Kekisruhan seputar kisah-kisah dalam Al-Quran
Al-Quran yang ada di tengah-tengah umat Islam saat ini
adalah sama persis identik dengan Al-Quran 1443 tahun yang lalu, yakni susunan
mushafnya (رَسْمُ مُصْحَفِهِ) dimulai dengan
Surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan An-Naas. Perbedaan yang pasti antara
keberadaan Al-Quran pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup bersama para
sahabat dengan saat ini adalah :
1.
ketika Rasulullah saw
masih berada di dunia, para sahabat memahami Al-Quran dengan dua cara yakni :
(a) mempergunakan kemampuan mereka dalam berbahasa Arab (لِسَانُ الْعَرَبِ) dan (b) ber-tanya langsung kepada
Nabi Muhammad saw berkenaan dengan maksud suatu kata (اَلْكَلِمَةُ), kalimat (اَلْجُمْلَةُ), istilah (اَلإِصْطِلاَحُ) maupun realitas (اَلْحَقِيْقَةُ) yang diungkap atau ditunjukkan oleh
ayat-ayat Al-Quran.
2.
sedangkan saat ini,
umat Islam hanya dapat memahami Al-Quran dari kemampuan mereka dalam berbahasa
Arab dibantu dengan berbagai penjelasan para fuqaha, mujtahidin maupun mufassir
me-lalui karya-karya mereka yang berwujud kitab fiqih, ushul fiqih, tafsir dan
sebagainya. Bantuan itu pun dapat digunakan saat ini hanya bila realitas atau
persoalan alias objek hukum (مَنَاطُ
الْحُكْمِ) yang ada kini adalah sama dengan yang terjadi di masa itu.
Sehingga yang harus dilakukan oleh umat Is-lam sekarang hanya penerapan hukum
atas objek hukum yang sama (تَحْقِيْقُ
الْمَنَاطِ). Namun bila reali-tas atau persoalan alias objek hukum yang
ada saat ini adalah sama sekali berbeda dengan di masa lalu, maka yang harus
dilakukan oleh umat Islam adalah lebih berat dan rumit yakni harus menggali
hukum (اَلإِسْتِنْبَاطُ) langsung dari Al-Quran dan As-Sunnah
dengan metode ijtihad untuk kemudian diterapkan kepada realitas atau persoalan
(objek hukum) yang tengah dihadapi.
Oleh karena itu,
kesepakatan para ulama (fuqaha dan mujtahidin) tentang فَالعِلْمُ لاَبُدَّ اَنْ يَكُوْنَ مَنْقُوْلاً (ilmu itu
haruslah bertaut berangkai perpidahannya) adalah benar adanya,
sebab fakta memastikan bahwa hanya Rasulullah saw dan para sahabat beliau saja
yang diberi kesempatan untuk bertanya lang-sung kepada Allah SWT tentang maksud
suatu kata (اَلْكَلِمَةُ), kalimat (اَلْجُمْلَةُ), istilah (اَلإِصْطِلاَحُ) maupun realitas (اَلْحَقِيْقَةُ) yang diungkap atau ditunjukkan oleh
ayat-ayat Al-Quran. Dengan kata lain mereka di-beri ijin untuk bertanya tentang
maksud Allah SWT (مَقْصَدُ اللهِ) yang ada dalam
pernyataan Nya (كَلاَمُهُ) yang diturunkan
melalui Jibril as kepada Nabi Muhammad saw. Sementara itu, seiring dengan
berak-hirnya periode wahyu untuk selamanya yang dipastikan dengan wafatnya
Rasulullah saw maka sejak saat itu manusia mana pun termasuk para sahabat tidak
diijinkan lagi bertanya langsung kepada Allah SWT, melainkan dicukupkan memahami
maksud Allah SWT melalui teks literal (كَلاَمُهُ) yang bersifat
langsung yakni Al-Quran dan yang tidak langsung yakni As-Sunnah. Realitas
itulah yang mengharus-kan terjadinya keterpautan dan kesinambungan estafeta
(perpindahan) informasi (مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ) tentang Is-lam
dari generasi ke generasi dengan tumpuan utama dan satu-satunya adalah mushaf
Al-Quran dan kitab-kitab yang memuat As-Sunnah. Tegasnya, seluruh informasi
tentang Islam itu wajib dapat diper-tanggungjawabkan yakni dapat dibuktikan
memang berasal dari sumbernya yang asli (Rasulullah saw), baik yang berupa
Al-Quran maupun As-Sunnah berikut seluruh penjelasan yang ada dalam berbagai
karya ulama di masa lalu : ushul fiqih, fiqih, tafsir, mushthalah hadits dan
sebagainya. Inilah yang sangat tergambar jelas dalam perpindahan sebuah pernyataan
Rasulullah saw (hadits) mulai dari sanad paling tinggi (مُنْتَهَاءُ الإِسْنَادِ) yakni generasi sahabat lalu ke
generasi tabi’in, lalu ke tabi’it tabi’in dan ber-akhir di para pengeluar
hadits (مُخْرِجُوْ الْحَدِيْثِ), seperti Imam
Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan la-innya. Demikian juga dalam sebuah
madzhab fiqih selalu terjadi proses مَنْقُوْلُ
الْخَبَرِ dari Imam Madzhab misal Asy-Syafi’i kepada para mujtahid maupun
non mujtahid yang ada dalam naungan madzhab terse-but (اَلشَّافِعِيَّةُ) secara bertautan tanpa putus.
Proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ selalu dipertahankan dan merupakan
kewajiban seluruh umat Islam untuk mem-pertahankannya demi terjaganya kemurnian
dan keotentikan sumber-sumber Islam berikut semua pemi-kiran Islami yang muncul
atau digali dari sumber-sumber tersebut. Selain itu dengan selalu menjaga
proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ tersebut, maka secara otomatis dapat
dihindari semaksimal mungkin keterlibatan ke-pentingan naluriah manusia (اَهْوَاءُ النَّاسِ) dalam penggalian maupun penetapan حُكْمُ اللهِ yang akan diber-lakukan terhadap
kehidupan manusia di dunia. Namun, walau demikian ketat dan disiplinnya proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ tersebut,
ternyata pentas sejarah Dunia Islam mencatat ada saja segelintir umat Islam
yang lebih mengedepankan dan memenangkan اَهْوَاءُهُمْ daripada kejernihan
aqalnya, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Washil bin Atha, Jahm bin Sofwan,
Al-Farabiy dan sebagainya, sehingga mereka justru menjadi sosok manusia yang
merusak kemurnian pemikiran Islami itu sendiri. Jadi, sangat sulit dibayangkan
kekisruhan, kekacauan dan kerusakan seperti apakah yang akan terjadi bila
proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ tidak di-berlangsungkan dengan ketat dan
disiplin.
Pernyataan kami
tidak bermadzhab dan tidak akan bertaqlid yang disuarakan lantang oleh
ke-lompok yang mengklaim diri sebagai pembaharu seperti Muhammadiyah, Persis,
Al-Irsyad, pengikut Jamaluddin Al-Afghaniy, Wahabi, kelompok Al-Maududi dan
sebagainya, adalah awal dari kekisruh-an, kekacauan dan kerusakan
bangunan pemikiran Islami yang saat ini telah sangat parah keadaannya. Keadaan
mengerikan tersebut terjadi di semua arena pemikiran Islami baik itu fiqih,
politik, ekonomi, negara, ideologi bahkan Bahasa Arab sendiri. Demikian juga
pernyataan yang sangat salah segalanya harus ada ayatnya dalam Al-Quran
atau haditsnya, menunjukkan dengan pasti bahwa yang mengu-capkannya
adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengerti posisi Al-Quran dan
As-Sunnah seba-gai دَلِيْلٌ
شَرْعِيٌّ.
Pernyataan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah adalah bentuk
lainnya dari kekis-ruhan pemikiran sehubungan dengan posisi Al-Quran dan
As-Sunnah sebagai sumber hukum dalam Is-lam atau sebagai sumber hukum Islam.
Hal itu karena, ucapan tersebut seakan memastikan bahwa sela-ma ini umat Islam
termasuk para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in telah meninggalkan kedua
sumber hukum tersebut. Ungkapan lain yang tidak kalah kelirunya adalah kan
ada dalam Al-Quran atau da-lam hadits. Ucapan seperti itulah yang telah
mengantarkan banyak orang kepada kekeliruan yang sa-ngat fatal dalam
memposisikan kisah-kisah umat sebelum umat Islam yang disampaikan oleh Allah
SWT dalam Al-Quran. Sebagai contoh :
1.
kemunculan kelompok
umat Islam yang menamakan diri sebagai Ashabul Kahfi dengan melandas-kan
keberadaan mereka kepada kisah Ashabul Kahfi yang diungkapkan dalam Surat
Al-Kahfi :
أَمْ
حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ ءَايَاتِنَا
عَجَبًا (الكهف : 9)
2.
munculnya anggapan
sehubungan dengan konsep negara yang ideal : بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ, berdasarkan ayat Al-Quran :
لَقَدْ
كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ
كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ
غَفُورٌ (سبأ : 15)
3.
adanya anggapan
keseimbangan antara dunia dan akhirat berdasarkan ayat Al-Quran :
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ
مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَءَاتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ
لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص : 76-77)
4.
adanya anggapan jika
bersyukur akan ditambah nikmat berdasarkan ayat Al-Quran :
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ
اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ أَنْجَاكُمْ مِنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ
يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ وَيُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ
نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ وَإِذْ تَأَذَّنَ
رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي
لَشَدِيدٌ (ابراهيم : 6-7)
5.
munculnya anggapan
tentang اَلتَّحَدُّثُ بِالنِّعْمَةِ berdasarkan ayat
Al-Quran :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ
فَحَدِّثْ (الضحى : 11)
6.
munculnya konsep
pembebasan negara terjajah (Negara Islam Indonesia/NII) pada kelompok peca-han
dari DI (Darul Islam) : Majelis Persiapan Pembebasan Darrul Islam maupun
Sekretariat Ne-gara Daulah Islamiyah Markas Imamah (Adi SMK),
berdasarkan ayat Al-Quran :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ
بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ
لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا فَلَمَّا
كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ
لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا
وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ
إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي
الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ
التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ ءَالُ
مُوسَى وَءَالُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً
لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ
إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي
وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ
فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ
ءَامَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ
قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ
قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا
صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ وَءَاتَاهُ اللَّهُ
الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ
النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ
عَلَى الْعَالَمِينَ (البقرة : 246-251)
Itulah
sebagian kecil pemikiran yang kisruh keliru dan sikap yang kacau balau, akibat
kesalahan fatal sebagian umat Islam dalam memposisikan ayat-ayat Al-Quran yang
memuat atau menginformasi-kan kisah-kisah umat sebelum mereka (قَصَصُ الأُمَّةِ مَنْ كَانَتْ قَبْلَهُمْ). Kekisruhan pemikiran dan sikap yang
kacau balau itulah yang selalu diupayakan untuk dihindari oleh اَلسَّلَفُ الصَّالِحُ yakni para fuqaha dan muj-tahidin
hingga abad ke-3 hijriyah. Upaya keras nan mulia mereka itu dirumuskan dalam
formulasi ushul fiqih yang digunakan sebagai rambu-rambu dan aturan main dalam
memahami dalil-dalil syara alias dalam membangun fiqih :
اُصُوْلُ
الْفِقْهِ هِيَ الْقَوَاعِدُ الَّتِيْ يُبْتَنَى عَلَيْهَا الْفِقْهُ وَاَمَّا
الْفِقْهُ هُوَ مَجْمُوْعَةُ الأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ الْفُرُوْعِيَّةِ
الْمُسْتَنْبَطَةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang mendasari dibangunnya
fiqih dan fiqih itu adalah kumpulan hukum-hukum amaliyah furu’iyyah yang digali
dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Sebagai contoh, memang benar seluruh yang tercantum dalam
Al-Quran adalah pasti (قَطْعِيًّا جَازِمًا) bera-sal dari
Allah SWT melalui wahyu kepada Nabi Muhammad saw, baik itu berupa ayat tentang
aqidah, syariah maupun kisah. Namun, ketika akan melakukan sesuatu berdasarkan
informasi Al-Quran terse-but (اَلْقِيَامُ
بِهِ),
maka wajib mengetahui apakah ada seruan (اَلْخِطَابُ) dari Allah SWT
dalam informasi itu yakni seruan untuk melakukan suatu perbuatan (يَعْمَلُ اَيَّ عَمَلٍ) atau seruan untuk meninggalkan suatu
perbuatan (يَتْرُكُ اَيَّ عَمَلٍ). Jika diketahui
ada seruan untuk melakukan suatu perbuatan maka harus dite-tapkan apakah itu
wajib, sunnah ataukah mubah, sedangkan jika diketahui ada seruan untuk
meninggal-kan suatu perbuatan maka harus ditetapkan apakah itu haram ataukah
makruh. Tegasnya, ketika sese-orang berhadapan dengan Al-Quran lalu dia
membacanya, maka yang wajib dia lakukan adalah meng-ambil hukum Allah SWT dari
proses pembacaannya tersebut dengan menggunakan dan mengimple-mentasikan
seluruh pengetahuan dia tentang ushul fiqih. Sehingga seiring dengan dia
selesai melaku-kan pembacaan terhadap Al-Quran, maka saat itu juga dia
memperoleh sebuah pemahaman tentang se-suatu fakta, hakikat, persoalan dan
sebagainya. Inilah yang dituntut oleh pernyataan Nabi Muhammad saw :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ
الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه البخاري)
“Sebaik-baik
kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya”
Makna اَلتَّعَلُّمُ adalah اَخْذُ الْعِلْمِ وَفَهْمُهُ لِلْعَمَلِ بِهِ (mengambil
ilmu dan memahaminya untuk dapat melakukan perbuatan berdasarkan ilmu tersebut),
sedangkan makna اَلتَّعْلِيْمُ adalah :
نَقْلُ الْعِلْمِ وَنَشْرُهُ اِلَى
سَائِرِ النَّاسِ ِلأَنْ يَّكُوْنُوْا فَاهِمِيْنَ عَنْهُ وَعَامِلِيْنَ بِهِ
Memindahkan ilmu dan menyebarluaskannya kepada seluruh
manusia supaya mereka memahaminya dan melakukan perbuatan berdasarkan ilmu
tersebut.
Realitas kewajiban itulah yang digambarkan secara detil
dalam pernyataan Rasulullah saw :
نَضَّرَ
اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ
حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ
قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ
وَرَائِهِمْ (رواه الترمذي)
“Allah pasti
memuliakan seseorang yang telah mendengar perkataanku lalu memahaminya,
mengha-palkannya dan menyampaikannya. Maka sangat sering kejadian seorang
pengemban fiqih menyampai-kan fiqih itu kepada yang lebih faqih dari dirinya.
Ada tiga sikap manusia yang tidak akan pernah terkacaukan yakni aqal seorang
muslim yang ikhlas perbuatannya karena kesadaran dirinya kepada Allah, yang
menasihati para penguasa kaum muslim dan yang selalu menyatukan diri dengan
jamaah mereka (kaum muslim). Maka dakwah itu disebarluaskan dari belakang
mereka (para penguasa)”.
Sikap
قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ, مُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ dan لُزُومُ
جَمَاعَتِهِمْ seluruhnya hanya dapat terwujud de-ngan sempurna jika didahului
oleh aktivitas aqliyah berupa سَمِعَ
مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا. Oleh karena itu, kekisruhan
pemikiran dan kekacauan sikap sebagian besar kaum muslim akibat kesalahan fatal
mereka dalam memposisikan ayat-ayat Al-Quran yang memuat kisah-kisah umat di
masa sebelum Islam akan dapat dihindari jika mereka mampu mewujudkan : اَلْفِكْرُ قَبلَ الْعَمَلِ (berpikir sebelum berbuat) :
1.
kisah Ashabul Kahfi
dalam surat Al-Kahfi dimulai pada ayat ke 9 dan ditutup oleh ayat ke 26. Lalu
seruan (اَلْخِطَابُ) yang dimaksudkan oleh Allah SWT
dengan pengkisahan tersebut adalah ditunjuk-kan oleh ayat 30 (إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا
نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا) dan realitas seruan inilah pula yang
menjadi sikap Ashabul Kahfi sendiri seperti yang diungkap oleh ayat 13 :
نَحْنُ
نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ ءَامَنُوا بِرَبِّهِمْ
وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
Jadi, seruan wajib kepada umat Islam yang ditunjukkan oleh ayat-ayat
rangkaian kisah Ashabul Kahfi adalah ءَامَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ dan sama sekali bukan seruan untuk
menjelma sebagai sekelom-pok orang secara eksklusif lalu mengasingkan diri (اَلإِعْتِزَالُ) di dalam Al-Kahfi seperti yang telah
di-lakukan oleh sekelompok pemuda pemeluk syariah Nabi Isa as tersebut :
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا
يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ
مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا (الكهف : 16)
2.
realitas بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ adalah gambaran pasti dari negeri
tempat bermukimnya Kaum Saba dan ini dipastikan oleh bagian لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ dari surat Saba
ayat 15. Bahkan maksud dari ungkapan بَلْدَةٌ
طَيِّبَةٌ juga dipertelakan dengan pasti oleh bagian جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ, sedangkan
realitas dari ungkapan رَبٌّ غَفُورٌ ditunjukkan oleh
bagian وَاشْكُرُوا لَهُ. Jadi negeri tempat tinggal Kaum Saba
adalah بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ dan karena mereka melaksanakan
perintah وَاشْكُرُوا لَهُ, maka me-reka pun memperoleh رَبٌّ غَفُورٌ. Oleh karena itu dalam kisah ini sama
sekali tidak ada seruan apa pun kepada umat Islam selain gambaran tentang
perilaku Kaum Saba berikut negerinya yang sangat indah bagus, sehingga harus
dikembalikan kepada ayat umum :
لَقَدْ
كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا
يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ
وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (يوسف : 111)
“sungguh telah ada ibrah dalam
kisah-kisah mereka (umat yang lalu) bagi kaum yang beraqal. Itu semua bukanlah
ceritera yang dibuat buat melainkan sebagai pembenar bagi Al-Quran dan
perin-cian bagi segala sesuatu serta hudan dan rahmah bagi kaum yang beriman”.
Imam Al-Qurthubiy menjelaskan realitas عِبْرَةٌ sebagai فِكْرَةٌ وَتَذَكُّرَةٌ
وَعِظَّةٌ (pemikiran dan peringatan serta panduan).
3.
ungkapan وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا adalah sebagian nasihat kaum Qarun
kepada dirinya dan realitas ini sangat jelas dalam pernyataan Allah SWT : …… إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ. Oleh karena itu, seruan tersebut
hanya berlaku bagi diri Qarun dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan umat
Islam, sebab dalam kisah dialog antara Qarun dan kaumnya tersebut tidak
ditemukan adanya lafadz umum. Jadi tidak diragukan lagi, mulai dari bagian ayat
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى hing-ga إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ adalah sepenuhnya hanya berhubungan
dengan dan berlaku bagi sosok Qarun, tidak bagi manusia
lainnya baik pada masa itu (kaum Qarun sendiri) maupun apalagi bagi umat Islam.
Lalu untuk apa kisah itu disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran? Jawabannya
adalah kembali kepada maksud umum yang ditunjukkan oleh Surat Yusuf ayat 111,
yakni عِبْرَةٌ.
4.
seruan لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ
عَذَابِي لَشَدِيدٌ adalah khusus bagi Bani Israil ketika masih dipim-pin oleh Nabi
Musa as sesaat setelah mereka dibebaskan dari cengkeraman kekejian Keluarga
Fir-’aun. Inilah yang dipastikan oleh bagian awal dari ayat ke 6 : وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ. Lalu karena tidak didapati adanya
lafadz umum yang memberikan faedah berlakunya seruan secara umum bagi siapa
saja, maka umat Islam tidak boleh menggunakan kedua ayat tersebut (Ibrahim 6
sampai 7) sebagai dalil tentang kewajiban bersyukur. Dalil yang menunjukkan kewajiban
bersikap syukur bagi umat Islam adalah pernyataan Allah SWT :
إِنْ
تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ (الزمر : 7)
5.
ayat terakhir dari
surat Adh-Dhuha tidak boleh (haram) diposisikan secara tersendiri (اِنْفِرَادًا), sebab keseluruhan ayat yang ada
dalam surat tersebut adalah satu kesatuan yang utuh yakni berkenaan de-ngan
realitas Nabi Muhammad saw sejak sebelum diangkat jadi Nabi (manusia biasa)
hingga beliau berstatus sebagai Rasulullah. Lalu, apa yang dimaksudkan dengan بِنِعْمَةِ رَبِّكَ? Realitas بِنِعْمَةِ
رَبِّكَ
dapat dipahami dengan memperhatikan surat Adh-Dhuha sejak ayat ke 6 hingga ke 8
yakni :
أَلَمْ
يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى(6) وَوَجَدَكَ
ضَالًّا فَهَدَى(7) وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى(8)
Jadi, keadaan
Muhammad yang يَتِيمًا فَآوَى dan ضَالًّا فَهَدَى dan عَائِلًا
فَأَغْنَى
adalah نِعْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ
وَحْدَهُ (nikmat
Allah yang diberikan hanya kepada beliau), sehingga perintah Allah SWT :
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ(9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا
تَنْهَرْ(10) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ(11)
adalah khusus bagi beliau saja dan tidak berlaku bagi umat
Islam, sebab penyebutan diri beliau se-cara tersendiri dalam bentuk اَلضَّمِيْرُ لِلْمُخَاطَبِ (kata ganti untuk orang kedua tunggal
laki-laki) yakni : وَدَّعَكَ رَبُّكَ, لَكَ, يُعْطِيكَ رَبُّكَ, يَجِدْكَ, وَوَجَدَكَ, فَلَا تَقْهَرْ, فَلَا
تَنْهَرْ dan فَحَدِّثْ adalah dalil
pengkhusus (اَلتَّخْصِيْصُ) yang memastikan
bahwa seruan tersebut hanya bagi pribadi Rasulullah saw dan tidak bagi umat
Is-lam. Kaidah ushul menyatakan : خِطَابٌ
لِلرَّسُوْلِ خِطَابٌ ِلأُمَّتِهِ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ (seruan
kepada Rasul adalah seruan bagi umatnya juga selama tidak ada dalil yang
mengkhususkan seruan itu bagi Ra-sul saja). Oleh karena itu, umat Islam
haram menggunakan ayat وَأَمَّا
بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ sebagai dalil bagi kebiasaan lokal
“kendurian atau selamatan atau syukuran” yang biasa dilakukan oleh umat Is-lam
di tanah Jawa saat mereka memperoleh sesuatu terutama harta atau jabatan atau
kedudukan dengan istilah yang juga sangat salah اَلتَّحَدُّثُ
بِالنِّعْمَةِ karena ama sekali tidak sesuai dengan fakta dari ungkapan اَلتَّحَدُّثُ maupun اَلنِّعْمَةُ.
6.
surat Al-Baqarah 246 -
251 menyampaikan kisah tentang pemikiran dan sikap Bani Israil sepening-gal
Nabi Musa as dan mereka masih dipimpin oleh seorang Nabi (إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ). Mereka minta ke-pada Nabi tersebut
agar mengangkat seorang raja yang akan memimpin mereka berperang membela agama
Allah SWT (ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ). Walau Nabi tersebut sangat ragu dengan keserius-an dan
kesungguhan mereka (قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا) karena selama ini mereka sangat
sering bahkan selalu maksiat, menyalahi janji dan mengingkari ucapan mereka
sendiri, tetapi ternyata permintaan tersebut tetap dipenuhi oleh Allah SWT
yakni dengan diangkatnya Thalut se-bagai Raja bagi mereka (وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ
طَالُوتَ مَلِكًا). Lalu seperti biasa, ketika mereka mendapati ketetapan Allah
SWT tersebut segera saja mereka menolaknya dengan argumen bahwa sosok Thalut
adalah sangat tidak pantas menjadi Raja dan merekalah yang lebih berhak untuk
kedu-dukan itu. Demikianlah seterusnya kisah tersebut hingga akhirnya sebagian
sangat kecil dari mere-ka (قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ
أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً
بِإِذْنِ اللَّهِ) ikut berperang di bawah komando Raja Thalut dan saat itu Dawud
muda (belum diangkat jadi Nabi) berhasil membunuh Raja Jalut dengan tangannya
sendiri (وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ). Kisah tersebut
seluruhnya diakhiri dengan pernyataan Allah SWT pada ayat 252 yang memastikan
kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul :
تِلْكَ
ءَايَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
(البقرة : 252)
Artinya, seluruh kisah Bani Israil pasca Nabi Musa tersebut disampaikan
kepada Nabi Muhammad saw karena memang beliau adalah bagian dari jajaran para
Rasul, sehingga wajar sekali mempero-leh wahyu dari Allah SWT termasuk yang berkenaan
dengan kisah tersebut. Sehingga seharusnya dan sepantasnya, Kaum Yahudi dan
Nashara yang menyaksikan kehadiran Nabi Muhammad saw serta mendengar kisah yang
disampaikan oleh beliau dan itu adalah sangat mereka ketahui dari le-luhur
mereka sendiri turun temurun, beriman kepada Nubuwwah dan Risalah beliau saw
dan lalu meninggalkan agama mereka yang telah usang dan telah diakhiri masa
pemberlakuannya oleh Allah SWT seiring dengan ditetapkannya Nabi Muhammad saw
sebagai Rasul terakhir bagi kehi-dupan manusia di dunia. Itulah mengapa ayat
252 yang memastikan kedudukan Nabi Muhammad saw itu langsung diikuti oleh ayat
253 yang juga mempertelakan status para Rasul sebelum beliau :
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ
دَرَجَاتٍ وَءَاتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ
بِرُوحِ الْقُدُسِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ
مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ
ءَامَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ
اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ (البقرة : 253)
Jadi, dalam kisah yang panjang dan cukup rinci tersebut tidak didapati
adanya seruan dari Allah SWT untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan
sesuatu baik kepada Nabi Muhammad saw sendiri maupun apalagi kepada
umat Islam. Seluruhnya disampaikan dalam Al-Quran hanya untuk memberikan
gambaran (عِبْرَةٌ) tentang kekisruhan pemikiran dan
kekacauan sikap Bani Israil yang sangat sulit diperbaiki walau oleh para Nabi
sekali pun. Hal itu karena mereka telah menjadikan ke-pentingan naluriahnya (اَهْوَاءُهُمْ) sebagai Tuhan yang memiliki otoritas
untuk memutuskan hukum (halal maupun haram). Allah SWT menyatakan :
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ
وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ
الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ
الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (البقرة : 120)
Oleh karena itu, dijadikannnya kisah tersebut sebagai dalil
(دَلِيْلٌ) oleh Majelis Persiapan Pembeba-san Darrul Islam maupun Sekretariat
Negara Daulah Islamiyah Markas Imamah (Adi SMK) dan lainnya yang serupa
dengan mereka untuk merumuskan konsep maupun aksi pembebasan negara terjajah
(NII) adalah kesalahan yang sangat fatal sebab :
a.
kisah tersebut
berlangsung di masa sebelum Islam yakni pada masa Bani Israil sepeninggal Na-bi
Musa as dan sebelum diutusnya Nabi Isa as kepada mereka, sehingga syariah yang
berlaku implementatif dalam kisah itu adalah hanya berlaku bagi mereka saja dan
tidak bagi umat Is-lam. Para fuqaha dan mujtahidin merumuskan hal itu dalam
kaidah :
شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا لَيْسَ
شَرْعًا لَنَا
“syariah orang-orang sebelum kita
adalah bukan syariah bagi kita”
rumusan kaidah tersebut ditetapkan berdasarkan dalil :
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا
تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ
شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى
اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ
تَخْتَلِفُونَ (المائدة : 48)
b.
tidak ada seruan Allah
SWT apa pun (خِطَابُ الشَّارِعِ) dalam kisah
tersebut baik untuk يَعْمَلُ اَيَّ عَمَلٍ maupun يَتْرُكُ اَيَّ عَمَلٍ, baik kepada Rasulullah saw sendiri
maupun apalagi kepada umat Islam. Padahal yang dimaksud dengan hukum syara’ (اَلْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ) adalah :
خِطَابُ الشَّارِعِ الْمَتَعَلَّقُ
بِأَفْعَالِ الْعِبَادِ
Sehingga karena tidak ada خِطَابُ
الشَّارِعِ yang dimaksudkan, maka kisah tersebut adalah haram
diposisikan sebagai dalil untuk suatu konsep pemikiran maupun rumusan
aksi/tindakan/perbu-atan apa pun (ibadah, muamalah, akhlaq, siasayah, daulah,
harakah dan sebagainya).
c.
dengan tidak didapati
adanya خِطَابُ الشَّارِعِ dalam kisah tersebut maka secara
otomatis tidak ada tuntutan apa pun (لَيْسَ
فِيْهَا اَيُّ طَلَبٍ) kepada umat Islam, baik itu طَلَبًا
جَازِمًا لِلْفِعْلِ, طَلَبًا غَيْرَ جَازِمٍ لِلْفِعْلِ, طَلَبً جَازِمًا لِلتَّرْكِ, طَلَبًا
غَيْرَ جَازِمٍ لِلتَّرْكِ maupun طَلَبَ
التَّخْيِيْرِ. Sehingga kisah tersebut wajib dikembali-kan
kepada posisi orisinalnya yakni sebagai عِبْرَةٌ alias فِكْرَةٌ وَتَذَكُّرَةٌ وَعِظَّةٌ.
d.
dalam persoalan ini tidak
layak, tidak pantas dan haram memiliki anggapan bahwa yang
penting adalah melakukan sesuatu (gerakan) untuk Islam dan yang lebih penting
lagi ada-lah kemenangan itu sendiri! Ini adalah pemikiran yang
bertentangan dengan semua dalil da-lam Islam baik Al-Quran maupun As-Sunnah
juga Ijma Sahabat, antara lain :
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (الأحزاب : 21)
وَمَا
ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الإسراء : 36)
Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ
عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
Adapun Ijma Sahabat adalah berupa kesepakatan mereka terutama dalam
pergantian Khalifah yang terjadi sepanjang kekuasaan Khulafa Rasyidun.
Wal
hasil, ada benarnya juga (karena sesuai dengan realitas umat Islam saat ini)
bila para ulama pernah mengharamkan penterjemahan Al-Quran ke dalam bahasa
lain, selain Bahasa Arab. Sekali lagi, pemi-kiran tersebut adalah sahih
karena fakta memastikan bahwa terjadinya kekisruhan pemikiran dan
keka-cauan sikap kaum muslim saat ini adalah akibat kesombongan mereka (كِبْرُهُمْ) yang beranggapan bah-wa yang penting mengerti maksud
dari ayat maupun hadits, tidak harus menggunakan Bahasa Arab. Padahal
Allah SWT telah memastikan bahwa untuk dapat memahami maksud Allah SWT dalam
Al-Quran itu harus melalui media Bahasa Arab :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا
عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2)
“Sungguh Kami
(Allah) telah menurunkannya (Al-Quran itu) sebagai Quran berbahasa Arab supaya
kalian tetap memfungsikan aqal kalian”.
كِتَابٌ فُصِّلَتْ ءَايَاتُهُ
قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (فصلت : 3)
“Itu adalah
sebuah Kitab yang telah dirinci ayat-ayatnya sebagai Quran berbahasa Arab bagi
kaum yang memiliki informasi (tentang Al-Quran itu)”
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ
يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ
أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ (النحل : 103)
“Dan sungguh Kami (Allah) mengetahui bahwa
mereka (kaum kufar) pada berkata hanya sesungguh-nya ada seorang laki-laki yang
mengajarkan (Al-Quran itu) kepadanya (Muhammad), padahal lisan (ucapan) orang
itu adalah bahasa yang biasa diungkapkan oleh orang-orang ‘Azam (non Arab). Dan
ini (Al-Quran) adalah Lisan Arab yang sesungguhnya”.
Faqih
adalah kewajiban setiap muslim
Seorang
faqih dalam Islam (اَلْفَاقِهُ فِيْ الدِّيْنِ) atau اَلْفُقَهَاءُ فِيْ الدِّيْنِ adalah dia atau mereka
yang sangat memahami betul seluruh ketentuan Allah SWT langsung dari sumbernya
(Al-Quran dan As-Sunnah), sehingga seluruh pemikiran maupun sikapnya selalu
terjaga dan terjamin tidak menyimpang atau me-nyalahi ketentuan Allah SWT
tersebut. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
فَقِيهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى
الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ (رواه ابن ماجه)
“satu orang yang sangat memahami Islam
adalah sangat lebih berat bagi syetan daripada seribu orang ‘abid”
Khalifah Umar bin Khaththab menyatakan :
لَمَوْتُ اَلْفِ عَابِدٍ قَائِمُ
اللَّّيْلِ صَائِمُ النَّهَارِ اَهْوَنُ مِنْ مَوْتِ الْعَاقِلِ الْبَصِيْرِ
بِحَلاَلِ اللهِ وَحَرَامِهِ
“sungguh
kematian seribu orang ‘abid yang selalu shalat di malam hari dan shaum di siang
hari adalah lebih ringan daripada kematian satu orang ‘aqil yang sangat
memahami halal dan haramnya Allah”.
Ketika seorang muslim telah terwujud dalam dirinya realitas
tersebut (اَلْفَقِيْهُ فِيْ الدِّيْنِ), maka dia telah
me-laksanakan kewajiban Islaminya yakni mengetahui hukum syara’ yang harus
dilaksanakan oleh dirinya selama dia hidup di dunia. Inilah yang dimaksudkan
oleh para fuqaha :
مَعْرِفَةُ
الْمُسْلِمِ الأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ الَّتِيْ تُلْزِمُهُ فِيْ حَيَاتِهِ
فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ لأَنَّهُ مَأْمُوْرٌ بِأَنْ يَقُوْمَ
بِأَعْمَالِهِ حَسَبَ اَحْكَامِ الشَّرْعِ
“pengetahuan
seorang muslim tentang hukum syara’ yang harus dia laksanakan dalam
kehidupannya adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, karena dia diperintahkan
untuk melakukan perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum syara’ tersebut”.
Rumusan
pemikiran tersebut digali dari berbagai dalil yang menunjukkan hal tersebut,
antara lain ada-lah sejumlah pernyataan Rasulullah saw berikut :
مَثَلُ مَا
بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ
أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ
الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ
الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا
وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً
وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ
مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ
بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ (رواه
البخاري)
“perumpamaan hidayah dan ilmu yang telah
Allah mengutus diriku dengan membawa keduanya ada-lah seperti hujan deras yang
menimpa bumi. Sebagian bumi itu ada yang subur dapat menerima air la-lu
menumbuhkan tanaman dan pepohonan yang sangat banyak. Sebagian bumi lainnya
adalah berbu-kit dapat menahan air lalu Allah memberikan manfaat dengan bagian
bumi itu kepada manusia, maka mereka dapat meminumnya, menyirami tanaman dan
bercocok tanam. Bagian lainnya dari bumi ha-nyalah berupa tanah yang tandus,
tidak dapat menahan air dan tidak juga dapat menumbuhkan tana-man maupun
pepohonan. Demikian jugalah perumpamaan seseorang yang memahami agama Allah dan
dia memanfaatkan segala perkara yang Allah telah mengutus diriku dengan
membawanya, lalu dia pun mempelajarinya dan mengajarkannya, dengan seseorang
yang sama sekali tidak dapat meningkat-kan kedudukan dirinya dengan itu semua
secara langsung dan dia pun tidak bersedia menerima hida-ah Allah yang telah
aku bawa seiring dengan diutusnya diriku”.
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ
مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ
إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ (رواه
الترمذي)
“Allah
pasti memuliakan seseorang yang telah mendengar dari kami sebuah hadits lalu
dia mengha-palkannya hingga menyampaikannya kepada orang lain. Maka sangat
sering kejadian seorang peng-emban fiqih menyampaikan fiqih itu kepada yang
lebih faqih dari dirinya dan sangat sering kejadian seorang pengemban fiqih pada
kenyataannya dia sama sekali bukan orang yang faqih”.
نَضَّرَ
اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ
حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ
قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ
وَرَائِهِمْ (رواه الترمذي)
“Allah
pasti memuliakan seseorang yang telah mendengar perkataanku lalu memahaminya,
mengha-palkannya dan menyampaikannya. Maka sangat sering kejadian seorang
pengemban fiqih menyampai-kan fiqih itu kepada yang lebih faqih dari dirinya.
Ada tiga sikap manusia yang tidak akan pernah terkacaukan yakni aqal seorang
muslim yang ikhlas perbuatannya karena kesadaran dirinya kepada Allah, yang
menasihati para penguasa kaum muslim dan yang selalu menyatukan diri dengan
jamaah mereka (kaum muslim). Maka dakwah itu disebarluaskan dari belakang
mereka (para penguasa)”.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ
بِعَبْدٍ خَيْرًا فَقَّهَهُ فِي الدِّينِ (رواه احمد)
“jika Allah berkehendak keadaan khair kepada
seorang hamba, maka Dia akan menjadikannya faqih dalam Islam”
خِيَارُ
النَّاسِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقِهُوا (رواه
احمد)
“sebaik-baik manusia pada masa jahiliyah
adalah sebaik-baik mereka pada masa Islam jika mereka faqih (saat dalam Islam)”
عَنْ
الْحَسَنِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
رَجُلَيْنِ كَانَا فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ أَحَدُهُمَا كَانَ عَالِمًا يُصَلِّي
الْمَكْتُوبَةَ ثُمَّ يَجْلِسُ فَيُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَالْآخَرُ يَصُومُ
النَّهَارَ وَيَقُومُ اللَّيْلَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ هَذَا الْعَالِمِ الَّذِي يُصَلِّي
الْمَكْتُوبَةَ ثُمَّ يَجْلِسُ فَيُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ عَلَى الْعَابِدِ
الَّذِي يَصُومُ النَّهَارَ وَيَقُومُ اللَّيْلَ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ
رَجُلًا (رواه الدارمي)
“dari Al-Hasan berkata, telah ditanya
Rasulullah saw tentang dua orang yang hidup pada masa Bani Israil, salah
satunya adalah seorang ‘alim yang melaksanakan shalat wajib, lalu dia duduk
untuk me-ngajarkan Islam kepada manusia. Satu orang lainnya adalah biasa shaum
di siang hari dan shalat di malam hari, manakah di antara mereka berdua yang
paling unggul? Rasulullah saw menjawab : ‘ke-unggulan orang ‘alim itu yang
melaksanakan shalat wajib, lalu dia duduk untuk mengajarkan Islam kepada
manusia atas ‘abid yang biasa shaum di siang hari dan shalat di malam hari
adalah seperti ke-unggulan diriku atas seseorang yang paling rendah
kedudukannya di antara kalian”.
Khatimah
Kekisruhan pemikiran dan
kekacauan sikap umat Islam saat ini dan itu telah berlangsung sangat lama yakni
sejak masa Khalifah Muawiyah (tahun 40 H / 661 M) dan mencapai puncaknya ketika
masa Khalifah Abdul Hamid II, adalah akibat mereka telah meninggalkan kewajiban
Islami individualnya yakni menjelmakan diri sebagai muslim yang اَلْفَقِيْهُ فِيْ الدِّيْنِ.
Oleh karena itu secara
orang per orang umat Islam (فَرْدِيَّةً), yang harus
segera dikembalikan adalah membina mereka supaya berada lagi pada posisi اَلْفَقِيْهُ فِيْ الدِّيْنِ, sehingga kewajiban mereka secara
ber-sama-sama (جَمَاعَةً) yakni
menegakkan kembali Khilafah Islamiyah agar kehidupan manusia di dunia kembali
sepenuhnya Islami, dapat mereka laksanakan dengan sesempurna dan secepat
mungkin. Jika ti-dak demikian maka yang akan terjadi justru sebaliknya, yakni
seiring dengan waktu umat Islam akan semakin meninggalkan Islam dan sikap itu
jelas diharamkan atas mereka. Rasulullah saw menyatakan dengan
gamblang :
لَيُنْقَضَنَّ
عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ
النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ
الصَّلَاةُ (رواه احمد)
No comments:
Post a Comment