, sultan, raja, yang dipertuan agung dan sejenisnya) dengan Rasulullah saw, Khulafa Rasyidun dan para Khalifah lainnya.


Ada apa dengan zakat?
Selama masa kehidupan Islami di dunia yang dimulai oleh Rasulullah saw lalu Khulafa Rasyidun dan berlanjut oleh para Khalifah setelah mereka hingga tanggal 3 Maret 1924, zakat diambil dari umat Islam muzakki oleh mereka (سُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ) atau Amil (اَلْعَامِلُوْنَ عَلَيْهَا) yang diangkat serta ditugaskan oleh mereka. Setelah terkumpul lalu harta zakat dikumpulkan di Bagian Zakat yang ada pada Baitul Mal Khilafah Islamiyah, kemudian dibagikan kepada mustahiq yang berjumlah delapan golongan wa-laupun tidak semua dari delapan golongan tersebut secara permanen memperoleh bagian. Golongan fa-qir, gharim, riqab, muallaf dan miskin, adalah lima golongan yang tidak selalu secara permanen mem-peroleh bagian harta dari zakat. Sedangkan golongan ibnu sabil, amil dan jihad, memang adalah tiga golongan yang akan selalu secara permanen memperoleh bagian harta dari zakat. Bahkan adalah sangat mungkin suatu saat enam golongan tidak lagi perlu diberi bagian dari zakat dan yang tersisa hanya amil serta jihad, sehingga seluruh harta zakat yang tersimpan di Baitul Mal disalurkan hanya kepada kedua golongan tersebut. Jadi memang benar, pengambilan zakat dari para muzakki lalu menyimpannya di Baitul Mal Khilafah Islamiyah dan membagikannya kepada mustahiq, seluruhnya dilakukan dengan sa-tu pintu dan oleh satu orang yakni Khalifah atau Amil.
Oleh karena itu, jika saat ini yakni ketika Khilafah Islamiyah telah lebih dari 85 tahun tidak ada lagi dalam arena kehidupan dunia, ada rencana atau keinginan dari sebagian sangat kecil umat Islam untuk membentuk wadah tunggal pengelola zakat namun tidak terlebih dahulu mereka mengembalikan eksistensi Khilafah Islamiyah dengan membai’at seorang Khalifah yang akan mengendalikan Khilafah secara tunggal, maka itu adalah haram dilakukan (dalil naqliy) sekaligus mustahil dilaksanakan (dalil aqliy).
Lalu mengapa zakat hari ini menjadi piala yang diperebutkan oleh banyak pihak? Tentu saja de-mikian sebab realitas zakat adalah realitas harta (uang dan kekayaan lainnya) yang sangat dibutuhkan dan diinginkan oleh semua orang apalagi dalam kondisi kehidupan kapitalistik saat ini yang selalu ter-jadi ketimpangan kekuatan yang sangat besar dalam kesempatan akses terhadap harta tersebut. Potensi zakat di NKRI diklaim bisa mencapai Rp 19,3 triliun per tahun yang tentu saja sangat menggiurkan se-mua orang, sama persis dengan aset BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) yang dikelola oleh Depag yang setiap tahunnya tidak kurang dari enam triliun rupiah. Jadi inilah “biang keladi” mengapa zakat (juga BPIH) begitu sangat diperjuangkan oleh semua pihak untuk berada dalam kekuasaannya.

Khatimah
Eksistensi Muchtar Zarkasyi dipastikan telah menambah banyak penghuni barisan umat Islam yang tujuan hidupnya (disadari atau tidak) adalah untuk semakin menempatkan Islam pada posisi se-makin dikalahkan di hadapan sistema kufur berbasis sekularisme yakni demokrasi dan kapitalisme.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ ابْنِ خُثَيْمٍ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ مَا يَحْمِلُكُمْ عَلَى أَنْ تَتَابَعُوا فِي الْكَذِبِ كَمَا يَتَتَابَعُ الْفَرَاشُ فِي النَّارِ كُلُّ الْكَذِبِ يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ آدَمَ إِلَّا ثَلَاثَ خِصَالٍ رَجُلٌ كَذَبَ عَلَى امْرَأَتِهِ لِيُرْضِيَهَا أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ فِي خَدِيعَةِ حَرْبٍ أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ بَيْنَ امْرَأَيْنِ مُسْلِمَيْنِ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمَا (رواه احمد)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ ح و حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ وَأَبُو أَحْمَدَ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ و قَالَ مَحْمُودٌ فِي حَدِيثِهِ لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَسْمَاءَ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ ابْنِ خُثَيْمٍ وَرَوَى دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ عَنْ أَسْمَاءَ حَدَّثَنَا بِذَلِكَ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ دَاوُدَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي بَكْرٍ (رواه الترمذي)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ خُثَيْمٍ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ كَذِبُ الرَّجُلِ مَعَ امْرَأَتِهِ لِتَرْضَى عَنْهُ أَوْ كَذِبٌ فِي الْحَرْبِ فَإِنَّ الْحَرْبَ خَدْعَةٌ أَوْ كَذِبٌ فِي إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ (رواه احمد)

حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْجِيزِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَسْوَدِ عَنْ نَافِعٍ يَعْنِي ابْنَ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ الْهَادِي أَنَّ عَبْدَ الْوَهَّابِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ حَدَّثَهُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أُمِّهِ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ قَالَتْ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَخِّصُ فِي شَيْءٍ مِنْ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلَا يُرِيدُ بِهِ إِلَّا الْإِصْلَاحَ وَالرَّجُلُ يَقُولُ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا (رواه ابو داود)

حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنَ الْهَادِ عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أُمِّهِ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ قَالَتْ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِي شَيْءٍ مِنْ الْكَذِبِ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ الرَّجُلِ يَقُولُ الْقَوْلَ يُرِيدُ بِهِ الْإِصْلَاحَ وَالرَّجُلِ يَقُولُ الْقَوْلَ فِي الْحَرْبِ وَالرَّجُلِ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةِ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا (رواه احمد)

حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أُمِّهِ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ أَنَّهَا قَالَتْ رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْكَذِبِ فِي ثَلَاثٍ فِي الْحَرْبِ وَفِي الْإِصْلَاحِ بَيْنَ النَّاسِ وَقَوْلِ الرَّجُلِ لِامْرَأَتِهِ (رواه احمد)


No comments:

Post a Comment