Tuesday, March 5, 2013

KEMATIAN YANG SIA-SIA



Lebaran dan kematian sia-sia umat Islam
Hingga hari Senin tanggal 28 September 2009 atau delapan hari dari Idul Fitri, telah terjadi kece-lakaan lalu lintas (laka lantas) sebanyak 1.437 kejadian dengan jumlah yang tewas 593 orang atau lebih dari 41 persen. Kejadian laka lantas tersebut didominasi (sekitar 70 persen) oleh penyebab faktor hu-man error berupa kelelahan dan mengantuk. Sebaran yang tewas berada dalam rentang umur yang sa-ngat panjang mulai dari balita hingga lansia juga hampir merata terjadi baik pada pria maupun wanita. Satu hal yang pasti, hampir 100 persen dari yang tewas (bahkan dari keseluruhan kejadian laka lantas) adalah umat Islam yang tengah melakukan perjalanan baik menuju ke maupun baru kembali dari kam-pung halamannya masing-masing. Lalu jika menengok Idul Fitri tahun lalu yakni 2008, maka jumlah yang tewas juga melebihi angka 500 yakni 600-an orang. Sangat disayangkan penurunan jumlah yang tewas dari angka 600-an ke angka 500-an tersebut diklaim dan dianggap sebagai prestasi sekaligus ke-berhasilan pihak polisi dalam mengawal dan mengamankan prosesi mengudik (lalu diplesetkan menja-di mudik) dari kota-kota besar (misal Jakarta) berikut arus balik kembali menuju kota-kota besar terse-but.
Kepastian lainnya dari arak-arakan mengudik tersebut adalah argumen yang melandasi prosesi itu sendiri yakni : (a) dalam rangka merayakan Idul Fitri di kampung halaman, (b) ritual silaturahmi tahun-an dengan orang tua, saudara, kerabat, handai taulan, (c) unjuk keberhasilan upaya pencarian kekayaan selama setahun di rantau dan (d) bagi-bagi kebahagiaan materil dengan seluruh anggota keluarga besar di kampung halaman. Inilah yang selalu dan selalu akan dikejar, direalisir dengan serius dan dijadikan prioritas utama (mungkin satu-satunya saat itu) oleh seluruh umat Islam di negeri Indonesia setiap kali tibanya Bulan Ramadlan yang dipastikan akan berangkai dengan Idul Fitri yang dalam opini mereka tiada lain adalah Lebaran. Realitas opini dan sikap umat Islam inilah juga yang sangat dimanfaatkan oleh para pelaku industri baik barang-barang maupun jasa, yakni dengan cara mengeksploitasi ekspresi naluriah umat Islam tersebut seoptimal mungkin dan itu telah sangat ditampakkan bahkan beberapa ha-ri sebelum Bulan Ramadlan tiba. Pelaku industri barang-barang segera saja mengimplementasikan ren-cana strategis (renstrat) yang mungkin telah setahun mereka formulasikan untuk menjadi pemenang da-lam persaingan memperebutkan pangsa pasar umat Islam yang juga tengah menarik nafas dalam-dalam untuk segera belanja besar-besaran dengan segala cara demi kepentingan Lebaran. Promosi produk atau barang pun selalu dikaitkan dengan atau dinuansakan dengan momen Ramadlan yang memang sa-ngat menguntungkan produsen sebab berlangsung setidaknya hampir 45 hari alias satu setengah bulan.
Para pelaku industri jasa berikut seluruh pemangku kepentingannya (stake holder) mulai dari hu-lu hingga hilir menanggapi Bulan Ramadlan plus Idul Fitri dengan sikap yang sama yakni berlomba dengan para pesaing untuk menjadi pemenang dalam mengeksploitasi hasrat naluriah umat Islam yang tengah begitu menggelora di bawah naungan cahaya spiritualistik Ramadlan dan Idul Fitri tersebut. Se-luruh stasiun televisi yang mengudara di negeri Indonesia berusaha keras untuk tampil sebagai yang paling Islami selama Bulan Ramadlan sehingga paling sering dan paling lama dipanteng oleh pemirsa umat Islam yang berakibat akhir perolehan rupiah dari iklan dipastikan akan meningkat. Industri jasa angkutan darat, laut dan udara baik swasta maupun BUMN juga tidak ingin menjadi pencundang dalam perebutan piala bergilir tahunan yang bernama hasrat naluriah spiritualistik umat Islam. Mereka ber-usaha menawarkan layanan jasa terbaik bagi para calon pelaku mengudik sejak awal Bulan Ramadlan hingga beberapa jam menjelang Idul Fitri tiba.
Pemerintah pun (penguasa NKRI) atas nama regulator dan atas nama keberpihakan mereka kepa-da rakyat, berusaha untuk memfasilitasi festival spiritualisme ritualisme umat Islam sepanjang Bulan Ramadlan hingga Lebaran. Mereka berusaha keras meredam gejolak kenaikan harga barang dan jasa dengan melakukan operasi pasar barang (sembako) murah maupun bursa jasa semi atau bahkan fully gratis. Dalih demi kelancaran prosesi tahunan umat Islam untuk mengudik berikut kembalinya mereka dari udik, selalu dijadikan argumen pemerintah (terutama Departemen PU dan Perhubungan) saat me-lakukan perbaikan infrastruktur di sana sini baik itu jalan raya, rel kereta api, jembatan, dermaga pe-nyeberangan, bandar udara, pelabuhan, terminal bus dan sebagainya.
Singkat kata telah terjadi konspirasi sejumlah pihak dan kekuatan yakni pemerintah, pelaku in-dustri barang dan jasa serta para pemangku kepentingan dalam mengantarkan umat Islam dan melicin-kan jalan bagi mereka kepada kematian yang sia-sia dan tidak ada nilainya apa pun dalam pandangan Islam. Bahkan kematian sia-sia tersebut berlangsung secara terencana, massif dan terorganisir, yakni :
a.       terencana karena memang perjalanan mengudik yang mereka lakukan adalah telah direncanakan sejak tibanya Bulan Ramadlan lagipula prosesi ini selalu terulang setiap tahun sehingga dapat dika-tegorikan sebagai kebiasaan alias tradisi alias habitual action.
b.       massif karena kematian itu benar-benar terjadi secara massal bahkan sporadis seiring dengan peta kejadian laka lantasnya itu sendiri dan sama sekali bukan kasus individual yang terpisah satu sama lainnya melainkan seluruhnya berada dalam satu paket peristiwa yakni prosesi mengudik.
c.       terorganisir karena seluruh kejadian laka lantas tersebut berlangsung dalam naungan regulasi yang diimplementasikan secara terorganisir oleh polisi maupun seluruh pemangku kepentingan yang ber-hubungan dengan lalu lintas jalan raya. Artinya seluruh kematian dalam kejadian laka lantas terse-but bukan karena terpeleset di jalan setapak licin berlumpur di tengah hutan belantara, melainkan di jalan raya yang diselenggarakan di bawah naungan undang-undang lalu lintas jalan raya yang di-berlakukan secara resmi, formal dan institusional oleh pemerintah.
Lalu, mengapa kematian umat Islam dalam prosesi mengudik maupun kembali dari udik tersebut dika-takan sebagai kematian yang sia-sia dan tidak ada nilainya apa pun dalam pandangan Islam? Tentu saja demikian karena :
1.       tidak ada satu pun kewajiban dalam Islam yang dibebankan oleh Allah SWT kepada umat Islam yang mengharuskan atau menuntut adanya kematian mereka. Bahkan kewajiban perang (jihad) se-kali pun dilakukan bukan untuk mencari kematian melainkan sebaliknya untuk mempertahankan kehidupan yang mulia berupa kemenangan. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT berkenaan dengan sikap kaum kufar terhadap umat Islam dalam hal perang :
قُلْ هَلْ تَرَبَّصُونَ بِنَا إِلَّا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ وَنَحْنُ نَتَرَبَّصُ بِكُمْ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ أَوْ بِأَيْدِينَا فَتَرَبَّصُوا إِنَّا مَعَكُمْ مُتَرَبِّصُونَ (التوبة : 52)
Katakanlah (olehmu Muhammad) : apa yang tengah kalian (kaum kufar) tunggu-tunggu terjadi ke-pada kami tidak lain kecuali salah satu dari dua kebaikan dan kami tengah menunggu yang akan terjadi kepada kalian yakni Allah akan menimpakkan kepada kalian adzab dari sisi Nya atau mela-lui tangan-tangan kami. Oleh karena itu, tunggulah terus oleh kalian sungguh kami bersama kali-an sama-sama tengah menunggu itu semua.
Menurut Tafsir Jalalain yang dimaksud dengan pernyataan إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ adalah اَلنَّصْرُ أَوِ الشَّهَادَةُ (per-tolongan atau syahadah). Sedangkan Imam Al-Qurthubiy menyatakan bahwa :
وَالْمُرَادُ بِالْحُسْنَيَيْنِ اَلْغَنِيْمَةُ وَالشَّهَادَةُ, عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٍ وَغَيْرِهِمَا
Dan yang dimaksudkan dengan dua kebaikan itu adalah ghanimah dan syahadah. Inilah yang ber-asal dari Ibnu Abbas, Mujahid dan selain keduanya.
Lagipula Allah SWT menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة : 111)
Sungguh Allah telah membeli dari kaum mukmin baik nyawa maupun harta mereka yakni pasti ba-gi mereka الْجَنَّةَ. Mereka berperang di jalan Allah lalu mereka membunuh dan terbunuh. Itu adalah janji pasti atas Allah yang telah dinyatakan dalam Taurah, Injil dan Al-Quran dan siapa saja yang memenuhi janjinya dengan Allah maka bergembiralah kalian semua dengan jual beli yang telah kalian lakukan dan itu adalah balasan yang sangat besar.
Nampak sekali bahwa dalam prosesi perang itu (يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ) ada dua pilihan yakni membu-nuh (يَقْتُلُونَ) atau terbunuh (يُقْتَلُونَ) dan bukan hanya satu yakni terbunuh saja. Realitas ini memasti-kan bahwa kewajiban perang dalam rangka menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia bukanlah mencari kematian melainkan justru berusaha keras supaya Islam benar-benar menjadi satu-satunya peraturan yang diberlakukan secara menyeluruh dalam kehidupan manusia di dunia. Allah SWT menyatakan :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
2.       membunuh orang lain (sesama umat Islam dan ahludz dzimmah) maupun membunuh diri sendiri keduanya adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam. Kasus laka lantas yang mengantarkan se-orang supir bus (atau moda transportasi lainnya) tewas dan kecelakaan itu disebabkan oleh aspek human error atau bus yang seharusnya sudah dijadikan besi tua, maka kematian sang supir dapat dikategorikan sebagai bunuh diri. Lalu bila kecelakaan itu juga menjadikan para penumpang tewas, maka sang supir dipastikan telah membunuh mereka dengan sengaja dan pada saat yang sama supir pun telah melukai banyak penumpang yang tidak tewas namun mengalami berbagai bentuk cedera luka dari mulai kategori ringan hingga berat.
Fakta laka lantas saat ini (dalam kehidupan berbasis sekularisme) memastikan bahwa sebagian sa-ngat besarnya (bahkan hampir seluruhnya) terjadi akibat faktor supir (mabuk, ugal-ugalan, me-ngantuk, kelelahan, mempergunakan narkoba) dan faktor kendaraan (sangat tidak layak digunakan dalam perjalanan). Oleh karena itu kematian sang supir maupun para penumpang, sepenuhnya ada-lah masuk ke dalam realitas membunuh diri dan membunuh orang lain dengan sengaja. Pelakunya (supir) tentu saja telah melakukan dua jenis perbuatan yang diharamkan oleh Islam yakni membu-nuh diri dan membunuh orang lain dengan sengaja (مُتَعَمِّدًا) :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (النساء : 29)
Ayat tersebut merupakan dalil tentang bentuk pengembangan kepemilikan (تَنْمِيَّةُ الْمِلْكِ) yang dihalal-kan oleh Islam (إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ) dan pengharaman membunuh diri : وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ. Adapun dalil yang mengharamkan membunuh orang lain dengan sengaja adalah pernyataan Allah SWT :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (النساء : 93)
Ancaman keras yang ada dalam bagian ayat فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا memastikan bahwa perbuatan وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا adalah haram.
Realitas supir yang sangat tidak layak untuk melakukan tindakan apa pun apalagi mengemudikan kendaraan karena aqalnya tidak waras (mabuk dan mengkonsumsi narkoba) serta perasaannya geli-sah gundah (karena desakan kebutuhan diri dan keluarga), tentu saja menjadi faktor yang sangat di-duga kuat (غَلَبَةُ الظَّنِّ) bahkan hampir dapat dipastikan akan mengantarkan kepada laka lantas yang massif karena berlangsung di saat arus lalu lintas sangat padat dan ramai dari kedua arah sisi jalan. Dengan kata lain realitas supir tersebut akan mengantarkan alias menjadi wasilah kepada perbuatan membunuh diri dan orang lain dengan cara sengaja yang diharamkan oleh Islam. Kaidah ushul me-nyatakan :
اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّةٌ
Wasilah yang mengantarkan kepada haram adalah diharamkan
Oleh karena itu dari aspek pemikiran Islami ini pun kematian umat Islam (supir dan penumpang) yang terjadi selama arus mengudik dan balik dari udik setiap tahun termasuk tahun 2009 ini tentu saja kematian yang sia-sia alias konyol karena berlangsung dalam arena perbuatan yang diharam-kan oleh Islam.
3.       aksi membahayakan diri (ضَرَرَ) dan membahayakan orang lain (ضِرَارَ) adalah diharamkan oleh Islam seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (رواه احمد)
Dalil tersebut memberikan pemahaman (اَلْقَاعِدَةُ) bahwa :
اَلأَصْلُ فِيْ الْمَضَارِّ اَلتَّحْرِيْمُ
Keadaan asal (status orisinal) perkara/hal yang membahayakan adalah diharamkan
Realitas supir yang sangat tidak layak untuk melakukan tindakan apa pun apalagi mengemudikan kendaraan karena aqalnya tidak waras (mabuk dan mengkonsumsi narkoba) serta perasaannya geli-sah gundah (karena desakan kebutuhan diri dan keluarga) dipastikan sebagai perkara/hal yang membahayakan (اَلْمَضَارُّ). Sehingga supir haram mengemudikan kendaraannya dalam realitas seperti itu karena telah menjadi faktor yang membahayakan dirinya serta orang lain (penumpang maupun pelaku lalu lintas lainnya). Artinya jika sang supir tetap ngotot mengemudikan kendaraannya dan penumpang pun tetap bersikukuh untuk menggunakan kendaraan tersebut, maka mereka semua telah dengan sengaja menjadikan dirinya masing-masing sebagai perkara/hal yang membahayakan (اَلْمَضَارُّ) bagi orang lain.
Padahal Islam sangat menjaga keberlangsungan kehidupan manusia dan selalu menjauhkan hal atau perkara yang akan mengancam nyawa manusia (نَفْسُ الإِنْسَانِ). Rasulullah saw menyatakan :
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (رواه مسلم)
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku ada-lah Rasulullah, kecuali dalam salah satu dari tiga keadaan yakni duda yang berzina, pembunuhan dan yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah
Dengan ketetapan Islam yang hanya menghalalkan dibunuhnya seorang muslim dalam salah satu dari tiga keadaan tersebut (الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ), maka memastikan bahwa pe-meliharaan terhadap nyawa (حِفْظُ النَّفْسِ) alias menjaga keberlangsungan kehidupan manusia di dunia adalah salah satu dari perkara yang dituntut oleh keberadaan Islam itu sendiri di dunia.
Wal hasil, tidak diragukan lagi penyebab terjadinya kematian sia-sia nan konyol tahunan umat Is-lam setiap menjelang dan selama prosesi Lebaran adalah adanya pemberlakuan secara paksa ideologi kapitalisme sekularistik di Dunia Islam termasuk negeri Indonesia yang telah berlangsung lebih dari 85 tahun. Allah SWT menyatakan :
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (طه : 124-126)

Realitas Idul Fitri vs lebaran
Idul Fitri (عِيْدُ الْفِطْرِ) adalah hari yang terjadi pada setiap tanggal satu bulan Syawwal setiap tahun setelah selama satu bulan (kadang 29 hari, kadang 30 hari) kehidupan dunia dinaungi oleh Bulan Ra-madlan. Realitas عِيْدُ الْفِطْرِ ditetapkan secara pasti oleh Islam melalui pernyataan Rasulullah saw :
الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ (رواه الترمذي)
Al-Fitru itu adalah hari saat manusia berbuka dan Al-Adha itu adalah hari saat manusia menyembelih
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ (رواه الترمذي)
Shaum itu adalah hari kalian melakukan shaum dan Al-Fitru itu adalah hari kalian berbuka dan Al-Adha itu adalah hari kalian menyembelih
وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ (رواه ابو داود)
Dan Fitru kalian itu adalah hari kalian berbuka dan Adha kalian itu adalah hari kalian menyembelih
الْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ (رواه ابن ماجه)
Al-Fitru itu adalah hari kalian berbuka dan Al-Adha itu adalah hari kalian menyembelih
Dengan demikian Islam menetapkan realitas Idul Fitri adalah satu hari pada setiap tanggal satu Syaw-wal ketika seluruh umat Islam di dunia diwajibkan berbuka (كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْفِطْرُ) dan diharamkan melaku-kan shaum (حُرِّمَ عَلَيْهِمُ الصَّوْمُ). Oleh karena itu, pemikiran dan opini apa pun yang berkembang serta se-ngaja dikembangkan saat ini di tengah-tengah umat Islam seperti kembali kepada kesucian, kembali fitri, di hari yang fitri, kemenangan hati di hari fitri dan sebagainya, seluruhnya adalah haram diikuti dan dilekatkan kepada realitas Idul Fitri sebab menyalahi seluruh dalil yang berkenaan dengan Idul Fitri serta menyalahi fakta Idul Fitri itu sendiri yang tidak lebih tidak kurang adalah hari saat kembali berbuka setelah selama Bulan Ramadlan melaksanakan shaum.
Lalu dalam suatu kesempatan khut-bah Idul Adha Khalifah Umar menyatakan :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ نَهَاكُمْ عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْعِيدَيْنِ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَيَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَأَمَّا الْآخَرُ فَيَوْمٌ تَأْكُلُونَ مِنْ نُسُكِكُمْ (رواه البخاري)
Wahai manusia sungguh Rasulullah saw telah melarang kalian shaum di dua hari Id ini, adapun salah satunya adalah hari berbuka kalian dari shaum kalian dan yang lainnya adalah hari kalian makan da-ging sembelihan kalian.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ صَوْمِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ أَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صَوْمِكُمْ وَعِيدٌ لِلْمُسْلِمِينَ وَأَمَّا يَوْمُ الْأَضْحَى فَكُلُوا مِنْ لُحُومِ نُسُكِكُمْ (رواه الترمذي)
Aku mendengar Rasulullah saw melarang shaum di dua hari ini, adapun hari Fitri adalah saat berbu-ka kalian dari shaum kalian dan itu adalah Id bagi kaum muslim dan adapun hari Adha maka makan-lah oleh kalian daging sembelihan kalian
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ أَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صَوْمِكُمْ وَأَمَّا يَوْمُ الْأَضْحَى فَكُلُوا مِنْ لَحْمِ نُسُكِكُمْ (رواه احمد)
Sungguh Rasulullah saw telah melarang shaum di dua hari ini, adapun hari Fitri adalah saat kalian berbuka dari shaum kalian dan adapun hari Adha maka makanlah oleh kalian daging sembelihan ka-lian
Artinya realitas Idul Fitri sebagai hari saat kembali berbuka setelah selama Bulan Ramadlan melak-sanakan shaum terus dipertahankan oleh Ijma Sahabat antara lain ketika umat Islam pasca wafatnya Rasulullah saw dipimpin dan diurus oleh Amirul Mukminin Umar bin Khaththab.
Lalu bagaimana cara merayakan atau memeriahkan Idul Fitri yang ditetapkan dalam Islam? Ten-tu saja ini pun wajib mengikuti ketentuan yang ditunjukkan oleh dalil antara lain :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ أَنَّ ابْنَ جُرَيْجٍ أَخْبَرَهُمْ قَالَ أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ (رواه البخاري)
Telah bercerita kepada kami (Bukhari) Ibrahim bin Musa yang berkata telah mengabarkan kepada ka-mi Hisyam bahwa Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada mereka dan berkata telah mengabarkan ke-pada saya (Ibnu Juraij) ‘Atha dari Jabir bin Abdillah dan dia (‘Atha) berkata : saya telah mendengar dia (Jabir) berkata bahwa Nabi saw keluar pada hari Fitri lalu beliau melakukan shalat sebelum khut-bah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ (رواه البخاري)
Dari Abi Sa’iid Al-Khudriy berkata bahwa Rasulullah saw biasa keluar pada hari Fitri dan Adha me-nuju mushalla lalu hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat kemudian berpaling dan berdiri menghadap orang-orang sementara itu seluruh manusia masih duduk dalam shaf mereka, lalu beliau memberikan peringatan kepada mereka, memberikan washiat kepada mereka dan memberikan perin-tah kepada mereka. Lalu jika beliau berkeinginan untuk menetapkan utusan maka saat itu juga beliau tetapkan atau jika beliau akan memerintahkan sesuatu maka saat itu juga beliau perintahkan kemu-dian beliau berlalu (dari mushalla)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدْتُ صَلَاةَ الْفِطْرِ مَعَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكُلُّهُمْ يُصَلِّيهَا قَبْلَ الْخُطْبَةِ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas berkata bahwa saya telah menghadiri shalat Fitri bersama Nabiyyullah saw, Abu Ba-kar, Umar dan Utsman, maka mereka seluruhnya melaksanakan shalat sebelum khutbah
Dalil-dalil tersebut dan lainnya yang serupa masih banyak menunjukkan tatacara (اَلْكَيْفِيَّةُ) merayakan atau memeriahkan Idul Fitri (juga Idul Adha) yang telah dilakukan oleh umat Islam baik saat mereka dipimpin dan diurus oleh Rasulullah saw maupun ketika mereka dipimpin dan diurus oleh Khulafa Ra-syidun sepeninggal Nabi Muhammad saw. Prosesi tatacara tersebut adalah :
1.       Khilafah Islamiyah wajib menyediakan tempat di luar Masjid (dekat atau jauh) yang disebut de-ngan  الْمُصَلَّى dan itu khusus digunakan untuk pelaksanaan shalat Idul Fitri serta Idul Adha.
2.       Khalifah bersama dengan umat Islam keluar dari rumah masing-masing menuju الْمُصَلَّى dengan di-sertai pengumandangan takbir, tahlil, tahmid secara keras.
3.       ketika seluruh umat Islam telah berkumpul di الْمُصَلَّى maka mereka harus diatur dalam shaf-shaf
4.       lalu Khalifah menyerukan tanda (bukan adzan bukan iqamah, sepenuhnya terserah dia) kepada umat Islam untuk segera memulai pelaksanaan shalat Idul Fitri dan setelah selesai shalat tersebut selanjutnya Khalifah menghadap manusia lalu berdiri di atas mimbar dan menyampaikan khutbah kepada mereka yang isinya adalah فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ (memberikan peringatan kepada mereka, memberikan washiat kepada mereka dan memberikan perintah kepada mereka).
5.       ketika Khalifah telah selesai menyampaikan khutbahnya, maka dia dapat langsung memberikan berbagai keputusan, penetapan, instruksi, penugasan dan lainnya yang berhubungan dengan tugas utama nan abadi Khilafah Islamiyah yakni menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.
6.       setelah seluruh prosesi tersebut selesai, maka Khalifah dapat meninggalkan الْمُصَلَّى demikian juga umat Islam untuk kembali ke rumah masing-masing bagi yang tidak ditugaskan untuk dakwah atau jihad, atau segera melaksanakan tugas masing-masing yang telah ditetapkan oleh Khalifah sesaat setelah dia menyampaikan khutbah Idul Fitri.
Nampak sekali bahwa prosesi perayaan Idul Fitri yang telah dilakukan secara praktis oleh seluruh umat Islam saat dipimpin dan diurus oleh Rasulullah saw maupun Khulafa Rasyidun, adalah sangat khidmat, sakral dan benar-benar menampakkan apa yang dituntut oleh pernyataan Allah SWT :
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (البقرة : 185)
Selain itu, seluruh komponen dan elemen Khilafah Islamiyah mulai dari Khalifah hingga masyarakat segera saja kembali kepada kehidupan normal persis seperti sebelum Bulan Ramadlan menaungi mere-ka. Tidak ada satu pun riwayat walau yang dlaif sekali pun yang menunjukkan bahwa mereka melaku-kan prosesi atau ritual atau upacara atau kegiatan di luar prosesi Islami yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun tersebut (nomor 1 hingga 6). Hal itu berarti segala sesuatu yang dikembangkan dan dilakukan oleh umat Islam saat ini di seluruh Dunia Islam termasuk apalagi di ne-geri Indonesia berupa prosesi atau ritual atau upacara atau kegiatan tertentu seperti halal bi halal, silaturahmi, liqa syawwal, mengudik, berkunjung ke tempat-tempat keramat, piknik, berkemah di tepi pantai dan sebagainya, tentu saja telah menyalahi pakem prosesi perayaan Idul Fitri yang telah diim-plementasikan secara riil oleh Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun. Lalu bagaimana halnya dengan makan minum yang biasa dilakukan oleh umat Islam saat ini di hari Idul Fitri setelah mereka melaksa-nakan shalat Idul Fitri?
Sesuai dengan realitas Idul Fitri yakni hari saat kembali berbuka setelah selama Bulan Rama-dlan melaksanakan shaum, maka tentu saja adalah halal umat Islam bergembira pada hari itu karena mereka dapat kembali makan dan minum di siang hari setelah sebulan sebelumnya diharamkan. Inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah pernyataan Rasulullah saw antara lain :
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ (رواه البخاري)
Bagian hadits إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ memastikan bahwa Islam mengakui perasaan bahagia gembira umat Islam sa-at mereka berbuka, baik harian maupun saat Idul Fitri. Hal itu berarti Islam menghalalkan mereka makan dan minum (yang halal serta dilakukan dengan menghindari اَلإِسْرَافُ) sambil bersuka cita di hari Idul Fitri dan aktivitas tersebut boleh dilakukan sendirian maupun bersama-sama keluarga. Inilah yang juga ditunjukkan oleh pernyataan Nabi Muhammad saw lainnya :
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ (رواه احمد)
Hari Arafah, hari Nahr (Idul Adha) dan hari-hari Tasyrik adalah Id kita pemeluk Islam dan seluruh-nya adalah hari-hari makan dan minum
Walaupun hari Idul Fitri tidak disebut dalam pernyataan Rasulullah saw tersebut, namun karena ada dalil lain yang mengharamkan shaum di hari Idul Fitri maupun Idul Adha, maka dapat dipastikan bah-wa Idul Fitri pun masuk dalam realitas وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ. Inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah dalil berkenaan dengan Idul Fitri dan Idul Adha antara lain :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah saw telah melarang shaum di dua hari yakni Hari Adha dan Hari Fitri.
Jadi, Idul Fitri adalah bagian dari وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ sehingga halal bagi umat Islam makan dan minum.
Demikianlah realitas Idul Fitri berikut tatacara merayakan dan memeriahkannya yang telah dijaga dan dipertahankan implementasinya oleh umat Islam terutama saat mereka dipimpin dan diurus oleh Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun. Lalu bagaimana halnya dengan Lebaran yang dianggap dan di-posisikan sebagai Idul Fitri oleh umat Islam terutama di negeri Indonesia?
Realitas Lebaran memang sangat sulit dirumuskan sebab muncul bukan dari sebuah konsepsi da-lil (aqliy maupun naqliy) melainkan lebih sebagai sebentuk kebiasaan perilaku pendudukan negeri In-donesia yang menganggapnya sama dengan Idul Fitri atau sebagai “terjemahan” dari Idul Fitri. Fakta tersebut semakin jelas ketika umat Islam di Indonesia juga mentradisikan hal lain yang dianggap masih berhubungan dengan Idul Fitri yakni Lebaran Ketupat yang mereka rayakan pada tanggal 8 Syawwal yakni setelah mereka melaksanakan shaum sunnah enam hari di Bulan Syawwal yang dimulai sejak tanggal 2 Syawwal. Oleh karena itu, seluruh prosesi atau ritual atau upacara atau kegiatan yang se-lama ini dilakukan oleh umat Islam di Indonesia menjelang dan saat tibanya tanggal satu Syawwal adalah sangat tepat jika dilekatkan kepada atau dianggap sebagai bagian dari prosesi Lebaran dan jika itu semua dilekatkan kepada atau dianggap sebagai bagian dari prosesi Idul Fitri maka tidak diragukan lagi itu adalah salah fatal dan terkategori sebagai بِدْعَةٌ ضَلاَلَةٌ مُنْكَرَةٌ.

Idul Fitri dalam naungan kapitalisme
Idul Fitri yang dibajak paksa untuk menjelma menjadi Lebaran di negeri Indonesia adalah bukti pasti untuk kesekian kalinya tentang posisi dan eksistensi syariah Islamiyah yang sangat dihinakan dan dinistakan secara brutal dan sadis dalam wadah negara kebangsaan yang bernaung di bawah payung Ideologi Kapitalisme. Bahkan bukan hanya Idul Fitri, Bulan Ramadlan pun telah dibajak oleh kapitalis-me lalu disulap dengan beraneka rupa konsepsi kapitalistik yang ada di dalamnya. Seluruh promosi produk barang maupun jasa yang dilakukan oleh para pelaku industri selama Bulan Ramadlan yang se-lalu dikait-paksakan dengan seluruh realitas Bulan Ramadlan itu sendiri, merupakan bukti pasti tentang telah dibajaknya Bulan Ramadlan oleh para kapitalis pengusung utama ideologi kapitalisme lalu disu-lap oleh mereka dengan semua konsepsi kapitalistik.
Kemeriahan dan keglamoran momen satu Muharram, Bulan Ramadlan, Idul Fitri, pelaksanaan Haji, Idul Adha, seputar zakat dan sebagainya yang nampak sangat nyata saat ini merupakan wujud riil dari implementasi konsep standard perbuatan dalam kapitalisme yakni manfaat. Seluruh dalih maupun argumen yang menyertai dan ditampakkan dalam kemeriahan dan keglamoran tersebut semisal Berkah Ramadlan, Rahmat Semesta Alam, Zakat dan pengentasan kemiskinan, Muharram adalah momen hij-rah hati, kemenangan hati di hari yang fitri, Idul Adha dan kesalehan sosial dan sebagainya, tentu saja memastikan kemenangan dan dominasi Ideologi Kapitalisme atas Ideologi Islam. Perkara yang sangat mengerikannya adalah prosesi penghinaan dan penistaan Islam tersebut sepenuhnya didukung bahkan dilakukan secara sadar oleh kaum muslim di seluruh Dunia Islam termasuk apalagi di negeri Indonesia.
Wal hasil, semakin jelas bahwa beraneka macam ucapan, ungkapan dan pernyataan umat Islam sehubungan dengan upaya meraih taqwa yang sangat sering hampir setiap saat meluncur ringan dari lisan mereka selama Bulan Ramadlan, adalah tidak lebih dari sekedar basa basi dan hiasan bibir. Mere-ka pun sama sekali tidak tahu untuk apa mulut mereka begitu sering mengucapkan pernyataan Rasulul-lah saw :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري)
Hal itu karena fakta pemikiran, sikap dan perbuatan mereka selama shaum di Bulan Ramadlan sama se-kali tidak menunjukkan realisasi dari tuntutan إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا, bahkan sebaliknya mereka justru melakukan semuanya termasuk shaum diawali dengan pertimbangan kepentingan naluriah dan manfaat. Fakta pas-ti lainnya dari pemikiran, sikap dan perbuatan umat Islam yang masih terbelenggu kuat oleh asas kon-sepsi kufur (sekularisme) adalah hingga saat ini pasca Bulan Ramadlan 1430 H ternyata umat Islam masih belum sadar untuk berusaha keras nan serius dalam mengembalikan kehidupan mereka di dunia Islami lagi dalam wadah Khilafah Islamiyah.


أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد : 16)

No comments:

Post a Comment