Monday, November 11, 2013

تَطْبِيْقُ وَتَنْفِيْذُ الشَّرِيْعَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ كِيَانِيًّا وَاجِبٌ شَرْعًا (PEMBERLAKUAN SYARIAH ISLAMIYAH INSTITUSIONAL ADALAH WAJIB)


Peta kekisruhan umat Islam
Paling tidak 10 tahun terakhir ini, dapat dikatakan bahwa umat Islam bersepakat tentang kewajib-an pemberlakuan syariah Islamiyah. Namun saat mereka dihadapkan kepada permasalahan :
1.       bagaimana bentuk riil praktis pemberlakuan tersebut?
2.       apakah pemberlakuan syariah Islamiyah harus berdiri sendiri ataukah bisa/boleh/dapat saja berposi-si sebagai sub sistem/sub ordinan dari mainstream/main set yang ada dan tengah berlangsung?
3.       apakah diberlakukannya syariah Islamiyah itu sebagai entitas aktivitas ataukah tujuan?
maka, kepastian pun segera saja mewujud, yakni umat Islam sama sekali tidak memiliki kesepakatan apa pun dalam menjawab atau menanggapi ketiga persoalan mendasar tersebut.
Umat Islam yang hidup dalam habitat ormas klasik seperti NU, Muhammadiyah, Persis, berusaha keras merumuskan bahwa bagi mereka pemberlakuan syariah Islamiyah itu berarti nilai-nilai Islam di-gunakan dalam dan mewarnai praktik kehidupan harian mulai dari aspek kecil sederhana : keluar-ma-suk wc hingga keluar-masuk istana. Bahkan (walau tidak pernah diakui) menurut mereka yang penting adalah bukan pemberlakuan syariah Islamiyah itu sendiri, melainkan tujuan dari pemberlakuan tersebut yang harus direalisir yakni : جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ. Lebih dari itu (walau sekali lagi tidak pernah dia-kui sebagai mainstream habitat), sering terungkap pernyataan : yang penting shalat yang benar, sele-bihnya terserah kita karena di luar shalat adalah berlaku : اَنْتُمْ اَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ.
Para intelektual muslim baik secara individual maupun komunal (semisal ICMI) beranggapan bahwa pemberlakuan syariah Islamiyah itu berarti upaya merealisir nilai-nilai universalitas yang ada dalam Islam seperti : keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, toleransi, hidup berdampingan secara damai, penghapusan diskriminasi, pluralisme, sikap moderat dan sejenisnya. Bagi mereka nilai-nilai Islam yang cenderung menjadi sumber konflik, klaim Islam sebagai paling benar maupun doktrin atau ins-truksi suci untuk menyerang pihak lain (di luar Islam), harus dihindari serta tidak dijadikan sebagai atu-ran main (rule of game) dalam arena interaksi manusia di dunia. Rumusan anggapan mereka tersebut selalu dijadikan sebagai gagasan final yang harus disosialisasikan (dipropagandakan) kepada umat Is-lam, supaya kaum muslim mengadopsinya serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
PPP, PBB, PKS (parpol yang mengaku berasas Islam) maupun PKB, PAN (parpol berbasis massa umat Islam) sepakat secara konsep maupun langkah praktis bahwa bagi mereka pemberlakuan syariah Islamiyah itu berarti aktualisasi eksistensi mereka sebagai wakil umat Islam di legislatif berupa aktivi-tas legislasi dengan selalu menampung atau memperhatikan aspirasi umat Islam. Menurut mereka seca-ra otomatis, semakin banyak wakil umat Islam di badan legislatif, maka semakin mudah bahkan sema-kin mantap dalam upaya memberlakukan syariah Islamiyah yang berwujud berbagai produk perunda-ngan yang dihasilkan (dilegislasikan). Bahkan tidak jarang mereka menyuarakan bahwa demokrasi sen-diri hanyalah sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan yakni pemberlakuan syariah Islamiyah itu sen-diri. Sehingga muncullah klaim dari mereka bahwa keberadaan umat Islam di legislatif merupakan se-buah kewajiban Islami demi tercapainya tujuan tersebut.
Demikianlah peta kekisruhan pemikiran umat Islam saat mereka dihadapkan kepada persoalan bagaimana bentuk praktis dari pemberlakuan syariah Islamiyah. Kekisruhan tersebut menunjukkan bahkan membuktikan bahwa cita-cita/keinginan untuk memberlakukan syariah Islamiyah dalam reali-tas kehidupan hanyalah berupa ekspresi semangat atau reaksi keterpinggiran atau respon ketidakberda-yaan posisi mayoritas, tanpa diawali/didasari oleh kesadaran terhadap perintah Allah SWT untuk su-paya mereka taat kepada Nya :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)
Periode dakwah di Makkah dan Bai’at Aqabah I dan II
Rasulullah saw melakukan dakwah Islamiyah di Makkah dengan menyeru seluruh penduduk ne-geri tersebut tanpa memilih-milih usia, kedudukan, ras maupun asal usul mereka. Beliau saw memprio-ritaskan untuk mempersiapkan mereka supaya menerima Islam dan ketika mereka telah masuk Islam, maka beliau pun membina mereka dengan اَحْكَامَ الدِّيْنِ (hukum-hukum din) serta penghapalan Al-Quran. Lalu menghimpun mereka dalam sebuah kelompok (اَلْكُتْلَةُ) dan mewajibkan mereka untuk mengemban dakwah kepada seluruh manusia yang hidup di sekitar mereka. Jumlah manusia yang berhasil dihimpun sejak beliau diutus sebagai Rasulullah (اَلْبِعْثَةُ) hingga Allah SWT memerintahkannya untuk menampak-kan posisi beliau sebagai Rasulullah adalah 40 orang :
No
Nama
Umur  (tahun)
1
عَلِيُّ بْنُ اَبِيْ طَالِبٍ
8
2
اَلزُّبَيْرُ بْنُ الْعَوَّامِ
8
3
طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ
11
4
اَلأَرْقَمُ بْنُ اَبِيْ الأَرْقَمِ
12
5
عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ
14
6
سَعِيْدُ بْنُ زَيْدٍ
Di bawah 20
7
سَعْدُ بْنُ اَبِيْ وَقَّاصٍ
17
8
مَسْعُوْدُ بْنُ رَبِيْعَةَ
17
9
جَعْفَرُ بْنُ اَبِيْ طَالِبٍ
18
10
صُهَيْبُ اَلرُّوْمِيِّ
Di bawah 20
11
زَيْدُ بْنُ حَارِثَةَ
Hampir 20
12
عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ
Hampir 20
13
طُلَيْبُ بْنُ عُمَيْرٍ
Hampir 20
14
خَبَّابُ بْنُ الأَرَتِ
Hampir 20
15
عَامِرُ بْنُ فَهِيْرَةَ
23
16
مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ
24
17
اَلْمِقْدَادُ بْنُ الأَسْوَدِ
24
18
عَبْدُ اللهِ بْنُ جَحْشٍ
25
19
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
26
20
اَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
27
21
عُتْبَةُ بْنُ غَزْوَانٍ
27
22
اَبُوْ حُذَيْفَةَ بْنُ عُتْبَةَ
Hampir 30
23
بِلاَلُ بْنُ رَبَّاحٍ
Hampir 30
24
عَيَاشُ بْنُ رَبِيْعَةَ
Hampir 30
25
عَامِرُ بْنُ رَبِيْعَةَ
Hampir 30
26
نُعَيْمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ
Hampir 30
27
عُثْمَانُ
Hampir 30
28
عَبْدُ اللهِ
17
29
قُدَامَةُ
19
30
اَلسَّائِبُ اَبْنَاءُ مَظْعُوْنِ بْنِ حُبَيْبٍ
Hampir 20
31
اَبُوْ سَلْمَةَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الأَسَدِ اَلْمَخْزُوْمِيِّ
Hampir 30
32
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
Hampir 30
33
عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ
Antara 30 dan 40
34
اَبُوْ بَكْرٍ اَلصِّدِّيْقُ
37
35
حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ
42
36
عُبَيْدَةُ بْنُ الْحَارِثِ
50
Sisanya adalah dari kalangan wanita. Rasulullah saw bersama dengan mereka (اَلسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ) mengem-ban dakwah Islamiyah di sekitar negeri Makkah, baik kepada orang-orang biasa maupun kepada para pemuka yakni para penguasa Quraisy.
Rasulullah saw juga menemui seluruh delegasi dari hampir semua qabilah yang ada di Jazirah Arab termasuk dari negeri Yatsrib (Aus dan Khazraj) yang selalu datang ke Makkah setiap musim haji. Rasulullah saw menjadikan pertemuan dengan mereka sebagai wasilah dan uslub untuk menyampaikan informasi tentang Islam kepada mereka sekaligus menyeru mereka semua untuk beriman kepada beliau saw berikut Al-Quran yang diturunkan kepadanya. Hal itu terus dilakukan oleh Rasulullah saw dan puncak dari aktivitas perjuangan politis (كِفَاحٌ سِيَاسِيٌّ) tersebut adalah terjadinya peristiwa kesepakatan delegasi Madinah (perwakilan اَلأَوْسُ وَالْخَزْرَجُ) untuk memenuhi seruan dan permintaan beliau saw sela-ma ini :
اِنَّا قَدْ تَرَكْنَا قَوْمَنَا وَلاَ قَوْمٌ مِنَ الْعَدَاوَةِ وَالشَّرِّ مَابَيْنَهُمْ فَعَسَى اللهُ اَنْ يَّجْمَعَهُمْ بِكَ فَسَنَقْدَمُ عَلَيْهِمْ فَنَدْعُوْهُمْ اِلَى اَمْرِكَ وَتَعْرُضُ عَلَيْهِمُ الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ (سِيْرَةُ اِبْنِ هِشَامٍ ص. 328-329)
Sungguh kami telah meninggalkan kaum kami dan tidak satu kaum pun yang memiliki permusuhan dan keburukan yang lebih besar dari mereka. Oleh karena itu semoga Allah akan menyatukan mereka me-lalui dirimu lalu kita akan mendatangi mereka lalu menyeru mereka kepada urusanmu dan kamu akan menyampaikan kepada mereka perkara yang telah kami penuhi kepada mu dari agama ini
Lalu, apakah yang dimaksudkan oleh mereka dengan pernyataan الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ? Realitas yang mereka maksudkan dapat dipahami dari ucapan As’ad bin Zararah yang saat itu berkedudukan sebagai pimpinan suku Khazraj kepada Nabi Muhammad saw :
وَدَعَوْتَنَا وَنَحْنُ جَمَاعَةٌ فِيْ دَارٍ عِزٌّ وَمَنْعَةٌ لاَيَطْمَعُ فِيْهَا اَحَدٌ اَنْ يَّرَأَسَ عَلَيْنَا رَجُلٌ مِنْ غَيْرِنَا قَدْ اَفْرَدَهُ قَوْمُهُ وَاَسْلَمَهُ اَعْمَامُهُ وَتِلْكَ رَتْبَةٌ صُعْبَةٌ فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ (دَلاَئِلُ مِنَ النُّبُوَّةِ لأَبِيْ النُّعَيْمِ اَلأَصْبَهَانِيْ ص. 106)
Dan kamu telah menyeru kami sedangkan kami adalah komunitas yang tengah hidup di suatu negara dalam keadaan mulia dan kuat. Tidak ada seorang pun dalam komunitas itu yang akan suka orang da-ri selain kami memimpin kami, hal itu karena kepemimpinan telah berlangsung hanya di tangan kaum-nya dan itu telah diserahkan oleh leluhurnya (paman-pamannya). Tentu saja itu adalah permintaan yang sangat sulit, namun kami telah memenuhi permintaanmu tersebut.
Ucapan فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ merupakan jawaban As’ad bin Zararah seketika mendengar seruan Nabi Muham-mad saw, lalu karena dia mengaitkan jawaban itu dengan realitas kesulitan yang harus mereka hadapi jika mereka memenuhi permintaan Rasulullah saw tersebut dengan alasan selama ini kekuasaan di suku Khazraj selalu dipegang oleh salah seorang dari kalangan mereka sendiri, maka sangat jelas maksud dari الَّذِيْ اَجَبْنَاكَ اِلَيْهِ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ atau فَأَجَبْنَاكَ اِلَى ذَلِكَ, yakni kesediaan mereka (penduduk Madinah) untuk menyerahkan kekuasaan kepada Rasulullah saw atau menjadikan beliau sebagai pemimpin mereka sesuai dengan seruan beliau selama ini kepada mereka. Peristiwa inilah yang menjadi pintu gerbang ba-gi terjadinya Bai’at Aqabah I dan II yang keduanya merupakan bai’at pengangkatan (بَيْعَةُ الإِنْعِقَادِ) yang diberikan oleh penduduk Madinah kepada Rasulullah saw untuk menjadi penguasa mereka nanti sete-lah beliau diperintahkan hijrah ke negeri tersebut oleh Allah SWT.
Lalu, apakah yang terjadi dalam kedua peristiwa bai’at yang berlangsung di Aqabah tersebut? Pa-da Bai’at Aqabah I yang bertepatan dengan musim haji, ada 12 orang perwakilan dari penduduk Madi-nah yang bertemu dengan Nabi Muhammad saw di Aqabah dan semuanya membai’at beliau saw deng-an ucapan :
عَلَى اَنْ لاَ يُشْرِكَ اَحَدُهُمْ بِاللهِ شَيْئًا وَلاَ يَسْرِقُ وَلاَ يَزْنِي وَلاَ يَقْتُلُ أَوْلَادَهُ وَلاَ يَأْتِي بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِيهِ بَيْنَ يَدَيْهِ وَرِجْلَيْهِ وَلاَ يَعْصِيْهِ فِيْ مَعْرُوفٍ فَإِنْ وَفَّى فِيْ ذَلِكَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَاِنْ غَشِيَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَأَمْرُهُ اِلَى اللهِ اِنْ شَاءَ عَذَّبَ وَاِنْ شَاءَ غَفَرَ
bahwa tidak akan ada seorang pun dari mereka yang bersikap musyrik kepada Allah, tidak akan men-curi, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan melakukan dosa yang senga-ja dia lakukan baik oleh tangan maupun kakinya dan tidak akan membangkang kepada Nya (Allah) da-lam perkara yang diwajibkan. Lalu jika dia memenuhi itu semua, pasti baginya jannah dan jika dia mengurangi sebagian dari itu maka urusannya diserahkan kepada Allah, jika Dia mau Dia pasti meng-adzab dan jika Dia mau Dia pasti mengampuni
nampak jelas cakupan isi ikrar Bai’at Aqabah I adalah memastikan implementasi dari ikrar syahadah yang telah mereka ucapkan sebelumnya, yakni اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. Hal itu wajib mereka ikrarkan sebab sesuai dengan perkara yang dituntut oleh ucapan :
1.       لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ. Makna bagian ikrar لاَ اِلَهَ adalah :
a.       لاَ خَالِقَ, yakni tidak ada pencipta selain Allah SWT dan ini ditunjukkan oleh banyak dalil dalam Al-Quran antara lain :
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (الأنعام : 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ (فاطر : 3)
b.       لاَ مَعْبُوْدَ, yakni tidak ada yang wajib ditaati selain Allah SWT. Hal itu karena makna اَلْعِبَادَةُ adalah اَلطَّاعَةُ, seperti yang ditunjukkan oleh banyak dalil dalam Al-Quran dan As-Sunnah antara lain :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة : 21)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ (رواه مسلم)
c.       لاَ مُشَرِّعَ, yakni tidak ada yang berwewenang untuk membuat peraturan (اَلْحُكْمُ اَوِ الشَّرْعُ) selain Allah SWT, seperti yang ditunjukkan oleh banyak dalil dalam Al-Quran antara lain :
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (يوسف : 40)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ (الشورى : 13)
2.       مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ. Realitas Nabi Muhammad saw ini menuntut umat Islam mentaati yakni mengambil dan memberlakukan syariah Islamiyah yang telah diturunkan kepada beliau melalui wahyu dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Inilah yang ditunjukkan oleh banyak dalil dalam Al-Quran maupun As-Sunnah, antara lain :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (الأحزاب : 21)
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (الحشر : 7)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (النساء : 80)
عَنْ الزُّهْرِيِّ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي (رواه البخاري)
Bai’at Aqabah II terjadi pada tahun ke-12 dari pengangkatan (اَلْبِعْثَةُ) Nabi Muhammad saw menja-di Rasulullah atau bertepatan dengan tahun 622 M dan dihadiri oleh 75 orang delegasi dari Madinah yang terdiri atas 73 orang pria dan dua orang wanita (Nasiibah bintu Ka’ab dan Asma bintu ‘Amr bin ‘Adiy). Perkara yang dibicarakan oleh Rasulullah saw bersama mereka tidak terbatas tentang dakwah serta sikap sabar dalam menghadapi risikonya, melainkan juga tentang membangun kekuatan yang da-pat digunakan oleh kaum muslim untuk membela diri. Bahkan lebih dari itu, beliau saw juga memba-has tentang upaya untuk membangun embrio (cikal bakal/ اَلنَّوَاةُ) yang nantinya akan menjadi titik pusat (حَجَرُ الزَّاوِيَةِ) dan pilar awal (اَلدَّعَامَةُ الأُوْلَى) dalam menegakkan Negara Islam (دَوْلَةُ الإِسْلاَمِ).  Negara Islam itulah yang akan memberlakukan Islam dalam masyarakat sekaligus menyebarluaskannya kepada selu-ruh manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai risalah dunia (رِسَالَةً عَالَمِيَةً). Negara Islam juga yang akan menjadi kekuatan pelindung Islam dan akan memusnahkan semua rintangan fisik (حَاجِزٌ مَادِّيٌ) yang menghadang di jalan penyebarluasan Islam maupun pemberlakuannya. Seluruhnya dibahas oleh Rasu-lullah saw bersama dengan mereka hingga pertemuan tersebut berlangsung sampai tengah malam pada pertengahan hari-hari tasyriq (اَوَاسِطُ اَيَّامِ التَّشْرِيْقِ), beliau berkata kepada mereka :
لاَ تُوْقِظُوْا نَائِمًا وَلاَ تَنْتَظِرُوْا غَائِبًا
Tidak usah kalian bangungkan yang telah tidur dan tidak usah kalian menunggu yang tidak datang
Kemudian setelah berlangsung dialog yang sangat panjang, maka akhirnya ke-75 orang tersebut me-nyatakan bai’at mereka kepada Rasulullah saw sebagai berikut :
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي عُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَمَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كَانَ لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ (رواه النسائي)
Kami membai’at Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaati dalam keadaan kami sulit, keadaan kami mudah, keadaan kami lapang, keadaan kami sempit serta dalam keadaan berbagai kesusahan yang menimpa kami dan kami tidak akan merampas urusan pemerintahan dari pemiliknya dan kami akan menegakkan al-haq di mana pun berada, kami pun tidak akan takut di jalan Allah oleh celaan tu-kang cela.
Kemudian setelah mereka selesai menyampaikan bai’atnya, maka Rasulullah saw berkata :
أَخْرِجُوا إِلَيَّ مِنْكُمْ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا يَكُونُونَ عَلَى قَوْمِهِمْ (رواه احمد)
Ajukanlah kepadaku dari kalian 12 orang wakil yang akan mewakili kaum mereka
فَأَخْرَجُوا مِنْهُمْ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا مِنْهُمْ تِسْعَةٌ مِنْ الْخَزْرَجِ وَثَلَاثَةٌ مِنْ الْأَوْسِ (رواه احمد)
Lalu mereka mengajukan 12 orang wakil dari mereka yakni 9 orang dari Khazraj dan 3 orang dari Aus
Setelah para wakil yang berjumlah 12 orang itu ada di hadapan Rasulullah saw maka beliau berkata kepada mereka :
اَنْتُمْ عَلَى قَوْمِكُمْ بِمَا فِيْهِمْ كُفَلاَءُ كَكِفَالَةِ الْحَوَارِيِّيْنَ لِعِيْسَ بْنِ مَرْيَمَ وَاَنَا كَفِيْلٌ عَلَى قَوْمِيْ قَالُوْا نَعَمْ
Kalian adalah pelindung kaum kalian terhadap segala hal yang ada di mereka, seperti perlindungan Hawariyyun kepada Isa bin Maryam dan aku adalah pelindung bagi kaumku. Mereka menjawab : ya, tentu saja.
Demikianlah, realitas Bai’at Aqabah II yang menunjukkan secara pasti bahwa seluruhnya adalah prosesi bai’at pengangkatan (بَيْعَةُ الإِنْعِقَادِ) kekuasaan dan pemerintahan dari masyarakat Madinah kepada Rasulullah saw untuk menjadi Kepala Negara Islam pertama kalinya ketika beliau saw telah hijrah ke negeri tersebut. Setahun kemudian Allah SWT memerintahkan beliau saw hijrah ke Madinah dan secara otomatis Negeri Madinah menjadi اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ untuk pertama kalinya dengan telah hadirnya Kepala Negaranya Pertama (رَئِيْسُهَا الأَوَّلُ) yakni Nabi Muhammad saw. Sejak saat itulah seluruh keten-tuan dalam Islam (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dapat diberlakukan dengan sempurna (كَامِلاً), menyeluruh (شَامِلاً) dan utuh (دُفْعَةً وَاحِدَةً) dalam wadah pelaksanaan politis (كِيَانٌ سِيَاسِيٌّ تَنْفِيْذِيٌّ) : اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ.


Peristiwa Saqiifah Bani Saa’idah
Mengapa para sahabat menggelar pertemuan di Saqiifah Bani Saa’idah? Mengapa mereka mengharuskan ada yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai Kepala Negara? Apakah menurut mereka pemberlakuan syariah Islamiyah adalah tidak mungkin dilakukan bila tidak ada Kepala Negara?
Bersamaan dengan wafatnya Rasulullah saw, maka terjadi pula dua hal lain yakni : (1) berakhir-nya periode turunnya wahyu untuk selamanya dan (2) risalah Islam telah sempurna. Artinya, syariah Islamiyah yang ada di hadapan umat Islam saat itu adalah sama persis dengan syariah Islamiyah yang ada di tengah umat Islam saat ini. Syariah ibadah, akhlaq, muamalat dan uqubat saat ditinggalkan oleh Rasulullah saw adalah sama dengan yang ada sekarang. Lalu, apa yang dapat dipahamkan dari pe-ristiwa Saqiifah Bani Saa’idah?
Sebenarnya, para sahabat Nabi Muhammad saw dapat saja bahkan sangat mungkin untuk melan-jutkan pemberlakuan syariah Islamiyah tanpa harus bersusah payah mencari pengganti kedudukan Ra-sulullah saw sebagai Kepala Negara. Dapat dipastikan bahwa seluruh aspek yang ada dalam ketentuan Islam telah mereka pahami dengan sempurna, tepat dan benar. Namun bersamaan dengan realitas kua-lifikasi tersebut, ternyata justru mereka at all cost menempatkan tindakan pencarian pemimpin peng-ganti Rasulullah saw (Khalifah) sebagai prioritas utama.
Hal itu berarti bahwa menurut mereka pemberlakuan syariah Islamiyah itu tidak dapat atau tidak boleh bahkan haram dilakukan oleh umat Islam bila tidak ada Khalifah yang memimpin dan mengurus mereka. Mereka menunjukkan sebuah pentas yang begitu indah dan unik, yakni sesederhana urusan jenazah sekali pun ternyata tidak mereka lakukan karena saat itu tidak ada pemimpin (Khalifah) yang menaungi kehidupan mereka. Tentu saja fakta tersebut mempertelakan bahwa apalagi untuk perkara-perkara yang jauh lebih rumit-kompleks-besar daripada mengurus jenazah, akan lebih menuntut lagi eksistensi Khalifah dalam pemberlakuannya. Inilah yang tergambar sangat jelas dalam ucapan Abu Ba-kar ketika menghadapi kenyataan bahwa Nabi Muhammad saw telah wafat :
اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Bahwa Muhammad telah wafat dan agama ini (Islam) haruslah ada yang menegakkannya (member-lakukannya).
Bagian ucapan وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ memastikan bahwa اَلدِّيْنُ itu (Islam) tidak mungkin dapat berlaku sebagai sistema atau ideologi kehidupan bila tidak ada seseorang yang memberlakukannya sama persis dengan Nabi Muhammad saw. Ibnu Jarir Ath-Thabariy menyampaikan kisah sebagai berikut :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah
Pernyataan كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ memastikan bahwa perjalanan hidup umat Islam saat itu wajib selalu berada dalam جَمَاعَةٍ yakni Khilafah Islamiyah. Mereka selalu menghindari (كَرِهُوْا) hidup tanpa Khalifah dan Khilafah walau hanya setengah hari, mengapa demikian? Sekali lagi jawabannya adalah karena eksistensi Islam itu berlaku atau tidak sepenuhnya bergantung kepada eksistensi Khila-fah tersebut. Sebagai contoh : syariah Islamiyah tentang mengurus jenazah sekali pun yang hukumnya wajib, akan mereka tunda pelaksanaannya ketika realitas kehidupan mereka tidak jelas yakni belum ada pemimpin yang mengurus mereka.
Realitas itulah yang semakin ditegaskan lagi oleh Umar bin Khaththab ketika dia menjadi Khali-fah kedua menggantikan Abu Bakar :
يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
Wahai masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Islam itu tidak ada kecuali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya imarah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasar-kan pemahaman maka orang itu adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mereka dan siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka
Pernyataan Khalifah Umar tersebut menunjukkan bahwa :
1.       adanya hubungan yang pasti antara Islam, Jamaah dan Imarah yakni ketiganya harus eksis secara bersamaan
2.       eksistensi Jamaah dan Imarah adalah untuk pemberlakuan Islam
Keseluruhan realitas Ijma Sahabat maupun Sunnah Khulafa Rasyidun tersebut tentu saja merupakan perwujudan dari tuntutan kewajiban yang ditetapkan dalam pernyataan Rasulullah saw :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
yang menunjukkan :
1.       makna سَاسَ – يَسُوْسُ - سِيَاسَةً dalam لِسَانُ الْعَرَبِ adalah رَعَى شُؤُوْنَهُ yakni dengan memberlakukan aturan berupa perintah dan larangan :
سَاسَ رَعِيَّةً اَيْ هُوَ رَعَى شُؤُوْنَ الرَّعِيَّةِ وَهُوَ اَمَرَهَا وَنَهَاهَا
Artinya urusan/kepentingan (اَلشُّؤُوْنُ) Bani Israil itu selama ini yang mengurus dan memenuhinya adalah selalu para Nabi secara bergantian (كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ)
2.       karena وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ, maka yang akan mengurus dan memenuhi kepentingan kaum muslim sepeninggal Nabi Muhammad saw adalah para Khalifah.
3.       Nabi Muhammad saw diwajibkan oleh Allah SWT untuk mengurus dan memenuhi kepentingan umat Islam sepanjang beliau saw berada di tengah-tengah mereka dengan memberlakukan Islam yang telah diturunkan kepada beliau :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ (المائدة : 48)
Kewajiban tersebut juga berlaku bagi umat Islam sesuai kaidah ushul yang menyatakan :
خِطَابٌ لِلرَّسُوْلِ خِطَابٌ ِلأُمَّتِهِ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ
Oleh karena itu, umat Islam wajib selalu mempertahankan kehidupan mereka di bawah naungan Khalifah dalam wadah Khilafah Islamiyah supaya mereka dapat memberlakukan syariah Islamiyah (مَا أَنْزَلَ اللَّهُ) yang mereka wakilkan secara praktis (نِيَابَةً فِعْلِيَّةً) kepada Khalifah.
Wal hasil, pemberlakuan syariah Islamiyah itu wajib dilakukan dalam bentuk institusional (كِيَانِيًّا) yakni diselenggarakan oleh Khalifah sebagai Kepala Negara Khilafah Islamiyah dan bukan dilakukan oleh individu muslim orang per orang secara sporadis liar tak terkendali. Khalifah dibai’at oleh umat Islam untuk mewakili mereka dalam memberlakukan syariah Islamiyah terhadap seluruh umat manusia tanpa membedakan ragam bangsa, etnis, bahasa maupun agama. Inilah pemahaman yang tetap diperta-hankan serta diimplementasikan oleh umat Islam sejak masa Nabi Muhammad saw (abad ke-6 M), hingga diruntuhkannya Khilafah Islamiyah Utsmaniyah di Istambul oleh Kerajaan Inggris pada tanggal 3 Maret 1924 M.


Khatimah
Rasulullah saw menyatakan :
الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه البخاري)
yang menujukkan bahwa sikap الْإِحْسَانُ itu tidak lain sikap ketaatan kepada Allah SWT (مَوْقِفُ طَاعَةِ اللهِ) yang diawali dengan adanya kesadaran hubungan dengan Allah SWT (اِدْرَاكُ الإِنْسَانِ صِلَتَهُ بِاللهِ تَعَالَى), yakni perbuatan tersebut dilakukan semata karena Allah SWT memerintahkannya.
Dengan demikian pemberlakuan syariah Islamiyah yang merupakan wujud riil dari ketaatan ke-pada Allah SWT adalah benar-benar bentuk realisasi makna الْإِحْسَانُ yang dimaksudkan oleh pernyataan Rasulullah saw tersebut. Allah SWT menyatakan :


وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (الأنعام : 153)


Bacaan niyat shaum untuk :
1.       hari Senin :
نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ الإِثْنَيْنِ نَافِلَةً ِللهِ تَعَالَى
2.       hari Kamis :
نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ الْخَمِيْسِ نَافِلَةً ِللهِ تَعَالَى
3.       hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) :
نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ التَّرْوِيَّةِ نَافِلَةً ِللهِ تَعَالَى
4.       hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) :
نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ عَرَفَةَ نَافِلَةً ِللهِ تَعَالَى
5.       hari 'Asyura (tanggal 10 Muharram) :
نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ نَافِلَةً ِللهِ تَعَالَى
6.       tanggal 13 bulan Hijriyah :
نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ ثَلاَثِ عَشَرَةَ نَافِلَةً ِللهِ تَعَالَى
7.       tanggal 14 bulan Hijriyah :
نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ اَرْبَعِ عَشَرَةَ نَافِلَةً ِللهِ تَعَالَى
8.       tanggal 15 bulan Hijriyah :
نَوَيْتُ صَوْمَ يَوْمِ خَمْسِ عَشَرَةَ نَافِلَةً ِللهِ تَعَالَى

No comments:

Post a Comment