Lebaran dan kematian sia-sia umat Islam
Hingga hari Senin tanggal 28 September 2009
atau delapan hari dari Idul Fitri, telah terjadi kece-lakaan lalu lintas (laka
lantas) sebanyak 1.437 kejadian dengan jumlah yang tewas 593 orang atau lebih
dari 41 persen. Kejadian laka lantas tersebut didominasi (sekitar 70 persen)
oleh penyebab faktor hu-man error berupa kelelahan dan mengantuk.
Sebaran yang tewas berada dalam rentang umur yang sa-ngat panjang mulai dari
balita hingga lansia juga hampir merata terjadi baik pada pria maupun wanita.
Satu hal yang pasti, hampir 100 persen dari yang tewas (bahkan dari keseluruhan
kejadian laka lantas) adalah umat Islam yang tengah melakukan perjalanan baik
menuju ke maupun baru kembali dari kam-pung halamannya masing-masing. Lalu jika
menengok Idul Fitri tahun lalu yakni 2008, maka jumlah yang tewas juga melebihi
angka 500 yakni 600-an orang. Sangat disayangkan penurunan jumlah yang tewas
dari angka 600-an ke angka 500-an tersebut diklaim dan dianggap sebagai
prestasi sekaligus ke-berhasilan pihak polisi dalam mengawal dan mengamankan
prosesi mengudik (lalu diplesetkan menja-di mudik) dari kota-kota besar (misal Jakarta) berikut arus
balik kembali menuju kota-kota besar terse-but.
Kepastian lainnya dari arak-arakan mengudik
tersebut adalah argumen yang melandasi prosesi itu sendiri yakni : (a) dalam
rangka merayakan Idul Fitri di kampung halaman, (b) ritual silaturahmi tahun-an
dengan orang tua, saudara, kerabat, handai taulan, (c) unjuk keberhasilan upaya
pencarian kekayaan selama setahun di rantau dan (d) bagi-bagi kebahagiaan
materil dengan seluruh anggota keluarga besar di kampung halaman. Inilah yang
selalu dan selalu akan dikejar, direalisir dengan serius dan dijadikan prioritas
utama (mungkin satu-satunya saat itu) oleh seluruh umat Islam di negeri Indonesia
setiap kali tibanya Bulan Ramadlan yang dipastikan akan berangkai dengan Idul
Fitri yang dalam opini mereka tiada lain adalah Lebaran. Realitas opini dan
sikap umat Islam inilah juga yang sangat dimanfaatkan oleh para pelaku industri
baik barang-barang maupun jasa, yakni dengan cara mengeksploitasi ekspresi
naluriah umat Islam tersebut seoptimal mungkin dan itu telah sangat ditampakkan
bahkan beberapa ha-ri sebelum Bulan Ramadlan tiba. Pelaku industri
barang-barang segera saja mengimplementasikan ren-cana strategis (renstrat)
yang mungkin telah setahun mereka formulasikan untuk menjadi pemenang da-lam
persaingan memperebutkan pangsa pasar umat Islam yang juga tengah menarik nafas
dalam-dalam untuk segera belanja besar-besaran dengan segala cara
demi kepentingan Lebaran. Promosi produk atau barang pun selalu dikaitkan
dengan atau dinuansakan dengan momen Ramadlan yang memang sa-ngat menguntungkan
produsen sebab berlangsung setidaknya hampir 45 hari alias satu setengah bulan.
Para pelaku industri jasa berikut seluruh pemangku kepentingannya
(stake holder) mulai dari hu-lu hingga hilir menanggapi Bulan Ramadlan
plus Idul Fitri dengan sikap yang sama yakni berlomba dengan para pesaing untuk
menjadi pemenang dalam mengeksploitasi hasrat naluriah umat Islam yang tengah
begitu menggelora di bawah naungan cahaya spiritualistik Ramadlan dan Idul
Fitri tersebut. Se-luruh stasiun televisi yang mengudara di negeri Indonesia
berusaha keras untuk tampil sebagai yang paling Islami selama Bulan Ramadlan
sehingga paling sering dan paling lama dipanteng oleh pemirsa
umat Islam yang berakibat akhir perolehan rupiah dari iklan dipastikan akan
meningkat. Industri jasa angkutan darat, laut dan udara baik swasta maupun BUMN
juga tidak ingin menjadi pencundang dalam perebutan piala bergilir tahunan yang
bernama hasrat naluriah spiritualistik umat Islam. Mereka
ber-usaha menawarkan layanan jasa terbaik bagi para calon pelaku mengudik sejak
awal Bulan Ramadlan hingga beberapa jam menjelang Idul Fitri tiba.
Pemerintah pun (penguasa NKRI) atas nama regulator dan atas nama
keberpihakan mereka kepa-da rakyat, berusaha untuk memfasilitasi festival
spiritualisme ritualisme umat Islam sepanjang Bulan Ramadlan hingga Lebaran.
Mereka berusaha keras meredam gejolak kenaikan harga barang dan jasa dengan
melakukan operasi pasar barang (sembako) murah maupun bursa jasa semi atau
bahkan fully gratis. Dalih demi kelancaran prosesi tahunan umat Islam
untuk mengudik berikut kembalinya mereka dari udik, selalu dijadikan argumen
pemerintah (terutama Departemen PU dan Perhubungan) saat me-lakukan perbaikan
infrastruktur di sana
sini baik itu jalan raya, rel kereta api, jembatan, dermaga pe-nyeberangan,
bandar udara, pelabuhan, terminal bus dan sebagainya.
Singkat kata telah terjadi konspirasi sejumlah pihak dan kekuatan
yakni pemerintah, pelaku in-dustri barang dan jasa serta para pemangku
kepentingan dalam mengantarkan umat Islam dan melicin-kan jalan bagi mereka
kepada kematian yang sia-sia dan tidak ada nilainya apa pun dalam pandangan
Islam. Bahkan kematian sia-sia tersebut berlangsung secara terencana, massif
dan terorganisir, yakni :
a.
terencana karena memang perjalanan mengudik yang mereka lakukan adalah
telah direncanakan sejak tibanya Bulan Ramadlan lagipula prosesi ini selalu
terulang setiap tahun sehingga dapat dika-tegorikan sebagai kebiasaan alias
tradisi alias habitual action.
b.
massif karena kematian itu benar-benar terjadi secara massal bahkan
sporadis seiring dengan peta kejadian laka lantasnya itu sendiri dan sama
sekali bukan kasus individual yang terpisah satu sama lainnya melainkan
seluruhnya berada dalam satu paket peristiwa yakni prosesi mengudik.
c.
terorganisir karena seluruh kejadian laka lantas tersebut berlangsung dalam
naungan regulasi yang diimplementasikan secara terorganisir oleh polisi maupun
seluruh pemangku kepentingan yang ber-hubungan dengan lalu lintas jalan raya.
Artinya seluruh kematian dalam kejadian laka lantas terse-but bukan karena
terpeleset di jalan setapak licin berlumpur di tengah hutan belantara,
melainkan di jalan raya yang diselenggarakan di bawah naungan undang-undang
lalu lintas jalan raya yang di-berlakukan secara resmi, formal dan
institusional oleh pemerintah.
Lalu, mengapa kematian umat Islam dalam
prosesi mengudik maupun kembali dari udik tersebut dika-takan sebagai kematian
yang sia-sia dan tidak ada nilainya apa pun dalam pandangan Islam? Tentu saja
demikian karena :
1.
tidak ada satu pun kewajiban dalam Islam yang dibebankan oleh
Allah SWT kepada umat Islam yang mengharuskan atau menuntut adanya kematian
mereka. Bahkan kewajiban perang (jihad) se-kali pun dilakukan bukan untuk
mencari kematian melainkan sebaliknya untuk mempertahankan kehidupan yang mulia
berupa kemenangan. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT berkenaan
dengan sikap kaum kufar terhadap umat Islam dalam hal perang :
قُلْ هَلْ
تَرَبَّصُونَ بِنَا إِلَّا إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ وَنَحْنُ نَتَرَبَّصُ بِكُمْ
أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ أَوْ بِأَيْدِينَا
فَتَرَبَّصُوا إِنَّا مَعَكُمْ مُتَرَبِّصُونَ (التوبة : 52)
Katakanlah
(olehmu Muhammad) : apa yang tengah kalian (kaum kufar) tunggu-tunggu terjadi
ke-pada kami tidak lain kecuali salah satu dari dua kebaikan dan kami tengah
menunggu yang akan terjadi kepada kalian yakni Allah akan menimpakkan kepada
kalian adzab dari sisi Nya atau mela-lui tangan-tangan kami. Oleh karena itu,
tunggulah terus oleh kalian sungguh kami bersama kali-an sama-sama tengah
menunggu itu semua.
Menurut Tafsir Jalalain
yang dimaksud dengan pernyataan إِحْدَى
الْحُسْنَيَيْنِ
adalah اَلنَّصْرُ أَوِ
الشَّهَادَةُ
(per-tolongan atau syahadah). Sedangkan Imam Al-Qurthubiy menyatakan
bahwa :
وَالْمُرَادُ بِالْحُسْنَيَيْنِ اَلْغَنِيْمَةُ وَالشَّهَادَةُ, عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٍ وَغَيْرِهِمَا
Dan yang dimaksudkan
dengan dua kebaikan itu adalah ghanimah dan syahadah. Inilah yang ber-asal dari
Ibnu Abbas, Mujahid dan selain keduanya.
Lagipula Allah SWT
menyatakan :
إِنَّ
اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ
لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ
أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي
بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة : 111)
Sungguh
Allah telah membeli dari kaum mukmin baik nyawa maupun harta mereka yakni pasti
ba-gi mereka الْجَنَّةَ. Mereka
berperang di jalan Allah lalu mereka membunuh dan terbunuh. Itu adalah janji
pasti atas Allah yang telah dinyatakan dalam Taurah, Injil dan Al-Quran dan
siapa saja yang memenuhi janjinya dengan Allah maka bergembiralah kalian semua
dengan jual beli yang telah kalian lakukan dan itu adalah balasan yang sangat
besar.
Nampak
sekali bahwa dalam prosesi perang itu (يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ) ada dua pilihan yakni membu-nuh (يَقْتُلُونَ) atau terbunuh (يُقْتَلُونَ) dan bukan hanya
satu yakni terbunuh saja. Realitas ini memasti-kan bahwa kewajiban perang dalam
rangka menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia bukanlah mencari kematian
melainkan justru berusaha keras supaya Islam benar-benar menjadi satu-satunya
peraturan yang diberlakukan secara menyeluruh dalam kehidupan manusia di dunia.
Allah SWT menyatakan :
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
2.
membunuh orang lain (sesama umat Islam dan ahludz dzimmah) maupun
membunuh diri sendiri keduanya adalah perbuatan yang diharamkan oleh Islam.
Kasus laka lantas yang mengantarkan se-orang supir bus (atau moda transportasi
lainnya) tewas dan kecelakaan itu disebabkan oleh aspek human error atau
bus yang seharusnya sudah dijadikan besi tua, maka kematian sang supir dapat
dikategorikan sebagai bunuh diri. Lalu bila kecelakaan itu juga menjadikan para
penumpang tewas, maka sang supir dipastikan telah membunuh mereka dengan
sengaja dan pada saat yang sama supir pun telah melukai banyak penumpang yang
tidak tewas namun mengalami berbagai bentuk cedera luka dari mulai kategori
ringan hingga berat.
Fakta laka lantas saat ini (dalam kehidupan
berbasis sekularisme) memastikan bahwa sebagian sa-ngat besarnya (bahkan hampir
seluruhnya) terjadi akibat faktor supir (mabuk, ugal-ugalan, me-ngantuk,
kelelahan, mempergunakan narkoba) dan faktor kendaraan (sangat tidak layak
digunakan dalam perjalanan). Oleh karena itu kematian sang supir maupun para
penumpang, sepenuhnya ada-lah masuk ke dalam realitas membunuh diri dan
membunuh orang lain dengan sengaja. Pelakunya (supir) tentu saja telah
melakukan dua jenis perbuatan yang diharamkan oleh Islam yakni membu-nuh diri
dan membunuh orang lain dengan sengaja (مُتَعَمِّدًا) :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (النساء : 29)
Ayat tersebut merupakan dalil tentang bentuk pengembangan
kepemilikan (تَنْمِيَّةُ الْمِلْكِ) yang
dihalal-kan oleh Islam (إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ) dan pengharaman membunuh diri : وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ. Adapun dalil yang mengharamkan
membunuh orang lain dengan sengaja adalah pernyataan Allah SWT :
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (النساء : 93)
Ancaman keras yang ada dalam bagian ayat فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
memastikan bahwa perbuatan وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا
مُتَعَمِّدًا adalah haram.
Realitas supir
yang sangat tidak layak untuk melakukan tindakan apa pun apalagi mengemudikan
kendaraan karena aqalnya tidak waras (mabuk dan mengkonsumsi narkoba) serta
perasaannya geli-sah gundah (karena desakan kebutuhan diri dan keluarga), tentu
saja menjadi faktor yang sangat di-duga kuat (غَلَبَةُ
الظَّنِّ) bahkan hampir dapat dipastikan akan
mengantarkan kepada laka lantas yang massif karena berlangsung di saat arus
lalu lintas sangat padat dan ramai dari kedua arah sisi jalan. Dengan kata lain
realitas supir tersebut akan mengantarkan alias menjadi wasilah kepada
perbuatan membunuh diri dan orang lain dengan cara sengaja yang diharamkan oleh
Islam. Kaidah ushul me-nyatakan :
اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ
مُحَرَّةٌ
Wasilah
yang mengantarkan kepada haram adalah diharamkan
Oleh karena itu dari aspek pemikiran Islami ini pun
kematian umat Islam (supir dan penumpang) yang terjadi selama arus mengudik dan
balik dari udik setiap tahun termasuk tahun 2009 ini tentu saja kematian yang
sia-sia alias konyol karena berlangsung dalam arena perbuatan yang diharam-kan
oleh Islam.
3.
aksi membahayakan diri (ضَرَرَ) dan membahayakan orang lain (ضِرَارَ) adalah diharamkan oleh
Islam seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (رواه
احمد)
Dalil tersebut
memberikan pemahaman (اَلْقَاعِدَةُ) bahwa :
اَلأَصْلُ
فِيْ الْمَضَارِّ اَلتَّحْرِيْمُ
Keadaan asal (status orisinal) perkara/hal
yang membahayakan adalah diharamkan
Realitas supir yang sangat tidak layak untuk
melakukan tindakan apa pun apalagi mengemudikan kendaraan karena aqalnya tidak
waras (mabuk dan mengkonsumsi narkoba) serta perasaannya geli-sah gundah
(karena desakan kebutuhan diri dan keluarga) dipastikan sebagai perkara/hal
yang membahayakan (اَلْمَضَارُّ). Sehingga supir haram mengemudikan
kendaraannya dalam realitas seperti itu karena telah menjadi faktor yang
membahayakan dirinya serta orang lain (penumpang maupun pelaku lalu lintas
lainnya). Artinya jika sang supir tetap ngotot mengemudikan kendaraannya dan
penumpang pun tetap bersikukuh untuk menggunakan kendaraan tersebut, maka
mereka semua telah dengan sengaja menjadikan dirinya masing-masing sebagai perkara/hal
yang membahayakan (اَلْمَضَارُّ) bagi orang lain.
Padahal Islam
sangat menjaga keberlangsungan kehidupan manusia dan selalu menjauhkan hal atau
perkara yang akan mengancam nyawa manusia (نَفْسُ
الإِنْسَانِ). Rasulullah saw
menyatakan :
لَا
يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي
رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ
بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (رواه مسلم)
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan bahwa aku ada-lah Rasulullah, kecuali dalam salah satu
dari tiga keadaan yakni duda yang berzina, pembunuhan dan yang meninggalkan
agamanya memisahkan diri dari jamaah
Dengan
ketetapan Islam yang hanya menghalalkan dibunuhnya seorang muslim dalam salah
satu dari tiga keadaan tersebut (الثَّيِّبُ
الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ
لِلْجَمَاعَةِ), maka memastikan bahwa pe-meliharaan terhadap nyawa (حِفْظُ النَّفْسِ) alias menjaga keberlangsungan
kehidupan manusia di dunia adalah salah satu dari perkara yang dituntut oleh
keberadaan Islam itu sendiri di dunia.
Wal hasil, tidak diragukan lagi penyebab
terjadinya kematian sia-sia nan konyol tahunan umat Is-lam setiap menjelang dan
selama prosesi Lebaran adalah adanya pemberlakuan secara paksa ideologi
kapitalisme sekularistik di Dunia Islam termasuk negeri Indonesia yang telah
berlangsung lebih dari 85 tahun. Allah SWT menyatakan :
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي
فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ
رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ
ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (طه : 124-126)
Realitas Idul Fitri vs lebaran
Idul Fitri (عِيْدُ
الْفِطْرِ) adalah hari yang
terjadi pada setiap tanggal satu bulan Syawwal setiap tahun setelah selama satu
bulan (kadang 29 hari, kadang 30 hari) kehidupan dunia dinaungi oleh Bulan
Ra-madlan. Realitas عِيْدُ الْفِطْرِ ditetapkan secara pasti oleh Islam melalui
pernyataan Rasulullah saw :
الْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ
النَّاسُ وَالْأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ
(رواه الترمذي)
Al-Fitru itu adalah hari saat manusia berbuka dan Al-Adha
itu adalah hari saat manusia menyembelih
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ
وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ (رواه الترمذي)
Shaum itu adalah
hari kalian melakukan shaum dan Al-Fitru itu adalah hari kalian berbuka dan
Al-Adha itu adalah hari kalian menyembelih
وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ (رواه ابو داود)
Dan Fitru kalian
itu adalah hari kalian berbuka dan Adha kalian itu adalah hari kalian
menyembelih
الْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ (رواه ابن ماجه)
Al-Fitru itu
adalah hari kalian berbuka dan Al-Adha itu adalah hari kalian menyembelih
Dengan demikian Islam menetapkan realitas
Idul Fitri adalah satu hari pada setiap tanggal satu Syaw-wal ketika seluruh
umat Islam di dunia diwajibkan berbuka (كُتِبَ
عَلَيْهِمُ الْفِطْرُ) dan diharamkan
melaku-kan shaum (حُرِّمَ عَلَيْهِمُ الصَّوْمُ). Oleh karena itu, pemikiran dan opini
apa pun yang berkembang serta se-ngaja dikembangkan
saat ini di tengah-tengah umat Islam seperti kembali kepada kesucian,
kembali fitri, di hari yang fitri, kemenangan hati di hari fitri dan
sebagainya, seluruhnya adalah haram diikuti dan dilekatkan kepada realitas Idul
Fitri sebab menyalahi seluruh dalil yang berkenaan dengan Idul Fitri serta
menyalahi fakta Idul Fitri itu sendiri yang tidak lebih tidak kurang adalah hari
saat kembali berbuka setelah selama Bulan Ramadlan melaksanakan shaum.
Lalu
dalam suatu kesempatan khut-bah Idul Adha Khalifah Umar menyatakan :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ نَهَاكُمْ عَنْ صِيَامِ
هَذَيْنِ الْعِيدَيْنِ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَيَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ
وَأَمَّا الْآخَرُ فَيَوْمٌ تَأْكُلُونَ مِنْ نُسُكِكُمْ (رواه البخاري)
Wahai manusia
sungguh Rasulullah saw telah melarang kalian shaum di dua hari Id ini, adapun
salah satunya adalah hari berbuka kalian dari shaum kalian dan yang lainnya
adalah hari kalian makan da-ging sembelihan kalian.
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ صَوْمِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ أَمَّا
يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صَوْمِكُمْ وَعِيدٌ لِلْمُسْلِمِينَ وَأَمَّا
يَوْمُ الْأَضْحَى فَكُلُوا مِنْ لُحُومِ نُسُكِكُمْ (رواه الترمذي)
Aku mendengar
Rasulullah saw melarang shaum di dua hari ini, adapun hari Fitri adalah saat
berbu-ka kalian dari shaum kalian dan itu adalah Id bagi kaum muslim dan adapun
hari Adha maka makan-lah oleh kalian daging sembelihan kalian
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ أَمَّا
يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صَوْمِكُمْ وَأَمَّا يَوْمُ الْأَضْحَى
فَكُلُوا مِنْ لَحْمِ نُسُكِكُمْ (رواه احمد)
Sungguh
Rasulullah saw telah melarang shaum di dua hari ini, adapun hari Fitri adalah
saat kalian berbuka dari shaum kalian dan adapun hari Adha maka makanlah oleh
kalian daging sembelihan ka-lian
Artinya realitas Idul Fitri sebagai hari
saat kembali berbuka setelah selama Bulan Ramadlan melak-sanakan shaum terus
dipertahankan oleh Ijma Sahabat antara lain ketika umat Islam pasca wafatnya
Rasulullah saw dipimpin dan diurus oleh Amirul Mukminin Umar bin Khaththab.
Lalu
bagaimana cara merayakan atau memeriahkan Idul Fitri yang ditetapkan dalam
Islam? Ten-tu saja ini pun wajib mengikuti ketentuan yang ditunjukkan oleh
dalil antara lain :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ أَنَّ ابْنَ جُرَيْجٍ أَخْبَرَهُمْ قَالَ
أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ
فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ (رواه البخاري)
Telah bercerita
kepada kami (Bukhari) Ibrahim bin Musa yang berkata telah mengabarkan kepada
ka-mi Hisyam bahwa Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada mereka dan berkata
telah mengabarkan ke-pada saya (Ibnu Juraij) ‘Atha dari Jabir bin Abdillah dan
dia (‘Atha) berkata : saya telah mendengar dia (Jabir) berkata bahwa Nabi saw
keluar pada hari Fitri lalu beliau melakukan shalat sebelum khut-bah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ
الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ
الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ
عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ
أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ
يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ (رواه البخاري)
Dari Abi Sa’iid
Al-Khudriy berkata bahwa Rasulullah saw biasa keluar pada hari Fitri dan Adha
me-nuju mushalla lalu hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat kemudian
berpaling dan berdiri menghadap orang-orang sementara itu seluruh manusia masih
duduk dalam shaf mereka, lalu beliau memberikan peringatan kepada mereka,
memberikan washiat kepada mereka dan memberikan perin-tah kepada mereka. Lalu
jika beliau berkeinginan untuk menetapkan utusan maka saat itu juga beliau
tetapkan atau jika beliau akan memerintahkan sesuatu maka saat itu juga beliau
perintahkan kemu-dian beliau berlalu (dari mushalla)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
شَهِدْتُ صَلَاةَ الْفِطْرِ مَعَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكُلُّهُمْ يُصَلِّيهَا قَبْلَ
الْخُطْبَةِ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas
berkata bahwa saya telah menghadiri shalat Fitri bersama Nabiyyullah saw, Abu
Ba-kar, Umar dan Utsman, maka mereka seluruhnya melaksanakan shalat sebelum
khutbah
Dalil-dalil tersebut dan lainnya yang serupa
masih banyak menunjukkan tatacara (اَلْكَيْفِيَّةُ) merayakan atau memeriahkan Idul Fitri (juga
Idul Adha) yang telah dilakukan oleh umat Islam baik saat mereka dipimpin dan
diurus oleh Rasulullah saw maupun ketika mereka dipimpin dan diurus oleh
Khulafa Ra-syidun sepeninggal Nabi Muhammad saw. Prosesi tatacara tersebut
adalah :
1.
Khilafah Islamiyah wajib menyediakan tempat di luar Masjid (dekat
atau jauh) yang disebut de-ngan الْمُصَلَّى dan itu khusus
digunakan untuk pelaksanaan shalat Idul Fitri serta Idul Adha.
2.
Khalifah bersama dengan umat Islam keluar dari rumah masing-masing
menuju الْمُصَلَّى
dengan di-sertai pengumandangan takbir, tahlil, tahmid secara keras.
3.
ketika seluruh umat Islam telah berkumpul di الْمُصَلَّى maka mereka harus
diatur dalam shaf-shaf
4.
lalu Khalifah menyerukan tanda (bukan adzan bukan iqamah,
sepenuhnya terserah dia) kepada umat Islam untuk segera memulai pelaksanaan
shalat Idul Fitri dan setelah selesai shalat tersebut selanjutnya Khalifah
menghadap manusia lalu berdiri di atas mimbar dan menyampaikan khutbah kepada
mereka yang isinya adalah فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ
وَيَأْمُرُهُمْ (memberikan
peringatan kepada mereka, memberikan washiat kepada mereka dan memberikan
perintah kepada mereka).
5.
ketika Khalifah telah selesai menyampaikan khutbahnya, maka dia
dapat langsung memberikan berbagai keputusan, penetapan, instruksi, penugasan
dan lainnya yang berhubungan dengan tugas utama nan abadi Khilafah Islamiyah
yakni menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.
6.
setelah seluruh prosesi tersebut selesai, maka Khalifah dapat
meninggalkan الْمُصَلَّى demikian juga umat Islam untuk kembali ke
rumah masing-masing bagi yang tidak ditugaskan untuk dakwah atau jihad, atau
segera melaksanakan tugas masing-masing yang telah ditetapkan oleh Khalifah
sesaat setelah dia menyampaikan khutbah Idul Fitri.
Nampak sekali
bahwa prosesi perayaan Idul Fitri yang telah dilakukan secara praktis oleh
seluruh umat Islam saat dipimpin dan diurus oleh Rasulullah saw maupun Khulafa
Rasyidun, adalah sangat khidmat, sakral dan benar-benar menampakkan apa yang
dituntut oleh pernyataan Allah SWT :
وَلِتُكْمِلُوا
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ (البقرة : 185)
Selain
itu, seluruh komponen dan elemen Khilafah Islamiyah mulai dari Khalifah hingga
masyarakat segera saja kembali kepada kehidupan normal persis seperti sebelum
Bulan Ramadlan menaungi mere-ka. Tidak ada satu pun riwayat walau yang dlaif
sekali pun yang menunjukkan bahwa mereka melaku-kan prosesi atau ritual
atau upacara atau kegiatan di luar prosesi Islami yang telah
dicontohkan oleh Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun tersebut (nomor 1 hingga
6). Hal itu berarti segala sesuatu yang dikembangkan dan dilakukan oleh umat
Islam saat ini di seluruh Dunia Islam termasuk apalagi di ne-geri Indonesia
berupa prosesi atau ritual atau upacara atau kegiatan tertentu
seperti halal bi halal, silaturahmi, liqa syawwal, mengudik, berkunjung ke
tempat-tempat keramat, piknik, berkemah di tepi pantai dan sebagainya,
tentu saja telah menyalahi pakem prosesi perayaan Idul Fitri yang telah
diim-plementasikan secara riil oleh Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun. Lalu
bagaimana halnya dengan makan minum yang biasa dilakukan oleh umat Islam saat
ini di hari Idul Fitri setelah mereka melaksa-nakan shalat Idul Fitri?
Sesuai dengan realitas Idul Fitri yakni hari
saat kembali berbuka setelah selama Bulan Rama-dlan melaksanakan shaum,
maka tentu saja adalah halal umat Islam bergembira pada hari itu karena mereka
dapat kembali makan dan minum di siang hari setelah sebulan sebelumnya
diharamkan. Inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah pernyataan Rasulullah saw
antara lain :
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ
يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
(رواه البخاري)
Bagian hadits إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ
memastikan bahwa Islam mengakui perasaan bahagia gembira umat Islam sa-at
mereka berbuka, baik harian maupun saat Idul Fitri. Hal itu berarti Islam
menghalalkan mereka makan dan minum (yang halal serta dilakukan dengan
menghindari اَلإِسْرَافُ) sambil bersuka cita di hari Idul Fitri dan
aktivitas tersebut boleh dilakukan sendirian maupun bersama-sama keluarga.
Inilah yang juga ditunjukkan oleh pernyataan Nabi Muhammad saw lainnya :
يَوْمُ
عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ
الْإِسْلَامِ وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ (رواه احمد)
Hari Arafah, hari Nahr (Idul Adha) dan hari-hari Tasyrik
adalah Id kita pemeluk Islam dan seluruh-nya adalah hari-hari makan dan minum
Walaupun hari Idul Fitri tidak disebut dalam pernyataan
Rasulullah saw tersebut, namun karena ada dalil lain yang mengharamkan shaum di
hari Idul Fitri maupun Idul Adha, maka dapat dipastikan bah-wa Idul Fitri pun
masuk dalam realitas وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ. Inilah yang
ditunjukkan oleh sejumlah dalil berkenaan dengan Idul Fitri dan Idul Adha
antara lain :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْأَضْحَى وَيَوْمِ
الْفِطْرِ (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah saw telah melarang
shaum di dua hari yakni Hari Adha dan Hari Fitri.
Jadi,
Idul Fitri adalah bagian dari وَهُنَّ
أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ sehingga halal bagi umat Islam makan dan minum.
Demikianlah realitas Idul Fitri berikut tatacara merayakan dan
memeriahkannya yang telah dijaga dan dipertahankan implementasinya oleh umat
Islam terutama saat mereka dipimpin dan diurus oleh Rasulullah saw dan Khulafa
Rasyidun. Lalu bagaimana halnya dengan Lebaran yang dianggap dan di-posisikan
sebagai Idul Fitri oleh umat Islam terutama di negeri Indonesia?
Realitas Lebaran memang sangat sulit dirumuskan sebab muncul bukan
dari sebuah konsepsi da-lil (aqliy maupun naqliy) melainkan lebih sebagai
sebentuk kebiasaan perilaku pendudukan negeri In-donesia yang menganggapnya
sama dengan Idul Fitri atau sebagai “terjemahan” dari Idul Fitri. Fakta
tersebut semakin jelas ketika umat Islam di Indonesia juga mentradisikan hal
lain yang dianggap masih berhubungan dengan Idul Fitri yakni Lebaran Ketupat
yang mereka rayakan pada tanggal 8 Syawwal yakni setelah mereka melaksanakan
shaum sunnah enam hari di Bulan Syawwal yang dimulai sejak tanggal 2 Syawwal.
Oleh karena itu, seluruh prosesi atau
ritual atau upacara atau kegiatan yang se-lama ini dilakukan oleh umat Islam
di Indonesia menjelang dan saat tibanya tanggal satu Syawwal adalah sangat
tepat jika dilekatkan kepada atau dianggap sebagai bagian dari prosesi
Lebaran dan jika itu semua dilekatkan kepada atau dianggap sebagai bagian dari
prosesi Idul Fitri maka tidak diragukan lagi itu adalah salah fatal
dan terkategori sebagai بِدْعَةٌ
ضَلاَلَةٌ مُنْكَرَةٌ.
Idul Fitri dalam naungan kapitalisme
Idul Fitri yang dibajak paksa untuk menjelma menjadi Lebaran
di negeri Indonesia
adalah bukti pasti untuk kesekian kalinya tentang posisi dan eksistensi syariah
Islamiyah yang sangat dihinakan dan dinistakan secara brutal dan sadis
dalam wadah negara kebangsaan yang bernaung di bawah payung Ideologi
Kapitalisme. Bahkan bukan hanya Idul Fitri, Bulan Ramadlan pun telah dibajak
oleh kapitalis-me lalu disulap dengan beraneka rupa konsepsi kapitalistik yang
ada di dalamnya. Seluruh promosi produk barang maupun jasa yang dilakukan oleh
para pelaku industri selama Bulan Ramadlan yang se-lalu dikait-paksakan dengan
seluruh realitas Bulan Ramadlan itu sendiri, merupakan bukti pasti tentang
telah dibajaknya Bulan Ramadlan oleh para kapitalis pengusung utama ideologi
kapitalisme lalu disu-lap oleh mereka dengan semua konsepsi kapitalistik.
Kemeriahan dan keglamoran momen satu Muharram, Bulan Ramadlan,
Idul Fitri, pelaksanaan Haji, Idul Adha, seputar zakat dan sebagainya yang
nampak sangat nyata saat ini merupakan wujud riil dari implementasi konsep
standard perbuatan dalam kapitalisme yakni manfaat. Seluruh dalih maupun
argumen yang menyertai dan ditampakkan dalam kemeriahan dan keglamoran tersebut
semisal Berkah Ramadlan, Rahmat Semesta Alam, Zakat dan pengentasan
kemiskinan, Muharram adalah momen hij-rah hati, kemenangan hati di hari yang
fitri, Idul Adha dan kesalehan sosial dan sebagainya, tentu saja memastikan
kemenangan dan dominasi Ideologi Kapitalisme atas Ideologi Islam.
Perkara yang sangat mengerikannya adalah prosesi penghinaan dan penistaan Islam
tersebut sepenuhnya didukung bahkan dilakukan secara sadar oleh kaum muslim di
seluruh Dunia Islam termasuk apalagi di negeri Indonesia.
Wal hasil, semakin jelas bahwa beraneka macam
ucapan, ungkapan dan pernyataan umat Islam sehubungan dengan upaya meraih taqwa
yang sangat sering hampir setiap saat meluncur ringan dari lisan mereka selama
Bulan Ramadlan, adalah tidak lebih dari sekedar basa basi dan hiasan bibir.
Mere-ka pun sama sekali tidak tahu untuk apa mulut mereka begitu sering
mengucapkan pernyataan Rasulul-lah saw :
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
(رواه البخاري)
Hal
itu karena fakta pemikiran, sikap dan perbuatan mereka selama shaum di Bulan
Ramadlan sama se-kali tidak menunjukkan realisasi dari tuntutan إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا, bahkan sebaliknya mereka justru
melakukan semuanya termasuk shaum diawali dengan pertimbangan kepentingan
naluriah dan manfaat. Fakta pas-ti lainnya dari pemikiran, sikap dan perbuatan
umat Islam yang masih terbelenggu kuat oleh asas kon-sepsi kufur (sekularisme)
adalah hingga saat ini pasca Bulan Ramadlan 1430 H ternyata umat Islam masih
belum sadar untuk berusaha keras nan serius dalam mengembalikan kehidupan
mereka di dunia Islami lagi dalam wadah Khilafah Islamiyah.
أَلَمْ
يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا
نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
(الحديد : 16)
No comments:
Post a Comment