Sunday, November 3, 2013

KEMULIAAN UMAT ISLAM ADA PADA KETAATAN MEREKA



Realitas umat manusia sebelum Islam
Islam memang bukan syariah Allah SWT yang pertama kali diturunkan malahan Islam adalah yang terakhir. Namun demikian, pengaruh seluruh syariah yang diturunkan sebelum Islam tersebut ter-hadap sikap dan tingkah laku manusia ternyata telah lama hilang seiring dengan keputusan mereka sen-diri untuk secara gradual meninggalkan ketentuan dari langit tersebut. Bahkan pada kasus syariah yang bersumber dari Taurah dan Injil, komunitas manusia yang menerimanya yakni Bani Israil telah me-ninggalkan syariah Taurah sejak Nabi Musa as masih memimpin mereka dan tidak peduli lagi terhadap syariah Injil sejak Nabi Isa as masih berada di tengah-tengah mereka. Hal itu mereka lakukan dengan cara melakukan berbagai perubahan dan manipulasi terhadap banyak pernyataan Allah SWT yang ada dalam Taurah dan lalu yang ada dalam Injil. Allah SWT menginformasikan sikap Bani Israil tersebut kepada umat Islam dalam Al-Quran :
الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (البقرة : 146)
Orang-orang yang telah Kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka benar-benar mengetahuinya seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri dan sungguh sebagian dari mereka itu menyembu-nyikan al-haq (yang bersumber dari Kitab) dan itu mereka sadari
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (البقرة : 75)
Apakah kalian (umat Islam) sangat mengharapkan mereka (Bani Israil) beriman kepada kalian pada-hal sebagian dari mereka itu sungguh telah mendengar pernyataan Allah (dalam Taurah dan Injil) ke-mudian mereka merubahnya setelah mereka memahaminya dan mereka lakukan itu dengan sadar
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا (النساء : 46)
Orang-orang Yahudi itu telah melakukan perubahan terhadap berbagai pernyataan (Allah SWT) dari tempat yang seharusnya dan mereka berkata “kami mendengar dan kami membangkang”dan mereka pun pasti berkata kepadamu “dengarlah bahwa kami tidak akan mendengarkanmu” dan mereka pun akan berkata رَاعِنَا (sambil bergumam dengan ucapan sebenarnya اَلرُّعُوْنَةُ) yang merupakan cibiran dari mulut-mulut mereka dan penghinaan terhadap din (Islam). Dan andai saja mereka berkata “kami men-dengar dan kami taat, lalu berkata dengarlah dan perhatikanlah kami, maka sungguh itu adalah baik bagi mereka dan itu adalah sikap yang benar. Akan tetapi Allah melaknat mereka akibat sikap kufur mereka dan mereka tidak akan beriman kecuali sebagian sangat kecil dari mereka
Jika Bani Israil saja yang kehidupannya selalu dipimpin dan diurus oleh para Nabi ternyata sikap dan tingkah laku mereka justru menyimpang bahkan bertentangan dengan ketentuan Allah SWT yang ditu-runkan melalui para Nabi tersebut, maka apakah lagi halnya dengan komunitas manusia di luar mereka yang sama sekali tidak memperoleh wahyu dari Allah SWT. Inilah yang terjadi atas manusia yang ber-mukim di Negeri Makkah (kaum Quraisy) dan di Negeri Yatsrib (Kaum Aus dan Khazraj). Hudzaifah bin Al-Yaman menggambarkan realitas Bangsa Quraisy sebelum Islam sebagai berikut :
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ (رواه البخاري)
Wahai Rasulullah, sungguh keadaan kami dulu berada dalam realitas jahiliyyah dan syar, lalu Allah mendatangkan al-khair ini (Islam) kepada kami …
Ketika perwakilan penduduk Negeri Yatsrib (Kaum Aus dan Khazraj) bertemu dengan Nabi Muham-mad saw di Makkah saat musim haji dan mereka selalu mendengar dakwah beliau saw yang menyeru mereka untuk beriman kepadanya berikut Al-Quran yang beliau bawa serta bersedia menyerahkan ke-kuasaan kepada beliau, maka mereka menanggapi hal itu dengan pernyataan :
اِنَّا قَدْ تَرَكْنَا قَوْمَنَا وَلاَ قَوْمٌ مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالشَّرِّ مَابَيْنَهُمْ فَعَسَى اللهُ اَنْ يَّجْمَعَهُمْ بِكَ فَسَنَقْدَمُ عَلَيْهِمْ فَنَدْعُوْهُمْ اِلَى اَمْرِكَ وَتَعْرُضُ عَلَيْهِمُ الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ (سِيْرَةُ اِبْنِ هِشَامٍ ص. 328-329)
Sungguh kami telah meninggalkan kaum kami dan tidak satu kaum pun yang memiliki permusuhan dan keburukan yang lebih besar dari mereka. Oleh karena itu semoga Allah akan menyatukan mereka me-lalui dirimu lalu kita akan mendatangi mereka lalu menyeru mereka kepada urusanmu dan kamu akan menyampaikan kepada mereka perkara yang telah kami penuhi kepada mu dari agama ini
Demikian juga pola interaksi antara satu bangsa dengan lainnya didasarkan kepada aturan main belan-tara rimba (the jungle’s rule of game) yakni bangsa yang paling kuat akan mendominasi bangsa lainnya yang lemah. Inilah yang dijadikan ancaman menggelisahkan oleh Ratu Negeri Saba, saat menerima su-rat dari Nabi Sulaeman as yang diposisikan sama oleh sang ratu dengan raja-raja lainnya :
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ (النمل : 34)
Dia (Ratu Negeri Saba) berkata : sungguh para raja itu ketika mereka memasuki suatu negeri, mereka pasti merusak negeri itu dan mereka jadikan kemuliaan penduduknya menjadi kehinaan dan itulah pu-la yang akan mereka (Sulaeman) lakukan
Keseluruhan serpihan realitas umat manusia sebelum Islam diturunkan tersebut memastikan se-buah mozaik pola kehidupan mereka yakni mereka hidup dalam kungkungan sistema hewani yang me-reka racik sendiri (فِي جَاهِلِيَّةٍ) dan itu mejadikan kehidupan mereka nyata-nyata tidak layak (وَشَرٍّ) bagi ha-kikat diri mereka selaku manusia yang beraqal. Dengan demikian aqal sangat memahami mengapa ada taqdir Allah SWT yang menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul bagi seluruh manusia dan Is-lam diberlakukan juga bagi mereka seluruhnya. Allah SWT menyatakan :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سبأ : 28)
Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali kepada seluruh manusia sebagai pemba-wa kabar gembira dan peringatan keras dan tetapi sebagian sangat besar manusia tidak mengetahui (posisi mu itu)
Rasulullah saw juga memastikan posisi beliau sebagai berikut :
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ (رواه البخاري)
Diberikan kepadaku lima perkara yang belum pernah diberikan kelimanya itu kepada seorang pun da-ri kalangan para nabi sebelumku : aku diberi pertolongan dengan munculnya ketakutan (pada musuh) dalam perjalanan sebulan dan dijadikan bagiku bumi itu sebagai masjid serta suci sehingga ketika se-seorang dari umat ku telah mendatanginya waktu shalat maka shalatlah dan dihalalkan bagiku ghani-mah dan seorang nabi itu diutus kepada kaumnya saja sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia dan diberikan kepadaku syafaah
Posisi dan eksistensi Nabi Muhammad saw berikut risalah Islam yang dibawanya dipastikan oleh Allah SWT dalam pernyataan :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة : 21)
Objek seruan ayat yakni النَّاسُ memastikan bahwa perintah untuk taat kepada Allah SWT (اعْبُدُوا رَبَّكُمُ) adalah berlaku bagi seluruh manusia (كَافَّةً لِلنَّاسِ). Hal itu semakin dipastikan dengan adanya pemberita-huan berkenaan dengan مَنْ هُوَ رَبُّكُمْ (siapakah Rab kalian itu?) dengan sifat yang diungkapkan oleh ba-gian ayat : الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ (yakni yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian).

Realitas umat Islam sebelum ada negara
Walau realitas Islam adalah رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ dan كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا, namun pada awalnya tetap saja bermula dari satu orang yakni Nabi Muhammad saw dan barulah kemudian beliau diperintahkan untuk melakukan تَبْلِيْغُ الرِّسَالَةِ kepada seluruh manusia. Hal itu pun betul-betul berproses manusiawi yakni ber-awal dari manusia yang berada di sekitar Rasulullah saw sendiri bahkan dari kalangan kaumnya, yakni Bangsa Arab qabilah Quraisy yang saat itu paling dominan di seluruh Jazirah Arab.
Walau Rasulullah saw sangat berkeinginan Islam memperoleh kemenangan (dengan diraihnya kekuasaan oleh beliau dari masyarakat) di Negeri Makkah, namun ternyata pemikiran dan sikap pendu-duk negeri tersebut justru sangat membatu dalam menolak, menentang bahkan memerangi Rasulullah saw, Islam berikut kaum mukmin yang telah berhasil dihimpun dalam naungan Islam. Inilah yang ter-ungkap jelas sekali dalam pernyataan Rasulullah saw ketika perjalanan hijrah meninggalkan Makkah menuju Madinah :
مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ (رواه الترمذي)
Tidak ada negeri yang lebih baik dan lebih aku cintai daripada kamu (Makkah) dan seandainya kaum-ku tidak mengusirku darimu pastilah aku tidak akan tinggal di negeri selain kamu
Abu Hurairah menyatakan :
وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحَزْوَرَةِ فَقَالَ عَلِمْتُ أَنَّكِ خَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ الْأَرْضِ إِلَى اللَّهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكِ أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَالْحَزْوَرَةُ عِنْدَ بَابِ الْحَنَّاطِينَ (رواه احمد)
Nabi saw berhenti di Hazwarah lalu beliau berkata : aku tahu sungguh kamu (Makkah) adalah sebaik-baik bumi Allah dan bumi yang paling dicintai oleh Allah dan seandainya pendudukmu tidak mengu-sirku darimu, pastilah aku tidak akan keluar meninggalkanmu. Abdurrazzaq berkata : Hazwarah itu terletak di pintu Hannathiin
Kedua dalil tersebut menunjukkan sebuah realitas berkenaan dengan posisi umat Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad saw selama 13 tahun bermukim di Makkah dan menyampaikan dakwah Islami-yah kepada penduduknya, yakni selain jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan penduduk negeri tersebut juga mereka sama sekali tidak memiliki akses kepada pilar-pilar kekuasaan maupun kekuatan. Seluruh lini kekuasaan maupun kekuatan Negeri Makkah saat itu sepenuhnya berada dalam genggaman para pemuka Quraisy dan dikendalikan secara absolut oleh mereka dengan memberlakukan peraturan kufur (حُكْمُ الْجَاهِلِيَّةِ), sehingga dapat dipastikan Makkah adalah Negara Kufur (دَارُ الْكُفْرِ).
Realitas posisi umat Islam selama di Negara Kufur Makkah tentu saja amat sangat lemah, minori-tas dan terdominasi oleh hegemoni kaum kufar Quraisy yang menguasainya dan fakta itu ditunjukkan oleh antara lain :
1.       Nabi Muhammad saw berikut para sahabat beliau saat itu nyata-nyata berposisi sebagai objek yang dikenai dan dikendalikan oleh penguasa kufur yang memberlakukan sistem kufur, sehingga umat Islam adalah penonton dari seluruh pertunjukkan kekuasaan maupun kekuatan yang 100 persen be-rada dalam pengelolaan kaum kufar. Tentu saja dengan posisi seperti itu, mereka (termasuk Nabi Muhammad saw) tidak akan mampu berbuat banyak, bahkan sekedar untuk membersihkan Ka’bah dari berhala yang jumlahnya lebih dari 700 buah sekali pun, mereka tidak mampu melakukannya.
2.       walau secara orang per orang, umat Islam yang telah berhimpun di sekitar Nabi Muhammad saw adalah memiliki keberanian dan kekuatan untuk memberikan perlawanan atau membalas terhadap tindakan sadis brutal penguasa kufur Makkah, namun fakta secara keseluruhan (جُمْلَةً) dari mereka adalah lemah dan terdominasi. Oleh karena itu ketika sebagian dari mereka mengusulkan melaku-kan perlawanan kepada kaum kufar Quraisy, maka Nabi Muhammad saw menyatakan secara pasti bahwa hal itu belum diperintahkan : لَمْ نُؤْمَرْ بِذَلِكَ بَعْدُ.
3.       opini publik (رَأْيُ الْعَامِ) masyarakat Makkah sepenuhnya dikendalikan secara ketat oleh para pengua-sa kufur Quraisy dan umat Islam selalu menjadi objek yang tertembak telak oleh “peluru” opini ter-sebut. Sebagai contoh ketika para penguasa Quraisy menyatakan Muhammad adalah gila dan du-kun (كَاهِنٌ مَجْنُوْنٌ), maka hampir 100 persen penduduk Makkah pun menyetujuinya. Inilah yang da-pat dipahamkan dari pernyataan Allah SWT berkenaan dengan itu :
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ (الطور : 29)
Singkat kata, Islam yang seharusnya يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ namun selama 13 tahun di Makkah seolah berada di bawah injakan alas kaki najis kaum kufar Quraisy. Begitu juga halnya dengan umat Islam (termasuk Rasulullah saw sendiri) yang seharusnya خَيْرُ اُمَّةٍ namun selama 13 tahun di Makkah benar-benar dihina, dinista dan dilecehkan oleh kaum kufar. Inilah hakikat posisi dan eksistensi kaum muslim selama hidup dalam naungan dan kungkungan sistema kufur di Negara Kufur Makkah dan realitas itu digambarkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran :
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (البقرة : 214)
Bagian ayat حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ merupakan informasi pasti tentang realitas posisi dan eksistensi umat Islam selama mereka berada dalam kehidupan kufur di Makkah yang dikendalikan secara absolut oleh kaum kufar Quraisy.

Realitas umat Islam dalam Khilafah Islamiyah
Mengapa Rasulullah saw dan umat Islam saat itu sangat gembira ketika Allah SWT menetapkan Madinah sebagai negeri tujuan hijrah mereka dari Makkah? Hijrah dalam Islam adalah bukan sekedar berpindah secara fisik dari satu negeri ke negeri lain, melainkan bagian dari syariah Islamiyah seperti shalat, haji, shaum, zakat, jihad, politik, ekonomi, negara dan lainnya. Hal itu ditunjukkan oleh sikap Rasulullah saw yang selalu menunggu tibanya ketetapan Allah SWT tentang negeri yang akan dituju saat melaksanakan perintah hijrah. Walaupun Allah SWT tidak memberitahukan اَلْعِلَّةُ tentang ditetap-kannya syariah hijrah, namun berkenaan dengan sebab berlakunya hukum hijrah (اَلسَّبَبُ) ditunjukkan oleh pernyataan Allah dalam ayat :
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء : 97)
Fakta كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ (keadaan kami adalah tertindas di bumi itu) adalah اَلسَّبَبُ wajib dilakukan-nya hijrah : فَتُهَاجِرُوا فِيهَا. Jika aspek اَلسَّبَبُ telah wujud di suatu negeri namun penduduk negeri itu tetap bertahan dan tidak hijrah ke negeri lain, maka mereka telah berdosa (ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ) karena tidak melak-sanakan kewajiban yang ada saat itu yakni hijrah. Inilah yang dipastikan oleh bagian akhir dari ayat yakni : فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
Selama di Makkah hingga mencapai puncaknya pada tahun ke-13 dari اَلْبِعْثَةُ, fakta kehidupan umat Islam yang menjadi اَلسَّبَبُ mereka wajib melaksanakan hijrah selalu melekat pada mereka yakni ketidak berdayaan (كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ) untuk memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT dalam kehidup-an mereka. Namun karena tempat tujuan hijrah belum ditetapkan oleh Allah SWT, maka Nabi Muham-mad saw pun belum melakukannya walau fakta kehidupan di Makkah telah mengharuskan untuk hij-rah. Sepanjang penantian ketetapan tersebut, Nabi Muhammad saw mengutus Mush’ab bin ‘Umair un-tuk menyampaikan dakwah Islamiyah di Madinah sementara itu beliau sendiri menyampaikan dakwah di Makkah kepada seluruh qabilah Arab yang hadir di Masjid Al-Haram setiap musim haji. Tahun per-tama tugas di Madinah dilaksanakan oleh Mush’ab dengan hasil berupa terjadinya Bai’at Aqabah I dan tahun kedua menghasilkan Bai’at Aqabah II.  Peristiwa Bai’at Aqabah I dan II dari penduduk Madinah memastikan secara aqliy bahwa penduduk negeri tersebut bersedia menerima Islam dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin mereka dalam hal kekuasaan dan kekuatan. Inilah yang ditun-jukkan oleh salah seorang pimpinan mereka yakni As’ad bin Zararah yang saat itu berkedudukan seba-gai pimpinan suku Khazraj kepada Nabi Muhammad saw :
وَدَعَوْتَنَا وَنَحْنُ جَمَاعَةٌ فِيْ دَارٍ عِزٌّ وَمَنْعَةٌ لاَيَطْمَعُ فِيْهَا اَحَدٌ اَنْ يَّرَأَسَ عَلَيْنَا رَجُلٌ مِنْ غَيْرِنَا قَدْ اَفْرَدَهُ قَوْمُهُ وَاَسْلَمَهُ اَعْمَامُهُ وَتِلْكَ رَتْبَةٌ صُعْبَةٌ فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ (دَلاَئِلُ مِنَ النُّبُوَّةِ لأَبِيْ النُّعَيْمِ اَلأَصْبَهَانِيْ ص. 106)
Dan kamu telah menyeru kami sedangkan kami adalah komunitas yang tengah hidup di suatu negara dalam keadaan mulia dan kuat. Tidak ada seorang pun dalam komunitas itu yang akan suka orang da-ri selain kami memimpin kami, hal itu karena kepemimpinan telah berlangsung hanya di tangan kaum-nya dan itu telah diserahkan oleh leluhurnya (paman-pamannya). Tentu saja itu adalah permintaan yang sangat sulit, namun kami telah memenuhi permintaanmu tersebut.
Lalu Allah SWT menetapkan bahwa Madinah adalah negeri tujuan hijrahnya umat Islam, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنِّي أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ وَهُمَا الْحَرَّتَانِ فَهَاجَرَ مَنْ هَاجَرَ قِبَلَ الْمَدِينَةِ وَرَجَعَ عَامَّةُ مَنْ كَانَ هَاجَرَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ وَتَجَهَّزَ أَبُو بَكْرٍ قِبَلَ الْمَدِينَةِ (رواه البخاري)
Sungguh diperlihatkan kepadaku negeri hijrah kalian yakni negeri yang penuh dengan pohon kurma yang ada di antara dua batu hitam yakni dua harrah, lalu berhijrahlah siapa saja yang tengah menuju Madinah dan seketika itu juga pada pulang seluruh orang yang telah hijrah ke Negeri Habasyah me-nuju Madinah dan Abu Bakar pun tengah mempersiapkan diri menuju Madinah.
Oleh karena itu, hijrah ke Madinah sama sekali bukan aktivitas dadakan, spontanitas dan tanpa persiap-an yang matang melainkan justru sebuah keputusan yang ditetapkan berdasarkan dalil aqliy (Bai’at Aqabah I dan II) serta dalil naqliy (ketetapan dari Allah SWT : إِنِّي أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ). Sehingga adalah perkara yang lazim dan wajar, bila seketika Nabi Muhammad saw dan Muhajirin tiba di Madinah maka saat itu juga umat Islam (Muhajirin dan Anshar) berada dalam pola kehidupan Islami dengan pemberla-kuan syariah Islamiyah secara sempurna (كَامِلاً), menyeluruh (شَامِلاً) dan utuh (دُفْعَةً وَاحِدَةً) dalam wadah pelaksanaan politis (كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ) : اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ. Pola kehidupan Islami ini terus dipertahankan se-panjang kepemimpinan Rasulullah saw dan berlanjut kepada Khulafa Rasyidun pasca wafatnya Nabi Muhammad saw. Artinya tuntutan Islam yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw sendiri te-lah dapat direalisir dengan sempurna :
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
Hadits tersebut memastikan bahwa karena kepemimpinan Nubuwwah hanya satu kali terjadi dalam ke-hidupan umat Islam, maka setelah itu wajib berlanjut kepada Khilafah Islamiyah yang sepenuhnya ber-jalan persis seperti saat Nubuwwah (ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ). Sedangkan realitas Khilafah yang disi-fati dengan مُلْكًا عَاضًّا maupun مُلْكًا جَبْرِيَّةً adalah haram dibiarkan terjadi dalam kehidupan umat Islam, walaupun akhirnya terjadi juga akibat konsistensi mereka terhadap Islam pasca Khulafa Rasyidun me-mang sangat menurun drastis.
Sepanjang اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ dipimpin oleh Rasulullah saw lalu oleh Khulafa Rasyidun yang berlang-sung 30 tahun, maka dapat dipastikan kehidupan umat Islam berada dalam kemuliaan (عِزٌّ) dan kekuat-an (مَنْعَةٌ). Hal itu karena mereka benar-benar dapat melaksanakan kewajiban Islami untuk memuliakan dan mentaati kekuasaan Allah SWT di dunia (para Khalifah). Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد)
Siapa saja yang memuliakan sulthan Allah SWT di dunia maka pasti Allah memuliakan dia pada hari qiyamah dan siapa saja yang menghinakan sulthan Allah SWT di dunia maka pasti Allah menghinakan dia pada hari qiyamah
Pola kehidupan Islami tersebut juga memastikan hitam putihnya posisi dan eksistensi manusia yakni mereka yang taat dan mereka yang menyalahi ketentuan Allah SWT. Mereka yang selalu taat dipasti-kan akan memperoleh kemuliaan dan kekuatan dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka yang me-nyalahi ketentuan Allah SWT dipastikan akan memperoleh kehinaan dan kekerdilan. Rasulullah saw menyatakan :
بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه احمد)
Aku diutus dengan pedang di antara waktu terjadinya السَّاعَةِ hingga hanya Allah yang ditaati dan tidak ada sekutu bagi Nya (dalam ketaatan itu), dan dijadikan rizqiku di bawah naungan senjataku dan dija-dikan kehinaan serta kekerdilan bagi siapa saja yang menyalahi perintahku dan siapa saja yang me-nyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari mereka
Secara individual, kualitas seorang mukmin sangatlah tinggi sehingga melebihi kemuliaan malaikat dan realitas itu tentu saja hanya dapat diraih jika pola kehidupan yang mewadahinya adalah 100 persen Is-lami. Hal itu karena bagaimana mungkin seorang mukmin akan lebih mulia daripada malaikat sedang-kan kehidupan dia (juga kaum mukmin lainnya) sama sekali tidak Islami, yakni berbasis kekufuran seperti saat ini. Jadi pernyataan Rasulullah saw :
الْمُؤْمِنُ أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ بَعْضِ مَلَائِكَتِهِ (رواه ابن ماجه)
Seorang mukmin itu lebih mulia menurut Allah daripada sebagian malaikat Nya
Hanya akan dapat terealisir dalam kehidupan Khilafah Islamiyah dan sebaliknya tidak akan pernah ter-jadi selama umat Islam terus menerus hidup dalam wadah berbasis sistema kufur.
Demikian juga berkenaan dengan aktivitas perang (الْغَزْوُ) hanya dapat dilaksanakan jika ada Kha-lifah dan saat itu orang yang mengikuti perang akan terbelah menjadi dua kelompok yakni : (1) yang akan memperoleh اَجْرٌ عَظِيْمٌ dan (2) yang akan mengalami kerugian fatal (لَا يَرْجِعُ بِالْكَفَافِ). Rasulullah saw menyatakan :
الْغَزْوُ غَزْوَانِ فَأَمَّا مَنْ ابْتَغَى وَجْهَ اللَّهِ وَأَطَاعَ الْإِمَامَ وَأَنْفَقَ الْكَرِيمَةَ وَيَاسَرَ الشَّرِيكَ وَاجْتَنَبَ الْفَسَادَ كَانَ نَوْمُهُ وَنُبْهُهُ أَجْرًا كُلُّهُ وَأَمَّا مَنْ غَزَا رِيَاءً وَسُمْعَةً وَعَصَى الْإِمَامَ وَأَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ فَإِنَّهُ لَا يَرْجِعُ بِالْكَفَافِ (رواه النسائي)
Perang itu ada dua macam. Adapun siapa saja yang perangnya mencari Wajah Allah dan dalam rang-ka mentaati Imam dan dengan membelanjakan harta yang terbaik dan memberikan kemudahan kepada sesama teman/sekutu perang dan menjauhi perbuatan salah, maka tidurnya dan sadarnya seluruhnya adalah pahala baginya. Dan adapun siapa saja yang berperang dengan asas riya, sum’ah dan mem-bangkang kepada Imam serta melakukan kerusakan di bumi, maka dia tidak akan pernah kembali wa-lau dengan sekepalan tangan pahala sekali pun
Tentu saja yang akan memperoleh status الشَّهِيدُ adalah yang terbunuh dalam perang macam pertama dan walau nanti dia telah masuk dalam الْجَنَّةَ ternyata dia sangat ingin dikembalikan ke dunia supaya da-pat terbunuh lagi dalam perang hingga puluhan kali. Rasulullah saw menyatakan :
مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا وَلَهُ مَا عَلَى الْأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا الشَّهِيدُ يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَلَ عَشْرَ مَرَّاتٍ لِمَا يَرَى مِنْ الْكَرَامَةِ (رواه البخاري)
Tidak ada seorang pun yang telah masuk الْجَنَّةَ lalu berkeinginan kembali ke dunia dan baginya segala hal yang ada di bumi, kecuali الشَّهِيدُ yang berangan-angan kembali ke dunia lalu dapat terbunuh lagi puluhan kali. Hal itu karena dia melihat betapa adanya kemuliaan dalam perang

Lalu, apakah saat ini mereka yang hapal Al-Quran (seluruhnya atau sebagiannya) dapat dikatego-rikan sebagai الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ (andal dalam memahami Al-Quran)? Rasulullah saw menyatakan :
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَزَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ (رواه البخاري)
Seseorang yang andal dalam memahami Al-Quran pasti bersama dengan orang-orang yang mulia lagi taat dan indahkanlah Al-Quran itu dengan suara-suara kalian
Posisi orang yang الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ ternyata digandengkan dengan posisi orang yang الْكِرَامُ الْبَرَرَةُ, sehingga untuk memahami siapa yang dimaksudkan dengan الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ tentu saja harus memahami dulu realitas manusia yang melekat padanya sifat الْكِرَامُ الْبَرَرَةُ. Makna lafadz الْكِرَامُ adalah اَلْمُكْرِمُوْنَ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى (yang dimuliakan di sisi Allah SWT) dan makna lafadz الْبَرَرَةُ adalah اَلْمُطِيْعُوْنَ الْمُطَهَّرُوْنَ مِنَ الذُّنُوْبِ (yang taat dan suci dari dosa). Dengan demikian makna atau realitas dari الْكِرَامُ الْبَرَرَةُ adalah orang-orang yang dimu-liakan oleh Allah SWT yang selalu taat kepada Nya dan berusaha sekuat mungkin untuk mensucikan diri mereka dari perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, makna atau realitas dari الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ adalah seorang muslim yang sangat memahami Al-Quran dan itu menjadikan dirinya sela-lu bersikap taat kepada Allah SWT serta meninggalkan perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT dalam Islam. Jadi, maknanya bukanlah hanya hapal atau pun pandai dalam cara membacanya, seperti yang selama ini disangkakan oleh sebagian sangat besar umat Islam.
Realitas manusia yang masuk kualifikasi الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ hanya akan ditemukan dalam kehidupan Islami yakni kehidupan manusia di dunia dengan wadah Khilafah Islamiyah. Sedangkan ha-ri ini bukan berarti tidak mungkin ada manusia seperti itu, bahkan sangat mungkin namun hal itu ha-nya akan terjadi pada umat Islam yang melaksanakan perintah Rasulullah saw :
قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه البخاري)
Saya (Hudzaifah) berkata : lalu jika mereka (kaum muslim) tidak memiliki jamaah maupun Imam? Be-liau berkata : jika begitu tinggalkanlah seluruh firqah yang ada dan walaupun itu membuat kamu ha-nya dapat mengunyah akar pohon hingga maut menemuimu dan kamu masih dalam keadaan demikian.
Ini adalah perintah wajib bagi Hudzaifah dan seluruh umat Islam saat mereka hidup bukan lagi dalam wadah Khilafah Islamiyah (فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ) yakni supaya mereka meninggalkan alias mele-paskan diri dari semua firqah yang ada apa pun nama, merek maupun istilah yang digunakan oleh selu-ruh firqah tersebut (ormas, orpol, harakah, jamaah dan lainnya).
Demikianlah realitas umat Islam dalam kehidupan Islami yang paling ideal yakni ketika wadah kehidupan mereka adalah النُّبُوَّةُ lalu berlanjut dengan خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ :
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Nubuwwah akan ada di tengah-tengah kalian sepanjang Allah menghendakinya ada lalu Dia akan me-ngangkatnya ketika Dia menghendaki untuk mengangkatnya, kemudian akan ada Khilafah yang ber-langsung di atas jalan Nubuwwah
Realitas yang mulia serta didambakan oleh perasaan dan dituntut oleh keputusan aqal tersebut adalah realisasi dari janji Allah SWT kepada mereka karena mereka telah dengan sempurna melaksanakan se-luruh perkara yang diwajibkan oleh janji Allah SWT itu sendiri. Allah SWT menyatakan :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)

Realitas Islam saat ini pasca Khilafah Islamiyah (point 1)
Paling tidak Khilafah Islamiyah telah sirna dari kehidupan dunia sejak tanggal 3 Maret 1924 dan itu artinya apa yang diingatkan dengan sangat keras oleh Khalifah Umar bin Khaththab untuk selalu di-hindari oleh umat Islam justru terjadi saat ini. Khalifah Umar menyatakan :
يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
Wahai masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Islam itu tidak ada kecuali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya imarah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasar-kan pemahaman maka orang itu adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mereka dan siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka
Fakta kehidupan tersebut memastikan bahwa secara aqliy maupun naqliy, kemuliaan dan kekuatan umat Islam telah lenyap seiring dengan hilangnya realitas Islam sebagai pokok segala urusan mereka di dunia (رَأْسُ الأَمْرِ لِحَيَاتِهِمْ فِيْ الدُّنْيَا). Hal itu karena, hakikat Abdul Hamid yang dinobatkan sebagai Sulthan Abdul Hamid II dari Khilafah Islamiyah Utsmaniyah adalah sama sekali tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh ucapan Khailfah Umar : فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ, melainkan justru berada dalam kategori : وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ. Sehingga tidaklah terlalu mengejutkan jika ba-risan kekuatan kaum kufar yang dipimpin oleh adidaya saat itu yakni Kerajaan Inggris akhirnya berha-sil فِعْلاً وَحُكْمًا (de facto de jure) menghentikan eksistensi Khilafah Islamiyah sekaligus meruntuhkannya hingga hilang lenyap dari arena kehidupan dunia.
Saat ini, umat Islam benar-benar berada dalam hakikat كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ, sehingga wajib bagi mereka untuk hijrah ke bagian bumi lain yang dapat melepaskan mereka dari hakikat yang diharamkan tersebut. Namun apakah saat ini masih ada bagian bumi yang tidak berada dalam kekuasaan dan kenda-li kaum kufar yang dipimpin oleh adidaya Amerika Serikat? Tentu saja jawabannya dipastikan oleh fakta global saat ini yaitu tidak ada satu pun negara kebangsaan yang ada di dunia (hampir 200 negara) yang terlepas bebas dari hegemoni AS dan sekutunya alias dominasi kaum kufar.
Seluruh negara baik secara de facto de jure maupun secara konstelasi ideologis adalah berada da-lam kendali AS berikut G8-nya. Akibatnya, tidak ada lagi bagian bumi Allah SWT ini yang tersisa bagi umat Islam supaya mereka dapat memulai hidup baru sesaat telah terlepas dari realitas haram yang se-lama ini melekat pada diri mereka yakni : كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ. Inilah hakikat kehidupan dunia yang telah berlangsung hampir satu abad yang memaksa kaum muslim di seluruh dunia untuk selalu berada dalam jeratan dan jebakan mematikan sistema kufur yang diberlakukan oleh kaum kufar dengan segala cara : ekonomi, politik maupun militer. Sekali lagi, inilah realitas kehidupan dunia yang masih tersisa bagi umat Islam dan itu menjadikan mereka sebagai اَهْوَنُ اُمَّةٍ مِنْ سَائِرِ الأُمَمِ (sehina-hinanya umat dari se-luruh umat yang ada). Tentu saja itu adalah akibat kesalahan pendahulu umat Islam sendiri terutama yang hidup pada tiga abad terakhir sebelum abad 21 yakni abad 18, 19 dan 20 yang membiarkan Khila-fah Islamiyah Utsmaniyah melakukan berbagai penyimpangan terhadap syariah Islamiyah khususnya yang berkenaan dengan ketentuan interaksi antara Khilafah dengan negara-negara kufur.
Oleh karena itu, hingga tibanya اَلسَّاعَةُ sekali pun umat Islam tidak akan pernah kembali meraih posisinya yang orisinal sebagai خَيْرُ اُمَّةٍ maupun أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ بَعْضِ مَلَائِكَتِهِ, kecuali jika mereka (dan mereka yang saat ini tengah) berusaha keras dan serius untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah ke dalam arena kehidupan dunia. Inilah عَمَلٌ صَالِحٌ yang dituntut oleh janji Allah SWT supaya dilakukan sehingga janji Allah tersebut diberikan kepada umat Islam saat ini persis seperti telah Allah SWT beri-kan kepada pendahulu mereka اَلسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)
Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan melakukan عَمَلٌ صَالِحٌ dari kalian (umat Islam) yakni sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi seperti halnya Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka juga berkuasa, dan Dia pasti akan mengokohkan bagi mereka din mere-ka yang telah Dia ridlai bagi mereka, dan Dia pasti akan menggantikan keadaan mereka dengan reali-tas aman setelah mereka selama ini berada dalam realitas ketakutan. Sehingga dengan itu mereka akan mentaati Aku dan mereka tidak akan bersikap musyrik kepada Aku dengan apa pun, dan siapa saja yang kufur setelah itu semua maka itulah mereka orang-orang yang fasiq.

No comments:

Post a Comment