Tuesday, March 5, 2013

KEBINASAAN KEMANUSIAAN SEMAKIN NYATA



Sekeping realitas dari Indonesia : bukti hakiki kebinasaan kemanusiaan global (point 2)
KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme) adalah hama dan penyakit dalam penyelenggaraan negara yang sangat dimusuhi dan dibenci oleh masyarakat Indonesia, terutama setelah mereka dipaksa harus merasakan penderitaan lebih dari 32 tahun akibat pekatnya sikap KKN selama berkuasanya rezim Orde Baru di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kebencian dan permusuhan terhadap KKN telah mendorong pasti MPR saat itu untuk mengeluarkan TAP MPR tentang pemberantasan praktik KKN dalam penyelenggaraan negara, baik itu di pemerintahan (eksekutif), DPR (legislatif) maupun yudika-tif. Terbentuknya Komisi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK, cikal bakal KPK saat ini), ditetap-kannya undang-undang yang mengharuskan pelaporan kekayaan para pejabat negara (sebelum, selama dan sesudah menjabat), dibentuknya Timtas Tipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), ada-nya Pengadilan Tipikor (bahkan saat ini telah dikukuhkan dengan disahkannya Undang-Undang Penga-dilan Tipikor) dan lainnya yang berhubungan atau yang sejenisnya, seluruhnya ditujukan untuk mence-gah (supaya tidak terjadi) atau mengobati (saat telah terjadi) tindak pelanggaran para pejabat negara terutama yang terkategorikan sebagai korupsi.
Namun, keberadaan berbagai perangkat penegakkan hukum untuk mengganyang KKN di NKRI tersebut hingga perjalanannya yang telah lebih dari 10 tahun, ternyata tidak memberikan pengaruh pasti berupa berhenti dan lenyapnya hama dan penyakit itu melainkan sekedar berposisi sebagai petugas pemadam kebakaran (PMK) setiap kali munculnya kejadian KKN. Hal lain yang masih dapat diperbuat oleh perangkat-perangkat tersebut adalah menyampaikan laporan kemajuan (progress report) kepada yang memerlukan maupun yang memintanya, seperti kepada pemerintah atau DPR, berupa berapa ba-nyak uang negara yang dapat diselamatkan, atau jumlah para koruptor yang telah diganjar pidana pen-jara, atau jumlah jaringan mafia yang berkolusi dalam tindak korupsi yang dapat diputus mata rantai-nya. Bahkan pengaruh buruk (efek utama maupun sampingan) dari semakin banyaknya perangkat pe-negakkan hukum tersebut adalah :
1.       semakin panjang, rumit dan kompleks struktur birokrasi maupun administrasi negara yang sejatinya dibuat adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat saat mereka ingin memenuhi ke-pentingan dan kebutuhannya.
2.       alih-alih dapat menghentikan dan melenyapkan realitas KKN, malahan justru keberadaan perangkat tersebut secara pasti semakin memperbanyak sekaligus memperbesar celah untuk terjadinya tindak KKN (baik dengan modus lama maupun baru) yang dilakukan oleh para birokrat maupun aparat administrasi. Hal itu karena dengan semakin panjang, rumit dan kompleks struktur birokrasi mau-pun administrasi negara akan berakibat pasti semakin lama masyarakat dalam memperoleh pelaya-nan saat mereka membutuhkan pemenuhan terhadap kebutuhannya. Keadaan ini secara konstelatif akan menimbulkan tarik menarik simbiosa mutualistik antara pejabat negara yang ada di perangkat tersebut dengan masyarakat, yakni masyarakat sangat perlu segera terpenuhinya kepentingan dan kebutuhan mereka, sedangkan para pejabat (telah diberi gaji/upah) tentu juga memiliki kepentingan “pribadi” yakni hasrat untuk dapat semakin menderaskan aliran uang ke kantongnya.
Kedua pengaruh buruk tersebut selalu terjadi dan bersifat pasti, sedangkan pengaruh baiknya yakni yang sesuai dengan peruntukkan dari eksistensi perangkat itu sendiri sangat nampak jarang terjadi dan bahkan hampir tidak pernah terealisir dalam arena kehidupan kenegaraan.
Kasus Artalyta Suryani yang merancang persekongkolan dengan para petinggi Kejaksaan Agung (Kejagung) yakni Jampidsus (Kiemas Yahya Rahman) dan Jaksa Agung Muda Perdata (Untung Puji Santosa) dengan tumbal Jaksa Tri Urip Gunawan, serta orkestra permufakatan jahat yang dipimpin oleh conductor Anggodo Widjojo dengan personel Kabareskrim Polri Komjen Pol Susno Duadji, mantan Jamintel Kejagung Wishnu Subroto, Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga serta didukung oleh se-jumlah lawyers, perwira penyidik Polri, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan lainnya, menunjukkan bahkan membuktikan bahwa stigma semakin panjang, rumit dan kompleks struktur biro-krasi maupun administrasi negara berakibat pasti semakin mudah, banyak dan besar celah untuk mela-kukan tindak penyelewengan maupun penyalahgunaan wewenang yang digenggam para pejabat negara di semua pilar Trias Politica. Harus diingat bahwa kedua kasus konspirasi dan kolusi antara para peja-bat negara dengan pengusaha dan masyarakat tersebut berpola fenomena gunung es, yakni yang nam-pak oleh mata adalah hanya 30 persen, sedangkan yang tenggelam adalah 70 persen.
Itulah sekeping realitas konspirasi dan kolusi antara pejabat negara, pengusaha dan masyarakat dalam merancang dan melakukan penyimpangan sekaligus penyalahgunaan wewenang yang terjadi di NKRI. Tentu saja, realitas serupa juga terjadi di seluruh negara kebangsaan yang ada di dunia termasuk apalagi di negara-negara maju (G8 : Amerika Serikat/AS, Kanada, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman, Italia dan Rusia). Bahkan secara kualitatif yakni dari sisi jumlah uang negara yang dikorupsi atau dise-lewengkan yang terjadi di negara-negara maju tentu saja sangat jauh lebih besar daripada di negara-negara berkembang apalagi di negara-negara miskin. Sebagai contoh : Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi, pada tahun 1997 telah menyuap pengacara David Mills sebesar 600.000 dolar AS (dalam rupiah dengan kurs 9.500 rupiah per dolar = Rp 5.700.000.000) supaya memberikan kesaksian palsu di pengadilan terkait dengan pembelian hak film oleh Mediaset. Bandingkan dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Anggodo Widjojo yakni sekitar Rp 15 miliar yang dibagikan kepada lebih dari 10 orang. Artinya di Italia uang sebesar 5,7 miliar rupiah ditujukan bagi seorang saja, sedangkan di In-donesia uang sebanyak 15 miliar rupiah dibagikan kepada 10 orang (1,5 miliar rupiah per orang). Tentu saja fakta tersebut adalah baru dari satu kasus di satu negara maju (Italia) dan dapat dipastikan bahwa secara akumulatif akan jauh sangat lebih besar kualitasnya di negara maju (apalagi di AS) daripada di negara berkembang (misal NKRI) atau miskin (misal negara-negara Afrika Tengah, Barat dan Timur).
Oleh karena itu, tanpa harus meneliti seluruh kasus yang terjadi di seluruh negara, dapat dipasti-kan bahwa realitas ideologis dan sistemik yang tengah diberlakukan terhadap kehidupan manusia saat ini yakni kapitalisme sekularistik nyata-nyata telah mendorong sekaligus mengantarkan manusia untuk mengeksploitasi seluruh kecenderungan dan kepentingan naluriahnya. Artalyta Suryani, Anggodo Wi-djojo, Silvio Berlusconi dan lainnya, merancang berbagai strategi dan menghalalkan segala cara untuk memenangkan kepentingan naluriahnya : mempertahankan diri, membela keluarga, meraih kekayaan dan sebagainya. Singkat kata, ideologi kapitalisme telah mewujudkan sistem yang memaksa manusia (secara menyenangkan) untuk meninggalkan jatidiri orisinalnya selaku manusia yang memiliki aqal de-ngan khasiat dapat memutuskan mana fakta benar dan mana fakta salah, mana halal dan mana haram. Kapitalisme telah membinasakan sisi kemanusiaan manusia secara sistemik, sehingga mereka menjel-ma menjadi hewan dengan ciri khasnya yakni menjadikan kepentingan naluriah sebagai satu-satunya pertimbangan (standard alias اَلْمِقْيَاسُ) bagi dilakukan dan tidak dilakukannya seluruh perbuatan selama hidup di dunia. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (العنكبوت :41)
Realitas orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai auliya adalah seperti laba-laba yang membuat rumah (sarang) dan sungguh serapuh-rapuhnya rumah adalah sarang laba-laba, andaikan mereka mengetahui hal itu.
Artinya, karena mereka telah meninggalkan aturan Allah SWT yakni Islam dan lalu beralih kepada aturan atau sistem atau ideologi yang dibuat sendiri oleh tangan mereka, maka itu berarti mereka telah membangun kehidupan dunia yang sangat rapuh persis seperti rapuhnya sarang laba-laba. Rapuhnya kehidupan yang mereka bangun ditunjukkan secara pasti oleh hilang dan binasanya sisi orisinal kema-nusiaan mereka yakni aqal mereka tidak lagi difungsikan untuk memahami halal dan haram alias ke-tentuan Allah SWT dan juga tidak digunakan untuk memastikan mana fakta benar dan mana fakta sa-lah, sesuai dengan realitas fakta itu sendiri apa adanya. Itulah mengapa Allah SWT memposisikan ka-um kufar sebagai manusia yang dungu-idiot (قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ (الأنفال : 65)) dan tidak memfungsikan aqal-nya (فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (البقرة : 171)).

Struktur birokrasi dan sikap para pejabat negara
Birokrasi (bureaucration) atau struktur ke-biro-an atau biro administrasi adalah struktur yang se-ngaja dibangun dalam sebuah negara kebangsaan yang dimaksudkan untuk melayani masyarakat ketika mereka membutuhkan sesuatu dalam kehidupan sehari-harinya, misal KTP, SIM, sertifikat tanah, serti-fikat hak paten atau hak intelektual dan lainnya. Bahkan birokrasi tersebut tidak hanya dibangun di le-vel negara melainkan juga pada setiap level struktur mikro dari sebuah lembaga, misal di setiap pergu-ruan tinggi ada Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (BAAK), atau di sebuah bank dibuat berbagai biro seperti Biro Penarikan, Biro Simpanan dan sebagainya. Seluruhnya, dibuat dan dibentuk untuk mempermudah pemberian pelayanan kepada masyarakat atau yang berkepentingan dengan laya-nan yang disediakan oleh biro itu sendiri. Setiap biro pada umumnya dipimpin oleh seorang kepala atau direktur, misalnya Kepala BAAK, Kepala Biro Sertifikasi Tanah, Direktur Biro Pengurusan SIM dan sebagainya. Setiap Kepala atau Direktur Biro bertanggungjawab kepada atasannya masing-masing yang berhubungan dengan biro itu sendiri. Oleh karena itu, dalam sebuah negara kebangsaan seperti NKRI terdapat ratusan bahkan ribuan biro, mulai dari yang ada di pemerintah pusat hingga di pemerin-tah kabupaten/kota.
Struktur ke-biro-an tidak selalu harus diberi nama “Biro” tetapi bisa saja bernama “Bagian” atau “Divisi” atau “Dinas”, sehingga di Polri ada Bareskrim atau Bagian Reserse dan Kriminal yang dipim-pin oleh Kepala Bagian Reserse dan Kriminal (Kabareskrim), atau ada Divisi Humas yang dipimpin oleh Kepala Divisi Humas (Kadiv Humas), atau di TNI ada Dinas Penerangan TNI yang dipimpin oleh Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) dan seterusnya. Apa pun nama dan istilah yang digunakan tapi jatidiri strukturnya adalah sama yakni “ke-biro-an” alias birokrasi dan seluruh orang yang bertugas di birokrasi disebut sebagai birokrat.
Sekali lagi, terjadilah pertemuan berpola simbiosa mutualistik antara para birokrat dengan berba-gai lapisan masyarakat (termasuk para pengusaha) yang membutuhkan pelayanan untuk memenuhi ke-pentingan mereka. Dapat dipastikan dalam satu hari kerja yang berdurasi 8 sampai 10 jam, akan terjadi jutaan bahkan puluhan juta pertemuan yang mau tidak mau menjadi celah dan kesempatan terjadinya tindak korupsi konstelatif sistemik. Artinya, tindak korupsi yang terjadi bukan akibat “keinginan” indi-vidual birokrat semata melainkan lebih karena adanya dorongan dari sistem administrasi sendiri yang konstelasinya panjang, rumit dan kompleks. Arena tersebut memaksa dua pihak yang bertemu untuk berada dalam posisi tawar yang sangat tidak seimbang, yaitu :
1.       pihak masyarakat yang datang meminta pelayanan untuk memenuhi kepentingan mereka tentu saja dihadapkan kepada betapa panjang, rumit dan kompleks alur birokrasi yang wajib mereka tempuh demi terpenuhinya kepentingan tersebut. Kondisi ini menjadikan sikap mereka sepenuhnya diken-dalikan oleh upaya untuk memenuhi kepentingan atau urusan itu, sehingga memaksa mereka untuk bersikap menerima apa pun keputusan birokrat dengan pertimbangan naluriah : yang penting ke-pentingan atau urusan cepat selesai dan terpenuhi sempurna.
2.       pihak birokrat (yang tidak lain adalah para pejabat negara) sangat memahami realitas panjang, ru-mit dan kompleks dari birokrasi yang selama ini mereka kendalikan bahkan mereka secara otomatis telah memiliki strategi jitu bukan untuk agar semakin sempurna dalam memberikan pelayanan ke-pada masyarakat, melainkan strategi itu justru digunakan untuk supaya dapat semakin memanfaat-kan ketidakberdayaan masyarakat dalam “melawan” buasnya birokrasi.
Kedua keadaan tersebut menuntut, menuntun bahkan meniscayakan terjadinya penyelewengan dan pe-nyalahgunaan wewenang secara sistemik yang dilakukan para pejabat negara (birokrat) atas persetuju-an masyarakat pengguna birokrasi yang posisi tawarnya sangat lemah. Tegasnya, dalam hubungan pertemuan tersebut selalu terjadi kesepakatan tidak tertulis (konvensi) bermerek tahu sama tahu dan karena praktik itu telah berlangsung sangat lama alias kronis, maka telah tidak lagi dianggap sebagai tindakan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, kecuali jika suatu saat tanpa disengaja (by accident) terbongkar dan itu pun gara-gara ada satu mata rantai dari birokrat sendiri yang berkhianat akibat tidak memperoleh “jatah” dari hasil “memalak masyarakat secara sistemik”.
Jadi, pada kasus Indonesia bisa saja Kapolri adalah sama sekali tidak terlibat dalam kasus orkes-tra rancangan Anggodo Widjojo, namun dapat dipastikan bahwa seluruh jajaran birokrat di bawahnya termasuk Kabareskrim dan seterusnya justru menjadi bagian penting dari “kemelut mengasyikan” ter-sebut. Keadaan yang tipikal juga terjadi di Kejagung, Kementerian (baik departemen maupun non de-partemen), DPR, KPK, BPK, MA dan lainnya mulai dari pusat hingga kabupaten/kota. Sehingga pe-ristiwa terbongkarnya kasus-kasus tersebut seharusnya tidak lagi mengejutkan dan membuat keheboh-an dalam masyarakat, sebab itu telah biasa terjadi bahkan selalu terjadi dan telah berlangsung dalam ta-raf kronis. Hanya saja karena fenomena gunung es berlaku maka sebagian sangat besarnya tidak pernah terindera oleh mata dan telinga masyarakat secara langsung. (sampai sini)

Aqidah, Khalifah dan sistem administrasi Khilafah Islamiyah
Aqidah Islamiyah yakni اَلإِيْمَانُ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبِالْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ خَيْرِهِمَا وَشَرِّهِمَا مِنَ اللهِ (iman kepada Allah, para Malaikat Nya, Kitab-Kitab Nya, para Rasul Nya, hari akhir dan qadla serta qadar yang khair dan syar keduanya berasal dari Allah), merupakan aqidah aqliyah (عَقِيْدَةٌ عَقْلِيَّةٌ) yaitu aqidah yang dicapai melalui pembuktian aqal manusia berdasarkan hasil penginderaan mereka terhadap objek-objek yang ada di sekitarnya : اَلْكَوْنُ وَالإِنْسَانُ وَالْحَيَاةُ (alam semesta, manusia dan kehidupan). Inilah ciri khas aqidah Islamiyah yakni pembenaran yang pasti berdasarkan dalil aqliy dan benar-benar terlepas dari peran distortif angan-angan (اَلْوِجْدَانُ) dan gambaran benak (اَلذِهْنُ) manusia yang keduanya ada pada diri mereka akibat adanya dorongan hasrat pensakralan (اَلتَّقْدِيْسُ) yang muncul secara pasti dari naluri beragama (غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ). Dengan demikian aqidah Islamiyah adalah keyakinan yang pasti sebab diraih melalui penginderaan sehingga aqal dapat menetapkan hukumnya secara pasti yakni sesuai dengan fakta objek yang harus diyakini. Inilah yang dituntut oleh realitas اَلإِيْمَانُ sendiri :
هُوَ التَّصْدِيْقُ الْجَازِمُ الْمُطَابَقُ لِلْوَاقِعِ عَنْ دَلِيْلٍ
yaitu pembenaran yang pasti yang bersesuaian dengan fakta berdasarkan dalil
Aqidah Islamiyah bertumpu pada dua pilar utama (اَلرُّكْنَانِ الرَّئِيْسِيَّانِ) yang terkandung dalam dan ditun-jukkan oleh pernyataan : لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ. Pilar pertama adalah لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ yang menuntut tiga hal berkenaan dengan posisi Allah SWT sebagai اِلَهٌ yakni لاَ خَالِقَ وَلاَ مَعْبُوْدَ وَلاَ مُشَرِّعَ (tidak ada Pencipta, tidak ada yang wajib ditaati dan tidak ada yang berwewenang menetapkan aturan) yang memastikan kewajiban taat kepada Allah SWT semata sekaligus hanya Allah SWT yang memiliki otoritas untuk membuat dan menetapkan peraturan (اَلتَّشْرِيْعُ). Pilar kedua adalah مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ yang menuntut dua hal berkenaan dengan posisi Muhammad saw selaku رَسُوْلُ اللهِ yakni اِتِّبَاعُهُ وَطَاعَتُهُ (mengikutinya dan menta-atinya). Inilah realitas aqidah Islamiyah yang sesuai dengan pernyataan Rasulullah saw :
الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه)
yang menunjukkan bahwa :
1.       الْإِيمَانُ itu diketahui alias diraih alias dicapai oleh aqal (مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ). Makna lafadz اَلْقَلْبُ dalam hadits ini dipastikan oleh sifatnya yang mampu عَرَفَ شَيْئًا اَوْ وَاقِعًا (mengetahui sesuatu atau fakta) sehingga dipastikan yang dimaksud adalah اَلْعَقْلُ وَلَيْسَ الشُّعُوْرَ (aqal dan bukan perasaan). Makna ini seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ (الحج : 46)
Lafadz قُلُوبٌ dipastikan maknanya oleh sifat يَعْقِلُونَ بِهَا sehingga lafadz tersebut menunjuk kepada aqal. Lafadz ءَاذَانٌ dipastikan maknanya oleh sifat يَسْمَعُونَ بِهَا sehingga lafadz tersebut menunjuk ke-pada telinga. Lafadz الْأَبْصَارُ dipastikan maknanya oleh sifat لَا تَعْمَى sehingga lafadz tersebut menun-juk kepada mata. Lafadz قُلُوبٌ yang kedua kalinya muncul (وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ) dipastikan oleh sifat-nya yaitu الَّتِي فِي الصُّدُورِ sehingga menunjuk kepada perasaan (الشُّعُوْرُ).
2.       الْإِيمَانُ itu wajib mendasari ucapan dan perbuatan, yakni seseorang yang telah meraih الْإِيمَانُ dengan aqalnya maka seluruh ucapan dan perbuatannya wajib menyesuaikan diri dengan segala hal yang dituntut oleh الْإِيمَانُ itu sendiri. Allah SWT menyatakan :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (الكهف : 110)
Katakanlah (olehmu Muhammad) hanya sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian, lalu di-wahyukan kepadaku bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Satu. Lalu siapa saja yang mengha-rapkan bertemu dengan Rabnya, maka hendaknya dia melakukan عَمَلًا صَالِحًا dan dia tidak musyrik dalam mentaati Rabnya itu dengan seorang pun
Rasulullah saw menyatakan :
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ (رواه البخاري)
Ucapan yang benar (قَوْلاً خَيْرًا) adalah seluruh ucapan yang dihalalkan dan atau diwajibkan oleh الْإِيمَانُ  untuk diucapkan oleh seorang mukmin (وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ) dan di luar ucapan tersebut ada-lah haram diucapkan oleh yang bersangkutan.
3.       ucapan dan perbuatan seseorang dipastikan dapat dijadikan bukti bagi benar dan dustanya iman dia (صِدْقُ اِيْمَانِهِ وَكَذِبُهُ). Jika seluruh ucapan dan perbuatannya adalah hanya yang dihalalkan dan atau di-wajibkan oleh Islam, maka itu menjadi bukti pasti bahwa يَكُوْنُ اِيْمَانُهُ صَادِقًا  (imannya adalah benar). Sebaliknya jika sebagian ucapan dan perbuatannya adalah bukan yang dihalalkan dan atau diwajib-kan oleh Islam, maka itu menjadi bukti pasti bahwa يَكُوْنُ اِيْمَانُهُ كَاذِبًا (imannya adalah dusta). Allah SWT menyatakan :
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (العنكبوت : 2-3)
Apabila seorang mukmin telah berada dalam realitas صِدْقُ اِيْمَانِهِ maka saat itulah dia telah berhasil menjadikan aqidah Islamiyah sebagai aturan main dalam berpikirnya (قَاعِدَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ) dan karena se-luruh pemikiran seseorang adalah pasti mengendalikan seluruh perbuatannya, maka secara otomatis pula saat itu si mukmin telah berhasil menjadikan aqidah Islamiyah sebagai kepemimpinan berpi-kirnya (قِيَادَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ). Selama seluruh kaum mukmin berhasil menjaga iman mereka tetap dalam posisinya sebagai قِيَادَتُهُمُ الْفِكْرِيَّةُ, maka selama itu pula tidak akan pernah ada kekuatan penyesat apa pun (مَنْ ضَلَّ) yang akan membahayakan mereka (لَا يَضُرُّكُمْ). Inilah yang dimaksudkan oleh pernyata-an Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (المائدة : 105)
Khalifah adalah sosok mukmin yang telah menjadikan aqidah Islamiyah sebagai aturan main bagi seluruh pemikirannya (قَاعِدَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ) sehingga secara otomatis aqidah tersebut menjadi kepemimpinan berpikirnya (قِيَادَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ). Inilah yang ditunjukkan oleh barisan Khalifah terbaik yang pernah ada yakni Khulafa Rasyidun ketika masing-masing dari mereka يَسُوْسُ الْمُسْلِمِيْنَ (memimpin dan mengurus kaum muslim). Mereka selalu berusaha sekuat mungkin untuk menjalankan kepemimpinan Khilafah Islami-yah dalam rangka mengurus seluruh kepentingan rakyat, persis seperti di masa Rasulullah saw. Hal itu mereka lakukan karena mereka sangat memahami tuntutan yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulul-lah saw sendiri sehubungan dengan eksistensi mereka :
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
Hadits yang pertama mewajibkan mereka untuk menjaga Khilafah Islamiyah yang mereka pimpin sela-lu berjalan sesuai dengan ketentuan Nubuwwah : ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ, setelah mereka ditinggal-kan untuk selamanya oleh Nabi Muhammad saw, merupakan satu-satunya Nabi yang ditaqdirkan oleh Allah SWT يَسُوْسُ الْمُسْلِمِيْنَ. Hadits yang kedua memposisikan seluruh keputusan, sikap maupun tindakan mereka selama menjadi Khalifah (سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ) adalah sejajar dengan sunnah Rasulullah saw (سُنَّتِي) yakni sebagai dalil syar’iy (دَلِيْلاً شَرْعِيًّا) bagi umat Islam yang hidup setelah mereka hingga ti-banya saat kehancuran dunia itu sendiri.
Seluruh ketentuan Islam yang dibebankan kepada mereka tersebut menjadikan mereka selalu mencurahkan segenap pemikiran dan upayanya untuk dapat merealisirnya selama masing-masing dari mereka menjadi Khalifah. Realitas politik Islami (وَاقِعُ السِّيَاسَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ) menuntut mereka untuk berupaya keras memenuhi seluruh kebutuhan pokok masyarakat orang per orang dan sedapat mungkin menyem-purnakan kesejahteraan setiap individu masyarakat dengan memenuhi kebutuhan pelengkapnya.
Oleh karena itulah Khulafa Rasyidun telah mempraktikkan strategi administrasi negara yang saat ini diistilahkan dengan good governance. Hal itu mereka terapkan berdasarkan ketentuan Islam yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ (رواه مسلم)
sungguh Allah telah mewajibkan merealisir yang terbaik dalam segala sesuatu, maka bila kalian mem-bunuh maka lakukanlah pembunuhan itu dengan cara yang terbaik dan jika kalian menyembelih maka lakukanlah penyembelihan itu dengan cara yang terbaik
Dalil tersebut memastikan bahwa aspek good governance atau pengelolaan atau management atau سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ (strategi pengelolaan kemaslahatan) dalam administrasi Islami (اَلإِدَارَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ), rea-litasnya dibangun di atas asas :
1.       اَلْبَسَاطَةُ فِيْ النِّظَامِ : sederhana dalam sistem
2.       اَلإِسْرَاعُ فِيْ اِنْجَازِ الأَعْمَالِ  : cepat dalam pelayanan
3.       اَلْكِفَايَةُ فِيْمَنْ يَتَوَلُّوْنَ الإِدَارَةَ  : kapabilitas para aparatur administrasi
Kesederhanaan dalam sistem bukan berarti sistem yang “ecek-ecek alias tidak berkualitas” mela-inkan sistem tersebut adalah sangat dapat melayani seluruh kepentingan rakyat (apa pun) orang per orang namun dengan sistem atau regulasi yang sangat sederhana dan sama sekali tidak sulit tidak rumit. Realitas sistem seperti itu memberikan jaminan 100 persen untuk dapat dengan sempurna memberikan pelayanan kepada setiap individu masyarakat yang menuntut dipenuhinya kebutuhan mereka. Aspek inilah yang wajib dipenuhi oleh sebuah bangunan sistem pelayanan sehingga perlu atau tidaknya dibu-at pem-biro-an alias birokrasi sepenuhnya harus memperhatikan tuntutan tersebut, yakni jika birokrasi dipastikan dapat mendukung kesempurnaan pelayanan kepada masyarakat maka birokrasi wajib diada-kan dan sebaliknya jika pembentukan birokrasi justru menjadi penghalang dan pembatas terhadap ke-sempurnaan pelayanan kepada masyarakat, maka haram diadakannya birokrasi tersebut.
Kepentingan dan kebutuhan rakyat orang per orang adalah sangat berhubungan erat dengan hidup dan mati mereka, sehingga wajib dilayani untuk dipenuhi dengan cepat bahkan secepat mungkin yang dapat dilakukan oleh aparatur administrasi negara. Hal itu karena walaupun sebuah sistem pelayanan dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan setiap orang namun bila prosesnya sangat lambat maka sifat sistem seperti itu adalah haram diberlakukan menurut Islam. Jadi sebuah sistem pelayanan wajib memenuhi dua realitas secara bersamaan yakni : (a) dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan se-tiap orang dan (b) prosesnya harus berlangsung sangat cepat. Sehingga keadaan yang dituntut harus ter-wujud oleh Islam : مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ (رواه الترمذي), dapat dengan mu-dah dan murah direalisir oleh Khalifah. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Nabi Muhammad saw :
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
Kesempurnaan pelayanan dan kecepatan proses pelayanan pemenuhan kebutuhan tentu saja me-wajibkan kapabilitas (kemampuan), integritas (keutuhan pemikiran dan perasaan) dan profesionalisme para aparatur pelayanan. Hal itu karena, walau sistem pelayanannya dapat dengan sempurna memenuhi kebutuhan dan sangat cepat dalam prosesnya namun jika dilaksanakan oleh aparatur yang tidak meme-nuhi kualifikasi tersebut maka dapat dipastikan akan terjadinya kemacetan dan keamburadulan dalam pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, tiga asas yang mendasari bangunan strategi pelayanan kepentingan (سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ) dalam Islam tersebut wajib ketiganya selalu ada secara bersamaan dan tidak boleh (haram) satu pun dalam keadaan yang tidak sempurna atau kurang sempurna apalagi hi-lang. Harus diingat bahwa terpenuhinya seluruh kebutuhan masyarakat فَرْدًا فَرْدًا akan menjadi jaminan diraihnya kesejahteraan mereka (رِفَاهِيَتُهُمْ) selama hidup di dunia yang diungkap oleh Rasulullah saw de-ngan ucapan : فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا (رواه الترمذي). Sehingga dalam kondisi normal tersebut tidak ada alasan sedikit pun bagi setiap individu masyarakat untuk tidak taat kepada Allah SWT, Rasulullah saw dan Khalifah. Dengan demikian, jika masih juga ada yang melakukan maksiat kepada Allah SWT, Rasulul-lah saw dan Khalifah maka dia atau mereka itu tidak boleh menolak sedikit pun untuk menerima penja-tuhan sanksi alias uqubat atas perbuatannya tersebut.
Tercapainya kesejahteraan yang sempurna untuk setiap individu masyarakat secara otomatis akan menjadi pilar yang sangat kokoh untuk dijadikan oleh Khalifah sebagai tumpuan dalam menjalankan kewajibannya mengurus kepentingan rakyat di luar negeri yakni menyebarluaskan Islam ke seluruh du-nia dengan dakwah dan jihad. Hal itu karena kondisi masyarakat sejahtera yang menjelmakan mereka sebagai komunitas manusia yang يُطِيْعُوْنَ اللهَ وَيَتَّقُوْنَهُ عَلَى الإِطْلاَقِ, akan dapat secara pasti menangkal sekali-gus mengeliminir semua ancaman dan marabahaya dari luar yakni dari kaum kufar :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)
Akibatnya adalah seluruh perhatian umat Islam warga negara Khilafah Islamiyah akan sangat terpusat hanya kepada upaya penyebarluasan risalah Islam ke seluruh dunia dan Khalifah pun dapat dengan mu-dah melaksanakan kewajibannya untuk selalu menjalankan jihad hingga kapan pun. Rasulullah saw menyatakan :
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ (رواه ابو داود)
tiga hal merupakan bagian dari pokok iman yakni menahan tangan dari orang yang telah mengucap-kan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ dan kita tidak akan mengkafirkan seseorang karena dosanya dan kita tidak akan menge-luarkan seseorang dari Islam karena suatu perbuatan. Dan jihad itu akan terus berlangsung sejak Allah mengutus diriku hingga orang terakhir dari umatku yang memerangi dajjal, tidak akan memba-talkan pemberlakuan jihad جَوْرُ جَائِرٍ dan tidak pula عَدْلُ عَادِلٍ dan iman itu ditentukan oleh kadar ke-mampuan aqal
Wal hasil, dari sisi mana pun menunjukkan dengan pasti bahwa aspek good governance yakni سِيَاسَةُ اِدَارَةِ الْمَصَالِحِ adalah keniscayaan alias kewajiban yang harus selalu direalisir dengan sempurna oleh Khalifah yang mengendalikan Khilafah Islamiyah secara tunggal. Rasulullah saw menyatakan :
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ (رواه احمد)
tidak ada seorang Imam atau Wali pun yang menutup pintu rumahnya untuk menghalangi orang-orang yang memiliki kebutuhan, mengusir orang-orang faqir dan mengusir orang-orang miskin, kecuali pas-tilah Allah ‘Azza wa-jalla akan menutup seluruh pintu langit untuk menghalangi seluruh kebutuhannya

Khatimah
Seluruh warga negara Khilafah Islamiyah baik kaum muslim maupun ahlu dzimmah bersepakat untuk bersama-sama dengan Khalifah memberlakukan seluruh ketentuan Islam dalam kehidupan dunia. Dengan demikian, posisi Islam sebagai pokok segala urusan (رَأْسُ الأَمْرِ) selalu dapat direalisir sehingga walau tetap terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para pejabat ne-gara, tetapi kejadian tersebut bukanlah gejala umum dan sama sekali tidak sistemik. Oleh karena itu, sekecil apa pun (apalagi besar) tindakan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi (misal korupsi) yang dilakukan oleh para birokrat maupun pejabat Khilafah tersebut, maka hal itu akan dapat segera diketahui oleh semua pihak termasuk rakyat sehingga dapat segera pula dihentikan per-buatannya dan pelakunya dijatuhi uqubat.
Ketika اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ masih dipimpin oleh Rasulullah saw terjadi dua kasus yang saling bertolak belakang dengan pelaku utamanya adalah pejabat negara. Kasus pertama adalah seperti yang ditunjuk-kan oleh hadits berikut :
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَزْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْأُتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ تَعَالَى يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصُرَ عَيْنِي وَسَمِعَ أُذُنِي (رواه مسلم)
Dari Abu Humaid As-Saa’idiyyi yang berkata : Nabi saw telah mengangkat seorang pria dari Bani Azdi yang dijuluki Ibnu Al-Utbiyyah sebagai petugas (الْعَامِلُ) pengumpulan zakat dari Bani Sulaim. La-lu ketika dia telah kembali dari tugasnya dia pun menghitung harta bawaannya dan berkata kepada Nabi saw : ini adalah harta Anda dan yang ini adalah hadiah. Lalu Nabi saw berkata : jika begitu, me-ngapa kamu tidak duduk saja di rumah bapak dan ibumu hingga hadiahmu itu datang menghampiri-mu, jika memang kamu benar. Kemudian beliau berkhutbah kepada kami, beliau memuji Allah dan me-nyanjung Nya, lalu berkata : selanjutnya, sungguh aku telah menugaskan seorang pria dari kalian un-tuk suatu pekerjaan dari yang telah Allah tugaskan kepadaku, lalu dia kembali dan berkata : ini ada-lah harta anda dan yang ini adalah hadiah yang dihadiahkan kepada saya. Mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak dan ibunya hingga hadiahnya itu datang menghampirinya jika dia memang be-nar. Demi Allah, tidak mengambil salah seorang dari kalian sedikit saja dari harta zakat itu di luar haknya kecuali dia pasti menemui Allah SWT di hari qiyamah sembari memikul harta tersebut. Maka sungguh aku akan beritahukan kepada salah seorang dari kalian : dia pasti menemui Allah sambil me-mikul seekor unta yang bersuara atau sapi yang melenguh atau domba yang mengembik. Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih ketiaknya, lalu berkata : ya Allah, bukankah telah saya sampaikan, mata saya melihat dan telinga saya mendengar
Nampak sekali penindakan langsung yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap penyalahgu-naan wewenang (korupsi) yang dilakukan oleh salah seorang pejabat yang telah beliau angkat (Ibnu Al-Utbiyyah) sesuai dengan pengakuan dan barang bukti yang ada saat itu. Selain menyita harta yang di-korupsi oleh pejabat tersebut (diklaim sebagai hadiah : وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي), beliau pun menjatuhkan sanksi اَلتَّشْهِيْرُ yakni memberitahukan nama pejabat berikut perbuatannya yang salah tersebut kepada masyarakat :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا ...
Dengan demikian, selain beliau saw telah mengamankan sistem Islami yang tengah berlaku supaya te-tap berjalan dengan benar dan lurus, juga menyadarkan seluruh masyarakat supaya mereka tetap berada dalam kesepakatan untuk selalu istiqamah dalam menjaga pemberlakuan syariah Islamiyah bersama-sama beliau sendiri. Tindakan cepat beliau tersebut dilakukan supaya perbuatan menyimpang maupun penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat negara tidak mengarah menjadi konstelasi sistemik, melainkan hanya sebagai kasus penyimpangan, tidak lebih.
Kasus kedua berkenaan dengan Rasulullah saw menugaskan Abdullah bin Rawaahah untuk me-naksir jumlah buah kurma yang dikelola oleh penduduk Negeri Khaibar, lalu mengambil setengah ba-gian dari buah kurma itu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat antara mereka dengan Rasulullah saw selaku kepala negara. Saat Ibnu Rawaahah melakukan tugasnya maka terjadilah dialog antara ka-um Yahudi penduduk Khaibar dengannya, seperti yang dikisahkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwatha :
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبْعَثُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ رَوَاحَةَ إِلَى خَيْبَرَ فَيَخْرُصُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ يَهُودِ خَيْبَرَ قَالَ فَجَمَعُوا لَهُ حَلْيًا مِنْ حَلْيِ نِسَائِهِمْ فَقَالُوا لَهُ هَذَا لَكَ وَخَفِّفْ عَنَّا وَتَجَاوَزْ فِي الْقَسْمِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيَّ وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِي عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ فَأَمَّا مَا عَرَضْتُمْ مِنْ الرَّشْوَةِ فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لَا نَأْكُلُهَا فَقَالُوا بِهَذَا قَامَتْ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ (رواه مالك في الموطإ)
Dari Ibni Syihab dan Sulaiman bin Yasaar bahwa Rasulullah saw telah menugaskan Abdullah bin Rawaahah ke Khaibar, lalu dia (Ibnu Rawaahah) menaksir bagian (jumlah buah kurma) antara diri-nya dan Yahudi Khaibar. Dia (Sulaiman bin Yasaar) berkata : lalu mereka (Yahudi Khaibar) mengum-pulkan perhiasan emas dari perhiasan para istri mereka dan diserahkan kepadanya (Ibnu Rawaahah), lalu mereka berkata : ini adalah bagi anda dan ringankanlah kewajiban kami serta perlonggarlah da-lam pembagian. Lalu Abdullah bin Rawaahah berkata : wahai masyarakat Yahudi, demi Allah, sung-guh kalian adalah ciptaan Allah yang paling aku benci dan semua itu tidak akan membebaniku supaya aku meringankan pembagian atas kalian, lalu apa-apa yang kalian sodorkan kepadaku berupa risywah maka sesungguhnya itu adalah haram dan kami tidak akan memakannya. Kemudian mereka (Yahudi Khaibar) berkata : dengan sikap inilah tetap tegaknya langit dan bumi
Inilah setereotipe sistemik dan kepribadian yang ditunjukkan secara pasti oleh salah seorang pejabat negara di masa Rasulullah saw yakni Abdullah bin Rawaahah. Sikap dan tindakan dia yang istiqamah dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya oleh Rasulullah saw bahkan risywah perhiasan emas yang diberikan oleh Yahudi Khaibar pun ditolak mentah-mentah bukan karena dia tidak mau dan tidak perlu, melainkan karena dia sangat sadar bahwa selain risywah itu adalah diharamkan oleh Islam (apalagi posisi dirinya adalah pejabat negara), juga jika dia menerima sogokan mereka maka secara otomatis (walau pelan tapi pasti) akan merusak konstelasi sistemik pemberlakuan syariah Islamiyah atas seluruh warga negara saat itu. Lalu ternyata sikap dia yang tegas, istiqamah dan penuh integritas tersebut menjadi kekaguman tersendiri bagi kaum kufar (Yahudi) sehingga mereka memberikan apre-siasi terpuji terhadap sikap tersebut : بِهَذَا قَامَتْ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ, padahal mereka justru mendapat caci ma-ki yang sangat pedas dari Ibnu Rawaahah : يَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ وَاللَّهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللَّهِ إِلَيَّ.
Inilah realitas yang pasti akan terwujud dan diterima oleh pejabat negara Khilafah Islamiyah  ma-na pun (tidak hanya Abdullah bin Rawaahah) umat Islam warga negara Khilafah maupun seluruh  jika mereka semua selalu bersepakat untuk senantiasa istiqamah dan konsisten dalam menjaga pemberla-kuan syariah Islamiyah di bawah kendali Khalifah sendiri. Allah SWT menyatakan :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ (المائدة : 105)



No comments:

Post a Comment