Sunday, November 3, 2013

KONSISTENSI MENOLAK NEGARA ISLAM


NU dan Muhammadiyah : adakah perbedaannya?
Mantan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR RI : A. Effendi Choirie menyata-kan : sejak lama Nahdhatul Ulama (NU) memang tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Alasannya, ormas Islam terbesar di Indonesia itu memiliki kecintaan kepada bangsa dan negara, serta menghargai keberagaman. Paham NU itu ahlussunnah waljamaah, yang memang menginginkan keda-maian. Makanya, NU tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Dalam perjalanan sejarah-nya, NU selalu terlibat dalam berbagai bidang, baik politik maupun hal-hal yang terkait dengan ke-bangsaan. Pada praktiknya di lapangan, NU selalu membawa paham keislamannya yang berorientasi pada wawasan kebangsaan dan membiarkan budaya-budaya setempat tumbuh subur dengan masyara-kat Islamnya. Dalam catatan sejarah, NU pernah menjadi partai politik dan menjadi kontestan pemilu pertama di Indonesia, pada 1955. Keterlibatan NU dalam politik praktis hingga mencapai puncaknya 1971, ketika NU meraih suara terbesar kedua di bawah Golongan Karya. Kiprah NU berpolitik kemu-dian mendapat koreksi total pada munas NU 1982 di Situbondo dan dipertegas dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo. Sejak itulah NU kembali ke khithah 1926 sebagai organisasi sosial keagamaan. Muktamar itu menjadi tonggak sejarah perubahan politik NU yang menghindari keterlibatan dalam politik praktis sebagai respon atas kebijakan politik Orde Baru. Salah satu poin pentingnya, NU di ba-wah kepemimpinan Abdurrahman Wahid menerima asas tunggal Pancasila sebagai ideologi NKRI. Penerimaan NU terhadap Pancasila merupakan implementasi inklusif Islam ahlussunnah waljamaah dengan memposisikan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa.
Dengan demikian bagi NU :
1.       Negara Islam (اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) sama dengan tidak cinta kepada bangsa dan negara kebangsaan serta tidak menghargai keberagaman (pluralisme).
2.       Negara Islam menentang kedamaian sehingga bertentangan dengan paham yang dianut NU yakni ahlussunnah waljamaah.
3.       NKRI sebagai negara kebangsaan dan Pancasila sebagai ideologinya, harus diterima oleh NU kare-na sikap tersebut merupakan implementasi inklusif Islam ahlussunnah waljamaah dengan mempo-sisikan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa.
Lalu, apakah klaim NU tersebut dapat dibenarkan baik menurut dalil aqliy maupun dalil naqliy? Penje-lasannnya sebagai berikut :
1.       Negara Islam atau lebih tepatnya Negara Islami : اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ atau The Islamic State, adalah nega-ra yang dibangun di atas asas aqidah Islamiyah yang sekaligus sebagai kepemimpinan ideologisnya (قِيَادَتُهَا الْفِكْرِيَّةُ). Negara Islami berawal dari dibai’atnya seseorang sebagai kepala negara (Khalifah) yang secara otomatis mengakibatkan semua orang (kaum muslim maupun kaum kafir harbi) yang menjadi warga negaranya memikul beban kewajiban untuk taat kepada Khalifah tersebut. Kewajib-an utama Khalifah dalam menjalankan Negara Islami (Khilafah Islamiyah) adalah memberlakukan seluruh ketentuan syariah Islamiyah terhadap semua warga negara Khilafah di dalam negeri dan menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia dengan metode dakwah dan jihad. Realitas inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah dalil antara lain :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Keadaan Bani Israil itu adalah selalu para Nabi yang memimpin dan mengurus mereka. Setiap seorang Nabi wafat, pastilah ada Nabi lainnya menyusul. Dan ingatlah tidak ada lagi Nabi setelah diriku dan yang akan ada adalah para Khulafa lalu mereka akan banyak. Mereka (para sahabat) bertanya : lalu apakah yang akan Engkau perintahkan kepada kami? Beliau menjawab : penuhilah oleh kalian bai’at yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah oleh kalian kepada mereka haq mereka, maka sungguh Allah akan bertanya kepada mereka tentang rakyat yang mereka pim-pin dan urus
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (رواه البخاري)
Tidak ada seorang wali pun yang memimpin rakyat kaum muslim lalu dia mati dalam keadaan ber-tindak jahat kepada mereka, kecuali Allah mengharamkan baginya الْجَنَّةَ.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ وَأَسْلِمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إِثْمُ الْأَرِيسِيِّينَ وَ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (رواه البخاري)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ  dari Muhammad hamba Allah dan Rasul Nya kepada Heraklius Penguasa Ro-mawi. Salam bagi siapa saja yang mengikuti hidayah. Selanjutnya, saya menyeru anda dengan se-ruan Islam. Masuklah anda ke dalam Islam, pastilah anda akan selamat dan sekali lagi masuklah anda ke dalam Islam pasti Allah akan memberikan kepada anda pahala anda dua kali lipat lalu ji-ka anda menolak maka dosa seluruh rakyat anda menjadi tanggung jawab anda. Dan wahai ahlul kitab, marilah menuju ucapan yang sama antara kami dan kalian yakni kita tidak akan mentaati kecuali Allah dan kita pun tidak akan bersikap syirik kepada Nya dengan sesuatu apa pun dan se-bagian kita tidak akan menjadikan sebagian lainnya sebagai Tuhan selain Allah. Lalu jika kalian berpaling menolak maka ucapkanlah oleh kalian (umat Islam) : saksikanlah oleh kalian wahai ah-lul kitab bahwa kami adalah kaum muslim
ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ (رواه ابو داود)
Tiga hal bagian dari pokok iman : menahan tangan dari siapa pun yang telah mengucapkan ucap-an لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ dan kita tidak akan mengkafirkan seseorang karena perbuatan dosa dan kita tidak akan mengeluarkan seseorang dari Islam akibat suatu perbuatan dan jihad itu terus berlangsung sejak Allah mengutusku hingga orang terakhir dari umat ku yang memerangi dajjal. Tidak akan ada yang membatalkan jihad baik itu pemimpin yang jair maupun yang adil dan iman itu sesuai dengan kemampuan aqal
Realitas manusia yang bersuku (اَلْقَبَائِلُ), berbangsa (اَلشُّعُوْبُ), berbeda warna kulit (اِخْتِلاَفُ الأَلْوَانِ) dan beragam bahasa (اِخْتِلاَفُ الأَلْسِنَتِ) adalah kenyataan taqdir Allah SWT sama halnya dengan eksistensi alam semesta (اَلْكَوْنُ), manusia (اَلإِنْسَانُ) dan kehidupan (اَلْحَيَاةُ) itu sendiri. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات :13)
Realitas manusia sebagai pria, wanita, berbangsa dan bersuku adalah taqdir Allah SWT yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan اَلْخَيْرُ atau اَلشَّرُّ atau اَلْحَسَنُ atau اَلْقَبِيْحُ. Tegasnya tidak ada hubu-ngan apa pun dengan pahala (اَلثَّوَابُ) dan siksa (اَلْعِقَابُ). Perkara penting yang harus menjadi pemiki-ran manusia adalah bagian إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ yang merupakan perintah wajib dari Allah SWT kepada manusia. Hakikat tersebut semakin gamblang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (الروم : 22)
Bagian ayat وَمِنْ ءَايَاتِهِ dan إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ memastikan bahwa fakta manusia sebagai pria, wa-nita, berbangsa, bersuku, berbeda warna kulit dan beragam bahasa adalah sama persis dengan fakta penciptaan langit dan bumi : خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ. Lagipula secara dalil aqliy, jika manusia ditaqdir-kan sama. Identik dan tipikal dalam segala hal : rupa, bahasa, warna kulit, tidak ada ragam suku maupun bangsa, maka fakta tersebut dipastikan bertentangan dengan maksud Allah SWT sendiri dalam menciptakan keragaman alias pluralitas yakni : لِتَعَارَفُوا. Inilah pula mengapa Allah SWT tidak menjadikan manusia sebagai أُمَّةً وَاحِدَةً walau sangat mudah bagi Nya :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (النحل : 93)
Dan andai Allah berkehendak, pastilah Dia menjadikan kalian sebagai umat yang satu (seluruhnya beriman dan taat), akan tetapi Dia menyesatkan siapa saja dan memberi hidayah kepada siapa sa-ja dan sungguh kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang kalian laku-kan.
Bagian ayat وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً memastikan bahwa Allah SWT tidak menetapkan taqdir ter-sebut, melainkan justru menetapkan taqdir lainnya yakni menjadikan manusia beraqal yang fungsi utamanya adalah untuk memikirkan dan memahami segala sesuatu yang ada di luar dirinya berupa fakta serta informasinya. Inilah mengapa bagian akhir ayat berbunyi وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ, yakni se-bab Allah SWT tidak mentaqdirkan manusia dipaksa untuk taat atau tidak taat melainkan sikap taat atau tidak taat mereka itu sepenuhnya didasarkan kepada keputusannya sendiri dengan meng-gunakan aqal : إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2). Sehingga ketika manusia memutuskan dengan aqalnya untuk taat atau tidak taat kepada Allah SWT, maka adalah wajar dan pantas mere-ka akan ditanyai alias dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya tersebut oleh Allah SWT : وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ. Bagian ayat وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ pun memastikan pemahaman yang jelas tentang yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT : وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ, yakni sikap sesat (kufur) atau sikap menerima hidayah yang ditunjukkan oleh manusia, sama sekali bukan ben-tuk pemaksaan dari Allah SWT melainkan pilihan mereka sendiri berdasarkan keputusan aqalnya.
Oleh karena itu, sikap yang benar terhadap realitas pluralitas termasuk ragam bangsa adalah fakta tersebut harus dibiarkan apa adanya dan tidak boleh dimusnahkan sebab upaya pemusnahan adalah sama saja dengan pemusnahan manusia itu sendiri dan tentu saja itu adalah haram menurut Islam. Lalu, bagaimana halnya dengan keragaman agama (yang juga diklaim sebagai pluralisme) dan rea-litas negara kebangsaan?
Keragaman agama pada faktanya sama sekali bukan bagian dari pluralisme dan tidak boleh dima-sukkan ke dalam realitas tersebut. Hal itu karena realitas pluralitas adalah segala sesuatu yang ber-sifat : (a) dipaksakan kepada manusia, (b) manusia tidak memiliki pilihan selain menerimanya dan (c) manusia dengan kemampuan aqalnya sama sekali tidak berperan dan tidak bisa berperan dalam mengadakan atau meniadakannya secara orisinal yakni mengadakan dari tidak ada atau meniada-kan dari ada secara permanen. Hakikat tersebut tidak dapat dipetakan atau diterapkan kepada fakta agama apa pun, apalagi Islam. Hindu, Buddha, Kong Huchu, animisme, dinamisme dan yang seje-nisnya, seluruhnya adalah dipastikan muncul dari pilihan keputusan manusia dan bahkan itu adalah 100 persen peran manusia sendiri.
Adapun agama langit termasuk Islam, seluruhnya secara “paket” memang bukan berasal dari peran manusia, melainkan dari Allah SWT. Namun demikian, semua agama langit tersebut diturunkan kepada manusia oleh Allah SWT berdasarkan keniscayaan dalil aqliy, yakni adalah mustahil bagi manusia untuk dapat membuat peraturan (اَلشَّرِيْعَةُ) yang bisa diberlakukan kepada seluruh manusia. Hal itu selain karena jatidiri manusia adalah lemah, berkekurangan dan membutuhkan yang lain, melainkan juga karena manusia dikendalikan oleh kepentingan naluriah mereka (اَهْوَاءُهُمْ) masing-masing. Sehingga jika satu orang atau sekelompok manusia membuat peraturan lalu diberlakukan (pasti harus secara paksa) kepada manusia lain di luar diri mereka, maka dipastikan akan berbentur-an dengan kepentingan naluriah manusia yang berposisi sebagai objek tersebut. Kenyataan itu akan terus menerus terjadi demikian dan hasil akhirnya adalah kebinasaan manusia berikut kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, aqal manusia menuntut harus adanya peraturan yang berasal dari bukan manusia serta tidak memiliki kepentingan apa pun terhadap manusia maupun kehidupannya. Kua-lifikasi aqliy tersebut hanya dapat dipenuhi 100 persen oleh Allah SWT, sehingga agama langit itu termasuk Islam walau bukan hasil peran aqal manusia namun justru aqal mereka yang menuntut ha-rus adanya agama langit itu. Jadi, agama (apa pun termasuk Islam) adalah bukan dan tidak boleh dimasukkan ke dalam realitas pluralitas. Artinya, aqal dengan pasti dapat menetapkan mana agama yang benar dan mana agama yang salah, lalu agama yang terbukti benar harus dipertahankan dan diberlakukan dalam kehidupan mereka sedangkan agama yang salah harus ditinggalkan dan dihi-langkan dari kehidupan mereka. Kualifikasi aqliy tentang benarnya suatu agama, ternyata hanya dapat dipenuhi oleh Islam sehingga hanya Islam yang harus dipertahankan dan diberlakukan dalam kehidupan manusia di dunia, sedangkan agama yang lainnya adalah salah dan harus ditinggalkan serta dihilangkan dari kehidupan mereka.
Eksistensi negara kebangsaan (nation states atau اَلدَّوْلَةُ الْقَوْمِيَّةُ) tentu saja secara fakta empirik adalah bukan terkategori realitas pluralitas, sebab itu tidak berasal dari Tuhan yang dipaksakan harus ada dalam arena kehidupan. Lagipula antara aspek bangsa dengan negara kebangsaan sama sekali tidak berhubungan secara sebab-akibat, yakni realitas bangsa yang dipastikan ada dalam kehidupan ma-nusia bukanlah penyebab bagi eksistensi negara kebangsaan. Eksistensi negara kebangsaan adalah pilihan manusia yang lebih merupakan antithesis atau respon penolakan terhadap bentuk negara yang tidak berdasarkan aspek bangsa bahkan justru menghimpun seluruh bangsa yang ada seperti Imperium Romawi (menghimpun bangsa-bangsa dengan cara penjajahan) atau Khilafah Islamiyah (menghimpun bangsa-bangsa dengan loyalitas aqliy terhadap Ideologi Islam).
Wal hasil, tudingan NU bahwa negara Islam yakni Khilafah Islamiyah tidak mencintai aspek bang-sa adalah salah fatal dan tidak sesuai dengan faktanya, sebab justru Khilafah Islamiyah menyatu-kan dan menghimpun semua bangsa yang ada di dunia lalu mendudukkannya secara apa adanya se-bagai bagian tak terpisahkan dari manusia itu sendiri, kemudian menjadikannya tunduk patuh kepa-da ketentuan Allah SWT : إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ.
2.       ciri khas madzhab aqidah اَهْلُ السُّنَّةِ alias اَلأَشْعَرِيَّةُ adalah kompromistik baik dalam persoalan konsep (kompromi antara konsep Jabariyah dan Muktazilah) maupun sikap. Sikap kompromistik mereka dirumuskan sebagai ekspresi penolakan mereka terhadap segala sesuatu yang berbau kekerasan ter-masuk perang. Oleh karena itu adalah sangat wajar dan lazim bila NU menempatkan Khilafah Isla-miyah alias Negara Islami sebagai bertentangan dengan paham اَلأَشْعَرِيَّةُ yang memang menolak aksi perang (jihad), padahal aktivitas utama dan pokok Khilafah Islamiyah di luar negeri adalah justru perang dalam rangka menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia. Rasulullah saw menyatakan :
الْجِهَادُ وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ أَمِيرٍ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا (رواه ابو داود)
Jihad itu wajib atas kalian (umat Islam) beserta semua jenis Amir baik itu Amir yang Barran mau-pun Amir yang Fajiran
إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى (رواه ابو داود)
Sungguh pikniknya umatku adalah jihad di jalan Allah SWT (Islam)
Aktivitas pokok dan utama Khilafah Islamiyah tersebut telah secara riil dilakukan oleh Nabi Mu-hammad saw sendiri, baik itu ketika beliau yang menjadi pimpinannya (Perang Badar dan Perang Uhud) maupun ketika menugaskan para sahabat, seperti yang terungkap dalam hadits berikut :
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ (رواه مسلم)
Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya berkata : Rasulullah saw itu ketika beliau menugaskan seorang Amir untuk jaisy maupun sariyah, pastilah beliau berwasiat kepadanya secara khusus berkenaan dengan taqwa kepada Allah dan kaum muslim yang menyertainya. Kemudian beliau berkata : berperanglah بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ, perangilah siapa pun yang bersikap kufur kepada Allah, berperanglah dan janganlah bersikap اَلْغُلُوْلُ (diam-diam mengambil ghanimah sebelum dilakukan pembagian oleh Rasulullah saw), janganlah bertindak اَلْغَدْرُ (membatalkan perjanjian), janganlah melakukan اَلْمَثْلَةُ (membakar jasad musuh sebelum atau sesudah membunuhnya) dan janganlah membunuh anak-anak. Jika engkau bertemu dengan musuh dari kalangan kaum musyrik maka serulah mereka kepada tiga pilihan atau seruan, lalu manapun dari seruan itu yang mereka penuhi maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka kepada Islam, lalu jika mereka memenuhinya maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka untuk berpindah dari negara mereka ke negara Muhajirin dan bertahukanlah kepada me-reka bahwa jika mereka melakukan hal itu, maka hak mereka sama dengan hak kaum Muhajirin dan kewajiban mereka sama dengan kewajiban kaum Muhajirin. Lalu jika mereka menolak untuk berpindah dari negara mereka, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka berstatus sa-ma dengan kaum muslim Arab lainnya yakni berlaku hukum Allah atas mereka yang juga diber-lakukan atas kaum mukmin dan mereka tidak akan memperoleh ghanimah maupun fai-iy kecuali ji-ka mereka jihad bersama dengan kaum muslim. Lalu jika mereka menolaknya maka mintalah dari mereka jizyah dan jika mereka memenuhinya maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Lalu jika mereka menolak (membayar jizyah) maka mintalah tolong kepada Allah dan perangilah mereka.
3.       realitas NKRI sebagai negara kebangsaan adalah sama saja dengan negara kebangsaan mana pun di seluruh dunia saat ini, yakni berasas sekularisme dan memberlakukan demokrasi sebagai sistem pe-merintahannya serta kapitalisme sebagai sistem perekonomiannya. Adapun realitas Pancasila sama sekali bukan sebuah ideologi dan itu dibuktikan oleh dua hal yakni : (a) Pancasila tidak memiliki aqidah yang menjadi asas sekaligus sumber peraturan/sistemanya dan (b) kelima sila dalam Panca-sila tiada lain hanyalah “gado-gado” konsep yang diambil dari sejumlah konsep yang ada dalam ti-ga ideologi yakni Islam (sila pertama), kapitalisme (sila kedua, ketiga, keempat) dan sosialisme (si-la kelima).
Oleh karena itu, sikap NU yang mengharuskan dirinya menerima NKRI maupun Pancasila dan di-klaim sebagai implementasi inklusif madzhab aqidah اَهْلُ السُّنَّةِ alias اَلأَشْعَرِيَّةُ memastikan bahwa NU adalah pendukung dan pembela utama sekaligus loyalis kekufuran (demokrasi dan kapitalisme), ne-gara kufur (NKRI) dan peraturan kufur (Pancasila). Selain itu, NU pun telah menghina madzhab اَهْلُ السُّنَّةِ alias اَلأَشْعَرِيَّةُ dengan memaksanya seolah bersikap sama dengan NU, padahal madzhab ter-sebut sama sekali tidak bersikap demikian bahkan sebaliknya mereka masih “gigih” membela Islam walau dengan metode yang salah (filsafat).
Sementara itu, memang selama ini Muhammadiyah belum pernah “seberani” NU dalam berterus terang menolak secara konsisten syariah Islamiyah tentang Khilafah Islamiyah, namun melalui berba-gai pemikiran maupun konsep ormas kedua terbesar setelah NU ini termasuk pemikiran, ucapan mau-pun sikap Ketum PP Muhammadiyah (Din Syamsuddin), antara lain :
1.       pernyataan Din saat menyampaikan pemikirannya dalam forum Sidang Dewan Eksekutif Organisa-si Kepemimpinan Rakyat Islam Sedunia (KRIS) atau World Islamic People’s Leadership di Paris tanggal 24-25 Maret 2009 yang lalu : Aneka krisis yang tengah mencengkeram saat ini terjadi aki-bat sistem dunia yang anti Tuhan. Dunia memerlukan sistem alternatif yang tak hanya mengede-pankan aspek materiil tapi juga spiritual. Saat ini diperlukan paradigma baru yang dapat memba-wa manfaat bagi manusia dan kemanusiaan, yakni Sustainable Development with Meaning atau Pembangunan Berkelanjutan dengan Makna. Dalam bidang ekonomi, sistem itu memadukan per-tumbuhan dalam pemerataan. Sedangkan dalam bidang politik, mendorong demokrasi yang tetap bertumpu pada nilai etika dan moral.
2.       bersikap sangat proaktif dalam mengawal penyelenggaraan pilpres di NKRI dan itu dia buktikan oleh kedatangannya ke KPU bersama-sama dengan capres Megawati dan JK dua hari menjelang 8 Juli 2009 (pelaksanaan pilpres). Tujuannya adalah menuntut KPU untuk segera membenahi kekis-ruhan DPT (daftar pemilih tetap). Selain itu, dia pun dengan sangat lantang dan nyaring menentang gagasan pilpres satu putaran dengan ungkapan : ide pilpres satu putaran adalah bentuk tirani po-litik.
Dengan demikian, dapat dirumuskan persamaan maupun perbedaan NU dan Muhammadiyah sebagai berikut :
No
Pemikiran dan sikap
NU
Muhammadiyah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Pelafalan niyat
Qunut dalam shalat shubuh
Tahlilan
Istighasah
Sekularisme
Demokrasi
Kapitalisme
Pancasila
NKRI
UNO alias PBB
USA alias AS
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak dan bid’ah
Tidak dan bid’ah
Tidak dan bid’ah
Tidak dan bid’ah
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Nampak sekali perbedaan NU dan Muhammadiyah hanyalah dalam urusan yang sangat kecil, bersifat pribadi dan sama sekali tidak menyangkut realitas mulia atau hinanya umat Islam sedunia (nomor satu hingga empat). Sedangkan untuk persoalan yang menyangkut keberpihakan, loyalitas maupun pembelaan mati-matian terhadap kekufuran, negara kufur, dunia kufur maupun kaum kufar (nomor li-ma hingga sebelas), maka NU dan Muhammadiyah berada dalam kesepakatan yang bulat penuh. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة : 51)
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nashara sebagai auliya, hal itu karena sebagian dari mereka adalah auliya bagi sebagian lainnya, dan siapa saja di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai auliya, maka orang itu adalah bagian dari mereka. Sungguh Allah tidak akan memberikan hidayah kepada kaum yang bersikap zhalim.

Umat Islam : mengapa begitu benci negara Islami dan sangat cinta negara kebangsaan?
Ikatan kebangsaan dan negara kebangsaan memang telah ada jauh sebelum Islam diturunkan, bahkan telah muncul sebelum kalender masehi dimulai. Lalu, apakah realitas tersebut benar atau salah baik sebelum maupun sesudah Islam diturunkan?
Kisah perjalanan تَبْلِيْغُ رِسَالَةِ اللهِ para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran menunjukkan dengan pasti bahwa setiap Nabi hanya diutus untuk kaum-nya alias bangsanya : Nabi Adam untuk keluarganya, Nabi Nuh untuk kaumnya yang berawal dari semua orang yang ikut dalam perahu beliau, Nabi Ibrahim berikut Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf untuk kaumnya, Nabi Luth untuk kaumnya, Nabi Syu’aib, Nabi Musa, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman hingga Nabi Isa عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ, seluruhnya ditugaskan oleh Allah SWT untuk تَبْلِيْغُ رِسَالَةِ اللهِ hanya kepada kaumnya. Inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
Dan Nabi itu diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia
كَانَ كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ (رواه مسلم)
Setiap Nabi itu diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia baik itu berkulit merah maupun hitam
Oleh karena itu, realitas ikatan kebangsaan yang ada dan diberlakukan dalam kehidupan manusia sebe-lum diutusnya Nabi Muhammad saw (sebelum Islam diturunkan) adalah dibenarkan dan itu ditunjuk-kan oleh eksistensi para Nabi yang hanya diutus untuk تَبْلِيْغُ رِسَالَةِ اللهِ kepada kaumnya. Jadi jika manusia masa lalu hingga saat Nabi Isa menyampaikan risalah Injil dan sebelum Nabi Muhammad saw me-nyampaikan risalah Islam, seluruhnya mencintai serta mengikatkan diri mereka kepada entitas kebang-saan tentu saja itu adalah benar dan wajar. Hal itu karena Allah SWT menetapkannya seperti demikian yakni aspek kebangsaan dijadikan sebagai objek yang dituju oleh risalah Allah itu sendiri.
Namun dengan berakhirnya masa pemberlakuan syariah Injil seiring dengan diutusnya Nabi Mu-hammad saw, maka ketetapan entitas kebangsaan sebagai objek yang dibidik oleh wahyu pun berubah total. Hal itu ditunjukkan secara gamblang oleh sejumlah dalil dalam sumber Islam (Al-Quran dan As-Sunnah). Allah SWT menyatakan :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء : 107)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سبأ : 28)
Bagian ayat إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ adalah sama dengan bagian ayat إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ yakni memastikan objek yang dibidik oleh risalah Islam adalah seluruh manusia yang hidup di dunia, tanpa kecuali dan tanpa dibatasi oleh aspek atau entitas apa pun : bangsa, suku, bahasa maupun warna kulit.
Rasulullah saw menyatakan :
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
Diberikan kepadaku lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku : aku ditolong dengan munculnya ketakutan (pada diri musuh) dalam perjalanan sebulan, dan dijadikan ba-giku bumi itu sebagai masjid dan suci maka siapa pun dari umatku yang telah tiba kepadanya waktu shalat maka shalatlah, dan dihalalkan bagiku ghanimah dan belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumku, dan diberikan kepadaku syafa’ah dan Nabi itu diutus kepada kaumnya saja sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.
Kelima perkara yang membedakan Nabi Muhammad saw dari seluruh Nabi sebelum beliau tersebut seluruhnya sekaligus membedakan realitas risalah Islam yang beliau bawa dengan risalah sebelumnya. Perbedaan tersebut baik menyangkut cakupan objek yang dibidik yakni seluruh manusia di dunia, mau-pun kesempurnaan serta kelengkapan Islam dibandingkan dengan risalah sebelumnya.
Oleh karena itu, normalnya dan seharusnya setiap manusia yang telah menerima (langsung mau-pun tidak) informasi tentang Islam adalah segera saja meninggalkan agamanya (apa pun, termasuk pe-nganut Injil dan juga Taurah yang masih “ngotot” bertahan dalam agamanya : Yahudi). Selain itu de-ngan dihilangkannya batas-batas kebangsaan oleh Allah SWT seiring dengan ditetapkannya cakupan objek yang dibidik oleh risalah Islam yakni seluruh manusia, maka secara otomatis dan pasti Islam mengharamkan entitas kebangsaan tersebut dijadikan sebagai asas, basis maupun landasan kehidupan manusia di dunia. Artinya, Islam mengharamkan umat Islam menyelenggarakan hidup mereka di dunia dengan ikatan kebangsaan, baik dalam ranah interaksi di antara mereka maupun dalam arena pemerin-tahan dan kekuasaan alias negara. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب : 36)
Bagian ayat إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا bersifat umum sehingga mencakup persoalan kebangsaan yakni Allah SWT dan Rasulullah saw telah menetapkan bahwa aspek tersebut haram digunakan dan diberlakukan sebagai asas atau ikatan kehidupan manusia di dunia. Hukum haram tersebut ditunjukkan oleh bagian awal ayat : وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ dan bagian ayat أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ serta adanya celaan di bagian akhir : وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا.
Lalu mengapa umat Islam saat ini sangat mencintai negara kebangsaan dan sangat membenci Khilafah Islamiyah? Jawabannya adalah karena :
1.       mereka belum pernah hidup dalam wadah Khilafah Islamiyah sehingga realitas seutuhnya dari Khilafah tersebut belum pernah mereka alami. Namun seiring dengan kondisi aqal mereka yang be-nar-benar unwell informed tentang Khilafah Islamiyah tersebut, ternyata justru mereka setiap saat disuguhi dan dijejali dengan informasi yang telah direkayasa oleh kaum kufar seputar Khilafah Is-lamiyah, yang akibatnya menjadikan umat Islam begitu benci dan jijik terhadap bentuk negara yang ditetapkan secara pasti dalam Islam tersebut.
2.       mereka telah menjadikan seluruh kepentingan naluriahnya sebagai tuhan yang memiliki otoritas untuk menetapkan halal, haram, dilakukan atau tidak dilakukan. Keadaan mereka tersebut semakin parah seiring keberhasilan kaum kufar meruntuhkan Khilafah Islamiyah yang berakibat Ideologi Is-lam tercerabut secara total dari pemikiran mereka. Sehingga seluruh pemikiran, sikap dan tindakan mereka sepenuhnya hanya dikendalikan oleh اَهْوَاءُهُمْ.
3.       yang sangat bersesuaian dengan realitas umat Islam pada nomor 2, adalah entitas kebangsaan dan negara kebangsaan bukan Khilafah Islamiyah.

Khatimah
Allah SWT menyatakan :
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (يونس : 62-64)
Lampiran Aset BPIH di NKRI untuk tahun 2009 (1430 H)
Embarkasi

Biaya per orang (dolar AS)
Jumlah Jamaah (orang)
Biaya per orang (rupiah)
Total aset
(triliun rupiah)
Aceh
3.243
3.647
32.754.300
1.12359E+11
Medan
3.333
8.108
33.663.300
2.56728E+11
Batam
3.376
9.855
34.097.600
3.16070E+11
Padang
3.329
7.378
33.622.900
2.33333E+11
Palembang
3.377
7.401
34.107.700
2.37435E+11
Jakarta
3.444
59.996
34.784.400
1.96295E+12
Solo
3.407
33.038
34.410.700
1.06932E+12
Surabaya
3.512
37.651
35.471.200
1.25619E+12
Banjarmasin
3.508
4.832
35.430.800
1.61031E+11
Balikpapan
3.544
5.327
35.794.400
1.79349E+11
Makassar
3.575
13.767
36.107.500
4.67562E+11
Total 

191.000

6.25233E+12

Jadi total aset yang dikelola oleh Depag untuk BPIH tahun 2009 adalah Rp 6.252.330.000.000, lalu ditambah komponen rupiah per orang (Rp 100.000 x 191.000) = Rp 19.100.000.000. Sehingga aset seluruhnya adalah Rp 6.271.430.000.000. Jika saja minimal satu persen adalah masuk ke kas Depag maka itu senilai Rp 62.714.300.000.

No comments:

Post a Comment