Upaya lain melumpuhkan Islam : membidik posisi Nabi Muhammad saw!
Muhammadun
AS (peneliti Center for
Pesantren and Democracy Studies) dalam tulisan berjudul “Rajab, Momentum
Merajut Solidaritas” menyatakan : Rajab sangat strategis dalam menggemakan
spirit persaudaraan dan perdamaian antarsesama. Terlebih juga dalam Rajab ini
Nabi Muhammad menjalankan wisata spiritual yang sangat monumental, yakni Isra
Mi’raj. Nabi Muhammad tidak mau bersenang di surga. Beliau lebih memilih
kembali ke bumi untuk menegakkan nilai kemanusiaan. Muhammad lebih memilih
sebagai manusia yang setiap saat selalu perhatian dengan setiap permasa-lahan
kemanusiaan. Masalah-masalah kemanusiaan selalu dicarikan solusi strategis
dengan jalan yang teduh, damai, dan penuh persaudaraan. Jalan beragama yang
teduh dan inspiratif inilah yang mengantarkan Abu Bakar percaya sepenuhnya
terhadap semua yang dilakukan Nabi dalam Isra’ Mi’-raj. Nilai-nilai
persaudaraan, kedamaian, dan kejujuran yang diajarkan dan dicontohkan Nabi
serta para sahabatnya menjadi tonggak sangat berharga bagi umat Islam untuk
menggelorakan berbagai tindak antikekerasan, antiteror, antikorupsi, dan
antikejahatan kemanusiaan lainnya. Spirit yang ditan-capkan Nabi tersebut
sangat tepat di tengah kondisi sosial bangsa yang sedang berkecamuk dengan
berbagai tragedi kemanusiaan yang tak kunjung usai. Bangsa Indonesia sedang dilanda berbagai
kri-sis kebangsaan dan kemanusiaan yang terus datang silih berganti.
Inilah modus operandi baru dalam upaya
global dan berkesinambungan untuk melumpuhkan Islam, yakni dengan
cara membidik posisi Nabi Muhammad saw yang diklaim oleh Muhammadun AS
sebagai :
a.
selalu mencarikan solusi strategis untuk
masalah-masalah kemanusiaan dengan jalan yang teduh, damai dan penuh
persaudaraan.
b.
telah menjalankan kehidupan beragama yang teduh dan
inspiratif.
c. telah
menancapkan spirit nilai-nilai persaudaraan, kedamaian dan kejujuran.
Seluruhnya dimaksudkan untuk
melucuti dan mempreteli segala hal yang berbau aroma kekerasan (pe-rang) dan
kekuasaan (politik) dari Islam. Perhatikan pernyataan Muhammadun AS
: konflik lintas aga-ma seolah diciptakan untuk menggagas gemuruh konflik
global yang saling membunuh dan memati-kan. Politisasi agama terus
dilangsungkan dengan penuh khidmat dalam sekian adegan kolosal yang sering kali
menggunakan atribut agama secara instan dan pragmatis. Terjadilah pendangkalan
makna dan substansi agama. Ya, agama sedang dibajak oleh pemeluknya sendiri.
Selain itu, dia juga berada dalam keadaan sangat
tercekam dan terpojokkan oleh realitas yang ada dan
selalu ada di sekitar dirinya, yakni :
a.
dari satu sisi dia sangat malu dan rendah diri
bahwa di tengah-tengah sorotan sangat tajam terha-dap posisi agama yang divonis
sebagai pemicu bahkan sumber konflik antarumat beragama, ternya-ta Islam (agama
yang dia anut) justru memerintahkan perang dan mengharuskan kaum muslim un-tuk
menjadikan kekuasaan (negara) sebagai wadah pelaksanaan Islam itu sendiri.
b. dari
sisi yang lainnya, dia begitu terpesona oleh tawaran sangat
simpatik dari Dunia Barat untuk mengadakan berbagai forum dialog antara Dunia
Islam dengan mereka.
Tidak diragukan lagi, inilah
kondisi aktual seorang muslim yang : (a) telah sejak lahir belum pernah
mengalami dan menyaksikan pola perjalanan kehidupan di luar sistema sekularisme
dan (b) bersikap ekslusif terhadap pemikiran apa pun yang bertolak belakang
dengan seluruh ketentuan dari sekularis-me, walau kadang seolah dia berusaha
untuk mencoba sedikit inklusif misalnya dengan membahas be-berapa
bagian dari pemikiran Islam tentang Bulan Rajab, syafaat, shaum, perang membela
diri, Isra dan Mi’raj, posisi Nabi Muhammad serta yang lainnya. Namun demikian,
hal itu dia lakukan bukan sebagai bentuk keberpihakan dirinya
kepada Islam dan umat Islam melainkan justru ditujukan untuk menam-pakkan
kontribusi yang serius bagi sekularisme itu sendiri. Perhatikan pernyataan dia
: Rajab bisa men-jadi penanda tepat menuju keberagamaan yang terbuka,
toleran, dan egaliter. Sebagaimana dijelaskan Nabi Muhammad bahwa di surga ada
sebuah sungai yang disebut Rajab. Sungai itu lebih putih daripa-da susu dan
lebih manis daripada madu. Siapa saja yang berpuasa di bulan Rajab, Allah akan
membe-rikan minum dari surga Rajab. Dalam konteks ini, bulan Rajab
memancarkan mata air persaudaraan dan perdamaian. Nampak sekali, pernyataan
itu adalah pesan yang sangat kuat bagi umat Islam bah-wa Nabi
Muhammad saw hanya dan hanya mengajarkan kehidupan keberagamaan
yang terbuka (inklusif), toleran (tidak pernah ada klaim paling benar) dan
egaliter alias tidak radikal. Lalu, benarkah posisi Nabi Muhammad
saw adalah seperti klaim Muhammadun tersebut?
Posisi Nabi Muhammad saw yang diklaim oleh
Muhammadun adalah sebagai berikut :
a. selalu
mencarikan solusi strategis untuk masalah-masalah kemanusiaan dengan jalan yang
teduh, damai dan penuh persaudaraan.
Posisi Rasulullah Muhammad saw dapat
dipahamkan dengan dua dalil yakni dalil aqliy (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ)
dan dalil naqliy (دَلِيْلٌ نَقْلِيٌّ). Dalil aqliy
memastikan bahwa seiring dengan adanya fakta wafatnya Nabi Isa as yang secara
otomatis periode berlakunya Kitab Injil sebagai sumber agama Nasrani te-lah
berakhir, maka ketika Allah SWT mentaqdirkan bahwa Nabi Muhammad saw adalah
penutup dari seluruh Nabi dan tidak akan ada lagi Nabi yang diutus bagi
manusia, tentu saja aqal manusia yang berpikir benar akan memutuskan bahwa
Al-Quran yang dibawa serta oleh beliau saw adalah sumber informasi bagi manusia
yang berkenaan dengan bagaimana cara mereka untuk melanjut-kan kehidupan
di dunia? Artinya aqal manusia memastikan (يُحَتِّمُهُ عَقْلُ
الإِنْسَانِ) bahwa tidak mung-kin bagi manusia untuk menentukan sendiri
sistema atau peraturan yang akan mereka gunakan da-lam menjalankan kehidupannya
di dunia. Hal itu karena, perjalanan hidup mereka sendiri hingga saat wafatnya
Nabi Isa menunjukkan dengan pasti bahwa mereka benar-benar membutuhkan
hi-dayah dari Allah SWT berkenaan dengan sistema atau peraturan untuk kehidupan
selama di dunia. Dengan demikian, memang benar posisi Nabi
Muhammad saw adalah Rasulullah yang membawa sistema atau peraturan baru bagi
kehidupan manusia di dunia sepeninggal Nabi Isa as dan itu ter-wujud dalam
bentuk Al-Quran sebagai sumbernya. Jadi, aqal manusia memutuskan bahwa risalah
Islam yang dibawa serta oleh Nabi Muhammad saw adalah solusi bagi semua persoalan
kehidupan manusia selama di dunia hingga tibanya hari berakhirnya dunia :
تَكُوْنُ رِسَالَةُ الإِسْلاَمِ عِلاَّجًا
لِسَائِرِ الْمَشَاكِلِ الإِنْسَانِيَّةِ مَادَامُوْا حَيًّا فِيْ الدُّنْيَا
حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ وَهَذَا لاَشَكَّ فِيْ ذَلِكَ لِمَنْ لَهُ عَقْلٌ
مُتَبَصِّرٌ
Lalu, ketika aqal mencoba memahami
seluruh informasi yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, ternyata keputusan
aqal berbasis dalil aqliy benar-benar sesuai dengan seluruh pemikiran yang ada
dalam kedua sumber informasi Islam tersebut (dalil naqliy). Sebagai contoh :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي
أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ
اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (يوسف : 108)
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
(المائدة : 48)
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ
أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ
جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (الشورى : 52)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ
بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ
لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ
عَامَّةً (رواه البخاري)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ
إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ وَأُحِلَّتْ
لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ
طَيِّبَةً طَهُورًا وَمَسْجِدًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ صَلَّى
حَيْثُ كَانَ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ بَيْنَ يَدَيْ مَسِيرَةِ شَهْرٍ وَأُعْطِيتُ
الشَّفَاعَةَ (رواه مسلم)
Keseluruhan dalil tersebut (Al-Quran
dan As-Sunnah) memberikan pemikiran dan pemahaman ke-pada aqal manusia bahwa memang
benar Nabi Muhammad saw itu membawa serta solusi untuk kehidupan
manusia di dunia. Manusia tinggal hanya menggunakan aqal mereka untuk
menggali-nya dalam rangka memahami ketentuan Allah SWT (حُكْمُ اللهِ
تَعَالَى) bagi setiap persoalan kehidupan yang mereka hadapi.
Singkatnya, aqal manusia sangat sepakat dan bahkan sangat puas karena Allah SWT
telah memberikan kemudahan yang luar biasa kepada mereka dalam
menjalani dan menja-lankan kehidupan di dunia, sehingga manusia tidak
perlu repot-repot dan kesusahan untuk membu-at maupun merumuskan
sendiri sistema (peraturan) kehidupan di dunia.
Lalu, benarkah Islam itu adalah
solusi yang teduh, damai dan penuh
persaudaraan? Harus diingat bahwa realitas “teduh, damai dan penuh
persaudaraan” adalah keadaan atau situasi yang diterima atau dialami atau
dirasakan oleh manusia secara naluriah (instinctly atau غَرِيْزِيٌّ)
akibat semua tuntu-tan naluriahnya dapat terpenuhi dengan sempurna (اِشْبَاعًا
كُلِّيًا), sehingga perasaannya menjadi teduh (sejuk dan tidak merasa
“gerah”), damai (resting or relaxation atau اِرْتِيَاحًا)
dan tidak berada dalam ancaman atau permusuhan orang lain alias seakan penuh
persaudaraan. Namun, semua perasaan itu akan serta merta sirna lagi bahkan
berganti dengan keadaan sebaliknya, bila tuntutan naluriahnya kembali muncul
dan meminta pemenuhan untuk kali kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu
adalah mustahil menurut aqal bila sifat solusi yang ada dalam Islam hanya
memberikan “kepuasan dan ketenteraman sesaat”. Aqal menuntut supaya Islam itu
adalah solusi yang integral yaitu memu-askan aqal (يُقْنِعُ الْعَقْلَ
قَنَاعَةً) dan menjadikan tenteramnya perasaan (يَمْلَـأُ
الْقَلْبَ طُمَأْنِيْنَةً), sehingga sifat-nya permanen selama
manusia bersikap mengikatkan dirinya secara utuh kepada Islam. Inilah yang
dimaksudkan oleh Allah SWT saat menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (محمد
: 7)
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ
تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا
يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ (آل
عمران : 120)
Namun, apakah realitas
“teduh, damai dan penuh persaudaraan” seperti itukah yang dimaksudkan oleh
Muhammadun? Jawabannya adalah sama sekali bukan, sebab
pengungkapan “teduh, damai dan penuh persaudaraan” tersebut dia maksudkan
sebagai antithesis alias keadaan sebaliknya dari keadaan yang
tengah berlangsung di sekitar dirinya yang dianggap sebagai “panas, perang dan
pe-nuh permusuhan”. Inilah yang terungkap jelas dalam pernyataannya : ya,
telah terjadi penjungkir-balikan eksistensi persaudaraan dan kemanusiaan. Semua
dicabik-cabik dengan paksa. Tragis! Tercederainya persaudaraan bisa kita tandai
dari berbagai kerusuhan warga pasca pilkada, makin longgarnya konflik dan
tawuran lintas warga desa, dan miskinnya altruisme kaum elite terhadap kaum
marginal yang terseok-seok nasibnya. Demikian juga persaudaraan lintas agama
yang se-dang di titik nadir yang menyedihkan. Konflik antaragama masih menjadi
gema konflik global yang mudah disulut berbagai kasus kecil yang dijalankan
oknum.
Wal
hasil, Muhammadun sedang berusaha keras untuk melakukan rekonstruksi
dan format ulang terhadap Islam supaya dapat sesuai dan sejalan
dengan keinginan dan desakan kepentingannya un-tuk dapat membuat kaum kufar
jadi senang kepada Islam sekaligus menghargainya sehingga Dunia Islam tidak
lagi diposisikan secara hina dan sebagai kelas rendahan. Dia lakukan aksi itu
dengan cara yang sangat sadis dan brutal karena telah mengklaim dengan tegas
bahwa Nabi Muhammad saw telah mengajarkannya dan memerintahkannya : nilai-nilai
persaudaraan, kedamaian, dan keju-juran yang diajarkan dan dicontohkan Nabi
serta para sahabatnya menjadi tonggak sangat ber-harga bagi umat Islam untuk
menggelorakan berbagai tindak antikekerasan, antiteror, antikorupsi, dan
antikejahatan kemanusiaan lainnya.
b. telah
menjalankan kehidupan beragama yang teduh dan inspiratif.
Nabi Muhammad saw tidak pernah menjalankan
kehidupan beragama, melainkan yang beliau ja-lankan secara pasti dan riil
adalah kehidupan manusia di dunia berbasis Islam. Hal itu karena, ke-hidupan
beragama berarti kehidupan sekelompok manusia dari suatu komunitas agama di
tengah-tengah komunitas agama lainnya. Sebagai contoh : kehidupan beragama
komunitas umat Islam di tengah-tengah komunitas agama lainnya yang ada di Indonesia
yaitu komunitas Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu serta lainnya dan seluruhnya
bersama berdiri di atas asas sekularisme. Inilah realitas kehidupan beragama
dalam sebuah negara yang berbasis sekularisme.
Tentu
saja, kaum kufar sekalipun (baik Yahudi maupun Nasrani) sangat mengetahui bahwa
pola kehidupan manusia (طِرَازُ الْعَيْشِ الإِنْسَانِيِّ)
yang pernah dijalankan oleh Nabi Muhammad saw adalah diametral dan berbeda
secara mendasar dengan pola kehidupan berbasis sekularisme seperti saat ini di
belahan dunia mana pun. Pola kehidupan manusia yang dipimpin oleh Nabi saw
adalah tidak pernah mengenal adanya pemisahan kehidupan keagamaan
(اَلْحَيَاةُ
الدِّيْنِيَّةُ) dan kehidupan kenegaraan (اَلْحَيَاةُ
الدَّوْلِيَّةُ). Nabi Muhammad saw hanya menjalankan
kehidupan yang satu dan khas yakni sesuai dengan realitas Islam itu sendiri
sebagai : اَلدِّيْنُ
وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ, dalam Islam tersatukan diin dan
negara. Islam tidak pernah mengenal adanya pemisahan kelompok agamawan
(رِجَالُ
الدِّيْنِ) dan golongan ne-garawan (رِجَالُ الدَّوْلَةِ),
melainkan seluruhnya disatukan oleh Islam sebagai umat Islam dan pengem-ban
risalah Islam ke seluruh dunia : هُمْ يَكُوْنُوْنَ وَاحِدًا اُمَّةً
اِسْلاَمِيَّةً وَحَمَلَةَ رِسَالِةِ الإِسْلاَمِ اِلَى سَائِرِ الْعَالَمِ.
Pola ke-hidupan masyarakat Islam ini telah selama 10 tahun dijalankan oleh
Rasulullah saw dan telah lebih dari 1200 tahun dijalankan oleh Khilafah
Islamiyah sepeninggal Nabi saw dan itu dimulai oleh ba-risan manusia paling
mulia setelah Nabi sendiri : Khulafa Rasyidun. Sekali lagi, pentas perjalanan
pola kehidupan masyarakat Islam ini sangat diketahui baik oleh
kaum muslim sendiri maupun ka-um kufar yang menjadikan Islam beserta Dunia
Islam sebagai musuh besar abadi mereka. Buktinya adalah terpampang jelas saat
ini, yaitu kaum kufar yang dipimpin oleh Dunia Barat selalu berusaha keras dan
berkesinambungan untuk semakin mengokohkan serta memantapkan pola kehidupan
du-nia berasaskan sekularisme berikut pemikiran cabang maupun turunannya. Lalu,
mengapa seorang Muhammadun
AS begitu bodoh dan sembarangan
dalam pemikirannya?
c. telah
menancapkan spirit nilai-nilai persaudaraan, kedamaian dan kejujuran.
Makna spirit dalam konteks
penggunaannya adalah semangat, dorongan atau momentum. Sehingga makna telah
menancapkan spirit nilai-nilai persaudaraan, kedamaian dan kejujuran adalah
telah menancapkan semangat atau dorongan atau momentum nilai-nilai
persaudaraan, kedamaian dan kejujuran. Ketika suatu nilai atau sistema
atau konsep atau peraturan diposisikan sebagai spirit maka
itu berarti : (1) nilai atau sistema atau konsep atau peraturan
tersebut sama sekali tidak digu-nakan atau dielaborasi atau diterapkan atau
diimplementasikan secara utuh (100 persen) melainkan mungkin hanya sebagian
kecilnya saja yakni imbas pengaruhnya semata atau (2) nilai
atau siste-ma atau konsep atau peraturan tersebut hanya
dijadikan sebagai pewarna, pemanis, pelengkap, pe-nyempurna untuk suatu nilai
atau sistema atau konsep atau peraturan lainnya yang sama
sekali ti-dak berhubungan apa pun, baik itu secara aqidah maupun ideologis.
Singkatnya, ketika suatu nilai atau sistema atau konsep
atau peraturan hanya dijadikan spirit maka yang diambil dari nilai
atau sistema atau konsep atau peraturan tersebut adalah
aspek yang terkategori substantifnya.
Inilah yang saat ini banyak
didengungkan dengan sangat nyaring dalam belantara pemikiran global, misalnya :
Islam jangan hanya dimaknai secara formal, melainkan harus lebih ke arah
nilai-nilai yang universal seperti nilai-nilai kejujuran, kebaikan, kasih
sayang antar sesama, anti kekerasan, anti penindasan, keberpihakan kepada kaum
kecil dan seterusnya atau semua agama sama saja yaitu sama-sama
mengajarkan nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, kejujuran, keadilan, kasih
sayang dan sebagainya atau ungkapan-ungkapan lainnya yang serupa
dengan itu. Sekali lagi, ini-lah yang tengah sangat gencar dipropagandakan oleh
kaum kufar (Dunia Barat) berikut para pem-bantu dan pelayan setia mereka dari
kalangan kaum muslim di seluruh dunia. Tujuannya adalah hanya satu : menggiring
pemikiran dan opini umat Islam ke arah kesimpulan bahwa Islam adalah sekedar
agama yang tidak memiliki perbedaan maupun keistimewaan apa pun dari
agama-agama lainnya. Akibatnya adalah sangat besar dan mendasar yakni menjadikan
umat Islam tidak lagi me-miliki sikap bangga alias proudness
sedikit pun terhadap Islam. Keadaan ini memposisikan umat Islam dalam kedudukan
dan realitas yang sama dan sebangun alias simetris dengan penganut aga-ma
Katholik, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan lain-lain. Seluruh penganut
agama-agama tersebut pada akhirnya berhimpun sembari ruku, sujud, bersimpuh
penuh khidmat di bawah nau-ngan komando the new God yakni
sekularisme. Dengan demikian klaim Muhammadun bahwa Nabi Muhammad saw telah
menancapkan spirit nilai-nilai persaudaraan, kedamaian dan kejujur-an
adalah sebuah kedustaan, penyesatan, penjungkirbalikan opini yang dikaitkan
kepada Rasulullah saw dan secara otomatis akhirnya kepada Allah SWT. Bagi dia,
baik itu Allah SWT maupun Nabi Muhammad saw sama-sama telah mewajibkan umat
Islam (termasuk dirinya) untuk memberangus dan melumpuhkan Islam
sedemikian rupa sehingga menjadi agama yang biasa saja dan simetris
dengan agama-agama lainnya yakni hanya berurusan dengan entitas spiritualisme
ritualisme.
Jadi, Muhammadun AS
tidak diragukan lagi merupakan salah satu dari pengusung bahkan pembela yang
siap rela mati kapan saja untuk semakin kokoh dan kuatnya pemberlakuan
sekularisme dalam realitas kehidupan manusia di dunia, terutama di Dunia Islam.
Allah SWT menyatakan :
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ
بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُونَ (التوبة : 32)
Spirit Kemanusiaan Nabi
Muhammad : Adakah?
Apabila Nabi Muhammad saw dianggap sebagai pemberi spirit
kemanusiaan, maka itu berarti beliau adalah tokoh spiritual
kemanusiaan keagamaan yakni seseorang yang pekerjaannya
hanya semata memberikan semangat, dorongan, momentum kemanusiaan
berbasis nilai-nilai agama kepada seluruh manusia dan sama sekali tidak memberikan
sistema atau konsep atau peraturan solutif bagi mereka. Jadi, Nabi
Muhammad saw sama persis alias identik dengan Rampoche-nya agama Budha atau
Dalai Lama-nya rakyat Tibet
atau Dewi Kwan Im-nya agama Kong Hu Chu atau Paus-nya Katholik. Inilah yang dituduhkan
dan dilekatkan dengan sengaja dan penuh kesadaran oleh Muhammadun AS
kepada Rasulullah saw. Lalu, benarkah semua tuduhan dan tudingan
orang tersebut?
Apabila Muhammadun AS mau sedikit saja
berpikir dengan mengindera fakta perjalanan Nabi Muhammad saw dan Islam selama
10 tahun di Madinah Al-Munawwarah lalu ketika Khulafa Rasyidun memimpin Dunia
Islam (Khilafah) pasca Rasul saw wafat hingga awal abad ke-20 tepatnya 3 Maret
1924 saat diruntuhkannya Khilafah Utsmaniyah oleh Kerajaan Inggris, yang
seluruhnya memakan wak-tu lebih dari 1300 tahun alias 13 abad, maka sepanjang
13 abad perjalanan Islam dan Dunia Islam itu memastikan bahwa Nabi Muhammad
saw, Khulafa Rasyidun, Khulafa Amawiyyun, Khulafa Abbasiy-yun dan Khulafa
Utsmaniyyun adalah bukan dan tidak pernah menjadi (secara konsep
maupun prak-tik) tokoh spiritual kemanusiaan keagamaan yang pekerjaannya
hanya semata memberikan sema-ngat, dorongan, momentum kemanusiaan
berbasis nilai-nilai agama kepada seluruh manusia dan sama sekali tidak memberikan
sistema atau konsep atau peraturan solutif bagi mereka. Realitas
terindera ini bahkan sangat dipahami oleh kaum kufar sekalipun (Inggris dan
Amerika Serikat) yang di antaranya adalah Will Durant dalam bukunya “Kisah
Peradaban” bab 13, halaman 151 menyatakan : para Kha-lifah telah memberikan
keamanan yang sangat luar biasa kepada manusia, kehidupan mereka berikut
kekayaan hasil jerih payah mereka. Para
Khalifah juga telah mempersiapkan berbagai peluang dan kesempatan bagi
orang-orang yang memerlukannya serta meratakan kesejahteraan selama
berabad-abad dalam cakupan luas wilayah yang tidak pernah lagi tercatatkan
fenomenanya setelah masa mere-ka. Akibat keuletan dan kerja keras mereka (para
Khalifah) menjadikan pendidikan menyebar luas, se-hingga berbagai ilmu, sastra,
filsafat dan seni mengalami kejayaan luar biasa yang menjadikan Asia Barat
sebagai bagian Dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.
Namun, persoalannya
adalah bukan karena Muhammadun tidak mengindera realitas gamblang itu melainkan
dia telah terlebih dahulu mendasarkan seluruh pemikirannya kepada sistema yang
saat ini te-ngah diberlakukan dalam kehidupan umat Islam : sekularisme.
Sehingga bila pun dia menjadikan reali-tas Khilafah itu sebagai informasi yang
sampai ke otaknya, maka itu pun akan dia posisikan sebagai kisah masa lalu
belaka yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan keadaan sekarang. Inilah
yang terungkap dari pemikirannya saat dia mengutip pernyataan Sugiharto (2003)
: untuk menjadi sungguh-sungguh berarti kembali, maka agama perlu melakukan
kritik-diri secara struktural, mengenali perso-alan-persoalan mendasar dunia
modern, dan mampu menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang baru. Tanpa
itu, ia hanya akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban paling
menge-rikan atau semangat nostalgis naif yang berbahaya. Jadi, bagi dia
realitas 1300 tahun lebih perjalanan Khilafah Islamiyah adalah sekedar semangat
nostalgis naif yang berbahaya. Lebih dari itu, bagi dia keberhasilan
sempurna Nabi Muhammad saw dalam memberlakukan Ideologi Islam dalam realitas
ke-hidupan manusia adalah sama sekali tidak ada artinya dan sangat
berbahaya lagi naif bila selalu di-jadikan nostalgia oleh umat Islam
saat ini. Demikian juga, keberhasilan Khulafa Rasyidun dalam mengikuti jejak
Nubuwwah saat mereka memberlakukan Islam di arena kehidupan dunia adalah sangat
berbahaya dan naif bila dijadikan nostalgia untuk diikuti oleh kaum
muslim saat ini. Artinya bagi Muhammadun
AS adalah salah dan keliru
saat Allah SWT menyatakan :
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ (التوبة : 100)
Begitu
juga adalah terlalu berlebihan dan juga sangat salah
saat Rasulullah saw menyatakan :
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى
اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ
بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه ابن ماجه)
Jelas sudah apa tujuan sebenarnya dari Muhammadun AS
yakni dia dengan sadar dan terencana tengah menyalahkan Allah SWT dan
Nabi Muhammad saw karena menurut dia, baik itu Allah SWT maupun
Nabi Muhammad saw tidak konsisten dalam menetapkan sesuatu. Lalu, untuk
tujuan apa dia dengan begitu beraninya menghina Allah SWT dan Nabi
Muhammad saw tersebut? Pastilah untuk melumpuhkan Islam agar
hanya menjadi agama spiritualistik ritualistik, tidak lebih dari itu.
Kehidupan yang sejati
Kehidupan yang sejati atau اَلْحَيَاةُ
الْحَقِيْقِيَّةُ adalah kehidupan manusia di dunia yang
berjalan sesuai dengan fakta diri mereka sebagai manusia bukan sebagai hewan.
Hakikat manusia jelas berbeda dengan hewan, yakni manusia diberi aqal oleh
Allah SWT sedangkan hewan tidak, walaupun sama-sama diberi otak di dalam
tempurung kepalanya. Akibatnya adalah perilaku manusia (سُلُوْكُ
الإِنْسَانِ) wajib berbeda dari gerak gerik hewan sebab yang mengendalikan
perilaku manusia adalah aqal dan naluri, sedangkan pada gerak gerik hewan hanya
berasal dari atau didorong oleh kepentingan (tuntutan) naluriahnya se-mata. Ini
adalah hakikat manusia yang benar-benar dapat dipahami oleh aqal mereka
sendiri, sehingga tidak mungkin terjadinya perbedaan pandangan atau kesimpulan
tentang jatidiri manusia tersebut.
Islam diturunkan oleh
Allah SWT kepada manusia adalah untuk mengatur perilaku mereka sela-ma hidup di
dunia supaya tetap berada dalam statusnya sebagai manusia serta dapat
mempertahankan kehidupan mereka tetap dalam kehidupan yang sejati dan tidak
berubah menjadi kehidupan hewani. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT saat
menyatakan :
أَرَأَيْتَ مَنِ
اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ
أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ
بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (الفرقان :
44-43)
Lalu, supaya Islam dapat diberlakukan secara riil
dalam kehidupan manusia hingga dapat menja-min kehidupan mereka tetap dalam
kesejatiannya, maka manusia itu sendiri wajib menggunakan aqal mereka untuk
memahami seluruh seruan Allah SWT dalam sumber-sumber Islam : Al-Quran dan
As-Sunnah. Artinya, antara Islam dan upaya manusia untuk tetap berada dalam
kehidupan yang sejati adalah dua perkara yang memang diniscayakan oleh aqal
harus ada dan menyatu. Allah SWT menyata-kan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
(الأنفال : 24)
Maknanya adalah :
دَعْوَةٌ مِنَ اللهِ
وَرَسُوْلِهِ تَكُوْنُ هِيَ مَا سَتُحْيِيْ النَّاسَ حَيَاةً حَقِيْقِيَّةً اِنِ
اسْتَجَابُوْا لَهَا قَطْعًا
“seruan dari Allah
dan Rasul-Nya adalah yang akan menghidupkan manusia dalam kehidupan yang sejati
apabila mereka memenuhinya dengan pasti”
Inilah yang disepakati oleh aqal sebab sejak awal aqal
menyadari dan memahami bahwa jika Allah SWT membiarkan manusia hidup di dunia
sesuai keinginan manusia sendiri (اَهْوَاءُهُمْ) seperti hal-nya Allah membiarkan hal itu
terjadi pada hewan, maka pastilah tujuan Allah SWT dalam menciptakan manusia
itu sendiri tidak akan pernah tercapai. Hal itu karena sikap taat yang dituntut
oleh Allah SWT dari manusia hanya dapat dipenuhi dengan sempurna oleh mereka
bila mereka diberi khasiat aqal yang dapat membedakan mana sikap
taat yang muncul dari kesadaran dan mana ketaatan
yang hanya dido-rong oleh naluriah semata. Itulah yang membedakan
secara sangat mendasar antara ketaatan hewan dengan ketaatan
manusia kepada Allah SWT. Aqal memahami benar bahwa untuk tujuan supaya
manu-sia selalu memfungsikan aqal mereka selama hidup di dunia sehingga selalu
berada dalam kehidupan yang sejati, maka Allah SWT menurunkan Al-Quran :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2)
Kehidupan sejati (حَيَاةً حَقِيْقِيَّةً)
adalah pola kehidupan yang seutuhnya terhindar dari distorsi kepen-tingan
naluriah manusiawi dan hanya berasaskan pemahaman aqal terhadap seluruh
pemikiran yang telah Allah SWT turunkan untuk manusia melalui Nabi Muhammad
saw. Dengan demikian keberlang-sungan kehidupan manusia di dunia bisa terjamin
dan tidak bersifat self-destruction sehingga hanya akan berakhir karena
telah tiba saatnya untuk berakhir semata bukan karena ulah manusia.
وَلَوِ اتَّبَعَ
الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ
أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
No comments:
Post a Comment