Umat Islam semakin rela dihinakan
Moderate Muslim
Society (MMS) telah merilis hasil pemantauan mereka terhadap perkembangan
kehidupan beragama di Indonesia dalam Laporan Akhir Tahun 2009 bertempat di
Kantor Pengurus Be-sar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta, Rabu 23 Desember 2009.
Jenis intoleransi yang mereka pantau adalah :
No
|
Jenis
intoleransi
|
Nilai
|
1
|
Penyesatan/pengharaman
|
15
|
2
|
Kriminalisasi paham keagamaan
|
9
|
3
|
Ancaman, tuntutan dan intimidasi
|
8
|
4
|
Perusakan rumah ibadah
|
7
|
5
|
Penghentian dan penghalangan kegiatan
|
6
|
6
|
Pencabutan izin pembangunan rumah ibadah
|
3
|
7
|
Penyegelan dan penutupan rumah ibadah
|
3
|
8
|
Penyerangan/penggerebekan
|
3
|
9
|
Diskriminasi terhadap kelompok lain
|
2
|
10
|
Pengusiran
|
1
|
11
|
Pengeboman
|
1
|
12
|
Penolakan pembangunan rumah ibadah
|
1
|
Mereka pun merumuskan secara perbandingan
antara toleransi dan intoleransi sebagai berikut :
Toleransi
|
Intoleransi
|
Hidup berdampingan secara damai dan
kesamaan hak (co-existence)
|
Penolakan atas status dan akses yang sama
ter-hadap kelompok lain (restriction)
|
Keterbukaan perihal pentingnya pada
kelompok lain (awareness)
|
Pandangan yang menganggap kelompok lain
lebih rendah (de-humanization)
|
Pengenalan terhadap kelompok lain sembari
mela-kukan dialog (mutual learning)
|
Pengabaian hak-hak sipil, politik dan
ekonomi (opression)
|
Pemahaman atas kelompok lain (understanding)
|
Penyerangan dan melakukan pembunuhan (act
of agression)
|
Penghormatan, pengakuan dan memberikan
kon-tribusi pada kelompok lain (respect)
|
Pengorganisasian pembunuhan massal (mass-violence)
|
Penghargaan pada persamaan dan perbedaan,
serta merayakan kemajemukan (value and celebration)
|
Pembasmian atas dasar identitas (genocide)
|
Chairman MMS Zuhairi
Misrawi menyatakan bahwa setidaknya ada 22 kasus yang aktor utamanya
pe-merintah Indonesia, baik pusat maupun daerah. Kasus pelanggaran itu termasuk
penghentian kegiatan ibadah, kriminalisasi paham keagamaan, intimidasi dan
pemerasan, penggerebekan, pencabutan dan penolakan izin, hingga perusakan rumah
ibadah. Padahal kan semakin tinggi toleransi akan memacu tingginya demokrasi
dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Pemerintah cenderung memihak
pada keyakinan mayoritas dan mengabaikan kebebasan beragama atau keyakinan
minoritas. Pemerin-tah umumnya berlindung pada UU No.1/PNPS/1965 tentang
Penodaan Agama dan KUHP Pasal 156a yang juga mengkriminalisasi mereka yang
dianggap menodai agama. Meskipun banyak intoleransi, to-leransi masih menjadi
pilihan utama publik. Harus diakui watak toleransi di negeri ini telah membumi
dan mendarah daging. Walaupun banyak intoleransi, pluralisme sangat mengakar
dalam laku kebang-saan. Oleh karena itu, Pemerintah harus konsisten terhadap
konstitusi dan UU yang menjamin kebebas-an beragama dan berkeyakinan,
menginisiasi lahirnya UU anti kekerasan, mencabut UU No. 1/PNPS/ 1965 dan KUHP
Pasal 156a, waspada ancaman terorisme, memperingatkan MUI agar tidak mudah
me-ngeluarkan fatwa yang memicu tindakan intoleransi.
Menanggapi laporan MMS tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) KH. Amidhan me-nyatakan : heran MUI dikatakan intoleran. MUI bahkan
berkeinginan menjalin kerukunan antarumat beragama dengan memberikan teladan
bahwa kerukunan itu intinya adalah toleransi, bukan pertenta-ngan. Kalau ada
ajaran yang mengatasnamakan Islam tetapi bertentangan dengan Alquran dan
Al-hadits, tentu sesat. Ajaran semacam itu harus dihindari karena mengganggu
keteguhan beragama umat Islam.
Adakah perbedaan pemikiran dan sikap antara umat Islam yang berada
dalam wadah MMS de-ngan yang bernaung di MUI, berkenaan dengan persoalan
toleransi vs intoleransi tersebut?
Walaupun MUI menyatakan ketidaknyamanannya terhadap tudingan MMS
yang menempatkan MUI sebagai intoleran, namun bukan berarti MUI menentang dan
menolak konsep toleransi maupun pluralisme. Bahkan sebaliknya, MUI dan MMS
sangat sepakat bahwa konsep toleransi itu wajib selalu terus dikembangkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Perbedaannya adalah jika MMS secara tegas dan pasti
menyatakan bahwa semakin tinggi tole-ransi akan memacu tingginya demokrasi
dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat, maka MUI sedikit menahan
diri untuk tidak seterus terang sikap MMS tersebut dengan hanya
menyatakan MUI bahkan berkeinginan menjalin kerukunan antarumat beragama
dengan memberikan teladan bahwa ke-rukunan itu intinya adalah toleransi, bukan
pertentangan. Artinya, walau MUI tidak menyebut ekspli-sit hubungan
toleransi dengan demokrasi, namun bukankah toleransi itu tidak diragukan lagi
adalah ba-gian tak terpisahkan dari konsep cabang yang ada dalam demokrasi
sendiri, yakni kebebasan menyelu-ruh alias اَلْحُرِّيَّةُ
الْعَامَّةُ: freedom of religion
(حُرِّيَّةُ الإِعْتِقَادِ),
freedom of speech (حُرِّيَّةُ الرَّأْيِ), freedom of proper-ty (حُرِّيَّةُ التَّمَلُّكِ)
dan freedom of personality (اَلْحُرِّيَّةُ
الشَّخْصِيَّةُ). Bukankah realitas
hubungan antara toleransi dengan demokrasi tersebut adalah yang mendasari
rekomendasi MMS kepada pemerintah Indonesia dan MUI : Pemerintah harus
konsisten terhadap konstitusi dan UU yang menjamin kebebasan ber-agama dan
berkeyakinan, menginisiasi lahirnya UU anti kekerasan, mencabut UU No. 1/PNPS/
1965 dan KUHP Pasal 156a, waspada ancaman terorisme, memperingatkan MUI agar
tidak mudah menge-luarkan fatwa yang memicu tindakan intoleransi.
Dengan demikian, MMS dan MUI sepakat untuk memberikan kepercayaan
penuh kepada peme-rintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam
menyelesaikan dan lalu menetapkan kebija-kan berkenaan dengan persoalan
toleransi tersebut. MMS mengusulkan kepada pemerintah untuk kon-sisten
terhadap konstitusi dan UU yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan,
menginisia-si lahirnya UU anti kekerasan, mencabut UU No. 1/PNPS/1965 dan KUHP
Pasal 156a, waspada an-caman terorisme. Sementara itu, MUI menegaskan
dirinya untuk konsisten terhadap konstitusi dan UU yang menjamin kebebasan
beragama dan berkeyakinan sekaligus mempertahankan pemberlakuan UU No.
1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a.
Jadi, kepastiannya adalah umat Islam Indonesia yang diwakili oleh
MMS, MUI juga berbagai or-mas Islam lainnya yang sama-sama menyatakan diri
sebagai muslim moderat (NU, Muhammadiyah, Persis), seluruhnya
telah sepakat bulat untuk mendukung dan mengokohkan pemberlakuan demokrasi di
NKRI, sekaligus mempertahankan dan melestarikannya untuk tetap menjadi sistem
pemerintahan satu-satunya di NKRI. Bahkan mereka sangat percaya bahwa demokrasi
akan mampu mengantarkan umat Islam yang tinggal di negeri Indonesia kepada
kesejahteraan hidup di dunia.
Lalu, apa yang dapat dipahamkan dari hakikat
pemikiran maupun sikap umat Islam Indonesia ter-sebut? Tentu saja, kesungguhan
dan keseriusan mereka untuk selalu taat secara konsisten kepada siste-ma kufur
demokrasi berikut seluruh peraturan yang muncul darinya, merupakan bukti yang
pasti dan tidak diragukan lagi (دَلِيْلاً
قَاطِعًا جَازِمًا) bahwa mereka telah
bersedia dan rela menyerahkan seluruh perso-alan dalam kehidupan dunia untuk
diselesaikan kepada thagut (اَلتَّحَاكُمُ
اِلَى الطَّاغُوْتِ). Padahal Islam telah
mengharamkan sikap tersebut dan itu dipastikan oleh pernyataan Allah SWT :
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ
وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ
ضَلَالًا بَعِيدًا (النساء : 60)
Melaksanakan sikap yang diharamkan oleh Islam berarti menyalahi
Islam dan jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar, pilihan sendiri dan
terencana maka siapa pun pelakunya dipastikan telah me-nempatkan dirinya dalam
kehinaan (الذِّلَّةُ) dan ketidakberartian (الصَّغَارُ).
Rasulullah saw menyatakan :
بُعِثْتُ
بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ
ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه احمد)
Aku diutus dengan
pedang hingga Allah ditaati manusia tanpa adanya sekutu bagi Nya dan dijadikan
rizqiku di bawah kilatan pedangku dan dijadikan kehinaan serta ketidakberartian
bagi siapa saja yang menyalahi perintahku dan siapa saja yang menyerupai suatu
kaum maka dia adalah bagian dari me-reka
Wal hasil, posisi dan eksistensi umat Islam di seluruh dunia saat
ini yang berada dalam kehinaan dan ketidakberartian di hadapan kaum kufar tentu
saja adalah akibat dari sikap maupun perbuatan me-reka sendiri yang secara riil
telah menyalahi ketentuan Islam yang berkenaan dengan pola interaksi an-tara
mereka dengan kaum kufar, baik saat Khilafah Islamiyah ada maupun saat tidak
ada seperti se-karang yang telah berlangsung lebih dari 85 tahun.
Toleransi dan eksistensi muslim moderat dalam
naungan sekularisme
Opini umum mutakhir menunjukkan bahwa umat
Islam yang moderat adalah yang toleran terha-dap apa pun yang berasal dari luar
Islam, walaupun itu bertentangan dengan atau bahkan menghinakan Islam sendiri.
Gus Dur saat mengomentari pernyataan Allah SWT :
وَلَنْ
تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ
إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ
الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
(البقرة : 120)
menyatakan
bahwa walaupun Yahudi maupun Nasrani akan selalu membenci alias tidak ridla
kepada umat Islam namun bukan berarti umat Islam harus melakukan sikap yang
sama kepada mereka. Justru umat Islam harus melakukan berbagai upaya pendekatan
supaya mereka berubah sikap yakni jadi tidak lagi membenci umat Islam.
Tentu saja dan pasti, seorang Gus Dur akan bersikap demikian
karena memang dia adalah pelo-por sekaligus pegiat muslim moderat, bahkan ormas
NU yang lama dipimpinnya juga berhasil dirubah secara radikal menjadi ormas
Islam yang moderat. Opini lainnya tentang muslim moderat adalah kaum muslim
yang tidak setuju alias menolak formalisasi pemberlakuan syariah Islamiyah
dalam wadah ne-gara, yakni mereka menolak adanya Negara Islam atau negara yang
berasas Islam. Inilah yang diung-kapkan oleh mantan Ketua Fraksi Partai
Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR RI : A. Effendi Choirie : sejak lama
Nahdhatul Ulama (NU) memang tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.
Ala-sannya, ormas Islam terbesar di Indonesia itu memiliki kecintaan kepada
bangsa dan negara, serta menghargai keberagaman. Paham NU itu ahlussunnah
waljamaah, yang memang menginginkan keda-maian. Makanya, NU tak menginginkan
Indonesia menjadi negara Islam.
Mengapa realitas muslim moderat yang selalu diidentikan dengan
toleransi itu sangat disukai dan digandrungi oleh sebagian sangat besar umat
Islam?
Faktanya, Islam tiba di Nusantara tidak melalui para pengemban
dakwah Islamiyah (حَمَلَةُ الدَّعْوَةِ) yang secara khusus ditugaskan oleh Khilafah
Islamiyah. Artinya, umat Islam yang menyebarluaskan Is-lam di Indonesia
(terutama Sumatera dan Jawa) sama sekali tidak identik dengan Muadz bin Jabbal,
Mush’ab bin Umair, Abu Musa Al-‘Asy’ariy, Ali bin Thalib atau lainnya yang
memang ditugaskan secara khusus oleh Nabi Muhammad saw (سُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ)
untuk menyebarluaskan Islam di Yaman dan Madinah saat itu. Bahkan konon
kabarnya, kaum muslim yang membawa Islam ke Nusantara ada-lah berasal dari
Negeri Gujarat yang saat itu bukan bagian wilayah kekuasaan Khilafah
Utsmaniyah. Persoalannya pun bertambah pelik karena umat Islam Gujarat itu
semuanya adalah pedagang dan para juragan barang dagangan, sekedar agamawan
sekali pun bukan. Tegasnya, mereka tidak memiliki kua-lifikasi fuqaha, ulama
apalagi mujtahidin dan akibatnya adalah pemahaman Islam (اَلْفِقْهُ الإِسْلاَمِيُّ)
yang dibawa tidak terjamin mereka gali dari sumber-sumber Islam yang orisinal
dengan metode penggalian yang benar (طَرِيْقَةُ
الإِسْتِنْبَاطِ الصَّحِيْحَةُ).
Lalu, ketika Islam yang mereka bawa tiba di Sumatera maupun Jawa
ternyata telah didahului oleh budaya lokal berupa paganisme, dinamisme,
animisme yang telah bersenyawa bahkan berasimilasi dengan agama pendatang
sebelum Islam : Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan Kristen. Akibatnya dapat
dipastikan yakni pemahaman Islam yang “ala kadarnya” mereka bawa dari Gujarat
dibiarkan melarut dan berakulturasi dengan realitas budaya “gado-gado”
(paganisme, dinamisme, animisme bercampur dengan Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan
Kristen) yang telah sangat lama dipraktikan oleh penduduk Sumatera maupun Jawa.
Mengapa pembiaran itu mereka lakukan? Tentu saja demikian, sebab tujuan utama
kedatangan mereka ke Nusantara adalah berdagang alias menjual produk/barang
yang dibawa dan membeli produk/barang yang mereka temukan di tempat tujuan.
Tujuan tersebut menuntut untuk menghindari terjadinya gesekan maupun konflik
dengan penduduk setempat, sebab jika kondisi itu di-biarkan terjadi tentu
dagangan mereka atau misi dagang mereka dipastikan gagal atau minimal tidak
memperoleh keuntungan. Jadi, ada tiga realitas yang berperan dalam mewujudkan
eksistensi Islam saat ini di NKRI yakni :
1.
para pedagang maupun saudagar Gujarat yang datang ke Nusantara
dengan tujuan utama berdagang lalu mencari keuntungan, sedangkan
menyebarluaskan Islam adalah side effect dari kedatangan me-reka
tersebut dan itupun sama sekali tidak didukung oleh pemahaman mereka yang benar
dan men-dalam terhadap Islam.
2.
budaya “gado-gado” yang terbentuk dari akulturasi paganisme,
dinamisme, animisme dengan aga-ma pendatang yang bersifat spiritualistik ritualistik
yakni Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan Kristen, yang telah mendahului Islam serta
telah sangat lama dipraktikan oleh penduduk setempat.
3.
fakta Islam yang datang ternyata bukan sebagai ideologi bagi
kehidupan manusia yang harus diber-lakukan secara formal dalam wadah negara,
melainkan sama sekali tidak berbeda dengan para pen-dahulunya yaitu sekedar
agama spiritualistik ritualistik.
Oleh karena itu, bukanlah hal yang mengejutkan apalagi istimewa
jika pemikiran maupun sikap umat Islam di NKRI saat ini sangat didominasi oleh
grup moderat juga kelompok lainnya yang sangat menentang Islam Ideologis, yakni
pemberlakuan syariah Islamiyah secara formal dalam wadah negara (Khilafah
Islamiyah). Umat Islam moderat adalah mereka yang akan selalu menghindari gesekan
mau-pun konflik dengan pertimbangan dan untuk tujuan apa pun, termasuk
pertimbangan pelaksanaan pe-rintah Allah SWT dan Rasulullah saw serta untuk
tujuan menyebarluaskan risalah Islam itu sendiri. Inilah yang dinyatakan secara
vulgar oleh Chairman MMS Zuhairi Misrawi : Meskipun banyak
into-leransi, toleransi masih menjadi pilihan utama publik. Harus diakui watak
toleransi di negeri ini telah membumi dan mendarah daging. Walaupun banyak
intoleransi, pluralisme sangat mengakar dalam la-ku kebangsaan. Atau, pernyataan
A. Effendi Choirie : sejak lama Nahdhatul Ulama (NU) memang tak menginginkan
Indonesia menjadi negara Islam. Alasannya, ormas Islam terbesar di Indonesia
itu me-miliki kecintaan kepada bangsa dan negara, serta menghargai keberagaman.
Paham NU itu ahlussun-nah waljamaah, yang memang menginginkan kedamaian.
Makanya, NU tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.
Realitas umat Islam moderat dengan sikap toleransinya semakin
mendapatkan tempat dan penga-kuan bahkan formalisasi konstitusional seiring
dengan keputusan the founding father NKRI untuk men-jadikan Indonesia
sebagai negara kebangsaan berbasis sekularisme dan bukan berdasarkan agama
ter-tentu termasuk apalagi Islam. NKRI telah berlangsung paling tidak 64 tahun
dan pemberlakuan sekula-risme sebagai asas negara selalu dikokohkan dan
dikukuhkan hampir setiap saat sekaligus semakin di-sepakati oleh hampir seluruh
umat Islam Indonesia. Inilah faktor yang menyebabkan sikap moderat da-lam
ber-Islam semakin disukai dan digandrungi oleh sebagian sangat besar umat Islam
Indonesia, lalu bersamaan dengan itu dapat dipastikan bahwa klaim Islam sebagai
paling benar (mereka anggap seba-gai realitas intoleransi) akan semakin
dihindari bahkan ditentang habis-habisan. Mereka akan menyata-kan perang
terhadap siapa pun yang secara konsisten menyatakan realitas Islam sebagai
paling benar.
Umat Islam : kapankah mereka akan sadar?
Tanggapan Ketua MUI Pusat KH. Amidhan terhadap laporan MMS yakni :
heran MUI dikatakan intoleran. MUI bahkan berkeinginan menjalin kerukunan
antarumat beragama dengan memberikan te-ladan bahwa kerukunan itu intinya
adalah toleransi, bukan pertentangan, memastikan sang kiyai sama sekali
tidak menyadari bahwa tanggapannya tersebut adalah refleksi pasti dari
kesepakatannya dengan pihak MMS sendiri. Artinya, sikap “heran” Ketua MUI
tersebut sama sekali bukan bukti bahwa antara MUI dengan MMS berseberangan dan
bertentangan sehubungan dengan persoalan toleransi, melainkan justru sebaliknya
MUI sangat setuju kepada sikap MMS tersebut sekaligus menyepakatinya. Hanya
saja sang kiyai “heran” mengapa MMS masih menuding MUI intoleran, padahal
selama ini MUI telah berusaha keras untuk mengembangkan dan mengokohkan
toleransi di NKRI terutama berkaitan dengan kerukunan hidup antarumat beragama.
Seluruh sikap MMS yang dipertelakan oleh mereka dalam enam
parameter toleransi (co-exis-tence, awareness, mutual learning,
understanding, respect, value and celebration) dan enam parameter
intoleransi (restriction, de-humanization, opression, act of agression, mass-violence,
genocide) adalah sangat wajar dan lumrah mereka miliki, karena sejak awal
mereka memastikan identitasnya sebagai ko-munitas muslim moderat (Moderate
Muslim Society). Tegasnya, sejak awal mereka menyatakan diri se-bagai
pengusung dan pembela sekularisme berikut turunannya yakni demokrasi, sehingga
mereka de-ngan penuh percaya diri mensakralkan toleransi sekaligus menyatakan
perang global terhadap segala bentuk intoleransi. Itulah mereka dan mereka
sangat jujur dalam menyandang realitas tersebut tanpa di-sertai sikap malu-malu
“kucing”. Hanya saja memang masih ada sedikit kedustaan mereka dalam
me-nyatakan identitas yakni mengapa mereka masih bersikukuh
mengaku diri selaku Muslim (Moderate Muslim Society), padahal tidak ada
sedikit pun pemikiran maupun sikap mereka yang menunjukkan se-laku musim :لاَ تُوْجَدُ فِيْهِمْ اَيَّةُ عَلاَمَاتٍ اَيْ اِشَارَةٍ تَدُلُّ
عَلَى اَنَّهُمُ الْمُسْلِمُوْنَ لاَ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ . Seharusnya mereka ti-dak lagi melekatkan
diri kepada Islam walau hanya sedikit, sebab hakikat mereka baik pemikiran
mau-pun sikap telah memastikan diri sebagaiلَيْسُوْا
مِنَ الْمُسلِمِيْنَ قَطْعًا (bukan lagi bagian kaum muslim secara pasti).
Bahkan sebaliknya, sejak mereka menyatakan diri secara sadar sebagai pengusung
dan pembela sekularisme maka tidak diragukan lagi identitas orisinal mereka
adalah komunitas sekularis fundamen-tal alias Fundamental Secularist Society
(FSS).
Sementara itu, pemikiran dan sikap MUI memang
sangat disayangkan karena di satu sisi mereka adalah himpunan manusia yang
menyandang gelar ustadz, kiyai, Professor Agama, Sarjana Agama, Doktor Agama
dan sebagainya, namun saat bersamaan di sisi lainnya ternyata mereka sepakat
dengan FSS dalam menempatkan Islam sebagai agama spiritualistik ritualistik
layaknya agama lain yang ada di Indonesia : Hindu, Budha, Kong Hu Chu, Kristen
bahkan paganisme, dinamisme, animisme. Lebih di-sayangkan lagi adalah dengan
sikap MUI yang sama persis dengan FSS tersebut ternyata mereka masih bersikeras
menempelkan identitas ulama pada diri mereka. Padahal sikap bersikukuh tersebut
secara otomatis dan pasti telah mengantarkan mereka kepada realitas yang
dimaksudkan oleh pernyataan Ra-sulullah saw :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ
وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ
عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ
عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (رواه البخاري)
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ
يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ
جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه
البخاري)
yakni berkumpul pada diri mereka sifat رُءُوسًا جُهَّالًا atau نَاسٌ
جُهَّالٌ alias شِرَارُ الْعُلَمَاءِ yang ditunjukkan
oleh pernyataan Rasulullah saw lainnya :
أَلَا
إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ الْعُلَمَاءِ وَإِنَّ خَيْرَ الْخَيْرِ خِيَارُ
الْعُلَمَاءِ (رواه الدارمي)
Alangkah
tepatnya jika semua orang yang saat ini berkumpul di MUI menamakan diri mereka
sebagai Majelis Sekularis Indonesia alias MSI, sebab sebutan terebut sangat
sesuai untuk merefleksikan realitas pemikiran maupun sikap mereka selama ini.
Wal hasil, umat Islam yang hingga saat ini bermukim di habitat
MMS/FSS, MUI/MSI juga ormas Islam lain (NU, Muhammadiyah, Persis dan
sebagainya), atau di orpol (PKS, PPP, PKB, PAN, PBB dan lainnya), atau di
harakah (MMI, JAT, FUI, FPI dan sebagainya), seluruhnya adalah para sekularis
sejati alias pengusung sekaligus pembela sekularisme sekaligus sebagai pegiat
yang berusaha keras un-tuk melestarikan pemberlakuan aqidah imajinatif tersebut
dalam arena kehidupan manusia. Mereka dari waktu ke waktu selalu melakukan aksi
فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (lalu mereka berfatwa tanpa dasar il-mu,
maka mereka sesat dan menyesatkan) dan فَيُفْتُونَ
بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ
(lalu mereka berfatwa hanya berdasarkan ide mereka saja, maka menyesatkan
dan sesat), yakni dengan menyatakan bahwa dalam Islam dikenal adanya konsep
toleransi, pluralisme dan kebebasan. Mereka pun selalu memastikan bah-wa Islam
sama sekali bukan realitas ideologi melainkan semata agama
spiritualistik ritualistik.
Harus diingat bahwa jumlah umat Islam Indonesia yang selama ini
pemikiran maupun sikapnya dikelola oleh mereka adalah lebih dari 120 juta
orang, sehingga seiring dengan waktu yang terjadi seca-ra pasti adalah KESADARAN mereka
tentang Islam MAKIN MENJAUH, sedangkan KEKISRUH-AN pemikiran dan
kekacauan sikap mereka MAKIN MENGKRISTAL. Dengan demikian mereka
te-lah sepenuhnya menjalani kehidupan persis seperti yang telah dan tengah
ditempuh oleh pendahulunya yakni Yahudi dan Nashara. Padahal Islam telah
mengharamkan mereka melakukan perbuatan tersebut :
أَلَمْ
يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا
نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ
فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
(الحديد : 16)
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى
لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ
آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ (رواه مسلم)
No comments:
Post a Comment