Sunday, November 3, 2013

KESADARAN MAKIN MENJAUH, KEKISRUHAN MAKIN MENGKRISTAL



Umat Islam semakin rela dihinakan
Moderate Muslim Society (MMS) telah merilis hasil pemantauan mereka terhadap perkembangan kehidupan beragama di Indonesia dalam Laporan Akhir Tahun 2009 bertempat di Kantor Pengurus Be-sar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jakarta, Rabu 23 Desember 2009. Jenis intoleransi yang mereka pantau adalah :
No
Jenis intoleransi
Nilai
1
Penyesatan/pengharaman
15
2
Kriminalisasi paham keagamaan
9
3
Ancaman, tuntutan dan intimidasi
8
4
Perusakan rumah ibadah
7
5
Penghentian dan penghalangan kegiatan
6
6
Pencabutan izin pembangunan rumah ibadah
3
7
Penyegelan dan penutupan rumah ibadah
3
8
Penyerangan/penggerebekan
3
9
Diskriminasi terhadap kelompok lain
2
10
Pengusiran
1
11
Pengeboman
1
12
Penolakan pembangunan rumah ibadah
1
Mereka pun merumuskan secara perbandingan antara toleransi dan intoleransi sebagai berikut :
Toleransi
Intoleransi
Hidup berdampingan secara damai dan kesamaan hak (co-existence)
Penolakan atas status dan akses yang sama ter-hadap kelompok lain (restriction)
Keterbukaan perihal pentingnya pada kelompok lain (awareness)
Pandangan yang menganggap kelompok lain lebih rendah (de-humanization)
Pengenalan terhadap kelompok lain sembari mela-kukan dialog (mutual learning)
Pengabaian hak-hak sipil, politik dan ekonomi (opression)
Pemahaman atas kelompok lain (understanding)
Penyerangan dan melakukan pembunuhan (act of agression)
Penghormatan, pengakuan dan memberikan kon-tribusi pada kelompok lain (respect)
Pengorganisasian pembunuhan massal (mass-violence)
Penghargaan pada persamaan dan perbedaan, serta merayakan kemajemukan (value and celebration)
Pembasmian atas dasar identitas (genocide)
Chairman MMS Zuhairi Misrawi menyatakan bahwa setidaknya ada 22 kasus yang aktor utamanya pe-merintah Indonesia, baik pusat maupun daerah. Kasus pelanggaran itu termasuk penghentian kegiatan ibadah, kriminalisasi paham keagamaan, intimidasi dan pemerasan, penggerebekan, pencabutan dan penolakan izin, hingga perusakan rumah ibadah. Padahal kan semakin tinggi toleransi akan memacu tingginya demokrasi dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Pemerintah cenderung memihak pada keyakinan mayoritas dan mengabaikan kebebasan beragama atau keyakinan minoritas. Pemerin-tah umumnya berlindung pada UU No.1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan KUHP Pasal 156a yang juga mengkriminalisasi mereka yang dianggap menodai agama. Meskipun banyak intoleransi, to-leransi masih menjadi pilihan utama publik. Harus diakui watak toleransi di negeri ini telah membumi dan mendarah daging. Walaupun banyak intoleransi, pluralisme sangat mengakar dalam laku kebang-saan. Oleh karena itu, Pemerintah harus konsisten terhadap konstitusi dan UU yang menjamin kebebas-an beragama dan berkeyakinan, menginisiasi lahirnya UU anti kekerasan, mencabut UU No. 1/PNPS/ 1965 dan KUHP Pasal 156a, waspada ancaman terorisme, memperingatkan MUI agar tidak mudah me-ngeluarkan fatwa yang memicu tindakan intoleransi.
Menanggapi laporan MMS tersebut, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Amidhan me-nyatakan : heran MUI dikatakan intoleran. MUI bahkan berkeinginan menjalin kerukunan antarumat beragama dengan memberikan teladan bahwa kerukunan itu intinya adalah toleransi, bukan pertenta-ngan. Kalau ada ajaran yang mengatasnamakan Islam tetapi bertentangan dengan Alquran dan Al-hadits, tentu sesat. Ajaran semacam itu harus dihindari karena mengganggu keteguhan beragama umat Islam.
Adakah perbedaan pemikiran dan sikap antara umat Islam yang berada dalam wadah MMS de-ngan yang bernaung di MUI, berkenaan dengan persoalan toleransi vs intoleransi tersebut?
Walaupun MUI menyatakan ketidaknyamanannya terhadap tudingan MMS yang menempatkan MUI sebagai intoleran, namun bukan berarti MUI menentang dan menolak konsep toleransi maupun pluralisme. Bahkan sebaliknya, MUI dan MMS sangat sepakat bahwa konsep toleransi itu wajib selalu terus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Perbedaannya adalah jika MMS secara tegas dan pasti menyatakan bahwa semakin tinggi tole-ransi akan memacu tingginya demokrasi dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat, maka MUI sedikit menahan diri untuk tidak seterus terang sikap MMS tersebut dengan hanya menyatakan MUI bahkan berkeinginan menjalin kerukunan antarumat beragama dengan memberikan teladan bahwa ke-rukunan itu intinya adalah toleransi, bukan pertentangan. Artinya, walau MUI tidak menyebut ekspli-sit hubungan toleransi dengan demokrasi, namun bukankah toleransi itu tidak diragukan lagi adalah ba-gian tak terpisahkan dari konsep cabang yang ada dalam demokrasi sendiri, yakni kebebasan menyelu-ruh alias اَلْحُرِّيَّةُ الْعَامَّةُ: freedom of religion (حُرِّيَّةُ الإِعْتِقَادِ), freedom of speech (حُرِّيَّةُ الرَّأْيِ), freedom of proper-ty (حُرِّيَّةُ التَّمَلُّكِ) dan freedom of personality (اَلْحُرِّيَّةُ الشَّخْصِيَّةُ). Bukankah realitas hubungan antara toleransi dengan demokrasi tersebut adalah yang mendasari rekomendasi MMS kepada pemerintah Indonesia dan MUI : Pemerintah harus konsisten terhadap konstitusi dan UU yang menjamin kebebasan ber-agama dan berkeyakinan, menginisiasi lahirnya UU anti kekerasan, mencabut UU No. 1/PNPS/ 1965 dan KUHP Pasal 156a, waspada ancaman terorisme, memperingatkan MUI agar tidak mudah menge-luarkan fatwa yang memicu tindakan intoleransi.
Dengan demikian, MMS dan MUI sepakat untuk memberikan kepercayaan penuh kepada peme-rintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menyelesaikan dan lalu menetapkan kebija-kan berkenaan dengan persoalan toleransi tersebut. MMS mengusulkan kepada pemerintah untuk kon-sisten terhadap konstitusi dan UU yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, menginisia-si lahirnya UU anti kekerasan, mencabut UU No. 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a, waspada an-caman terorisme. Sementara itu, MUI menegaskan dirinya untuk konsisten terhadap konstitusi dan UU yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan sekaligus mempertahankan pemberlakuan UU No. 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a.
Jadi, kepastiannya adalah umat Islam Indonesia yang diwakili oleh MMS, MUI juga berbagai or-mas Islam lainnya yang sama-sama menyatakan diri sebagai muslim moderat (NU, Muhammadiyah, Persis), seluruhnya telah sepakat bulat untuk mendukung dan mengokohkan pemberlakuan demokrasi di NKRI, sekaligus mempertahankan dan melestarikannya untuk tetap menjadi sistem pemerintahan satu-satunya di NKRI. Bahkan mereka sangat percaya bahwa demokrasi akan mampu mengantarkan umat Islam yang tinggal di negeri Indonesia kepada kesejahteraan hidup di dunia.
Lalu, apa yang dapat dipahamkan dari hakikat pemikiran maupun sikap umat Islam Indonesia ter-sebut? Tentu saja, kesungguhan dan keseriusan mereka untuk selalu taat secara konsisten kepada siste-ma kufur demokrasi berikut seluruh peraturan yang muncul darinya, merupakan bukti yang pasti dan tidak diragukan lagi (دَلِيْلاً قَاطِعًا جَازِمًا) bahwa mereka telah bersedia dan rela menyerahkan seluruh perso-alan dalam kehidupan dunia untuk diselesaikan kepada thagut (اَلتَّحَاكُمُ اِلَى الطَّاغُوْتِ). Padahal Islam telah mengharamkan sikap tersebut dan itu dipastikan oleh pernyataan Allah SWT :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (النساء : 60)
Melaksanakan sikap yang diharamkan oleh Islam berarti menyalahi Islam dan jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sadar, pilihan sendiri dan terencana maka siapa pun pelakunya dipastikan telah me-nempatkan dirinya dalam kehinaan (الذِّلَّةُ) dan ketidakberartian (الصَّغَارُ). Rasulullah saw menyatakan :
بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ (رواه احمد)
Aku diutus dengan pedang hingga Allah ditaati manusia tanpa adanya sekutu bagi Nya dan dijadikan rizqiku di bawah kilatan pedangku dan dijadikan kehinaan serta ketidakberartian bagi siapa saja yang menyalahi perintahku dan siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia adalah bagian dari me-reka
Wal hasil, posisi dan eksistensi umat Islam di seluruh dunia saat ini yang berada dalam kehinaan dan ketidakberartian di hadapan kaum kufar tentu saja adalah akibat dari sikap maupun perbuatan me-reka sendiri yang secara riil telah menyalahi ketentuan Islam yang berkenaan dengan pola interaksi an-tara mereka dengan kaum kufar, baik saat Khilafah Islamiyah ada maupun saat tidak ada seperti se-karang yang telah berlangsung lebih dari 85 tahun.

Toleransi dan eksistensi muslim moderat dalam naungan sekularisme
Opini umum mutakhir menunjukkan bahwa umat Islam yang moderat adalah yang toleran terha-dap apa pun yang berasal dari luar Islam, walaupun itu bertentangan dengan atau bahkan menghinakan Islam sendiri. Gus Dur saat mengomentari pernyataan Allah SWT :
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (البقرة : 120)
menyatakan bahwa walaupun Yahudi maupun Nasrani akan selalu membenci alias tidak ridla kepada umat Islam namun bukan berarti umat Islam harus melakukan sikap yang sama kepada mereka. Justru umat Islam harus melakukan berbagai upaya pendekatan supaya mereka berubah sikap yakni jadi tidak lagi membenci umat Islam.
Tentu saja dan pasti, seorang Gus Dur akan bersikap demikian karena memang dia adalah pelo-por sekaligus pegiat muslim moderat, bahkan ormas NU yang lama dipimpinnya juga berhasil dirubah secara radikal menjadi ormas Islam yang moderat. Opini lainnya tentang muslim moderat adalah kaum muslim yang tidak setuju alias menolak formalisasi pemberlakuan syariah Islamiyah dalam wadah ne-gara, yakni mereka menolak adanya Negara Islam atau negara yang berasas Islam. Inilah yang diung-kapkan oleh mantan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR RI : A. Effendi Choirie : sejak lama Nahdhatul Ulama (NU) memang tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Ala-sannya, ormas Islam terbesar di Indonesia itu memiliki kecintaan kepada bangsa dan negara, serta menghargai keberagaman. Paham NU itu ahlussunnah waljamaah, yang memang menginginkan keda-maian. Makanya, NU tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.
Mengapa realitas muslim moderat yang selalu diidentikan dengan toleransi itu sangat disukai dan digandrungi oleh sebagian sangat besar umat Islam?
Faktanya, Islam tiba di Nusantara tidak melalui para pengemban dakwah Islamiyah (حَمَلَةُ الدَّعْوَةِ) yang secara khusus ditugaskan oleh Khilafah Islamiyah. Artinya, umat Islam yang menyebarluaskan Is-lam di Indonesia (terutama Sumatera dan Jawa) sama sekali tidak identik dengan Muadz bin Jabbal, Mush’ab bin Umair, Abu Musa Al-‘Asy’ariy, Ali bin Thalib atau lainnya yang memang ditugaskan secara khusus oleh Nabi Muhammad saw (سُلْطَانًا وَرَئِيْسَ دَوْلَةٍ) untuk menyebarluaskan Islam di Yaman dan Madinah saat itu. Bahkan konon kabarnya, kaum muslim yang membawa Islam ke Nusantara ada-lah berasal dari Negeri Gujarat yang saat itu bukan bagian wilayah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah. Persoalannya pun bertambah pelik karena umat Islam Gujarat itu semuanya adalah pedagang dan para juragan barang dagangan, sekedar agamawan sekali pun bukan. Tegasnya, mereka tidak memiliki kua-lifikasi fuqaha, ulama apalagi mujtahidin dan akibatnya adalah pemahaman Islam (اَلْفِقْهُ الإِسْلاَمِيُّ) yang dibawa tidak terjamin mereka gali dari sumber-sumber Islam yang orisinal dengan metode penggalian yang benar (طَرِيْقَةُ الإِسْتِنْبَاطِ الصَّحِيْحَةُ).
Lalu, ketika Islam yang mereka bawa tiba di Sumatera maupun Jawa ternyata telah didahului oleh budaya lokal berupa paganisme, dinamisme, animisme yang telah bersenyawa bahkan berasimilasi dengan agama pendatang sebelum Islam : Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan Kristen. Akibatnya dapat dipastikan yakni pemahaman Islam yang “ala kadarnya” mereka bawa dari Gujarat dibiarkan melarut dan berakulturasi dengan realitas budaya “gado-gado” (paganisme, dinamisme, animisme bercampur dengan Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan Kristen) yang telah sangat lama dipraktikan oleh penduduk Sumatera maupun Jawa. Mengapa pembiaran itu mereka lakukan? Tentu saja demikian, sebab tujuan utama kedatangan mereka ke Nusantara adalah berdagang alias menjual produk/barang yang dibawa dan membeli produk/barang yang mereka temukan di tempat tujuan. Tujuan tersebut menuntut untuk menghindari terjadinya gesekan maupun konflik dengan penduduk setempat, sebab jika kondisi itu di-biarkan terjadi tentu dagangan mereka atau misi dagang mereka dipastikan gagal atau minimal tidak memperoleh keuntungan. Jadi, ada tiga realitas yang berperan dalam mewujudkan eksistensi Islam saat ini di NKRI yakni :
1.       para pedagang maupun saudagar Gujarat yang datang ke Nusantara dengan tujuan utama berdagang lalu mencari keuntungan, sedangkan menyebarluaskan Islam adalah side effect dari kedatangan me-reka tersebut dan itupun sama sekali tidak didukung oleh pemahaman mereka yang benar dan men-dalam terhadap Islam.
2.       budaya “gado-gado” yang terbentuk dari akulturasi paganisme, dinamisme, animisme dengan aga-ma pendatang yang bersifat spiritualistik ritualistik yakni Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan Kristen, yang telah mendahului Islam serta telah sangat lama dipraktikan oleh penduduk setempat.
3.       fakta Islam yang datang ternyata bukan sebagai ideologi bagi kehidupan manusia yang harus diber-lakukan secara formal dalam wadah negara, melainkan sama sekali tidak berbeda dengan para pen-dahulunya yaitu sekedar agama spiritualistik ritualistik.
Oleh karena itu, bukanlah hal yang mengejutkan apalagi istimewa jika pemikiran maupun sikap umat Islam di NKRI saat ini sangat didominasi oleh grup moderat juga kelompok lainnya yang sangat menentang Islam Ideologis, yakni pemberlakuan syariah Islamiyah secara formal dalam wadah negara (Khilafah Islamiyah). Umat Islam moderat adalah mereka yang akan selalu menghindari gesekan mau-pun konflik dengan pertimbangan dan untuk tujuan apa pun, termasuk pertimbangan pelaksanaan pe-rintah Allah SWT dan Rasulullah saw serta untuk tujuan menyebarluaskan risalah Islam itu sendiri. Inilah yang dinyatakan secara vulgar oleh Chairman MMS Zuhairi Misrawi : Meskipun banyak into-leransi, toleransi masih menjadi pilihan utama publik. Harus diakui watak toleransi di negeri ini telah membumi dan mendarah daging. Walaupun banyak intoleransi, pluralisme sangat mengakar dalam la-ku kebangsaan. Atau, pernyataan A. Effendi Choirie : sejak lama Nahdhatul Ulama (NU) memang tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Alasannya, ormas Islam terbesar di Indonesia itu me-miliki kecintaan kepada bangsa dan negara, serta menghargai keberagaman. Paham NU itu ahlussun-nah waljamaah, yang memang menginginkan kedamaian. Makanya, NU tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.
Realitas umat Islam moderat dengan sikap toleransinya semakin mendapatkan tempat dan penga-kuan bahkan formalisasi konstitusional seiring dengan keputusan the founding father NKRI untuk men-jadikan Indonesia sebagai negara kebangsaan berbasis sekularisme dan bukan berdasarkan agama ter-tentu termasuk apalagi Islam. NKRI telah berlangsung paling tidak 64 tahun dan pemberlakuan sekula-risme sebagai asas negara selalu dikokohkan dan dikukuhkan hampir setiap saat sekaligus semakin di-sepakati oleh hampir seluruh umat Islam Indonesia. Inilah faktor yang menyebabkan sikap moderat da-lam ber-Islam semakin disukai dan digandrungi oleh sebagian sangat besar umat Islam Indonesia, lalu bersamaan dengan itu dapat dipastikan bahwa klaim Islam sebagai paling benar (mereka anggap seba-gai realitas intoleransi) akan semakin dihindari bahkan ditentang habis-habisan. Mereka akan menyata-kan perang terhadap siapa pun yang secara konsisten menyatakan realitas Islam sebagai paling benar.

Umat Islam : kapankah mereka akan sadar?
Tanggapan Ketua MUI Pusat KH. Amidhan terhadap laporan MMS yakni : heran MUI dikatakan intoleran. MUI bahkan berkeinginan menjalin kerukunan antarumat beragama dengan memberikan te-ladan bahwa kerukunan itu intinya adalah toleransi, bukan pertentangan, memastikan sang kiyai sama sekali tidak menyadari bahwa tanggapannya tersebut adalah refleksi pasti dari kesepakatannya dengan pihak MMS sendiri. Artinya, sikap “heran” Ketua MUI tersebut sama sekali bukan bukti bahwa antara MUI dengan MMS berseberangan dan bertentangan sehubungan dengan persoalan toleransi, melainkan justru sebaliknya MUI sangat setuju kepada sikap MMS tersebut sekaligus menyepakatinya. Hanya saja sang kiyai “heran” mengapa MMS masih menuding MUI intoleran, padahal selama ini MUI telah berusaha keras untuk mengembangkan dan mengokohkan toleransi di NKRI terutama berkaitan dengan kerukunan hidup antarumat beragama.
Seluruh sikap MMS yang dipertelakan oleh mereka dalam enam parameter toleransi (co-exis-tence, awareness, mutual learning, understanding, respect, value and celebration) dan enam parameter intoleransi (restriction, de-humanization, opression, act of agression, mass-violence, genocide) adalah sangat wajar dan lumrah mereka miliki, karena sejak awal mereka memastikan identitasnya sebagai ko-munitas muslim moderat (Moderate Muslim Society). Tegasnya, sejak awal mereka menyatakan diri se-bagai pengusung dan pembela sekularisme berikut turunannya yakni demokrasi, sehingga mereka de-ngan penuh percaya diri mensakralkan toleransi sekaligus menyatakan perang global terhadap segala bentuk intoleransi. Itulah mereka dan mereka sangat jujur dalam menyandang realitas tersebut tanpa di-sertai sikap malu-malu “kucing”. Hanya saja memang masih ada sedikit kedustaan mereka dalam me-nyatakan identitas yakni mengapa mereka masih bersikukuh mengaku diri selaku Muslim (Moderate Muslim Society), padahal tidak ada sedikit pun pemikiran maupun sikap mereka yang menunjukkan se-laku musim :لاَ تُوْجَدُ فِيْهِمْ اَيَّةُ عَلاَمَاتٍ اَيْ اِشَارَةٍ تَدُلُّ عَلَى اَنَّهُمُ الْمُسْلِمُوْنَ لاَ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ . Seharusnya mereka ti-dak lagi melekatkan diri kepada Islam walau hanya sedikit, sebab hakikat mereka baik pemikiran mau-pun sikap telah memastikan diri sebagaiلَيْسُوْا مِنَ الْمُسلِمِيْنَ قَطْعًا  (bukan lagi bagian kaum muslim secara pasti). Bahkan sebaliknya, sejak mereka menyatakan diri secara sadar sebagai pengusung dan pembela sekularisme maka tidak diragukan lagi identitas orisinal mereka adalah komunitas sekularis fundamen-tal alias Fundamental Secularist Society (FSS).
Sementara itu, pemikiran dan sikap MUI memang sangat disayangkan karena di satu sisi mereka adalah himpunan manusia yang menyandang gelar ustadz, kiyai, Professor Agama, Sarjana Agama, Doktor Agama dan sebagainya, namun saat bersamaan di sisi lainnya ternyata mereka sepakat dengan FSS dalam menempatkan Islam sebagai agama spiritualistik ritualistik layaknya agama lain yang ada di Indonesia : Hindu, Budha, Kong Hu Chu, Kristen bahkan paganisme, dinamisme, animisme. Lebih di-sayangkan lagi adalah dengan sikap MUI yang sama persis dengan FSS tersebut ternyata mereka masih bersikeras menempelkan identitas ulama pada diri mereka. Padahal sikap bersikukuh tersebut secara otomatis dan pasti telah mengantarkan mereka kepada realitas yang dimaksudkan oleh pernyataan Ra-sulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (رواه البخاري)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)
yakni berkumpul pada diri mereka sifat رُءُوسًا جُهَّالًا atau نَاسٌ جُهَّالٌ alias شِرَارُ الْعُلَمَاءِ yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw lainnya :
أَلَا إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ الْعُلَمَاءِ وَإِنَّ خَيْرَ الْخَيْرِ خِيَارُ الْعُلَمَاءِ (رواه الدارمي)
Alangkah tepatnya jika semua orang yang saat ini berkumpul di MUI menamakan diri mereka sebagai Majelis Sekularis Indonesia alias MSI, sebab sebutan terebut sangat sesuai untuk merefleksikan realitas pemikiran maupun sikap mereka selama ini.
Wal hasil, umat Islam yang hingga saat ini bermukim di habitat MMS/FSS, MUI/MSI juga ormas Islam lain (NU, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya), atau di orpol (PKS, PPP, PKB, PAN, PBB dan lainnya), atau di harakah (MMI, JAT, FUI, FPI dan sebagainya), seluruhnya adalah para sekularis sejati alias pengusung sekaligus pembela sekularisme sekaligus sebagai pegiat yang berusaha keras un-tuk melestarikan pemberlakuan aqidah imajinatif tersebut dalam arena kehidupan manusia. Mereka dari waktu ke waktu selalu melakukan aksi فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا (lalu mereka berfatwa tanpa dasar il-mu, maka mereka sesat dan menyesatkan) dan فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (lalu mereka berfatwa hanya berdasarkan ide mereka saja, maka menyesatkan dan sesat), yakni dengan menyatakan bahwa dalam Islam dikenal adanya konsep toleransi, pluralisme dan kebebasan. Mereka pun selalu memastikan bah-wa Islam sama sekali bukan realitas ideologi melainkan semata agama spiritualistik ritualistik.
Harus diingat bahwa jumlah umat Islam Indonesia yang selama ini pemikiran maupun sikapnya dikelola oleh mereka adalah lebih dari 120 juta orang, sehingga seiring dengan waktu yang terjadi seca-ra pasti adalah KESADARAN mereka tentang Islam MAKIN MENJAUH, sedangkan KEKISRUH-AN pemikiran dan kekacauan sikap mereka MAKIN MENGKRISTAL. Dengan demikian mereka te-lah sepenuhnya menjalani kehidupan persis seperti yang telah dan tengah ditempuh oleh pendahulunya yakni Yahudi dan Nashara. Padahal Islam telah mengharamkan mereka melakukan perbuatan tersebut :

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (الحديد : 16)

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ (رواه مسلم)

No comments:

Post a Comment