Sunday, November 3, 2013

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM


Realitas kepemimpinan dalam Islam
Istilah اَلإِمَارَةُ dalam Islam diturunkan (مُشْتَقَّةٌ) dari lafadz اَلأَمِيْرُ yang ada dalam berbagai hadits anta-ra lain pernyataan Rasulullah saw :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي (رواه احمد)
“siapa saja yang mentaatiku maka dia telah mentaati Allah dan siapa saja yang maksiat kepadaku ma-ka dia telah maksiat kepada Allah dan siapa saja yang mentaati الْأَمِيرَ maka dia telah mentaatiku”.
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ (رواه احمد)
“sungguh akan ditaklukkan Konstantinopel, maka sebaik-baiknya الْأَمِيرُ adalah الْأَمِيرُ penaklukkan terse-but dan sebaik-baiknya pasukan adalah pasukan tersebut”.
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه مسلم)
“siapa saja yang mentaatiku maka dia telah mentaati Allah dan siapa saja yang maksiat kepadaku ma-ka dia telah maksiat kepada Allah dan siapa saja yang mentaati الْأَمِيرُ maka dia telah mentaatiku dan siapa saja yang maksiat kepada الْأَمِيرُ maka dia telah maksiat kepadaku”.
Juga sebuah riwayat yang menjelaskan posisi أَمِيرُ مَكَّةَ sebagai pemegang otoritas penentuan awal bulan Dzulhijjah untuk memulai rangkaian manasik haji :
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ الْحَارِثِ الْجَدَلِيُّ مِنْ جَدِيلَةَ قَيْسٍ أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا فَسَأَلْتُ الْحُسَيْنَ بْنَ الْحَارِثِ مَنْ أَمِيرُ مَكَّةَ قَالَ لَا أَدْرِي ثُمَّ لَقِيَنِي بَعْدُ فَقَالَ هُوَ الْحَارِثُ بْنُ حَاطِبٍ أَخُو مُحَمَّدِ بْنِ حَاطِبٍ ثُمَّ قَالَ الْأَمِيرُ إِنَّ فِيكُمْ مَنْ هُوَ أَعْلَمُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ مِنِّي وَشَهِدَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى رَجُلٍ قَالَ الْحُسَيْنُ فَقُلْتُ لِشَيْخٍ إِلَى جَنْبِي مَنْ هَذَا الَّذِي أَوْمَأَ إِلَيْهِ الْأَمِيرُ قَالَ هَذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَصَدَقَ كَانَ أَعْلَمَ بِاللَّهِ مِنْهُ فَقَالَ بِذَلِكَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه ابو داود)
“dari Abi Malik Al-Asyja’iyyi telah bercerita kepada kami Husain bin Al-Harits Al-Jadaliyyu dari Jadilah Qais bahwa Amir Makkah berkhutbah lalu dia menyatakan Rasulullah saw telah menugaskan kepada kami supaya kami memulai manasik berdasarkan rukyah. Lalu bila kami tidak dapat melihat-nya dan ada dua orang saksi adil memberikan kesaksian melihat rukyah, maka kami harus memulai manasik dengan kesaksian mereka berdua”. Kemudian saya bertanya kepada Husain bin Al-Harits siapa أَمِيرُ مَكَّةَ itu? Dia menjawab saya tidak tahu. Kemudian dia menemuiku setelah kejadian itu lalu berkata أَمِيرُ مَكَّةَ adalah Harits bin Hathib saudaranya Muhammad bin Hathib”. Selanjutnya الْأَمِيرُ ber-kata sungguh di tengah-tengah kalian ada seseorang yang lebih tahu kepada Allah dan Rasulu-Nya da-ripada aku dan dia telah menyaksikan penugasan tersebut dari Rasulullah saw dan الْأَمِيرُ memberi isya-rat dengan tangannya kepada seseorang. Husain berkata saya bertanya kepada syaikh yang ada di se-belahku (Jadilah Qais) siapakah seseorang yang diisyaratkan oleh الْأَمِيرُ? Dia menjawab orang itu ada-lah Abdullah bin Umar dan memang benar dia (Ibnu Umar) lebih tahu kepada Allah daripada dia (Amir Makkah), lalu dia (Ibnu Umar) berkata : memang demikianlah Rasulullah saw telah memerin-tahkannya kepada kami”.
Wilayah kekuasaan الْأَمِيرُ (misal Kota Makkah untuk أَمِيرُ مَكَّةَ) dalam Islam disebut اَلإِمَارَةُ : wilayah kekua-saan Amir. Istilah اَلإِمَارَةُ secara langsung pernah diucapkan oleh Khalifah Umar seperti dalam riwayat berikut :
عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
“dari Tamiim Ad-Daariyyi berkata pada masa Umar orang-orang telah sangat maju dalam hal bangu-nan, lalu Umar berkata : ‘wahai masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Is-lam itu tidak ada kecuali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya ima-rah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mere-ka dan siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka”.
Juga dalam hadits Rasulullah saw :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي (رواه احمد)
“dari Jabir bin Abdillah bahwa Nabi saw berkata kepada Ka’ab bin ‘Ujrah : aku mohonkan perlin-dungan bagimu kepada Allah dari imarah sufaha. Dia (Ka’ab) bertanya : apakah itu imarah sufaha? Beliau berkata : yakni para Amir yang akan ada sepeninggalku, mereka memimpin manusia bukan de-ngan hidayahku dan memberlakukan aturan kepada manusia bukan dengan sunnahku. Lalu siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan mendukung kezhaliman mereka, maka orang itu bukan bagian dari aku dan aku bukan bagian dari mereka dan mereka pun jangan berharap memperoleh al-haudl (نَهْرُ الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ) dariku. Dan siapa saja yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan ti-dak mendukung kezhaliman mereka, maka orang itu adalah bagian dari aku dan aku bagian dari mere-ka dan mereka dapat berharap memperoleh al-haudl (نَهْرُ الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ) dariku”.
Nampak sekali (صَرَاحَةً) dalam ucapan Khalifah Umar terungkap وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ dan pa-da ucapan Nabi saw terungkap أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ. Kedua ungkapan tersebut memastikan bahwa istilah اَلإِمَارَةُ bukan hanya diturunkan dari lafadz الْأَمِيرُ melainkan juga termuat langsung dalam nash sya-ra’. Lalu, apa realitas اَلإِمَارَةُ dan الْأَمِيرُ dalam sistem pemerintahan Islam (نِظَامُ الْحُكْمِ فِيْ الإِسْلاَمِ)?
Realitas الْأَمِيرُ dalam Islam dapat digunakan untuk segala hal, baik yang menyangkut pemerintahan dan kekuasaan (اَلْحُكْمُ وَالسُّلطَاتُ) maupun lainnya :
1.       pimpinan perjalanan dan diistilahkan dengan اَمِيْرُ السَّفَرِ. Inilah yang ditetapkan dalam pernyataan Ra-sulullah saw : وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ (رواه احمد) : dan tidak halal bagi tiga orang berkelompok yang sedang bepergian kecuali mereka menjadikan salah seorang dari mereka sebagai amirnya.
2.       pimpinan pasukan (اَمِيْرُ الْجَيْشِ), baik tim penyerbuan (اَمِيْرُ الْغَزْوَةِ) maupun tim ekspedisi (اَمِيْرُ السَّرِيَّةِ). Inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah dalil antara lain hadits Rasulullah saw :
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ (رواه احمد)
“sungguh akan ditaklukkan Konstantinopel, maka sebaik-baiknya الْأَمِيرُ adalah الْأَمِيرُ penaklukkan tersebut dan sebaik-baiknya pasukan adalah pasukan tersebut”.
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا (رواه مسلم)
“Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya berkata Rasulullah saw itu ketika beliau mengangkat seorang amir baik untuk ekspedisi maupun penyerbuan, maka beliau berpesan secara khusus untuk taqwa kepada Allah dan bersikap baik kepada kaum muslim yang menyertainya”.
3.       salah satu struktur negara Islam (اِحْدَى جِهَازِ الدَّوْلَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ) adalah اَمِيْرُ الْجِهَادِ yakni seorang muslim yang diangkat oleh Khalifah untuk memimpin empat macam departemen (اَلدَّائِرَةُ), yaitu : (a) luar ne-geri (دَائِرَةُ الْخَارِجِيَّةِ), (b) peperangan (دَائِرَةُ الْحَرْبِيَّةِ), (c) keamanan dalam negeri (دَائِرَةُ الأَمْنِ الدَّاخِلِيِّ) dan (d) perindustrian (دَائِرَةُ الصِّنَاعَةِ). Mengapa disebut اَمِيْرُ الْجِهَادِ padahal tugasnya adalah memimpin em-pat departemen tersebut? Penjelasannya sebagai berikut :
a.       realitas luar negeri Khilafah baik dalam status damai (سَلْمًا) maupun perang (حَرْبًا), seluruhnya ditentukan oleh segala hal yang dituntut oleh kepentingan jihad. Jika jihad mengharuskan ada-nya penetapan berdamai dengan suatu negara kufur maka harus dilakukan dan sebaliknya bila jihad menuntut diberlakukannya kondisi perang dengan semua negara kufur yang ada di luar Khilafah maka perang tersebut wajib dilakukan oleh Khalifah.
b.       perang tentu saja tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan dari tentara  yang handal (اَلْجَيْشُ الْمُعِدُّ) untuk jihad termasuk pembentukan tentara, penyiapannya maupun alutsistanya.
c.       keamanan dalam negeri diperuntukkan bagi pemeliharaan dan penjagaan terhadap negara. Pen-jagaan keamanan dalam negeri Khilafah, muamalah terhadap pemberontak maupun para pem-begal seluruhnya dilakukan melalui penggunaan polisi yang tiada lain adalah bagian tak terpi-sahkan dari tentara yang handal untuk jihad.
d.      industri dituntut ada untuk mencukupi alutsista dan logistik bagi tentara dan itu seluruhnya ha-rus dipenuhi demi untuk kesempurnaan pelaksanaan jihad.
4.       istilah اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ pernah digunakan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) setidaknya pada dua masa kepemimpinan yakni saat Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdil Aziz. Inilah yang ditunjukkan oleh dua riwayat berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ وَنَحْنُ نَنْتَظِرُ جَنَازَةَ أُمِّ أَبَانَ بِنْتِ عُثْمَانَ وَعِنْدَهُ عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ فَجَاءَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُودُهُ قَائِدٌ فَأُرَاهُ أَخْبَرَهُ بِمَكَانِ ابْنِ عُمَرَ فَجَاءَ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِي فَكُنْتُ بَيْنَهُمَا فَإِذَا صَوْتٌ مِنْ الدَّارِ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ كَأَنَّهُ يَعْرِضُ عَلَى عَمْرٍو أَنْ يَقُومَ فَيَنْهَاهُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ قَالَ فَأَرْسَلَهَا عَبْدُ اللَّهِ مُرْسَلَةً فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنَّا مَعَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ نَازِلٍ فِي ظِلِّ شَجَرَةٍ فَقَالَ لِي اذْهَبْ فَاعْلَمْ لِي مَنْ ذَاكَ الرَّجُلُ فَذَهَبْتُ فَإِذَا هُوَ صُهَيْبٌ فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقُلْتُ إِنَّكَ أَمَرْتَنِي أَنْ أَعْلَمَ لَكَ مَنْ ذَاكَ وَإِنَّهُ صُهَيْبٌ قَالَ مُرْهُ فَلْيَلْحَقْ بِنَا فَقُلْتُ إِنَّ مَعَهُ أَهْلَهُ قَالَ وَإِنْ كَانَ مَعَهُ أَهْلُهُ وَرُبَّمَا قَالَ أَيُّوبُ مُرْهُ فَلْيَلْحَقْ بِنَا فَلَمَّا قَدِمْنَا لَمْ يَلْبَثْ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ أَنْ أُصِيبَ فَجَاءَ صُهَيْبٌ يَقُولُ وَا أَخَاهْ وَا صَاحِبَاهْ فَقَالَ عُمَرُ أَلَمْ تَعْلَمْ أَوَ لَمْ تَسْمَعْ قَالَ أَيُّوبُ أَوْ قَالَ أَوَ لَمْ تَعْلَمْ أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ قَالَ فَأَمَّا عَبْدُ اللَّهِ فَأَرْسَلَهَا مُرْسَلَةً وَأَمَّا عُمَرُ فَقَالَ بِبَعْضِ فَقُمْتُ فَدَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ فَحَدَّثْتُهَا بِمَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَقَالَتْ لَا وَاللَّهِ مَا قَالَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطُّ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَحَدٍ وَلَكِنَّهُ قَالَ إِنَّ الْكَافِرَ يَزِيدُهُ اللَّهُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَذَابًا وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (رواه مسلم)
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ (رواه احمد)
Bagian فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنَّا مَعَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ pada riwayat pertama memas-tikan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab menggunakan gelaran اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ sepanjang beliau me-mimpin Khilafah dari tahun 13 sampai 23 Hijriyah (634-644 Miladiyah).
Bagian فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ pada riwayat kedua memas-tikan bahwa Khalifah Umar bin Abdil Aziz menggunakan gelaran أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ sepanjang beliau me-mimpin Khilafah dari tahun 99 sampai 102 Hijriyah (717-720 Miladiyah).
5.       karena pada hadits :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه مسلم)
lafadz الْأَمِيرُ bersifat mutlak sehingga semua posisi الْأَمِيرُ dalam Islam : اَمِيْرُ السَّفَرِ, اَمِيْرُ الْجَيْشِ, اَمِيْرُ الْغَزْوَةِ, اَمِيْرُ السَّرِيَّةٍ, اَمِيْرُ الْجِهَادِ, أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ, dan sebagainya adalah wajib ditaati oleh kaum muslim selama me-reka tidak memerintahkan maksiat kepada Allah atau selama mereka tidak menunjukkan kekufuran yang nyata (كُفْرًا بَوَاحًا). Inilah yang ditunjukkan oleh banyak dalil antara lain :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah sakit, lalu kami berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits tersebut yang engkau telah dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi saw telah menyeru kami lalu kami pun membai’at be-liau, lalu beliau pun memberitahukan dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar didengar dan ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan maupun adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan supaya kami tidak mere-but kekuasaan dari tangan pemiliknya kecuali (kata beliau) : kalian melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian dari Allah.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw bahwa beliau berkata : mendengar dan mentaati adalah wajib atas seorang muslim baik dalam hal yang disuka atau dibenci, kecuali diperintahkan untuk maksiat. La-lu bila diperintahkan untuk maksiat maka tidak boleh mendengar dan mentaati.

Lalu, bagaimana hubungan realitas الْأَمِيرُ yakni اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ dengan اَلْخَلِيْفَةُ atau اَلإِمَامُ atau اَلسُّلْطَانُ? Is-tilah اَلْخَلِيْفَةُ atau اَلإِمَامُ atau اَلسُّلْطَانُ, seluruhnya terungkap dalam berbagai dalil antara lain :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ (رواه احمد)
مِنْ خُلَفَائِكُمْ خَلِيفَةٌ يَحْثُو الْمَالَ حَثْيًا لَا يَعُدُّهُ عَدَدًا (رواه مسلم)
Ketiga hadits tersebut menginformasikan dengan jelas (صَرَاحَةً) istilah اَلْخَلِيْفَةُ dalam bentuk tunggal (pada hadits ketiga) : خَلِيفَةٌ dan bentuk jamak الْخُلَفَاءُ (pada ketiga hadits). Artinya istilah اَلْخَلِيْفَةُ adalah benar-benar diucapkan atau dinyatakan oleh Rasulullah saw dan bukan sekedar istilah yang muncul dan ber-kembang setelah periode wahyu (عَصْرُ الْوَحْيِ) berakhir melainkan justru saat wahyu masih turun. Sehing-ga istilah اَلْخَلِيْفَةُ adalah istilah syar’iy (اِصْطِلاَحٌ شَرْعِيٌّ) berdasarkan dalil-dalil tersendiri yang di antaranya adalah ketiga hadits tersebut.
عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ الْأَوْدِيِّ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ اذْهَبْ إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقُلْ يَقْرَأُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عَلَيْكِ السَّلَامَ ثُمَّ سَلْهَا أَنْ أُدْفَنَ مَعَ صَاحِبَيَّ قَالَتْ كُنْتُ أُرِيدُهُ لِنَفْسِي فَلَأُوثِرَنَّهُ الْيَوْمَ عَلَى نَفْسِي فَلَمَّا أَقْبَلَ قَالَ لَهُ مَا لَدَيْكَ قَالَ أَذِنَتْ لَكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ مَا كَانَ شَيْءٌ أَهَمَّ إِلَيَّ مِنْ ذَلِكَ الْمَضْجَعِ فَإِذَا قُبِضْتُ فَاحْمِلُونِي ثُمَّ سَلِّمُوا ثُمَّ قُلْ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَإِنْ أَذِنَتْ لِي فَادْفِنُونِي وَإِلَّا فَرُدُّونِي إِلَى مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ إِنِّي لَا أَعْلَمُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ فَمَنْ اسْتَخْلَفُوا بَعْدِي فَهُوَ الْخَلِيفَةُ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا فَسَمَّى عُثْمَانَ وَعَلِيًّا وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَسَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ وَوَلَجَ عَلَيْهِ شَابٌّ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ أَبْشِرْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بِبُشْرَى اللَّهِ كَانَ لَكَ مِنْ الْقَدَمِ فِي الْإِسْلَامِ مَا قَدْ عَلِمْتَ ثُمَّ اسْتُخْلِفْتَ فَعَدَلْتَ ثُمَّ الشَّهَادَةُ بَعْدَ هَذَا كُلِّهِ فَقَالَ لَيْتَنِي يَا ابْنَ أَخِي وَذَلِكَ كَفَافًا لَا عَلَيَّ وَلَا لِي أُوصِي الْخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي بِالْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ خَيْرًا أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ وَأَنْ يَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَنْصَارِ خَيْرًا الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ وَيُعْفَى عَنْ مُسِيئِهِمْ وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ وَأَنْ يُقَاتَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ وَأَنْ لَا يُكَلَّفُوا فَوْقَ طَاقَتِهِمْ (رواه البخاري)
Riwayat ini mengkisahkan hari-hari terakhir dari kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Khath-thab, yakni ketika beliau berusaha keras untuk segera mencari calon Khalifah pengganti dirinya yang akan dibai’at oleh umat Islam saat beliau telah wafat. Bagian ucapan Amirul Mukminin yakni :
إِنِّي لَا أَعْلَمُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ فَمَنْ اسْتَخْلَفُوا بَعْدِي فَهُوَ الْخَلِيفَةُ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا فَسَمَّى عُثْمَانَ وَعَلِيًّا وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَسَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ وَوَلَجَ عَلَيْهِ شَابٌّ مِنْ الْأَنْصَارِ
Sungguh aku tidak tahu ada orang lain yang lebih berhaq atas urusan ini (Khilafah) daripada mereka yang ketika Rasulullah saw diwafatkan beliau ridla kepada mereka. Oleh karena itu, siapa saja yang mereka pilih sepeninggalku maka dia adalah الْخَلِيفَةُ, dengarlah dia dan taatilah dia. Lalu dia (Umar) menyebut Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan seorang anak muda dari kalangan Anshar.
memastikan bahwa ucapan beliau itu didengar dan disaksikan oleh seluruh shahabat bahkan diinforma-sikan kepada mereka secara formal, lalu karena tidak ada seorang pun yang mengingkarinya maka selu-ruh lafadz, istilah maupun realitas yang terkandung dalam ucapan Amirul Mukminin termasuk istilah الْخَلِيفَةُ adalah ijma shahabat (اِجْمَاعُ الصَّحَابَةِ), sehingga menjadi dalil seperti Al-Quran dan As-Sunnah.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ السَّمَّاكُ قَالَ سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ يَقُولُ الْخُلَفَاءُ خَمْسَةٌ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ (رواه ابو داود)
Riwayat ini memuat empat orang yang bukan shahabat yakni : (a) Muhammad bin Yahya bin Faris ada-lah seorang tabi’ut taabi’in pertengahan (اَلْوُسْطَى مَنْ تَبِعَ الأُتَّبَاعَ), (b) Qabishah adalah seorang tabi’in kecil (اَلصُّغْرَى مِنَ الأُتَّبَاعِ), (c) ‘Abbad As-Samaak adalah tabi’in pertengahan (اَلْوُسْطَى مِنَ الأُتَّبَاعِ) dan (d) Sufyan Ats-Tsauriyyi adalah tabi’in besar (كِبَارُ الأُتَّبَاعِ). Keempat orang manusia mulia tersebut sepakat terhadap istilah الْخَلِيفَةُ yang diungkap oleh Sufyan Ats-Tsauriyyi : الْخُلَفَاءُ خَمْسَةٌ. Jadi, istilah الْخَلِيفَةُ maupun realitas yang melekat padanya adalah persoalan yang terkategori : مَعْلُوْمٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ (bagian dari Islam yang amat sangat diketahui oleh seluruh umat Islam : shahabat, tabi’un dan tabi’ut tabi’in).
Lalu berkenaan dengan istilah اَلإِمَامُ, dapat ditelusuri kedudukannya melalui sejumlah dalil yang antara lain adalah pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ (رواه مسلم)
إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَإِنَّ أَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَشَدَّهُ عَذَابًا إِمَامٌ جَائِرٌ (رواه احمد)
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ (رواه مسلم)
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه احمد)
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ (رواه احمد)
ثَلَاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ (رواه احمد)
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ (رواه البخاري)
Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa realitas الْإِمَامُ adalah :
1.       pelindung umat Islam (جُنَّةٌ) dan yang memberlakukan ketentuan Islam dalam kehidupan manusia di dunia : فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ atau إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ.
2.       dibai’at untuk ditaati (فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ) dan kedudukannya sebagai penguasa bersifat mutlak, sehing-ga jika ada yang akan merampas kekuasaannya harus dibunuh : فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ. Selain itu, setiap muslim haram memisahkan diri dari kekuasaannya dan membangkang perintahnya dalam keadaan apa pun : رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا.
3.       pemegang otoritas yang berkewajiban memenuhi semua kebutuhan masyarakat orang per orang secara sempurna :
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
4.       yang bertanggungjawab penuh terhadap kehidupan manusia di dunia : فَالْإِمَامُ رَاعٍ dan ini sama de-ngan bagian hadits : فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ.
Dengan demikian realitas الْإِمَامُ sama persis dengan realitas الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ maupun الْأَمِيرُ. Lalu bagai-mana dengan اَلسُّلْطَانُ? Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه مسلم)
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد)
Pada hadits pertama penyebutan اَلسُّلْطَانُ (خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ) didahului oleh penyebutan الْأَمِيرُ (مِنْ أَمِيرِهِ) yang berarti realitas keduanya adalah sama yakni wajib ditaati dan seluruh umat Islam haram memisahkan diri dari kekuasaan اَلسُّلْطَانُ yakni الْأَمِيرُ اَوِ الْخَلِيْفَةُ اَوِ الإِمَامُ اَوْ اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ. Lalu pada hadits kedua, pengung-kapan istilah اَلسُّلْطَانُ disandarkan (مُضَافٌ) kepada Allah : سُلْطَانَ اللَّهِ yang bermakna اَلسُّلْطَانُ yang posisi maupun eksistensinya bersandar kepada seluruh ketentuan Allah SWT dan realitas ini semakin jelas de-ngan adanya kewajiban untuk memuliakannya (مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ) dan haram menghinakannya (مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ). Wal hasil, realitas dari istilah الْإِمَامُ, الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ, الْأَمِيرُ maupun اَلسُّلْطَانُ adalah sama yakni :
رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ وَهِيَ الَّتِيْ الْخِلاَفَةُ وَتَكُوْنُ الْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةً عَامَّةً لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِيْ الدُّنْيَا ِلإِقَامَةِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ اِلَى الْعَالَمِ وَهِيَ عَيْنُهَا الإِمَامَةُ
“kepala Daulah Islamiyah yakni Khilafah dan Khilafah itu adalah kepemimpinan bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara Islami serta mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dan jatidiri Khilafah itu tiada lain adalah Imamah”.

Memilih dan mengangkat الْإِمَامُ, الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ, الْأَمِيرُ, اَلسُّلْطَانُ
Proses pemilihan dan pengangkatan الْإِمَامُ, الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ, الْأَمِيرُ, اَلسُّلْطَانُ mencakup dua hal yang mendasar yakni :
a.       metode pengangkatan (طَرِيْقَةُ النَّصْبِ), yakni metode yang ditetapkan oleh Islam yang wajib diguna-kan dalam proses mengangkat الْإِمَامُ, الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ, الْأَمِيرُ, اَلسُّلْطَانُ tersebut.
b.       bentuk praktis untuk penyelenggaraan metode tersebut (اَلأَشْكَالُ الْعَمَلِيَّةُ ِلإِجْرَاءِ تِلْكَ الطَّرِيْقَةِ)
Metode yang ditetapkan oleh Islam dan wajib digunakan dalam proses pengangkatan Khalifah adalah bai’at (اَلْبَيْعَةُ). Bai’at merupakan metode satu-satunya yang telah diberlakukan saat umat Islam generasi awal (اَلسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ) mengangkat Nabi Muhammad saw sebagai Kepala Negara Pertama dalam sejarah perjalanan Dunia Islam. Bai’at Aqabah I yang dihadiri oleh 12 orang utusan dari Madinah maupun Bai’at Aqabah II yang dihadiri oleh 75 orang utusan (dua orang di antara-nya adalah wanita  : Nasibah binti Ka’ab dan Asma binti ‘Amr bin ‘Adiy), keduanya adalah peristiwa pernyataan kesediaan penduduk Madinah untuk dipimpin oleh Rasulullah saw sebagai penguasa mere-ka (سُلْطَانُهُمْ). Demikian juga bai’at yang diberikan oleh para shahabat kepada beliau baik secara perora-ngan maupun berkelompok :
عَنْ قَيْسٍ سَمِعْتُ جَرِيرًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ (رواه البخاري)
Dari Qais bahwa dia telah mendengar Jarir ra berkata : ‘saya telah membai’at Rasulullah saw berda-sarkan syahadah أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ, melaksanakan shalat, membayar zakat, mendengar, mentaati dan nasihat bagi setiap muslim’.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَعَلَى أَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ (رواه مسلم)
Dari Ubadah bin Walid  bin Ubadah dari bapaknya dari kakeknya berkata : ‘kami telah membai’at Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaati dalam keadaan kesulitan, kemudahan, suka, benci mau-pun berbagai bahaya yang menimpa kami dan kami tidak akan merebut kekuasaan dari pemiliknya dan kami akan selalu menyatakan al-haq di mana pun kami berada serta kami tidak pernah takut di jalan Allah terhadap celaan tukang mencela’.

عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah sakit, lalu kami berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits tersebut yang engkau telah dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi saw telah menyeru kami lalu kami pun membai’at beliau, lalu beliau pun memberitahukan dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar didengar dan ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan maupun adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari tangan pemiliknya kecuali (kata beliau) : kalian melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian dari Allah.

Juga sejumlah pernyataan Rasulullah saw sendiri yang memastikan bahwa metode mengangkat Khali-fah itu adalah bai’at. Rasulullah menyatakan :
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا (رواه مسلم)
“Jika dibai’at dua orang Khalifah maka bunuhlah oleh kalian yang kedua dari mereka itu”.
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
“Bani Israil itu yang memimpin dan mengurus mereka adalah para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, maka dibelakangnya menyusul Nabi pengganti, namun ingatlah tidak ada Nabi setelahku dan yang akan ada adalah para Khalifah lalu mereka akan banyak. Mereka (para shahabat) bertanya : ‘lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau menjawab : ‘penuhilah oleh kalian bai’at bagi Khalifah yang pertama (dibai’at) itulah yang harus dipenuhi, berikanlah kepada mereka hak mereka sebab Allah yang akan bertanya kepada mereka tentang kekuasaan mereka itu”.
Kedua dalil tersebut memastikan bahwa antara bai’at dengan Khalifah tidak dapat dipisahkan, yakni bi-la bai’at telah sempurna  diberikan oleh kaum muslim kepada seseorang maka jadilah dia Khalifah dan sebaliknya bila kaum muslim tidak memberikan bai’at mereka kepada orang tersebut maka dia tidak akan pernah menjadi Khalifah, apa pun alasannya dan hingga kapan pun. Kepastian itu bahkan telah di-praktikan secara riil saat pembai’atan Abu Bakar sebagai Khalifah pertama :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
“Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah”.
Metode bai’at terus digunakan oleh umat Islam sepanjang Khulafa Rasyidun mulai dari pengganti Abu Bakar yakni Umar hingga Ali bin Abi Thalib. Bahkan ketika kepemimpinan Dunia Islam beralih secara tidak sah kepada Muawiyah (sang pemberontak terkutuk), ternyata sepanjang kekuasaan dia maupun keluarganya itu metode bai’at selalu digunakan dalam pengangkatan Khalifah hanya saja implementa-sinya menyimpang dari ketetapan Islam yakni diminta secara paksa dari umat Islam oleh Khalifah yang tengah berkuasa (misal Muawiyah) untuk anaknya (misal Yazid bin Muawiyah). Inilah bentuk penyim-pangan riil praktis yang dimulai oleh Muawiyah (40 H/661 M) lalu terus berlangsung hingga menjelang runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (1924 M) : 1263 tahun. Namun seiring dengan penyimpangan tersebut, umat Islam tetap sepakat untuk tetap memberlakukan metode bai’at sebagai satu-satunya metode Islami (طَرِيْقَةٌ اِسْلاَمِيَّةٌ) dalam proses pengangkatan Khalifah. Inilah ciri khas sistem pemerintahan Islami (Khila-fah) yang membedakannya dari sistem pemerintahan lain dalam ideologi apa pun. Sehingga walau me-mang benar Khilafah yang sejati hanya berlangsung sampai Imam Ali bin Abi Thalib, namun bukan berarti setelah itu Khilafah tidak pernah ada lagi (karena banyak penyimpangan) melainkan tetap ada dan berlangsung yang ditandai pasti oleh bai’at tersebut.
Lalu, bagaimana tentang bentuk praktis untuk penyelenggaraan metode bai’at saat pengangkatan Khalifah? Karena ijma shahabat adalah dalil syar’iy seperti hanya Al-Quran dan As-Sunnah dan ijma shahabat hanya berlangsung selama era Khulafa Rasyidun, maka bentuk praktis untuk penyelenggaraan metode bai’at adalah dapat mencontoh dari mereka saat pergantian dari satu Khalifah kepada lainnya. Rinciannya adalah :
1.       saat pembai’atan Abu Bakar, maka yang terjadi adalah sebagian besar penduduk pusat negara Khi-lafah (saat itu adalah Madinah) atau اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ (kelompok umat Islam yang selalu diberi keper-cayaan oleh masyarakat untuk memutuskan sesuatu) atau orang-orang tertentu yang dapat mewakili sebagian besar kaum muslim atau barisan orang-orang yang memang sangat layak untuk mengurus Khilafah, setelah Khalifah yang tengah berkuasa mati atau mengundurkan diri atau dipecat (dipaksa mundur dari kekuasannya), berkumpul lalu mencalonkan seorang atau beberapa orang untuk jaba-tan Khalifah dan memilih salah satu dari calon tersebut dengan uslub apa saja yang relevan (akla-masi maupun voting). Setelah itu, mereka membai’at (بَيْعَةُ اِنْعِقَادٍ) calon terpilih dan bai’at itu wajib berisi pernyataan akan mendengar (اَلسَّمْعُ), mentaati (اَلطَّاعَةُ) dan menyelenggarakan pemerintahan berasas Al-Quran dan As-Sunnah. Selanjutnya, setelah bai’at pengangkatan sempurna, Khalifah atau orang yang mewakilinya duduk di suatu tempat (bisa masjid) untuk mengambil bai’at ketaatan (بَيْعَةُ الطَّاعَةِ) dari seluruh kaum muslim.
2.       Khalifah yang tengah berkuasa (karena merasa ajalnya telah dekat) berinisiatif (atau atas permin-taan masyarakat) untuk melakukan musyawarah dengan kaum muslim atau minimal dengan komu-nitas اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ atau para pemuka dan tokoh masyarakat, berkenaan dengan seseorang yang di-anggap paling pantas serta layak menjadi Khalifah setelah dirinya lalu ditetapkan perjanjian bagi orang tersebut untuk menjadi Khalifah kaum muslim. Setelah Khalifah yang tengah berkuasa wafat maka kaum muslim membai’at orang tersebut untuk menjadi Khalifah mereka yang baru. Jadi, Khi-lafah beralih kepada orang itu dan dia menjadi Khalifah adalah dengan bai’at dari kaum muslim dan bukan karena adanya perjanjian dengan Khalifah sebelumnya. Inilah yang telah terjadi saat per-gantian dari Khalifah Abu Bakar kepada Amirul Mukminin Umar bin Khaththab.
3.       Khalifah yang tengah berkuasa dalam kondisi menjelang kematian (هُوَ فِيْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ) berinisiatif (atau atas permintaan kaum muslim) untuk menugaskan sejumlah orang yang sangat pantas dalam mengurus Khilafah supaya mereka bermusyawarah untuk memilih salah seorang di antara mereka saja yang akan menjadi Khalifah setelah Khalifah yang ada wafat. Tugas tersebut berlaku atas me-reka sejak saat ditetapkan oleh Khalifah dan harus selesai dalam tempo yang tidak boleh melebihi dari tiga hari. Lalu setelah selesai proses pemilihan salah seorang dari mereka dengan uslub yang mereka sepakati, maka nama yang terpilih diumumkan kepada kaum muslim dan diambil bai’at ba-ginya dari kaum muslim. Jadi, orang yang terpilih itu menjadi Khalifah karena adanya bai’at dari kaum muslim dan bukan karena adanya pemilihan di antara mereka sendiri. Inilah yang terjadi pada saat pergantian dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab kepada Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu sejumlah shahabat yang diberi tugas sebagai tim pemilih calon Khalifah dari mereka sen-diri adalah enam orang yakni Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin ‘Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah juga disertakan Abdullah bin Umar namun dia tidak memiliki wewenang untuk berpendapat maupun berperan apa pun. Ami-rul Mukminin Umar bin Khaththab juga yang menetapkan tempo pelaksanaan tugas yang tidak bo-leh lebih dari tiga hari : وَلاَ يَأْتِيَنَّ الْيَوْمُ الرَّابِعُ اِلاَّ وَعَلَيْكُمْ اَمِيْرٌ مِنْكُمْ.
4.       setelah kematian Khalifah, sebagian besar kaum muslim atau komunitas اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ atau seke-lompok orang pemilik kekuatan (اَهْلُ الْقُوَّةِ) mendatangi seseorang yang dianggap sangat layak dan pantas untuk memimpin Khilafah lalu meminta orang itu untuk memimpin Khilafah. Orang itu ha-rus menerima permintaan mereka setelah mengetahui dengan pasti bahwa mayoritas kaum muslim ridla kepadanya. Kemudian dia mengambil bai’at dari kaum muslim secara terbuka (عَلَنًا) dan dia mengambil alih Khilafah dari kaum muslim dengan bai’at terbuka tersebut sehingga seluruh umat Islam wajib mentaatinya. Oleh karena itu permintaan dari sebagian besar kaum muslim atau dari komunitas اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ atau dari sekelompok orang pemilik kekuatan (اَهْلُ الْقُوَّةِ) tersebut hanyalah sebagai proses pencalonan seseorang untuk menjadi Khalifah dan itu dibatasi baginya saja. Orang tersebut sah menjadi Khalifah bukan karena adanya permintaan itu melainkan oleh adanya bai’at dari masyarakat. Inilah yang terjadi pada saat pergantian dari Khalifah Utsman bin Affan (yang ter-bunuh oleh kaum pemberontak) kepada Imam Ali bin Abi Thalib.
5.       ketika negara Khilafah riil ada, maka Majelis Ummah yang mewakili umat Islam dalam syura mau-pun muhasabah kepada para penguasa (يَنُوْبُ عَنْهَا فِيْ الشُّوْرَى وَفِيْ مُحَاسَبَةِ الْحُكَّامِ) melalui para anggota-nya dari kalangan kaum muslim melakukan pencalonan bagi Khalifah dari orang-orang yang diang-gap layak dan pantas (اَلْمُؤَهِّلُوْنَ) untuk memimpin Khilafah serta memenuhi seluruh syarat pengang-katan Khilafah (مُسْلِمًا وَذَكَرًا وَبَالِغًا وَعَاقِلاً وَعَدْلاً وَحُرًّا وَقَادِرًا). Lalu setelah selesai pencalonan tersebut, maka nama-nama calon Khalifah diumumkan kepada kaum muslim dan ditentukan satu hari untuk melakukan pemilihan terhadap salah seorang dari calon-calon tersebut untuk menjadi Khalifah. Pe-milihan boleh dilakukan oleh umat Islam atau hanya oleh kaum muslim anggota Majelis Ummah, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Dustur (konstitusi) Negara Khilafah. Siapa pun yang memperoleh suara terbanyak, maka namanya harus diumumkan kepada umat Islam lalu ang-gota Majelis Ummah dari kalangan kaum muslim memberikan bai’at in’iqad kepadanya dan dilan-jutkan dengan pemberian bai’at dari seluruh kaum muslim (bai’at ketaatan).

Demikianlah lima bentuk praktis penyelenggaraan metode bai’at yang boleh dipilih oleh umat Islam untuk mengangkat Khalifah bagi mereka dan itu hanya dapat diberlakukan setelah kematian Kha-lifah yang tengah berkuasa yakni ketika kaum muslim memiliki Negara Khilafah dan Islam sajalah yang diberlakukan dalam kehidupan mereka.
Adapun saat kaum muslim tidak memiliki Negara Khilafah dan Khalifah seperti saat ini yang te-lah berlangsung hampir 85 tahun (sejak 3 Maret 1924 M), maka mereka semuanya (كُلُّهُمْ) atau sekelom-pok dari mereka (جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ) atau di antara mereka yang memiliki kekuatan dan wewenang membuat keputusan (اَصْحَابُ الْقُوَّةِ وَالْمَنْعَةِ فِيْهِمْ) yang tinggal di satu negeri atau lebih dari negeri-negeri kaum mus-lim harus melakukan pengambil alihan kekuasaan di negeri-negeri tersebut dan menurunkan dengan paksa penguasanya yang tengah memberlakukan sistema kufur berikut hukum-hukumnya. Hal itu dila-kukan demi untuk melanjutkan kembali kehidupan Islami serta mengembalikan pemerintahan sesuai dengan seluruh ketentuan yang telah Allah turunkan (Islam). Kemudian dibolehkan bagi kaum muslim yang melakukan pengambil alihan kekuasaan di negeri tersebut untuk mencalonkan seseorang dari ka-langan kaum muslim yang memiliki kapabilitas untuk memangku jabatan pemerintahan dan kekuasaan, juga dia wajib memenuhi seluruh syarat pengangkatan Khilafah yang telah ditetapkan oleh Islam yakni مُسْلِمًا وَذَكَرًا وَبَالِغًا وَعَاقِلاً وَعَدْلاً وَحُرًّا وَقَادِرًا. Selanjutnya, mereka harus mengadakan pertemuan dengan ko-munitas اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ yang ada di negeri tersebut (atau sebagian besarnya) dan meminta mereka untuk membai’at calon Khalifah yang ada supaya sah menjadi Khalifah. Kemudian اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ melakukan pembai’atan dengan ridla dan pilihan mereka sendiri (ikhtiyar) berasaskan pelaksanaan Al-Quran dan As-Sunnah. Sehingga Khilafah sah berada dalam kekuasaan orang itu dengan adanya bai’at tersebut dan selanjutnya kaum muslim yang ada di negeri bersangkutan memberikan bai’at ketaatan dan keri-dlaan mereka kepada Khalifah yang sah. Setelah seluruhnya berlangsung sempurna, maka Khalifah wa-jib segera memberlakukan Islam (وَضْعُ الإِسْلاَمِ كَامِلاً مَوْضِعَ التَّطْبِيْقِ وَالتَّنْفِيْذِ) dalam realitas kehidupan secara sempurna dan tanpa kekecualian. Dengan demikian Negara Khilafah kembali lagi secara sempurna ke dalam realitas kehidupan dunia disertai dengan berlakunya lagi seluruh sistema dan hukum Islam da-lam arena kehidupan tersebut. Selain itu, negara yang pernah ada di negeri tersebut berubah total dan mendasar menjadi Negara Islam.
Wal hasil yang wajib, mendesak dan harus menjadi prioritas utama untuk dilakukan oleh kaum muslim saat ini adalah mempersiapkan diri (pemikiran dan kekuatan) untuk mangambil alih kekuasaan di suatu negeri (mana saja, misal Indonesia) dan mencopot penguasanya dengan paksa, supaya mereka memiliki kesempatan yang leluasa untuk membai’at salah seorang dari kalangan kaum muslim untuk menjadi Khalifah, sehingga otomatis Khilafah terwujud kembali di dunia dan Islam diberlakukan lagi secara sempurna (شَامِلاً), menyeluruh (كَامِلاً) dan utuh (دُفْعَةً وَاحِدَةً) dalam realitas hidup kemanusiaan. Se-baliknya, apabila umat Islam tidak pernah memprioritaskan aktivitas mereka di dunia ke arah tegaknya kembali Khilafah dalam kehidupan mereka tersebut, maka selain itu adalah aksi yang diharamkan juga akan mengakibatkan realitas kehidupan mereka akan tetap seperti saat ini (bahkan akan lebih buruk la-gi) yakni kehidupan yang sangat tidak layak bagi kemanusiaan (makhluq beraqal dan berpikir) dan ha-nya layak bagi kebinatangan (makhluq tidak beraqal dan biadab). Inilah yang dituntut oleh Allah SWT saat menyatakan :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)
“dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal shalih di antara kalian yakni Allah pasti akan memberikan kekuasaan kepada mereka di bumi seperti telah Dia berikan kepada orang-orang sebelum mereka dan Dia pun akan mengokohkan din mereka yang telah Dia ridlai bagi mereka lalu pasti Dia akan menggantikan bagi mereka keadaan penuh ketakutan dengan keamanan. Hal itu karena mereka benar-benar taat kepada Ku dan tidak bersikap musyrik sedikit pun kepada Ku. Dan siapa pun yang bersikap kufur setelah itu, maka orang-orang itulah kaum fasiqun”.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (طه : 124-126)
“dan siapa saja yang berpaling dari peringatan Ku (Islam) maka sungguh baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia di hari kiamah dalam keadaan buta. Dia berkata wahai Rabbku mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dulu aku melihat. Allah berkata demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami lalu engkau lupakan itu dan demikianlah pada hari ini kamu pun dilupakan (oleh Aku)”.

No comments:

Post a Comment