Sunday, November 3, 2013

REALITAS KETAATAN



Opini umat Islam tentang sikap taat
Ketika diserang oleh gempuran “kampanye hitam” saat pilpres tahun 2004 yang menuduhnya se-bagai anti Islam serta sang istri : Kristiani Wibowo adalah seorang Kristen, maka SBY dengan lantang berujar : saya adalah seorang muslim yang taat beribadah dan istri saya juga adalah sorang muslimah yang taat beribadah.
Pada acara hari ulang tahun Baitul Muslimin Indonesia (BMI) hari Rabu tanggal 7 Mei 2008, Ketua Umum (Ketum) PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (mengaku sebagai salah satu penggagas terbentuknya BMI) menyatakan : dikotomi nasionalis dan agamis harus bisa segera dicairkan. Apalagi banyak kenyataan membuktikan ketaatan kaum nasionalis sering lebih baik dari golongan agamis.
Demikian juga ketika umat Islam mengungkapkan atau memberikan penjelasan seputar sikap taat yang diperintahkan oleh Islam, maka secara otomatis yang tergambar dalam pikiran dan benak mereka adalah :
1.      ketaatan umat Islam dalam menjalankan shalat lima waktu, membaca Al-Quran, haji, shaum di bu-lan Ramadlan berikut shaum-shaum sunnah (hari Senin dan Kamis, enam hari di bulan Syawwal, shaum setiap tanggal 13-14-15 bulan Hijriyah dan sebagainya), berbagai bentuk shalat sunnah (ter-utama tahajud), merapalkan wirid, shalawat, du’a, tidak zina, tidak mencuri, tidak mabuk, tidak ber-bohong, tidak membunuh orang, sopan, santun, rendah hati dan seterusnya.
2.      ketaatan umat Islam dalam meninggalkan perbuatan bid’ah, tahayul, khurafat, syirik, perdukunan, perklenikan dan lainnya yang dianggap bukan bagian dari Islam melainkan berasal dari tradisi atau kebiasaan adat setempat masing-masing.
3.      bersikap jujur, tidak pamrih, tidak menipu, tidak mencurangi takaran dan timbangan, tidak melaku-kan riba yang berlipat ganda, tidak bersumpah palsu, tidak melakukan ghibah, tidak berburuk sang-ka kepada orang lain, sabar, tidak putus asa dan lain-lain.

Namun, tidak pernah sama sekali muncul atau ada dalam pikiran maupun benak mereka bahwa sikap taat yang diperintahkan oleh Islam itu juga mencakup : (a) menjadikan hanya Islam sebagai asas berpi-kir dan berkecenderungan alias berhasrat atau (b) tidak memposisikan Islam hanya sebagai agama spi-ritualistik-ritualistik atau (c) tidak menjadikan Islam sebagai sub ordinan dari sistema kehidupan lain baik yang berasal dari langit maupun bumi atau (d) tidak mensejajarkan Islam dengan agama lainnya alias tidak menganggap realitas Islam sebagai sama saja dengan agama lainnya alias tidak bersikap plu-ralistik atau (e) tidak mendudukan Islam secara berdampingan dengan atau bersama-sama dengan aga-ma/aturan/sistema/peraturan/perundang-undangan/ideologi lain, baik itu untuk keperluan pengaturan orang per orang maupun untuk pengaturan kehidupan manusia di dunia secara global.
Inilah gambaran nyata dari opini kontradiktif umat Islam tentang sikap taat yang diperintahkan oleh Islam kepada mereka. Pada aspek-aspek 1,2,3 tampak sekali mereka begitu istiqamah dan seolah telah menjadi bagian اَلْقَنَاعَةُ mereka sehingga dipertahankan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, pada aspek-aspek a,b,c,d,e sama sekali tidak ada sikap apa pun dari mereka yakni jangankan sikap istiqamah bahkan sekedar merasa berkepentingan atau merasa bahwa aspek-aspek itu adalah bagian dari Islam atau setidaknya realitas kehidupan mereka ternyata menuntut dilekatkannya aspek-aspek tersebut dalam keseharian mereka dan seterusnya, adalah tidak pernah ada dalam benak mereka. Singkatnya, umat Islam begitu sangat peduli dan berkepentingan terhadap aspek-aspek 1,2,3 namun begitu sangat tidak peduli dan sama sekali tidak berkepentingan terhadap aspek-aspek a,b,c,d,e. Inilah hakikat yang di antaranya ditunjukkan secara pasti oleh ucapan SBY maupun klaim dari Ketum PP Muhammadiyah dan tentu saja lebih dari 90 persen opini umat Islam (dengan berbagai latar belakang maupun segmen-tasi) adalah sangat serupa dengan mereka berdua.


Din Syamsuddin : ada apa dengan dirinya?
Sepanjang tahun 2008, sepak terjang Din Syamsuddin memang sangat mencengangkan sebab se-luruh pemikiran maupun gagasan yang dia ungkapkan selalu berkenaan dengan pola relasi Islam dan kekufuran, yaitu : dikotomi Barat dan Islam harus dihapuskan, penolakan terhadap aksi kekerasan dan pembelaan terhadap dialog, agama harus diformat untuk melayani kemanusiaan dan yang mutakhir adalah harus segera dicairkannya dikotomi kaum nasionalis dan golongan agamis (Islam) dengan argu-men bahwa ketaatan kaum nasionalis sering lebih baik daripada golongan agamis. Tentu saja, sikap Din yang sangat mengejutkan tersebut, mau tidak mau, telah mendorong munculnya pertanyaan ekspresi keheranan : ada apa dengan diri sang Ketum PP Muhammadiyah tersebut?
Pertanyaan tersebut sebenarnya dipastikan dapat dengan mudah dijawab dengan menelaah semua pemikiran dan gagasan Din sendiri, yaitu :
1.      gagasan untuk menghapuskan dikotomi Barat dan Islam berarti Islam wajib mengalah kepada Barat sekaligus harus mengakui bahwa Barat adalah “benar”, walau selama ini Barat sebagai pe-ngusung utama kekufuran (demokrasi dan kapitalisme berbasis sekularisme) selalu berusaha keras untuk melumpuhkan serta menghancurkan Islam maupun Dunia Islam. Hakikat gagasan ini jelas sekali bertentangan dengan seluruh pemikiran Islam yang mewajibkan umat Islam maupun Dunia Islam untuk selalu menentang, menantang dan menghancurkan segala perkara (agama, peraturan, sistema, perundang-undangan, ideologi) di luar Islam alias kekufuran beserta para pengusungnya yakni kaum kufar, hingga mereka bersedia tunduk kepada Islam dan kekuasaan Islam (Khilafah). Allah SWT menyatakan :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ (البقرة : 193)

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)

Juga pernyataan Rasulullah saw :
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ (رواه البخاري)
2.      penolakan terhadap aksi kekerasan dan pembelaan terhadap dialog dan menunjuk perang sebagai salah satu bentuk pasti dari kekerasan yang dimaksudkan. Artinya bagi Din perintah perang yang bersifat pasti (طَلَبًا جَازِمًا لِلْفِعْلِ) alias wajib dalam Islam adalah harus ditolak karena sama sekali tidak sesuai dengan realitas kemanusiaan itu sendiri yang sepakat menolak tindak kekerasan tersebut. Bahkan Din pun berdusta atas nama Allah SWT, Rasulullah saw dan Islam bahwa Islam adalah agama yang mengedepankan dialog serta cinta damai sesuai dengan nama Islam itu sendiri, bahkan kedustaan tersebut dijadikan oleh Din sebagai argumen pembenar bagi pemikirannya tersebut. Ten-tu saja pemikiran ini adalah menentang ketentuan Islam yang berkenaan dengan dakwah dan jihad sebagai metode untuk penyebarluasan risalah Islam ke seluruh dunia. Rasulullah saw menyatakan :
اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ (رواه مسلم)

ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ (رواه ابو داود)
3.      agama harus diformat untuk melayani kemanusiaan dan agama apa pun yang a-humanisme maka harus ditolak oleh siapa pun. Hal ini menunjukkan bahwa “layak dan tidaknya suatu agama” untuk kehidupan manusia di dunia atau “benar dan salahnya suatu agama”, sepenuhnya ditentukan oleh realitas agama itu sendiri yakni apakah berkhidmat alias mampu memberikan pelayanan kepada kemanusiaan ataukah tidak. Apabila suatu agama terbukti dapat melayani kemanusiaan maka dapat dipastikan agama tersebut adalah benar terlepas dari mana agama itu berasal. Sebaliknya, bila suatu agama ternyata tidak mampu memberikan pelayanan kepada kemanusiaan bahkan sebaliknya me-nyebabkan kemanusiaan hancur, maka agama itu adalah salah dan tidak layak serta wajib ditolak walaupun berasal dari Tuhan. Inilah fakta gagasan yang sangat keji dan sadis sebab telah menem-patkan kepentingan naluriah manusia (اَهْوَاءُ النّاسِ) sebagai penentu salah dan benarnya sesuatu ter-masuk agama. Dengan kata lain Din telah menjadikan kepentingan dirinya dan kepentingan seluruh manusia yang sepakat dengannya sebagai Tuhan (اِلَهٌ), tentu saja sikap ini adalah justru sebentuk pengingkaran terhadap kemanusiaan sendiri dan hanya layak terjadi pada sosok binatang yang me-mang semua tindak tanduknya hanya berbasis pada kepentingan naluriah. Allah SWT menyatakan :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا (الفرقان : 44-43)
4.      gagasan untuk segera mencairkan alias menghilangkan dikotomi antara kaum nasionalis dan golo-ngan agamis dengan alasan sering didapati fakta bahwa ketaatan kaum nasionalis lebih baik daripa-da golongan agamis. Artinya, dalam pandangan Din baik itu para pengusung dan pemberlaku ide nasionalisme maupun komunitas manusia penghayat agama Islam, seharusnya tidak lagi memper-tahankan garis batas dikotomis di antara mereka. Hal itu karena hanya akan merusak atau meng-ganggu keutuhan bangsa Indonesia sendiri. Din telah menempatkan keutuhan pemberlakuan ide nasionalisme sebagai segalanya bahkan entitas agama berikut kaum agamis wajib mengalah dengan cara melepaskan identitas khas mereka, bila hal itu hanya akan mengganggu atau bahkan merusak keutuhan identitas kebangsaan tersebut. Tentu saja, dari aspek ini pun pemikiran Din adalah salah dalam pandangan Islam, sebab dia telah melakukan pembelaan terhadap perkara atau sistema yang diharamkan oleh Islam. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ (رواه مسلم)

مَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَدْعُو عَصَبِيَّةً أَوْ يَنْصُرُ عَصَبِيَّةً فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ (رواه مسلم)

مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يُقَاتِلُ عَصَبِيَّةً وَيَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ قَالَ أَبُو عَبْد الرَّحْمَنِ عِمْرَانُ الْقَطَّانُ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ (رواه النسائي)

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ (رواه ابو داود)
Selain itu, Din telah terjebak bahkan terbelenggu oleh realitas turunan yang berasal atau bersumber dari pemikiran (konsep) pokok (asas) yakni sekularisme : pemisahan agama dari kehidupan, politik dan negara. Kemunculan kelompok negarawan (رِجَالُ الدَّوْلَةِ) dan agamawan (رِجَالُ الدِّيْنِ) yang lalu mengalami metamorfosis secara parsial menjadi kaum nasionalis dan agamis adalah kondisi yang memang diwajibkan wujud oleh sekularisme. Artinya, konsep negara kebangsaan yang juga diga-riskan oleh sekularisme menuntut terjadinya garis tebal-kuat alias garis dikotomis yang memisah-kan secara pasti antara para pengusung kebangsaan (grup negarawan) dan golongan agamis (grup agamawan). Sehingga, dari aspek ini memastikan bahwa Din adalah seorang manusia yang sangat membela mati-matian penerapan secara konsisten ide sekularisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara paling tidak di Indonesia. Jadi, persoalannya menjadi tidak sederhana lagi melainkan telah mengerucut kepada pemposisian Allah SWT persis seperti yang diwajibkan oleh sekularisme sendiri yakni : God watch maker. Realitas Din seperti ini jelas berupa penghinaan kepada Allah SWT yang secara aqliy maupun naqliy adalah berkedudukan sebagai اَلشَّارِعُ atau اَلْمُشَرِّعُ. Allah SWT menyatakan :
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (يوسف : 40)

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ (الشورى : 13)
Juga perhatikan dengan seksama riwayat dari Anas bin Malik ra. berikut :
غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ سَعَّرْتَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ الْمُسَعِّرُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَا يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلَمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ (رواه احمد)
Nampak sekali bahwa walau semua manusia sangat berkepentingan terhadap keputusan penetapan harga (اَلتَّسْعِيْرُ) sehubungan dengan terjadinya gejolak harga (غَلَا السِّعْرُ) namun Rasulullah saw meno-lak untuk menetapkan harga tersebut. Hal itu karena yang berwewenang untuk melakukan peneta-pan harga adalah hanya Allah SWT (الْمُسَعِّرُ) yang berarti mekanisme penetapan harga dalam Islam wajib diserahkan sepenuhnya kepada pasar : penjual dan pembeli. Selain itu, bila Rasulullah saw memenuhi kepentingan manusia untuk menetapkan harga maka tindakan beliau saw tersebut adalah sebentuk aksi kesalahan dari seorang penguasa (رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ اَيْ اَلسُّلْطَانُ) yang dikategorikan sebagai اَلْمَظْلَمَةُ : وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَا يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلَمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ dan tindakan itu haram dila-kukan oleh siapa pun termasuk oleh Rasulullah saw. Inilah yang semakin memastikan bahwa yang berwewenang untuk menetapan syariah (اَلشَّارِعُ اَوِ الْمُشَرِّعُ) adalah Allah SWT semata.

Oleh karena itu, pertanyaan : ada apa dengan diri sang Ketum PP Muhammadiyah tersebut? Jawabannya yang pasti dan gamblang adalah :
a.       dari aspek pemikiran asasi alias mendasar : Din Syamsuddin telah sepenuhnya menjadikan sekula-risme sebagai asas pemikirannya (قَاعِدَتُهُ الْفِكْرِيَّةُ) dan selanjutnya dia benar-benar telah memenuhi tuntutan wajib dari sekularisme itu sendiri yakni mengadopsi seluruh pemikiran cabang maupun turunannya untuk diterapkan dalam realitas kehidupan yang di antaranya adalah gagasan peleburan kaum nasionalis dan golongan agamis.
b.      dari aspek kepentingan sesaat maupun jangka panjang : Din Syamsuddin adalah satu-satunya Ketum PP Muhammadiyah yang jauh sebelumnya telah “banyak” diberi kepercayaan oleh kaum nasionalis, kaum kufar (AS dan Eropa) maupun ormas Islam lainnya di NKRI. Kepercayaan berba-gai pihak tersebut nampak semakin bertambah saat Din berhasil meraih posisi puncak dalam ormas Islam terbesar kedua setelah NU itu. Lebih jelas lagi adalah sejak awal tahun 2008 hingga tri wulan kedua ini yakni seiring dengan makin dekatnya pemilu 2009 (legislatif maupun pilpres), seolah figur Din makin banyak “dilirik, diminati dan dipinang” oleh terutama kaum nasionalis dan dalam hal ini khususnya adalah PDIP. Sehingga tidaklah mengejutkan bila saat hari ulang tahun BMI (apalagi Din “merasa” sebagai salah seorang penggagas lahirnya BMI di PDIP), Din sangat antusias untuk menyodorkan gagasan “peleburan kaum nasionalis dan agamis (Islam)”. Realitas ini tidak lain adalah bentuk riil dari adanya simbiosa mutualistis alias saling menguntungkan. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Din : untuk itu kehadiran BMI sebagai sayap sebuah organisasi nasio-nalis amat strategis sifatnya ke depan. Kehadiran BMI adalah sebagai usaha untuk memperkaya khazanah pembinaan umat Islam di Indonesia yang selama ini hanya diklaim oleh NU yang memi-liki umat binaan sekitar 45 juta orang dan Muhammadiyah sekitar 35 juta orang. Di sinilah pen-tingnya organisasi seperti BMI sebagai sayap partai, tidak hanya membawa misi politik, tetapi ju-ga berdakwah yaitu “politik dalam dakwah, dakwah dalam politik”. Ungkapan Din yang memper-tautkan antara dakwah dengan politik, memastikan bahwa keadaan itulah yang sedang dirintis un-tuk diraih oleh Din yakni simbiosa mutualistis antara kaum nasionalis dan agamis.


Realitas ketaatan dalam Islam

Dalih yang digunakan oleh Din Syamsuddin saat menggagas peleburan kaum nasionalis dan golo-ngan agamis adalah seringnya didapati ketaatan kaum nasionalis lebih baik daripada golongan agamis. Oleh karena itu, harus dipahami dengan benar tentang realitas ketaatan atau اَلطَّاعَةُ dalam Islam sebab fakta opini umat Islam menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak memiliki pemahaman yang pasti dan benar tentang perkara tersebut.
Istilah اَلطَّاعَةُ adalah istilah yang hanya ada dalam sumber-sumber Islam, dengan kata lain merupa-kan istilah Islami (اِصْطِلاَحٌ اِسْلاَمِيٌّ) dan tidak dikenal dalam pemikiran apa pun di luar Islam. Sumber-sumber Islam menggunakan istilah اَلطَّاعَةُ dalam berbagai bentuk, baik bentuk kata kerja (فِعْلٌ) maupun selain kata kerja (اِسْمٌ). Allah SWT menyatakan :
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (آل عمران : 32)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (آل عمران : 132)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (النساء : 59)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (المائدة : 92)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (الأنفال : 1)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ (الأنفال : 20)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (الأنفال : 46)

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (النور : 54)

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (النور : 56)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ (محمد : 33)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (التغابن : 12)

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ (التغابن : 16)

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (النساء : 13)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا (النساء : 69)

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (النساء : 80)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ (النور : 52)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (الأحزاب : 71)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَنْ يَتَوَلَّ يُعَذِّبْهُ عَذَابًا أَلِيمًا (الفتح : 17)

قُلْ لِلْمُخَلَّفِينَ مِنَ الْأَعْرَابِ سَتُدْعَوْنَ إِلَى قَوْمٍ أُولِي بَأْسٍ شَدِيدٍ تُقَاتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ فَإِنْ تُطِيعُوا يُؤْتِكُمُ اللَّهُ أَجْرًا حَسَنًا وَإِنْ تَتَوَلَّوْا كَمَا تَوَلَّيْتُمْ مِنْ قَبْلُ يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (الفتح : 16)

وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (الحجرات : 14)
ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (البقرة : 285)
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (النور : 51)

Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي (رواه البخاري)
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه مسلم)
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى (رواه البخاري)
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ الْإِمَامَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى الْإِمَامَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه ابن ماجه)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْيَمَنِ قَالَ إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ (رواه البخاري)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَبُّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ لَوْ أَنَّ عِبَادِي أَطَاعُونِي لَأَسْقَيْتُهُمْ الْمَطَرَ بِاللَّيْلِ وَأَطْلَعْتُ عَلَيْهِمْ الشَّمْسَ بِالنَّهَارِ وَلَمَا أَسْمَعْتُهُمْ صَوْتَ الرَّعْدِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ حُسْنِ عِبَادَةِ اللَّهِ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَدِّدُوا إِيمَانَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ نُجَدِّدُ إِيمَانَنَا قَالَ أَكْثِرُوا مِنْ قَوْلِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (رواه احمد)

نِعِمَّا لِأَحَدِهِمْ أَنْ يُطِيعَ رَبَّهُ وَيُؤَدِّيَ حَقَّ سَيِّدِهِ يَعْنِي الْمَمْلُوكَ (رواه الترمذي)
طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ فَقِيلَ مَنْ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِي أُنَاسِ سُوءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ (رواه احمد)

طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ فَقِيلَ مَنْ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَاسٌ صَالِحُونَ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ (رواه احمد)

إِنَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ قَالَ لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ (رواه احمد)

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَتْ عَلَيْهِ طَاعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً فَإِنْ خَلَعَهَا مِنْ بَعْدِ عَقْدِهَا فِي عُنُقِهِ لَقِيَ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَلَيْسَتْ لَهُ حُجَّةٌ (رواه احمد)
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه مسلم)

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قَالُوا قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ (رواه مسلم)

مَنْ نَزَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ فَلَا حُجَّةَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ مَاتَ مُفَارِقًا لِلْجَمَاعَةِ فَقَدْ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً (رواه احمد)
مَنْ نَزَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ أَوْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ مَاتَ مِيتَةَ الْجَاهِلِيَّةِ (رواه احمد)
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه البخاري)
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه البخاري)
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ (رواه البخاري)
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه مسلم)
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ (رواه مسلم)
لَا طَاعَةَ لِبَشَرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ (رواه احمد)
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه احمد)
لَا طَاعَةَ لِمَنْ لَمْ يُطِعْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ (رواه احمد)

إِنَّهُ سَيَلِي أُمُورَكُمْ بَعْدِي رِجَالٌ يُعَرِّفُونَكُمْ مَا تُنْكِرُونَ وَيُنْكِرُونَ عَلَيْكُمْ مَا تَعْرِفُونَ فَلَا طَاعَةَ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَلَا تَعْتَلُّوا بِرَبِّكُمْ (رواه احمد)

وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ (رواه احمد)
Khalifah Umar menyatakan :
يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)

Dengan melakukan kajian komprehensif dan mendalam (اَلإِسْتِعْرَاضُ) terhadap seluruh dalil tersebut maka realitas ketaatan (وَاقِعُ الطَّاعَةِ) adalah :
مَوْقِفُ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَى فِعْلِ كُلِّ مَا اَمَرَهُمُ اللهُ بِهِ مِنْ اَوَامِرَ وَنَوَاهِيَ مَوْقِفًا وَاعِيًا مُدْرِكًا دُوْنَ اَيِّ شَيْءٍ مِنْ تَرَدُّدٍ وَتَخَيُّرٍ مِنْ اَنْفُسِهِمْ
“sikap kaum muslim untuk melaksanakan semua perkara yang telah Allah perintahkan kepada mereka baik itu perintah maupun larangan dengan sadar dan penuh pemahaman tanpa sedikitpun disertai adanya pembangkangan dan sikap memilih-milih dari diri mereka”

Pemetaan realitas ketaatan tersebut terhadap fakta dinamika kehidupan umat Islam saat ini, akan memunculkan sebuah kesimpulan yakni : adalah sama sekali tidak mungkin terjadi kaum nasionalis walau beragama Islam dapat melakukan ketaatan kepada semua ketentuan Allah SWT yang telah dite-tapkan dalam Islam, sebab secara asasi semua sikap mereka sama sekali tidak didasarkan kepada Islam berikut seluruh ide, pemikiran, hukum dan peraturan cabang maupun turunannya. Hal yang sa-ma berlaku juga bagi kelompok yang disebut sebagai agamis, sebab mereka pun telah lama (minimal 84 tahun) tidak lagi menjadikan Islam berikut seluruh ide, pemikiran, hukum dan peraturan cabang maupun turunannya sebagai asas berpikir dan bersikap mereka.
Jadi, realitas ketaatan dalam Islam tersebut semakin memastikan hakikat alias jatidiri dari Din Syamsuddin atau siapa pun yang serupa dan sejenis dengannya, bahwa mereka semua telah melakukan pendustaan terhadap publik alias kebohongan publik (اَلتَّضْلِيْلُ لِجَمَاهِيْرِ النَّاسِ) dengan mengatasnamakan Allah SWT, Rasulullah saw dan Islam. Mereka adalah manusia-manusia yang dibidik oleh pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْزِعُ الْعِلْمَ بَعْدَ أَنْ أَعْطَاكُمُوهُ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَنْتَزِعُهُ مِنْهُمْ مَعَ قَبْضِ الْعُلَمَاءِ بِعِلْمِهِمْ فَيَبْقَى نَاسٌ جُهَّالٌ يُسْتَفْتَوْنَ فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ (رواه البخاري)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْتَزِعُ الْعِلْمَ مِنْ النَّاسِ انْتِزَاعًا وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعُلَمَاءَ فَيَرْفَعُ الْعِلْمَ مَعَهُمْ وَيُبْقِي فِي النَّاسِ رُءُوسًا جُهَّالًا يُفْتُونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَيَضِلُّونَ وَيُضِلُّونَ (رواه مسلم)
Khatimah
Realitas ketaatan (وَاقِعُ الطَّاعَةِ) dalam Islam yakni :
مَوْقِفُ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَى فِعْلِ كُلِّ مَا اَمَرَهُمُ اللهُ بِهِ مِنْ اَوَامِرَ وَنَوَاهِيَ مَوْقِفًا وَاعِيًا مُدْرِكًا دُوْنَ اَيِّ شَيْءٍ مِنْ تَرَدُّدٍ وَتَخَيُّرٍ مِنْ اَنْفُسِهِمْ
“sikap kaum muslim untuk melaksanakan semua perkara yang telah Allah perintahkan kepada mereka baik itu perintah maupun larangan dengan sadar dan penuh pemahaman tanpa sedikitpun disertai adanya pembangkangan dan sikap memilih-milih dari diri mereka”

pada tatanan implementasinya ditujukan kepada Allah SWT, Rasulullah saw dan سُلْطَانُ الْمُسْلِمِيْنَ yakni para Khalifah. Bahkan lebih praktis lagi yakni sepanjang menjalankan kehidupan di dunia, aktualisasi ketaatan umat Islam tersebut sebenarnya mengerucut kepada satu saja yaitu kepada para Khalifah, sela-ma para Khalifah tetap istiqamah melaksanakan (مُنَفِّذًا) dan menerapkan (مُطَبِّقًا) syariah Islam sesuai de-ngan tuntutan isi اَلْبَيْعَةُ saat umat Islam membai’at mereka. Inilah yang ditetapkan oleh Islam berdasar-kan pernyataan Rasulullah saw :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي (رواه البخاري)

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ الْإِمَامَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى الْإِمَامَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه ابن ماجه)

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه البخاري)

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ (رواه مسلم)

Realitas kehidupan umat Islam saat ini memastikan bahwa telah lama mereka hidup tanpa sama sekali dapat melaksanakan sikap taat kepada para Khalifah, sebab kaum kufar telah berhasil dengan sempurna meruntuhkan Khilafah 84 tahun yang lalu. Oleh karena itu, sebenarnya sepanjang 84 tahun tersebut kaum muslim tidak dapat merealisir tuntutan wajib dari Islam atas mereka untuk taat kepada Allah SWT, Rasulullah saw dan para Khalifah. Hal itu karena bagian hadits : وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي atau وَمَنْ أَطَاعَ الْإِمَامَ فَقَدْ أَطَاعَنِي, sama sekali tidak dapat mereka laksanakan sebab اَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ atau اَلإِمَامُ  atau اَلْخَلِيْفَةُ telah lama (84 tahun) tidak ada lagi di tengah-tengah kehidupan mereka.
Wal hasil, kesempurnaan pelaksanaan sikap taat umat Islam kepada Allah SWT dan Rasulullah saw memang telah berhasil sempurna direalisir oleh umat Islam sepanjang 1300 tahun lebih kehidupan mereka ketika selalu dinaungi dan dipimpin oleh para Khalifah, sesuai dengan pernyataan Rasulullah saw :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Namun, sejak tanggal 3 Maret 1924 M hingga umat Islam berhasil mengembalikan lagi posisi dan ek-sistensi Khilafah dalam realitas kehidupan dunia, maka selama itu umat Islam tidak akan pernah mam-pu melaksanakan ketaatan dengan sempurna, sebab “ujung tombak “ yang menjadi bagian dari sistema ketaatan dalam Islam yakni para Khalifah, sudah tidak lagi ada dalam genggaman mereka.


مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)





No comments:

Post a Comment