Sunday, November 3, 2013

KONGLOMERASI BENAR-BENAR NYATA!


Paradoksal kehidupan kapitalistik
Majalah Forbes edisi Kamis 3 Desember 2009 kembali menyampaikan daftar 40 orang terkaya di Indonesia dan peringkat satu hingga sepuluh ditempati oleh :
No
Nama
Status
Kekayaan
Peringkat
1
Robert Budi & Michael Hartono
Pemilik Grup Djarum
7.000 juta dolar AS
atau Rp 66,5 triliun
Satu
2
Martua Sitorus
Pengusaha kelapa sawit
3.000 juta dolar AS
atau Rp 28,5 triliun
Dua
3
Susilo Wonowidjojo
Pemilik Gudang Garam
2.600 juta dolar AS
atau Rp 24,7 triliun
Tiga
4
Aburizal Bakrie
Pemilik Grup Bakrie
2.500 juta dolar AS
atau Rp 23,7 triliun
Empat
5
Eka Tjipta Widjaja
Pemilik Grup Sinarmas
2.400 juta dolar AS
atau Rp 22,8 triliun
Lima
6
Peter Sondakh
-
2.100 juta dolar AS
atau Rp 19,9 triliun
Enam
7
Putera Sampoerna
-
2.000 juta dolar AS
atau Rp 19,0 triliun
Tujuh
8
Sukanto Tanoto
-
1.900 juta dolar AS
atau Rp 18,0 triliun
Delapan
9
Anthoni Salim
-
1.400 juta dolar AS
atau Rp 13,3 triliun
Sembilan
10
Soegiharto Sosrodjojo
-
1.200 juta dolar AS
atau Rp 11,4 triliun
Sepuluh
Kemudian bila kekayaan sepuluh orang terkaya tersebut dibandingkan secara proporsional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2008 dengan besaran 497 miliar dolar AS, maka diper-oleh gambaran realitas sebagai berikut :
No
Nama
Kekayaan (miliar $ AS)
% terhadap PDB
1
Robert Budi & Michael Hartono
7,0
1,41
2
Martua Sitorus
3,0
0,60
3
Susilo Wonowidjojo
2,6
0,52
4
Aburizal Bakrie
2,5
0,50
5
Eka Tjipta Widjaja
2,4
0,48
6
Peter Sondakh
2,1
0,42
7
Putera Sampoerna
2,0
0,40
8
Sukanto Tanoto
1,9
0,38
9
Anthoni Salim
1,4
0,28
10
Soegiharto Sosrodjojo
1,2
0,24
Total
26,1
5,23
Nampak jelas bahwa sepuluh orang konglomerat Indonesia menguasai 26,1 miliar dolar AS kekayaan (5,23 persen PDB), sedangkan rakyat Indonesia lainnya yang berjumlah 239.240.336 (data per 10-02-2009) – 10 yakni 239.240.326 orang berjibaku memperebutkan PDB 497 – 26,1 = 470,9 miliar dolar AS. Dengan kata lain sebanyak 0,000004 persen (10 orang) penduduk Negara Kesatuan Republik Indo-nesia (NKRI) menguasai 5,23 persen PDB, sedangkan sisanya yakni 99,999996 persen alias sebanyak 239.240.326 harus berjuang sangat keras untuk memperoleh bagian dari 94,77 PDB. Artinya, setiap konglomerat rata-rata menguasai PDB sebanyak 26,1 : 10 = 2,61 miliar dolar AS, sedangkan setiap penduduk lainnya rata-rata menguasai PDB sebanyak 470,9 : 239.240.326 = 1,9683 miliar dolar AS. Jadi, setiap satu orang konglomerat menguasai akses kepada PDB sebanyak 1,33 kali lebih besar diban-dingkan setiap orang penduduk lainnya. Angka ini sepintas seolah tidak memberikan gambaran yang terlalu menyedihkan dan mengerikan, sebab masih di bawah angka 2. Namun realitas justru memasti-kan bahwa walau setiap orang konglomerat hanya 1,33 kali lebih besar aksesnya kepada PDB diban-dingkan penduduk lainnya tapi fakta tersebut benar-benar menyedihkan, mengenaskan dan mengerikan karena setiap konglomerat berada dalam status menguasai PDB secara riil (nyata ada dalam gengga-man tangan mereka), sedangkan penduduk lainnya berada dalam status asumsi yang hingga saat ini be-lum pernah bertemu dengan kenyataannya (mereka sama sekali belum pernah meraih satu sen dolar se-kali pun dari PDB tersebut).
Demikianlah realitas paradoksal kehidupan kapitalistik umat Islam Indonesia, yakni jumlah me-reka yang mayoritas (88,1 persen) ternyata sama sekali tidak memiliki akses sedikit pun terhadap keka-yaan negeri Indonesia yang digambarkan dengan instrumen PDB, apalagi kepada kekayaan riil negeri ini yang jauh lebih besar dan lebih melimpah ruah lagi dari yang ditunjukkan oleh besaran semi khayal-an tersebut.
Tentu saja, kenyataan tersebut bukan akibat konglomerat “sangat giat, serius dan rajin” dalam meraih lalu mengoleksi kekayaan sedangkan umat Islam adalah sebaliknya, sama sekali bukan itu pe-nyebabnya. Realitas paradoksal tersebut terjadi akibat satu sebab saja yakni sistem kapitalisme yang di-berlakukan di negeri Indonesia (juga Dunia Islam lainnya) memang secara pasti dan niscaya mengha-ruskan selalu adanya konglomerat. Mengapa demikian?
Hal itu karena, konglomerat alias para kapitalis alias اَلرَّأْسُمَالِيُّوْنَ pada hakikatnya adalah pengen-dali dan pelaku utama dalam menjalankan roda perekonomian di suatu negara kapitalistik, sedangkan pemerintah (yang diwakili oleh Menteri Keuangan/The Secretary of Treasury dan Gubernur Bank Cen-tral) hanya berposisi selaku regulator. Hubungan konstelatif regulator dengan konglomerat adalah me-ngikuti pola simbiosa mutualistik, yakni :
1.       regulator akan selalu berupaya keras untuk menjadikan pertimbangan terciptanya iklim usaha yang kondusif sekaligus menguntungkan bagi para pelaku bisnis (konglomerat) dalam menetapkan atur-an (regulasi) apa pun, baik yang langsung maupun tidak berhubungan dengan dunia usaha. Sebagai contoh Undang-undang tentang investasi (Penanaman Modal Dalam Negeri/PMDN maupun Pena-naman Modal Asing/PMA), Undang-undang Perpajakan, Undang-undang Perburuhan, Undang-un-dang Perbankan, Perppu JPSK (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, yang gagal menjadi Undang-undang karena ditolak oleh DPR), Undang-undang Ekspor Impor dan sebagainya.
2.       konglomerat secara otomatis akan “menyetorkan” kewajiban balas jasa mereka kepada regulator dalam bentuk pembayaran berbagai macam pajak, retribusi, bea, cukai dan sebagainya, lalu selu-ruhnya akan disimpan oleh regulator dalam pos penerimaan sektor pajak di APBN. Selain itu, para konglomerat pun secara riil memberikan sumbangan yang sangat besar kepada laju pertumbuhan ekonomi negara, penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan pendapatan per kapita penduduk dan lainnya yang berada dalam mekanisme efek domino.
Oleh karena itulah, ketika terjadi peristiwa kredit macet (NPL : non performing loan) secara massif pa-da segmen perumahan kelas bawah (subprime mortgage) di negara Amerika Serikat (AS) pada tahun 2007 sebesar 1,3 triliun dolar AS, maka administrasi pemerintah saat itu yang dipimpin oleh Presiden George Walker Bush mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) dana talangan (bailout) sebesar 700 miliar dolar AS kepada Kongres Amerika (yang akhirnya juga disahkan) untuk keperluan membeli sebagian besar aset-aset kredit macet yang ada sekaligus untuk menenangkan gejolak di bursa saham maupun pasar uang.
Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang menelan dana sebesar 600-an triliun rupi-ah, atau kasus terbaru yakni dana talangan sebesar Rp 6,762 triliun yang dikucurkan oleh pemerintah NKRI melalui LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) kepada Bank Century (mulai beroperasi pada tang-gal 22 Oktober 2004 sebagai hasil merger dari Bank CIC Internasional, Bank Danpac dan Bank Pikko), atau rencana pemberlakuan Perppu JPSK (akhirnya batal karena ditolak DPR, namun sempat menjadi landasan hukum pengucuran dana talangan Rp 6,762 triliun kepada Bank Century), atau lainnya (masih sangat banyak) adalah bukti dari keseriusan pemerintah alias regulator untuk sepenuhnya berpihak ke-pada konglomerat.
Itulah seluruh fasilitas legal formal yang selalu dinikmati baik saat “lancar-lancar saja” maupun “ketika ada masalah” oleh para konglomerat yang disediakan sepenuhnya oleh pemerintah (regulator). Keberpihakan seutuhnya dari pemerintah kepada konglomerat tersebut benar-benar sangat menyakit-kan rakyat jelata, sebab pada saat yang bersamaan pemerintah sama sekali tidak peduli kepada realitas mereka orang per orang sehari-hari yang hingga saat ini belum pernah mampu memenuhi kebutuhan pokok kehidupan di dunia. Jika pun pemerintah “berlagak” seolah peduli kepada mereka, maka itu pun selalu dikaitkan dengan kepentingan untuk mengokohkan dan melestarikan kekuasaannya, baik dalam arena “kenduri” lima tahunan maupun harian pasca pelantikan sebagai penguasa. Lebih mengerikan dari itu adalah seluruh fasilitas umum seperti listrik, air, telefon, bahan bakar dan lainnya yang disedia-kan pemerintah ternyata wajib dibeli (berapa pun harganya dan dengan pertimbangan apa pun) oleh rakyat. Bahkan sekedar “cuci gudang Bulog” dengan merek raskin (beras untuk rakyat miskin) sekali pun masih juga harus dibeli oleh rakyat dan itupun mereka harus memperolehnya dengan mengorban-kan banyak hal termasuk kadang-kadang dengan meregang nyawa. Tentu saja ini sangat diametral de-ngan bantuan sepenuh hati pemerintah kepada para konglomerat yang atas nama undang-undang, atau demi untuk menyelematkan perekonomian negara, atau untuk menghindari terjadinya dampak sistemik (kasus Bank Century), dapat dengan mudah dan tanpa pengorbanan berarti mengalir deras kepada me-reka. Singkat kata, memang telah nyata realitas kebinasaan kemanusiaan selama lebih dari satu abad diberlakukannya Ideologi Kapitalisme sekularistik dalam kehidupan manusia di dunia dan inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam ayat Al-Quran :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم : 41)
Telah nampak kebinasaan di daratan dan lautan akibat peraturan yang tangan manusia racik sendiri dan hal itu agar Dia (Allah) dapat menimpakan kepada mereka sebagian dari yang telah mereka la-kukan supaya mereka sadar untuk kembali (kepada aturan Allah)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
Dan andai al-haq (ketentuan Allah) mengikuti kepentingan naluriah mereka, pastilah binasa langit dan bumi berikut siapa pun yang ada di dalamnya, padahal telah Kami datangkan kepada mereka pe-ringatan bagi mereka, lalu mereka pada berpaling dari peringatan mereka tersebut

Islam dan konglomerasi
Islam diturunkan ke dunia adalah supaya seluruh kehidupan manusia di dalamnya berada dalam realitas rahmah, yakni sepenuhnya terbebas dan lepas dari segala macam maupun bentuk peraturan yang berasal dari serta dibuat oleh tangan manusia sendiri berbasis kepentingan naluriah mereka. Allah SWT menyatakan :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء : 107)
yang memastikan realitas risalah Islam itu adalah رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ sekaligus sebagai lawan dari peraturan yang membinasakan kemanusiaan yakni نِظَامُ الْمَفْسَدَةِ اَيِ الْفِتْنَةُ اَيْ اَنْظِمَةُ الْكُفْرِ. Inilah yang ditunjukkan seca-ra gamblang oleh pernyataan Allah SWT lainnya :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
lafadz فِتْنَةٌ dalam ayat tersebut dijadikan sebagai realitas yang selalu dibawa oleh kaum kufar dan ini di-tunjukkan oleh اَلضَّمِيْرُ yang ada dalam bagian ayat وَقَاتِلُوهُمْ yang merujuk kepada kaum kufar seperti yang dipastikan oleh ayat sebelumnya :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ (الأنفال : 38)
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan lafadz فِتْنَةٌ oleh pernyataan Allah SWT tersebut adalah pe-raturan atau sistema kufur alias kekufuran (نِظَامُ الْمَفْسَدَةِ اَيْ اَنْظِمَةُ الْكُفْر). Realitas lafadz tersebut adalah sistema kufur alias kekufuran semakin dipastikan dengan adanya bagian lain dari ayat itu sendiri yakni وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ (dan supaya din itu seluruhnya milik Allah). Oleh karena itu, aqal dapat menerima de-ngan mantap dan puas (قَنَاعَةً وَتَمْكِيْنًا) seruan Allah SWT kepada siapa pun yang telah menyatakan secara sadar keimanan mereka :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Aqal pun memustahilkan adanya sikap kaum mukmin sejati yang masih mempertimbangkan apalagi menggunakan peraturan selain Islam, walau sangat sedikit sebab sikap itu bertentangan dengan sifat Is-lam yang جَامِعًا (ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً) dan مَانِعًا (وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ).
Sistem Perekonomian Islami yang diberlakukan oleh Khilafah Islamiyah bertumpu pada tiga pilar (اَلْقَوَاعِدُ) yakni : (1) kepemilikan, (2) penggunaan kepemilikan dan (3) distribusi kekayaan di antara in-dividu anggota masyarakat.
Kepemilikan (اَلْمِلْكِيَّةُ) dalam Islam mengatur tentang macam kepemilikan (اَنْوَاعُ الْمِلْكِيَّةِ) dan sebab-sebab kepemilikan harta (اَسْبَابُ تَمَلُّكِ الْمَالِ). Macam kepemilikan ada tiga yakni :
1.       kepemilikan individu (اَلْمِلْكِيَّةُ الْفَرْدِيَةُ) :
هِيَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ مُقَدَّرٌ بِالْعَيْنِ اَوِ الْمَنْفَعَةِ يَقْتَضِيْ تَمْكِيْنَ مَنْ يُضَافُ اِلَيْهِ مِنَ انْتِفَاعِهِ بِالشَّيْءِ وَاَخْذِ الْعِوَضِ عَنْهُ اَيْ اِذْنُ الشَّارِعِ لِلْفَرْدِ بِالإِنْتِفَاعِ بِالْعَيْنِ اَوِ الْمَنْفَعَةِ
Adalah hukum syara’ yang ditetapkan kepada benda atau manfaat yang menuntut adanya kepasti-an bagi siapa saja yang disandarkan kepadanya pemanfaatan sesuatu dan mengambil imbalan da-ri sesuatu tersebut, atau izin dari Allah kepada individu untuk memanfaatkan benda maupun man-faat
2.       kepemilikan umum (اَلْمِلْكِيَّةُ الْعَامَّةُ) :
هِيَ اِذْنُ الشَّارِعِ لِلْجَمَاعَةِ بِالإِشْتِرَاكِ فِيْ الإِنْتِفَاعِ بِالْعَيْنِ
Adalah izin Allah kepada jamaah untuk secara bersama-sama dalam pemanfaatan benda
3.       kepemilikan negara (مِلْكِيَّةُ الدَّوْلَةِ) :
هِيَ اِذْنُ الشَّارِعِ لِلْخَلِيْفَةِ بِأَنْ يُّصَرِّفَ الْمَالَ بِرَأْيِهِ وَاجْتِهَادِهِ
Adalah izin Allah kepada Khalifah untuk mempergunakan harta berdasarkan pendapat dan ijtihad-nya
Syariah Islamiyah yang mengatur اَسْبَابُ تَمَلُّكِ الْمَالِ adalah khusus berkenaan dengan kepemilikan indivi-du yaitu :
1.       bekerja (اَلْعَمَلُ) yang mencakup :
a.       menghidupkan tanah mati (اِحْيَاءُ الْمَوَاتِ)
b.       berburu (اَلصَّيْدُ)
c.       makelar dan komisi (اَلسَّمْسَرَةُ وَالدَلاَلَةُ)
d.      bagi hasil (اَلْمُضَارَبَةُ)
e.       menyirami tanaman di kebun orang lain (اَلْمَسَاقَاةُ)
f.        bekerja kepada orang lain dengan upah (اَلْعَمَلُ لِلآخَرِيْنَ بِأَجْرٍ)
g.       rikaz (اَلرِّكَازُ)
2.       warisan (اَلإِرْثُ)
3.       kebutuhan terhadap harta demi mempertahankan kehidupan (اَلْحَاجَةُ اِلَى الْمَالِ ِلأَجْلِ الْحَيَاةِ)
4.       pemberian dari negara dari harta milik negara kepada rakyat (اِعْطَاءُ الدَّوْلَةِ مِنْ اَمْوَالِهَا لِلرَّعِيَّةِ)
5.       seluruh harta yang diperoleh seseorang tanpa pengorbanan harta maupun tenaga :
اَلأَمْوَالُ الَّتِيْ يَأْخُذُهَا الأَفْرَادُ دُوْنَ مُقَابِلِ مَالٍ اَوْ جُهْدٍ
Adapun jual beli (اَلْبَيْعُ) maupun perdagangan (اَلتِّجَارَةُ) bukan bagian dari اَسْبَابُ تَمَلُّكِ الْمَالِ melainkan ma-suk dalam aturan Islam tentang pengembangan kepemilikan harta (تَنْمِيَّةُ الْمِلْكِيَّةِ).
Penggunaan kepemilikan (اَلتَّصَرُّفُ بِالْمِلْكِيَّةِ) yakni syariah Islamiyah yang mengatur seluruh bentuk pemanfaatan kepemilikan (اَلإِنْتِفَاعُ بِالْمِلْكِيَّةِ), dengan ketentuan :
اَلتَّصَرُّفُ بِالْمِلْكِيَّةِ مُقَيَّدٌ بِإِذْنِ الشَّارِعِ سَوَاءٌ اَكَانَ تَصَرُّفًا بِالإِنْفَاقِ اَمْ تَصَرُّفًا بِتَنْمِيَّةِ الْمِلْكِ فَيُمْنَعُ السَّرْفُ وَالتَّرْفُ وَالتَّقْتِيْرُ وَتُمْنَعُ الشِّرْكَاتُ الرَّأْسُمَالِيَّةُ وَالْجَمْعِيَّاتُ التَّعَاوُنِيَّةُ وَسَائِرُ الْمُعَامَلاَتِ الْمُخَالَفَةِ لِلشَّرْعِ وَيُمْنَعُ الرِّبَا وَالْغَبْنُ الْفَاحِشُ وَالإِحْتِكَارُ وَالْقِمَارُ وَمَا شَابَهَ ذَلِكَ
Penggunaan kepemilikan terikat dengan izin Allah, baik itu penggunaan dalam bentuk membelanjakan maupun penggunaan dalam bentuk pengembangan kepemilikan. Maka dilarang berlebihan, boros, ki-kir juga dilarang perseroan kapitalistik, koperasi dan seluruh bentuk muamalah yang bertentangan de-ngan syara. Juga dilarang riba, ghabn fahisy (menipu), ihtikar, judi dan yang serupa dengan itu
Ketentuan tersebut memastikan bahwa Islam adalah sebuah tatanan alias sistema yang di dalamnya ter-dapat segala bentuk peraturan untuk seluruh perbuatan maupun tingkah laku manusia di dunia terma-suk perbuatan manusia dalam memanfaatkan kepemilikan. Inilah yang diformulasikan oleh para fuqaha dalam kaidah : اَلأَصْلُ فِيْ الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ (keadaan orisinal dalam perbuatan adalah terikat dengan hukum syara).
Distribusi kekayaan (تَوْزِيْعُ الثَّرْوَةِ) yakni harta dan manfaat (اَلأَمْوَالُ وَالْمَنَافِعُ) selain menjadi pilar keti-ga sistem perekonomian Islami juga menjadi realitas problematika perekonomian itu sendiri. Ketentu-annya adalah :
اَلْمُشْكِلَةُ الإِقْتِصَادِيَّةُ هِيَ تَوْزِيْعُ الأَمْوَالِ وَالْمَنَافِعِ اَيْ تَوْزِيْعُ الثَّرْوَةِ عَلَى جَمِيْعِ اَفْرَادِ الرَّعِيَّةِ وتَمْكِيْنُهُمْ مِنَ الإِنْتِفَاعِ بِهَا بِتَمْكِيْنِهِمْ مِنْ حِيَازَتِهَا وَمِنَ السَّعْيِ لَهَا
Problematika perekonomian adalah distribusi harta dan manfaat atau distribusi kekayaan kepada se-luruh individu rakyat dan kepastian mereka untuk dapat memanfaatkannya dengan adanya kepastian untuk memperolehnya dan berusaha keras meraihnya
Distribusi kekayaan yang tidak normal alias buruk yakni tidak sampai kepada setiap individu rakyat, dipastikan akan menyebabkan kefaqiran individual (فَقْرُ الأَفْرَادِ) dan buruknya distribusi kekayaan terse-but akibat adanya gangguan (distorsi) dalam mekanisme distribusi itu sendiri. Faktor pengganggu nor-malnya distribusi kekayaan ada dua jenis :
1.       kelalaian Khalifah dalam menjalankan kewajibannya untuk mengawasi dan menjaga distribusi ke-kayaan dalam masyarakat tetap berjalan normal, sehingga distorsi terhadap distribusi kekayaan ti-dak dapat sedini dan sesegera mungkin untuk dicegah apalagi yang masih berupa gejala ke arah sa-na. Ketika distorsi tersebut telah terjadi, ternyata Khalifah pun tidak segera menghentikannya dan lalu menjatuhkan uqubat yang sangat berat (hingga sanksi mati) kepada para pelakunya. Akibat da-ri kelalaiannya tersebut adalah terjadinya pelembagaan aksi distorsi berikut para pelakunya secara alami sehingga secara otomatis terbentuklah mekanisme konglomerasi dalam perjalanan perekono-mian. Padahal Allah SWT telah membebankan kewajiban tersebut hanya kepada Khalifah :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ (الحشر : 7)
supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya dari kalian
2.       kecurangan dari orang tertentu dalam masyarakat yang secara sadar dan terencana mereka sengaja melakukan aksi distortif terhadap distribusi kekayaan, yakni berupa aksi penimbunan emas dan pe-rak (كَنْزُ الْمَالِ) dan penimbunan komoditas perdagangan (اَلإِحْتِكَارُ). Aksi mereka semakin bebas, liar, sporadis, massif dan merajalela ketika Khalifah lalai dalam menjalankan kewajibannya untuk me-ngawasi, mencegah, menghentikan setiap tindakan siapa pun yang mengarah kepada atau bahkan secara nyata telah menjadi gangguan dalam distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Inilah mengapa Allah SWT mengharamkan aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (التوبة : 34)
Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan mereka tidak membelanjakannya fi sabilil-lah, maka gembirakanlah mereka itu dengan adzab yang sangat pedih
Realitas فِي سَبِيلِ اللَّهِ adalah jihad yang berlangsung dalam kehidupan Islami dengan wadah Khilafah Islamiyah, karena ayat ini turun ketika telah terbentuknya اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ di Madinah Al-Munawwa-rah dan itu dipastikan dengan telah ditetapkannya harta fai-iy :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ (7)
Sehingga maksud dari bagian ayat وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ adalah dengan sengaja mencegah atau menghalangi emas (دِيْنَارٌ) dan perak (دِرْهَمٌ) beredar dalam mekanisme perekonomian atau terlibat da-lam transaksi perdagangan. Hal itu karena membiayai jihad adalah dengan cara membeli segala hal yang diperlukan dalam jihad itu sendiri seperti logistik (makanan, minuman, tenda dan sebagai-nya), amunisi, alutsista dan lainnya.
Adapun aksi penimbunan selain dinar dan dirham yakni komoditas barang perdagangan tentu saja diharamkan karena secara pasti akan mengakibatkan terjadinya kelangkaan (اَلنَّدْرَةُ) di pasar yang se-cara otomatis akan menimbulkan gejolak harga barang tersebut. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ (رواه مسلم)
Siapa saja yang melakukan ihtikar maka dia telah bersalah
Ketika terjadinya gejolak harga barang akibat aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ, maka Khalifah diha-ramkan oleh Islam melakukan penetapan harga (اَلتَّسْعِيْرُ) sehingga yang wajib dilakukan olehnya adalah mencegah terjadinya kedua aksi yang merupakan distorsi terhadap normalnya distribusi ke-kayaan dalam masyarakat. Inilah yang ditunjukkan oleh hadits berikut :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ غَلَا السِّعْرُ بِالْمَدِينَةِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ غَلَا السِّعْرُ سَعِّرْ لَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ (رواه احمد)
Dari Anas bin Malik berkata suatu saat terjadi gejolak harga di Madinah pada masa Rasulullah saw, lalu manusia berkata : wahai Rasulullah, telah terjadi gejolak harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Maka Rasulullah saw berkata : sungguh Allah itu adalah الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ, sungguh aku pasti berharap bertemu dengan Allah ‘Azza wajalla dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku akibat adanya kezhaliman baik dalam urusan darah maupun harta
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ سَعَّرْتَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ الْمُسَعِّرُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَا يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلَمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ (رواه احمد)
Dari Anas bin Malik berkata telah terjadi gejolak harga pada masa Rasulullah saw, lalu mereka (manusia) berkata : wahai Rasulullah, andai anda menetapkan harga. Maka beliau berkata : sung-guh Allah itu adalah الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ الْمُسَعِّرُ dan sungguh aku pasti berharap bertemu de-ngan Allah dan tidak ada seorang pun yang menuntut diriku akibat kezhaliman yang aku lakukan kepadanya baik dalam urusan darah maupun harta
Dalam kedua hadits tersebut dipastikan bahwa Khalifah haram melakukan penetapan harga (اَلتَّسْعِيْرُ) dengan pertimbangan apa pun dan keharaman tersebut ditunjukkan oleh adanya pengkaitan peneta-pan harga (ditunjukkan dengan lafadz سَعِّرْ لَنَا atau لَوْ سَعَّرْتَ) dengan kezhaliman (بِمَظْلَمَةٍ). Oleh karena itu yang wajib dilakukan oleh Khalifah adalah mencegah setiap hal atau faktor atau perkara atau pra kondisi yang akan mengarah kepada terjadinya gejolak harga tersebut yang antara lain adalah aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ. Lalu jika telah terjadi gejolak harga, maka Khalifah wajib segera mencari penyebabnya yakni apakah akibat adanya aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ ataukah akibat fak-tor lainnya misalnya gagal panen, bencana alam, wabah hama-penyakit dan sebagainya. Jika pe-nyebabnya adalah aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ maka Khalifah wajib segera menghentikannya dan menjatuhkan sanksi paling berat (sanksi mati) kepada pelakunya. Jika penyebabnya adalah gagal panen, bencana alam, wabah hama-penyakit dan sebagainya di luar aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ maka Khalifah wajib melakukan operasi pasar untuk supaya ketersediaan barang tersebut menjadi sangat banyak lagi sedemikian rupa sehingga gejolak harga berhenti dengan sendirinya (mekanis-me pasar bukan dengan penetapan harga).
Wal hasil, Islam telah menetapkan seluruh ketentuan yang harus diberlakukan oleh Khalifah da-lam sistem perekonomian Khilafah Islamiyah dan keseluruhannya dipastikan akan dengan sendirinya dapat mencegah terbentuknya konglomerasi. Hal itu karena jika pun terjadi aksi-aksi yang mengarah kepada realitas konglomerasi, maka baik seluruh rakyat Khilafah maupun Khalifah dapat dengan sedini dan sesegera mungkin mengetahuinya lalu menghentikannya dan selanjutnya menjatuhkan sanksi pa-ling berat kepada para pelakunya.

No comments:

Post a Comment