Krisis Finansial Global :
apakah sebagai tanda akhir dari perjalanan kapitalisme?
Pemimpin Spiritual Tertinggi Republik Islam Iran
(RII) Ayatollah Ali Khamenei menyatakan : krisis finansial global merupakan
pertanda berakhirnya kapitalisme, kegagalan demokrasi liberal dan hukuman
Tuhan. Seluruh kejadian ini merupakan tanda keunggulan model politik Republik
Islam itu. Ajaran Marxisme telah ambruk dan suara meletusnya demokrasi liberal
Barat kini terdengar. Kini tak ada jejak Marxisme di dunia dan bahkan
liberalisme pun menyurut.
Presiden RII Mahmoud Ahmadinejad menyatakan : krisis
tersebut merupakan akhir kapitalisme. Keyakinan semacam ini dapat dirunut
kembali ke cita-cita revolusi Islam pada 1979. Iran beruntung pasar sahamnya
tak terpengaruh dengan jatuhnya bursa di negara-negara tetangganya di kawasan
te-luk. Stabilitas itu dikaitkan dengan absennya para investor asing dan
cekaman kuat pemerintah atas kegiatan ekonomi. Penyebab kekalahan mereka adalah
mereka telah melupakan Tuhan dan kesalehan. Krisis finansial akan menjadi
isyarat Tuhan bahwa “kaum penindas dan korup akan digantikan de-ngan kesalehan
dan orang yang beriman”. Sistem perbankan syariah akan membantu kita bertahan
dari krisis ekonomi saat ini.
Hingga kini, negara RII berikut icon
utamanya yakni Pemimpin Spiritual Tertinggi dan Presiden memang
masih sangat dicitrakan kuat sebagai Islam sejati dan sebenarnya
sekaligus sebagai anti Ba-rat, anti demokrasi liberal,
anti kapitalisme dan seterusnya. Bahkan kemunculan Presiden RII saat
ini yang mulai berkuasa sejak tahun 2005 : Mahmoud Ahmadinejad, semakin
mengkristalkan realitas citra negara tersebut, baik di mata “sesama Dunia
Islam” maupun Dunia Barat. Terlebih ada pencitraan lain yang khusus dialamatkan
kepada sosok sang Presiden RII sendiri yakni sebagai “berhaluan radikal”
ter-utama bila dibandingkan dua pendahulunya : Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani dan
Dr. Muhammad Kha-tami. Oleh karena itu, keadaan gejolak finansial global saat
ini sangat digunakan dengan tepat oleh oto-ritas tertinggi negara
RII untuk semakin menguatkan citra tersebut. Namun, terlepas dari kenyataan
ne-gara RII berikut penguasanya, memang ada fakta riil dunia saat ini yang
mendorong mereka berdua un-tuk dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa krisis
finansial global tersebut merupakan akhir dari kapitalisme. Fakta-fakta
tersebut adalah :
1.
total jumlah kredit macet (NPL : non performing loan)
segmen perumahan kelas bawah (subprime mortgage) di negara Amerika
Serikat (AS) pada tahun 2007 adalah 1,3 triliun dolar AS.
2.
dalam rentang waktu kurang dari tiga (3) bulan : Juli –
September 2008, di AS telah terjadi bang-krutnya dua buah bank investasi papan
atas yakni Merrill Lynch dan Lehman Brothers, lalu disusul oleh adanya kesulitan
keuangan perusahaan asuransi terbesar di dunia AIG (America International
Group).
3.
Kongres AS akhirnya menyetujui pengesahan undang-undang
dana talangan (bailout) sebesar 700 miliar dolar AS yang diajukan oleh
pemerintah George Walker Bush untuk keperluan membeli se-bagian besar aset-aset
kredit macet yang ada sekaligus untuk menenangkan gejolak di bursa saham maupun
pasar uang.
4.
keputusan sejumlah Bank Central negara-negara maju
untuk menyuntikan dana segar ke pasar sa-ham maupun pasar uang, sebagai contoh
Bank Of Japan memutuskan untuk menyuntikkan dana se-besar 1,6 triliun yen untuk
menenangkan gonjang ganjing di pasar uang dan pasar modal Jepang.
5. terjadi
penurunan yang luar biasa pada nilai indeks bursa saham utama dunia dalam
interval waktu antara awal September 2008 hingga pekan kedua Oktober 2008 (16
Oktober) dengan rincian :
Bursa Saham
|
Indeks awal September
|
Indeks pekan kedua Oktober
|
Penurunan Indeks
|
Persentase penurunan
|
FTSE 100
Dow Jones
Nasdaq
Hangseng
Nikkei
Straits Time
|
5.000-an
11.000-an
3.000-an
22.000-an
18.000-an
3.000-an
|
3.964,19
8.577,91
1.628,33
15.230,52
8.458,45
1.951,20
|
2.000-an
3.000-an
2.000-an
7.000-an
10.000-an
2.000-an
|
40
27
67
32
56
67
|
6.
perjalanan krisis finansial tidak lebih dari dua (2)
bulan ternyata telah berdampak sangat nyata ter-hadap sektor riil yang ditandai
secara pasti dengan adanya sikap masyarakat mengurangi secara drastis tingkat
konsumsi mereka. Sebagai contoh radikal adalah rakyat negara AS yang selama ini
dikenal sangat boros dalam berbelanja alias sangat tinggi tingkat konsumsinya,
namun sejak terja-dinya krisis tersebut, rakyat AS benar-benar berubah dari
“sangat boros” menjadi “sangat pelit” da-lam membelanjakan uang mereka.
7.
pabrikan otomotif terbesar di dunia yang berpusat di
Detroit AS General Motors (GM) terpaksa ha-rus menutup pabriknya di Janesville
per 23 Desember 2008 dan keputusan ini dilakukan (walau ha-rus mem-PHK sebanyak
1200 orang buruhnya) untuk mengatasi kondisi keuangan GM. Kesulitan keuangan
yang sama juga melanda perusahaan lain seperti Hexxon Oil, Boeing dan lainnya.
8.
keadaan dua sektor yang menjadi penyokong utama
pertumbuhan ekonomi negara AS yakni tingkat konsumsi masyarakat yang menurun
drastis dan tingkat ekspor produk teknologi misal otomotif yang diperkirakan
akan mengalami nasib yang sama (bercermin dari kasus GM), “memaksa” para ekonom
untuk menyimpulkan bahwa pelambatan ekonomi AS yang telah dimulai sejak tri
wulan pertama 2008 (awal Februari 2008) telah dengan pasti mengantarkan
perekonomian negara adidaya itu di depan pintu gerbang resesi ekonomi.
9.
selain terjadinya penurunan yang sangat drastis pada
indeks bursa saham utama dunia dalam tempo tidak lebih dari satu (1) bulan
(periode September – Oktober 2008), juga adanya fluktuasi (naik – turun nilai
indeks alias volatility) yang sangat ekstrim. Volatility yang
ekstrim tersebut tidak dapat dipungkiri sebagai bukti telah terjadinya ketidakpercayaan
para investor kepada realitas pasar sa-ham saat ini. Kondisi yang simetris juga
terjadi pada pasar uang, kecuali untuk mata uang dolar AS alias the green
back.
Apabila “hanya” memperhatikan fakta maupun data
perekonomian global tersebut memang tidak akan ada kesimpulan lain selain
keseluruhannya mempertelakan bahwa sistem perekonomian kapita-lisme
telah benar-benar gagal dalam memfasilitasi dan mengantarkan umat
manusia di dunia kepada kesejahteraannya. Bahkan, sebaliknya perekonomian
kapitalistik telah secara pasti menjerumuskan manusia di dunia ke
dalam kesengsaraan dan kebinasaan kemanusiaan. Jadi, krisis finansial global
saat ini memastikan kegagalan sistem perekonomian kapitalisme dan
sama sekali bukan memastikan ke-bangkrutan yakni berakhirnya sistem
perekonomian tersebut. Justru krisis yang tengah berlangsung itu semakin mengokohkan
seluruh dunia untuk sepakat tetap mempertahankan pemberlakuan sistem
perekonomian kapitalisme sekaligus berupaya keras untuk menjaga
keberlangsungannya. Kesepakatan tersebut ditunjukkan oleh keputusan otoritas
fiskal (pemerintah) maupun moneter (Bank Central) untuk melakukan berbagai
kebijakan demi menyelamatkan eksistensi perekonomian kapitalisme di dunia.
Pe-nyuntikan dana segar ke pasar (saham maupun uang) dan menaikkan atau
menurunkan suku bunga acu-an yang dilakukan oleh Bank Central adalah kebijakan
otoritas moneter yang sangat lazim dan lumrah bahkan wajib dilakukan untuk
meredam gejolak krisis finansial yang tengah berlangsung. Pemberian dana
talangan (bailout, kasus di AS hingga senilai 700 miliar dolar),
penjaminan bagi dana pihak ketiga (tabungan masyarakat) di bank (kasus di
Indonesia jaminan itu hingga batas Rp 2 miliar) dan lainnya adalah kebijakan
yang saat ini wajib diambil oleh otoritas fiskal (pemerintah). Artinya, seperti
halnya seluruh dunia sepakat bahwa krisis finansial global benar-benar tengah
terjadi, maka seluruh dunia juga sepakat bahwa krisis tersebut harus segera
diakhiri dan itu demi untuk satu hal yakni menyelematkan sistem
perekonomian kapitalisme : pemberlakuannya maupun keberlangsungannya.
Dengan demikian, dua orang penguasa tertinggi RII
telah berbuat kekeliruan yang sangat fatal yakni menjadikan fakta krisis
finansial global saat ini sebagai bukti atau tanda
berakhirnya alias bang-krutnya sistem perekonomian kapitalisme. Kekeliruan
tersebut nampaknya bukan tidak disengaja mela-inkan sebuah sikap yang disadari
dan terencana yang bertujuan untuk semakin mengelabui serta meng-aburkan
pandangan kaum muslim sedunia, sehingga umat Islam tetap dalam status quo
yakni tidak me-mahami apa pun baik itu Islam maupun kekufuran.
Lebih dari itu, bukankah RII sendiri dalam men-jalankan pemerintahan maupun
perekonomiannya sama persis dengan negara mana pun di dunia
ter-masuk AS : demokrasi dan kapitalisme? Jadi, walau dua orang penguasa
tertinggi RII itu bersuara sea-kan anti demokrasi, anti kapitalisme, anti
hegemoni Barat (AS) dan seterusnya, namun pada hakikatnya negara tersebut simetris
dan tipikal dengan negara yang paling berdemokrasi dan paling
kapitalistik di dunia yaitu AS.
Hakikat krisis finansial
global
Secara sederhana penyebab faktual terjadinya krisis
finansial global saat ini adalah berawal di ne-gara AS, yaitu ketika otoritas
moneter The Federal Reserve alias The Fed pada tahun 2005
memutus-kan untuk menurunkan secara radikal suku bunga acuan : The Fed Funds
Rate yakni dari 6 persen men-jadi 4 persen di akhir 2005 atau awal 2006. Kebijakan
tersebut memang luar biasa pengaruhnya bagi tingkat konsumsi rakyat AS terutama
di sektor perumahan kelas bawah (subprime) yang ditunjukkan dengan
adanya booming perumahan kelas itu yakni warga AS berbondong-bondong
mengambil kredit perumahan.
Namun kebijakan penurunan suku bunga secara radikal
tersebut ternyata sangat merugikan AS dalam percaturan perekonomian global yang
ditandai dengan merosotnya kurs dolar AS terhadap mata uang kuat dunia lain
terutama euro, yen, yuan dan won serta meningkatnya inflasi di dalam negeri.
Ke-adaan merugikan itu diatasi oleh The Fed dengan menaikkan kembali The
Fed Funds Rate ke level se-mula : 6 persen dan berakibat terjadilah kredit
macet besar-besaran di sektor perumahan kelas bawah : subprime mortgage
ditambah munculnya penurunan konsumsi masyarakat secara umum yang berakibat
melambatnya pertumbuhan perekonomian
negara AS (di bawah 6 persen per tahun 2006 bahkan sema-kin merosot per
tahun 2007 yakni hanya 2,2 persen). Bahkan kombinasi kebijakan fiskal dan
moneter yang diambil pada awal tahun 2008 (akhir Januari 2008) yakni berupa :
(a) penurunan suku bunga The Fed hingga tinggal 3 persen serta (b) kebijakan
stimulus fiskal pemerintah AS berupa pemotongan pa-jak (tax rebates)
sebesar 800 dolar AS per orang dan 1.600 dolar AS per rumah tangga dengan total
sti-mulus 150 miliar dolar AS, sama sekali belum dapat mendorong tingkat
konsumsi masyarakat AS (per-tumbuhan ekonomi). Belum lagi kombinasi kebijakan
fiskal dan moneter tersebut dapat memulihkan perekonomian, telah muncul
persoalan lain yakni kesulitan likuiditas alias keuangan di sektor perbank-an
yang akhirnya pada pertengahan September 2008 telah memakan korban dengan
bangkrutnya dua buah bank investasi papan atas AS : Merryl Lynch dan Lehman
Brothers. Kebangkrutan dua bank pa-pan atas AS tersebut ternyata tidak
sendirian melainkan membawa serta kesulitan likuiditas (musim ke-marau
likuiditas : istilah yang digunakan oleh Gubernur BI Boediono) di hampir
seluruh lembaga pem-biayaan bank maupun non bank yang ada di dunia. Akibatnya
sudah dapat dipastikan yakni terjadinya penurunan harga saham semua jenis
perusahaan (termasuk perbankan) di berbagai bursa : (a) interna-sional (Dow
Jones dan Nasdaq), (b) regional (misal Asia Pasifik : Nikkei, Hangseng, Kospi,
Strait Times, Australian All) maupun lokal misal BEI dan keadaan itu menjadikan
indeks bursa-bursa saham tersebut mengalami kemorosotan yang luar biasa
tajamnya seperti yang terjadi pada pekan kedua bulan Oktober 2008.
Mengapa gejolak di bursa saham (Stock
Market) dan pasar uang (Currency Market) menjadi in-dikator utama
terjadinya kelesuan ekonomi bahkan sangat mungkin resesi ekonomi dunia?
Bursa saham adalah tempat bagi perusahaan apa pun (the
corporation) untuk memastikan jatidiri-nya sebagai perusahaan yang terbuka
alias go public atau bahkan go international. Hal itu dilakukan
dengan penawaran saham perdana kepada publik (IPO : Initial Public Offering)
dan dilanjutkan dengan mencatatkan diri di bursa alias menjadi emiten. Setelah
perusahaan tersebut resmi tercatat (listed) di bursa saham, maka posisi
sahamnya tidak berbeda sedikit pun dengan komoditas perdagangan di sektor riil
(beras, minyak goreng, terasi, ikan asin, lada, sabun cuci, shampo dan
sebagainya) yakni akan di-perjual belikan secara bebas dan harganya akan
mengikuti kinerja perusahaan serta kondisi cash flow-nya. Apabila
perusahaan diisyukan menunjukkan kinerja yang bagus dengan prediksi akan
mendapat keuntungan yang besar, maka isyu seperti itu merupakan sentimen
positif bagi perusahaan sehingga harga sahamnya akan naik karena diburu oleh
sangat banyak investor (pembeli saham, baik lokal mau-pun asing). Jika
mayoritas saham (terutama saham-saham unggulan atau blue chips) di suatu
bursa sa-ham mengalami hal demikian maka menjadikan indeks bursa yang bersangkutan
akan meningkat tajam (di atas 2 persen), sebaliknya bila mayoritas saham
(terutama saham-saham unggulan atau blue chips) mengalami penurunan
harga akibat adanya sentimen negatif, maka indeks bursa yang bersangkutan akan
menurun tajam (di atas 2 persen).
Kenyataannya, para investor di bursa saham ada tiga
kelompok besar yakni :
1.
investor sejati yaitu para pemilik dana yang memang
merencanakan menanamkan uangnya dengan membeli saham dan ingin memperoleh
keuntungan “hanya” melalui mekanisme naik dan turunnya harga saham serta dari
pembagian keuntungan perusahaan yang sahamnya telah dikoleksi.
2.
investor sekedar mampir yaitu para investor temporer
yang hanya ingin “memarkirkan sejenak” da-nanya di saham sebagai alternatif
instant memperoleh keuntungan besar dari berbagai sumber. Ini-lah yang dikenal
sebagai para pemilik hot money. Mereka sama sekali tidak peduli dengan
peluang pembagian keuntungan dari perusahaan yang bersangkutan, mereka hanya
membidik keuntungan dari transaksi saham, tidak lebih.
3. investor
spekulan yakni hakikatnya mereka adalah para spekulan yang melibatkan diri
dalam tran-saksi di bursa kadang secara illegal (indikasi inilah yang
menyebabkan otoritas BEI melakukan suspend alias penghentian transaksi jual
beli saham pada pekan pertama Oktober 2008).
Pada kondisi normal,
investor sejati adalah yang mendominasi dinamika suatu bursa baik penjualan
maupun pembelian, sedangkan investor temporer maupun spekulan memang terlibat
namun sangat ke-cil (minoritas). Sehingga naik atau turunnya indeks bursa saham
benar-benar mencerminkan tingkat in-vestasi yang terjadi di negara
bersangkutan. Tetapi, pada kondisi krisis atau terlalu banyak sentimen
negatifnya baik internal maupun eksternal maka transaksi di bursa justru
didominasi oleh investor tem-porer dan spekulan, bahkan sangat mungkin investor
sejati pun berubah wujud jadi spekulan. Hal itu karena (seperti saat ini),
mereka akan bersikap hedging yakni melindungi nilai dana mereka.
Sikap hedging adalah normal dan lumrah
menurut ekonomi kapitalistik sebab tidak ada seorang pun yang bersedia
mengalami kerugian apalagi kehilangan dananya. Oleh karena itu, seiring adanya
kesulitan likuiditas sebagian besar lembaga keuangan dunia (bahkan telah ada
yang menjadi korban de-ngan mengalami kebangkrutan) yang selama ini membiayai
seluruh perusahaan yang tercatat di bursa maupun pemberi fasilitas kredit
kepada masyarakat, maka para investor mengalami kepanikan, sehing-ga mereka
segera saja melepas seluruh saham yang telah dikoleksinya alias panic
selling untuk dialih-kan kepada sektor lain yang dianggap sangat lebih aman
seperti investasi dalam bentuk emas (gold) atau memborong dolar AS.
Dengan kata lain, para investor di bursa atau lebih tepatnya negara yang
bersangkutan beramai-ramai hengkang dengan membawa serta dananya. Saat ini
sikap para investor tersebut terjadi secara sporadis dan mengglobal sehingga
seluruh bursa saham utama di dunia menga-lami penurunan indeks yang sangat
tajam dalam tempo tidak lebih dari satu bulan serta mengalami vo-latility
indeks yang sangat ekstrim. Inilah, hakikat krisis finansial saat
ini.
Keseluruhan mekanisme perekonomian sektoral tersebut
(baik sektor modal maupun riil) telah amat sangat dipahami dengan
pasti oleh para Gubernur Bank Central setiap negara yang ada di dunia (apalagi
oleh Gubernur The Fed : Ben Bernanke) juga oleh para menteri keuangannya
termasuk men-teri keuangan AS. Artinya dapat dipastikan bahwa kejadian krisis
finansial saat ini sama sekali bukan situasi yang tidak
pernah terduga sebelumnya alias kejadian yang berlangsung begitu saja,
melainkan justru keadaan yang benar-benar pasti akan terjadi suatu saat
sebab merupakan bagian tak terpisah-kan dari mekanisme sistema perekonomian
kapitalistik. Lalu, siapakah atau pihak manakah atau ne-gara manakah
yang diuntungkan dengan terjadinya krisis finansial tersebut?
Secara perorangan yang paling akan diuntungkan oleh
krisis saat ini adalah para pelaku yang mempraktikkan mekanisme hedge funds
yakni apa pun alasannya dan dalam keadaan bagaimana pun yang paling wajib dilindungi
nilainya (hedging) adalah dana mereka. Hal itu karena mereka menanam-kan
dananya pada sektor modal (saham dan uang) dalam periode jangka pendek (short
term) bahkan (walau illegal) tidak jarang mereka melakukan aksi over
night alias tidak lebih dari hanya 12 jam. De-mikian juga pengaruh buruk
krisis tersebut tidak akan pernah menerpa perusahaan pialang (broker
cor-poration) sebab perusahaan ini sama sekali tidak terlibat langsung
dalam transaksi seperti para investor. Mereka hanya menjadi perantara yang menghubungkan
antara investor dengan manajemen perusahaan yang listed di bursa. Jika
pun masih ada pengaruh buruk bagi mereka dari krisis, maka itu pun hanya berupa
menurunnya tingkat pendapatan dan bukan kerugian (the lost of funds).
Negara
manakah yang paling diuntungkan oleh kejadian krisis? Untuk mengetahui negara
mana di dunia yang paling diuntungkan dengan terjadinya krisis, maka dapat
ditelusuri melalui sejumlah kon-sep dan pemikiran kapitalistik :
1.
prinsip perekonomian kapitalisme menggariskan bahwa korbanan
apa pun harus selalu memberikan keuntungan maksimal bahkan wajib diupayakan
selalu terjadi korbanan itu sekecil mungkin dan ke-untungan sebesar mungkin.
Prinsip ini secara eksplisit (telah diimplementasikan di seluruh negara yang
ada di dunia) maupun implisit (seruan yang terkandung didalamnya) menuntut
siapa pun (in-dividu) atau pihak mana pun (perusahaan) atau kekuatan mana pun
(negara) untuk dapat menguasai secara utuh sumber bahan baku (raw material
resources) dan pasar (the market). Apabila hal itu telah dapat
diraih maka orang tersebut atau perusahaan tersebut
atau negara tersebut dipastikan akan menjadi penguasa dan
pengendali utama (bahkan mungkin satu-satunya) perekonomian dunia. Realitas ini
telah melekat pasti dan sangat erat pada negara AS dan itu ditunjukkan oleh :
(a) posisi mata uang dolar AS : the green back terhadap mata uang kuat
dunia lainnya, (b) posisi bursa utama AS : Dow Jones dan Nasdaq yang selalu
menjadi acuan serta inspirasi bagi bursa saham utama du-nia lainnya, (c) posisi
The Fed yang hingga saat ini telah menjadi Bank Central Dunia
mengalah-kan posisi World Bank (WB) sendiri, (d) porsi saham negara AS di dua
lembaga keuangan dunia : WB dan IMF (International Monetery Funds) yang
mencapai mayoritas (lebih dari 51 persen) dan (e) posisi AS dalam percaturan
politik global yang terepresentasikan dalam UNO alias PBB.
2.
PDB (Produk Nasional Bruto) atau GNP (Gross National
Product) suatu negara menunjukkan posi-si negara itu dalam perekonomian
global, yakni semakin besar PDB (apalagi paling besar di dunia) maka negara
tersebut adalah penguasa dan pengendali sejati terhadap
perekonomian dunia. Hing-ga saat terjadinya krisis finansial global (2008), PDB
negara AS adalah paling besar sedunia yakni mencapai 15 triliun dolar. Demikian juga kapitalisasi
Dow Jones adalah paling besar di antara bur-sa utama dunia lainnya yaitu dapat
mencapai 5 triliun dolar dalam satu hari transaksi (bandingkan dengan BEI yang
kapitalisasi maksimal dalam satu hari adalah 5 triliun rupiah). Bahkan aset
total yang dikelola oleh otoritas Dow adalah 150 persen PDB AS (22,5 triliun
dolar). Dengan demikian dari aspek ini pun, negara AS adalah satu-satunya
negara yang paling diuntungkan ketika seluruh dunia dilanda krisis finansial.
3. asas yang mendasari dilakukan atau
tidak dilakukannya suatu tindakan dalam ideologi kapitalisme adalah manfaat
baik itu secara materi/finansial maupun secara kedudukan/prestise/popularitas.
Pa-da kasus krisis finansial saat ini, adalah diduga kuat bahkan dapat
dipastikan memang sengaja di-rencanakan (planned) atau dirancang
(designed) untuk terjadi. Memang perencanaan dan peranca-ngannya bukan
baru dilakukan satu atau dua hari maupun satu atau dua bulan,
melainkan telah di-lakukan sejak lama yang mungkin saja sejak satu atau lima tahun
yang lalu. Rancangan utamanya (grand design) ditunjukkan oleh adanya
isyu atau rumors seputar the economical slow down of the USA yang mulai
dihembuskan ke arena internasional sejak paruh kedua tahun 2005, lalu semakin
ditegaskan pada periode tahun 2006 hingga 2007 dan akhirnya gong
pun dipukul pada tri wulan III tahun 2008 : krisis finansial global.
Realitas ini menunjukkan bahwa krisis tersebut memang perka-ra yang harus
dilakukan sebab akan memberikan manfaat yang jauh lebih
besar dibandingkan bila perjalanan perekonomian dunia yang sudah mapan
bahkan cenderung mengalami kejenuhan dibi-arkan berlanjut tanpa
adanya hentakan, cekaman atau kontraksi apa pun yang berarti. Tegasnya, AS
membiarkan begitu saja krisis saat ini terjadi (walau sangat memahami benar akan
terjadinya) un-tuk merealisir kepentingannya : (a) mempertahankan posisinya
sebagai the only super power in the whole world sekaligus menjaga
keberlangsungannya, (b) menutup rapat-rapat semua celah sekecil apa pun bagi
munculnya pesaing berat bagi dirinya dalam posisi sebagai the richest
dan “membina-sakan” pesaing (selemah apa pun keadaannya : Uni Eropa, Jepang,
China) yang sudah terlanjur muncul ke permukaan bumi dan (c) semakin
menunjukkan jatidiri kepada Dunia Islam bahwa ne-gara AS (apalagi ditambah
sekutunya) adalah mustahil alias imposible untuk
dikalahkan apalagi di-hancurkan oleh kekuatan mana pun di luar negara tersebut.
Sehingga, krisis saat ini dipastikan sa-ngat menguntungkan AS,
karena negara itu sendirilah yang paling menginginkan krisis tersebut
terjadi bahkan membiarkannya terjadi.
Wal hasil, krisis finansial global
saat ini menjadikan negara AS paling tidak tetap dalam status quo-nya
sebagai the number one dalam segalanya, bahkan sangat diperhitungkan
dengan cermat oleh mereka bahwa krisis tersebut akan mengantarkan AS kepada
posisi yang lebih “super lagi” dibandingkan kedu-dukannya sekarang. Jadi, bagaimana
mungkin krisis tersebut dianggap sebagai tanda berakhirnya ri-wayat
pemberlakuan kapitalisme di dunia? Justru realitas terjadinya krisis
itu sendiri memastikan bah-wa usia kehidupan kapitalisme di dunia akan
semakin panjang dan memang tengah diperpanjang. Inilah
yang wajib disadari oleh kaum muslim dan Dunia Islam bahwa kaum kufar وَعَلَى رَأْسِهِمْ negara AS akan
selalu dan selalu memastikan jatidiri mereka sebagai musuh abadi Islam dan umat
Islam hingga kapan pun. Mereka pun akan selalu melakukan persekongkolan global
(اَلْمُؤَامَرَةُ الْعَوْلَمَةُ) yang
diantaranya tengah berlangsung kini untuk semakin menjauhkan pemikiran dan
perasaan umat Islam dari Islam da-lam rangka semakin mempermudah mereka untuk
menghancurkan Islam dan Dunia Islam. Allah SWT menyatakan :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ
يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ (الأنفال : 36)
يُرِيدُونَ
لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ
كَرِهَ الْكَافِرُونَ (الصف : 8)
Gambaran hakiki (اَلتَّعْبِيْرُ
الْحَقِيْقِيُّ) dari krisis finansial global bagi
umat Islam
Populasi kaum muslim sedunia sama sekali tidak
sedikit sebab merupakan seperenam lebih dari total penduduk dunia yang telah
mencapai lebih dari 6 miliar orang. Jumlah mereka yang bermukim di Asia
Tenggara terutama Indonesia dan Malaysia sekitar 300 juta orang. Lalu yang
tinggal di kawasan Timur Tengah plus Afrika serta Asia Tengah adalah sekitar
700 juta orang dan sisanya (sekitar 100 juta orang) adalah yang menyebar secara
sporadis di negeri-negeri kufur seperti Eropa, Amerika, Kanada, Australia dan
lainnya. Lalu, apa hubungan antara realitas faktual populasi kaum muslim dengan
krisis yang tengah melanda dunia saat ini?
Krisis finansial saat ini berawal dari kredit macet
dalam jumlah sangat besar di negara AS yang mencapai 1,3 triliun dolar AS. Dana
sebesar itu memang besar namun menjadi sangat kecil bila di-bandingkan dengan
PDB negara AS (15 triliun
dolar) maupun total aset yang dikelola oleh otoritas bur-sa Dow Jones
(22,5 triliun dolar), bahkan masih juga terkategori kecil bila dibandingkan
dengan kapita-lisasi Dow Jones dalam satu hari transaksi yang dapat mencapai 5
triliun dolar. Namun fakta memasti-kan bahwa walau jumlahnya kecil ternyata
kredit macet tersebut dapat menjadikan perputaran roda per-ekonomian AS bahkan
dunia dalam “posisi macet” bahkan hampir saja berhenti total (resesi). Hal itu
ditunjukkan oleh merosotnya kinerja pilar-pilar perekonomian kapitalistik :
bursa saham, pasar uang, pasar komoditas, perbankan, perindustrian dan
sebagainya. Lantas apakah yang dapat dipahamkan oleh umat Islam dari kenyataan
mutakhir tersebut?
Penduduk AS menempati peringkat ketiga terbanyak
setelah China (1,3 miliar orang) dan India (900-an juta orang) yakni sekitar
700-an juta orang. Bila diasumsikan bahwa yang terlibat dalam kasus subprime
mortgage adalah 50 persen dari total penduduk AS, maka itu berarti jumlah
manusia yang menjadi pemicu krisis finansial saat ini adalah “hanya” 350-an
juta orang. Padahal harus diingat pelaku yang 350-an juta orang tersebut adalah
sepenuhnya penganut setia dan pengusung serta yang membela mati-matian ideologi
kapitalisme dan sama sekali bukan komunitas manusia yang anti ideologi tersebut
atau yang berusaha untuk menghancurkannya.
Oleh karena itu, bila
saja minimal umat Islam yang terkategori عَاقِلاً بَالِغًا
يَفْهَمُ الْخِطَابَ yakni
sekitar 30 persen dari total umat Islam alias 300 juta orang, bersepakat untuk
menghentikan pemberlakuan sis-tem perekonomian kapitalisme berikut induknya
(sekularisme) maupun saudara kembarnya (demokra-si) maka dapat dipastikan akan
terjadi bukan hanya krisis finansial atau resesi ekonomi melainkan
bangkrut dan hancurnya kekufuran tersebut (sekularisme dan turunannya)
beserta para penganut dan pengusung setianya selama ini yaitu kaum kufar. Namun
amat sangat disayangkan bahwa kesadaran kaum muslim berkenaan
dengan ketidak layakkan sistema kufur tersebut bagi kemanusiaan hingga saat
terjadinya krisis finansial, sama sekali belum ada. Bahkan sekedar keinginan
naluriah untuk melepas-kan diri dari belenggu sistema kufur tersebut pun
nampaknya tidak pernah ada walau telah sangat nya-ta bahwa tidak
ada kontribusi apa pun dari kekufuran itu bagi kehidupan manusia selain telah
mengan-tarkan mereka kepada kebinasaan kemanusiaannya alias menyebabkan mereka
hidup dalam pola kehi-dupan hewani yang nyata-nyata bertentangan dengan
realitas mereka sebagai manusia. Allah SWT me-nyatakan :
أَفَلَمْ يَسِيرُوا
فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ
يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (الحج : 46)
Dengan demikian, kaum muslim
di mana pun termasuk yang menjadi warga RII tidak boleh alias ha-ram
memiliki harapan apa pun dan sekecil apa pun kepada sosok-sosok penguasa mereka
baik itu Aya-tollah Ali Khamenei, Presiden Mahmoud Ahmadinejad, Presiden SBY,
Perdana Menteri Abdullah Ah-mad Badawi, Raja Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud
dan sebagainya. Hal itu karena selain para pe-nguasa tersebut adalah antek
sejati kekufuran dan kaum kufar, melainkan juga mereka adalah
manusia-manusia bodoh (رُءُوسًا جُهَّالًا) yang berlagak cerdas
sehingga dirinya sesat sekaligus menyesatkan orang lain. Rasulullah saw
menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ
النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا
وَأَضَلُّوا (رواه البخاري)
No comments:
Post a Comment