NU dan Muhammadiyah : adakah perbedaannya?
Mantan Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa
(F-PKB) DPR RI : A. Effendi Choirie menyata-kan : sejak lama Nahdhatul Ulama
(NU) memang tak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. Alasannya, ormas
Islam terbesar di Indonesia itu memiliki kecintaan kepada bangsa dan negara,
serta menghargai keberagaman. Paham NU itu ahlussunnah waljamaah, yang memang
menginginkan keda-maian. Makanya, NU tak menginginkan Indonesia menjadi negara
Islam. Dalam perjalanan sejarah-nya, NU selalu terlibat dalam berbagai bidang,
baik politik maupun hal-hal yang terkait dengan ke-bangsaan. Pada praktiknya di
lapangan, NU selalu membawa paham keislamannya yang berorientasi pada wawasan
kebangsaan dan membiarkan budaya-budaya setempat tumbuh subur dengan
masyara-kat Islamnya. Dalam catatan sejarah, NU pernah menjadi partai politik
dan menjadi kontestan pemilu pertama di Indonesia, pada 1955. Keterlibatan NU
dalam politik praktis hingga mencapai puncaknya 1971, ketika NU meraih suara
terbesar kedua di bawah Golongan Karya. Kiprah NU berpolitik kemu-dian mendapat
koreksi total pada munas NU 1982 di Situbondo dan dipertegas dalam Muktamar NU
1984 di Situbondo. Sejak itulah NU kembali ke khithah 1926 sebagai organisasi
sosial keagamaan. Muktamar itu menjadi tonggak sejarah perubahan politik NU
yang menghindari keterlibatan dalam politik praktis sebagai respon atas
kebijakan politik Orde Baru. Salah satu poin pentingnya, NU di ba-wah kepemimpinan
Abdurrahman Wahid menerima asas tunggal Pancasila sebagai ideologi NKRI.
Penerimaan NU terhadap Pancasila merupakan implementasi inklusif Islam
ahlussunnah waljamaah dengan memposisikan Pancasila sebagai alat pemersatu
bangsa.
Dengan demikian bagi NU :
1.
Negara Islam (اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) sama dengan tidak
cinta kepada bangsa dan negara kebangsaan serta tidak menghargai keberagaman
(pluralisme).
2.
Negara Islam menentang kedamaian sehingga bertentangan dengan
paham yang dianut NU yakni ahlussunnah waljamaah.
3.
NKRI sebagai negara kebangsaan dan Pancasila sebagai ideologinya,
harus diterima oleh NU kare-na sikap tersebut merupakan implementasi inklusif
Islam ahlussunnah waljamaah dengan mempo-sisikan Pancasila sebagai alat
pemersatu bangsa.
Lalu, apakah klaim NU tersebut dapat
dibenarkan baik menurut dalil aqliy maupun dalil naqliy? Penje-lasannnya
sebagai berikut :
1.
Negara Islam atau lebih tepatnya Negara Islami : اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ
atau The Islamic State, adalah nega-ra yang dibangun di atas asas aqidah
Islamiyah yang sekaligus sebagai kepemimpinan ideologisnya (قِيَادَتُهَا الْفِكْرِيَّةُ).
Negara Islami berawal dari dibai’atnya seseorang sebagai kepala negara
(Khalifah) yang secara otomatis mengakibatkan semua orang (kaum muslim maupun
kaum kafir harbi) yang menjadi warga negaranya memikul beban kewajiban untuk
taat kepada Khalifah tersebut. Kewajib-an utama Khalifah dalam menjalankan
Negara Islami (Khilafah Islamiyah) adalah memberlakukan seluruh ketentuan
syariah Islamiyah terhadap semua warga negara Khilafah di dalam negeri dan
menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia dengan metode dakwah dan jihad.
Realitas inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah dalil antara lain :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ
لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا
تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ
فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Keadaan Bani Israil itu adalah selalu para Nabi yang
memimpin dan mengurus mereka. Setiap seorang Nabi wafat, pastilah ada Nabi
lainnya menyusul. Dan ingatlah tidak ada lagi Nabi setelah diriku dan yang akan
ada adalah para Khulafa lalu mereka akan banyak. Mereka (para sahabat) bertanya
: lalu apakah yang akan Engkau perintahkan kepada kami? Beliau menjawab :
penuhilah oleh kalian bai’at yang pertama dan yang pertama saja. Berikanlah
oleh kalian kepada mereka haq mereka, maka sungguh Allah akan bertanya kepada
mereka tentang rakyat yang mereka pim-pin dan urus
مَا مِنْ
وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ (رواه البخاري)
Tidak ada seorang wali pun yang memimpin rakyat kaum muslim
lalu dia mati dalam keadaan ber-tindak jahat kepada mereka, kecuali Allah
mengharamkan baginya الْجَنَّةَ.
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى
هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ
فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ وَأَسْلِمْ
يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَعَلَيْكَ إِثْمُ
الْأَرِيسِيِّينَ وَ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا
وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (رواه البخاري)
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
dari Muhammad hamba Allah dan Rasul Nya kepada Heraklius Penguasa Ro-mawi.
Salam bagi siapa saja yang mengikuti hidayah. Selanjutnya, saya menyeru anda
dengan se-ruan Islam. Masuklah anda ke dalam Islam, pastilah anda akan selamat
dan sekali lagi masuklah anda ke dalam Islam pasti Allah akan memberikan kepada
anda pahala anda dua kali lipat lalu ji-ka anda menolak maka dosa seluruh
rakyat anda menjadi tanggung jawab anda. Dan wahai ahlul kitab, marilah menuju
ucapan yang sama antara kami dan kalian yakni kita tidak akan mentaati kecuali
Allah dan kita pun tidak akan bersikap syirik kepada Nya dengan sesuatu apa pun
dan se-bagian kita tidak akan menjadikan sebagian lainnya sebagai Tuhan selain
Allah. Lalu jika kalian berpaling menolak maka ucapkanlah oleh kalian (umat
Islam) : saksikanlah oleh kalian wahai ah-lul kitab bahwa kami adalah kaum
muslim
ثَلَاثٌ
مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا
نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ وَالْجِهَادُ
مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ
لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ
بِالْأَقْدَارِ (رواه ابو داود)
Tiga hal bagian dari pokok iman : menahan tangan dari siapa
pun yang telah mengucapkan ucap-an لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ dan kita tidak akan mengkafirkan seseorang karena
perbuatan dosa dan kita tidak akan mengeluarkan seseorang dari Islam akibat
suatu perbuatan dan jihad itu terus berlangsung sejak Allah mengutusku hingga
orang terakhir dari umat ku yang memerangi dajjal. Tidak akan ada yang
membatalkan jihad baik itu pemimpin yang jair maupun yang adil dan iman itu
sesuai dengan kemampuan aqal
Realitas manusia yang bersuku (اَلْقَبَائِلُ), berbangsa (اَلشُّعُوْبُ), berbeda warna kulit (اِخْتِلاَفُ الأَلْوَانِ) dan beragam bahasa (اِخْتِلاَفُ الأَلْسِنَتِ) adalah kenyataan taqdir Allah SWT
sama halnya dengan eksistensi alam semesta (اَلْكَوْنُ), manusia (اَلإِنْسَانُ) dan kehidupan (اَلْحَيَاةُ) itu sendiri. Inilah yang ditunjukkan oleh
pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات :13)
Realitas manusia sebagai pria, wanita,
berbangsa dan bersuku adalah taqdir Allah SWT yang tidak ada hubungannya sama
sekali dengan اَلْخَيْرُ atau اَلشَّرُّ atau اَلْحَسَنُ atau اَلْقَبِيْحُ. Tegasnya tidak ada hubu-ngan apa pun dengan
pahala (اَلثَّوَابُ)
dan siksa (اَلْعِقَابُ). Perkara penting yang harus menjadi
pemiki-ran manusia adalah bagian إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
yang merupakan perintah wajib dari Allah SWT kepada manusia. Hakikat tersebut
semakin gamblang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (الروم : 22)
Bagian ayat وَمِنْ
ءَايَاتِهِ dan إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
memastikan bahwa fakta manusia sebagai pria, wa-nita, berbangsa, bersuku,
berbeda warna kulit dan beragam bahasa adalah sama persis dengan fakta
penciptaan langit dan bumi : خَلْقُ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ. Lagipula secara dalil
aqliy, jika manusia ditaqdir-kan sama. Identik dan tipikal dalam segala hal :
rupa, bahasa, warna kulit, tidak ada ragam suku maupun bangsa, maka fakta
tersebut dipastikan bertentangan dengan maksud Allah SWT sendiri dalam
menciptakan keragaman alias pluralitas yakni : لِتَعَارَفُوا. Inilah pula mengapa Allah SWT tidak
menjadikan manusia sebagai أُمَّةً وَاحِدَةً walau sangat mudah bagi Nya :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ
أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (النحل : 93)
Dan andai Allah berkehendak, pastilah Dia menjadikan kalian
sebagai umat yang satu (seluruhnya beriman dan taat), akan tetapi Dia
menyesatkan siapa saja dan memberi hidayah kepada siapa sa-ja dan sungguh
kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang kalian
laku-kan.
Bagian ayat وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ
أُمَّةً وَاحِدَةً memastikan bahwa Allah SWT tidak menetapkan taqdir ter-sebut,
melainkan justru menetapkan taqdir lainnya yakni menjadikan manusia beraqal
yang fungsi utamanya adalah untuk memikirkan dan memahami segala sesuatu yang
ada di luar dirinya berupa fakta serta informasinya. Inilah mengapa bagian
akhir ayat berbunyi وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ, yakni se-bab Allah SWT tidak mentaqdirkan manusia dipaksa
untuk taat atau tidak taat melainkan sikap taat atau tidak
taat mereka itu sepenuhnya didasarkan kepada keputusannya sendiri
dengan meng-gunakan aqal : إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
قُرْءَانًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يوسف : 2). Sehingga ketika
manusia memutuskan dengan aqalnya untuk taat atau tidak
taat kepada Allah SWT, maka adalah wajar dan pantas mere-ka akan
ditanyai alias dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya tersebut oleh
Allah SWT : وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ. Bagian ayat وَلَتُسْأَلُنَّ
عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ pun memastikan pemahaman yang jelas
tentang yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT : وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ, yakni sikap
sesat (kufur) atau sikap menerima hidayah yang ditunjukkan oleh manusia, sama
sekali bukan ben-tuk pemaksaan dari Allah SWT melainkan pilihan mereka sendiri
berdasarkan keputusan aqalnya.
Oleh karena itu, sikap yang benar terhadap realitas pluralitas termasuk
ragam bangsa adalah fakta tersebut harus dibiarkan apa adanya dan
tidak boleh dimusnahkan sebab upaya pemusnahan adalah sama saja dengan
pemusnahan manusia itu sendiri dan tentu saja itu adalah haram
menurut Islam. Lalu, bagaimana halnya dengan keragaman agama (yang juga diklaim
sebagai pluralisme) dan rea-litas negara kebangsaan?
Keragaman agama pada faktanya sama sekali bukan bagian
dari pluralisme dan tidak boleh dima-sukkan ke dalam realitas
tersebut. Hal itu karena realitas pluralitas adalah segala sesuatu yang
ber-sifat : (a) dipaksakan kepada manusia, (b) manusia tidak memiliki pilihan
selain menerimanya dan (c) manusia dengan kemampuan aqalnya sama sekali tidak
berperan dan tidak bisa berperan dalam mengadakan atau meniadakannya secara
orisinal yakni mengadakan dari tidak ada atau meniada-kan dari ada secara
permanen. Hakikat tersebut tidak dapat dipetakan atau diterapkan kepada fakta
agama apa pun, apalagi Islam. Hindu, Buddha, Kong Huchu, animisme, dinamisme
dan yang seje-nisnya, seluruhnya adalah dipastikan muncul dari pilihan
keputusan manusia dan bahkan itu adalah 100 persen peran manusia sendiri.
Adapun agama langit termasuk Islam, seluruhnya secara
“paket” memang bukan berasal dari peran manusia, melainkan dari Allah SWT.
Namun demikian, semua agama langit tersebut diturunkan kepada manusia oleh
Allah SWT berdasarkan keniscayaan dalil aqliy, yakni adalah mustahil bagi
manusia untuk dapat membuat peraturan (اَلشَّرِيْعَةُ) yang bisa
diberlakukan kepada seluruh manusia. Hal itu selain karena jatidiri manusia
adalah lemah, berkekurangan dan membutuhkan yang lain, melainkan juga karena
manusia dikendalikan oleh kepentingan naluriah mereka (اَهْوَاءُهُمْ) masing-masing. Sehingga jika
satu orang atau sekelompok manusia membuat peraturan lalu
diberlakukan (pasti harus secara paksa) kepada manusia lain di luar diri
mereka, maka dipastikan akan berbentur-an dengan kepentingan naluriah manusia
yang berposisi sebagai objek tersebut. Kenyataan itu akan terus menerus terjadi
demikian dan hasil akhirnya adalah kebinasaan manusia berikut kemanusiaan itu
sendiri. Oleh karena itu, aqal manusia menuntut harus adanya peraturan yang
berasal dari bukan manusia serta tidak memiliki kepentingan apa pun terhadap
manusia maupun kehidupannya. Kua-lifikasi aqliy tersebut hanya dapat dipenuhi
100 persen oleh Allah SWT, sehingga agama langit itu termasuk Islam walau bukan
hasil peran aqal manusia namun justru aqal mereka yang menuntut ha-rus adanya
agama langit itu. Jadi, agama (apa pun termasuk Islam) adalah bukan dan tidak
boleh dimasukkan ke dalam realitas pluralitas. Artinya, aqal dengan pasti dapat
menetapkan mana agama yang benar dan mana agama yang salah, lalu agama yang
terbukti benar harus dipertahankan dan diberlakukan dalam kehidupan mereka
sedangkan agama yang salah harus ditinggalkan dan dihi-langkan dari kehidupan
mereka. Kualifikasi aqliy tentang benarnya suatu agama, ternyata hanya dapat
dipenuhi oleh Islam sehingga hanya Islam yang harus dipertahankan dan
diberlakukan dalam kehidupan manusia di dunia, sedangkan agama yang lainnya
adalah salah dan harus ditinggalkan serta dihilangkan dari kehidupan mereka.
Eksistensi negara kebangsaan (nation states atau اَلدَّوْلَةُ الْقَوْمِيَّةُ) tentu saja secara fakta empirik
adalah bukan terkategori realitas pluralitas, sebab itu tidak berasal dari
Tuhan yang dipaksakan harus ada dalam arena kehidupan. Lagipula antara aspek
bangsa dengan negara kebangsaan sama sekali tidak berhubungan secara
sebab-akibat, yakni realitas bangsa yang dipastikan ada dalam kehidupan
ma-nusia bukanlah penyebab bagi eksistensi negara kebangsaan.
Eksistensi negara kebangsaan adalah pilihan manusia yang lebih merupakan antithesis
atau respon penolakan terhadap bentuk negara yang tidak
berdasarkan aspek bangsa bahkan justru menghimpun seluruh bangsa yang ada
seperti Imperium Romawi (menghimpun bangsa-bangsa dengan cara penjajahan) atau
Khilafah Islamiyah (menghimpun bangsa-bangsa dengan loyalitas aqliy terhadap
Ideologi Islam).
Wal hasil, tudingan NU bahwa negara Islam yakni Khilafah
Islamiyah tidak mencintai aspek bang-sa adalah salah fatal dan
tidak sesuai dengan faktanya, sebab justru Khilafah Islamiyah menyatu-kan dan
menghimpun semua bangsa yang ada di dunia lalu mendudukkannya secara apa adanya
se-bagai bagian tak terpisahkan dari manusia itu sendiri, kemudian
menjadikannya tunduk patuh kepa-da ketentuan Allah SWT : إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ.
2.
ciri khas madzhab aqidah اَهْلُ
السُّنَّةِ alias اَلأَشْعَرِيَّةُ
adalah kompromistik baik dalam persoalan konsep (kompromi antara konsep
Jabariyah dan Muktazilah) maupun sikap. Sikap kompromistik mereka dirumuskan
sebagai ekspresi penolakan mereka terhadap segala sesuatu yang berbau kekerasan
ter-masuk perang. Oleh karena itu adalah sangat wajar dan lazim bila NU
menempatkan Khilafah Isla-miyah alias Negara Islami sebagai bertentangan dengan
paham اَلأَشْعَرِيَّةُ
yang memang menolak aksi perang (jihad), padahal aktivitas utama dan pokok
Khilafah Islamiyah di luar negeri adalah justru perang dalam rangka
menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia. Rasulullah saw menyatakan :
الْجِهَادُ
وَاجِبٌ عَلَيْكُمْ مَعَ كُلِّ أَمِيرٍ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا (رواه ابو
داود)
Jihad itu wajib atas kalian (umat Islam) beserta semua
jenis Amir baik itu Amir yang Barran mau-pun Amir yang Fajiran
إِنَّ
سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى (رواه ابو داود)
Sungguh pikniknya umatku adalah jihad di jalan Allah SWT
(Islam)
Aktivitas pokok
dan utama Khilafah Islamiyah tersebut telah secara riil dilakukan oleh Nabi
Mu-hammad saw sendiri, baik itu ketika beliau yang menjadi pimpinannya (Perang
Badar dan Perang Uhud) maupun ketika menugaskan para sahabat, seperti yang
terungkap dalam hadits berikut :
عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ
أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
خَيْرًا ثُمَّ قَالَ اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ
كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ
مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ
مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى
الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ
ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ
وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ
وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ
الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ
يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ
فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا
فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ (رواه مسلم)
Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya berkata :
Rasulullah saw itu ketika beliau menugaskan seorang Amir untuk jaisy maupun
sariyah, pastilah beliau berwasiat kepadanya secara khusus berkenaan dengan
taqwa kepada Allah dan kaum muslim yang menyertainya. Kemudian beliau berkata :
berperanglah بِاسْمِ
اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ, perangilah siapa pun yang bersikap
kufur kepada Allah, berperanglah dan janganlah bersikap اَلْغُلُوْلُ (diam-diam mengambil ghanimah sebelum
dilakukan pembagian oleh Rasulullah saw), janganlah bertindak اَلْغَدْرُ (membatalkan perjanjian), janganlah
melakukan اَلْمَثْلَةُ (membakar
jasad musuh sebelum atau sesudah membunuhnya) dan janganlah membunuh anak-anak.
Jika engkau bertemu dengan musuh dari kalangan kaum musyrik maka serulah mereka
kepada tiga pilihan atau seruan, lalu manapun dari seruan itu yang mereka
penuhi maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka
kepada Islam, lalu jika mereka memenuhinya maka terimalah dan tahanlah tangan
dari mereka. Kemudian serulah mereka untuk berpindah dari negara mereka ke
negara Muhajirin dan bertahukanlah kepada me-reka bahwa jika mereka melakukan
hal itu, maka hak mereka sama dengan hak kaum Muhajirin dan kewajiban mereka
sama dengan kewajiban kaum Muhajirin. Lalu jika mereka menolak untuk berpindah
dari negara mereka, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka berstatus
sa-ma dengan kaum muslim Arab lainnya yakni berlaku hukum Allah atas mereka
yang juga diber-lakukan atas kaum mukmin dan mereka tidak akan memperoleh
ghanimah maupun fai-iy kecuali ji-ka mereka jihad bersama dengan kaum muslim.
Lalu jika mereka menolaknya maka mintalah dari mereka jizyah dan jika mereka
memenuhinya maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Lalu jika mereka
menolak (membayar jizyah) maka mintalah tolong kepada Allah dan perangilah
mereka.
3.
realitas NKRI sebagai negara kebangsaan adalah sama saja dengan
negara kebangsaan mana pun di seluruh dunia saat ini, yakni berasas sekularisme
dan memberlakukan demokrasi sebagai sistem pe-merintahannya serta kapitalisme
sebagai sistem perekonomiannya. Adapun realitas Pancasila sama sekali bukan
sebuah ideologi dan itu dibuktikan oleh dua hal yakni : (a) Pancasila tidak
memiliki aqidah yang menjadi asas sekaligus sumber peraturan/sistemanya dan (b)
kelima sila dalam Panca-sila tiada lain hanyalah “gado-gado” konsep yang
diambil dari sejumlah konsep yang ada dalam ti-ga ideologi yakni Islam (sila
pertama), kapitalisme (sila kedua, ketiga, keempat) dan sosialisme (si-la
kelima).
Oleh karena itu, sikap NU yang mengharuskan
dirinya menerima NKRI maupun Pancasila dan di-klaim sebagai implementasi
inklusif madzhab aqidah اَهْلُ السُّنَّةِ alias اَلأَشْعَرِيَّةُ memastikan bahwa NU adalah pendukung dan
pembela utama sekaligus loyalis kekufuran (demokrasi dan kapitalisme), ne-gara
kufur (NKRI) dan peraturan kufur (Pancasila). Selain itu, NU pun telah menghina
madzhab اَهْلُ السُّنَّةِ
alias اَلأَشْعَرِيَّةُ
dengan memaksanya seolah bersikap sama dengan NU, padahal madzhab ter-sebut
sama sekali tidak bersikap demikian bahkan sebaliknya mereka masih “gigih”
membela Islam walau dengan metode yang salah (filsafat).
Sementara itu, memang selama ini Muhammadiyah belum pernah
“seberani” NU dalam berterus terang menolak secara konsisten syariah Islamiyah
tentang Khilafah Islamiyah, namun melalui berba-gai pemikiran maupun konsep
ormas kedua terbesar setelah NU ini termasuk pemikiran, ucapan mau-pun sikap
Ketum PP Muhammadiyah (Din Syamsuddin), antara lain :
1.
pernyataan Din saat menyampaikan pemikirannya dalam forum Sidang Dewan Eksekutif Organisa-si Kepemimpinan Rakyat
Islam Sedunia (KRIS) atau World Islamic People’s Leadership di Paris tanggal
24-25 Maret 2009 yang lalu : Aneka krisis yang tengah mencengkeram saat ini terjadi
aki-bat sistem dunia yang anti Tuhan. Dunia memerlukan sistem alternatif yang
tak hanya mengede-pankan aspek materiil tapi juga spiritual. Saat ini
diperlukan paradigma baru yang dapat memba-wa manfaat bagi manusia dan
kemanusiaan, yakni Sustainable Development with Meaning atau Pembangunan
Berkelanjutan dengan Makna. Dalam bidang ekonomi, sistem itu memadukan
per-tumbuhan dalam pemerataan. Sedangkan dalam bidang politik, mendorong
demokrasi yang tetap bertumpu pada nilai etika dan moral.
2.
bersikap sangat proaktif dalam mengawal penyelenggaraan pilpres di
NKRI dan itu dia buktikan oleh kedatangannya ke KPU bersama-sama dengan capres
Megawati dan JK dua hari menjelang 8 Juli 2009 (pelaksanaan pilpres). Tujuannya
adalah menuntut KPU untuk segera membenahi kekis-ruhan DPT (daftar pemilih
tetap). Selain itu, dia pun dengan sangat lantang dan nyaring menentang gagasan
pilpres satu putaran dengan ungkapan : ide pilpres satu putaran adalah
bentuk tirani po-litik.
Dengan demikian,
dapat dirumuskan persamaan maupun perbedaan NU dan Muhammadiyah sebagai berikut
:
No
|
Pemikiran
dan sikap
|
NU
|
Muhammadiyah
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
|
Pelafalan niyat
Qunut dalam shalat shubuh
Tahlilan
Istighasah
Sekularisme
Demokrasi
Kapitalisme
Pancasila
NKRI
UNO alias PBB
USA alias AS
|
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
|
Tidak
dan bid’ah
Tidak
dan bid’ah
Tidak
dan bid’ah
Tidak
dan bid’ah
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
|
Nampak sekali perbedaan NU dan Muhammadiyah hanyalah dalam urusan
yang sangat kecil, bersifat pribadi dan sama sekali tidak menyangkut realitas
mulia atau hinanya umat Islam sedunia (nomor satu hingga empat).
Sedangkan untuk persoalan yang menyangkut keberpihakan, loyalitas maupun
pembelaan mati-matian terhadap kekufuran, negara kufur, dunia kufur maupun kaum
kufar (nomor li-ma hingga sebelas), maka NU dan Muhammadiyah berada dalam
kesepakatan yang bulat penuh. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة : 51)
Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nashara sebagai
auliya, hal itu karena sebagian dari mereka adalah auliya bagi sebagian
lainnya, dan siapa saja di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai auliya,
maka orang itu adalah bagian dari mereka. Sungguh Allah tidak akan memberikan
hidayah kepada kaum yang bersikap zhalim.
Umat Islam : mengapa begitu benci negara
Islami dan sangat cinta negara kebangsaan?
Ikatan kebangsaan dan negara kebangsaan memang telah ada jauh
sebelum Islam diturunkan, bahkan telah muncul sebelum kalender masehi dimulai.
Lalu, apakah realitas tersebut benar atau salah
baik sebelum maupun sesudah Islam diturunkan?
Kisah perjalanan تَبْلِيْغُ
رِسَالَةِ اللهِ para Nabi sebelum Nabi
Muhammad saw yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Al-Quran menunjukkan dengan
pasti bahwa setiap Nabi hanya diutus untuk kaum-nya alias bangsanya : Nabi Adam
untuk keluarganya, Nabi Nuh untuk kaumnya yang berawal dari semua orang yang
ikut dalam perahu beliau, Nabi Ibrahim berikut Ismail, Ishaq, Ya’qub, Yusuf
untuk kaumnya, Nabi Luth untuk kaumnya, Nabi Syu’aib, Nabi Musa, Nabi Dawud,
Nabi Sulaiman hingga Nabi Isa عَلَيْهِمُ
السَّلاَمُ, seluruhnya ditugaskan
oleh Allah SWT untuk تَبْلِيْغُ رِسَالَةِ اللهِ hanya kepada kaumnya. Inilah yang
ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw :
وَكَانَ
النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
(رواه البخاري)
Dan Nabi itu diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku
diutus kepada seluruh manusia
كَانَ
كُلُّ نَبِيٍّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ
وَأَسْوَدَ (رواه مسلم)
Setiap Nabi itu diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku
diutus kepada seluruh manusia baik itu berkulit merah maupun hitam
Oleh
karena itu, realitas ikatan kebangsaan yang ada dan diberlakukan dalam
kehidupan manusia sebe-lum diutusnya Nabi Muhammad saw (sebelum Islam
diturunkan) adalah dibenarkan dan itu ditunjuk-kan oleh eksistensi para Nabi
yang hanya diutus untuk تَبْلِيْغُ رِسَالَةِ اللهِ kepada kaumnya.
Jadi jika manusia masa lalu hingga saat Nabi Isa menyampaikan risalah Injil dan
sebelum Nabi Muhammad saw me-nyampaikan risalah Islam, seluruhnya mencintai
serta mengikatkan diri mereka kepada entitas kebang-saan tentu saja itu adalah
benar dan wajar. Hal itu karena Allah SWT menetapkannya seperti demikian yakni
aspek kebangsaan dijadikan sebagai objek yang dituju oleh risalah Allah itu
sendiri.
Namun dengan berakhirnya masa pemberlakuan
syariah Injil seiring dengan diutusnya Nabi Mu-hammad saw, maka ketetapan
entitas kebangsaan sebagai objek yang dibidik oleh wahyu pun berubah total. Hal
itu ditunjukkan secara gamblang oleh sejumlah dalil dalam sumber Islam
(Al-Quran dan As-Sunnah). Allah SWT menyatakan :
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء : 107)
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سبأ : 28)
Bagian
ayat إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ adalah sama
dengan bagian ayat إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ yakni memastikan
objek yang dibidik oleh risalah Islam adalah seluruh manusia yang hidup di
dunia, tanpa kecuali dan tanpa dibatasi oleh aspek atau entitas apa pun :
bangsa, suku, bahasa maupun warna kulit.
Rasulullah saw menyatakan :
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ
يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي
الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ
الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ
قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ
خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
Diberikan kepadaku lima perkara yang belum pernah diberikan
kepada seorang pun sebelumku : aku ditolong dengan munculnya ketakutan (pada
diri musuh) dalam perjalanan sebulan, dan dijadikan ba-giku bumi itu sebagai
masjid dan suci maka siapa pun dari umatku yang telah tiba kepadanya waktu
shalat maka shalatlah, dan dihalalkan bagiku ghanimah dan belum pernah dihalalkan
kepada seorang pun sebelumku, dan diberikan kepadaku syafa’ah dan Nabi itu
diutus kepada kaumnya saja sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.
Kelima
perkara yang membedakan Nabi Muhammad saw dari seluruh Nabi sebelum beliau
tersebut seluruhnya sekaligus membedakan realitas risalah Islam yang beliau
bawa dengan risalah sebelumnya. Perbedaan tersebut baik menyangkut cakupan
objek yang dibidik yakni seluruh manusia di dunia, mau-pun kesempurnaan serta
kelengkapan Islam dibandingkan dengan risalah sebelumnya.
Oleh karena itu, normalnya dan seharusnya
setiap manusia yang telah menerima (langsung mau-pun tidak) informasi tentang
Islam adalah segera saja meninggalkan agamanya (apa pun, termasuk pe-nganut
Injil dan juga Taurah yang masih “ngotot” bertahan dalam agamanya : Yahudi).
Selain itu de-ngan dihilangkannya batas-batas kebangsaan oleh Allah SWT seiring
dengan ditetapkannya cakupan objek yang dibidik oleh risalah Islam yakni
seluruh manusia, maka secara otomatis dan pasti Islam mengharamkan entitas kebangsaan
tersebut dijadikan sebagai asas, basis maupun landasan kehidupan manusia di
dunia. Artinya, Islam mengharamkan umat Islam menyelenggarakan hidup mereka di
dunia dengan ikatan kebangsaan, baik dalam ranah interaksi di antara mereka
maupun dalam arena pemerin-tahan dan kekuasaan alias negara. Inilah yang
dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا
مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب : 36)
Bagian
ayat إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا bersifat umum
sehingga mencakup persoalan kebangsaan yakni Allah SWT dan Rasulullah saw telah
menetapkan bahwa aspek tersebut haram digunakan dan diberlakukan sebagai asas
atau ikatan kehidupan manusia di dunia. Hukum haram tersebut ditunjukkan oleh
bagian awal ayat : وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا
مُؤْمِنَةٍ dan bagian ayat أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ serta adanya celaan di bagian akhir :
وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا.
Lalu mengapa umat Islam saat ini sangat mencintai negara
kebangsaan dan sangat membenci Khilafah Islamiyah? Jawabannya adalah karena :
1.
mereka belum pernah hidup dalam wadah Khilafah Islamiyah sehingga
realitas seutuhnya dari Khilafah tersebut belum pernah mereka alami. Namun
seiring dengan kondisi aqal mereka yang be-nar-benar unwell informed
tentang Khilafah Islamiyah tersebut, ternyata justru mereka setiap saat
disuguhi dan dijejali dengan informasi yang telah direkayasa oleh kaum kufar
seputar Khilafah Is-lamiyah, yang akibatnya menjadikan umat Islam begitu benci
dan jijik terhadap bentuk negara yang ditetapkan secara pasti dalam Islam
tersebut.
2.
mereka telah menjadikan seluruh kepentingan naluriahnya sebagai
tuhan yang memiliki otoritas untuk menetapkan halal, haram, dilakukan atau
tidak dilakukan. Keadaan mereka tersebut semakin parah seiring keberhasilan
kaum kufar meruntuhkan Khilafah Islamiyah yang berakibat Ideologi Is-lam
tercerabut secara total dari pemikiran mereka. Sehingga seluruh pemikiran,
sikap dan tindakan mereka sepenuhnya hanya dikendalikan oleh اَهْوَاءُهُمْ.
3.
yang sangat bersesuaian dengan realitas umat Islam pada nomor 2,
adalah entitas kebangsaan dan negara kebangsaan bukan Khilafah Islamiyah.
Khatimah
Allah SWT menyatakan :
أَلَا
إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (يونس : 62-64)
Lampiran Aset BPIH di NKRI untuk tahun 2009 (1430 H)
Embarkasi
|
Biaya per orang
(dolar AS)
|
Jumlah
Jamaah (orang)
|
Biaya per orang
(rupiah)
|
Total aset
(triliun rupiah)
|
Aceh
|
3.243
|
3.647
|
32.754.300
|
1.12359E+11
|
Medan
|
3.333
|
8.108
|
33.663.300
|
2.56728E+11
|
Batam
|
3.376
|
9.855
|
34.097.600
|
3.16070E+11
|
Padang
|
3.329
|
7.378
|
33.622.900
|
2.33333E+11
|
Palembang
|
3.377
|
7.401
|
34.107.700
|
2.37435E+11
|
Jakarta
|
3.444
|
59.996
|
34.784.400
|
1.96295E+12
|
Solo
|
3.407
|
33.038
|
34.410.700
|
1.06932E+12
|
Surabaya
|
3.512
|
37.651
|
35.471.200
|
1.25619E+12
|
Banjarmasin
|
3.508
|
4.832
|
35.430.800
|
1.61031E+11
|
Balikpapan
|
3.544
|
5.327
|
35.794.400
|
1.79349E+11
|
Makassar
|
3.575
|
13.767
|
36.107.500
|
4.67562E+11
|
|
191.000
|
|
6.25233E+12
|
Jadi total aset yang dikelola oleh Depag
untuk BPIH tahun 2009 adalah Rp 6.252.330.000.000, lalu ditambah komponen
rupiah per orang (Rp 100.000 x 191.000) = Rp 19.100.000.000. Sehingga aset
seluruhnya adalah Rp 6.271.430.000.000. Jika saja minimal satu persen adalah
masuk ke kas Depag maka itu senilai Rp 62.714.300.000.
No comments:
Post a Comment