Sekeping realitas dari Indonesia : bukti
hakiki kebinasaan kemanusiaan global (point 2)
KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme) adalah hama dan penyakit
dalam penyelenggaraan negara yang sangat dimusuhi dan dibenci oleh masyarakat
Indonesia, terutama setelah mereka dipaksa harus merasakan penderitaan lebih
dari 32 tahun akibat pekatnya sikap KKN selama berkuasanya rezim Orde Baru di
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kebencian dan permusuhan terhadap
KKN telah mendorong pasti MPR saat itu untuk mengeluarkan TAP MPR tentang
pemberantasan praktik KKN dalam penyelenggaraan negara, baik itu di
pemerintahan (eksekutif), DPR (legislatif) maupun yudika-tif. Terbentuknya
Komisi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK, cikal bakal KPK saat ini),
ditetap-kannya undang-undang yang mengharuskan pelaporan kekayaan para pejabat
negara (sebelum, selama dan sesudah menjabat), dibentuknya Timtas Tipikor (Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), ada-nya Pengadilan Tipikor (bahkan saat
ini telah dikukuhkan dengan disahkannya Undang-Undang Penga-dilan Tipikor) dan
lainnya yang berhubungan atau yang sejenisnya, seluruhnya ditujukan untuk
mence-gah (supaya tidak terjadi) atau mengobati (saat telah terjadi) tindak
pelanggaran para pejabat negara terutama yang terkategorikan sebagai korupsi.
Namun, keberadaan berbagai perangkat
penegakkan hukum untuk mengganyang KKN di NKRI tersebut hingga perjalanannya
yang telah lebih dari 10 tahun, ternyata tidak memberikan pengaruh pasti berupa
berhenti dan lenyapnya hama dan penyakit itu melainkan sekedar
berposisi sebagai petugas pemadam kebakaran (PMK) setiap kali munculnya
kejadian KKN. Hal lain yang masih dapat diperbuat oleh perangkat-perangkat
tersebut adalah menyampaikan laporan kemajuan (progress report) kepada
yang memerlukan maupun yang memintanya, seperti kepada pemerintah atau DPR,
berupa berapa ba-nyak uang negara yang dapat diselamatkan, atau jumlah para
koruptor yang telah diganjar pidana pen-jara, atau jumlah jaringan mafia yang
berkolusi dalam tindak korupsi yang dapat diputus mata rantai-nya. Bahkan
pengaruh buruk (efek utama maupun sampingan) dari semakin banyaknya perangkat
pe-negakkan hukum tersebut adalah :
1.
semakin panjang, rumit dan kompleks struktur birokrasi maupun administrasi
negara yang sejatinya dibuat adalah untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat saat mereka ingin memenuhi ke-pentingan dan kebutuhannya.
2.
alih-alih dapat menghentikan dan melenyapkan realitas KKN, malahan
justru keberadaan perangkat tersebut secara pasti semakin memperbanyak
sekaligus memperbesar celah untuk terjadinya tindak KKN (baik dengan modus lama
maupun baru) yang dilakukan oleh para birokrat maupun aparat administrasi. Hal
itu karena dengan semakin panjang, rumit dan kompleks struktur birokrasi
mau-pun administrasi negara akan berakibat pasti semakin lama masyarakat dalam
memperoleh pelaya-nan saat mereka membutuhkan pemenuhan terhadap kebutuhannya.
Keadaan ini secara konstelatif akan menimbulkan tarik menarik simbiosa
mutualistik antara pejabat negara yang ada di perangkat tersebut dengan
masyarakat, yakni masyarakat sangat perlu segera terpenuhinya kepentingan dan
kebutuhan mereka, sedangkan para pejabat (telah diberi gaji/upah) tentu juga
memiliki kepentingan “pribadi” yakni hasrat untuk dapat semakin menderaskan
aliran uang ke kantongnya.
Kedua pengaruh buruk tersebut selalu terjadi
dan bersifat pasti, sedangkan pengaruh baiknya
yakni yang sesuai dengan peruntukkan dari eksistensi perangkat itu sendiri
sangat nampak jarang terjadi dan bahkan hampir tidak pernah terealisir dalam
arena kehidupan kenegaraan.
Kasus Artalyta Suryani yang merancang persekongkolan dengan para
petinggi Kejaksaan Agung (Kejagung) yakni Jampidsus (Kiemas Yahya Rahman) dan
Jaksa Agung Muda Perdata (Untung Puji Santosa) dengan tumbal Jaksa Tri Urip
Gunawan, serta orkestra permufakatan jahat yang dipimpin oleh conductor
Anggodo Widjojo dengan personel Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji,
mantan Jamintel Kejagung Wishnu Subroto, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga
serta didukung oleh se-jumlah lawyers, perwira penyidik Polri, LPSK
(Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan lainnya, menunjukkan bahkan
membuktikan bahwa stigma semakin panjang, rumit dan kompleks struktur
biro-krasi maupun administrasi negara berakibat pasti semakin mudah, banyak dan
besar celah untuk mela-kukan tindak penyelewengan maupun penyalahgunaan
wewenang yang digenggam para pejabat negara di semua pilar Trias Politica.
Harus diingat bahwa kedua kasus konspirasi dan kolusi antara para peja-bat
negara dengan pengusaha dan masyarakat tersebut berpola fenomena gunung es,
yakni yang nam-pak oleh mata adalah hanya 30 persen, sedangkan yang tenggelam
adalah 70 persen.
Itulah sekeping realitas konspirasi dan kolusi antara pejabat
negara, pengusaha dan masyarakat dalam merancang dan melakukan penyimpangan
sekaligus penyalahgunaan wewenang yang terjadi di NKRI. Tentu saja, realitas
serupa juga terjadi di seluruh negara kebangsaan yang ada di dunia termasuk
apalagi di negara-negara maju (G8 : Amerika Serikat/AS,
Kanada, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Rusia). Bahkan secara
kualitatif yakni dari sisi jumlah uang negara yang dikorupsi atau
dise-lewengkan yang terjadi di negara-negara maju tentu saja sangat jauh lebih
besar daripada di negara-negara berkembang apalagi di negara-negara miskin.
Sebagai contoh : Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, pada tahun 1997
telah menyuap pengacara David Mills sebesar 600.000 dolar AS (dalam rupiah
dengan kurs 9.500 rupiah per dolar = Rp 5.700.000.000) supaya memberikan
kesaksian palsu di pengadilan terkait dengan pembelian hak film oleh Mediaset.
Bandingkan dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Anggodo Widjojo yakni
sekitar Rp 15 miliar yang dibagikan kepada lebih dari 10 orang. Artinya di Italia
uang sebesar 5,7 miliar rupiah ditujukan bagi seorang saja, sedangkan di
In-donesia uang sebanyak 15 miliar rupiah dibagikan kepada 10 orang (1,5 miliar
rupiah per orang). Tentu saja fakta tersebut adalah baru dari satu kasus di
satu negara maju (Italia) dan dapat dipastikan bahwa secara akumulatif akan
jauh sangat lebih besar kualitasnya di negara maju (apalagi di AS) daripada di
negara berkembang (misal NKRI) atau miskin (misal negara-negara Afrika Tengah,
Barat dan Timur).
Oleh karena itu, tanpa harus meneliti seluruh
kasus yang terjadi di seluruh negara, dapat dipasti-kan bahwa realitas
ideologis dan sistemik yang tengah diberlakukan terhadap kehidupan manusia saat
ini yakni kapitalisme sekularistik nyata-nyata telah mendorong sekaligus
mengantarkan manusia untuk mengeksploitasi seluruh kecenderungan dan
kepentingan naluriahnya. Artalyta Suryani, Anggodo Wi-djojo, Silvio Berlusconi
dan lainnya, merancang berbagai strategi dan menghalalkan segala cara untuk
memenangkan kepentingan naluriahnya : mempertahankan diri, membela keluarga,
meraih kekayaan dan sebagainya. Singkat kata, ideologi kapitalisme telah
mewujudkan sistem yang memaksa manusia (secara menyenangkan) untuk meninggalkan
jatidiri orisinalnya selaku manusia yang memiliki aqal de-ngan khasiat
dapat memutuskan mana fakta benar dan mana fakta salah,
mana halal dan mana haram. Kapitalisme telah membinasakan sisi kemanusiaan
manusia secara sistemik, sehingga mereka menjel-ma menjadi hewan dengan ciri
khasnya yakni menjadikan kepentingan naluriah sebagai satu-satunya pertimbangan
(standard alias اَلْمِقْيَاسُ) bagi dilakukan dan tidak dilakukannya
seluruh perbuatan selama hidup di dunia. Inilah yang dimaksudkan oleh
pernyataan Allah SWT :
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ
دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ
الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (العنكبوت :41)
Realitas orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai
auliya adalah seperti laba-laba yang membuat rumah (sarang) dan sungguh
serapuh-rapuhnya rumah adalah sarang laba-laba, andaikan mereka mengetahui hal
itu.
Artinya,
karena mereka telah meninggalkan aturan Allah SWT yakni Islam dan lalu beralih
kepada aturan atau sistem atau ideologi yang dibuat sendiri oleh tangan mereka,
maka itu berarti mereka telah membangun kehidupan dunia yang sangat rapuh
persis seperti rapuhnya sarang laba-laba. Rapuhnya kehidupan yang mereka bangun
ditunjukkan secara pasti oleh hilang dan binasanya sisi orisinal kema-nusiaan
mereka yakni aqal mereka tidak lagi difungsikan untuk memahami halal dan
haram alias ke-tentuan Allah SWT dan juga tidak digunakan untuk memastikan
mana fakta benar dan mana fakta sa-lah, sesuai dengan realitas fakta itu
sendiri apa adanya. Itulah mengapa Allah SWT memposisikan ka-um kufar sebagai
manusia yang dungu-idiot (قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
(الأنفال : 65)) dan tidak memfungsikan aqal-nya (فَهُمْ
لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)).
Struktur birokrasi dan sikap para pejabat
negara
Birokrasi (bureaucration) atau struktur ke-biro-an atau
biro administrasi adalah struktur yang se-ngaja dibangun dalam sebuah negara
kebangsaan yang dimaksudkan untuk melayani masyarakat ketika mereka membutuhkan
sesuatu dalam kehidupan sehari-harinya, misal KTP, SIM, sertifikat tanah,
serti-fikat hak paten atau hak intelektual dan lainnya. Bahkan birokrasi
tersebut tidak hanya dibangun di le-vel negara melainkan juga pada setiap level
struktur mikro dari sebuah lembaga, misal di setiap pergu-ruan tinggi ada Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK), atau di sebuah bank dibuat
berbagai biro seperti Biro Penarikan, Biro Simpanan dan sebagainya. Seluruhnya,
dibuat dan dibentuk untuk mempermudah pemberian pelayanan kepada masyarakat
atau yang berkepentingan dengan laya-nan yang disediakan oleh biro itu sendiri.
Setiap biro pada umumnya dipimpin oleh seorang kepala atau direktur, misalnya
Kepala BAAK, Kepala Biro Sertifikasi Tanah, Direktur Biro Pengurusan SIM dan
sebagainya. Setiap Kepala atau Direktur Biro bertanggungjawab kepada atasannya
masing-masing yang berhubungan dengan biro itu sendiri. Oleh karena itu, dalam
sebuah negara kebangsaan seperti NKRI terdapat ratusan bahkan ribuan biro,
mulai dari yang ada di pemerintah pusat hingga di pemerin-tah kabupaten/kota.
Struktur ke-biro-an tidak selalu harus diberi nama “Biro” tetapi
bisa saja bernama “Bagian” atau “Divisi” atau “Dinas”, sehingga di Polri ada
Bareskrim atau Bagian Reserse dan Kriminal yang dipim-pin oleh Kepala Bagian
Reserse dan Kriminal (Kabareskrim), atau ada Divisi Humas yang dipimpin oleh
Kepala Divisi Humas (Kadiv Humas), atau di TNI ada Dinas Penerangan TNI yang
dipimpin oleh Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) dan seterusnya. Apa pun nama
dan istilah yang digunakan tapi jatidiri strukturnya adalah sama yakni
“ke-biro-an” alias birokrasi dan seluruh orang yang bertugas di birokrasi
disebut sebagai birokrat.
Sekali lagi, terjadilah pertemuan berpola simbiosa mutualistik
antara para birokrat dengan berba-gai lapisan masyarakat (termasuk para
pengusaha) yang membutuhkan pelayanan untuk memenuhi ke-pentingan mereka. Dapat
dipastikan dalam satu hari kerja yang berdurasi 8 sampai 10 jam, akan terjadi
jutaan bahkan puluhan juta pertemuan yang mau tidak mau menjadi
celah dan kesempatan terjadinya tindak korupsi konstelatif sistemik. Artinya,
tindak korupsi yang terjadi bukan akibat “keinginan” indi-vidual birokrat
semata melainkan lebih karena adanya dorongan dari sistem administrasi sendiri
yang konstelasinya panjang, rumit dan kompleks. Arena tersebut memaksa dua
pihak yang bertemu untuk berada dalam posisi tawar yang sangat tidak seimbang,
yaitu :
1.
pihak masyarakat yang datang meminta pelayanan untuk memenuhi
kepentingan mereka tentu saja dihadapkan kepada betapa panjang, rumit dan
kompleks alur birokrasi yang wajib mereka tempuh demi terpenuhinya kepentingan
tersebut. Kondisi ini menjadikan sikap mereka sepenuhnya diken-dalikan oleh
upaya untuk memenuhi kepentingan atau urusan itu, sehingga memaksa mereka untuk
bersikap menerima apa pun keputusan birokrat dengan pertimbangan naluriah : yang
penting ke-pentingan atau urusan cepat selesai dan terpenuhi sempurna.
2.
pihak birokrat (yang tidak lain adalah para pejabat negara) sangat
memahami realitas panjang, ru-mit dan kompleks dari birokrasi yang selama ini
mereka kendalikan bahkan mereka secara otomatis telah memiliki strategi jitu
bukan untuk agar semakin sempurna dalam memberikan pelayanan ke-pada
masyarakat, melainkan strategi itu justru digunakan untuk supaya dapat semakin
memanfaat-kan ketidakberdayaan masyarakat dalam “melawan” buasnya birokrasi.
Kedua keadaan tersebut menuntut, menuntun
bahkan meniscayakan terjadinya penyelewengan dan pe-nyalahgunaan wewenang
secara sistemik yang dilakukan para pejabat negara (birokrat) atas persetuju-an
masyarakat pengguna birokrasi yang posisi tawarnya sangat lemah. Tegasnya,
dalam hubungan pertemuan tersebut selalu terjadi kesepakatan tidak tertulis
(konvensi) bermerek tahu sama tahu dan karena praktik itu telah
berlangsung sangat lama alias kronis, maka telah tidak lagi dianggap sebagai
tindakan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, kecuali jika suatu saat
tanpa disengaja (by accident) terbongkar dan itu pun gara-gara ada satu
mata rantai dari birokrat sendiri yang berkhianat akibat tidak memperoleh
“jatah” dari hasil “memalak masyarakat secara sistemik”.
Jadi, pada kasus Indonesia bisa saja Kapolri adalah sama sekali
tidak terlibat dalam kasus orkes-tra rancangan Anggodo Widjojo, namun dapat
dipastikan bahwa seluruh jajaran birokrat di bawahnya termasuk Kabareskrim dan
seterusnya justru menjadi bagian penting dari “kemelut mengasyikan” ter-sebut.
Keadaan yang tipikal juga terjadi di Kejagung, Kementerian (baik departemen
maupun non de-partemen), DPR, KPK, BPK, MA dan lainnya mulai dari pusat hingga
kabupaten/kota. Sehingga pe-ristiwa terbongkarnya kasus-kasus tersebut
seharusnya tidak lagi mengejutkan dan membuat keheboh-an dalam masyarakat,
sebab itu telah biasa terjadi bahkan selalu terjadi dan telah berlangsung dalam
ta-raf kronis. Hanya saja karena fenomena gunung es berlaku maka sebagian
sangat besarnya tidak pernah terindera oleh mata dan telinga masyarakat secara
langsung. (sampai sini)
Aqidah, Khalifah dan sistem administrasi
Khilafah Islamiyah
Aqidah Islamiyah yakni اَلإِيْمَانُ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبِالْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ خَيْرِهِمَا وَشَرِّهِمَا مِنَ
اللهِ (iman kepada Allah, para Malaikat Nya,
Kitab-Kitab Nya, para Rasul Nya, hari akhir dan qadla serta qadar yang khair
dan syar keduanya berasal dari Allah), merupakan aqidah aqliyah (عَقِيْدَةٌ عَقْلِيَّةٌ)
yaitu aqidah yang dicapai melalui pembuktian aqal manusia berdasarkan hasil
penginderaan mereka terhadap objek-objek yang ada di sekitarnya : اَلْكَوْنُ وَالإِنْسَانُ وَالْحَيَاةُ
(alam semesta, manusia dan kehidupan). Inilah ciri khas aqidah Islamiyah
yakni pembenaran yang pasti berdasarkan dalil aqliy dan
benar-benar terlepas dari peran distortif angan-angan (اَلْوِجْدَانُ)
dan gambaran benak (اَلذِهْنُ) manusia yang keduanya ada pada diri mereka
akibat adanya dorongan hasrat pensakralan (اَلتَّقْدِيْسُ) yang muncul secara pasti dari naluri
beragama (غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ). Dengan demikian aqidah Islamiyah adalah
keyakinan yang pasti sebab diraih melalui penginderaan sehingga aqal dapat
menetapkan hukumnya secara pasti yakni sesuai dengan fakta objek yang harus
diyakini. Inilah yang dituntut oleh realitas اَلإِيْمَانُ sendiri :
هُوَ
التَّصْدِيْقُ الْجَازِمُ الْمُطَابَقُ لِلْوَاقِعِ عَنْ دَلِيْلٍ
yaitu pembenaran yang pasti yang bersesuaian dengan fakta
berdasarkan dalil
Aqidah Islamiyah bertumpu pada dua pilar utama (اَلرُّكْنَانِ الرَّئِيْسِيَّانِ) yang terkandung dalam
dan ditun-jukkan oleh pernyataan : لاَ
اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ. Pilar pertama adalah لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ yang menuntut tiga hal berkenaan
dengan posisi Allah SWT sebagai اِلَهٌ yakni لاَ خَالِقَ وَلاَ مَعْبُوْدَ
وَلاَ مُشَرِّعَ (tidak ada Pencipta, tidak ada yang wajib ditaati dan tidak
ada yang berwewenang menetapkan aturan) yang memastikan kewajiban taat
kepada Allah SWT semata sekaligus hanya Allah SWT yang memiliki otoritas untuk
membuat dan menetapkan peraturan (اَلتَّشْرِيْعُ). Pilar
kedua adalah مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ yang menuntut
dua hal berkenaan dengan posisi Muhammad saw selaku رَسُوْلُ
اللهِ
yakni اِتِّبَاعُهُ وَطَاعَتُهُ (mengikutinya
dan menta-atinya). Inilah realitas aqidah Islamiyah yang sesuai dengan
pernyataan Rasulullah saw :
الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ
بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه)
yang
menunjukkan bahwa :
1.
الْإِيمَانُ itu diketahui
alias diraih alias dicapai oleh aqal (مَعْرِفَةٌ
بِالْقَلْبِ). Makna lafadz اَلْقَلْبُ dalam hadits ini
dipastikan oleh sifatnya yang mampu عَرَفَ
شَيْئًا اَوْ وَاقِعًا (mengetahui sesuatu atau fakta) sehingga dipastikan yang
dimaksud adalah اَلْعَقْلُ وَلَيْسَ الشُّعُوْرَ (aqal dan
bukan perasaan). Makna ini seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah
SWT :
أَفَلَمْ
يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ
ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى
الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (الحج : 46)
Lafadz قُلُوبٌ dipastikan
maknanya oleh sifat يَعْقِلُونَ بِهَا sehingga lafadz
tersebut menunjuk kepada aqal. Lafadz ءَاذَانٌ dipastikan
maknanya oleh sifat يَسْمَعُونَ بِهَا sehingga lafadz
tersebut menunjuk ke-pada telinga. Lafadz الْأَبْصَارُ dipastikan maknanya
oleh sifat لَا تَعْمَى sehingga lafadz
tersebut menun-juk kepada mata. Lafadz قُلُوبٌ yang kedua
kalinya muncul (وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ) dipastikan oleh
sifat-nya yaitu الَّتِي فِي الصُّدُورِ sehingga
menunjuk kepada perasaan (الشُّعُوْرُ).
2.
الْإِيمَانُ itu wajib
mendasari ucapan dan perbuatan, yakni seseorang yang telah meraih الْإِيمَانُ dengan aqalnya maka seluruh ucapan dan
perbuatannya wajib menyesuaikan diri dengan segala hal yang dituntut oleh الْإِيمَانُ itu sendiri. Allah SWT menyatakan :
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (الكهف : 110)
Katakanlah (olehmu Muhammad) hanya sesungguhnya aku adalah manusia
seperti kalian, lalu di-wahyukan kepadaku bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang
Satu. Lalu siapa saja yang mengha-rapkan bertemu dengan Rabnya, maka hendaknya
dia melakukan عَمَلًا صَالِحًا dan dia tidak musyrik
dalam mentaati Rabnya itu dengan seorang pun
Rasulullah saw menyatakan :
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ
خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (رواه البخاري)
Ucapan yang benar (قَوْلاً خَيْرًا) adalah seluruh ucapan yang
dihalalkan dan atau diwajibkan oleh الْإِيمَانُ untuk diucapkan oleh seorang mukmin (وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ) dan di luar ucapan tersebut ada-lah haram diucapkan oleh yang
bersangkutan.
3.
ucapan dan perbuatan
seseorang dipastikan dapat dijadikan bukti bagi benar dan dustanya iman
dia (صِدْقُ اِيْمَانِهِ وَكَذِبُهُ). Jika seluruh
ucapan dan perbuatannya adalah hanya yang dihalalkan dan atau di-wajibkan oleh
Islam, maka itu menjadi bukti pasti bahwa يَكُوْنُ
اِيْمَانُهُ صَادِقًا (imannya adalah benar).
Sebaliknya jika sebagian ucapan dan perbuatannya adalah bukan yang dihalalkan
dan atau diwajib-kan oleh Islam, maka itu menjadi bukti pasti bahwa يَكُوْنُ اِيْمَانُهُ كَاذِبًا (imannya adalah dusta). Allah
SWT menyatakan :
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ
صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (العنكبوت : 2-3)
Apabila
seorang mukmin telah berada dalam realitas صِدْقُ
اِيْمَانِهِ maka saat itulah dia telah berhasil menjadikan aqidah Islamiyah
sebagai aturan main dalam berpikirnya (قَاعِدَتُهُ
الْفِكْرِيَّةُ) dan karena se-luruh pemikiran seseorang adalah pasti
mengendalikan seluruh perbuatannya, maka secara otomatis pula saat itu si
mukmin telah berhasil menjadikan aqidah Islamiyah sebagai kepemimpinan
berpi-kirnya (قِيَادَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ). Selama seluruh
kaum mukmin berhasil menjaga iman mereka tetap dalam posisinya sebagai قِيَادَتُهُمُ الْفِكْرِيَّةُ, maka selama itu pula tidak akan
pernah ada kekuatan penyesat apa pun (مَنْ
ضَلَّ)
yang akan membahayakan mereka (لَا
يَضُرُّكُمْ). Inilah yang dimaksudkan oleh pernyata-an Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ
مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (المائدة :
105)
Khalifah adalah sosok mukmin yang telah
menjadikan aqidah Islamiyah sebagai aturan main bagi seluruh pemikirannya (قَاعِدَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ)
sehingga secara otomatis aqidah tersebut menjadi kepemimpinan berpikirnya (قِيَادَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ).
Inilah yang ditunjukkan oleh barisan Khalifah terbaik yang pernah ada yakni
Khulafa Rasyidun ketika masing-masing dari mereka يَسُوْسُ
الْمُسْلِمِيْنَ (memimpin dan
mengurus kaum muslim). Mereka selalu berusaha sekuat mungkin untuk
menjalankan kepemimpinan Khilafah Islami-yah dalam rangka mengurus seluruh
kepentingan rakyat, persis seperti di masa Rasulullah saw. Hal itu mereka
lakukan karena mereka sangat memahami tuntutan yang ditunjukkan oleh pernyataan
Rasulul-lah saw sendiri sehubungan dengan eksistensi mereka :
تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا
جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ
اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
Hadits yang pertama mewajibkan mereka untuk
menjaga Khilafah Islamiyah yang mereka pimpin sela-lu berjalan sesuai dengan
ketentuan Nubuwwah : ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى
مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ, setelah mereka
ditinggal-kan untuk selamanya oleh Nabi Muhammad saw, merupakan satu-satunya
Nabi yang ditaqdirkan oleh Allah SWT يَسُوْسُ
الْمُسْلِمِيْنَ. Hadits yang kedua
memposisikan seluruh keputusan, sikap maupun tindakan mereka selama menjadi
Khalifah (سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ)
adalah sejajar dengan sunnah Rasulullah saw (سُنَّتِي) yakni sebagai dalil syar’iy (دَلِيْلاً شَرْعِيًّا)
bagi umat Islam yang hidup setelah mereka hingga ti-banya saat kehancuran dunia
itu sendiri.
Seluruh ketentuan Islam yang dibebankan kepada mereka tersebut
menjadikan mereka selalu mencurahkan segenap pemikiran dan upayanya untuk dapat
merealisirnya selama masing-masing dari mereka menjadi Khalifah. Realitas
politik Islami (وَاقِعُ السِّيَاسَةِ
الإِسْلاَمِيَّةِ) menuntut mereka untuk
berupaya keras memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat orang per orang dan
sedapat mungkin menyem-purnakan kesejahteraan setiap individu masyarakat dengan
memenuhi kebutuhan pelengkapnya.
Oleh karena itulah Khulafa Rasyidun telah
mempraktikkan strategi administrasi negara yang saat ini diistilahkan dengan good
governance. Hal itu mereka terapkan berdasarkan ketentuan Islam yang
ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ
اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ (رواه مسلم)
sungguh
Allah telah mewajibkan merealisir yang terbaik dalam segala sesuatu, maka bila
kalian mem-bunuh maka lakukanlah pembunuhan itu dengan cara yang terbaik dan
jika kalian menyembelih maka lakukanlah penyembelihan itu dengan cara yang
terbaik
Dalil
tersebut memastikan bahwa aspek good governance atau pengelolaan
atau management atau سِيَاسَةُ اِدَارَةِ
الْمَصَالِحِ (strategi
pengelolaan kemaslahatan) dalam administrasi Islami (اَلإِدَارَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ),
rea-litasnya
dibangun di atas asas :
1. اَلْبَسَاطَةُ
فِيْ النِّظَامِ : sederhana
dalam sistem
2. اَلإِسْرَاعُ
فِيْ اِنْجَازِ الأَعْمَالِ : cepat
dalam pelayanan
3. اَلْكِفَايَةُ
فِيْمَنْ يَتَوَلُّوْنَ الإِدَارَةَ : kapabilitas
para aparatur administrasi
Kesederhanaan dalam sistem bukan berarti sistem yang
“ecek-ecek alias tidak berkualitas” mela-inkan sistem tersebut adalah sangat
dapat melayani seluruh kepentingan rakyat (apa pun) orang per orang namun
dengan sistem atau regulasi yang sangat sederhana dan sama sekali tidak sulit
tidak rumit. Realitas sistem seperti itu memberikan jaminan 100 persen untuk
dapat dengan sempurna memberikan pelayanan kepada setiap individu masyarakat
yang menuntut dipenuhinya kebutuhan mereka. Aspek inilah yang wajib dipenuhi
oleh sebuah bangunan sistem pelayanan sehingga perlu atau tidaknya
dibu-at pem-biro-an alias birokrasi sepenuhnya harus memperhatikan tuntutan
tersebut, yakni jika birokrasi dipastikan dapat mendukung kesempurnaan
pelayanan kepada masyarakat maka birokrasi wajib diada-kan dan sebaliknya jika
pembentukan birokrasi justru menjadi penghalang dan pembatas terhadap
ke-sempurnaan pelayanan kepada masyarakat, maka haram diadakannya birokrasi
tersebut.
Kepentingan dan kebutuhan rakyat orang per orang
adalah sangat berhubungan erat dengan hidup dan mati mereka, sehingga wajib
dilayani untuk dipenuhi dengan cepat bahkan secepat mungkin yang dapat
dilakukan oleh aparatur administrasi negara. Hal itu karena walaupun sebuah
sistem pelayanan dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan setiap orang namun
bila prosesnya sangat lambat maka sifat sistem seperti itu adalah haram
diberlakukan menurut Islam. Jadi sebuah sistem pelayanan wajib memenuhi dua
realitas secara bersamaan yakni : (a) dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan
se-tiap orang dan (b) prosesnya harus berlangsung sangat cepat. Sehingga
keadaan yang dituntut harus ter-wujud oleh Islam : مَنْ أَصْبَحَ
مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ
(رواه الترمذي), dapat
dengan mu-dah dan murah direalisir oleh Khalifah. Inilah yang dimaksudkan oleh
pernyataan Nabi Muhammad saw :
فَالْإِمَامُ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Kesempurnaan pelayanan dan kecepatan proses
pelayanan pemenuhan kebutuhan tentu saja me-wajibkan kapabilitas (kemampuan),
integritas (keutuhan pemikiran dan perasaan) dan profesionalisme para aparatur
pelayanan. Hal itu karena, walau sistem pelayanannya dapat dengan sempurna
memenuhi kebutuhan dan sangat cepat dalam prosesnya namun jika dilaksanakan
oleh aparatur yang tidak meme-nuhi kualifikasi tersebut maka dapat dipastikan
akan terjadinya kemacetan dan keamburadulan dalam pelayanan kepada masyarakat.
Oleh karena itu, tiga asas yang mendasari bangunan strategi pelayanan
kepentingan (سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ) dalam Islam tersebut wajib ketiganya selalu ada secara
bersamaan dan tidak boleh (haram) satu pun dalam keadaan yang tidak
sempurna atau kurang sempurna apalagi hi-lang.
Harus diingat bahwa terpenuhinya seluruh kebutuhan masyarakat فَرْدًا
فَرْدًا akan menjadi
jaminan diraihnya kesejahteraan mereka (رِفَاهِيَتُهُمْ) selama hidup di dunia yang diungkap oleh
Rasulullah saw de-ngan ucapan : فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
(رواه الترمذي). Sehingga
dalam kondisi normal tersebut tidak ada alasan sedikit pun bagi setiap individu
masyarakat untuk tidak taat kepada Allah SWT, Rasulullah saw dan
Khalifah. Dengan demikian, jika masih juga ada yang melakukan maksiat kepada
Allah SWT, Rasulul-lah saw dan Khalifah maka dia atau mereka itu tidak boleh
menolak sedikit pun untuk menerima penja-tuhan sanksi alias uqubat atas
perbuatannya tersebut.
Tercapainya
kesejahteraan yang sempurna untuk setiap individu masyarakat secara otomatis
akan menjadi pilar yang sangat kokoh untuk dijadikan oleh Khalifah sebagai
tumpuan dalam menjalankan kewajibannya mengurus kepentingan rakyat di luar
negeri yakni menyebarluaskan Islam ke seluruh du-nia dengan dakwah dan jihad.
Hal itu karena kondisi masyarakat sejahtera yang menjelmakan mereka sebagai
komunitas manusia yang يُطِيْعُوْنَ اللهَ وَيَتَّقُوْنَهُ عَلَى
الإِطْلاَقِ, akan dapat
secara pasti menangkal sekali-gus mengeliminir semua ancaman dan marabahaya
dari luar yakni dari kaum kufar :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)
Akibatnya
adalah seluruh perhatian umat Islam warga negara Khilafah Islamiyah akan sangat
terpusat hanya kepada upaya penyebarluasan risalah Islam ke seluruh dunia dan
Khalifah pun dapat dengan mu-dah melaksanakan kewajibannya untuk selalu
menjalankan jihad hingga kapan pun. Rasulullah saw menyatakan :
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ
الْإِيمَانِ الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ
بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ
بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا
يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ (رواه ابو داود)
tiga
hal merupakan bagian dari pokok iman yakni menahan tangan dari orang yang telah
mengucap-kan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ dan kita tidak akan mengkafirkan
seseorang karena dosanya dan kita tidak akan menge-luarkan seseorang dari Islam
karena suatu perbuatan. Dan jihad itu akan terus berlangsung sejak Allah
mengutus diriku hingga orang terakhir dari umatku yang memerangi dajjal, tidak
akan memba-talkan pemberlakuan jihad جَوْرُ جَائِرٍ dan tidak pula عَدْلُ
عَادِلٍ dan iman itu
ditentukan oleh kadar ke-mampuan aqal
Wal hasil, dari sisi
mana pun menunjukkan dengan pasti bahwa aspek good governance
yakni سِيَاسَةُ
اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ
adalah keniscayaan alias kewajiban yang harus selalu direalisir
dengan sempurna oleh Khalifah yang mengendalikan Khilafah Islamiyah secara
tunggal. Rasulullah saw menyatakan :
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ
دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
(رواه احمد)
tidak ada seorang Imam
atau Wali pun yang menutup pintu rumahnya untuk menghalangi orang-orang yang
memiliki kebutuhan, mengusir orang-orang faqir dan mengusir orang-orang miskin,
kecuali pas-tilah Allah ‘Azza wa-jalla akan menutup seluruh pintu langit untuk
menghalangi seluruh kebutuhannya
Khatimah
Seluruh warga negara Khilafah Islamiyah baik kaum muslim maupun
ahlu dzimmah bersepakat untuk bersama-sama dengan Khalifah memberlakukan
seluruh ketentuan Islam dalam kehidupan dunia. Dengan demikian, posisi Islam
sebagai pokok segala urusan (رَأْسُ
الأَمْرِ) selalu dapat direalisir sehingga walau
tetap terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para
pejabat ne-gara, tetapi kejadian tersebut bukanlah gejala umum
dan sama sekali tidak sistemik. Oleh karena itu, sekecil apa pun
(apalagi besar) tindakan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi
(misal korupsi) yang dilakukan oleh para birokrat maupun pejabat Khilafah
tersebut, maka hal itu akan dapat segera diketahui oleh semua pihak termasuk
rakyat sehingga dapat segera pula dihentikan per-buatannya dan pelakunya
dijatuhi uqubat.
Ketika اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ masih dipimpin oleh
Rasulullah saw terjadi dua kasus yang saling bertolak belakang dengan pelaku
utamanya adalah pejabat negara. Kasus pertama adalah seperti yang ditunjuk-kan
oleh hadits berikut :
عَنْ
أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ
يُدْعَى ابْنَ الْأُتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ
وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ
إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ
قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ
مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ
أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ
هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا
شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا
لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ
يَدَيْهِ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ
بَصُرَ عَيْنِي وَسَمِعَ أُذُنِي (رواه مسلم)
Dari Abu Humaid As-Saa’idiyyi yang berkata : Nabi saw telah
mengangkat seorang pria dari Bani Azdi yang dijuluki Ibnu Al-Utbiyyah sebagai
petugas (الْعَامِلُ) pengumpulan
zakat dari Bani Sulaim. La-lu ketika dia telah kembali dari tugasnya dia pun
menghitung harta bawaannya dan berkata kepada Nabi saw : ini adalah harta Anda
dan yang ini adalah hadiah. Lalu Nabi saw berkata : jika begitu, me-ngapa kamu
tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu hingga hadiahmu itu datang
menghampiri-mu, jika memang kamu benar. Kemudian beliau berkhutbah kepada kami,
beliau memuji Allah dan me-nyanjung Nya, lalu berkata : selanjutnya, sungguh
aku telah menugaskan seorang pria dari kalian un-tuk suatu pekerjaan dari yang
telah Allah tugaskan kepadaku, lalu dia kembali dan berkata : ini ada-lah harta
anda dan yang ini adalah hadiah yang dihadiahkan kepada saya. Mengapa dia tidak
duduk saja di rumah bapak dan ibunya hingga hadiahnya itu datang menghampirinya
jika dia memang be-nar. Demi Allah, tidak mengambil salah seorang dari kalian
sedikit saja dari harta zakat itu di luar haknya kecuali dia pasti menemui
Allah SWT di hari qiyamah sembari memikul harta tersebut. Maka sungguh aku akan
beritahukan kepada salah seorang dari kalian : dia pasti menemui Allah sambil
me-mikul seekor unta yang bersuara atau sapi yang melenguh atau domba yang
mengembik. Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih ketiaknya,
lalu berkata : ya Allah, bukankah telah saya sampaikan, mata saya melihat dan
telinga saya mendengar
Nampak sekali penindakan langsung yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw terhadap penyalahgu-naan wewenang (korupsi) yang dilakukan oleh
salah seorang pejabat yang telah beliau angkat (Ibnu Al-Utbiyyah) sesuai dengan
pengakuan dan barang bukti yang ada saat itu. Selain menyita harta yang
di-korupsi oleh pejabat tersebut (diklaim sebagai hadiah : وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي), beliau pun menjatuhkan sanksi اَلتَّشْهِيْرُ yakni memberitahukan nama pejabat
berikut perbuatannya yang salah tersebut kepada masyarakat :
أَمَّا
بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا
وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ
أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ
هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا ...
Dengan
demikian, selain beliau saw telah mengamankan sistem Islami yang tengah berlaku
supaya te-tap berjalan dengan benar dan lurus, juga menyadarkan seluruh
masyarakat supaya mereka tetap berada dalam kesepakatan untuk selalu istiqamah
dalam menjaga pemberlakuan syariah Islamiyah bersama-sama beliau sendiri.
Tindakan cepat beliau tersebut dilakukan supaya perbuatan menyimpang maupun
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat negara tidak mengarah
menjadi konstelasi sistemik, melainkan hanya sebagai kasus penyimpangan, tidak
lebih.
Kasus kedua berkenaan dengan Rasulullah saw
menugaskan Abdullah bin Rawaahah untuk me-naksir jumlah buah kurma yang
dikelola oleh penduduk Negeri Khaibar, lalu mengambil setengah ba-gian dari
buah kurma itu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat antara mereka dengan
Rasulullah saw selaku kepala negara. Saat Ibnu Rawaahah melakukan tugasnya maka
terjadilah dialog antara ka-um Yahudi penduduk Khaibar dengannya, seperti yang
dikisahkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwatha :
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خَيْبَرَ
فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ يَهُودِ خَيْبَرَ قَالَ فَجَمَعُوا لَهُ حَلْيًا
مِنْ حَلْيِ نِسَائِهِمْ فَقَالُوا لَهُ هَذَا لَكَ وَخَفِّفْ عَنَّا وَتَجَاوَزْ
فِي الْقَسْمِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ
وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيَّ وَمَا ذَاكَ
بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ فَأَمَّا مَا عَرَضْتُمْ مِنْ
الرَّشْوَةِ فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا فَقَالُوا بِهَذَا
قَامَتْ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ (رواه مالك في الموطإ)
Dari Ibni Syihab
dan Sulaiman bin Yasaar bahwa Rasulullah saw telah menugaskan Abdullah bin
Rawaahah ke Khaibar, lalu dia (Ibnu Rawaahah) menaksir bagian (jumlah buah
kurma) antara diri-nya dan Yahudi Khaibar. Dia (Sulaiman bin Yasaar) berkata :
lalu mereka (Yahudi Khaibar) mengum-pulkan perhiasan emas dari perhiasan para
istri mereka dan diserahkan kepadanya (Ibnu Rawaahah), lalu mereka berkata :
ini adalah bagi anda dan ringankanlah kewajiban kami serta perlonggarlah da-lam
pembagian. Lalu Abdullah bin Rawaahah berkata : wahai masyarakat Yahudi, demi
Allah, sung-guh kalian adalah ciptaan Allah yang paling aku benci dan semua itu
tidak akan membebaniku supaya aku meringankan pembagian atas kalian, lalu
apa-apa yang kalian sodorkan kepadaku berupa risywah maka sesungguhnya itu
adalah haram dan kami tidak akan memakannya. Kemudian mereka (Yahudi Khaibar)
berkata : dengan sikap inilah tetap tegaknya langit dan bumi
Inilah
setereotipe sistemik dan kepribadian yang ditunjukkan secara pasti oleh salah
seorang pejabat negara di masa Rasulullah saw yakni Abdullah bin Rawaahah.
Sikap dan tindakan dia yang istiqamah dalam menjalankan tugas yang dibebankan
kepadanya oleh Rasulullah saw bahkan risywah perhiasan emas yang diberikan oleh
Yahudi Khaibar pun ditolak mentah-mentah bukan karena dia tidak mau dan tidak
perlu, melainkan karena dia sangat sadar bahwa selain risywah itu adalah
diharamkan oleh Islam (apalagi posisi dirinya adalah pejabat negara), juga jika
dia menerima sogokan mereka maka secara otomatis (walau pelan tapi pasti) akan
merusak konstelasi sistemik pemberlakuan syariah Islamiyah atas seluruh warga
negara saat itu. Lalu ternyata sikap dia yang tegas, istiqamah dan penuh
integritas tersebut menjadi kekaguman tersendiri bagi kaum kufar (Yahudi)
sehingga mereka memberikan apre-siasi terpuji terhadap sikap tersebut : بِهَذَا قَامَتْ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ,
padahal mereka justru mendapat caci ma-ki yang sangat pedas dari Ibnu Rawaahah
: يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ
اللَّهِ إِلَيَّ.
Inilah realitas yang pasti akan
terwujud dan diterima oleh pejabat negara Khilafah Islamiyah ma-na pun (tidak
hanya Abdullah bin Rawaahah) umat Islam warga negara Khilafah maupun seluruh jika
mereka semua selalu bersepakat untuk senantiasa istiqamah dan konsisten dalam
menjaga pemberla-kuan syariah Islamiyah di bawah kendali Khalifah sendiri. Allah
SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا
اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)
No comments:
Post a Comment