Realitas kepemimpinan dalam Islam
Istilah اَلإِمَارَةُ dalam Islam diturunkan (مُشْتَقَّةٌ) dari lafadz اَلأَمِيْرُ yang ada dalam berbagai hadits anta-ra
lain pernyataan Rasulullah saw :
مَنْ أَطَاعَنِي
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ
الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي (رواه احمد)
“siapa saja yang mentaatiku maka dia
telah mentaati Allah dan siapa saja yang maksiat kepadaku ma-ka dia telah maksiat
kepada Allah dan siapa saja yang mentaati الْأَمِيرَ maka dia telah mentaatiku”.
لَتُفْتَحَنَّ
الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ
ذَلِكَ الْجَيْشُ (رواه احمد)
“sungguh akan ditaklukkan
Konstantinopel, maka sebaik-baiknya الْأَمِيرُ adalah الْأَمِيرُ penaklukkan
terse-but dan sebaik-baiknya pasukan adalah pasukan tersebut”.
مَنْ أَطَاعَنِي
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ
الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه
مسلم)
“siapa
saja yang mentaatiku maka dia telah mentaati Allah dan siapa saja yang maksiat
kepadaku ma-ka dia telah maksiat kepada Allah dan siapa saja yang mentaati الْأَمِيرُ maka dia telah mentaatiku dan siapa
saja yang maksiat kepada الْأَمِيرُ maka dia telah maksiat kepadaku”.
Juga
sebuah riwayat yang menjelaskan posisi أَمِيرُ مَكَّةَ sebagai pemegang otoritas penentuan awal
bulan Dzulhijjah untuk memulai rangkaian manasik haji :
عَنْ أَبِي مَالِكٍ
الْأَشْجَعِيِّ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ الْحَارِثِ الْجَدَلِيُّ مِنْ جَدِيلَةَ
قَيْسٍ أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ
لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا فَسَأَلْتُ
الْحُسَيْنَ بْنَ الْحَارِثِ مَنْ أَمِيرُ مَكَّةَ قَالَ لَا أَدْرِي ثُمَّ
لَقِيَنِي بَعْدُ فَقَالَ هُوَ الْحَارِثُ بْنُ حَاطِبٍ أَخُو مُحَمَّدِ بْنِ
حَاطِبٍ ثُمَّ قَالَ الْأَمِيرُ إِنَّ فِيكُمْ مَنْ هُوَ أَعْلَمُ بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ مِنِّي وَشَهِدَ هَذَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى رَجُلٍ قَالَ الْحُسَيْنُ فَقُلْتُ لِشَيْخٍ
إِلَى جَنْبِي مَنْ هَذَا الَّذِي أَوْمَأَ إِلَيْهِ الْأَمِيرُ قَالَ هَذَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَصَدَقَ كَانَ أَعْلَمَ بِاللَّهِ مِنْهُ فَقَالَ
بِذَلِكَ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه ابو
داود)
“dari Abi Malik Al-Asyja’iyyi
telah bercerita kepada kami Husain bin Al-Harits Al-Jadaliyyu dari Jadilah Qais
bahwa Amir Makkah berkhutbah lalu dia menyatakan Rasulullah saw telah
menugaskan kepada kami supaya kami memulai manasik berdasarkan rukyah. Lalu
bila kami tidak dapat melihat-nya dan ada dua orang saksi adil memberikan
kesaksian melihat rukyah, maka kami harus memulai manasik dengan kesaksian
mereka berdua”. Kemudian saya bertanya kepada Husain bin Al-Harits siapa أَمِيرُ
مَكَّةَ itu? Dia menjawab saya tidak tahu.
Kemudian dia menemuiku setelah kejadian itu lalu berkata أَمِيرُ
مَكَّةَ adalah
Harits bin Hathib saudaranya Muhammad bin Hathib”. Selanjutnya الْأَمِيرُ ber-kata sungguh di tengah-tengah
kalian ada seseorang yang lebih tahu kepada Allah dan Rasulu-Nya da-ripada aku
dan dia telah menyaksikan penugasan tersebut dari Rasulullah saw dan الْأَمِيرُ memberi isya-rat dengan tangannya
kepada seseorang. Husain berkata saya bertanya kepada syaikh yang ada di
se-belahku (Jadilah Qais) siapakah seseorang yang diisyaratkan oleh الْأَمِيرُ? Dia menjawab orang itu ada-lah
Abdullah bin Umar dan memang benar dia (Ibnu Umar) lebih tahu kepada Allah
daripada dia (Amir Makkah), lalu dia (Ibnu Umar) berkata : memang demikianlah
Rasulullah saw telah memerin-tahkannya kepada kami”.
Wilayah kekuasaan الْأَمِيرُ (misal Kota Makkah untuk أَمِيرُ
مَكَّةَ) dalam Islam
disebut اَلإِمَارَةُ : wilayah kekua-saan Amir. Istilah اَلإِمَارَةُ secara langsung pernah diucapkan
oleh Khalifah Umar seperti dalam riwayat berikut :
عَنْ تَمِيمٍ
الدَّارِيِّ قَالَ تَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبِنَاءِ فِي زَمَنِ عُمَرَ فَقَالَ
عُمَرُ يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ
إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا
بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ
وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ
(رواه الدارمي)
“dari Tamiim Ad-Daariyyi berkata pada
masa Umar orang-orang telah sangat maju dalam hal bangu-nan, lalu Umar berkata
: ‘wahai masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Is-lam
itu tidak ada kecuali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali
dengan adanya ima-rah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya
ketaatan. Siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasarkan pemahaman
maka orang itu adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mere-ka dan siapa saja
yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu
adalah kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka”.
Juga
dalam hadits Rasulullah saw :
عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ
وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ
بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ
وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ
وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ
يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا
عَلَيَّ حَوْضِي (رواه احمد)
“dari Jabir bin Abdillah bahwa Nabi saw
berkata kepada Ka’ab bin ‘Ujrah : aku mohonkan perlin-dungan bagimu kepada
Allah dari imarah sufaha. Dia (Ka’ab) bertanya : apakah itu imarah sufaha?
Beliau berkata : yakni para Amir yang akan ada sepeninggalku, mereka memimpin
manusia bukan de-ngan hidayahku dan memberlakukan aturan kepada manusia bukan
dengan sunnahku. Lalu siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan
mendukung kezhaliman mereka, maka orang itu bukan bagian dari aku dan aku bukan
bagian dari mereka dan mereka pun jangan berharap memperoleh al-haudl (نَهْرُ
الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ)
dariku. Dan siapa saja yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan ti-dak
mendukung kezhaliman mereka, maka orang itu adalah bagian dari aku dan aku
bagian dari mere-ka dan mereka dapat berharap memperoleh al-haudl (نَهْرُ
الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ)
dariku”.
Nampak sekali (صَرَاحَةً) dalam ucapan Khalifah Umar terungkap وَلَا
جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ dan pa-da ucapan Nabi saw terungkap أَعَاذَكَ
اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ. Kedua ungkapan tersebut memastikan bahwa istilah اَلإِمَارَةُ bukan hanya diturunkan dari lafadz الْأَمِيرُ melainkan juga termuat langsung dalam nash
sya-ra’. Lalu, apa realitas اَلإِمَارَةُ dan الْأَمِيرُ dalam sistem pemerintahan Islam (نِظَامُ الْحُكْمِ
فِيْ الإِسْلاَمِ)?
Realitas الْأَمِيرُ dalam Islam dapat digunakan untuk segala
hal, baik yang menyangkut pemerintahan dan kekuasaan (اَلْحُكْمُ
وَالسُّلطَاتُ) maupun
lainnya :
1.
pimpinan perjalanan dan diistilahkan dengan اَمِيْرُ
السَّفَرِ. Inilah yang ditetapkan
dalam pernyataan Ra-sulullah saw : وَلَا يَحِلُّ
لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ
أَحَدَهُمْ (رواه احمد) : dan
tidak halal bagi tiga orang berkelompok yang sedang bepergian kecuali mereka
menjadikan salah seorang dari mereka sebagai amirnya.
2. pimpinan
pasukan (اَمِيْرُ
الْجَيْشِ), baik tim
penyerbuan (اَمِيْرُ الْغَزْوَةِ) maupun tim ekspedisi (اَمِيْرُ السَّرِيَّةِ). Inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah
dalil antara lain hadits Rasulullah saw :
لَتُفْتَحَنَّ
الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ
ذَلِكَ الْجَيْشُ (رواه احمد)
“sungguh akan ditaklukkan
Konstantinopel, maka sebaik-baiknya الْأَمِيرُ adalah الْأَمِيرُ penaklukkan
tersebut dan sebaik-baiknya pasukan adalah pasukan tersebut”.
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ
أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا (رواه مسلم)
“Dari Sulaiman bin Buraidah
dari bapaknya berkata Rasulullah saw itu ketika beliau mengangkat seorang amir
baik untuk ekspedisi maupun penyerbuan, maka beliau berpesan secara khusus
untuk taqwa kepada Allah dan bersikap baik kepada kaum muslim yang
menyertainya”.
3.
salah satu struktur negara Islam (اِحْدَى
جِهَازِ الدَّوْلَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ) adalah اَمِيْرُ الْجِهَادِ yakni seorang muslim yang diangkat oleh Khalifah untuk memimpin
empat macam departemen (اَلدَّائِرَةُ), yaitu : (a) luar ne-geri (دَائِرَةُ
الْخَارِجِيَّةِ), (b)
peperangan (دَائِرَةُ الْحَرْبِيَّةِ), (c) keamanan dalam negeri (دَائِرَةُ الأَمْنِ
الدَّاخِلِيِّ) dan (d)
perindustrian (دَائِرَةُ الصِّنَاعَةِ). Mengapa disebut اَمِيْرُ الْجِهَادِ padahal tugasnya adalah memimpin em-pat
departemen tersebut? Penjelasannya sebagai berikut :
a.
realitas luar negeri Khilafah baik dalam status damai (سَلْمًا) maupun perang (حَرْبًا), seluruhnya ditentukan oleh segala hal
yang dituntut oleh kepentingan jihad. Jika jihad mengharuskan ada-nya penetapan
berdamai dengan suatu negara kufur maka harus dilakukan dan sebaliknya bila
jihad menuntut diberlakukannya kondisi perang dengan semua negara kufur yang
ada di luar Khilafah maka perang tersebut wajib dilakukan oleh Khalifah.
b.
perang tentu saja tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan
dari tentara yang handal (اَلْجَيْشُ
الْمُعِدُّ) untuk jihad
termasuk pembentukan tentara, penyiapannya maupun alutsistanya.
c.
keamanan dalam negeri diperuntukkan bagi pemeliharaan
dan penjagaan terhadap negara. Pen-jagaan keamanan dalam negeri Khilafah,
muamalah terhadap pemberontak maupun para pem-begal seluruhnya dilakukan
melalui penggunaan polisi yang tiada lain adalah bagian tak terpi-sahkan dari
tentara yang handal untuk jihad.
d.
industri dituntut ada untuk mencukupi alutsista dan
logistik bagi tentara dan itu seluruhnya ha-rus dipenuhi demi untuk
kesempurnaan pelaksanaan jihad.
4. istilah
اَمِيْرُ
الْمُؤْمِنِيْنَ pernah
digunakan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) setidaknya pada dua masa
kepemimpinan yakni saat Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdil Aziz. Inilah yang
ditunjukkan oleh dua riwayat berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ
قَالَ كُنْتُ جَالِسًا إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ وَنَحْنُ نَنْتَظِرُ جَنَازَةَ
أُمِّ أَبَانَ بِنْتِ عُثْمَانَ وَعِنْدَهُ عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ فَجَاءَ ابْنُ
عَبَّاسٍ يَقُودُهُ قَائِدٌ فَأُرَاهُ أَخْبَرَهُ بِمَكَانِ ابْنِ عُمَرَ فَجَاءَ
حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِي فَكُنْتُ بَيْنَهُمَا فَإِذَا صَوْتٌ مِنْ الدَّارِ
فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ كَأَنَّهُ يَعْرِضُ عَلَى عَمْرٍو أَنْ يَقُومَ
فَيَنْهَاهُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ قَالَ فَأَرْسَلَهَا
عَبْدُ اللَّهِ مُرْسَلَةً فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنَّا مَعَ أَمِيرِ
الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ إِذَا
هُوَ بِرَجُلٍ نَازِلٍ فِي ظِلِّ شَجَرَةٍ فَقَالَ لِي اذْهَبْ فَاعْلَمْ لِي مَنْ
ذَاكَ الرَّجُلُ فَذَهَبْتُ فَإِذَا هُوَ صُهَيْبٌ فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقُلْتُ
إِنَّكَ أَمَرْتَنِي أَنْ أَعْلَمَ لَكَ مَنْ ذَاكَ وَإِنَّهُ صُهَيْبٌ قَالَ
مُرْهُ فَلْيَلْحَقْ بِنَا فَقُلْتُ إِنَّ مَعَهُ أَهْلَهُ قَالَ وَإِنْ كَانَ
مَعَهُ أَهْلُهُ وَرُبَّمَا قَالَ أَيُّوبُ مُرْهُ فَلْيَلْحَقْ بِنَا فَلَمَّا
قَدِمْنَا لَمْ يَلْبَثْ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ أَنْ أُصِيبَ فَجَاءَ صُهَيْبٌ
يَقُولُ وَا أَخَاهْ وَا صَاحِبَاهْ فَقَالَ عُمَرُ أَلَمْ تَعْلَمْ أَوَ لَمْ
تَسْمَعْ قَالَ أَيُّوبُ أَوْ قَالَ أَوَ لَمْ تَعْلَمْ أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ
لَيُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ قَالَ فَأَمَّا عَبْدُ اللَّهِ
فَأَرْسَلَهَا مُرْسَلَةً وَأَمَّا عُمَرُ فَقَالَ بِبَعْضِ فَقُمْتُ فَدَخَلْتُ
عَلَى عَائِشَةَ فَحَدَّثْتُهَا بِمَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَقَالَتْ لَا وَاللَّهِ
مَا قَالَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطُّ إِنَّ
الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَحَدٍ وَلَكِنَّهُ قَالَ إِنَّ الْكَافِرَ
يَزِيدُهُ اللَّهُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَذَابًا وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ أَضْحَكَ
وَأَبْكَى وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (رواه مسلم)
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا
قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ
فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ
خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ
اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ
مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا
إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً
عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ
بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي
صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ
فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ
بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ
بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ (رواه احمد)
Bagian
فَقَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ كُنَّا مَعَ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ pada riwayat pertama memas-tikan bahwa Khalifah Umar bin
Khaththab menggunakan gelaran اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ sepanjang beliau me-mimpin Khilafah dari
tahun 13 sampai 23 Hijriyah (634-644 Miladiyah).
Bagian
فَقُلْتُ
لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ
الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ pada riwayat kedua memas-tikan bahwa Khalifah Umar bin Abdil
Aziz menggunakan gelaran أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ sepanjang beliau me-mimpin Khilafah dari
tahun 99 sampai 102 Hijriyah (717-720 Miladiyah).
5. karena
pada hadits :
مَنْ أَطَاعَنِي
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ
فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه مسلم)
lafadz الْأَمِيرُ bersifat mutlak sehingga semua posisi الْأَمِيرُ dalam Islam : اَمِيْرُ السَّفَرِ, اَمِيْرُ الْجَيْشِ, اَمِيْرُ الْغَزْوَةِ, اَمِيْرُ السَّرِيَّةٍ, اَمِيْرُ الْجِهَادِ, أَمِيرُ
الْمُؤْمِنِينَ, dan
sebagainya adalah wajib ditaati oleh kaum muslim selama me-reka tidak
memerintahkan maksiat kepada Allah atau selama mereka tidak menunjukkan
kekufuran yang nyata (كُفْرًا بَوَاحًا). Inilah yang ditunjukkan oleh banyak dalil antara lain :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ
دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ
اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا
وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ
إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
(رواه البخاري)
Dari Junadah bin Abi
Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah sakit, lalu kami
berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kami
sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits tersebut yang
engkau telah dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi saw telah
menyeru kami lalu kami pun membai’at be-liau, lalu beliau pun memberitahukan
dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar didengar dan
ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan maupun
adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan supaya kami
tidak mere-but kekuasaan dari tangan pemiliknya kecuali (kata beliau) : kalian
melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian dari Allah.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw
bahwa beliau berkata : mendengar dan mentaati adalah wajib atas seorang muslim
baik dalam hal yang disuka atau dibenci, kecuali diperintahkan untuk maksiat.
La-lu bila diperintahkan untuk maksiat maka tidak boleh mendengar dan mentaati.
Lalu, bagaimana hubungan
realitas الْأَمِيرُ yakni اَمِيْرُ
الْمُؤْمِنِيْنَ dengan اَلْخَلِيْفَةُ atau اَلإِمَامُ atau اَلسُّلْطَانُ? Is-tilah اَلْخَلِيْفَةُ atau اَلإِمَامُ atau اَلسُّلْطَانُ, seluruhnya terungkap dalam berbagai dalil
antara lain :
كَانَتْ بَنُو
إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ
نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ
أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه
البخاري)
قَدْ تَرَكْتُكُمْ
عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا
هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ
بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا
انْقِيدَ انْقَادَ (رواه احمد)
مِنْ خُلَفَائِكُمْ
خَلِيفَةٌ يَحْثُو الْمَالَ حَثْيًا لَا يَعُدُّهُ عَدَدًا (رواه مسلم)
Ketiga
hadits tersebut menginformasikan dengan jelas (صَرَاحَةً) istilah اَلْخَلِيْفَةُ dalam bentuk tunggal (pada hadits ketiga)
: خَلِيفَةٌ dan bentuk jamak الْخُلَفَاءُ (pada ketiga hadits). Artinya istilah اَلْخَلِيْفَةُ adalah benar-benar diucapkan atau
dinyatakan oleh Rasulullah saw dan bukan sekedar istilah yang muncul dan
ber-kembang setelah periode wahyu (عَصْرُ الْوَحْيِ) berakhir melainkan justru saat wahyu
masih turun. Sehing-ga istilah اَلْخَلِيْفَةُ adalah istilah syar’iy (اِصْطِلاَحٌ
شَرْعِيٌّ) berdasarkan
dalil-dalil tersendiri yang di antaranya adalah ketiga hadits tersebut.
عَنْ عَمْرِو بْنِ
مَيْمُونٍ الْأَوْدِيِّ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ اذْهَبْ إِلَى أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقُلْ يَقْرَأُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
عَلَيْكِ السَّلَامَ ثُمَّ سَلْهَا أَنْ أُدْفَنَ مَعَ صَاحِبَيَّ قَالَتْ كُنْتُ
أُرِيدُهُ لِنَفْسِي فَلَأُوثِرَنَّهُ الْيَوْمَ عَلَى نَفْسِي فَلَمَّا أَقْبَلَ قَالَ لَهُ مَا
لَدَيْكَ قَالَ أَذِنَتْ لَكَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ قَالَ مَا كَانَ شَيْءٌ
أَهَمَّ إِلَيَّ مِنْ ذَلِكَ الْمَضْجَعِ فَإِذَا قُبِضْتُ فَاحْمِلُونِي ثُمَّ
سَلِّمُوا ثُمَّ قُلْ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَإِنْ أَذِنَتْ لِي
فَادْفِنُونِي وَإِلَّا فَرُدُّونِي إِلَى مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ إِنِّي لَا
أَعْلَمُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ الَّذِينَ
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ
رَاضٍ فَمَنْ اسْتَخْلَفُوا بَعْدِي فَهُوَ الْخَلِيفَةُ فَاسْمَعُوا لَهُ
وَأَطِيعُوا فَسَمَّى عُثْمَانَ وَعَلِيًّا وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرَ وَعَبْدَ
الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ وَسَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ وَوَلَجَ عَلَيْهِ شَابٌّ
مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ أَبْشِرْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بِبُشْرَى اللَّهِ
كَانَ لَكَ مِنْ الْقَدَمِ فِي الْإِسْلَامِ مَا قَدْ عَلِمْتَ ثُمَّ اسْتُخْلِفْتَ
فَعَدَلْتَ ثُمَّ الشَّهَادَةُ بَعْدَ هَذَا كُلِّهِ فَقَالَ لَيْتَنِي يَا ابْنَ
أَخِي وَذَلِكَ كَفَافًا لَا عَلَيَّ وَلَا لِي أُوصِي الْخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي
بِالْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ خَيْرًا أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ وَأَنْ
يَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَنْصَارِ خَيْرًا الَّذِينَ
تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ وَيُعْفَى
عَنْ مُسِيئِهِمْ وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ وَأَنْ يُقَاتَلَ
مِنْ وَرَائِهِمْ وَأَنْ لَا يُكَلَّفُوا فَوْقَ طَاقَتِهِمْ (رواه البخاري)
Riwayat ini mengkisahkan
hari-hari terakhir dari kepemimpinan Amirul Mukminin Umar bin Khath-thab, yakni
ketika beliau berusaha keras untuk segera mencari calon Khalifah pengganti
dirinya yang akan dibai’at oleh umat Islam saat beliau telah wafat. Bagian
ucapan Amirul Mukminin yakni :
إِنِّي لَا أَعْلَمُ
أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ فَمَنْ
اسْتَخْلَفُوا بَعْدِي فَهُوَ الْخَلِيفَةُ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا فَسَمَّى
عُثْمَانَ وَعَلِيًّا وَطَلْحَةَ وَالزُّبَيْرَ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ
وَسَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ وَوَلَجَ عَلَيْهِ شَابٌّ مِنْ الْأَنْصَارِ
Sungguh
aku tidak tahu ada orang lain yang lebih berhaq atas urusan ini (Khilafah)
daripada mereka yang ketika Rasulullah saw diwafatkan beliau ridla kepada
mereka. Oleh karena itu, siapa saja yang mereka pilih sepeninggalku maka dia
adalah الْخَلِيفَةُ, dengarlah dia dan taatilah dia. Lalu dia (Umar) menyebut
Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan
seorang anak muda dari kalangan Anshar.
memastikan
bahwa ucapan beliau itu didengar dan disaksikan oleh seluruh shahabat bahkan
diinforma-sikan kepada mereka secara formal, lalu karena tidak ada seorang pun
yang mengingkarinya maka selu-ruh lafadz, istilah maupun realitas yang
terkandung dalam ucapan Amirul Mukminin termasuk istilah الْخَلِيفَةُ adalah ijma shahabat (اِجْمَاعُ
الصَّحَابَةِ), sehingga
menjadi dalil seperti Al-Quran dan As-Sunnah.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ يَحْيَى بْنِ فَارِسٍ حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا عَبَّادٌ السَّمَّاكُ
قَالَ سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ يَقُولُ الْخُلَفَاءُ خَمْسَةٌ أَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ (رواه ابو داود)
Riwayat ini memuat empat
orang yang bukan shahabat yakni : (a) Muhammad bin Yahya bin Faris ada-lah
seorang tabi’ut taabi’in pertengahan (اَلْوُسْطَى مَنْ
تَبِعَ الأُتَّبَاعَ), (b)
Qabishah adalah seorang tabi’in kecil (اَلصُّغْرَى مِنَ
الأُتَّبَاعِ), (c) ‘Abbad
As-Samaak adalah tabi’in pertengahan (اَلْوُسْطَى مِنَ
الأُتَّبَاعِ) dan (d)
Sufyan Ats-Tsauriyyi adalah tabi’in besar (كِبَارُ الأُتَّبَاعِ). Keempat orang manusia mulia tersebut
sepakat terhadap istilah الْخَلِيفَةُ yang diungkap oleh Sufyan Ats-Tsauriyyi : الْخُلَفَاءُ
خَمْسَةٌ. Jadi, istilah الْخَلِيفَةُ maupun realitas yang melekat padanya
adalah persoalan yang terkategori : مَعْلُوْمٌ مِنَ
الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ
(bagian dari Islam yang amat sangat diketahui oleh seluruh umat Islam :
shahabat, tabi’un dan tabi’ut tabi’in).
Lalu berkenaan dengan
istilah اَلإِمَامُ, dapat ditelusuri kedudukannya melalui
sejumlah dalil yang antara lain adalah pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّمَا الْإِمَامُ
جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ
أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ (رواه مسلم)
إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَإِنَّ
أَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَشَدَّهُ عَذَابًا
إِمَامٌ جَائِرٌ (رواه احمد)
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا
فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ
فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ (رواه مسلم)
مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ
إِمَامٍ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه احمد)
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ
وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ
إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ
وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ (رواه احمد)
ثَلَاثَةٌ لَا
تَسْأَلْ عَنْهُمْ رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ
عَاصِيًا وَأَمَةٌ أَوْ عَبْدٌ أَبَقَ فَمَاتَ وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا
زَوْجُهَا قَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ فَلَا
تَسْأَلْ عَنْهُمْ (رواه احمد)
فَالْإِمَامُ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ (رواه البخاري)
فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ
وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ (رواه البخاري)
Dalil-dalil tersebut
menunjukkan bahwa realitas الْإِمَامُ adalah :
1.
pelindung umat Islam (جُنَّةٌ) dan yang memberlakukan ketentuan Islam
dalam kehidupan manusia di dunia : فَإِنْ أَمَرَ
بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ atau إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَقْرَبَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ.
2.
dibai’at untuk ditaati (فَلْيُطِعْهُ إِنْ
اسْتَطَاعَ) dan
kedudukannya sebagai penguasa bersifat mutlak, sehing-ga jika ada yang akan
merampas kekuasaannya harus dibunuh : فَاضْرِبُوا عُنُقَ
الْآخَرِ. Selain itu,
setiap muslim haram memisahkan diri dari kekuasaannya dan membangkang
perintahnya dalam keadaan apa pun : رَجُلٌ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ
وَعَصَى إِمَامَهُ وَمَاتَ عَاصِيًا.
3. pemegang
otoritas yang berkewajiban memenuhi semua kebutuhan masyarakat orang per orang
secara sempurna :
مَا مِنْ إِمَامٍ أَوْ
وَالٍ يُغْلِقُ بَابَهُ دُونَ ذَوِي الْحَاجَةِ وَالْخَلَّةِ وَالْمَسْكَنَةِ
إِلَّا أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ دُونَ حَاجَتِهِ
وَخَلَّتِهِ وَمَسْكَنَتِهِ
4. yang
bertanggungjawab penuh terhadap kehidupan manusia di dunia : فَالْإِمَامُ
رَاعٍ dan ini sama de-ngan
bagian hadits : فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ.
Dengan
demikian realitas الْإِمَامُ sama persis dengan realitas الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ
الْمُؤْمِنِيْنَ maupun الْأَمِيرُ. Lalu bagai-mana dengan اَلسُّلْطَانُ? Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ كَرِهَ مِنْ
أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنْ
النَّاسِ خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً (رواه مسلم)
مَنْ أَكْرَمَ
سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي
الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد)
Pada
hadits pertama penyebutan اَلسُّلْطَانُ (خَرَجَ مِنْ السُّلْطَانِ) didahului oleh penyebutan الْأَمِيرُ (مِنْ أَمِيرِهِ) yang berarti realitas keduanya adalah
sama yakni wajib ditaati dan seluruh umat Islam haram memisahkan diri dari
kekuasaan اَلسُّلْطَانُ yakni الْأَمِيرُ اَوِ
الْخَلِيْفَةُ اَوِ الإِمَامُ اَوْ اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ. Lalu pada hadits kedua, pengung-kapan
istilah اَلسُّلْطَانُ disandarkan (مُضَافٌ) kepada Allah : سُلْطَانَ
اللَّهِ yang bermakna اَلسُّلْطَانُ yang posisi maupun eksistensinya bersandar
kepada seluruh ketentuan Allah SWT dan realitas ini semakin jelas de-ngan
adanya kewajiban untuk memuliakannya (مَنْ أَكْرَمَ
سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ) dan haram
menghinakannya (مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي
الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ). Wal hasil, realitas dari istilah الْإِمَامُ, الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ
الْمُؤْمِنِيْنَ, الْأَمِيرُ maupun اَلسُّلْطَانُ adalah sama yakni :
رَئِيْسُ
الدَّوْلَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ وَهِيَ الَّتِيْ الْخِلاَفَةُ وَتَكُوْنُ
الْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةً عَامَّةً لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعًا فِيْ الدُّنْيَا
ِلإِقَامَةِ اَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ
الإِسْلاَمِيَّةِ اِلَى الْعَالَمِ وَهِيَ عَيْنُهَا الإِمَامَةُ
“kepala Daulah Islamiyah yakni Khilafah dan Khilafah itu adalah
kepemimpinan bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum
syara Islami serta mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dan jatidiri
Khilafah itu tiada lain adalah Imamah”.
Memilih dan mengangkat الْإِمَامُ, الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ
الْمُؤْمِنِيْنَ, الْأَمِيرُ, اَلسُّلْطَانُ
Proses pemilihan dan pengangkatan الْإِمَامُ, الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ
الْمُؤْمِنِيْنَ, الْأَمِيرُ, اَلسُّلْطَانُ mencakup dua hal yang mendasar yakni :
a.
metode pengangkatan (طَرِيْقَةُ النَّصْبِ), yakni metode yang ditetapkan oleh Islam
yang wajib diguna-kan dalam proses mengangkat الْإِمَامُ, الْخَلِيفَةُ, اَمِيْرُ
الْمُؤْمِنِيْنَ, الْأَمِيرُ, اَلسُّلْطَانُ tersebut.
b. bentuk
praktis untuk penyelenggaraan metode tersebut (اَلأَشْكَالُ
الْعَمَلِيَّةُ ِلإِجْرَاءِ تِلْكَ الطَّرِيْقَةِ)
Metode yang ditetapkan
oleh Islam dan wajib digunakan dalam proses pengangkatan Khalifah adalah bai’at
(اَلْبَيْعَةُ). Bai’at merupakan metode satu-satunya
yang telah diberlakukan saat umat Islam generasi awal (اَلسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ) mengangkat Nabi Muhammad saw sebagai Kepala Negara Pertama
dalam sejarah perjalanan Dunia Islam. Bai’at Aqabah I yang dihadiri oleh 12
orang utusan dari Madinah maupun Bai’at Aqabah II yang dihadiri oleh 75 orang
utusan (dua orang di antara-nya adalah wanita
: Nasibah binti Ka’ab dan Asma binti ‘Amr bin ‘Adiy), keduanya adalah
peristiwa pernyataan kesediaan penduduk Madinah untuk dipimpin oleh Rasulullah
saw sebagai penguasa mere-ka (سُلْطَانُهُمْ). Demikian juga bai’at
yang diberikan oleh para shahabat kepada beliau baik secara perora-ngan maupun
berkelompok :
عَنْ قَيْسٍ سَمِعْتُ جَرِيرًا رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ يَقُولُ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ (رواه البخاري)
Dari Qais bahwa dia telah mendengar Jarir ra berkata :
‘saya telah membai’at Rasulullah saw berda-sarkan syahadah أَنْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ, melaksanakan shalat, membayar zakat, mendengar, mentaati dan
nasihat bagi setiap muslim’.
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ عُبَادَةَ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ
وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَعَلَى أَنْ لَا
نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا
لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ (رواه مسلم)
Dari Ubadah bin Walid
bin Ubadah dari bapaknya dari kakeknya berkata : ‘kami telah membai’at
Rasulullah saw untuk mendengar dan mentaati dalam keadaan kesulitan, kemudahan,
suka, benci mau-pun berbagai bahaya yang menimpa kami dan kami tidak akan
merebut kekuasaan dari pemiliknya dan kami akan selalu menyatakan al-haq di
mana pun kami berada serta kami tidak pernah takut di jalan Allah terhadap
celaan tukang mencela’.
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ
دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ
اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا
وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ
أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ
بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Dari Junadah bin Abi
Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah sakit, lalu kami
berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kami
sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits tersebut yang
engkau telah dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi saw telah
menyeru kami lalu kami pun membai’at beliau, lalu beliau pun memberitahukan
dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar didengar dan
ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan maupun
adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan supaya kami
tidak merebut kekuasaan dari tangan pemiliknya kecuali (kata beliau) : kalian
melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian dari Allah.
Juga sejumlah pernyataan Rasulullah saw sendiri yang memastikan bahwa
metode mengangkat Khali-fah itu adalah bai’at. Rasulullah menyatakan :
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا
الْآخَرَ مِنْهُمَا (رواه مسلم)
“Jika dibai’at dua orang Khalifah maka
bunuhlah oleh kalian yang kedua dari mereka itu”.
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
“Bani Israil itu yang
memimpin dan mengurus mereka adalah para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, maka
dibelakangnya menyusul Nabi pengganti, namun ingatlah tidak ada Nabi setelahku
dan yang akan ada adalah para Khalifah lalu mereka akan banyak. Mereka (para
shahabat) bertanya : ‘lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau
menjawab : ‘penuhilah oleh kalian bai’at bagi Khalifah yang pertama (dibai’at)
itulah yang harus dipenuhi, berikanlah kepada mereka hak mereka sebab Allah
yang akan bertanya kepada mereka tentang kekuasaan mereka itu”.
Kedua dalil tersebut
memastikan bahwa antara bai’at dengan Khalifah tidak dapat dipisahkan, yakni
bi-la bai’at telah sempurna diberikan
oleh kaum muslim kepada seseorang maka jadilah dia Khalifah dan sebaliknya bila
kaum muslim tidak memberikan bai’at mereka kepada orang tersebut maka dia tidak
akan pernah menjadi Khalifah, apa pun alasannya dan hingga kapan pun. Kepastian
itu bahkan telah di-praktikan secara riil saat pembai’atan Abu Bakar sebagai
Khalifah pertama :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ
زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ
نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ
وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
“Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid
bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu
saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid)
menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci
tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan
jamaah”.
Metode bai’at terus digunakan
oleh umat Islam sepanjang Khulafa Rasyidun mulai dari pengganti Abu Bakar yakni
Umar hingga Ali bin Abi Thalib. Bahkan ketika kepemimpinan Dunia Islam beralih
secara tidak sah kepada Muawiyah (sang pemberontak terkutuk), ternyata
sepanjang kekuasaan dia maupun keluarganya itu metode bai’at selalu digunakan
dalam pengangkatan Khalifah hanya saja implementa-sinya menyimpang dari
ketetapan Islam yakni diminta secara paksa dari umat Islam oleh Khalifah yang
tengah berkuasa (misal Muawiyah) untuk anaknya (misal Yazid bin Muawiyah).
Inilah bentuk penyim-pangan riil praktis yang dimulai oleh Muawiyah (40 H/661
M) lalu terus berlangsung hingga menjelang runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (1924
M) : 1263 tahun. Namun seiring dengan penyimpangan tersebut, umat Islam tetap
sepakat untuk tetap memberlakukan metode bai’at sebagai satu-satunya metode
Islami (طَرِيْقَةٌ اِسْلاَمِيَّةٌ) dalam proses pengangkatan
Khalifah. Inilah ciri khas sistem pemerintahan Islami (Khila-fah) yang
membedakannya dari sistem pemerintahan lain dalam ideologi apa pun. Sehingga
walau me-mang benar Khilafah yang sejati hanya berlangsung sampai Imam Ali bin
Abi Thalib, namun bukan berarti setelah itu Khilafah tidak pernah ada lagi
(karena banyak penyimpangan) melainkan tetap ada dan berlangsung yang ditandai
pasti oleh bai’at tersebut.
Lalu, bagaimana tentang bentuk praktis untuk
penyelenggaraan metode bai’at saat pengangkatan Khalifah? Karena ijma shahabat
adalah dalil syar’iy seperti hanya Al-Quran dan As-Sunnah dan ijma shahabat
hanya berlangsung selama era Khulafa Rasyidun, maka bentuk praktis untuk
penyelenggaraan metode bai’at adalah dapat mencontoh dari mereka saat
pergantian dari satu Khalifah kepada lainnya. Rinciannya adalah :
1.
saat pembai’atan Abu Bakar, maka yang terjadi adalah
sebagian besar penduduk pusat negara Khi-lafah (saat itu adalah Madinah) atau اَهْلُ
الْحَلِّ وَالْعَقْدِ
(kelompok umat Islam yang selalu diberi keper-cayaan oleh masyarakat untuk
memutuskan sesuatu) atau orang-orang tertentu yang dapat mewakili sebagian
besar kaum muslim atau barisan orang-orang yang memang sangat layak untuk mengurus
Khilafah, setelah Khalifah yang tengah berkuasa mati atau mengundurkan diri
atau dipecat (dipaksa mundur dari kekuasannya), berkumpul lalu mencalonkan
seorang atau beberapa orang untuk jaba-tan Khalifah dan memilih salah satu dari
calon tersebut dengan uslub apa saja yang relevan (akla-masi maupun voting).
Setelah itu, mereka membai’at (بَيْعَةُ اِنْعِقَادٍ) calon terpilih dan bai’at itu wajib
berisi pernyataan akan mendengar (اَلسَّمْعُ), mentaati (اَلطَّاعَةُ) dan menyelenggarakan pemerintahan berasas Al-Quran dan
As-Sunnah. Selanjutnya, setelah bai’at pengangkatan sempurna, Khalifah atau
orang yang mewakilinya duduk di suatu tempat (bisa masjid) untuk mengambil
bai’at ketaatan (بَيْعَةُ الطَّاعَةِ) dari seluruh kaum muslim.
2.
Khalifah yang tengah berkuasa (karena merasa ajalnya
telah dekat) berinisiatif (atau atas permin-taan masyarakat) untuk melakukan
musyawarah dengan kaum muslim atau minimal dengan komu-nitas اَهْلُ
الْحَلِّ وَالْعَقْدِ atau
para pemuka dan tokoh masyarakat, berkenaan dengan seseorang yang di-anggap
paling pantas serta layak menjadi Khalifah setelah dirinya lalu ditetapkan
perjanjian bagi orang tersebut untuk menjadi Khalifah kaum muslim. Setelah
Khalifah yang tengah berkuasa wafat maka kaum muslim membai’at orang tersebut
untuk menjadi Khalifah mereka yang baru. Jadi, Khi-lafah beralih kepada orang
itu dan dia menjadi Khalifah adalah dengan bai’at dari kaum muslim dan bukan
karena adanya perjanjian dengan Khalifah sebelumnya. Inilah yang telah terjadi
saat per-gantian dari Khalifah Abu Bakar kepada Amirul Mukminin Umar bin
Khaththab.
3.
Khalifah yang tengah berkuasa dalam kondisi menjelang
kematian (هُوَ
فِيْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ)
berinisiatif (atau atas permintaan kaum muslim) untuk menugaskan sejumlah orang
yang sangat pantas dalam mengurus Khilafah supaya mereka bermusyawarah untuk
memilih salah seorang di antara mereka saja yang akan menjadi Khalifah setelah
Khalifah yang ada wafat. Tugas tersebut berlaku atas me-reka sejak saat
ditetapkan oleh Khalifah dan harus selesai dalam tempo yang tidak boleh
melebihi dari tiga hari. Lalu setelah selesai proses pemilihan salah seorang
dari mereka dengan uslub yang mereka sepakati, maka nama yang terpilih
diumumkan kepada kaum muslim dan diambil bai’at ba-ginya dari kaum muslim.
Jadi, orang yang terpilih itu menjadi Khalifah karena adanya bai’at dari kaum
muslim dan bukan karena adanya pemilihan di antara mereka sendiri. Inilah yang
terjadi pada saat pergantian dari Amirul Mukminin Umar bin Khaththab kepada
Khalifah Utsman bin Affan. Saat itu sejumlah shahabat yang diberi tugas sebagai
tim pemilih calon Khalifah dari mereka sen-diri adalah enam orang yakni Ali bin
Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf,
Zubair bin ‘Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah juga disertakan Abdullah bin Umar
namun dia tidak memiliki wewenang untuk berpendapat maupun berperan apa pun.
Ami-rul Mukminin Umar bin Khaththab juga yang menetapkan tempo pelaksanaan
tugas yang tidak bo-leh lebih dari tiga hari : وَلاَ يَأْتِيَنَّ
الْيَوْمُ الرَّابِعُ اِلاَّ وَعَلَيْكُمْ اَمِيْرٌ مِنْكُمْ.
4.
setelah kematian Khalifah, sebagian besar kaum muslim
atau komunitas اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ atau seke-lompok orang pemilik kekuatan (اَهْلُ
الْقُوَّةِ) mendatangi
seseorang yang dianggap sangat layak dan pantas untuk memimpin Khilafah lalu
meminta orang itu untuk memimpin Khilafah. Orang itu ha-rus menerima permintaan
mereka setelah mengetahui dengan pasti bahwa mayoritas kaum muslim ridla
kepadanya. Kemudian dia mengambil bai’at dari kaum muslim secara terbuka (عَلَنًا) dan dia mengambil alih Khilafah dari kaum
muslim dengan bai’at terbuka tersebut sehingga seluruh umat Islam wajib
mentaatinya. Oleh karena itu permintaan dari sebagian besar kaum muslim atau
dari komunitas اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ atau dari sekelompok orang pemilik kekuatan (اَهْلُ
الْقُوَّةِ) tersebut
hanyalah sebagai proses pencalonan seseorang untuk menjadi Khalifah dan itu
dibatasi baginya saja. Orang tersebut sah menjadi Khalifah bukan karena adanya
permintaan itu melainkan oleh adanya bai’at dari masyarakat. Inilah yang
terjadi pada saat pergantian dari Khalifah Utsman bin Affan (yang ter-bunuh
oleh kaum pemberontak) kepada Imam Ali bin Abi Thalib.
5.
ketika negara Khilafah riil ada, maka Majelis Ummah
yang mewakili umat Islam dalam syura mau-pun muhasabah kepada para penguasa (يَنُوْبُ
عَنْهَا فِيْ الشُّوْرَى وَفِيْ مُحَاسَبَةِ الْحُكَّامِ) melalui para anggota-nya dari kalangan kaum muslim melakukan
pencalonan bagi Khalifah dari orang-orang yang diang-gap layak dan pantas (اَلْمُؤَهِّلُوْنَ) untuk memimpin Khilafah serta memenuhi
seluruh syarat pengang-katan Khilafah (مُسْلِمًا وَذَكَرًا
وَبَالِغًا وَعَاقِلاً وَعَدْلاً وَحُرًّا وَقَادِرًا). Lalu setelah selesai pencalonan tersebut, maka nama-nama
calon Khalifah diumumkan kepada kaum muslim dan ditentukan satu hari untuk
melakukan pemilihan terhadap salah seorang dari calon-calon tersebut untuk
menjadi Khalifah. Pe-milihan boleh dilakukan oleh umat Islam atau hanya oleh
kaum muslim anggota Majelis Ummah, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
Dustur (konstitusi) Negara Khilafah. Siapa pun yang memperoleh suara terbanyak,
maka namanya harus diumumkan kepada umat Islam lalu ang-gota Majelis Ummah dari
kalangan kaum muslim memberikan bai’at in’iqad kepadanya dan dilan-jutkan
dengan pemberian bai’at dari seluruh kaum muslim (bai’at ketaatan).
Demikianlah lima bentuk praktis penyelenggaraan
metode bai’at yang boleh dipilih oleh umat Islam untuk mengangkat Khalifah bagi
mereka dan itu hanya dapat diberlakukan setelah kematian Kha-lifah yang tengah
berkuasa yakni ketika kaum muslim memiliki Negara Khilafah dan Islam sajalah
yang diberlakukan dalam kehidupan mereka.
Adapun saat kaum muslim tidak memiliki Negara
Khilafah dan Khalifah seperti saat ini yang te-lah berlangsung hampir 85 tahun
(sejak 3 Maret 1924 M), maka mereka semuanya (كُلُّهُمْ) atau sekelom-pok dari mereka (جَمَاعَةٌ
مِنْهُمْ) atau di antara
mereka yang memiliki kekuatan dan wewenang membuat keputusan (اَصْحَابُ
الْقُوَّةِ وَالْمَنْعَةِ فِيْهِمْ)
yang tinggal di satu negeri atau lebih dari negeri-negeri kaum mus-lim harus
melakukan pengambil alihan kekuasaan di negeri-negeri tersebut dan menurunkan
dengan paksa penguasanya yang tengah memberlakukan sistema kufur berikut
hukum-hukumnya. Hal itu dila-kukan demi untuk melanjutkan kembali kehidupan
Islami serta mengembalikan pemerintahan sesuai dengan seluruh ketentuan yang
telah Allah turunkan (Islam). Kemudian dibolehkan bagi kaum muslim yang
melakukan pengambil alihan kekuasaan di negeri tersebut untuk mencalonkan
seseorang dari ka-langan kaum muslim yang memiliki kapabilitas untuk memangku
jabatan pemerintahan dan kekuasaan, juga dia wajib memenuhi seluruh syarat
pengangkatan Khilafah yang telah ditetapkan oleh Islam yakni مُسْلِمًا
وَذَكَرًا وَبَالِغًا وَعَاقِلاً وَعَدْلاً وَحُرًّا وَقَادِرًا. Selanjutnya, mereka harus mengadakan
pertemuan dengan ko-munitas اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ yang ada di negeri tersebut (atau sebagian
besarnya) dan meminta mereka untuk membai’at calon Khalifah yang ada supaya sah
menjadi Khalifah. Kemudian اَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ melakukan pembai’atan dengan
ridla dan pilihan mereka sendiri (ikhtiyar) berasaskan pelaksanaan Al-Quran dan
As-Sunnah. Sehingga Khilafah sah berada dalam kekuasaan orang itu dengan adanya
bai’at tersebut dan selanjutnya kaum muslim yang ada di negeri bersangkutan memberikan
bai’at ketaatan dan keri-dlaan mereka kepada Khalifah yang sah. Setelah
seluruhnya berlangsung sempurna, maka Khalifah wa-jib segera memberlakukan
Islam (وَضْعُ الإِسْلاَمِ كَامِلاً مَوْضِعَ
التَّطْبِيْقِ وَالتَّنْفِيْذِ) dalam realitas kehidupan secara sempurna dan tanpa
kekecualian. Dengan demikian Negara Khilafah kembali lagi secara sempurna ke
dalam realitas kehidupan dunia disertai dengan berlakunya lagi seluruh sistema
dan hukum Islam da-lam arena kehidupan tersebut. Selain itu, negara yang pernah
ada di negeri tersebut berubah total dan mendasar menjadi Negara Islam.
Wal hasil yang wajib,
mendesak dan harus menjadi prioritas utama untuk dilakukan oleh kaum muslim
saat ini adalah mempersiapkan diri (pemikiran dan kekuatan) untuk mangambil
alih kekuasaan di suatu negeri (mana saja, misal Indonesia) dan mencopot
penguasanya dengan paksa, supaya mereka memiliki kesempatan yang leluasa untuk
membai’at salah seorang dari kalangan kaum muslim untuk menjadi Khalifah,
sehingga otomatis Khilafah terwujud kembali di dunia dan Islam diberlakukan
lagi secara sempurna (شَامِلاً), menyeluruh (كَامِلاً) dan utuh (دُفْعَةً
وَاحِدَةً) dalam
realitas hidup kemanusiaan. Se-baliknya, apabila umat Islam tidak pernah
memprioritaskan aktivitas mereka di dunia ke arah tegaknya kembali Khilafah
dalam kehidupan mereka tersebut, maka selain itu adalah aksi yang diharamkan
juga akan mengakibatkan realitas kehidupan mereka akan tetap seperti saat ini
(bahkan akan lebih buruk la-gi) yakni kehidupan yang sangat tidak layak bagi
kemanusiaan (makhluq beraqal dan berpikir) dan ha-nya layak bagi kebinatangan
(makhluq tidak beraqal dan biadab). Inilah yang dituntut oleh Allah SWT saat
menyatakan :
وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي
الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ
دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ
أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)
“dan Allah telah menjanjikan kepada
orang-orang beriman dan beramal shalih di antara kalian yakni Allah pasti akan
memberikan kekuasaan kepada mereka di bumi seperti telah Dia berikan kepada
orang-orang sebelum mereka dan Dia pun akan mengokohkan din mereka yang telah
Dia ridlai bagi mereka lalu pasti Dia akan menggantikan bagi mereka keadaan
penuh ketakutan dengan keamanan. Hal itu karena mereka benar-benar taat kepada
Ku dan tidak bersikap musyrik sedikit pun kepada Ku. Dan siapa pun yang
bersikap kufur setelah itu, maka orang-orang itulah kaum fasiqun”.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ
ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا قَالَ كَذَلِكَ
أَتَتْكَ ءَايَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (طه : 124-126)
“dan siapa saja yang berpaling dari peringatan Ku (Islam) maka
sungguh baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia di hari
kiamah dalam keadaan buta. Dia berkata wahai Rabbku mengapa Engkau kumpulkan
aku dalam keadaan buta padahal dulu aku melihat. Allah berkata demikianlah,
telah datang kepadamu ayat-ayat Kami lalu engkau lupakan itu dan demikianlah
pada hari ini kamu pun dilupakan (oleh Aku)”.
No comments:
Post a Comment