Monday, November 11, 2013

KELAYAKAN SUATU NILAI : APAKAH STANDARDNYA?


Berontak dengan cara sangat halus
Toeti Adhitama (Anggota Dewan Redaksi Media Group) dalam tulisannya berjudul “Gusti Allah Ora Sare” (Media Indonesia, 18 September 2009, OPINI, halaman 4) menyatakan : Daisaku Ikeda (1928- ), filosof dan pemuka ajaran Buddha, ketika berbicara tentang nilai-nilai organisasi sosial me-ngatakan salah satu yang selalu menggelitik tentang kultur modern adalah masalah organisasi. Bersa-ma dengan teknologi dan komunikasi, organisasi adalah pilar penting bagi peradaban. Dengan demi-kian, organisasi adalah suatu berkah bagi umat manusia. Namun, sebaliknya organisasi juga merupa-kan ancaman. Masyarakat, yang juga suatu organisasi bentukan manusia, mencerminkan apa maksud dan tujuan manusia. Namun, mekanisme sosial kadang-kadang menjalankan fungsi yang sama sekali tidak diharapkan. Salah satu tragedi yang kita hadapi adalah bahwa tindakan otonom suatu kelompok yang terorganisasi kadang-kadang menekan dan bahkan menolak kemanusiaan. Maka, Daisaku Ikeda menyarankan, organisasi memerlukan dasar spiritual yang berakar pada nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh sempit. Jangan pernah berorientasi pada keinginan untuk memuaskan kehendak individu, kelompok, suku, ras bahkan ideologi tertentu. Nilai-nilai kemanusiaan harus bersi-fat universal. Di masa lalu, nilai-nilai sempit telah menimbulkan tragedi. Nilai-nilai yang dianut harus luas dan mendalam.
Selanjutnya Toeti Adhitama menyatakan : Di luar organisasi agama, umumnya sebagian besar perhatian organisasi, termasuk partai politik, hanya dicurahkan pada aspek-aspek sosial manusia, sa-lah satu faset dari eksistensinya. Dengan demikian, ucapan, “Gusti Allah ora sare”, tidak biasa terde-ngar untuk urusan kegiatan partai. Namun, kapasitas spiritual memang ada pada tiap manusia, de-ngan kualitas dan intensitas yang berbeda-beda. Apakah unsur-unsur spiritual berkaitan dengan mo-ralitas? Faktanya, semua agama mempunyai ajaran moral. Studi mendalam tentang kehidupan spiritu-al mengungkapkan bahwa ada keinginan manusia untuk mengetahui nilai-nilai kehidupan, untuk men-cari keyakinan bahwa hidup bukan suatu kebetulan, bahwa hidup memiliki tujuan. Ada elemen intelek-tual dalam usaha spiritual untuk menemukan tujuan dan nilai kehidupan, dan ada elemen emosional dalam ketergantungannya pada kekuasaan yang menciptakan atau menjamin nilai-nilai itu. Elemen-elemen intelektual dan emosional ini mempengaruhi sikap manusia. Maka kalau kita mengatakan, “Gusti Allah ora sare”, berarti elemen-elemen intelektual dan emosional sedang bekerja dalam diri ki-ta. Dalam mencari kebenaran, kita berserah diri kepada Tuhan.
Nampak sekali Daisaku Ikeda begitu gelisah dan terancam oleh adanya tragedi kemanusiaan yang disengaja terjadi dan dilakukan oleh satu kelompok manusia yang memiliki otoritas untuk memberla-kukan tindakan atau aksi tertentu terhadap kehidupan dunia : Salah satu tragedi yang kita hadapi ada-lah bahwa tindakan otonom suatu kelompok yang terorganisasi kadang-kadang menekan dan bahkan menolak kemanusiaan. Oleh karena itu, dia menyodorkan sebuah konsep untuk menutup semua celah bagi terwujudnya organisasi tersebut :
1.       semua organisasi harus memiliki dasar spiritual.
2.       aspek spiritual yang akan menjadi dasar organisasi harus bersumber dari nilai-nilai kemanusiaan.
3.       nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi sumber aspek spiritual tersebut harus memenuhi kualifikasi : (a) tidak boleh sempit melainkan harus luas, (b) tidak boleh dangkal melainkan harus mendalam, (c) tidak boleh berorientasi kepada kepentingan individu, kelompok, suku, ras bahkan ideologi ter-tentu dan (d) harus bersifat universal.
Sementara itu, Toeti Adhitama dengan penuh percaya diri merumuskan sebuah konsepsi berkena-an dengan peran elemen intelektual dan emosional terhadap usaha spiritual manusia untuk mengetahui nilai-nilai kehidupan, mencari keyakinan bahwa hidup bukan suatu kebetulan dan bahwa hidup memi-liki tujuan. Peran elemen intelektual adalah membantu manusia untuk menemukan tujuan dan nilai ke-hidupan, sedangkan peran elemen emosional adalah berupa sikap ketergantungan manusia pada kekua-saan yang menciptakan atau menjamin nilai-nilai itu. Dia mencontohkan ketika manusia menyatakan  “Gusti Allah ora sare”, maka saat itu baik elemen intelektual maupun emosional keduanya tengah be-kerja dalam diri mereka.
Kesamaan yang pasti dari kedua gagasan tersebut adalah baik Daisaku Ikeda maupun Toeti Adhi-tama sepakat menunjukkan pemberontakan dengan cara sangat halus kepada seluruh nilai (sistema) apa pun (termasuk agama dan ideologi) yang mereka anggap mengancam serta menolak kemanusiaan (a-humanis). Oleh karena itu, mereka (juga lainnya yang sejenis) menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai yang absolut (sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri) sekaligus sebagai sumber spiritual-isme manusia itu sendiri. Bedanya jika Daisaku Ikeda menetapkan kualifikasi sangat ketat bagi nilai-nilai kemanusiaan : (a) tidak boleh sempit melainkan harus luas, (b) tidak boleh dangkal melainkan ha-rus mendalam, (c) tidak boleh berorientasi kepada kepentingan individu, kelompok, suku, ras bahkan ideologi tertentu dan (d) harus bersifat universal, sedangkan Toeti Adhitama merumuskan realitas cikal bakal dari nilai tersebut yakni manusia dengan kemampuan intelektual dan emosionalnya dipastikan akan mampu untuk sampai kepada nilai-nilai kehidupan.
Kedua orang tersebut juga sepakat bahwa nilai spiritualistik yang paling tinggi, luhur dan sakral adalah :
a.       keyakinan bahwa kebenaran absolut hanyalah kebenaran Tuhan, sehingga yang berwewenang un-tuk menetapkan entitas benar atau salah adalah hanya Tuhan dan manusia sama sekali tidak meme-gang wewenang tersebut.
b.       sikap pasrah atau kepasrahan manusia terhadap semua kepastian yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan itu sangat nampak dalam ungkapan spiritual “Gusti Allah ora sare”.
c.       kesadaran untuk menolak dan menghilangkan seluruh nilai, konsepsi maupun simbol-simbol ke-agamaan yang bersifat memenangkan dan membenarkan klaim agama tertentu sekaligus bersifat mengalahkan dan menyalahkan agama lain, sebab sangat mengancam dan membahayakan kemanu-siaan serta bertentangan dengan maksud Tuhan sendiri dalam menciptakan agama yakni untuk ber-pihak kepada kemanusiaan. Inilah yang dimaksudkan oleh Daisaku Ikeda dalam pernyataannya bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu : tidak boleh berorientasi kepada kepentingan individu, kelom-pok, suku, ras bahkan ideologi tertentu dan  harus bersifat universal. Inilah pula yang diinginkan selalu terjadi oleh Toeti Adhitama dan itu sangat nampak saat mengomentari ucapan Jusuf Kalla “Gusti Allah ora sare” : Ungkapan bernada kepasrahan itu sesuai untuk bulan Ramadan, ketika umat Islam berserah diri dan memohon sebesar-besarnya berkah maupun pengampunan dari Tu-hannya.
Wal hasil, sekali lagi bagi kedua orang tersebut (juga lainnya yang sejenis) agama sekali pun yang diklaim berasal dari Tuhan, namun jika ternyata mengancam dan membahayakan kemanusiaan serta bersifat menjadi sumber konflik antar manusia, adalah wajib ditolak sebab bertentangan dengan maksud Tuhan sendiri dalam menciptakan agama tersebut.
Itulah upaya mutakhir yang sangat serius namun sangat halus dalam menggoyahkan posisi dan eksistensi agama di arena kehidupan. Tentu saja yang sangat dibidik oleh program hitam tersebut ada-lah hanya Islam dan bukan agama lain, sebab hingga kini setelah lebih dari 85 tahun wadah pelaksana-an syariah Islamiyah yakni Khilafah Islamiyah dibubarkan lalu dimusnahkan, namun ternyata potensi kekuatan Islam sebagai agama sekaligus ideologi yang mengancam dan membahayakan agama, ideo-logi maupun sistema lainnya adalah masih sangat besar. Sementara itu agama, ideologi maupun siste-ma selain Islam (jika ada), ternyata baik secara fakta orisinal maupun perkembangan empiriknya sama sekali tidak memiliki atau menunjukkan potensi ancaman dan membahayakan seperti yang melekat pasti pada Islam. Jadi objek mana lagi dan apa lagi yang menjadi sasaran bidikan dari program hitam tersebut selain Islam? Tentu saja tidak ada!
Realitas tersebut telah sejak lama terjadi seiring dengan Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw dengan membawa Risalah Islam sebagai sistema terakhir yang diturunkan bagi kehidupan manusia supaya mereka tetap berada dalam posisinya sebagai manusia. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (آل عمران : 118)

Standard bagi kelayakan suatu nilai
Manusia yang hidup sepanjang Al-Quran diturunkan, seluruhnya diseru dan dituntut oleh Allah SWT untuk membuktikan dengan aqal mereka bahwa Al-Quran itu pasti (قَطْعِيًّا جَازِمًا) berasal dari Allah SWT yakni كَلاَمُ اللهِ وَلَيْسَ كَلاَمَ مُحَمَّدٍ اَوْ كَلاَمَ اَيِّ بَشَرٍ آخَرَ (ucapan Allah dan bukan ucapan Muhammad atau ucapan manusia lainnya mana pun). Inilah yang dengan sangat gamblang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة : 23)
Dan jika kalian (manusia) dalam keraguan terhadap apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Ka-mi (Muhammad), maka datangkanlah oleh kalian satu surat yang serupa dengannya dan serulah oleh kalian seluruh penolong kalian selain Allah, jika kalian memang benar
Seruan tantangan tersebut tentu saja didengar dan disaksikan oleh seluruh manusia yang ada saat itu yakni Bangsa Arab termasuk Rajanya Ahli Sya’ir Bangsa Arab Walid bin Mughirah yang secara spon-tan menyatakan :
وَاللهِ مَا مِنْكُمْ رَجُلٌ اَعْرَفُ بِالأَشْعَارِ مِنِّيْ وَلاَ اَعْلَمُ بِرَجَزِهِ وَقَصِيْدِهِ مِنِّيْ وَاللهِ مَا يُشَبِّهُ الَّذِيْ يَقُوْلُهُ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَاللهِ اِنَّ لِقَوْلِهِ الَّذِيْ يَقُوْلُهُ لَحَلاَوَةً وَاِنَّ عَلَيْهِ لَطَلاَوَةً وَاِنَّهُ لَمَوْرُقٌ اَعْلاَهُ مُغْدَفٌ اَسْفَلَهُ وَاِنَّهُ لَيَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ
Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang lebih mengenal tentang sya’ir daripada aku dan tidak ada seorang pun yang lebih tahu tentang sya’irnya dan sajaknya daripada aku. Demi Allah tidak ada sesuatu pun yang menyerupai yang dia (Muhammad) ucapkan daripada ini (Al-Quran). De-mi Allah sungguh perkataan yang dia ucapkan itu memiliki keindahan dan padanya melekat kagungan dan sungguh itu (Al-Quran) adalah tulisan di atasnya, permata di bawahnya dan sungguh itu (Al-Qur-an) adalah tinggi dan tidak ada yang dapat menyamainya
Pernyataan Sang Raja Sya’ir tersebut memastikan bahwa walau dia sangat menguasai hal ihwal sya’ir dalam Bahasa Arab berikut seluk beluknya (بِرَجَزِهِ وَقَصِيْدِهِ), namun tetap saja dia tidak berdaya untuk me-menuhi tantangan Allah SWT yang ada dalam Al-Baqarah ayat 23 tersebut. Keadaan tersebut tetap ber-langsung demikian hingga Allah SWT menetapkan bahwa Al-Quran telah selesai diturunkan dan Islam yang bersumber dari Al-Quran telah disempurnakan eksistensinya. Seandainya Walid bin Mughirah menjadikan fakta dan informasi tentang Al-Quran yang nampak nyata di hadapan dia bahkan dialami-nya sendiri sebagai objek pemikiran dia, maka dapat dipastikan aqalnya akan menuntun dan menuntut dia untuk iman kepada Al-Quran maupun Nabi Muhammad saw. Namun sayangnya inilah yang tidak terjadi atas diri orang tersebut maupun sebagian sangat besar Bangsa Arab saat itu, yakni mereka sama sekali tidak bersedia menggunakan aqalnya untuk membuktikan bahwa Al-Quran itu adalah diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Mengapa sikap mereka demikian?
Walaupun semua fakta yang merupakan bukti aqliy tak terbantahkan tentang Al-Quran sebagai ucapan Allah SWT sekaligus sebagai bukti bahwa Nabi Muhammad saw adalah Rasulullah terpampang nyata di hadapan mereka dan terindera secara pasti, namun karena mereka telah memutuskan untuk te-tap memenangkan kepentingan naluriahnya (kedudukan, prestise, ambisi, kekuasaan dan sebagainya), maka seluruhnya sama sekali tidak berguna bagi mereka (termasuk Walid bin Mughirah) dan tidak da-pat mengantarkan mereka kepada pembenaran yang pasti (اَلإِيْمَانُ) baik kepada Al-Quran maupun Nabi Muhammad saw. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (البقرة : 6)
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا (الفرقان : 43)
Artinya, ketika manusia memutuskan untuk memposisikan kepentingan naluriah mereka (هَوَاهُمْ) sebagai Tuhan mereka (إِلَهَهُمْ), maka sejak saat itu pulalah mereka akan menolak aturan apa pun yang dianggap bertentangan dengan atau menyalahi kepentingan tersebut termasuk yang dibawa oleh para Rasul dari Allah SWT. Oleh karena itu penyampaian informasi apa pun yang berasal dari Allah SWT oleh para Rasul (termasuk Rasulullah saw) kepada mereka tidak akan pernah mampu merubah keputusan terse-but, bahkan mereka akan bersikukuh dalam realitas لَا يُؤْمِنُونَ. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT pada bagian ayat : أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا yang sekaligus memastikan bahwa sikap kaum kufar untuk me-mutuskan mengambil kekufuran (menolak Islam) adalah pilihan sadar mereka sendiri dan bukan paksa-an dari Allah SWT.
Keputusan sadar berbasis kepentingan naluriah itu juga yang telah diambil oleh manusia pertama Adam (bersama istrinya) yang lebih memilih informasi dari Iblis daripada informasi dari Allah SWT :
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ (الأعراف : 20)
Ucapan Iblis : مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ adalah hasutan (اَلْوِسْوَسَةُ) Iblis kepada Adam dan istrinya dan itu sangat sesuai dengan kepentingan naluriah kedua manusia per-tama itu sendiri yang memang sangat mengharapkan untuk menjadi malaikat atau setidaknya terus me-nerus alias kekal berada di اَلْجَنَّةُ. Tuntutan untuk merealisir kepentingan naluriah tersebut menjadikan Adam dan istrinya mengabaikan informasi dari Allah SWT berupa larangan mendekati pohon serta ten-tang realitas posisi Iblis sebagai musuh yang sejati bagi mereka berdua. Allah SWT menyatakan :
وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف : 22)
Mengapa Allah SWT membiarkan Adam dan istrinya melaksanakan hasutan Iblis dan baru memperso-alkannya setelah tindakan itu dilakukan oleh mereka berdua? Mengapa Allah SWT tidak mencegah mereka berdua sebelum melakukannya?
Memang benar adalah sangat mudah bagi Allah SWT untuk mencegah Adam dan istrinya terma-kan hasutan Iblis, sehingga mereka berdua tidak jadi melakukan kesalahan tersebut. Namun justru jika pencegahan tersebut dilakukan oleh Allah SWT, maka itu berarti Allah SWT telah memaksakan dila-kukan atau tidak dilakukannya suatu perbuatan kepada mereka berdua dan itu secara otomatis telah menghilangkan realitas Adam sebagai makhluq yang diberi aqal dengan khasiat dapat memutuskan ma-na benar (dilakukan) dan mana salah (tidak dilakukan) berdasarkan informasi yang telah diberikan se-cara jelas dan pasti oleh Allah SWT kepada mereka atau berdasarkan fakta dari persoalannya itu sendi-ri. Lagipula, informasi tentang posisi Iblis sebagai musuh sejati mereka berdua tidak hanya dipertela-kan oleh pernyataan Allah SWT وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ tapi juga telah disaksikan sendiri oleh Adam yakni ketika Iblis menolak perintah Allah SWT untuk sujud kepadanya dengan argumen kesom-bongan berupa keunggulan bahan baku penciptaan dirinya (مِنْ نَارٍ) dan diri Adam (مِنْ طِينٍ) :
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ ءَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا (الإسراء : 61)
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (الأعراف : 12)
قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (ص : 75-76)
Seluruh pertanyaan Allah SWT kepada Iblis berkenaan dengan sikapnya yakni مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ atau يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ, adalah didengar dan disaksikan oleh Adam sendiri demikian juga ketika Iblis melontarkan sanggahan istikbarnya : ءَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا atau أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ. Jika Adam menggunakan seluruh realitas, fakta dan informasi seputar Iblis tersebut sebagai asas berpikirnya tentu saja yang akan dia putuskan adalah menolak hasut-an Iblis dan tetap berpegang teguh kepada ketentuan Allah SWT. Inilah mengapa Allah SWT dengan pasti mengingatkan kepada manusia supaya mereka tetap menggunakan aqalnya dalam memutuskan perbuatan apa pun selama hidup di dunia agar mereka terhindar dari bencana besar yang telah menimpa Adam dan istrinya (kedua orang tua mereka) :
يَابَنِي ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (الأعراف : 27)
Dengan demikian berdasarkan fakta sikap manusia terhadap Al-Quran dan Nabi Muhammad saw serta kisah sikap Iblis dan Adam, memastikan bahwa yang harus menjadi standard untuk kelayakan su-atu nilai bagi kehidupan manusia di dunia adalah aqal manusia sendiri. Rinciannya adalah :
1.       jika nilai yang dimaksud diklaim oleh si pembawanya sebagai wahyu dari Allah SWT, maka aqal harus digunakan untuk membuktikan kebenaran klaim si pembawa berita berikut tentang realitas beritanya itu sendiri. Inilah yang seharusnya dilakukan oleh seluruh manusia baik yang satu zaman dengan Nabi Muhammad saw maupun yang hidup setelah beliau saw wafat hingga tibanya saat ke-hancuran dunia. Sebagai contoh inilah mengapa ada Khulafa Rasyidun (beserta para sahabat yang ada dalam jajaran السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ) dan ada juga Abu Lahab berikut seluruh kaum kufar Quraisy, padahal kedua kubu tersebut sama-sama bertemu dan berinteraksi dengan Nabi Mu-hammad saw.
2.       jika nilai yang dimaksudkan adalah berupa penetapan sifat atau realitas atau hakikat dari suatu fak-ta atau persoalan atau permasalahan, maka aqal harus digunakan untuk memahaminya melalui pe-nginderaan terhadap fakta atau persoalan atau permasalahan tersebut yang disertai dengan meng-himpun seluruh informasi (langsung atau yang berhubungan) tentang  fakta atau persoalan atau per-masalahan tersebut selengkap mungkin. Sebagai contoh penetapatan realitas aqal, perasaan, ke-pribadian, masyarakat, negara, negeri, sistema Islami, sistem kufur, negara Islami, negara kufur, demokrasi, kapitalisme, sekularisme, nasionalisme dan sebaganya adalah sepenuhnya didasarkan kepada dalil aqliy berupa sifat fakta (وَصْفُ الْوَاقِعِ) dari seluruh realitas tersebut berikut penerapan-nya dalam arena kehidupan manusia.
Wal hasil, kualifikasi yang ditetapkan oleh Daisaku Ikeda bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu : (a) tidak boleh sempit melainkan harus luas, (b) tidak boleh dangkal melainkan harus mendalam, (c) tidak boleh berorientasi kepada kepentingan individu, kelompok, suku, ras bahkan ideologi tertentu dan (d) harus bersifat universal, seluruhnya hanya dan hanya dapat dipenuhi 100 persen oleh Islam. Hal itu karena Islam dipastikan oleh aqal manusia sendiri berasal dari Allah SWT dan 100 persen terbebas dari peran manusia mana pun termasuk Nabi Muhammad saw. Sehingga Islam adalah sistema atau peratu-ran atau nilai-nilai yang luas, mendalam, universal dan tidak berorientasi kepada kepentingan individu, kelompok, suku, ras dan ideologi tertentu, bahkan Allah SWT pun tidak berkepentingan apa pun dalam menetapkan Islam tersebut. Inilah yang dijamin pasti oleh pernyataan Allah SWT :
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (الزمر : 7)
Bagian ayat إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ memastikan bahwa Allah SWT tidak memiliki kepentingan apa pun atas manusia saat menetapkan seluruh peraturan dalam Islam, melainkan seluruhnya diperuntukkan bagi kepentingan manusia itu sendiri selama hidup di dunia : وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ.


Klaim Islam vs hukum aqal
Islam mengklaim bahwa realitas dirinya adalah satu-satunya اَلدِّيْنُ yang benar dan akan tetap ber-laku hingga tibanya batas akhir dari kehidupan dunia. Islam mengklaim bahwa dia diperuntukkan bagi seluruh manusia yang hidup di dunia sejak Nabi Muhammad saw ditetapkan sebagai Rasulullah hingga manusia paling akhir hidup sesaat menjelang dihancurkannya dunia. Islam mengklaim bahwa apa pun di luar dirinya berupa agama, sistema, ideologi, peraturan, perundangan, nilai dan sebagainya, adalah salah dan wajib ditinggalkan oleh manusia. Islam mengklaim bahwa dirinya mensifati realitas جَامِعًا yakni menghimpun (يَجْمَعُ) seluruh pemikiran, ide dan hukum yang bersumber hanya dari sumber-sum-ber Islam. Bersamaan dengan itu, Islam mengklaim bahwa dirinya bersifat مَانِعًا yakni menolak (يَمْنَعُ) se-luruh pemikiran, ide dan hukum yang berasal dari luar Islam. Islam mengklaim bahwa seluruh manusia yang tidak bersedia masuk Islam serta menolak tunduk kepada kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyah) adalah kaum kufar yang wajib diperangi (اَهْلُ الْحَرْبِيَّةِ), sedangkan kaum kufar yang bersedia tunduk ke-pada kekuasaan Islam adalah haram diperangi dan mereka wajib dilindungi (اَهْلُ الذِّمَّةِ). Islam mewajib-kan seluruh umat Islam untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad yang sepenuhnya diberlakukan oleh Khilafah Islamiyah. Islam mengklaim bahwa Khilafah Islamiyah adalah satu-satunya wadah pelaksanaan seluruh ketentuan yang ada dalam Islam, tanpa Khilafah dapat dipasti-kan Islam tidak akan pernah berlaku dalam kehidupan dunia alias Islam secara otomatis akan sirna dari kehidupan manusia di dunia. Islam mengklaim bahwa kaum muslim hanya satu kali dipimpin dan diu-rus oleh seorang Nabi (Nabi Muhammad saw) dan setelah Nabi Muhammad saw wafat maka tugas ter-sebut dibebankan kepada para Khalifah, sehingga realitas kedudukan Khulafa dengan Rasulullah saw adalah sama persis yakni bertugas untuk memimpin dan mengurus seluruh kaum muslim di dunia.
Bagaimana aqal menghukumi seluruh klaim Islam tersebut, apakah aqal dapat menerimanya yak-ni membenarkan klaim Islam tersebut?
Klaim Islam tersebut berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan manusia dengan berbagai dina-mikanya, sehingga sangat terkesan rumit dan kompleks dari segi rinciannya. Walau demikian karena aqal telah terlebih dahulu dapat membuktikan dengan pasti perkara pokok dan mendasarnya yakni realitas Nabi Muhammad saw adalah memang benar Rasulullah dan Al-Quran yang datang bersama beliau adalah memang benar ucapan Allah SWT, maka aqal dapat dengan mudah memutuskan bahwa seluruh klaim yang ada dalam Islam tersebut adalah benar dan layak untuk diberlakukan dalam kehidu-pan manusia. Keputusan aqal (حُكْمُ الْعَقْلِ) seperti itu telah berhasil diraih oleh generasi السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ de-ngan bukti sikap dan tindakan mereka yang berhasil mempertahankan perjalanan kekuasaan dan peme-rintahan Islam tetap dalam manhaj yang diwajibkan oleh Islam : خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ. Bahkan aqal mere-ka dapat memutuskan dengan benar skala prioritas tindakan yang harus dilakukan yakni mana yang da-pat ditunda dan mana yang harus didahulukan. Itulah yang terjadi di hari wafatnya Nabi Muhammad saw ketika mereka lebih mendahulukan mencari orang yang paling layak mengisi kekosongan posisi Imam karena ditinggalkan oleh Rasulullah saw daripada perbuatan lainnya termasuk mengurus jenazah sangat mulia Nabi Muhammad saw hingga dikubur. Abu Bakar menyatakan :
اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Begitu juga opini umum para sahabat lainnya saat itu yang bersikap :
كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
mereka sangat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidup-an jamaah
Aqal umat Islam saat ini normalnya adalah membenarkan sikap generasi السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ tersebut sebab mereka adalah komunitas manusia yang bertemu serta berinteraksi langsung dengan Rasulullah saw sehingga keputusan aqal mereka menjadi jaminan pasti (دَلِيْلاً عَقْلِيًّا قَاطِعًا) bahwa seluruh klaim Islam adalah benar dan layak untuk diberlakukan dalam kehidupan manusia di dunia hingga tibanya اَلسَّاعَةُ. Realitas sikap dan tindakan inilah yang dituntut oleh pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (آل عمران : 118)
Bagian ayat قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ memastikan bahwa klaim Islam yang menempatkan kaum kufar sebagai akan selalu berencana untuk menghancurkan Islam dan umat Islam (وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ) adalah benar karena sesuai dengan fakta sikap mereka yang ditampakkan selama ini di hadapan aqal. Artinya aqal sangat memahami bahwa segala sikap yang ditampakkan oleh kaum kufar adalah memang sangat mengancam dan membahayakan kaum muslim, sehingga apalagi yang mereka sembunyikan da-lam dada-dada mereka adalah pasti lebih dahsyat lagi tingkat kebahayaannya.


Khatimah
Apa pun (peraturan, sistema, perundangan, ideologi, nilai-nilai) yang dirumuskan lalu ditetapkan oleh manusia adalah mustahil terlepas dari orientasi kepada kepentingan individu, kelompok, suku, ras dan tidak mungkin bersifat universal. Bahkan justru sebaliknya, seluruh peraturan, sistema, perundang-an, ideologi, nilai-nilai dan lainnya yang ditetapkan oleh manusia adalah dapat dipastikan dalam rangka mengakomodasikan dan mengelaborasikan seluruh kepentingan dirinya atau pihak lain yang memiliki otoritas memaksa. Jadi apa yang diharapkan oleh Daisaku Ikeda akan selamanya menjadi angan-angan belaka selama dia masih bertumpu harapan kepada manusia mana pun. Inilah yang ditampakkan oleh peristiwa pembunuhan pertama kalinya dalam sejarah perjalanan manusia yang dilakukan oleh salah satu anak Adam terhadap saudaranya sendiri. Demikian juga sikap penolakan manusia dari zaman ke zaman (yang mencapai puncaknya saat generasi manusia Bani Israil) terhadap peraturan Allah SWT yang disampaikan oleh Nabinya masing-masing adalah terjadi karena mereka menganggap peraturan Allah SWT tersebut tidak sesuai dengan kepentingan naluriah mereka.
Oleh karena itu, sikap manusia saat ini (baik yang mengaku diri umat Islam maupun tidak) yang menolak Islam sebagai ideologi yang wajib diberlakukan secara sempurna, menyeluruh dan utuh dalam kehidupan mereka di dunia, tentu saja disebabkan oleh anggapan yang sama dengan manusia pendahu-lunya yakni mereka menganggap Islam itu sangat tidak sesuai dengan kepentingan naluriah mereka. Bahkan mereka pun menempatkan Islam sebagai tidak berpihak kepada kemanusiaan serta tidak uni-versal, lalu opini tersebut mereka sebarluaskan dan propagandakan dengan tujuan supaya seluruh ma-nusia terutama umat Islam segera saja meninggalkan Islam dan beralih kepada peraturan, sistema, per-undangan, ideologi, nilai-nilai yang mereka buat serta tetapkan sendiri. Padahal fakta kehidupan dunia memastikan bahwa apa pun (peraturan, sistema, perundangan, ideologi, nilai-nilai) yang dibuat dan di-tetapkan oleh manusia hanya akan mengantarkan manusia kepada kebinasaan kemanusiaannya sendiri :
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)

No comments:

Post a Comment