Monday, November 11, 2013

SPIRIT KEMANUSIAAN NABI MUHAMMAD : ADAKAH?


Upaya lain melumpuhkan Islam : membidik posisi Nabi Muhammad saw!
Muhammadun AS (peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies) dalam tulisan berjudul “Rajab, Momentum Merajut Solidaritas” menyatakan : Rajab sangat strategis dalam menggemakan spirit persaudaraan dan perdamaian antarsesama. Terlebih juga dalam Rajab ini Nabi Muhammad menjalankan wisata spiritual yang sangat monumental, yakni Isra Mi’raj. Nabi Muhammad tidak mau bersenang di surga. Beliau lebih memilih kembali ke bumi untuk menegakkan nilai kemanusiaan. Muhammad lebih memilih sebagai manusia yang setiap saat selalu perhatian dengan setiap permasa-lahan kemanusiaan. Masalah-masalah kemanusiaan selalu dicarikan solusi strategis dengan jalan yang teduh, damai, dan penuh persaudaraan. Jalan beragama yang teduh dan inspiratif inilah yang mengantarkan Abu Bakar percaya sepenuhnya terhadap semua yang dilakukan Nabi dalam Isra’ Mi’-raj. Nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, dan kejujuran yang diajarkan dan dicontohkan Nabi serta para sahabatnya menjadi tonggak sangat berharga bagi umat Islam untuk menggelorakan berbagai tindak antikekerasan, antiteror, antikorupsi, dan antikejahatan kemanusiaan lainnya. Spirit yang ditan-capkan Nabi tersebut sangat tepat di tengah kondisi sosial bangsa yang sedang berkecamuk dengan berbagai tragedi kemanusiaan yang tak kunjung usai. Bangsa Indonesia sedang dilanda berbagai kri-sis kebangsaan dan kemanusiaan yang terus datang silih berganti.
Inilah modus operandi baru dalam upaya global dan berkesinambungan untuk melumpuhkan Islam, yakni dengan cara membidik posisi Nabi Muhammad saw yang diklaim oleh Muhammadun AS sebagai :
a.       selalu mencarikan solusi strategis untuk masalah-masalah kemanusiaan dengan jalan yang teduh, damai dan penuh persaudaraan.
b.       telah menjalankan kehidupan beragama yang teduh dan inspiratif.
c.       telah menancapkan spirit nilai-nilai persaudaraan, kedamaian dan kejujuran.
Seluruhnya dimaksudkan untuk melucuti dan mempreteli segala hal yang berbau aroma kekerasan (pe-rang) dan kekuasaan (politik) dari Islam. Perhatikan pernyataan Muhammadun AS : konflik lintas aga-ma seolah diciptakan untuk menggagas gemuruh konflik global yang saling membunuh dan memati-kan. Politisasi agama terus dilangsungkan dengan penuh khidmat dalam sekian adegan kolosal yang sering kali menggunakan atribut agama secara instan dan pragmatis. Terjadilah pendangkalan makna dan substansi agama. Ya, agama sedang dibajak oleh pemeluknya sendiri.
Selain itu, dia juga berada dalam keadaan sangat tercekam dan terpojokkan oleh realitas yang ada dan selalu ada di sekitar dirinya, yakni :
a.       dari satu sisi dia sangat malu dan rendah diri bahwa di tengah-tengah sorotan sangat tajam terha-dap posisi agama yang divonis sebagai pemicu bahkan sumber konflik antarumat beragama, ternya-ta Islam (agama yang dia anut) justru memerintahkan perang dan mengharuskan kaum muslim un-tuk menjadikan kekuasaan (negara) sebagai wadah pelaksanaan Islam itu sendiri.
b.       dari sisi yang lainnya, dia begitu terpesona oleh tawaran sangat simpatik dari Dunia Barat untuk mengadakan berbagai forum dialog antara Dunia Islam dengan mereka.
Tidak diragukan lagi, inilah kondisi aktual seorang muslim yang : (a) telah sejak lahir belum pernah mengalami dan menyaksikan pola perjalanan kehidupan di luar sistema sekularisme dan (b) bersikap ekslusif terhadap pemikiran apa pun yang bertolak belakang dengan seluruh ketentuan dari sekularis-me, walau kadang seolah dia berusaha untuk mencoba sedikit inklusif misalnya dengan membahas be-berapa bagian dari pemikiran Islam tentang Bulan Rajab, syafaat, shaum, perang membela diri, Isra dan Mi’raj, posisi Nabi Muhammad serta yang lainnya. Namun demikian, hal itu dia lakukan bukan sebagai bentuk keberpihakan dirinya kepada Islam dan umat Islam melainkan justru ditujukan untuk menam-pakkan kontribusi yang serius bagi sekularisme itu sendiri. Perhatikan pernyataan dia : Rajab bisa men-jadi penanda tepat menuju keberagamaan yang terbuka, toleran, dan egaliter. Sebagaimana dijelaskan Nabi Muhammad bahwa di surga ada sebuah sungai yang disebut Rajab. Sungai itu lebih putih daripa-da susu dan lebih manis daripada madu. Siapa saja yang berpuasa di bulan Rajab, Allah akan membe-rikan minum dari surga Rajab. Dalam konteks ini, bulan Rajab memancarkan mata air persaudaraan dan perdamaian. Nampak sekali, pernyataan itu adalah pesan yang sangat kuat bagi umat Islam bah-wa Nabi Muhammad saw hanya dan hanya mengajarkan kehidupan keberagamaan yang terbuka (inklusif), toleran (tidak pernah ada klaim paling benar) dan egaliter alias tidak radikal. Lalu, benarkah posisi Nabi Muhammad saw adalah seperti klaim Muhammadun tersebut?
Posisi Nabi Muhammad saw yang diklaim oleh Muhammadun adalah sebagai berikut :
a.       selalu mencarikan solusi strategis untuk masalah-masalah kemanusiaan dengan jalan yang teduh, damai dan penuh persaudaraan.
Posisi Rasulullah Muhammad saw dapat dipahamkan dengan dua dalil yakni dalil aqliy (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ) dan dalil naqliy (دَلِيْلٌ نَقْلِيٌّ). Dalil aqliy memastikan bahwa seiring dengan adanya fakta wafatnya Nabi Isa as yang secara otomatis periode berlakunya Kitab Injil sebagai sumber agama Nasrani te-lah berakhir, maka ketika Allah SWT mentaqdirkan bahwa Nabi Muhammad saw adalah penutup dari seluruh Nabi dan tidak akan ada lagi Nabi yang diutus bagi manusia, tentu saja aqal manusia yang berpikir benar akan memutuskan bahwa Al-Quran yang dibawa serta oleh beliau saw adalah sumber informasi bagi manusia yang berkenaan dengan bagaimana cara mereka untuk melanjut-kan kehidupan di dunia? Artinya aqal manusia memastikan (يُحَتِّمُهُ عَقْلُ الإِنْسَانِ) bahwa tidak mung-kin bagi manusia untuk menentukan sendiri sistema atau peraturan yang akan mereka gunakan da-lam menjalankan kehidupannya di dunia. Hal itu karena, perjalanan hidup mereka sendiri hingga saat wafatnya Nabi Isa menunjukkan dengan pasti bahwa mereka benar-benar membutuhkan hi-dayah dari Allah SWT berkenaan dengan sistema atau peraturan untuk kehidupan selama di dunia. Dengan demikian, memang benar posisi Nabi Muhammad saw adalah Rasulullah yang membawa sistema atau peraturan baru bagi kehidupan manusia di dunia sepeninggal Nabi Isa as dan itu ter-wujud dalam bentuk Al-Quran sebagai sumbernya. Jadi, aqal manusia memutuskan bahwa risalah Islam yang dibawa serta oleh Nabi Muhammad saw adalah solusi bagi semua persoalan kehidupan manusia selama di dunia hingga tibanya hari berakhirnya dunia :
تَكُوْنُ رِسَالَةُ الإِسْلاَمِ عِلاَّجًا لِسَائِرِ الْمَشَاكِلِ الإِنْسَانِيَّةِ مَادَامُوْا حَيًّا فِيْ الدُّنْيَا حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ وَهَذَا لاَشَكَّ فِيْ ذَلِكَ لِمَنْ لَهُ عَقْلٌ مُتَبَصِّرٌ
Lalu, ketika aqal mencoba memahami seluruh informasi yang ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah, ternyata keputusan aqal berbasis dalil aqliy benar-benar sesuai dengan seluruh pemikiran yang ada dalam kedua sumber informasi Islam tersebut (dalil naqliy). Sebagai contoh :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (يوسف : 108)
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا (المائدة : 48)
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (الشورى : 52)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تُحَلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَيِّبَةً طَهُورًا وَمَسْجِدًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ صَلَّى حَيْثُ كَانَ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ بَيْنَ يَدَيْ مَسِيرَةِ شَهْرٍ وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ (رواه مسلم)
Keseluruhan dalil tersebut (Al-Quran dan As-Sunnah) memberikan pemikiran dan pemahaman ke-pada aqal manusia bahwa memang benar Nabi Muhammad saw itu membawa serta solusi untuk kehidupan manusia di dunia. Manusia tinggal hanya menggunakan aqal mereka untuk menggali-nya dalam rangka memahami ketentuan Allah SWT (حُكْمُ اللهِ تَعَالَى) bagi setiap persoalan kehidupan yang mereka hadapi. Singkatnya, aqal manusia sangat sepakat dan bahkan sangat puas karena Allah SWT telah memberikan kemudahan yang luar biasa kepada mereka dalam menjalani dan menja-lankan kehidupan di dunia, sehingga manusia tidak perlu repot-repot dan kesusahan untuk membu-at maupun merumuskan sendiri sistema (peraturan) kehidupan di dunia.
Lalu, benarkah Islam itu adalah solusi yang teduh, damai dan penuh persaudaraan? Harus diingat bahwa realitas “teduh, damai dan penuh persaudaraan” adalah keadaan atau situasi yang diterima atau dialami atau dirasakan oleh manusia secara naluriah (instinctly atau غَرِيْزِيٌّ) akibat semua tuntu-tan naluriahnya dapat terpenuhi dengan sempurna (اِشْبَاعًا كُلِّيًا), sehingga perasaannya menjadi teduh (sejuk dan tidak merasa “gerah”), damai (resting or relaxation atau اِرْتِيَاحًا) dan tidak berada dalam ancaman atau permusuhan orang lain alias seakan penuh persaudaraan. Namun, semua perasaan itu akan serta merta sirna lagi bahkan berganti dengan keadaan sebaliknya, bila tuntutan naluriahnya kembali muncul dan meminta pemenuhan untuk kali kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu adalah mustahil menurut aqal bila sifat solusi yang ada dalam Islam hanya memberikan “kepuasan dan ketenteraman sesaat”. Aqal menuntut supaya Islam itu adalah solusi yang integral yaitu memu-askan aqal (يُقْنِعُ الْعَقْلَ قَنَاعَةً) dan menjadikan tenteramnya perasaan (يَمْلَـأُ الْقَلْبَ طُمَأْنِيْنَةً), sehingga sifat-nya permanen selama manusia bersikap mengikatkan dirinya secara utuh kepada Islam. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT saat menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ (محمد : 7)
إِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ وَإِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَفْرَحُوا بِهَا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ (آل عمران : 120)
Namun, apakah realitas “teduh, damai dan penuh persaudaraan” seperti itukah yang dimaksudkan oleh Muhammadun? Jawabannya adalah sama sekali bukan, sebab pengungkapan “teduh, damai dan penuh persaudaraan” tersebut dia maksudkan sebagai antithesis alias keadaan sebaliknya dari keadaan yang tengah berlangsung di sekitar dirinya yang dianggap sebagai “panas, perang dan pe-nuh permusuhan”. Inilah yang terungkap jelas dalam pernyataannya : ya, telah terjadi penjungkir-balikan eksistensi persaudaraan dan kemanusiaan. Semua dicabik-cabik dengan paksa. Tragis! Tercederainya persaudaraan bisa kita tandai dari berbagai kerusuhan warga pasca pilkada, makin longgarnya konflik dan tawuran lintas warga desa, dan miskinnya altruisme kaum elite terhadap kaum marginal yang terseok-seok nasibnya. Demikian juga persaudaraan lintas agama yang se-dang di titik nadir yang menyedihkan. Konflik antaragama masih menjadi gema konflik global yang mudah disulut berbagai kasus kecil yang dijalankan oknum.
Wal hasil, Muhammadun sedang berusaha keras untuk melakukan rekonstruksi dan format ulang terhadap Islam supaya dapat sesuai dan sejalan dengan keinginan dan desakan kepentingannya un-tuk dapat membuat kaum kufar jadi senang kepada Islam sekaligus menghargainya sehingga Dunia Islam tidak lagi diposisikan secara hina dan sebagai kelas rendahan. Dia lakukan aksi itu dengan cara yang sangat sadis dan brutal karena telah mengklaim dengan tegas bahwa Nabi Muhammad saw telah mengajarkannya dan memerintahkannya : nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, dan keju-juran yang diajarkan dan dicontohkan Nabi serta para sahabatnya menjadi tonggak sangat ber-harga bagi umat Islam untuk menggelorakan berbagai tindak antikekerasan, antiteror, antikorupsi, dan antikejahatan kemanusiaan lainnya.

b.       telah menjalankan kehidupan beragama yang teduh dan inspiratif.
Nabi Muhammad saw tidak pernah menjalankan kehidupan beragama, melainkan yang beliau ja-lankan secara pasti dan riil adalah kehidupan manusia di dunia berbasis Islam. Hal itu karena, ke-hidupan beragama berarti kehidupan sekelompok manusia dari suatu komunitas agama di tengah-tengah komunitas agama lainnya. Sebagai contoh : kehidupan beragama komunitas umat Islam di tengah-tengah komunitas agama lainnya yang ada di Indonesia yaitu komunitas Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu serta lainnya dan seluruhnya bersama berdiri di atas asas sekularisme. Inilah realitas kehidupan beragama dalam sebuah negara yang berbasis sekularisme.
Tentu saja, kaum kufar sekalipun (baik Yahudi maupun Nasrani) sangat mengetahui bahwa pola kehidupan manusia (طِرَازُ الْعَيْشِ الإِنْسَانِيِّ) yang pernah dijalankan oleh Nabi Muhammad saw adalah diametral dan berbeda secara mendasar dengan pola kehidupan berbasis sekularisme seperti saat ini di belahan dunia mana pun. Pola kehidupan manusia yang dipimpin oleh Nabi saw adalah tidak pernah mengenal adanya pemisahan kehidupan keagamaan (اَلْحَيَاةُ الدِّيْنِيَّةُ) dan kehidupan kenegaraan (اَلْحَيَاةُ الدَّوْلِيَّةُ). Nabi Muhammad saw hanya menjalankan kehidupan yang satu dan khas yakni sesuai dengan realitas Islam itu sendiri sebagai : اَلدِّيْنُ وَمِنْهُ الدَّوْلَةُ, dalam Islam tersatukan diin dan negara. Islam tidak pernah mengenal adanya pemisahan kelompok agamawan (رِجَالُ الدِّيْنِ) dan golongan ne-garawan (رِجَالُ الدَّوْلَةِ), melainkan seluruhnya disatukan oleh Islam sebagai umat Islam dan pengem-ban risalah Islam ke seluruh dunia : هُمْ يَكُوْنُوْنَ وَاحِدًا اُمَّةً اِسْلاَمِيَّةً وَحَمَلَةَ رِسَالِةِ الإِسْلاَمِ اِلَى سَائِرِ الْعَالَمِ. Pola ke-hidupan masyarakat Islam ini telah selama 10 tahun dijalankan oleh Rasulullah saw dan telah lebih dari 1200 tahun dijalankan oleh Khilafah Islamiyah sepeninggal Nabi saw dan itu dimulai oleh ba-risan manusia paling mulia setelah Nabi sendiri : Khulafa Rasyidun. Sekali lagi, pentas perjalanan pola kehidupan masyarakat Islam ini sangat diketahui baik oleh kaum muslim sendiri maupun ka-um kufar yang menjadikan Islam beserta Dunia Islam sebagai musuh besar abadi mereka. Buktinya adalah terpampang jelas saat ini, yaitu kaum kufar yang dipimpin oleh Dunia Barat selalu berusaha keras dan berkesinambungan untuk semakin mengokohkan serta memantapkan pola kehidupan du-nia berasaskan sekularisme berikut pemikiran cabang maupun turunannya. Lalu, mengapa seorang Muhammadun AS begitu bodoh dan sembarangan dalam pemikirannya?

c.       telah menancapkan spirit nilai-nilai persaudaraan, kedamaian dan kejujuran.
Makna spirit dalam konteks penggunaannya adalah semangat, dorongan atau momentum. Sehingga makna telah menancapkan spirit nilai-nilai persaudaraan, kedamaian dan kejujuran adalah telah menancapkan semangat atau dorongan atau momentum nilai-nilai persaudaraan, kedamaian dan kejujuran. Ketika suatu nilai atau sistema atau konsep atau peraturan diposisikan sebagai spirit maka itu berarti : (1) nilai atau sistema atau konsep atau peraturan tersebut sama sekali tidak digu-nakan atau dielaborasi atau diterapkan atau diimplementasikan secara utuh (100 persen) melainkan mungkin hanya sebagian kecilnya saja yakni imbas pengaruhnya semata atau (2) nilai atau siste-ma atau konsep atau peraturan tersebut hanya dijadikan sebagai pewarna, pemanis, pelengkap, pe-nyempurna untuk suatu nilai atau sistema atau konsep atau peraturan lainnya yang sama sekali ti-dak berhubungan apa pun, baik itu secara aqidah maupun ideologis. Singkatnya, ketika suatu nilai atau sistema atau konsep atau peraturan hanya dijadikan spirit maka yang diambil dari nilai atau sistema atau konsep atau peraturan tersebut adalah aspek yang terkategori substantifnya.
Inilah yang saat ini banyak didengungkan dengan sangat nyaring dalam belantara pemikiran global, misalnya : Islam jangan hanya dimaknai secara formal, melainkan harus lebih ke arah nilai-nilai yang universal seperti nilai-nilai kejujuran, kebaikan, kasih sayang antar sesama, anti kekerasan, anti penindasan, keberpihakan kepada kaum kecil dan seterusnya atau semua agama sama saja yaitu sama-sama mengajarkan nilai-nilai persaudaraan, kedamaian, kejujuran, keadilan, kasih sayang dan sebagainya atau ungkapan-ungkapan lainnya yang serupa dengan itu. Sekali lagi, ini-lah yang tengah sangat gencar dipropagandakan oleh kaum kufar (Dunia Barat) berikut para pem-bantu dan pelayan setia mereka dari kalangan kaum muslim di seluruh dunia. Tujuannya adalah hanya satu : menggiring pemikiran dan opini umat Islam ke arah kesimpulan bahwa Islam adalah sekedar agama yang tidak memiliki perbedaan maupun keistimewaan apa pun dari agama-agama lainnya. Akibatnya adalah sangat besar dan mendasar yakni menjadikan umat Islam tidak lagi me-miliki sikap bangga alias proudness sedikit pun terhadap Islam. Keadaan ini memposisikan umat Islam dalam kedudukan dan realitas yang sama dan sebangun alias simetris dengan penganut aga-ma Katholik, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan lain-lain. Seluruh penganut agama-agama tersebut pada akhirnya berhimpun sembari ruku, sujud, bersimpuh penuh khidmat di bawah nau-ngan komando the new God yakni sekularisme. Dengan demikian klaim Muhammadun bahwa Nabi Muhammad saw telah menancapkan spirit nilai-nilai persaudaraan, kedamaian dan kejujur-an adalah sebuah kedustaan, penyesatan, penjungkirbalikan opini yang dikaitkan kepada Rasulullah saw dan secara otomatis akhirnya kepada Allah SWT. Bagi dia, baik itu Allah SWT maupun Nabi Muhammad saw sama-sama telah mewajibkan umat Islam (termasuk dirinya) untuk memberangus dan melumpuhkan Islam sedemikian rupa sehingga menjadi agama yang biasa saja dan simetris dengan agama-agama lainnya yakni hanya berurusan dengan entitas spiritualisme ritualisme.
Jadi, Muhammadun AS tidak diragukan lagi merupakan salah satu dari pengusung bahkan pembela yang siap rela mati kapan saja untuk semakin kokoh dan kuatnya pemberlakuan sekularisme dalam realitas kehidupan manusia di dunia, terutama di Dunia Islam. Allah SWT menyatakan :

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (التوبة : 32)

Spirit Kemanusiaan Nabi Muhammad : Adakah?
Apabila Nabi Muhammad saw dianggap sebagai pemberi spirit kemanusiaan, maka itu berarti beliau adalah tokoh spiritual kemanusiaan keagamaan yakni seseorang yang pekerjaannya hanya semata memberikan semangat, dorongan, momentum kemanusiaan berbasis nilai-nilai agama kepada seluruh manusia dan sama sekali tidak memberikan sistema atau konsep atau peraturan solutif bagi mereka. Jadi, Nabi Muhammad saw sama persis alias identik dengan Rampoche-nya agama Budha atau Dalai Lama-nya rakyat Tibet atau Dewi Kwan Im-nya agama Kong Hu Chu atau Paus-nya Katholik. Inilah yang dituduhkan dan dilekatkan dengan sengaja dan penuh kesadaran oleh Muhammadun AS kepada Rasulullah saw. Lalu, benarkah semua tuduhan dan tudingan orang tersebut?
Apabila Muhammadun AS mau sedikit saja berpikir dengan mengindera fakta perjalanan Nabi Muhammad saw dan Islam selama 10 tahun di Madinah Al-Munawwarah lalu ketika Khulafa Rasyidun memimpin Dunia Islam (Khilafah) pasca Rasul saw wafat hingga awal abad ke-20 tepatnya 3 Maret 1924 saat diruntuhkannya Khilafah Utsmaniyah oleh Kerajaan Inggris, yang seluruhnya memakan wak-tu lebih dari 1300 tahun alias 13 abad, maka sepanjang 13 abad perjalanan Islam dan Dunia Islam itu memastikan bahwa Nabi Muhammad saw, Khulafa Rasyidun, Khulafa Amawiyyun, Khulafa Abbasiy-yun dan Khulafa Utsmaniyyun adalah bukan dan tidak pernah menjadi (secara konsep maupun prak-tik) tokoh spiritual kemanusiaan keagamaan yang pekerjaannya hanya semata memberikan sema-ngat, dorongan, momentum kemanusiaan berbasis nilai-nilai agama kepada seluruh manusia dan sama sekali tidak memberikan sistema atau konsep atau peraturan solutif bagi mereka. Realitas terindera ini bahkan sangat dipahami oleh kaum kufar sekalipun (Inggris dan Amerika Serikat) yang di antaranya adalah Will Durant dalam bukunya “Kisah Peradaban” bab 13, halaman 151 menyatakan : para Kha-lifah telah memberikan keamanan yang sangat luar biasa kepada manusia, kehidupan mereka berikut kekayaan hasil jerih payah mereka. Para Khalifah juga telah mempersiapkan berbagai peluang dan kesempatan bagi orang-orang yang memerlukannya serta meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam cakupan luas wilayah yang tidak pernah lagi tercatatkan fenomenanya setelah masa mere-ka. Akibat keuletan dan kerja keras mereka (para Khalifah) menjadikan pendidikan menyebar luas, se-hingga berbagai ilmu, sastra, filsafat dan seni mengalami kejayaan luar biasa yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian Dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.
Namun, persoalannya adalah bukan karena Muhammadun tidak mengindera realitas gamblang itu melainkan dia telah terlebih dahulu mendasarkan seluruh pemikirannya kepada sistema yang saat ini te-ngah diberlakukan dalam kehidupan umat Islam : sekularisme. Sehingga bila pun dia menjadikan reali-tas Khilafah itu sebagai informasi yang sampai ke otaknya, maka itu pun akan dia posisikan sebagai kisah masa lalu belaka yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan keadaan sekarang. Inilah yang terungkap dari pemikirannya saat dia mengutip pernyataan Sugiharto (2003) : untuk menjadi sungguh-sungguh berarti kembali, maka agama perlu melakukan kritik-diri secara struktural, mengenali perso-alan-persoalan mendasar dunia modern, dan mampu menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang baru. Tanpa itu, ia hanya akan berakhir sebagai kekuatan disintegrasi peradaban paling menge-rikan atau semangat nostalgis naif yang berbahaya. Jadi, bagi dia realitas 1300 tahun lebih perjalanan Khilafah Islamiyah adalah sekedar semangat nostalgis naif yang berbahaya. Lebih dari itu, bagi dia keberhasilan sempurna Nabi Muhammad saw dalam memberlakukan Ideologi Islam dalam realitas ke-hidupan manusia adalah sama sekali tidak ada artinya dan sangat berbahaya lagi naif bila selalu di-jadikan nostalgia oleh umat Islam saat ini. Demikian juga, keberhasilan Khulafa Rasyidun dalam mengikuti jejak Nubuwwah saat mereka memberlakukan Islam di arena kehidupan dunia adalah sangat berbahaya dan naif bila dijadikan nostalgia untuk diikuti oleh kaum muslim saat ini. Artinya bagi Muhammadun AS adalah salah dan keliru saat Allah SWT menyatakan :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة : 100)
Begitu juga adalah terlalu berlebihan dan juga sangat salah saat Rasulullah saw menyatakan :
عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه ابن ماجه)
Jelas sudah apa tujuan sebenarnya dari Muhammadun AS yakni dia dengan sadar dan terencana tengah menyalahkan Allah SWT dan Nabi Muhammad saw karena menurut dia, baik itu Allah SWT maupun Nabi Muhammad saw tidak konsisten dalam menetapkan sesuatu. Lalu, untuk tujuan apa dia dengan begitu beraninya menghina Allah SWT dan Nabi Muhammad saw tersebut? Pastilah untuk melumpuhkan Islam agar hanya menjadi agama spiritualistik ritualistik, tidak lebih dari itu.
Kehidupan yang sejati
Kehidupan yang sejati atau اَلْحَيَاةُ الْحَقِيْقِيَّةُ adalah kehidupan manusia di dunia yang berjalan sesuai dengan fakta diri mereka sebagai manusia bukan sebagai hewan. Hakikat manusia jelas berbeda dengan hewan, yakni manusia diberi aqal oleh Allah SWT sedangkan hewan tidak, walaupun sama-sama diberi otak di dalam tempurung kepalanya. Akibatnya adalah perilaku manusia (سُلُوْكُ الإِنْسَانِ) wajib berbeda dari gerak gerik hewan sebab yang mengendalikan perilaku manusia adalah aqal dan naluri, sedangkan pada gerak gerik hewan hanya berasal dari atau didorong oleh kepentingan (tuntutan) naluriahnya se-mata. Ini adalah hakikat manusia yang benar-benar dapat dipahami oleh aqal mereka sendiri, sehingga tidak mungkin terjadinya perbedaan pandangan atau kesimpulan tentang jatidiri manusia tersebut.
Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia adalah untuk mengatur perilaku mereka sela-ma hidup di dunia supaya tetap berada dalam statusnya sebagai manusia serta dapat mempertahankan kehidupan mereka tetap dalam kehidupan yang sejati dan tidak berubah menjadi kehidupan hewani. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT saat menyatakan :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا  (الفرقان : 44-43)
Lalu, supaya Islam dapat diberlakukan secara riil dalam kehidupan manusia hingga dapat menja-min kehidupan mereka tetap dalam kesejatiannya, maka manusia itu sendiri wajib menggunakan aqal mereka untuk memahami seluruh seruan Allah SWT dalam sumber-sumber Islam : Al-Quran dan As-Sunnah. Artinya, antara Islam dan upaya manusia untuk tetap berada dalam kehidupan yang sejati adalah dua perkara yang memang diniscayakan oleh aqal harus ada dan menyatu. Allah SWT menyata-kan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ (الأنفال : 24)
Maknanya adalah :
دَعْوَةٌ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ تَكُوْنُ هِيَ مَا سَتُحْيِيْ النَّاسَ حَيَاةً حَقِيْقِيَّةً اِنِ اسْتَجَابُوْا لَهَا قَطْعًا
“seruan dari Allah dan Rasul-Nya adalah yang akan menghidupkan manusia dalam kehidupan yang sejati apabila mereka memenuhinya dengan pasti”

Inilah yang disepakati oleh aqal sebab sejak awal aqal menyadari dan memahami bahwa jika Allah SWT membiarkan manusia hidup di dunia sesuai keinginan manusia sendiri (اَهْوَاءُهُمْ) seperti hal-nya Allah membiarkan hal itu terjadi pada hewan, maka pastilah tujuan Allah SWT dalam menciptakan manusia itu sendiri tidak akan pernah tercapai. Hal itu karena sikap taat yang dituntut oleh Allah SWT dari manusia hanya dapat dipenuhi dengan sempurna oleh mereka bila mereka diberi khasiat aqal yang dapat membedakan mana sikap taat yang muncul dari kesadaran dan mana ketaatan yang hanya dido-rong oleh naluriah semata. Itulah yang membedakan secara sangat mendasar antara ketaatan hewan dengan ketaatan manusia kepada Allah SWT. Aqal memahami benar bahwa untuk tujuan supaya manu-sia selalu memfungsikan aqal mereka selama hidup di dunia sehingga selalu berada dalam kehidupan yang sejati, maka Allah SWT menurunkan Al-Quran :
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2)
Kehidupan sejati (حَيَاةً حَقِيْقِيَّةً) adalah pola kehidupan yang seutuhnya terhindar dari distorsi kepen-tingan naluriah manusiawi dan hanya berasaskan pemahaman aqal terhadap seluruh pemikiran yang telah Allah SWT turunkan untuk manusia melalui Nabi Muhammad saw. Dengan demikian keberlang-sungan kehidupan manusia di dunia bisa terjamin dan tidak bersifat self-destruction sehingga hanya akan berakhir karena telah tiba saatnya untuk berakhir semata bukan karena ulah manusia.

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)



No comments:

Post a Comment