Realitas umat manusia sebelum Islam
Islam
memang bukan syariah Allah SWT yang pertama kali diturunkan malahan Islam
adalah yang terakhir. Namun demikian, pengaruh seluruh syariah yang diturunkan
sebelum Islam tersebut ter-hadap sikap dan tingkah laku manusia ternyata telah
lama hilang seiring dengan keputusan mereka sen-diri untuk secara gradual
meninggalkan ketentuan dari langit tersebut. Bahkan pada kasus syariah yang
bersumber dari Taurah dan Injil, komunitas manusia yang menerimanya yakni Bani
Israil telah me-ninggalkan syariah Taurah sejak Nabi Musa as masih memimpin
mereka dan tidak peduli lagi terhadap syariah Injil sejak Nabi Isa as masih
berada di tengah-tengah mereka. Hal itu mereka lakukan dengan cara melakukan
berbagai perubahan dan manipulasi terhadap banyak pernyataan Allah SWT yang ada
dalam Taurah dan lalu yang ada dalam Injil. Allah SWT menginformasikan sikap
Bani Israil tersebut kepada umat Islam dalam Al-Quran :
الَّذِينَ
ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ
فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (البقرة : 146)
Orang-orang yang telah Kami datangkan Kitab kepada mereka,
mereka benar-benar mengetahuinya seperti mereka mengenal anak-anak mereka
sendiri dan sungguh sebagian dari mereka itu menyembu-nyikan al-haq (yang
bersumber dari Kitab) dan itu mereka sadari
أَفَتَطْمَعُونَ
أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ
اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
(البقرة : 75)
Apakah kalian
(umat Islam) sangat mengharapkan mereka (Bani Israil) beriman kepada kalian
pada-hal sebagian dari mereka itu sungguh telah mendengar pernyataan Allah
(dalam Taurah dan Injil) ke-mudian mereka merubahnya setelah mereka memahaminya
dan mereka lakukan itu dengan sadar
مِنَ
الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ
سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ
وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ
وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ
بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا (النساء : 46)
Orang-orang
Yahudi itu telah melakukan perubahan terhadap berbagai pernyataan (Allah SWT)
dari tempat yang seharusnya dan mereka berkata “kami mendengar dan kami
membangkang”dan mereka pun pasti berkata kepadamu “dengarlah bahwa kami tidak
akan mendengarkanmu” dan mereka pun akan berkata رَاعِنَا (sambil bergumam dengan
ucapan sebenarnya اَلرُّعُوْنَةُ) yang merupakan cibiran dari mulut-mulut
mereka dan penghinaan terhadap din (Islam). Dan andai saja mereka berkata “kami
men-dengar dan kami taat, lalu berkata dengarlah dan perhatikanlah kami, maka
sungguh itu adalah baik bagi mereka dan itu adalah sikap yang benar. Akan
tetapi Allah melaknat mereka akibat sikap kufur mereka dan mereka tidak akan
beriman kecuali sebagian sangat kecil dari mereka
Jika Bani Israil
saja yang kehidupannya selalu dipimpin dan diurus oleh para Nabi ternyata sikap
dan tingkah laku mereka justru menyimpang bahkan bertentangan dengan ketentuan
Allah SWT yang ditu-runkan melalui para Nabi tersebut, maka apakah lagi halnya
dengan komunitas manusia di luar mereka yang sama sekali tidak memperoleh wahyu
dari Allah SWT. Inilah yang terjadi atas manusia yang ber-mukim di Negeri
Makkah (kaum Quraisy) dan di Negeri Yatsrib (Kaum Aus dan Khazraj). Hudzaifah
bin Al-Yaman menggambarkan realitas Bangsa Quraisy sebelum Islam sebagai
berikut :
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا
فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ (رواه البخاري)
Wahai Rasulullah, sungguh keadaan kami dulu berada dalam
realitas jahiliyyah dan syar, lalu Allah mendatangkan al-khair ini (Islam)
kepada kami …
Ketika perwakilan penduduk Negeri Yatsrib (Kaum Aus dan Khazraj) bertemu
dengan Nabi Muham-mad saw di Makkah saat musim haji dan mereka selalu mendengar
dakwah beliau saw yang menyeru mereka untuk beriman kepadanya berikut Al-Quran
yang beliau bawa serta bersedia menyerahkan ke-kuasaan kepada beliau, maka
mereka menanggapi hal itu dengan pernyataan :
اِنَّا
قَدْ تَرَكْنَا قَوْمَنَا وَلاَ قَوْمٌ مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالشَّرِّ
مَابَيْنَهُمْ فَعَسَى اللهُ اَنْ يَّجْمَعَهُمْ بِكَ فَسَنَقْدَمُ عَلَيْهِمْ
فَنَدْعُوْهُمْ اِلَى اَمْرِكَ وَتَعْرُضُ عَلَيْهِمُ الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ
اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ (سِيْرَةُ اِبْنِ هِشَامٍ ص. 328-329)
Sungguh kami telah meninggalkan kaum kami dan tidak satu
kaum pun yang memiliki permusuhan dan keburukan yang lebih besar dari mereka.
Oleh karena itu semoga Allah akan menyatukan mereka me-lalui dirimu lalu kita
akan mendatangi mereka lalu menyeru mereka kepada urusanmu dan kamu akan
menyampaikan kepada mereka perkara yang telah kami penuhi kepada mu dari agama
ini
Demikian juga
pola interaksi antara satu bangsa dengan lainnya didasarkan kepada aturan main
belan-tara rimba (the jungle’s rule of game) yakni bangsa yang paling
kuat akan mendominasi bangsa lainnya yang lemah. Inilah yang dijadikan ancaman
menggelisahkan oleh Ratu Negeri Saba, saat menerima su-rat dari Nabi Sulaeman
as yang diposisikan sama oleh sang ratu dengan raja-raja lainnya :
قَالَتْ
إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ
أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ (النمل : 34)
Dia (Ratu Negeri Saba) berkata : sungguh para raja itu
ketika mereka memasuki suatu negeri, mereka pasti merusak negeri itu dan mereka
jadikan kemuliaan penduduknya menjadi kehinaan dan itulah pu-la yang akan
mereka (Sulaeman) lakukan
Keseluruhan
serpihan realitas umat manusia sebelum Islam diturunkan tersebut memastikan
se-buah mozaik pola kehidupan mereka yakni mereka hidup dalam kungkungan
sistema hewani yang me-reka racik sendiri (فِي
جَاهِلِيَّةٍ) dan itu mejadikan kehidupan mereka nyata-nyata tidak layak (وَشَرٍّ) bagi ha-kikat diri mereka selaku manusia yang beraqal. Dengan
demikian aqal sangat memahami mengapa ada taqdir Allah SWT yang menjadikan Nabi
Muhammad saw sebagai Rasul bagi seluruh manusia dan Is-lam diberlakukan juga
bagi mereka seluruhnya. Allah SWT menyatakan :
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سبأ : 28)
Dan Kami (Allah)
tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali kepada seluruh manusia sebagai pemba-wa
kabar gembira dan peringatan keras dan tetapi sebagian sangat besar manusia
tidak mengetahui (posisi mu itu)
Rasulullah saw
juga memastikan posisi beliau sebagai berikut :
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ
أَحَدٌ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي
أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَكَانَ
النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً
وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ (رواه البخاري)
Diberikan
kepadaku lima perkara yang belum pernah diberikan kelimanya itu kepada seorang
pun da-ri kalangan para nabi sebelumku : aku diberi pertolongan dengan munculnya
ketakutan (pada musuh) dalam perjalanan sebulan dan dijadikan bagiku bumi itu
sebagai masjid serta suci sehingga ketika se-seorang dari umat ku telah
mendatanginya waktu shalat maka shalatlah dan dihalalkan bagiku ghani-mah dan
seorang nabi itu diutus kepada kaumnya saja sedangkan aku diutus kepada seluruh
manusia dan diberikan kepadaku syafaah
Posisi dan
eksistensi Nabi Muhammad saw berikut risalah Islam yang dibawanya dipastikan
oleh Allah SWT dalam pernyataan :
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة : 21)
Objek
seruan ayat yakni النَّاسُ memastikan bahwa perintah untuk taat
kepada Allah SWT (اعْبُدُوا رَبَّكُمُ) adalah berlaku
bagi seluruh manusia (كَافَّةً لِلنَّاسِ). Hal itu
semakin dipastikan dengan adanya pemberita-huan berkenaan dengan مَنْ هُوَ رَبُّكُمْ (siapakah Rab kalian itu?)
dengan sifat yang diungkapkan oleh ba-gian ayat : الَّذِي
خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ (yakni yang telah menciptakan
kalian dan orang-orang sebelum kalian).
Realitas umat Islam sebelum ada negara
Walau realitas Islam adalah رَحْمَةً
لِلْعَالَمِيْنَ dan كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا,
namun pada awalnya tetap saja bermula dari satu orang yakni Nabi Muhammad saw
dan barulah kemudian beliau diperintahkan untuk melakukan تَبْلِيْغُ الرِّسَالَةِ
kepada seluruh manusia. Hal itu pun betul-betul berproses manusiawi yakni
ber-awal dari manusia yang berada di sekitar Rasulullah saw sendiri bahkan dari
kalangan kaumnya, yakni Bangsa Arab qabilah Quraisy yang saat itu paling
dominan di seluruh Jazirah Arab.
Walau Rasulullah saw sangat berkeinginan Islam memperoleh
kemenangan (dengan diraihnya kekuasaan oleh beliau dari masyarakat) di Negeri
Makkah, namun ternyata pemikiran dan sikap pendu-duk negeri tersebut justru
sangat membatu dalam menolak, menentang bahkan memerangi Rasulullah saw, Islam
berikut kaum mukmin yang telah berhasil dihimpun dalam naungan Islam. Inilah
yang ter-ungkap jelas sekali dalam pernyataan Rasulullah saw ketika perjalanan
hijrah meninggalkan Makkah menuju Madinah :
مَا
أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي
مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ (رواه الترمذي)
Tidak ada negeri yang lebih baik dan lebih aku cintai
daripada kamu (Makkah) dan seandainya kaum-ku tidak mengusirku darimu pastilah
aku tidak akan tinggal di negeri selain kamu
Abu Hurairah menyatakan :
وَقَفَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحَزْوَرَةِ فَقَالَ
عَلِمْتُ أَنَّكِ خَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ الْأَرْضِ إِلَى اللَّهِ
وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكِ أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ قَالَ عَبْدُ
الرَّزَّاقِ وَالْحَزْوَرَةُ عِنْدَ بَابِ الْحَنَّاطِينَ (رواه احمد)
Nabi saw berhenti
di Hazwarah lalu beliau berkata : aku tahu sungguh kamu (Makkah) adalah
sebaik-baik bumi Allah dan bumi yang paling dicintai oleh Allah dan seandainya
pendudukmu tidak mengu-sirku darimu, pastilah aku tidak akan keluar
meninggalkanmu. Abdurrazzaq berkata : Hazwarah itu terletak di pintu Hannathiin
Kedua dalil tersebut menunjukkan sebuah
realitas berkenaan dengan posisi umat Islam yang dipimpin oleh Nabi Muhammad
saw selama 13 tahun bermukim di Makkah dan menyampaikan dakwah Islami-yah
kepada penduduknya, yakni selain jumlah mereka sangat sedikit
dibandingkan penduduk negeri tersebut juga mereka sama sekali tidak
memiliki akses kepada pilar-pilar kekuasaan maupun kekuatan. Seluruh
lini kekuasaan maupun kekuatan Negeri Makkah saat itu sepenuhnya berada dalam
genggaman para pemuka Quraisy dan dikendalikan secara absolut oleh mereka
dengan memberlakukan peraturan kufur (حُكْمُ
الْجَاهِلِيَّةِ), sehingga dapat
dipastikan Makkah adalah Negara Kufur (دَارُ
الْكُفْرِ).
Realitas posisi umat Islam selama di Negara Kufur Makkah tentu
saja amat sangat lemah, minori-tas dan terdominasi oleh hegemoni kaum kufar
Quraisy yang menguasainya dan fakta itu ditunjukkan oleh antara lain :
1.
Nabi Muhammad saw berikut para sahabat beliau saat itu nyata-nyata
berposisi sebagai objek yang dikenai dan dikendalikan oleh penguasa kufur yang
memberlakukan sistem kufur, sehingga umat Islam adalah penonton dari seluruh
pertunjukkan kekuasaan maupun kekuatan yang 100 persen be-rada dalam
pengelolaan kaum kufar. Tentu saja dengan posisi seperti itu, mereka (termasuk
Nabi Muhammad saw) tidak akan mampu berbuat banyak, bahkan sekedar untuk
membersihkan Ka’bah dari berhala yang jumlahnya lebih dari 700 buah sekali pun,
mereka tidak mampu melakukannya.
2.
walau secara orang per orang, umat Islam yang telah berhimpun di
sekitar Nabi Muhammad saw adalah memiliki keberanian dan kekuatan untuk
memberikan perlawanan atau membalas terhadap tindakan sadis brutal penguasa
kufur Makkah, namun fakta secara keseluruhan (جُمْلَةً) dari mereka adalah lemah dan terdominasi.
Oleh karena itu ketika sebagian dari mereka mengusulkan melaku-kan perlawanan
kepada kaum kufar Quraisy, maka Nabi Muhammad saw menyatakan secara pasti bahwa
hal itu belum diperintahkan : لَمْ
نُؤْمَرْ بِذَلِكَ بَعْدُ.
3.
opini publik (رَأْيُ الْعَامِ) masyarakat Makkah sepenuhnya dikendalikan
secara ketat oleh para pengua-sa kufur Quraisy dan umat Islam selalu menjadi
objek yang tertembak telak oleh “peluru” opini ter-sebut. Sebagai contoh ketika
para penguasa Quraisy menyatakan Muhammad adalah gila dan du-kun (كَاهِنٌ مَجْنُوْنٌ),
maka hampir 100 persen penduduk Makkah pun menyetujuinya. Inilah yang da-pat
dipahamkan dari pernyataan Allah SWT berkenaan dengan itu :
فَذَكِّرْ
فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ (الطور : 29)
Singkat
kata, Islam yang seharusnya يَعْلُوْ
وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ namun selama 13 tahun di Makkah seolah berada di bawah injakan
alas kaki najis kaum kufar Quraisy. Begitu juga halnya dengan umat Islam
(termasuk Rasulullah saw sendiri) yang seharusnya خَيْرُ
اُمَّةٍ
namun selama 13 tahun di Makkah benar-benar dihina, dinista dan dilecehkan oleh
kaum kufar. Inilah hakikat posisi dan eksistensi kaum muslim selama hidup dalam
naungan dan kungkungan sistema kufur di Negara Kufur Makkah dan realitas itu
digambarkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran :
أَمْ
حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ
خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا
حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ
أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ (البقرة : 214)
Bagian
ayat حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ
ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ merupakan informasi pasti tentang
realitas posisi dan eksistensi umat Islam selama mereka berada dalam kehidupan
kufur di Makkah yang dikendalikan secara absolut oleh kaum kufar Quraisy.
Realitas umat Islam dalam Khilafah Islamiyah
Mengapa Rasulullah saw dan umat Islam saat
itu sangat gembira ketika Allah SWT menetapkan Madinah sebagai negeri tujuan
hijrah mereka dari Makkah? Hijrah dalam Islam adalah bukan sekedar berpindah
secara fisik dari satu negeri ke negeri lain, melainkan bagian dari syariah
Islamiyah seperti shalat, haji, shaum, zakat, jihad, politik, ekonomi, negara
dan lainnya. Hal itu ditunjukkan oleh sikap Rasulullah saw yang selalu menunggu
tibanya ketetapan Allah SWT tentang negeri yang akan dituju saat melaksanakan
perintah hijrah. Walaupun Allah SWT tidak memberitahukan اَلْعِلَّةُ tentang ditetap-kannya syariah
hijrah, namun berkenaan dengan sebab berlakunya hukum hijrah (اَلسَّبَبُ) ditunjukkan oleh
pernyataan Allah dalam ayat :
إِنَّ
الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ
كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ
أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا (النساء : 97)
Fakta
كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ (keadaan kami adalah tertindas di
bumi itu) adalah اَلسَّبَبُ wajib dilakukan-nya
hijrah : فَتُهَاجِرُوا فِيهَا. Jika aspek اَلسَّبَبُ telah wujud di suatu negeri namun penduduk negeri itu tetap
bertahan dan tidak hijrah ke negeri lain, maka mereka telah berdosa (ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ) karena tidak melak-sanakan kewajiban
yang ada saat itu yakni hijrah. Inilah yang dipastikan oleh bagian akhir dari
ayat yakni : فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
Selama di Makkah hingga mencapai puncaknya
pada tahun ke-13 dari اَلْبِعْثَةُ, fakta kehidupan umat Islam yang menjadi اَلسَّبَبُ mereka wajib
melaksanakan hijrah selalu melekat pada mereka yakni ketidak berdayaan (كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ)
untuk memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT dalam kehidup-an mereka. Namun
karena tempat tujuan hijrah belum ditetapkan oleh Allah SWT, maka Nabi
Muham-mad saw pun belum melakukannya walau fakta kehidupan di Makkah telah
mengharuskan untuk hij-rah. Sepanjang penantian ketetapan tersebut, Nabi
Muhammad saw mengutus Mush’ab bin ‘Umair un-tuk menyampaikan dakwah Islamiyah
di Madinah sementara itu beliau sendiri menyampaikan dakwah di Makkah kepada
seluruh qabilah Arab yang hadir di Masjid Al-Haram setiap musim haji. Tahun
per-tama tugas di Madinah dilaksanakan oleh Mush’ab dengan hasil berupa
terjadinya Bai’at Aqabah I dan tahun kedua menghasilkan Bai’at Aqabah II. Peristiwa Bai’at Aqabah I dan II dari
penduduk Madinah memastikan secara aqliy bahwa penduduk negeri tersebut
bersedia menerima Islam dan menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai pemimpin
mereka dalam hal kekuasaan dan kekuatan. Inilah yang ditun-jukkan oleh salah
seorang pimpinan mereka yakni As’ad bin
Zararah yang saat itu berkedudukan seba-gai pimpinan suku Khazraj kepada Nabi
Muhammad saw :
وَدَعَوْتَنَا
وَنَحْنُ جَمَاعَةٌ فِيْ دَارٍ عِزٌّ وَمَنْعَةٌ لاَيَطْمَعُ فِيْهَا اَحَدٌ اَنْ
يَّرَأَسَ عَلَيْنَا رَجُلٌ مِنْ غَيْرِنَا قَدْ اَفْرَدَهُ قَوْمُهُ وَاَسْلَمَهُ
اَعْمَامُهُ وَتِلْكَ رَتْبَةٌ صُعْبَةٌ فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ (دَلاَئِلُ
مِنَ النُّبُوَّةِ لأَبِيْ النُّعَيْمِ اَلأَصْبَهَانِيْ ص. 106)
Dan kamu telah menyeru kami sedangkan kami adalah komunitas
yang tengah hidup di suatu negara dalam keadaan mulia dan kuat. Tidak ada
seorang pun dalam komunitas itu yang akan suka orang da-ri selain kami memimpin
kami, hal itu karena kepemimpinan telah berlangsung hanya di tangan kaum-nya
dan itu telah diserahkan oleh leluhurnya (paman-pamannya). Tentu saja itu
adalah permintaan yang sangat sulit, namun kami telah memenuhi permintaanmu
tersebut.
Lalu
Allah SWT menetapkan bahwa Madinah adalah negeri tujuan hijrahnya umat Islam,
seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنِّي أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ
ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ وَهُمَا الْحَرَّتَانِ فَهَاجَرَ مَنْ هَاجَرَ
قِبَلَ الْمَدِينَةِ وَرَجَعَ عَامَّةُ مَنْ كَانَ هَاجَرَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ
إِلَى الْمَدِينَةِ وَتَجَهَّزَ أَبُو بَكْرٍ قِبَلَ الْمَدِينَةِ (رواه البخاري)
Sungguh diperlihatkan kepadaku negeri hijrah kalian yakni
negeri yang penuh dengan pohon kurma yang ada di antara dua batu hitam yakni
dua harrah, lalu berhijrahlah siapa saja yang tengah menuju Madinah dan
seketika itu juga pada pulang seluruh orang yang telah hijrah ke Negeri
Habasyah me-nuju Madinah dan Abu Bakar pun tengah mempersiapkan diri menuju
Madinah.
Oleh karena itu, hijrah ke Madinah sama sekali bukan
aktivitas dadakan, spontanitas dan tanpa persiap-an yang matang melainkan
justru sebuah keputusan yang ditetapkan berdasarkan dalil aqliy (Bai’at Aqabah
I dan II) serta dalil naqliy (ketetapan dari Allah SWT : إِنِّي أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ). Sehingga adalah perkara yang lazim
dan wajar, bila seketika Nabi Muhammad saw dan Muhajirin tiba di Madinah maka
saat itu juga umat Islam (Muhajirin dan Anshar) berada dalam pola kehidupan
Islami dengan pemberla-kuan syariah Islamiyah secara sempurna (كَامِلاً), menyeluruh (شَامِلاً) dan utuh (دُفْعَةً وَاحِدَةً) dalam wadah pelaksanaan politis (كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ) : اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ. Pola kehidupan Islami ini terus dipertahankan se-panjang kepemimpinan
Rasulullah saw dan berlanjut kepada Khulafa Rasyidun pasca wafatnya Nabi
Muhammad saw. Artinya tuntutan Islam yang ditunjukkan oleh pernyataan
Rasulullah saw sendiri te-lah dapat direalisir dengan sempurna :
تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا
جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ
اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
Hadits
tersebut memastikan bahwa karena kepemimpinan Nubuwwah hanya satu kali terjadi
dalam ke-hidupan umat Islam, maka setelah itu wajib berlanjut kepada Khilafah
Islamiyah yang sepenuhnya ber-jalan persis seperti saat Nubuwwah (ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ). Sedangkan
realitas Khilafah yang disi-fati dengan مُلْكًا
عَاضًّا
maupun مُلْكًا جَبْرِيَّةً adalah haram dibiarkan terjadi dalam
kehidupan umat Islam, walaupun akhirnya terjadi juga akibat konsistensi mereka
terhadap Islam pasca Khulafa Rasyidun me-mang sangat menurun drastis.
Sepanjang اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ dipimpin oleh
Rasulullah saw lalu oleh Khulafa Rasyidun yang berlang-sung 30 tahun, maka
dapat dipastikan kehidupan umat Islam berada dalam kemuliaan (عِزٌّ) dan kekuat-an (مَنْعَةٌ). Hal itu karena mereka
benar-benar dapat melaksanakan kewajiban Islami untuk memuliakan dan mentaati
kekuasaan Allah SWT di dunia (para Khalifah). Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ
اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد)
Siapa saja yang
memuliakan sulthan Allah SWT di dunia maka pasti Allah memuliakan dia pada hari
qiyamah dan siapa saja yang menghinakan sulthan Allah SWT di dunia maka pasti
Allah menghinakan dia pada hari qiyamah
Pola kehidupan
Islami tersebut juga memastikan hitam putihnya posisi dan eksistensi manusia
yakni mereka yang taat dan mereka yang menyalahi ketentuan Allah SWT. Mereka
yang selalu taat dipasti-kan akan memperoleh kemuliaan dan kekuatan dalam
kehidupan dunia, sedangkan mereka yang me-nyalahi ketentuan Allah SWT
dipastikan akan memperoleh kehinaan dan kekerdilan. Rasulullah saw menyatakan :
بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ
بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي
تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ
أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه احمد)
Aku diutus dengan
pedang di antara waktu terjadinya السَّاعَةِ hingga hanya Allah yang ditaati dan tidak
ada sekutu bagi Nya (dalam ketaatan itu), dan dijadikan rizqiku di bawah
naungan senjataku dan dija-dikan kehinaan serta kekerdilan bagi siapa saja yang
menyalahi perintahku dan siapa saja yang me-nyerupai suatu kaum maka dia adalah
bagian dari mereka
Secara individual, kualitas seorang mukmin
sangatlah tinggi sehingga melebihi kemuliaan malaikat dan realitas itu tentu
saja hanya dapat diraih jika pola kehidupan yang mewadahinya adalah 100 persen
Is-lami. Hal itu karena bagaimana mungkin seorang mukmin akan lebih mulia
daripada malaikat sedang-kan kehidupan dia (juga kaum mukmin lainnya) sama
sekali tidak Islami, yakni berbasis kekufuran seperti saat ini. Jadi pernyataan
Rasulullah saw :
الْمُؤْمِنُ
أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ بَعْضِ مَلَائِكَتِهِ (رواه ابن ماجه)
Seorang mukmin
itu lebih mulia menurut Allah daripada sebagian malaikat Nya
Hanya akan dapat terealisir dalam kehidupan
Khilafah Islamiyah dan sebaliknya tidak akan pernah ter-jadi selama umat Islam
terus menerus hidup dalam wadah berbasis sistema kufur.
Demikian juga berkenaan dengan aktivitas perang (الْغَزْوُ) hanya dapat dilaksanakan jika ada Kha-lifah dan saat itu orang
yang mengikuti perang akan terbelah menjadi dua kelompok yakni : (1) yang akan
memperoleh اَجْرٌ عَظِيْمٌ dan (2) yang
akan mengalami kerugian fatal (لَا
يَرْجِعُ بِالْكَفَافِ). Rasulullah saw menyatakan :
الْغَزْوُ
غَزْوَانِ فَأَمَّا مَنْ ابْتَغَى وَجْهَ اللَّهِ وَأَطَاعَ الْإِمَامَ وَأَنْفَقَ
الْكَرِيمَةَ وَيَاسَرَ الشَّرِيكَ وَاجْتَنَبَ الْفَسَادَ كَانَ نَوْمُهُ
وَنُبْهُهُ أَجْرًا كُلُّهُ وَأَمَّا مَنْ غَزَا رِيَاءً وَسُمْعَةً وَعَصَى
الْإِمَامَ وَأَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ فَإِنَّهُ لَا يَرْجِعُ بِالْكَفَافِ (رواه
النسائي)
Perang itu ada dua macam.
Adapun siapa saja yang perangnya mencari Wajah Allah dan dalam rang-ka mentaati
Imam dan dengan membelanjakan harta yang terbaik dan memberikan kemudahan
kepada sesama teman/sekutu perang dan menjauhi perbuatan salah, maka tidurnya
dan sadarnya seluruhnya adalah pahala baginya. Dan adapun siapa saja yang
berperang dengan asas riya, sum’ah dan mem-bangkang kepada Imam serta melakukan
kerusakan di bumi, maka dia tidak akan pernah kembali wa-lau dengan sekepalan
tangan pahala sekali pun
Tentu saja yang akan memperoleh
status الشَّهِيدُ adalah yang terbunuh dalam perang
macam pertama dan walau nanti dia telah masuk dalam الْجَنَّةَ ternyata dia
sangat ingin dikembalikan ke dunia supaya da-pat terbunuh lagi dalam perang
hingga puluhan kali. Rasulullah saw menyatakan :
مَا
أَحَدٌ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ
إِلَى الدُّنْيَا وَلَهُ مَا عَلَى الْأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا الشَّهِيدُ
يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَلَ عَشْرَ مَرَّاتٍ لِمَا
يَرَى مِنْ الْكَرَامَةِ (رواه البخاري)
Tidak ada seorang pun yang telah masuk الْجَنَّةَ lalu berkeinginan kembali ke dunia
dan baginya segala hal yang ada di bumi, kecuali الشَّهِيدُ yang berangan-angan kembali ke dunia
lalu dapat terbunuh lagi puluhan kali. Hal itu karena dia melihat betapa adanya
kemuliaan dalam perang
Lalu, apakah saat ini mereka yang hapal Al-Quran
(seluruhnya atau sebagiannya) dapat dikatego-rikan sebagai الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ (andal dalam memahami Al-Quran)?
Rasulullah saw menyatakan :
الْمَاهِرُ
بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَزَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
(رواه البخاري)
Seseorang yang andal dalam
memahami Al-Quran pasti bersama dengan orang-orang yang mulia lagi taat dan
indahkanlah Al-Quran itu dengan suara-suara kalian
Posisi orang yang الْمَاهِرُ
بِالْقُرْآنِ ternyata digandengkan dengan posisi orang yang الْكِرَامُ الْبَرَرَةُ, sehingga untuk memahami siapa yang
dimaksudkan dengan الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ tentu saja harus
memahami dulu realitas manusia yang melekat padanya sifat الْكِرَامُ الْبَرَرَةُ. Makna lafadz الْكِرَامُ adalah اَلْمُكْرِمُوْنَ عِنْدَ
اللهِ تَعَالَى (yang dimuliakan di sisi Allah SWT) dan makna lafadz الْبَرَرَةُ adalah اَلْمُطِيْعُوْنَ
الْمُطَهَّرُوْنَ مِنَ الذُّنُوْبِ (yang taat dan suci dari dosa).
Dengan demikian makna atau realitas dari الْكِرَامُ
الْبَرَرَةُ adalah orang-orang yang dimu-liakan oleh Allah SWT yang
selalu taat kepada Nya dan berusaha sekuat mungkin untuk mensucikan diri mereka
dari perbuatan yang diharamkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, makna atau
realitas dari الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ adalah seorang
muslim yang sangat memahami Al-Quran dan itu menjadikan dirinya sela-lu
bersikap taat kepada Allah SWT serta meninggalkan perbuatan yang diharamkan
oleh Allah SWT dalam Islam. Jadi, maknanya bukanlah hanya hapal
atau pun pandai dalam cara membacanya, seperti yang selama ini
disangkakan oleh sebagian sangat besar umat Islam.
Realitas
manusia yang masuk kualifikasi الْمَاهِرُ
بِالْقُرْآنِ مَعَ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ hanya akan ditemukan dalam kehidupan
Islami yakni kehidupan manusia di dunia dengan wadah Khilafah Islamiyah.
Sedangkan ha-ri ini bukan berarti tidak mungkin ada manusia
seperti itu, bahkan sangat mungkin namun hal itu ha-nya akan
terjadi pada umat Islam yang melaksanakan perintah Rasulullah saw :
قُلْتُ
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ
الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ
الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه البخاري)
Saya (Hudzaifah) berkata : lalu
jika mereka (kaum muslim) tidak memiliki jamaah maupun Imam? Be-liau berkata :
jika begitu tinggalkanlah seluruh firqah yang ada dan walaupun itu membuat kamu
ha-nya dapat mengunyah akar pohon hingga maut menemuimu dan kamu masih dalam
keadaan demikian.
Ini adalah perintah wajib bagi Hudzaifah dan seluruh umat
Islam saat mereka hidup bukan lagi dalam wadah Khilafah Islamiyah (فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ) yakni supaya
mereka meninggalkan alias mele-paskan diri dari semua firqah yang ada apa pun
nama, merek maupun istilah yang digunakan oleh selu-ruh firqah tersebut (ormas,
orpol, harakah, jamaah dan lainnya).
Demikianlah realitas umat Islam dalam kehidupan Islami yang
paling ideal yakni ketika wadah kehidupan mereka adalah النُّبُوَّةُ lalu berlanjut dengan خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ :
تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Nubuwwah akan ada di tengah-tengah kalian sepanjang Allah
menghendakinya ada lalu Dia akan me-ngangkatnya ketika Dia menghendaki untuk
mengangkatnya, kemudian akan ada Khilafah yang ber-langsung di atas jalan
Nubuwwah
Realitas yang mulia serta didambakan oleh perasaan dan dituntut
oleh keputusan aqal tersebut adalah realisasi dari janji Allah SWT kepada
mereka karena mereka telah dengan sempurna melaksanakan se-luruh perkara yang
diwajibkan oleh janji Allah SWT itu sendiri. Allah SWT menyatakan :
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)
Realitas Islam saat ini pasca Khilafah
Islamiyah (point 1)
Paling tidak Khilafah Islamiyah telah sirna
dari kehidupan dunia sejak tanggal 3 Maret 1924 dan itu artinya apa yang
diingatkan dengan sangat keras oleh Khalifah Umar bin Khaththab untuk selalu
di-hindari oleh umat Islam justru terjadi saat ini. Khalifah Umar menyatakan :
يَا مَعْشَرَ
الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا
جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ
قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ
عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
Wahai
masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Islam itu tidak
ada kecuali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya
imarah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja
yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasar-kan pemahaman maka orang itu
adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mereka dan siapa saja yang dijadikan
pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah
kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka
Fakta kehidupan tersebut
memastikan bahwa secara aqliy maupun naqliy, kemuliaan dan kekuatan umat Islam
telah lenyap seiring dengan hilangnya realitas Islam sebagai pokok segala
urusan mereka di dunia (رَأْسُ الأَمْرِ لِحَيَاتِهِمْ فِيْ الدُّنْيَا). Hal itu karena, hakikat Abdul Hamid yang
dinobatkan sebagai Sulthan Abdul Hamid II dari Khilafah Islamiyah Utsmaniyah
adalah sama sekali tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh ucapan Khailfah
Umar : فَمَنْ
سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ, melainkan justru berada dalam kategori : وَمَنْ
سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ. Sehingga tidaklah terlalu mengejutkan
jika ba-risan kekuatan kaum kufar yang dipimpin oleh adidaya saat itu yakni
Kerajaan Inggris akhirnya berha-sil فِعْلاً وَحُكْمًا (de facto de jure) menghentikan
eksistensi Khilafah Islamiyah sekaligus meruntuhkannya hingga hilang lenyap
dari arena kehidupan dunia.
Saat ini, umat Islam benar-benar berada dalam hakikat كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ,
sehingga wajib bagi mereka untuk hijrah ke bagian bumi lain yang dapat
melepaskan mereka dari hakikat yang diharamkan tersebut. Namun apakah saat ini
masih ada bagian bumi yang tidak berada dalam kekuasaan dan kenda-li kaum kufar
yang dipimpin oleh adidaya Amerika Serikat? Tentu saja jawabannya dipastikan
oleh fakta global saat ini yaitu tidak ada satu pun negara kebangsaan yang ada
di dunia (hampir 200 negara) yang terlepas bebas dari hegemoni AS dan sekutunya
alias dominasi kaum kufar.
Seluruh negara baik secara de facto de jure maupun secara
konstelasi ideologis adalah berada da-lam kendali AS berikut G8-nya. Akibatnya,
tidak ada lagi bagian bumi Allah SWT ini yang tersisa bagi umat Islam supaya
mereka dapat memulai hidup baru sesaat telah terlepas dari realitas haram yang
se-lama ini melekat pada diri mereka yakni : كُنَّا
مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ.
Inilah hakikat kehidupan dunia yang telah berlangsung hampir satu abad yang
memaksa kaum muslim di seluruh dunia untuk selalu berada dalam jeratan dan jebakan
mematikan sistema kufur yang diberlakukan oleh kaum kufar dengan segala cara :
ekonomi, politik maupun militer. Sekali lagi, inilah realitas kehidupan dunia
yang masih tersisa bagi umat Islam dan itu menjadikan mereka sebagai اَهْوَنُ اُمَّةٍ مِنْ سَائِرِ الأُمَمِ
(sehina-hinanya umat dari se-luruh umat yang ada). Tentu saja itu adalah
akibat kesalahan pendahulu umat Islam sendiri terutama yang hidup pada tiga
abad terakhir sebelum abad 21 yakni abad 18, 19 dan 20 yang membiarkan
Khila-fah Islamiyah Utsmaniyah melakukan berbagai penyimpangan terhadap syariah
Islamiyah khususnya yang berkenaan dengan ketentuan interaksi antara Khilafah
dengan negara-negara kufur.
Oleh karena itu, hingga tibanya اَلسَّاعَةُ sekali pun umat Islam tidak akan pernah
kembali meraih posisinya yang orisinal sebagai خَيْرُ
اُمَّةٍ maupun أَكْرَمُ
عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ بَعْضِ مَلَائِكَتِهِ,
kecuali jika mereka (dan mereka yang saat ini tengah) berusaha keras dan serius
untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah ke dalam arena kehidupan dunia. Inilah عَمَلٌ صَالِحٌ
yang dituntut oleh janji Allah SWT supaya dilakukan sehingga janji Allah
tersebut diberikan kepada umat Islam saat ini persis seperti telah Allah SWT
beri-kan kepada pendahulu mereka اَلسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ
:
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)
Allah
berjanji kepada orang-orang yang beriman dan melakukan عَمَلٌ صَالِحٌ dari kalian (umat Islam) yakni
sungguh Dia akan menjadikan mereka berkuasa di bumi seperti halnya Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka juga berkuasa, dan Dia pasti akan
mengokohkan bagi mereka din mere-ka yang telah Dia ridlai bagi mereka, dan Dia
pasti akan menggantikan keadaan mereka dengan reali-tas aman setelah mereka
selama ini berada dalam realitas ketakutan. Sehingga dengan itu mereka akan
mentaati Aku dan mereka tidak akan bersikap musyrik kepada Aku dengan apa pun,
dan siapa saja yang kufur setelah itu semua maka itulah mereka orang-orang yang
fasiq.
No comments:
Post a Comment