Paradoksal kehidupan kapitalistik
Majalah Forbes edisi Kamis 3 Desember
2009 kembali menyampaikan daftar 40 orang terkaya di Indonesia dan peringkat
satu hingga sepuluh ditempati oleh :
No
|
Nama
|
Status
|
Kekayaan
|
Peringkat
|
1
|
Robert Budi & Michael Hartono
|
Pemilik Grup Djarum
|
7.000 juta dolar AS
atau Rp 66,5 triliun
|
Satu
|
2
|
Martua Sitorus
|
Pengusaha kelapa sawit
|
3.000 juta dolar AS
atau Rp 28,5 triliun
|
Dua
|
3
|
Susilo Wonowidjojo
|
Pemilik Gudang Garam
|
2.600 juta dolar AS
atau Rp 24,7 triliun
|
Tiga
|
4
|
Aburizal Bakrie
|
Pemilik Grup Bakrie
|
2.500 juta dolar AS
atau Rp 23,7 triliun
|
Empat
|
5
|
Eka Tjipta Widjaja
|
Pemilik Grup Sinarmas
|
2.400 juta dolar AS
atau Rp 22,8 triliun
|
Lima
|
6
|
Peter Sondakh
|
-
|
2.100 juta dolar AS
atau Rp 19,9 triliun
|
Enam
|
7
|
Putera Sampoerna
|
-
|
2.000 juta dolar AS
atau Rp 19,0 triliun
|
Tujuh
|
8
|
Sukanto Tanoto
|
-
|
1.900 juta dolar AS
atau Rp 18,0 triliun
|
Delapan
|
9
|
Anthoni Salim
|
-
|
1.400 juta dolar AS
atau Rp 13,3 triliun
|
Sembilan
|
10
|
Soegiharto Sosrodjojo
|
-
|
1.200 juta dolar AS
atau Rp 11,4 triliun
|
Sepuluh
|
Kemudian bila kekayaan sepuluh orang terkaya
tersebut dibandingkan secara proporsional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia tahun 2008 dengan besaran 497 miliar dolar AS, maka diper-oleh
gambaran realitas sebagai berikut :
No
|
Nama
|
Kekayaan
(miliar $ AS)
|
%
terhadap PDB
|
1
|
Robert Budi & Michael Hartono
|
7,0
|
1,41
|
2
|
Martua Sitorus
|
3,0
|
0,60
|
3
|
Susilo Wonowidjojo
|
2,6
|
0,52
|
4
|
Aburizal Bakrie
|
2,5
|
0,50
|
5
|
Eka Tjipta Widjaja
|
2,4
|
0,48
|
6
|
Peter Sondakh
|
2,1
|
0,42
|
7
|
Putera Sampoerna
|
2,0
|
0,40
|
8
|
Sukanto Tanoto
|
1,9
|
0,38
|
9
|
Anthoni Salim
|
1,4
|
0,28
|
10
|
Soegiharto Sosrodjojo
|
1,2
|
0,24
|
Total
|
26,1
|
5,23
|
Nampak jelas
bahwa sepuluh orang konglomerat Indonesia menguasai 26,1 miliar dolar AS
kekayaan (5,23 persen PDB), sedangkan rakyat Indonesia lainnya yang berjumlah
239.240.336 (data per 10-02-2009) – 10 yakni 239.240.326 orang berjibaku
memperebutkan PDB 497 – 26,1 = 470,9 miliar dolar AS. Dengan kata lain sebanyak
0,000004 persen (10 orang) penduduk Negara Kesatuan Republik Indo-nesia (NKRI)
menguasai 5,23 persen PDB, sedangkan sisanya yakni 99,999996 persen alias
sebanyak 239.240.326 harus berjuang sangat keras untuk memperoleh bagian dari
94,77 PDB. Artinya, setiap konglomerat rata-rata menguasai PDB sebanyak 26,1 : 10
= 2,61 miliar dolar AS, sedangkan setiap penduduk lainnya rata-rata menguasai
PDB sebanyak 470,9 : 239.240.326 = 1,9683 miliar dolar AS. Jadi, setiap satu
orang konglomerat menguasai akses kepada PDB sebanyak 1,33 kali lebih besar
diban-dingkan setiap orang penduduk lainnya. Angka ini sepintas seolah tidak
memberikan gambaran yang terlalu menyedihkan dan mengerikan, sebab masih di
bawah angka 2. Namun realitas justru memasti-kan bahwa walau setiap orang
konglomerat hanya 1,33 kali lebih besar aksesnya kepada PDB diban-dingkan
penduduk lainnya tapi fakta tersebut benar-benar menyedihkan, mengenaskan dan
mengerikan karena setiap konglomerat berada dalam status menguasai
PDB secara riil (nyata ada dalam gengga-man tangan mereka), sedangkan penduduk
lainnya berada dalam status asumsi yang hingga saat ini be-lum
pernah bertemu dengan kenyataannya (mereka sama sekali belum pernah meraih satu
sen dolar se-kali pun dari PDB tersebut).
Demikianlah realitas paradoksal kehidupan kapitalistik umat Islam
Indonesia, yakni jumlah me-reka yang mayoritas (88,1 persen) ternyata sama
sekali tidak memiliki akses sedikit pun terhadap keka-yaan negeri Indonesia
yang digambarkan dengan instrumen PDB, apalagi kepada kekayaan riil negeri ini
yang jauh lebih besar dan lebih melimpah ruah lagi dari yang ditunjukkan oleh
besaran semi khayal-an tersebut.
Tentu saja, kenyataan tersebut bukan akibat konglomerat “sangat
giat, serius dan rajin” dalam meraih lalu mengoleksi kekayaan sedangkan umat
Islam adalah sebaliknya, sama sekali bukan itu pe-nyebabnya. Realitas
paradoksal tersebut terjadi akibat satu sebab saja yakni sistem kapitalisme
yang di-berlakukan di negeri Indonesia (juga Dunia Islam lainnya) memang secara
pasti dan niscaya mengha-ruskan selalu adanya konglomerat. Mengapa demikian?
Hal itu karena, konglomerat alias para kapitalis alias اَلرَّأْسُمَالِيُّوْنَ
pada hakikatnya adalah pengen-dali dan pelaku utama dalam menjalankan roda
perekonomian di suatu negara kapitalistik, sedangkan pemerintah (yang diwakili
oleh Menteri Keuangan/The Secretary of Treasury dan Gubernur Bank
Cen-tral) hanya berposisi selaku regulator. Hubungan konstelatif regulator
dengan konglomerat adalah me-ngikuti pola simbiosa mutualistik, yakni :
1.
regulator akan selalu berupaya keras untuk menjadikan pertimbangan
terciptanya iklim usaha yang kondusif sekaligus menguntungkan bagi para pelaku
bisnis (konglomerat) dalam menetapkan atur-an (regulasi) apa pun, baik yang
langsung maupun tidak berhubungan dengan dunia usaha. Sebagai contoh
Undang-undang tentang investasi (Penanaman Modal Dalam Negeri/PMDN maupun
Pena-naman Modal Asing/PMA), Undang-undang Perpajakan, Undang-undang
Perburuhan, Undang-un-dang Perbankan, Perppu JPSK (Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, yang gagal menjadi
Undang-undang karena ditolak oleh DPR), Undang-undang Ekspor Impor dan
sebagainya.
2.
konglomerat secara otomatis akan “menyetorkan” kewajiban balas
jasa mereka kepada regulator dalam bentuk pembayaran berbagai macam pajak,
retribusi, bea, cukai dan sebagainya, lalu selu-ruhnya akan disimpan oleh
regulator dalam pos penerimaan sektor pajak di APBN. Selain itu, para
konglomerat pun secara riil memberikan sumbangan yang sangat besar kepada laju
pertumbuhan ekonomi negara, penyediaan lapangan pekerjaan, peningkatan
pendapatan per kapita penduduk dan lainnya yang berada dalam mekanisme efek
domino.
Oleh karena itulah, ketika terjadi peristiwa kredit
macet (NPL : non performing loan) secara massif pa-da segmen perumahan
kelas bawah (subprime mortgage) di negara Amerika Serikat (AS) pada
tahun 2007 sebesar 1,3 triliun dolar AS, maka administrasi pemerintah saat itu
yang dipimpin oleh Presiden George Walker Bush mengajukan Rancangan
Undang-undang (RUU) dana talangan (bailout) sebesar 700 miliar dolar AS
kepada Kongres Amerika (yang akhirnya juga disahkan) untuk keperluan membeli
sebagian besar aset-aset kredit macet yang ada sekaligus untuk menenangkan
gejolak di bursa saham maupun pasar uang.
Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang menelan dana
sebesar 600-an triliun rupi-ah, atau kasus terbaru yakni dana talangan sebesar
Rp 6,762 triliun yang dikucurkan oleh pemerintah NKRI melalui LPS (Lembaga
Penjamin Simpanan) kepada Bank Century (mulai beroperasi pada tang-gal 22
Oktober 2004 sebagai hasil merger dari Bank CIC Internasional, Bank Danpac dan
Bank Pikko), atau rencana pemberlakuan Perppu JPSK (akhirnya batal karena
ditolak DPR, namun sempat menjadi landasan hukum pengucuran dana talangan Rp
6,762 triliun kepada Bank Century), atau lainnya (masih sangat banyak) adalah
bukti dari keseriusan pemerintah alias regulator untuk sepenuhnya berpihak
ke-pada konglomerat.
Itulah seluruh fasilitas legal formal yang
selalu dinikmati baik saat “lancar-lancar saja” maupun “ketika ada masalah”
oleh para konglomerat yang disediakan sepenuhnya oleh pemerintah (regulator).
Keberpihakan seutuhnya dari pemerintah kepada konglomerat tersebut benar-benar
sangat menyakit-kan rakyat jelata, sebab pada saat yang bersamaan pemerintah
sama sekali tidak peduli kepada realitas mereka orang per orang sehari-hari
yang hingga saat ini belum pernah mampu memenuhi kebutuhan pokok kehidupan di
dunia. Jika pun pemerintah “berlagak” seolah peduli kepada mereka, maka itu pun
selalu dikaitkan dengan kepentingan untuk mengokohkan dan melestarikan
kekuasaannya, baik dalam arena “kenduri” lima tahunan maupun harian pasca
pelantikan sebagai penguasa. Lebih mengerikan dari itu adalah seluruh fasilitas
umum seperti listrik, air, telefon, bahan bakar dan lainnya yang disedia-kan
pemerintah ternyata wajib dibeli (berapa pun harganya dan dengan pertimbangan
apa pun) oleh rakyat. Bahkan sekedar “cuci gudang Bulog” dengan merek raskin
(beras untuk rakyat miskin) sekali pun masih juga harus dibeli oleh rakyat dan
itupun mereka harus memperolehnya dengan mengorban-kan banyak hal termasuk
kadang-kadang dengan meregang nyawa. Tentu saja ini sangat diametral de-ngan
bantuan sepenuh hati pemerintah kepada para konglomerat yang atas nama
undang-undang, atau demi untuk menyelematkan perekonomian negara, atau untuk menghindari
terjadinya dampak sistemik (kasus Bank Century), dapat dengan mudah dan tanpa
pengorbanan berarti mengalir deras kepada me-reka. Singkat kata, memang telah
nyata realitas kebinasaan kemanusiaan selama lebih dari satu abad
diberlakukannya Ideologi Kapitalisme sekularistik dalam kehidupan manusia di
dunia dan inilah yang dimaksudkan oleh Allah SWT dalam ayat Al-Quran :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي
عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم : 41)
Telah nampak kebinasaan di daratan dan lautan akibat
peraturan yang tangan manusia racik sendiri dan hal itu agar Dia (Allah) dapat
menimpakan kepada mereka sebagian dari yang telah mereka la-kukan supaya mereka
sadar untuk kembali (kepada aturan Allah)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ
أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ
أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
Dan andai al-haq (ketentuan Allah) mengikuti
kepentingan naluriah mereka, pastilah binasa langit dan bumi berikut siapa pun
yang ada di dalamnya, padahal telah Kami datangkan kepada mereka pe-ringatan
bagi mereka, lalu mereka pada berpaling dari peringatan mereka tersebut
Islam dan konglomerasi
Islam diturunkan ke dunia adalah supaya seluruh kehidupan manusia
di dalamnya berada dalam realitas rahmah, yakni sepenuhnya terbebas dan
lepas dari segala macam maupun bentuk peraturan yang berasal dari
serta dibuat oleh tangan manusia sendiri berbasis kepentingan
naluriah mereka. Allah SWT menyatakan :
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء : 107)
yang memastikan realitas risalah Islam itu adalah رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ sekaligus sebagai lawan dari
peraturan yang membinasakan kemanusiaan yakni نِظَامُ
الْمَفْسَدَةِ اَيِ الْفِتْنَةُ اَيْ اَنْظِمَةُ الْكُفْرِ. Inilah yang
ditunjukkan seca-ra gamblang oleh pernyataan Allah SWT lainnya :
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (الأنفال : 39)
lafadz فِتْنَةٌ dalam ayat
tersebut dijadikan sebagai realitas yang selalu dibawa oleh kaum kufar dan ini
di-tunjukkan oleh اَلضَّمِيْرُ yang ada dalam
bagian ayat وَقَاتِلُوهُمْ yang merujuk
kepada kaum kufar seperti yang dipastikan oleh ayat sebelumnya :
قُلْ
لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ
يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ (الأنفال : 38)
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan lafadz فِتْنَةٌ oleh pernyataan Allah SWT tersebut adalah pe-raturan atau
sistema kufur alias kekufuran (نِظَامُ
الْمَفْسَدَةِ اَيْ اَنْظِمَةُ الْكُفْر). Realitas lafadz tersebut adalah
sistema kufur alias kekufuran semakin dipastikan dengan adanya bagian lain dari
ayat itu sendiri yakni وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ
لِلَّهِ
(dan supaya din itu seluruhnya milik Allah). Oleh karena itu, aqal dapat
menerima de-ngan mantap dan puas (قَنَاعَةً
وَتَمْكِيْنًا) seruan Allah SWT kepada siapa pun yang telah menyatakan secara
sadar keimanan mereka :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Aqal
pun memustahilkan adanya sikap kaum mukmin sejati yang masih mempertimbangkan
apalagi menggunakan peraturan selain Islam, walau sangat sedikit sebab sikap
itu bertentangan dengan sifat Is-lam yang جَامِعًا (ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً) dan مَانِعًا (وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ).
Sistem Perekonomian Islami yang diberlakukan oleh Khilafah
Islamiyah bertumpu pada tiga pilar (اَلْقَوَاعِدُ) yakni : (1) kepemilikan, (2) penggunaan
kepemilikan dan (3) distribusi kekayaan di antara in-dividu anggota masyarakat.
Kepemilikan (اَلْمِلْكِيَّةُ) dalam Islam mengatur tentang macam
kepemilikan (اَنْوَاعُ الْمِلْكِيَّةِ) dan sebab-sebab kepemilikan harta (اَسْبَابُ تَمَلُّكِ الْمَالِ).
Macam kepemilikan ada tiga yakni :
1.
kepemilikan individu (اَلْمِلْكِيَّةُ
الْفَرْدِيَةُ) :
هِيَ
حُكْمٌ شَرْعِيٌّ مُقَدَّرٌ بِالْعَيْنِ اَوِ الْمَنْفَعَةِ يَقْتَضِيْ تَمْكِيْنَ
مَنْ يُضَافُ اِلَيْهِ مِنَ انْتِفَاعِهِ بِالشَّيْءِ وَاَخْذِ الْعِوَضِ عَنْهُ
اَيْ اِذْنُ الشَّارِعِ لِلْفَرْدِ بِالإِنْتِفَاعِ بِالْعَيْنِ اَوِ
الْمَنْفَعَةِ
Adalah hukum syara’ yang ditetapkan kepada benda atau
manfaat yang menuntut adanya kepasti-an bagi siapa saja yang disandarkan kepadanya
pemanfaatan sesuatu dan mengambil imbalan da-ri sesuatu tersebut, atau izin
dari Allah kepada individu untuk memanfaatkan benda maupun man-faat
2.
kepemilikan umum (اَلْمِلْكِيَّةُ
الْعَامَّةُ) :
هِيَ اِذْنُ الشَّارِعِ
لِلْجَمَاعَةِ بِالإِشْتِرَاكِ فِيْ الإِنْتِفَاعِ بِالْعَيْنِ
Adalah izin Allah kepada jamaah untuk secara bersama-sama
dalam pemanfaatan benda
3.
kepemilikan negara (مِلْكِيَّةُ
الدَّوْلَةِ) :
هِيَ اِذْنُ الشَّارِعِ
لِلْخَلِيْفَةِ بِأَنْ يُّصَرِّفَ الْمَالَ بِرَأْيِهِ وَاجْتِهَادِهِ
Adalah izin Allah kepada Khalifah untuk mempergunakan harta
berdasarkan pendapat dan ijtihad-nya
Syariah
Islamiyah yang mengatur اَسْبَابُ تَمَلُّكِ
الْمَالِ adalah khusus berkenaan dengan kepemilikan indivi-du yaitu :
1.
bekerja (اَلْعَمَلُ) yang mencakup :
a.
menghidupkan tanah
mati (اِحْيَاءُ الْمَوَاتِ)
b.
berburu (اَلصَّيْدُ)
c.
makelar dan komisi (اَلسَّمْسَرَةُ وَالدَلاَلَةُ)
d.
bagi hasil (اَلْمُضَارَبَةُ)
e.
menyirami tanaman di
kebun orang lain (اَلْمَسَاقَاةُ)
f.
bekerja kepada orang
lain dengan upah (اَلْعَمَلُ لِلآخَرِيْنَ بِأَجْرٍ)
g.
rikaz (اَلرِّكَازُ)
2.
warisan (اَلإِرْثُ)
3.
kebutuhan terhadap
harta demi mempertahankan kehidupan (اَلْحَاجَةُ
اِلَى الْمَالِ ِلأَجْلِ الْحَيَاةِ)
4.
pemberian dari negara
dari harta milik negara kepada rakyat (اِعْطَاءُ
الدَّوْلَةِ مِنْ اَمْوَالِهَا لِلرَّعِيَّةِ)
5.
seluruh harta yang
diperoleh seseorang tanpa pengorbanan harta maupun tenaga :
اَلأَمْوَالُ
الَّتِيْ يَأْخُذُهَا الأَفْرَادُ دُوْنَ مُقَابِلِ مَالٍ اَوْ جُهْدٍ
Adapun jual beli (اَلْبَيْعُ) maupun perdagangan (اَلتِّجَارَةُ)
bukan bagian dari اَسْبَابُ تَمَلُّكِ الْمَالِ melainkan ma-suk dalam aturan Islam tentang
pengembangan kepemilikan harta (تَنْمِيَّةُ
الْمِلْكِيَّةِ).
Penggunaan kepemilikan (اَلتَّصَرُّفُ بِالْمِلْكِيَّةِ)
yakni syariah Islamiyah yang mengatur seluruh bentuk pemanfaatan kepemilikan (اَلإِنْتِفَاعُ بِالْمِلْكِيَّةِ),
dengan ketentuan :
اَلتَّصَرُّفُ
بِالْمِلْكِيَّةِ مُقَيَّدٌ بِإِذْنِ الشَّارِعِ سَوَاءٌ اَكَانَ تَصَرُّفًا
بِالإِنْفَاقِ اَمْ تَصَرُّفًا بِتَنْمِيَّةِ الْمِلْكِ فَيُمْنَعُ السَّرْفُ
وَالتَّرْفُ وَالتَّقْتِيْرُ وَتُمْنَعُ الشِّرْكَاتُ الرَّأْسُمَالِيَّةُ
وَالْجَمْعِيَّاتُ التَّعَاوُنِيَّةُ وَسَائِرُ الْمُعَامَلاَتِ الْمُخَالَفَةِ
لِلشَّرْعِ وَيُمْنَعُ الرِّبَا وَالْغَبْنُ الْفَاحِشُ وَالإِحْتِكَارُ
وَالْقِمَارُ وَمَا شَابَهَ ذَلِكَ
Penggunaan kepemilikan terikat dengan izin Allah, baik itu
penggunaan dalam bentuk membelanjakan maupun penggunaan dalam bentuk
pengembangan kepemilikan. Maka dilarang berlebihan, boros, ki-kir juga dilarang
perseroan kapitalistik, koperasi dan seluruh bentuk muamalah yang bertentangan
de-ngan syara. Juga dilarang riba, ghabn fahisy (menipu), ihtikar, judi dan
yang serupa dengan itu
Ketentuan
tersebut memastikan bahwa Islam adalah sebuah tatanan alias sistema yang di
dalamnya ter-dapat segala bentuk peraturan untuk seluruh perbuatan maupun
tingkah laku manusia di dunia terma-suk perbuatan manusia dalam memanfaatkan
kepemilikan. Inilah yang diformulasikan oleh para fuqaha dalam kaidah : اَلأَصْلُ فِيْ الأَفْعَالِ التَّقَيُّدُ بِالأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ (keadaan orisinal dalam perbuatan adalah terikat dengan
hukum syara).
Distribusi kekayaan (تَوْزِيْعُ الثَّرْوَةِ)
yakni harta dan manfaat (اَلأَمْوَالُ
وَالْمَنَافِعُ) selain menjadi pilar
keti-ga sistem perekonomian Islami juga menjadi realitas problematika
perekonomian itu sendiri. Ketentu-annya adalah :
اَلْمُشْكِلَةُ
الإِقْتِصَادِيَّةُ هِيَ تَوْزِيْعُ الأَمْوَالِ وَالْمَنَافِعِ اَيْ تَوْزِيْعُ
الثَّرْوَةِ عَلَى جَمِيْعِ اَفْرَادِ الرَّعِيَّةِ وتَمْكِيْنُهُمْ مِنَ
الإِنْتِفَاعِ بِهَا بِتَمْكِيْنِهِمْ مِنْ حِيَازَتِهَا وَمِنَ السَّعْيِ لَهَا
Problematika
perekonomian adalah distribusi harta dan manfaat atau distribusi kekayaan
kepada se-luruh individu rakyat dan kepastian mereka untuk dapat
memanfaatkannya dengan adanya kepastian untuk memperolehnya dan berusaha keras
meraihnya
Distribusi kekayaan yang tidak normal alias
buruk yakni tidak sampai kepada setiap individu rakyat, dipastikan akan
menyebabkan kefaqiran individual (فَقْرُ
الأَفْرَادِ) dan buruknya
distribusi kekayaan terse-but akibat adanya gangguan (distorsi) dalam mekanisme
distribusi itu sendiri. Faktor pengganggu nor-malnya distribusi kekayaan ada
dua jenis :
1.
kelalaian Khalifah dalam menjalankan kewajibannya untuk mengawasi
dan menjaga distribusi ke-kayaan dalam masyarakat tetap berjalan normal,
sehingga distorsi terhadap distribusi kekayaan ti-dak dapat sedini dan sesegera
mungkin untuk dicegah apalagi yang masih berupa gejala ke arah sa-na. Ketika
distorsi tersebut telah terjadi, ternyata Khalifah pun tidak segera
menghentikannya dan lalu menjatuhkan uqubat yang sangat berat (hingga sanksi
mati) kepada para pelakunya. Akibat da-ri kelalaiannya tersebut adalah
terjadinya pelembagaan aksi distorsi berikut para pelakunya secara alami
sehingga secara otomatis terbentuklah mekanisme konglomerasi dalam perjalanan
perekono-mian. Padahal Allah SWT telah membebankan kewajiban tersebut hanya
kepada Khalifah :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ
الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ (الحشر : 7)
supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang
kaya dari kalian
2.
kecurangan dari orang tertentu dalam masyarakat yang secara sadar
dan terencana mereka sengaja melakukan aksi distortif terhadap distribusi
kekayaan, yakni berupa aksi penimbunan emas dan pe-rak (كَنْزُ الْمَالِ)
dan penimbunan komoditas perdagangan (اَلإِحْتِكَارُ). Aksi mereka semakin bebas, liar, sporadis,
massif dan merajalela ketika Khalifah lalai dalam menjalankan kewajibannya
untuk me-ngawasi, mencegah, menghentikan setiap tindakan siapa pun yang
mengarah kepada atau bahkan secara nyata telah menjadi gangguan dalam
distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Inilah mengapa Allah SWT
mengharamkan aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ :
وَالَّذِينَ
يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (التوبة : 34)
Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan mereka
tidak membelanjakannya fi sabilil-lah, maka gembirakanlah mereka itu dengan
adzab yang sangat pedih
Realitas فِي سَبِيلِ اللَّهِ adalah jihad
yang berlangsung dalam kehidupan Islami dengan wadah Khilafah Islamiyah, karena
ayat ini turun ketika telah terbentuknya اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ di Madinah Al-Munawwa-rah dan itu dipastikan dengan telah
ditetapkannya harta fai-iy :
مَا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا
يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ (7)
Sehingga maksud dari bagian ayat وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
adalah dengan sengaja mencegah atau menghalangi emas (دِيْنَارٌ) dan perak (دِرْهَمٌ) beredar dalam
mekanisme perekonomian atau terlibat da-lam transaksi perdagangan. Hal itu
karena membiayai jihad adalah dengan cara membeli segala hal yang diperlukan
dalam jihad itu sendiri seperti logistik (makanan, minuman, tenda dan
sebagai-nya), amunisi, alutsista dan lainnya.
Adapun aksi penimbunan selain dinar dan
dirham yakni komoditas barang perdagangan tentu saja diharamkan karena secara
pasti akan mengakibatkan terjadinya kelangkaan (اَلنَّدْرَةُ) di pasar yang se-cara otomatis akan
menimbulkan gejolak harga barang tersebut. Rasulullah saw menyatakan :
مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
(رواه مسلم)
Siapa saja yang melakukan ihtikar maka dia telah bersalah
Ketika terjadinya gejolak harga barang akibat aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ, maka Khalifah
diha-ramkan oleh Islam melakukan penetapan harga (اَلتَّسْعِيْرُ) sehingga yang
wajib dilakukan olehnya adalah mencegah terjadinya kedua aksi yang merupakan
distorsi terhadap normalnya distribusi ke-kayaan dalam masyarakat. Inilah yang
ditunjukkan oleh hadits berikut :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
غَلَا السِّعْرُ بِالْمَدِينَةِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
غَلَا السِّعْرُ سَعِّرْ لَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ
إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
يَطْلُبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ (رواه احمد)
Dari Anas bin Malik berkata suatu saat terjadi gejolak
harga di Madinah pada masa Rasulullah saw, lalu manusia berkata : wahai
Rasulullah, telah terjadi gejolak harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Maka
Rasulullah saw berkata : sungguh Allah itu adalah الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ, sungguh aku
pasti berharap bertemu dengan Allah ‘Azza wajalla dan tidak ada seorang pun
dari kalian yang menuntutku akibat adanya kezhaliman baik dalam urusan darah
maupun harta
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ سَعَّرْتَ
فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ
الْمُسَعِّرُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَا يَطْلُبُنِي أَحَدٌ
بِمَظْلَمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ (رواه احمد)
Dari Anas bin Malik berkata telah terjadi gejolak harga
pada masa Rasulullah saw, lalu mereka (manusia) berkata : wahai Rasulullah,
andai anda menetapkan harga. Maka beliau berkata : sung-guh Allah itu adalah الْخَالِقُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ الْمُسَعِّرُ dan sungguh
aku pasti berharap bertemu de-ngan Allah dan tidak ada seorang pun yang
menuntut diriku akibat kezhaliman yang aku lakukan kepadanya baik dalam urusan
darah maupun harta
Dalam kedua hadits tersebut dipastikan bahwa Khalifah haram melakukan
penetapan harga (اَلتَّسْعِيْرُ) dengan
pertimbangan apa pun dan keharaman tersebut ditunjukkan oleh adanya pengkaitan
peneta-pan harga (ditunjukkan dengan lafadz سَعِّرْ
لَنَا
atau لَوْ سَعَّرْتَ) dengan kezhaliman (بِمَظْلَمَةٍ). Oleh karena itu yang wajib
dilakukan oleh Khalifah adalah mencegah setiap hal atau faktor atau perkara
atau pra kondisi yang akan mengarah kepada terjadinya gejolak harga tersebut
yang antara lain adalah aksi كَنْزُ
الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ. Lalu jika telah
terjadi gejolak harga, maka Khalifah wajib segera mencari penyebabnya yakni
apakah akibat adanya aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ ataukah akibat fak-tor lainnya
misalnya gagal panen, bencana alam, wabah hama-penyakit dan sebagainya. Jika
pe-nyebabnya adalah aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ maka Khalifah wajib segera
menghentikannya dan menjatuhkan sanksi paling berat (sanksi mati) kepada pelakunya.
Jika penyebabnya adalah gagal panen, bencana alam, wabah hama-penyakit dan
sebagainya di luar aksi كَنْزُ الْمَالِ maupun اَلإِحْتِكَارُ maka Khalifah wajib melakukan operasi
pasar untuk supaya ketersediaan barang tersebut menjadi sangat banyak lagi
sedemikian rupa sehingga gejolak harga berhenti dengan sendirinya (mekanis-me
pasar bukan dengan penetapan harga).
Wal hasil, Islam telah menetapkan seluruh ketentuan yang harus
diberlakukan oleh Khalifah da-lam sistem perekonomian Khilafah Islamiyah dan
keseluruhannya dipastikan akan dengan sendirinya dapat mencegah terbentuknya
konglomerasi. Hal itu karena jika pun terjadi aksi-aksi yang mengarah kepada
realitas konglomerasi, maka baik seluruh rakyat Khilafah maupun Khalifah dapat
dengan sedini dan sesegera mungkin mengetahuinya lalu menghentikannya dan
selanjutnya menjatuhkan sanksi pa-ling berat kepada para pelakunya.
No comments:
Post a Comment