Berontak dengan cara sangat halus
Toeti Adhitama (Anggota Dewan Redaksi Media Group) dalam
tulisannya berjudul “Gusti Allah Ora Sare” (Media Indonesia, 18 September 2009,
OPINI, halaman 4) menyatakan : Daisaku Ikeda (1928- ), filosof dan pemuka
ajaran Buddha, ketika berbicara tentang nilai-nilai organisasi sosial
me-ngatakan salah satu yang selalu menggelitik tentang kultur modern adalah
masalah organisasi. Bersa-ma dengan teknologi dan komunikasi, organisasi adalah
pilar penting bagi peradaban. Dengan demi-kian, organisasi adalah suatu berkah
bagi umat manusia. Namun, sebaliknya organisasi juga merupa-kan ancaman.
Masyarakat, yang juga suatu organisasi bentukan manusia, mencerminkan apa maksud
dan tujuan manusia. Namun, mekanisme sosial kadang-kadang menjalankan fungsi
yang sama sekali tidak diharapkan. Salah satu tragedi yang kita hadapi adalah
bahwa tindakan otonom suatu kelompok yang terorganisasi kadang-kadang menekan
dan bahkan menolak kemanusiaan. Maka, Daisaku Ikeda menyarankan, organisasi
memerlukan dasar spiritual yang berakar pada nilai-nilai masyarakat.
Nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh sempit. Jangan pernah berorientasi pada
keinginan untuk memuaskan kehendak individu, kelompok, suku, ras bahkan
ideologi tertentu. Nilai-nilai kemanusiaan harus bersi-fat universal. Di masa
lalu, nilai-nilai sempit telah menimbulkan tragedi. Nilai-nilai yang dianut
harus luas dan mendalam.
Selanjutnya Toeti Adhitama menyatakan : Di luar organisasi
agama, umumnya sebagian besar perhatian organisasi, termasuk partai politik,
hanya dicurahkan pada aspek-aspek sosial manusia, sa-lah satu faset dari
eksistensinya. Dengan demikian, ucapan, “Gusti Allah ora sare”, tidak biasa
terde-ngar untuk urusan kegiatan partai. Namun, kapasitas spiritual memang ada
pada tiap manusia, de-ngan kualitas dan intensitas yang berbeda-beda. Apakah
unsur-unsur spiritual berkaitan dengan mo-ralitas? Faktanya, semua agama
mempunyai ajaran moral. Studi mendalam tentang kehidupan spiritu-al
mengungkapkan bahwa ada keinginan manusia untuk mengetahui nilai-nilai
kehidupan, untuk men-cari keyakinan bahwa hidup bukan suatu kebetulan, bahwa
hidup memiliki tujuan. Ada elemen intelek-tual dalam usaha spiritual untuk
menemukan tujuan dan nilai kehidupan, dan ada elemen emosional dalam
ketergantungannya pada kekuasaan yang menciptakan atau menjamin nilai-nilai
itu. Elemen-elemen intelektual dan emosional ini mempengaruhi sikap manusia.
Maka kalau kita mengatakan, “Gusti Allah ora sare”, berarti elemen-elemen
intelektual dan emosional sedang bekerja dalam diri ki-ta. Dalam mencari
kebenaran, kita berserah diri kepada Tuhan.
Nampak sekali Daisaku Ikeda begitu gelisah dan terancam oleh
adanya tragedi kemanusiaan yang disengaja terjadi dan dilakukan oleh satu
kelompok manusia yang memiliki otoritas untuk memberla-kukan tindakan atau aksi
tertentu terhadap kehidupan dunia : Salah satu tragedi yang kita hadapi
ada-lah bahwa tindakan otonom suatu kelompok yang terorganisasi kadang-kadang
menekan dan bahkan menolak kemanusiaan. Oleh karena itu, dia menyodorkan
sebuah konsep untuk menutup semua celah bagi terwujudnya organisasi tersebut :
1.
semua organisasi harus memiliki dasar spiritual.
2.
aspek spiritual yang akan menjadi dasar organisasi harus bersumber
dari nilai-nilai kemanusiaan.
3.
nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi sumber aspek spiritual
tersebut harus memenuhi kualifikasi : (a) tidak boleh sempit melainkan harus
luas, (b) tidak boleh dangkal melainkan harus mendalam, (c) tidak boleh
berorientasi kepada kepentingan individu, kelompok, suku, ras bahkan ideologi
ter-tentu dan (d) harus bersifat universal.
Sementara itu, Toeti Adhitama dengan penuh percaya diri merumuskan
sebuah konsepsi berkena-an dengan peran elemen intelektual dan emosional
terhadap usaha spiritual manusia untuk mengetahui nilai-nilai kehidupan,
mencari keyakinan bahwa hidup bukan suatu kebetulan dan bahwa hidup memi-liki
tujuan. Peran elemen intelektual adalah membantu manusia untuk menemukan
tujuan dan nilai ke-hidupan, sedangkan peran elemen emosional adalah berupa
sikap ketergantungan manusia pada kekua-saan yang menciptakan atau menjamin
nilai-nilai itu. Dia mencontohkan ketika manusia menyatakan “Gusti Allah ora sare”, maka saat itu
baik elemen intelektual maupun emosional keduanya tengah be-kerja dalam diri
mereka.
Kesamaan yang pasti dari kedua gagasan tersebut adalah baik
Daisaku Ikeda maupun Toeti Adhi-tama sepakat menunjukkan pemberontakan dengan
cara sangat halus kepada seluruh nilai (sistema) apa pun (termasuk agama dan
ideologi) yang mereka anggap mengancam serta menolak kemanusiaan (a-humanis).
Oleh karena itu, mereka (juga lainnya yang sejenis) menempatkan nilai-nilai
kemanusiaan sebagai nilai yang absolut (sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri)
sekaligus sebagai sumber spiritual-isme manusia itu sendiri. Bedanya jika
Daisaku Ikeda menetapkan kualifikasi sangat ketat bagi nilai-nilai kemanusiaan
: (a) tidak boleh sempit melainkan harus luas, (b) tidak boleh dangkal
melainkan ha-rus mendalam, (c) tidak boleh berorientasi kepada kepentingan
individu, kelompok, suku, ras bahkan ideologi tertentu dan (d) harus bersifat
universal, sedangkan Toeti Adhitama merumuskan realitas cikal bakal dari
nilai tersebut yakni manusia dengan kemampuan intelektual dan emosionalnya
dipastikan akan mampu untuk sampai kepada nilai-nilai kehidupan.
Kedua orang tersebut juga sepakat bahwa nilai spiritualistik yang
paling tinggi, luhur dan sakral adalah :
a.
keyakinan bahwa kebenaran absolut hanyalah kebenaran Tuhan,
sehingga yang berwewenang un-tuk menetapkan entitas benar atau salah adalah
hanya Tuhan dan manusia sama sekali tidak meme-gang wewenang tersebut.
b.
sikap pasrah atau kepasrahan manusia terhadap semua kepastian yang
telah ditetapkan oleh Tuhan dan itu sangat nampak dalam ungkapan spiritual “Gusti
Allah ora sare”.
c.
kesadaran untuk menolak dan menghilangkan seluruh nilai, konsepsi
maupun simbol-simbol ke-agamaan yang bersifat memenangkan dan membenarkan klaim
agama tertentu sekaligus bersifat mengalahkan dan menyalahkan agama lain, sebab
sangat mengancam dan membahayakan kemanu-siaan serta bertentangan dengan maksud
Tuhan sendiri dalam menciptakan agama yakni untuk ber-pihak kepada kemanusiaan.
Inilah yang dimaksudkan oleh Daisaku Ikeda dalam pernyataannya bahwa
nilai-nilai kemanusiaan itu : tidak boleh berorientasi kepada kepentingan
individu, kelom-pok, suku, ras bahkan ideologi tertentu dan harus bersifat universal. Inilah pula
yang diinginkan selalu terjadi oleh Toeti Adhitama dan itu sangat nampak saat
mengomentari ucapan Jusuf Kalla “Gusti Allah ora sare” : Ungkapan
bernada kepasrahan itu sesuai untuk bulan Ramadan, ketika umat Islam berserah
diri dan memohon sebesar-besarnya berkah maupun pengampunan dari Tu-hannya.
Wal hasil, sekali lagi bagi kedua orang tersebut (juga lainnya
yang sejenis) agama sekali pun yang diklaim berasal dari Tuhan, namun jika
ternyata mengancam dan membahayakan kemanusiaan serta bersifat menjadi sumber
konflik antar manusia, adalah wajib ditolak sebab bertentangan dengan maksud
Tuhan sendiri dalam menciptakan agama tersebut.
Itulah upaya mutakhir yang sangat serius namun sangat
halus dalam menggoyahkan posisi dan eksistensi agama di arena
kehidupan. Tentu saja yang sangat dibidik oleh program hitam
tersebut ada-lah hanya Islam dan bukan agama lain, sebab hingga kini setelah
lebih dari 85 tahun wadah pelaksana-an syariah Islamiyah yakni Khilafah
Islamiyah dibubarkan lalu dimusnahkan, namun ternyata potensi kekuatan Islam
sebagai agama sekaligus ideologi yang mengancam dan membahayakan agama,
ideo-logi maupun sistema lainnya adalah masih sangat besar. Sementara itu
agama, ideologi maupun siste-ma selain Islam (jika ada), ternyata baik secara
fakta orisinal maupun perkembangan empiriknya sama sekali tidak memiliki
atau menunjukkan potensi ancaman dan membahayakan seperti yang
melekat pasti pada Islam. Jadi objek mana lagi dan apa lagi yang
menjadi sasaran bidikan dari program hitam tersebut selain Islam?
Tentu saja tidak ada!
Realitas tersebut telah sejak lama terjadi
seiring dengan Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw dengan membawa Risalah
Islam sebagai sistema terakhir yang diturunkan bagi kehidupan manusia supaya
mereka tetap berada dalam posisinya sebagai manusia. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (آل عمران :
118)
Standard bagi kelayakan suatu nilai
Manusia yang hidup sepanjang Al-Quran
diturunkan, seluruhnya diseru dan dituntut oleh Allah SWT untuk membuktikan
dengan aqal mereka bahwa Al-Quran itu pasti (قَطْعِيًّا
جَازِمًا) berasal dari Allah SWT yakni كَلاَمُ
اللهِ وَلَيْسَ كَلاَمَ مُحَمَّدٍ اَوْ كَلاَمَ اَيِّ بَشَرٍ آخَرَ (ucapan Allah dan
bukan ucapan Muhammad atau ucapan manusia lainnya mana pun). Inilah yang
dengan sangat gamblang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
(البقرة : 23)
Dan
jika kalian (manusia) dalam keraguan terhadap apa yang telah Kami turunkan
kepada hamba Ka-mi (Muhammad), maka datangkanlah oleh kalian satu surat yang
serupa dengannya dan serulah oleh kalian seluruh penolong kalian selain Allah,
jika kalian memang benar
Seruan tantangan tersebut tentu saja didengar dan
disaksikan oleh seluruh manusia yang ada saat itu yakni Bangsa Arab termasuk
Rajanya Ahli Sya’ir Bangsa Arab Walid bin Mughirah yang secara spon-tan menyatakan :
وَاللهِ
مَا مِنْكُمْ رَجُلٌ اَعْرَفُ بِالأَشْعَارِ مِنِّيْ وَلاَ اَعْلَمُ بِرَجَزِهِ
وَقَصِيْدِهِ مِنِّيْ وَاللهِ مَا يُشَبِّهُ الَّذِيْ يَقُوْلُهُ شَيْئًا مِنْ
هَذَا وَاللهِ اِنَّ لِقَوْلِهِ الَّذِيْ يَقُوْلُهُ لَحَلاَوَةً وَاِنَّ عَلَيْهِ
لَطَلاَوَةً وَاِنَّهُ لَمَوْرُقٌ اَعْلاَهُ مُغْدَفٌ اَسْفَلَهُ وَاِنَّهُ
لَيَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ
Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang
lebih mengenal tentang sya’ir daripada aku dan tidak ada seorang pun yang lebih
tahu tentang sya’irnya dan sajaknya daripada aku. Demi Allah tidak ada sesuatu
pun yang menyerupai yang dia (Muhammad) ucapkan daripada ini (Al-Quran). De-mi
Allah sungguh perkataan yang dia ucapkan itu memiliki keindahan dan padanya
melekat kagungan dan sungguh itu (Al-Quran) adalah tulisan di atasnya, permata
di bawahnya dan sungguh itu (Al-Qur-an) adalah tinggi dan tidak ada yang dapat
menyamainya
Pernyataan
Sang Raja Sya’ir tersebut memastikan bahwa walau dia sangat menguasai hal ihwal
sya’ir dalam Bahasa Arab berikut seluk beluknya (بِرَجَزِهِ
وَقَصِيْدِهِ), namun tetap
saja dia tidak berdaya untuk me-menuhi tantangan Allah SWT yang ada dalam
Al-Baqarah ayat 23 tersebut. Keadaan tersebut tetap ber-langsung demikian
hingga Allah SWT menetapkan bahwa Al-Quran telah selesai diturunkan dan Islam
yang bersumber dari Al-Quran telah disempurnakan eksistensinya. Seandainya
Walid bin Mughirah menjadikan fakta dan informasi tentang Al-Quran yang nampak
nyata di hadapan dia bahkan dialami-nya sendiri sebagai objek pemikiran dia,
maka dapat dipastikan aqalnya akan menuntun dan menuntut dia untuk iman kepada
Al-Quran maupun Nabi Muhammad saw. Namun sayangnya inilah yang tidak terjadi
atas diri orang tersebut maupun sebagian sangat besar Bangsa Arab saat itu,
yakni mereka sama sekali tidak bersedia menggunakan aqalnya untuk membuktikan
bahwa Al-Quran itu adalah diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw.
Mengapa sikap mereka demikian?
Walaupun semua fakta yang merupakan bukti
aqliy tak terbantahkan tentang Al-Quran sebagai ucapan Allah SWT sekaligus
sebagai bukti bahwa Nabi Muhammad saw adalah Rasulullah terpampang nyata di
hadapan mereka dan terindera secara pasti, namun karena mereka telah memutuskan
untuk te-tap memenangkan kepentingan naluriahnya (kedudukan, prestise, ambisi,
kekuasaan dan sebagainya), maka seluruhnya sama sekali tidak berguna bagi
mereka (termasuk Walid bin Mughirah) dan tidak da-pat mengantarkan mereka
kepada pembenaran yang pasti (اَلإِيْمَانُ) baik kepada Al-Quran
maupun Nabi Muhammad saw. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ
لَا يُؤْمِنُونَ (البقرة : 6)
أَرَأَيْتَ
مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا (الفرقان :
43)
Artinya,
ketika manusia memutuskan untuk memposisikan kepentingan naluriah mereka (هَوَاهُمْ) sebagai Tuhan
mereka (إِلَهَهُمْ),
maka sejak saat itu pulalah mereka akan menolak aturan apa pun yang dianggap
bertentangan dengan atau menyalahi kepentingan tersebut termasuk yang dibawa
oleh para Rasul dari Allah SWT. Oleh karena itu penyampaian informasi apa pun
yang berasal dari Allah SWT oleh para Rasul (termasuk Rasulullah saw) kepada
mereka tidak akan pernah mampu merubah keputusan terse-but, bahkan mereka akan
bersikukuh dalam realitas لَا يُؤْمِنُونَ. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT pada bagian ayat : أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
yang sekaligus memastikan bahwa sikap kaum kufar untuk me-mutuskan mengambil
kekufuran (menolak Islam) adalah pilihan sadar mereka sendiri dan bukan
paksa-an dari Allah SWT.
Keputusan sadar berbasis kepentingan naluriah
itu juga yang telah diambil oleh manusia pertama Adam (bersama istrinya) yang
lebih memilih informasi dari Iblis daripada informasi dari Allah SWT :
فَوَسْوَسَ
لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا
وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا
مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ (الأعراف : 20)
Ucapan Iblis : مَا
نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ
أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ adalah hasutan (اَلْوِسْوَسَةُ) Iblis kepada
Adam dan istrinya dan itu sangat sesuai dengan kepentingan naluriah kedua
manusia per-tama itu sendiri yang memang sangat mengharapkan untuk menjadi
malaikat atau setidaknya terus me-nerus alias kekal berada di اَلْجَنَّةُ. Tuntutan untuk
merealisir kepentingan naluriah tersebut menjadikan Adam dan istrinya
mengabaikan informasi dari Allah SWT berupa larangan mendekati pohon serta
ten-tang realitas posisi Iblis sebagai musuh yang sejati bagi mereka berdua.
Allah SWT menyatakan :
وَنَادَاهُمَا
رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ (الأعراف : 22)
Mengapa
Allah SWT membiarkan Adam dan istrinya melaksanakan hasutan Iblis dan baru
memperso-alkannya setelah tindakan itu dilakukan oleh mereka berdua? Mengapa
Allah SWT tidak mencegah mereka berdua sebelum melakukannya?
Memang benar adalah sangat mudah bagi Allah
SWT untuk mencegah Adam dan istrinya terma-kan hasutan Iblis, sehingga mereka
berdua tidak jadi melakukan kesalahan tersebut. Namun justru jika pencegahan
tersebut dilakukan oleh Allah SWT, maka itu berarti Allah SWT telah memaksakan dila-kukan
atau tidak dilakukannya suatu perbuatan kepada mereka berdua dan
itu secara otomatis telah menghilangkan realitas Adam sebagai makhluq yang
diberi aqal dengan khasiat dapat memutuskan ma-na benar (dilakukan) dan mana
salah (tidak dilakukan) berdasarkan informasi yang telah diberikan se-cara
jelas dan pasti oleh Allah SWT kepada mereka atau berdasarkan fakta dari
persoalannya itu sendi-ri. Lagipula, informasi tentang posisi Iblis sebagai
musuh sejati mereka berdua tidak hanya dipertela-kan oleh pernyataan Allah SWT وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ tapi juga telah
disaksikan sendiri oleh Adam yakni ketika Iblis menolak perintah Allah SWT
untuk sujud kepadanya dengan argumen kesom-bongan berupa keunggulan bahan baku
penciptaan dirinya (مِنْ نَارٍ) dan diri Adam (مِنْ طِينٍ) :
وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ
ءَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا (الإسراء : 61)
قَالَ مَا
مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ
نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (الأعراف : 12)
قَالَ
يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ
أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ
وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (ص : 75-76)
Seluruh pertanyaan Allah SWT kepada Iblis berkenaan dengan
sikapnya yakni مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ
أَمَرْتُكَ atau يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ,
adalah didengar dan disaksikan oleh Adam sendiri demikian juga ketika Iblis
melontarkan sanggahan istikbarnya : ءَأَسْجُدُ
لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا atau أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ. Jika Adam menggunakan seluruh realitas, fakta dan informasi
seputar Iblis tersebut sebagai asas berpikirnya tentu saja yang akan dia
putuskan adalah menolak hasut-an Iblis dan tetap berpegang teguh kepada
ketentuan Allah SWT. Inilah mengapa Allah SWT dengan pasti mengingatkan kepada
manusia supaya mereka tetap menggunakan aqalnya dalam memutuskan perbuatan apa
pun selama hidup di dunia agar mereka terhindar dari bencana besar yang telah
menimpa Adam dan istrinya (kedua orang tua mereka) :
يَابَنِي
ءَادَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ
الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ
يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا
الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (الأعراف : 27)
Dengan demikian berdasarkan fakta sikap
manusia terhadap Al-Quran dan Nabi Muhammad saw serta kisah sikap Iblis dan
Adam, memastikan bahwa yang harus menjadi standard untuk kelayakan su-atu nilai
bagi kehidupan manusia di dunia adalah aqal manusia sendiri. Rinciannya adalah
:
1.
jika nilai yang dimaksud diklaim oleh si pembawanya sebagai wahyu
dari Allah SWT, maka aqal harus digunakan untuk membuktikan kebenaran klaim si
pembawa berita berikut tentang realitas beritanya itu sendiri. Inilah yang
seharusnya dilakukan oleh seluruh manusia baik yang satu zaman dengan Nabi
Muhammad saw maupun yang hidup setelah beliau saw wafat hingga tibanya saat
ke-hancuran dunia. Sebagai contoh inilah mengapa ada Khulafa Rasyidun (beserta
para sahabat yang ada dalam jajaran السَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ) dan ada juga Abu Lahab
berikut seluruh kaum kufar Quraisy, padahal kedua kubu tersebut sama-sama
bertemu dan berinteraksi dengan Nabi Mu-hammad saw.
2.
jika nilai yang dimaksudkan adalah berupa penetapan sifat atau
realitas atau hakikat dari suatu fak-ta atau persoalan atau permasalahan, maka
aqal harus digunakan untuk memahaminya melalui pe-nginderaan terhadap fakta
atau persoalan atau permasalahan tersebut yang disertai dengan meng-himpun
seluruh informasi (langsung atau yang berhubungan) tentang fakta atau persoalan atau per-masalahan
tersebut selengkap mungkin. Sebagai contoh penetapatan realitas aqal, perasaan,
ke-pribadian, masyarakat, negara, negeri, sistema Islami, sistem kufur, negara
Islami, negara kufur, demokrasi, kapitalisme, sekularisme, nasionalisme dan
sebaganya adalah sepenuhnya didasarkan kepada dalil aqliy berupa sifat fakta (وَصْفُ الْوَاقِعِ) dari seluruh realitas tersebut berikut penerapan-nya dalam
arena kehidupan manusia.
Wal hasil, kualifikasi yang ditetapkan oleh
Daisaku Ikeda bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu : (a) tidak boleh sempit
melainkan harus luas, (b) tidak boleh dangkal melainkan harus mendalam, (c)
tidak boleh berorientasi kepada kepentingan individu, kelompok, suku, ras
bahkan ideologi tertentu dan (d) harus bersifat universal, seluruhnya hanya
dan hanya dapat dipenuhi 100 persen oleh Islam. Hal itu karena Islam
dipastikan oleh aqal manusia sendiri berasal dari Allah SWT dan 100 persen
terbebas dari peran manusia mana pun termasuk Nabi Muhammad saw. Sehingga Islam
adalah sistema atau peratu-ran atau nilai-nilai yang luas, mendalam, universal
dan tidak berorientasi kepada kepentingan individu, kelompok, suku, ras dan
ideologi tertentu, bahkan Allah SWT pun tidak berkepentingan apa pun dalam
menetapkan Islam tersebut. Inilah yang dijamin pasti oleh pernyataan Allah SWT
:
إِنْ
تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ
إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ
عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (الزمر : 7)
Bagian
ayat إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ
عَنْكُمْ memastikan bahwa
Allah SWT tidak memiliki kepentingan apa pun atas manusia saat menetapkan
seluruh peraturan dalam Islam, melainkan seluruhnya diperuntukkan bagi kepentingan
manusia itu sendiri selama hidup di dunia : وَلَا
يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ.
Klaim Islam vs hukum aqal
Islam mengklaim bahwa realitas dirinya adalah satu-satunya اَلدِّيْنُ yang benar dan akan tetap ber-laku hingga tibanya batas akhir
dari kehidupan dunia. Islam mengklaim bahwa dia diperuntukkan bagi seluruh
manusia yang hidup di dunia sejak Nabi Muhammad saw ditetapkan sebagai
Rasulullah hingga manusia paling akhir hidup sesaat menjelang dihancurkannya
dunia. Islam mengklaim bahwa apa pun di luar dirinya berupa agama, sistema,
ideologi, peraturan, perundangan, nilai dan sebagainya, adalah salah dan wajib
ditinggalkan oleh manusia. Islam mengklaim bahwa dirinya mensifati realitas جَامِعًا yakni menghimpun (يَجْمَعُ) seluruh pemikiran, ide
dan hukum yang bersumber hanya dari sumber-sum-ber Islam. Bersamaan dengan itu,
Islam mengklaim bahwa dirinya bersifat مَانِعًا yakni menolak (يَمْنَعُ) se-luruh pemikiran, ide dan hukum yang berasal dari luar
Islam. Islam mengklaim bahwa seluruh manusia yang tidak bersedia masuk Islam
serta menolak tunduk kepada kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyah) adalah kaum
kufar yang wajib diperangi (اَهْلُ
الْحَرْبِيَّةِ), sedangkan kaum kufar yang bersedia tunduk ke-pada kekuasaan
Islam adalah haram diperangi dan mereka wajib dilindungi (اَهْلُ الذِّمَّةِ). Islam mewajib-kan seluruh umat Islam untuk menyebarluaskan
Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad yang sepenuhnya diberlakukan
oleh Khilafah Islamiyah. Islam mengklaim bahwa Khilafah Islamiyah adalah
satu-satunya wadah pelaksanaan seluruh ketentuan yang ada dalam Islam, tanpa
Khilafah dapat dipasti-kan Islam tidak akan pernah berlaku dalam kehidupan
dunia alias Islam secara otomatis akan sirna dari kehidupan manusia di dunia.
Islam mengklaim bahwa kaum muslim hanya satu kali dipimpin dan diu-rus oleh
seorang Nabi (Nabi Muhammad saw) dan setelah Nabi Muhammad saw wafat maka tugas
ter-sebut dibebankan kepada para Khalifah, sehingga realitas kedudukan Khulafa
dengan Rasulullah saw adalah sama persis yakni bertugas untuk memimpin dan
mengurus seluruh kaum muslim di dunia.
Bagaimana aqal menghukumi seluruh klaim Islam tersebut, apakah
aqal dapat menerimanya yak-ni membenarkan klaim Islam tersebut?
Klaim Islam tersebut berkenaan dengan seluruh
aspek kehidupan manusia dengan berbagai dina-mikanya, sehingga sangat terkesan
rumit dan kompleks dari segi rinciannya. Walau demikian karena aqal telah
terlebih dahulu dapat membuktikan dengan pasti perkara pokok dan mendasarnya
yakni realitas Nabi Muhammad saw adalah memang benar Rasulullah dan Al-Quran
yang datang bersama beliau adalah memang benar ucapan Allah SWT, maka aqal
dapat dengan mudah memutuskan bahwa seluruh klaim yang ada dalam Islam tersebut
adalah benar dan layak untuk diberlakukan dalam kehidu-pan manusia. Keputusan
aqal (حُكْمُ الْعَقْلِ) seperti itu telah
berhasil diraih oleh generasi السَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ de-ngan bukti sikap dan tindakan mereka yang berhasil
mempertahankan perjalanan kekuasaan dan peme-rintahan Islam tetap dalam manhaj
yang diwajibkan oleh Islam : خِلاَفَةٌ
عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ. Bahkan aqal mere-ka dapat memutuskan dengan benar skala
prioritas tindakan yang harus dilakukan yakni mana yang da-pat ditunda
dan mana yang harus didahulukan. Itulah yang terjadi di hari
wafatnya Nabi Muhammad saw ketika mereka lebih mendahulukan mencari orang yang
paling layak mengisi kekosongan posisi Imam karena ditinggalkan oleh Rasulullah
saw daripada perbuatan lainnya termasuk mengurus jenazah sangat mulia Nabi
Muhammad saw hingga dikubur. Abu Bakar menyatakan :
اِنَّ
مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Begitu juga opini umum para sahabat lainnya saat itu yang
bersikap :
كَرِهُوْا اَنْ
يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
mereka sangat membenci
tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidup-an
jamaah
Aqal umat Islam saat ini normalnya adalah
membenarkan sikap generasi السَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ tersebut sebab mereka adalah komunitas manusia yang bertemu
serta berinteraksi langsung dengan Rasulullah saw sehingga keputusan aqal
mereka menjadi jaminan pasti (دَلِيْلاً
عَقْلِيًّا قَاطِعًا) bahwa seluruh klaim Islam adalah benar dan layak untuk
diberlakukan dalam kehidupan manusia di dunia hingga tibanya اَلسَّاعَةُ. Realitas sikap dan tindakan inilah yang dituntut oleh
pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (آل عمران :
118)
Bagian
ayat قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْقِلُونَ memastikan bahwa
klaim Islam yang menempatkan kaum kufar sebagai akan selalu berencana untuk menghancurkan
Islam dan umat Islam (وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ) adalah benar
karena sesuai dengan fakta sikap mereka yang ditampakkan selama ini di hadapan
aqal. Artinya aqal sangat memahami bahwa segala sikap yang ditampakkan oleh
kaum kufar adalah memang sangat mengancam dan membahayakan kaum muslim,
sehingga apalagi yang mereka sembunyikan da-lam dada-dada mereka adalah pasti
lebih dahsyat lagi tingkat kebahayaannya.
Khatimah
Apa pun (peraturan, sistema, perundangan,
ideologi, nilai-nilai) yang dirumuskan lalu ditetapkan oleh manusia adalah
mustahil terlepas dari orientasi kepada kepentingan individu, kelompok, suku,
ras dan tidak mungkin bersifat universal. Bahkan justru sebaliknya, seluruh
peraturan, sistema, perundang-an, ideologi, nilai-nilai dan lainnya yang
ditetapkan oleh manusia adalah dapat dipastikan dalam rangka mengakomodasikan
dan mengelaborasikan seluruh kepentingan dirinya atau pihak lain yang memiliki
otoritas memaksa. Jadi apa yang diharapkan oleh Daisaku Ikeda akan selamanya
menjadi angan-angan belaka selama dia masih bertumpu harapan kepada manusia
mana pun. Inilah yang ditampakkan oleh peristiwa pembunuhan pertama kalinya
dalam sejarah perjalanan manusia yang dilakukan oleh salah satu anak Adam
terhadap saudaranya sendiri. Demikian juga sikap penolakan manusia dari zaman
ke zaman (yang mencapai puncaknya saat generasi manusia Bani Israil) terhadap
peraturan Allah SWT yang disampaikan oleh Nabinya masing-masing adalah terjadi
karena mereka menganggap peraturan Allah SWT tersebut tidak sesuai dengan
kepentingan naluriah mereka.
Oleh karena itu,
sikap manusia saat ini (baik yang mengaku diri umat Islam maupun tidak) yang
menolak Islam sebagai ideologi yang wajib diberlakukan secara sempurna,
menyeluruh dan utuh dalam kehidupan mereka di dunia, tentu saja disebabkan oleh
anggapan yang sama dengan manusia pendahu-lunya yakni mereka menganggap Islam
itu sangat tidak sesuai dengan kepentingan naluriah mereka. Bahkan mereka pun
menempatkan Islam sebagai tidak berpihak kepada kemanusiaan serta
tidak uni-versal, lalu opini tersebut mereka sebarluaskan dan propagandakan
dengan tujuan supaya seluruh ma-nusia terutama umat Islam segera saja
meninggalkan Islam dan beralih kepada peraturan, sistema, per-undangan,
ideologi, nilai-nilai yang mereka buat serta tetapkan sendiri. Padahal fakta
kehidupan dunia memastikan bahwa apa pun (peraturan, sistema, perundangan,
ideologi, nilai-nilai) yang dibuat dan di-tetapkan oleh manusia hanya akan
mengantarkan manusia kepada kebinasaan kemanusiaannya sendiri :
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ
أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ
أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
No comments:
Post a Comment