Monday, November 11, 2013

اَلْفَقِيْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَاجِبٌ


Kekisruhan seputar kisah-kisah dalam Al-Quran
Al-Quran  yang ada di tengah-tengah umat Islam saat ini adalah sama persis identik dengan Al-Quran 1443 tahun yang lalu, yakni susunan mushafnya (رَسْمُ مُصْحَفِهِ) dimulai dengan Surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan An-Naas. Perbedaan yang pasti antara keberadaan Al-Quran pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup bersama para sahabat dengan saat ini adalah :
1.       ketika Rasulullah saw masih berada di dunia, para sahabat memahami Al-Quran dengan dua cara yakni : (a) mempergunakan kemampuan mereka dalam berbahasa Arab (لِسَانُ الْعَرَبِ) dan (b) ber-tanya langsung kepada Nabi Muhammad saw berkenaan dengan maksud suatu kata (اَلْكَلِمَةُ), kalimat (اَلْجُمْلَةُ), istilah (اَلإِصْطِلاَحُ) maupun realitas (اَلْحَقِيْقَةُ) yang diungkap atau ditunjukkan oleh ayat-ayat Al-Quran.
2.       sedangkan saat ini, umat Islam hanya dapat memahami Al-Quran dari kemampuan mereka dalam berbahasa Arab dibantu dengan berbagai penjelasan para fuqaha, mujtahidin maupun mufassir me-lalui karya-karya mereka yang berwujud kitab fiqih, ushul fiqih, tafsir dan sebagainya. Bantuan itu pun dapat digunakan saat ini hanya bila realitas atau persoalan alias objek hukum (مَنَاطُ الْحُكْمِ) yang ada kini adalah sama dengan yang terjadi di masa itu. Sehingga yang harus dilakukan oleh umat Is-lam sekarang hanya penerapan hukum atas objek hukum yang sama (تَحْقِيْقُ الْمَنَاطِ). Namun bila reali-tas atau persoalan alias objek hukum yang ada saat ini adalah sama sekali berbeda dengan di masa lalu, maka yang harus dilakukan oleh umat Islam adalah lebih berat dan rumit yakni harus menggali hukum (اَلإِسْتِنْبَاطُ) langsung dari Al-Quran dan As-Sunnah dengan metode ijtihad untuk kemudian diterapkan kepada realitas atau persoalan (objek hukum) yang tengah dihadapi.
Oleh karena itu, kesepakatan para ulama (fuqaha dan mujtahidin) tentang فَالعِلْمُ لاَبُدَّ اَنْ يَكُوْنَ مَنْقُوْلاً (ilmu itu haruslah bertaut berangkai perpidahannya) adalah benar adanya, sebab fakta memastikan bahwa hanya Rasulullah saw dan para sahabat beliau saja yang diberi kesempatan untuk bertanya lang-sung kepada Allah SWT tentang maksud suatu kata (اَلْكَلِمَةُ), kalimat (اَلْجُمْلَةُ), istilah (اَلإِصْطِلاَحُ) maupun realitas (اَلْحَقِيْقَةُ) yang diungkap atau ditunjukkan oleh ayat-ayat Al-Quran. Dengan kata lain mereka di-beri ijin untuk bertanya tentang maksud Allah SWT (مَقْصَدُ اللهِ) yang ada dalam pernyataan Nya (كَلاَمُهُ) yang diturunkan melalui Jibril as kepada Nabi Muhammad saw. Sementara itu, seiring dengan berak-hirnya periode wahyu untuk selamanya yang dipastikan dengan wafatnya Rasulullah saw maka sejak saat itu manusia mana pun termasuk para sahabat tidak diijinkan lagi bertanya langsung kepada Allah SWT, melainkan dicukupkan memahami maksud Allah SWT melalui teks literal (كَلاَمُهُ) yang bersifat langsung yakni Al-Quran dan yang tidak langsung yakni As-Sunnah. Realitas itulah yang mengharus-kan terjadinya keterpautan dan kesinambungan estafeta (perpindahan) informasi (مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ) tentang Is-lam dari generasi ke generasi dengan tumpuan utama dan satu-satunya adalah mushaf Al-Quran dan kitab-kitab yang memuat As-Sunnah. Tegasnya, seluruh informasi tentang Islam itu wajib dapat diper-tanggungjawabkan yakni dapat dibuktikan memang berasal dari sumbernya yang asli (Rasulullah saw), baik yang berupa Al-Quran maupun As-Sunnah berikut seluruh penjelasan yang ada dalam berbagai karya ulama di masa lalu : ushul fiqih, fiqih, tafsir, mushthalah hadits dan sebagainya. Inilah yang sangat tergambar jelas dalam perpindahan sebuah pernyataan Rasulullah saw (hadits) mulai dari sanad paling tinggi (مُنْتَهَاءُ الإِسْنَادِ) yakni generasi sahabat lalu ke generasi tabi’in, lalu ke tabi’it tabi’in dan ber-akhir di para pengeluar hadits (مُخْرِجُوْ الْحَدِيْثِ), seperti Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan la-innya. Demikian juga dalam sebuah madzhab fiqih selalu terjadi proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ dari Imam Madzhab misal Asy-Syafi’i kepada para mujtahid maupun non mujtahid yang ada dalam naungan madzhab terse-but (اَلشَّافِعِيَّةُ) secara bertautan tanpa putus.
Proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ selalu dipertahankan dan merupakan kewajiban seluruh umat Islam untuk mem-pertahankannya demi terjaganya kemurnian dan keotentikan sumber-sumber Islam berikut semua pemi-kiran Islami yang muncul atau digali dari sumber-sumber tersebut. Selain itu dengan selalu menjaga proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ tersebut, maka secara otomatis dapat dihindari semaksimal mungkin keterlibatan ke-pentingan naluriah manusia (اَهْوَاءُ النَّاسِ) dalam penggalian maupun penetapan حُكْمُ اللهِ yang akan diber-lakukan terhadap kehidupan manusia di dunia. Namun, walau demikian ketat dan disiplinnya proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ tersebut, ternyata pentas sejarah Dunia Islam mencatat ada saja segelintir umat Islam yang lebih mengedepankan dan memenangkan اَهْوَاءُهُمْ daripada kejernihan aqalnya, seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Washil bin Atha, Jahm bin Sofwan, Al-Farabiy dan sebagainya, sehingga mereka justru menjadi sosok manusia yang merusak kemurnian pemikiran Islami itu sendiri. Jadi, sangat sulit dibayangkan kekisruhan, kekacauan dan kerusakan seperti apakah yang akan terjadi bila proses مَنْقُوْلُ الْخَبَرِ tidak di-berlangsungkan dengan ketat dan disiplin.
Pernyataan kami tidak bermadzhab dan tidak akan bertaqlid yang disuarakan lantang oleh ke-lompok yang mengklaim diri sebagai pembaharu seperti Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, pengikut Jamaluddin Al-Afghaniy, Wahabi, kelompok Al-Maududi dan sebagainya, adalah awal dari kekisruh-an, kekacauan dan kerusakan bangunan pemikiran Islami yang saat ini telah sangat parah keadaannya. Keadaan mengerikan tersebut terjadi di semua arena pemikiran Islami baik itu fiqih, politik, ekonomi, negara, ideologi bahkan Bahasa Arab sendiri. Demikian juga pernyataan yang sangat salah segalanya harus ada ayatnya dalam Al-Quran atau haditsnya, menunjukkan dengan pasti bahwa yang mengu-capkannya adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengerti posisi Al-Quran dan As-Sunnah seba-gai دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ. Pernyataan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah adalah bentuk lainnya dari kekis-ruhan pemikiran sehubungan dengan posisi Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber hukum dalam Is-lam atau sebagai sumber hukum Islam. Hal itu karena, ucapan tersebut seakan memastikan bahwa sela-ma ini umat Islam termasuk para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in telah meninggalkan kedua sumber hukum tersebut. Ungkapan lain yang tidak kalah kelirunya adalah kan ada dalam Al-Quran atau da-lam hadits. Ucapan seperti itulah yang telah mengantarkan banyak orang kepada kekeliruan yang sa-ngat fatal dalam memposisikan kisah-kisah umat sebelum umat Islam yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran. Sebagai contoh :
1.       kemunculan kelompok umat Islam yang menamakan diri sebagai Ashabul Kahfi dengan melandas-kan keberadaan mereka kepada kisah Ashabul Kahfi yang diungkapkan dalam Surat Al-Kahfi :
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ ءَايَاتِنَا عَجَبًا (الكهف : 9)
2.       munculnya anggapan sehubungan dengan konsep negara yang ideal : بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ, berdasarkan ayat Al-Quran :
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (سبأ : 15)
3.       adanya anggapan keseimbangan antara dunia dan akhirat berdasarkan ayat Al-Quran :
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَءَاتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (القصص : 76-77)
4.       adanya anggapan jika bersyukur akan ditambah nikmat berdasarkan ayat Al-Quran :
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ أَنْجَاكُمْ مِنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ وَيُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (ابراهيم : 6-7)
5.       munculnya anggapan tentang اَلتَّحَدُّثُ بِالنِّعْمَةِ berdasarkan ayat Al-Quran :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (الضحى : 11)
6.       munculnya konsep pembebasan negara terjajah (Negara Islam Indonesia/NII) pada kelompok peca-han dari DI (Darul Islam) : Majelis Persiapan Pembebasan Darrul Islam maupun Sekretariat Ne-gara Daulah Islamiyah Markas Imamah (Adi SMK), berdasarkan ayat Al-Quran :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ ءَالُ مُوسَى وَءَالُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ فَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ فَهَزَمُوهُمْ بِإِذْنِ اللَّهِ وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ وَءَاتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَفَسَدَتِ الْأَرْضُ وَلَكِنَّ اللَّهَ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْعَالَمِينَ (البقرة : 246-251)
Itulah sebagian kecil pemikiran yang kisruh keliru dan sikap yang kacau balau, akibat kesalahan fatal sebagian umat Islam dalam memposisikan ayat-ayat Al-Quran yang memuat atau menginformasi-kan kisah-kisah umat sebelum mereka (قَصَصُ الأُمَّةِ مَنْ كَانَتْ قَبْلَهُمْ). Kekisruhan pemikiran dan sikap yang kacau balau itulah yang selalu diupayakan untuk dihindari oleh اَلسَّلَفُ الصَّالِحُ yakni para fuqaha dan muj-tahidin hingga abad ke-3 hijriyah. Upaya keras nan mulia mereka itu dirumuskan dalam formulasi ushul fiqih yang digunakan sebagai rambu-rambu dan aturan main dalam memahami dalil-dalil syara alias dalam membangun fiqih :
اُصُوْلُ الْفِقْهِ هِيَ الْقَوَاعِدُ الَّتِيْ يُبْتَنَى عَلَيْهَا الْفِقْهُ وَاَمَّا الْفِقْهُ هُوَ مَجْمُوْعَةُ الأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ الْفُرُوْعِيَّةِ الْمُسْتَنْبَطَةِ مِنْ اَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Ushul fiqih adalah kaidah-kaidah yang mendasari dibangunnya fiqih dan fiqih itu adalah kumpulan hukum-hukum amaliyah furu’iyyah yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Sebagai contoh, memang benar seluruh yang tercantum dalam Al-Quran adalah pasti (قَطْعِيًّا جَازِمًا) bera-sal dari Allah SWT melalui wahyu kepada Nabi Muhammad saw, baik itu berupa ayat tentang aqidah, syariah maupun kisah. Namun, ketika akan melakukan sesuatu berdasarkan informasi Al-Quran terse-but (اَلْقِيَامُ بِهِ), maka wajib mengetahui apakah ada seruan (اَلْخِطَابُ) dari Allah SWT dalam informasi itu yakni seruan untuk melakukan suatu perbuatan (يَعْمَلُ اَيَّ عَمَلٍ) atau seruan untuk meninggalkan suatu perbuatan (يَتْرُكُ اَيَّ عَمَلٍ). Jika diketahui ada seruan untuk melakukan suatu perbuatan maka harus dite-tapkan apakah itu wajib, sunnah ataukah mubah, sedangkan jika diketahui ada seruan untuk meninggal-kan suatu perbuatan maka harus ditetapkan apakah itu haram ataukah makruh. Tegasnya, ketika sese-orang berhadapan dengan Al-Quran lalu dia membacanya, maka yang wajib dia lakukan adalah meng-ambil hukum Allah SWT dari proses pembacaannya tersebut dengan menggunakan dan mengimple-mentasikan seluruh pengetahuan dia tentang ushul fiqih. Sehingga seiring dengan dia selesai melaku-kan pembacaan terhadap Al-Quran, maka saat itu juga dia memperoleh sebuah pemahaman tentang se-suatu fakta, hakikat, persoalan dan sebagainya. Inilah yang dituntut oleh pernyataan Nabi Muhammad saw :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه البخاري)
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya”
Makna اَلتَّعَلُّمُ adalah اَخْذُ الْعِلْمِ وَفَهْمُهُ لِلْعَمَلِ بِهِ (mengambil ilmu dan memahaminya untuk dapat melakukan perbuatan berdasarkan ilmu tersebut), sedangkan makna  اَلتَّعْلِيْمُ adalah :
نَقْلُ الْعِلْمِ وَنَشْرُهُ اِلَى سَائِرِ النَّاسِ ِلأَنْ يَّكُوْنُوْا فَاهِمِيْنَ عَنْهُ وَعَامِلِيْنَ بِهِ
Memindahkan ilmu dan menyebarluaskannya kepada seluruh manusia supaya mereka memahaminya dan melakukan perbuatan berdasarkan ilmu tersebut.
Realitas kewajiban itulah yang digambarkan secara detil dalam pernyataan Rasulullah saw :
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ (رواه الترمذي)
“Allah pasti memuliakan seseorang yang telah mendengar perkataanku lalu memahaminya, mengha-palkannya dan menyampaikannya. Maka sangat sering kejadian seorang pengemban fiqih menyampai-kan fiqih itu kepada yang lebih faqih dari dirinya. Ada tiga sikap manusia yang tidak akan pernah terkacaukan yakni aqal seorang muslim yang ikhlas perbuatannya karena kesadaran dirinya kepada Allah, yang menasihati para penguasa kaum muslim dan yang selalu menyatukan diri dengan jamaah mereka (kaum muslim). Maka dakwah itu disebarluaskan dari belakang mereka (para penguasa)”.
Sikap قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ, مُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ dan لُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ seluruhnya hanya dapat terwujud de-ngan sempurna jika didahului oleh aktivitas aqliyah berupa سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا. Oleh karena itu, kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap sebagian besar kaum muslim akibat kesalahan fatal mereka dalam memposisikan ayat-ayat Al-Quran yang memuat kisah-kisah umat di masa sebelum Islam akan dapat dihindari jika mereka mampu mewujudkan : اَلْفِكْرُ قَبلَ الْعَمَلِ (berpikir sebelum berbuat) :
1.       kisah Ashabul Kahfi dalam surat Al-Kahfi dimulai pada ayat ke 9 dan ditutup oleh ayat ke 26. Lalu seruan (اَلْخِطَابُ) yang dimaksudkan oleh Allah SWT dengan pengkisahan tersebut adalah ditunjuk-kan oleh ayat 30 (إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا) dan realitas seruan inilah pula yang menjadi sikap Ashabul Kahfi sendiri seperti yang diungkap oleh ayat 13 :
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ ءَامَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
Jadi, seruan wajib kepada umat Islam yang ditunjukkan oleh ayat-ayat rangkaian kisah Ashabul Kahfi adalah ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ dan sama sekali bukan seruan untuk menjelma sebagai sekelom-pok orang secara eksklusif lalu mengasingkan diri (اَلإِعْتِزَالُ) di dalam Al-Kahfi seperti yang telah di-lakukan oleh sekelompok pemuda pemeluk syariah Nabi Isa as tersebut :
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا (الكهف : 16)
2.       realitas بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ adalah gambaran pasti dari negeri tempat bermukimnya Kaum Saba dan ini dipastikan oleh bagian لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ dari surat Saba ayat 15. Bahkan maksud dari ungkapan بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ juga dipertelakan dengan pasti oleh bagian جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ, sedangkan realitas dari ungkapan رَبٌّ غَفُورٌ ditunjukkan oleh bagian وَاشْكُرُوا لَهُ. Jadi negeri tempat tinggal Kaum Saba adalah بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ dan karena mereka melaksanakan perintah وَاشْكُرُوا لَهُ, maka me-reka pun memperoleh رَبٌّ غَفُورٌ. Oleh karena itu dalam kisah ini sama sekali tidak ada seruan apa pun kepada umat Islam selain gambaran tentang perilaku Kaum Saba berikut negerinya yang sangat indah bagus, sehingga harus dikembalikan kepada ayat umum :
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَى وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (يوسف : 111)
“sungguh telah ada ibrah dalam kisah-kisah mereka (umat yang lalu) bagi kaum yang beraqal. Itu semua bukanlah ceritera yang dibuat buat melainkan sebagai pembenar bagi Al-Quran dan perin-cian bagi segala sesuatu serta hudan dan rahmah bagi kaum yang beriman”.
Imam Al-Qurthubiy menjelaskan realitas عِبْرَةٌ sebagai فِكْرَةٌ وَتَذَكُّرَةٌ وَعِظَّةٌ (pemikiran dan peringatan serta panduan).
3.       ungkapan وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا adalah sebagian nasihat kaum Qarun kepada dirinya dan realitas ini sangat jelas dalam pernyataan Allah SWT : …… إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ. Oleh karena itu, seruan tersebut hanya berlaku bagi diri Qarun dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan umat Islam, sebab dalam kisah dialog antara Qarun dan kaumnya tersebut tidak ditemukan adanya lafadz umum. Jadi tidak diragukan lagi, mulai dari bagian ayat إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى hing-ga إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ adalah sepenuhnya hanya berhubungan dengan dan berlaku bagi sosok Qarun, tidak bagi manusia lainnya baik pada masa itu (kaum Qarun sendiri) maupun apalagi bagi umat Islam. Lalu untuk apa kisah itu disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran? Jawabannya adalah kembali kepada maksud umum yang ditunjukkan oleh Surat Yusuf ayat 111, yakni عِبْرَةٌ.
4.       seruan لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ adalah khusus bagi Bani Israil ketika masih dipim-pin oleh Nabi Musa as sesaat setelah mereka dibebaskan dari cengkeraman kekejian Keluarga Fir-’aun. Inilah yang dipastikan oleh bagian awal dari ayat ke 6 : وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ. Lalu karena tidak didapati adanya lafadz umum yang memberikan faedah berlakunya seruan secara umum bagi siapa saja, maka umat Islam tidak boleh menggunakan kedua ayat tersebut (Ibrahim 6 sampai 7) sebagai dalil tentang kewajiban bersyukur. Dalil yang menunjukkan kewajiban bersikap syukur bagi umat Islam adalah pernyataan Allah SWT :
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ (الزمر : 7)
5.       ayat terakhir dari surat Adh-Dhuha tidak boleh (haram) diposisikan secara tersendiri (اِنْفِرَادًا), sebab keseluruhan ayat yang ada dalam surat tersebut adalah satu kesatuan yang utuh yakni berkenaan de-ngan realitas Nabi Muhammad saw sejak sebelum diangkat jadi Nabi (manusia biasa) hingga beliau berstatus sebagai Rasulullah. Lalu, apa yang dimaksudkan dengan بِنِعْمَةِ رَبِّكَ? Realitas بِنِعْمَةِ رَبِّكَ dapat dipahami dengan memperhatikan surat Adh-Dhuha sejak ayat ke 6 hingga ke 8 yakni :
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى(6) وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى(7) وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى(8)
Jadi, keadaan Muhammad yang يَتِيمًا فَآوَى dan ضَالًّا فَهَدَى dan عَائِلًا فَأَغْنَى adalah نِعْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ وَحْدَهُ (nikmat Allah yang diberikan hanya kepada beliau), sehingga perintah Allah SWT :
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ(9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ(10) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ(11)
adalah khusus bagi beliau saja dan tidak berlaku bagi umat Islam, sebab penyebutan diri beliau se-cara tersendiri dalam bentuk اَلضَّمِيْرُ لِلْمُخَاطَبِ (kata ganti untuk orang kedua tunggal laki-laki) yakni : وَدَّعَكَ رَبُّكَ, لَكَ, يُعْطِيكَ رَبُّكَ, يَجِدْكَ, وَوَجَدَكَ, فَلَا تَقْهَرْ, فَلَا تَنْهَرْ dan فَحَدِّثْ adalah dalil pengkhusus (اَلتَّخْصِيْصُ) yang memastikan bahwa seruan tersebut hanya bagi pribadi Rasulullah saw dan tidak bagi umat Is-lam. Kaidah ushul menyatakan : خِطَابٌ لِلرَّسُوْلِ خِطَابٌ ِلأُمَّتِهِ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ (seruan kepada Rasul adalah seruan bagi umatnya juga selama tidak ada dalil yang mengkhususkan seruan itu bagi Ra-sul saja). Oleh karena itu, umat Islam haram menggunakan ayat وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ sebagai dalil bagi kebiasaan lokal “kendurian atau selamatan atau syukuran” yang biasa dilakukan oleh umat Is-lam di tanah Jawa saat mereka memperoleh sesuatu terutama harta atau jabatan atau kedudukan dengan istilah yang juga sangat salah اَلتَّحَدُّثُ بِالنِّعْمَةِ karena ama sekali tidak sesuai dengan fakta dari ungkapan اَلتَّحَدُّثُ maupun اَلنِّعْمَةُ.
6.       surat Al-Baqarah 246 - 251 menyampaikan kisah tentang pemikiran dan sikap Bani Israil sepening-gal Nabi Musa as dan mereka masih dipimpin oleh seorang Nabi (إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ). Mereka minta ke-pada Nabi tersebut agar mengangkat seorang raja yang akan memimpin mereka berperang membela agama Allah SWT (ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ). Walau Nabi tersebut sangat ragu dengan keserius-an dan kesungguhan mereka (قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا) karena selama ini mereka sangat sering bahkan selalu maksiat, menyalahi janji dan mengingkari ucapan mereka sendiri, tetapi ternyata permintaan tersebut tetap dipenuhi oleh Allah SWT yakni dengan diangkatnya Thalut se-bagai Raja bagi mereka (وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا). Lalu seperti biasa, ketika mereka mendapati ketetapan Allah SWT tersebut segera saja mereka menolaknya dengan argumen bahwa sosok Thalut adalah sangat tidak pantas menjadi Raja dan merekalah yang lebih berhak untuk kedu-dukan itu. Demikianlah seterusnya kisah tersebut hingga akhirnya sebagian sangat kecil dari mere-ka (قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ) ikut berperang di bawah komando Raja Thalut dan saat itu Dawud muda (belum diangkat jadi Nabi) berhasil membunuh Raja Jalut dengan tangannya sendiri (وَقَتَلَ دَاوُدُ جَالُوتَ). Kisah tersebut seluruhnya diakhiri dengan pernyataan Allah SWT pada ayat 252 yang memastikan kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul :
تِلْكَ ءَايَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ (البقرة : 252)
Artinya, seluruh kisah Bani Israil pasca Nabi Musa tersebut disampaikan kepada Nabi Muhammad saw karena memang beliau adalah bagian dari jajaran para Rasul, sehingga wajar sekali mempero-leh wahyu dari Allah SWT termasuk yang berkenaan dengan kisah tersebut. Sehingga seharusnya dan sepantasnya, Kaum Yahudi dan Nashara yang menyaksikan kehadiran Nabi Muhammad saw serta mendengar kisah yang disampaikan oleh beliau dan itu adalah sangat mereka ketahui dari le-luhur mereka sendiri turun temurun, beriman kepada Nubuwwah dan Risalah beliau saw dan lalu meninggalkan agama mereka yang telah usang dan telah diakhiri masa pemberlakuannya oleh Allah SWT seiring dengan ditetapkannya Nabi Muhammad saw sebagai Rasul terakhir bagi kehi-dupan manusia di dunia. Itulah mengapa ayat 252 yang memastikan kedudukan Nabi Muhammad saw itu langsung diikuti oleh ayat 253 yang juga mempertelakan status para Rasul sebelum beliau :
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ وَءَاتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ ءَامَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ (البقرة : 253)
Jadi, dalam kisah yang panjang dan cukup rinci tersebut tidak didapati adanya seruan dari Allah SWT untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu baik kepada Nabi Muhammad saw sendiri maupun apalagi kepada umat Islam. Seluruhnya disampaikan dalam Al-Quran hanya untuk memberikan gambaran (عِبْرَةٌ) tentang kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap Bani Israil yang sangat sulit diperbaiki walau oleh para Nabi sekali pun. Hal itu karena mereka telah menjadikan ke-pentingan naluriahnya (اَهْوَاءُهُمْ) sebagai Tuhan yang memiliki otoritas untuk memutuskan hukum (halal maupun haram). Allah SWT menyatakan :
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (البقرة : 120)
Oleh karena itu, dijadikannnya kisah tersebut sebagai dalil (دَلِيْلٌ) oleh Majelis Persiapan Pembeba-san Darrul Islam maupun Sekretariat Negara Daulah Islamiyah Markas Imamah (Adi SMK) dan lainnya yang serupa dengan mereka untuk merumuskan konsep maupun aksi pembebasan negara terjajah (NII) adalah kesalahan yang sangat fatal sebab :
a.       kisah tersebut berlangsung di masa sebelum Islam yakni pada masa Bani Israil sepeninggal Na-bi Musa as dan sebelum diutusnya Nabi Isa as kepada mereka, sehingga syariah yang berlaku implementatif dalam kisah itu adalah hanya berlaku bagi mereka saja dan tidak bagi umat Is-lam. Para fuqaha dan mujtahidin merumuskan hal itu dalam kaidah :
شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا لَيْسَ شَرْعًا لَنَا
“syariah orang-orang sebelum kita adalah bukan syariah bagi kita”
rumusan kaidah tersebut ditetapkan berdasarkan dalil :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (المائدة : 48)
b.      tidak ada seruan Allah SWT apa pun (خِطَابُ الشَّارِعِ) dalam kisah tersebut baik untuk يَعْمَلُ اَيَّ عَمَلٍ maupun يَتْرُكُ اَيَّ عَمَلٍ, baik kepada Rasulullah saw sendiri maupun apalagi kepada umat Islam. Padahal yang dimaksud dengan hukum syara’ (اَلْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ) adalah :
خِطَابُ الشَّارِعِ الْمَتَعَلَّقُ بِأَفْعَالِ الْعِبَادِ
Sehingga karena tidak ada خِطَابُ الشَّارِعِ  yang dimaksudkan, maka kisah tersebut adalah haram diposisikan sebagai dalil untuk suatu konsep pemikiran maupun rumusan aksi/tindakan/perbu-atan apa pun (ibadah, muamalah, akhlaq, siasayah, daulah, harakah dan sebagainya).
c.       dengan tidak didapati adanya خِطَابُ الشَّارِعِ dalam kisah tersebut maka secara otomatis tidak ada tuntutan apa pun (لَيْسَ فِيْهَا اَيُّ طَلَبٍ) kepada umat Islam, baik itu طَلَبًا جَازِمًا لِلْفِعْلِ, طَلَبًا غَيْرَ جَازِمٍ لِلْفِعْلِ, طَلَبً جَازِمًا لِلتَّرْكِ, طَلَبًا غَيْرَ جَازِمٍ لِلتَّرْكِ maupun طَلَبَ التَّخْيِيْرِ. Sehingga kisah tersebut wajib dikembali-kan kepada posisi orisinalnya yakni sebagai عِبْرَةٌ alias فِكْرَةٌ وَتَذَكُّرَةٌ وَعِظَّةٌ.
d.      dalam persoalan ini tidak layak, tidak pantas dan haram memiliki anggapan bahwa yang penting adalah melakukan sesuatu (gerakan) untuk Islam dan yang lebih penting lagi ada-lah kemenangan itu sendiri! Ini adalah pemikiran yang bertentangan dengan semua dalil da-lam Islam baik Al-Quran maupun As-Sunnah juga Ijma Sahabat, antara lain :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (الأحزاب : 21)
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الإسراء : 36)
Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
Adapun Ijma Sahabat adalah berupa kesepakatan mereka terutama dalam pergantian Khalifah yang terjadi sepanjang kekuasaan Khulafa Rasyidun.
Wal hasil, ada benarnya juga (karena sesuai dengan realitas umat Islam saat ini) bila para ulama pernah mengharamkan penterjemahan Al-Quran ke dalam bahasa lain, selain Bahasa Arab. Sekali lagi, pemi-kiran tersebut adalah sahih karena fakta memastikan bahwa terjadinya kekisruhan pemikiran dan keka-cauan sikap kaum muslim saat ini adalah akibat kesombongan mereka (كِبْرُهُمْ) yang beranggapan bah-wa yang penting mengerti maksud dari ayat maupun hadits, tidak harus menggunakan Bahasa Arab. Padahal Allah SWT telah memastikan bahwa untuk dapat memahami maksud Allah SWT dalam Al-Quran itu harus melalui media Bahasa Arab :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2)
“Sungguh Kami (Allah) telah menurunkannya (Al-Quran itu) sebagai Quran berbahasa Arab supaya kalian tetap memfungsikan aqal kalian”.
كِتَابٌ فُصِّلَتْ ءَايَاتُهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (فصلت : 3)
“Itu adalah sebuah Kitab yang telah dirinci ayat-ayatnya sebagai Quran berbahasa Arab bagi kaum yang memiliki informasi (tentang Al-Quran itu)”
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ (النحل : 103)
“Dan sungguh Kami (Allah) mengetahui bahwa mereka (kaum kufar) pada berkata hanya sesungguh-nya ada seorang laki-laki yang mengajarkan (Al-Quran itu) kepadanya (Muhammad), padahal lisan (ucapan) orang itu adalah bahasa yang biasa diungkapkan oleh orang-orang ‘Azam (non Arab). Dan ini (Al-Quran) adalah Lisan Arab yang sesungguhnya”.

Faqih adalah kewajiban setiap muslim
Seorang faqih dalam Islam (اَلْفَاقِهُ فِيْ الدِّيْنِ) atau اَلْفُقَهَاءُ فِيْ الدِّيْنِ adalah dia atau mereka yang sangat memahami betul seluruh ketentuan Allah SWT langsung dari sumbernya (Al-Quran dan As-Sunnah), sehingga seluruh pemikiran maupun sikapnya selalu terjaga dan terjamin tidak menyimpang atau me-nyalahi ketentuan Allah SWT tersebut. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
فَقِيهٌ وَاحِدٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ (رواه ابن ماجه)
“satu orang yang sangat memahami Islam adalah sangat lebih berat bagi syetan daripada seribu orang ‘abid”
Khalifah Umar bin Khaththab menyatakan :
لَمَوْتُ اَلْفِ عَابِدٍ قَائِمُ اللَّّيْلِ صَائِمُ النَّهَارِ اَهْوَنُ مِنْ مَوْتِ الْعَاقِلِ الْبَصِيْرِ بِحَلاَلِ اللهِ وَحَرَامِهِ
“sungguh kematian seribu orang ‘abid yang selalu shalat di malam hari dan shaum di siang hari adalah lebih ringan daripada kematian satu orang ‘aqil yang sangat memahami halal dan haramnya Allah”.
Ketika seorang muslim telah terwujud dalam dirinya realitas tersebut (اَلْفَقِيْهُ فِيْ الدِّيْنِ), maka dia telah me-laksanakan kewajiban Islaminya yakni mengetahui hukum syara’ yang harus dilaksanakan oleh dirinya selama dia hidup di dunia. Inilah yang dimaksudkan oleh para fuqaha :
مَعْرِفَةُ الْمُسْلِمِ الأَحْكَامَ الشَّرْعِيَّةَ الَّتِيْ تُلْزِمُهُ فِيْ حَيَاتِهِ فَرْضُ عَيْنٍ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ لأَنَّهُ مَأْمُوْرٌ بِأَنْ يَقُوْمَ بِأَعْمَالِهِ حَسَبَ اَحْكَامِ الشَّرْعِ
“pengetahuan seorang muslim tentang hukum syara’ yang harus dia laksanakan dalam kehidupannya adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, karena dia diperintahkan untuk melakukan perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum syara’ tersebut”.
Rumusan pemikiran tersebut digali dari berbagai dalil yang menunjukkan hal tersebut, antara lain ada-lah sejumlah pernyataan Rasulullah saw berikut :

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنْ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتْ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتْ الْكَلَأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتْ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لَا تُمْسِكُ مَاءً وَلَا تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ (رواه البخاري)
“perumpamaan hidayah dan ilmu yang telah Allah mengutus diriku dengan membawa keduanya ada-lah seperti hujan deras yang menimpa bumi. Sebagian bumi itu ada yang subur dapat menerima air la-lu menumbuhkan tanaman dan pepohonan yang sangat banyak. Sebagian bumi lainnya adalah berbu-kit dapat menahan air lalu Allah memberikan manfaat dengan bagian bumi itu kepada manusia, maka mereka dapat meminumnya, menyirami tanaman dan bercocok tanam. Bagian lainnya dari bumi ha-nyalah berupa tanah yang tandus, tidak dapat menahan air dan tidak juga dapat menumbuhkan tana-man maupun pepohonan. Demikian jugalah perumpamaan seseorang yang memahami agama Allah dan dia memanfaatkan segala perkara yang Allah telah mengutus diriku dengan membawanya, lalu dia pun mempelajarinya dan mengajarkannya, dengan seseorang yang sama sekali tidak dapat meningkat-kan kedudukan dirinya dengan itu semua secara langsung dan dia pun tidak bersedia menerima hida-ah Allah yang telah aku bawa seiring dengan diutusnya diriku”.

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ (رواه الترمذي)
“Allah pasti memuliakan seseorang yang telah mendengar dari kami sebuah hadits lalu dia mengha-palkannya hingga menyampaikannya kepada orang lain. Maka sangat sering kejadian seorang peng-emban fiqih menyampaikan fiqih itu kepada yang lebih faqih dari dirinya dan sangat sering kejadian seorang pengemban fiqih pada kenyataannya dia sama sekali bukan orang yang faqih”.

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ (رواه الترمذي)
“Allah pasti memuliakan seseorang yang telah mendengar perkataanku lalu memahaminya, mengha-palkannya dan menyampaikannya. Maka sangat sering kejadian seorang pengemban fiqih menyampai-kan fiqih itu kepada yang lebih faqih dari dirinya. Ada tiga sikap manusia yang tidak akan pernah terkacaukan yakni aqal seorang muslim yang ikhlas perbuatannya karena kesadaran dirinya kepada Allah, yang menasihati para penguasa kaum muslim dan yang selalu menyatukan diri dengan jamaah mereka (kaum muslim). Maka dakwah itu disebarluaskan dari belakang mereka (para penguasa)”.

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا فَقَّهَهُ فِي الدِّينِ (رواه احمد)
“jika Allah berkehendak keadaan khair kepada seorang hamba, maka Dia akan menjadikannya faqih dalam Islam”
خِيَارُ النَّاسِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقِهُوا (رواه احمد)
“sebaik-baik manusia pada masa jahiliyah adalah sebaik-baik mereka pada masa Islam jika mereka faqih (saat dalam Islam)”

عَنْ الْحَسَنِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلَيْنِ كَانَا فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ أَحَدُهُمَا كَانَ عَالِمًا يُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ ثُمَّ يَجْلِسُ فَيُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَالْآخَرُ يَصُومُ النَّهَارَ وَيَقُومُ اللَّيْلَ أَيُّهُمَا أَفْضَلُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ هَذَا الْعَالِمِ الَّذِي يُصَلِّي الْمَكْتُوبَةَ ثُمَّ يَجْلِسُ فَيُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ عَلَى الْعَابِدِ الَّذِي يَصُومُ النَّهَارَ وَيَقُومُ اللَّيْلَ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ رَجُلًا (رواه الدارمي)
“dari Al-Hasan berkata, telah ditanya Rasulullah saw tentang dua orang yang hidup pada masa Bani Israil, salah satunya adalah seorang ‘alim yang melaksanakan shalat wajib, lalu dia duduk untuk me-ngajarkan Islam kepada manusia. Satu orang lainnya adalah biasa shaum di siang hari dan shalat di malam hari, manakah di antara mereka berdua yang paling unggul? Rasulullah saw menjawab : ‘ke-unggulan orang ‘alim itu yang melaksanakan shalat wajib, lalu dia duduk untuk mengajarkan Islam kepada manusia atas ‘abid yang biasa shaum di siang hari dan shalat di malam hari adalah seperti ke-unggulan diriku atas seseorang yang paling rendah kedudukannya di antara kalian”.

Khatimah
Kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap umat Islam saat ini dan itu telah berlangsung sangat lama yakni sejak masa Khalifah Muawiyah (tahun 40 H / 661 M) dan mencapai puncaknya ketika masa Khalifah Abdul Hamid II, adalah akibat mereka telah meninggalkan kewajiban Islami individualnya yakni menjelmakan diri sebagai muslim yang اَلْفَقِيْهُ فِيْ الدِّيْنِ.
Oleh karena itu secara orang per orang umat Islam (فَرْدِيَّةً), yang harus segera dikembalikan adalah membina mereka supaya berada lagi pada posisi اَلْفَقِيْهُ فِيْ الدِّيْنِ, sehingga kewajiban mereka secara ber-sama-sama (جَمَاعَةً) yakni menegakkan kembali Khilafah Islamiyah agar kehidupan manusia di dunia kembali sepenuhnya Islami, dapat mereka laksanakan dengan sesempurna dan secepat mungkin. Jika ti-dak demikian maka yang akan terjadi justru sebaliknya, yakni seiring dengan waktu umat Islam akan semakin meninggalkan Islam dan sikap itu jelas diharamkan atas mereka. Rasulullah saw menyatakan dengan gamblang :


لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)

No comments:

Post a Comment