Umat Islam dan angan-angan kosong meraih manisnya iman
Ungkapan اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ
اَنْعَمَ عَلَيْنَا بِنِعْمَةِ الإِيْمَانِ
adalah salah satu dari yang paling sering terlontar baik secara sadar maupun
sekedar basa basi, terutama dalam muqadimah Khatib saat Khutbah Jum’at. Lalu,
biasanya seseorang yang telah berulang kali melaksanakan haji saat ditanya
mengapa hal itu dilakukan maka jawabannya adalah karena saya telah merasakan
nikmat dan manisnya iman saat melaksanakan haji di Baitullah, sehingga sangat
rindu untuk menikmatinya lagi.
Ungkapan seputar manisnya iman, nikmatnya iman, nikmatnya
beribadah akan semakin sering terucapkan ketika Bulan Ramadlan tiba dan
semakin santer sepanjang umat Islam dalam bulan tersebut. Bahkan ketika Bulan
Ramadlan berakhir, mereka pun sangat biasa “bernostalgia” tentang nikmatnya
saat berbuka, tarawih, sahur, tadarus Al-Quran, i’tikaf dan lainnya lalu mereka
menganggap bahwa se-luruhnya adalah bukti dari manisnya iman. Tidak jarang
pula, shalat tahajjud yang seharusnya dilaksa-nakan secara tersembunyi dari
kesaksian orang lain atau shadaqah yang seharusnya dilaksanakan seca-ra
diam-diam, ternyata dijadikan bahan rumpian di kala senggang dengan dalih demi
untuk menunjuk-kan betapa manisnya iman.
Klaim sebagai telah memperoleh manisnya iman juga sempat
mengemuka sangat kuat ketika ter-jadinya aksi perlawanan (lalu dianggap sebagai
jihad) berbagai faksi umat Islam bersenjata di Afgha-nistan sepanjang
pendudukan tentara merah Uni Sovyet yang mendukung penuh rezim Najibullah.
Ce-rita seputar para mujahidun baik yang menemui kematian maupun yang tidak,
selalu dan selalu dikait-kan dengan nimat serta manisnya iman. Lebih
dari itu, tidak sedikit pula kisah tentang terciumnya ha-rum wewangian dari
arah kubur para mujahidin dan itu dianggap atau dikategorikan sebagai bukti
dari telah diraihnya realitas manisnya iman oleh mereka.
Demikianlah sekelumit sikap umat Islam dan
angan-angan kosong mereka untuk meraih manis-nya iman. Mengapa sikap
mereka dianggap sebagai angan-angan kosong belaka? Tentu saja,
sebab realitas sikap mereka tersebut jika distandardisasi dengan sikap dan
sepak terjang umat Islam generasi awal (مَوْقِفُ
السَّابِقِيْنَ الأَوَّلِيْنَ وَسُلُوْكُهُمْ)
maka secara pasti akan diperoleh hasil sebagai berikut :
1.
seluruh sikap dan sepak terjang umat Islam generasi awal
sepenuhnya merupakan realisasi dari se-gala hal yang dituntut oleh اِيْمَانُهُمْ بِاللهِ تَعَالَى
yakni mereka telah berhasil sempurna memenuhi seruan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Seruan Allah SWT yang ditunjukkan oleh ayat tersebut mereka laksanakan
secara riil dalam bentuk kehidupan Islami, baik saat masih dipimpin oleh
Rasulullah saw maupun oleh Khulafa Rasyidun pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.
Sehingga dapat dipastikan mereka telah berhasil meraih ma-nisnya iman dengan bukti
Allah SWT meridlai mereka :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي
تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة
: 100)
Lalu, apakah umat Islam saat ini berada dalam kehidupan
Islami seperti yang selalu dijalani oleh pendahulunya tersebut : السَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ? Jawabannya adalah umat Islam saat
ini telah lebih dari 85 tahun menjalani kehidupan berbasis kekufuran
sekularisme dengan segala perkara yang dituntut oleh aqidah tersebut :
demokrasi dan kapitalisme. Padahal se-luruhnya adalah خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ yang diharamkan untuk diikuti : وَلَا تَتَّبِعُوا dan sekaligus sebagai sikap
melalaikan kewajiban mereka : ادْخُلُوا
فِي السِّلْمِ كَافَّةً.
2.
umat Islam generasi awal memberlakukan syariah Islamiyah dengan
sempurna, menyeluruh dan utuh tanpa sedikit pun disertai dengan sikap pilah
pilih (اَلتَّخَيُّرُ).
Artinya mereka telah berhasil me-ninggalkan sikap yang diharamkan oleh Allah
SWT yang ditunjukkan dalam ayat :
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (الأحزاب : 36)
Celaan yang ada dalam bagian
akhir ayat وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا selain memastikan ha-ramnya sikap الْخِيَرَةُ juga sebagai pengkategorian bahwa siapa saja yang
tidak melakukan الْخِيَرَةُ ma-ka dia telah
berada dalam jalan yang benar. Hal ini karena مَفْهُوْمُ
الْمُخَالَفَةِ dari bagian akhir ayat yakni وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا adalah : وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدِ اهْتَدَى اِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيْمٍ . Tentu saja yang telah berhasil sempurna melakukan perbuatan
tersebut adalah umat Islam generasi awal, se-dangkan umat Islam masa kini
justru sebaliknya yakni selalu bersikap الْخِيَرَةُ dengan berbagai
alasan yang sangat dicari-cari.
3.
respon aqliy seketika dari generasi umat Islam awal ketika diseru
untuk memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT dalam kehidupan mereka adalah سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا,
seperti yang dituntut oleh per-nyataan Allah SWT :
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(النور : 51)
Lalu, apakah
respon aqliy yang sama ditampakkan oleh umat Islam saat ini? Sama sekali
tidak, bahkan sebaliknya umat Islam saat ini selalu menunjukkan sikap
penolakan yang sangat keras ter-hadap seruan maupun upaya untuk لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ
melalui penegakkan kembali Khilafah Islamiyah.
4.
generasi umat Islam awal tanpa keraguan sedikit pun dan tanpa
pertimbangan naluriah apa pun, se-gera memenuhi tawaran keistimewaan dari Allah
SWT seketika mereka menerima informasi wah-yu bahwa :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ
حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ
مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ
هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة : 111)
Apakah umat Islam
saat ini bersikap yang sama dengan umat Islam pendahulunya itu? Tentu saja
tidak, sebab umat Islam saat ini jangankan bersikap seperti “nenek moyangnya”
tersebut sedangkan sekedar mencoba dan berusaha untuk menjadikan seruan Allah
SWT dalam ayat tersebut sebagai salah satu sumber pemikiran sekali pun tidak
pernah dilakukan sehubungan aqal dan pikiran me-reka telah sepenuhnya
disibukkan serta didominasi oleh upaya serius mereka dalam merancang dan
merumuskan berbagai strategi untuk memenuhi seluruh tuntutan kepentingan
naluriah diri mereka maupun kepentingan naluriah di luar diri mereka yakni kaum
kufar. Singkatnya, realitas sikap me-reka adalah diametral dengan seruan Allah
SWT yakni bagi mereka yang realistis adalah :
لَيْسَ
اللهُ يَشْتَرِيْ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ
لَهُمُ الْجَنَّةَ وَلَكِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَشْتَرُوْنَ مِنْهُمْ
أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ السَّعَادَةَ فِيْ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا
Bukan Allah yang akan membeli dari kaum mukmin baik nyawa
maupun harta mereka dengan الْجَنَّةَ melainkan
orang-orang kafirlah yang akan membeli nyawa dan harta mereka itu dengan
kebaha-giaan dalam kehidupan dunia
5.
generasi umat Islam awal berhasil memegang teguh utuh informasi
dari Rasulullah saw tentang realitas kehidupan umat Islam setelah Nabi Muhammad
saw wafat, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan beliau saw :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ
الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ
فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ
سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
Mereka sangat memahami
maksud dari informasi wahyu tersebut yakni kehidupan umat Islam sela-ma di
dunia hanya satu kali diurus dan dipimpin oleh Nabi yaitu Rasulullah saw dan
setelah itu sei-ring dengan taqdir Allah SWT yang memastikan Nabi Muhammad saw
sebagai penutup para Nabi dan tidak akan pernah ada lagi Nabi setelahnya (وَإِنَّهُ
لَا نَبِيَّ بَعْدِي), maka
taqdir Allah SWT lainnya menetapkan bahwa sisa perjalanan kehidupan umat Islam
sepenuhnya akan diurus dan dipimpin oleh para Khalifah (وَسَيَكُونُ
خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ).
Posisi Khulafa adalah sama persis dengan Nabi Muham-mad saw yakni يَسُوْسُوْنَ
الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ الدُّنْيَا,
sehingga umat Islam wajib mentaati mereka sama seperti mereka mentaati
Rasulullah saw. Oleh karena itulah Abu Bakar ra dengan sangat gamblang
menun-jukkan pemahaman jernihnya terhadap realitas tersebut :
اِنَّ
مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Sungguh Muhammad telah mati dan harus ada bagi agama ini
seseorang yang memberlakukannya
Abu Bakar tidak sendirian dalam kejernihan pemahaman tersebut melainkan
disepakati oleh selu-ruh sahabat Nabi Muhammad saw yang saat itu berada di
Ibukota Madinah Al-Munawwarah. Imam Ibnu Jarir Ath-Thabariy dalam Kitab
At-Taarikh mengkisahkan :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ
زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ
نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ
وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
Amru bin Harits
bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya
Rasu-lullah saw?’ Dia (Sa’iid)
menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu
Bakar dibai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw,
sebab mereka sa-ngat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari namun
mereka tidak dalam kehidupan ja-maah
Kejernihan pemahaman
seluruh sahabat Rasulullah saw terhadap وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ menjadikan saat krusial pasca wafatnya beliau saw berhasil
mereka lewati sekaligus mereka sele-saikan dengan benar yakni dengan
kesepakatan mereka (اِجْمَاعُهُمْ) untuk membai’at Abu Bakar seba-gai اَوَّلُ
خَلِيْفَةٍ بَعْدَ مَوْتِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (Khalifah pertama pasca kematian
Rasulullah saw) : فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ
مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Lalu, apakah umat Islam
saat ini telah mencurahkan seluruh pemikiran dan upaya riil mereka untuk
mengembalikan Khilafah Islamiyah yang telah lebih dari 85 tahun hilang?
Jawabannya adalah ja-ngankan melakukan itu sekedar untuk peduli pun mereka
tidak pernah bahkan yang pasti mereka telah mencurahkan seluruh pemikiran dan
upaya riil mereka untuk bersama-sama dengan kaum ku-far mencegah kembalinya
Khilafah Islamiyah.
Keseluruhan sikap dan sepak terjang umat
Islam generasi awal tersebut adalah riil dan hakikat yang telah mengantarkan
mereka kepada realitas حَلاَوَةُ اْلإِيْمَانِ, seperti yang dimaksudkan oleh Rasulul-lah
saw :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ
حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
(رواه البخاري)
Tiga hal yang siapa saja ketiganya ada dalam dirinya, maka
dia telah mendapatkan manisnya iman : adalah Allah dan Rasul Nya lebih dia cintai
daripada selainnya dan dia mencintai seseorang karena perintah Allah semata dan
dia benci kembali kepada kekufuran seperti halnya dia benci dilemparkan ke
dalam neraka
Realitas حَلاَوَةُ
اْلإِيْمَانِ
Realitas manisnya iman (حَلاَوَةُ
اْلإِيْمَانِ) yang telah berhasil diraih sempurna
oleh generasi awal umat Islam, ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw
berikut :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا
لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي
النَّارِ (رواه البخاري)
Tiga hal yang siapa saja ketiganya ada dalam dirinya, maka
dia telah mendapatkan manisnya iman : siapa saja yang Allah dan Rasul Nya lebih
dia cintai dari selainnya dan siapa saja yang mencintai se-seorang karena
perintah Allah ‘Azza wajalla dan siapa saja yang benci untuk kembali kepada
kekufu-ran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu seperti dia benci
dimasukkan ke dalam neraka
لَا
يَجِدُ أَحَدٌ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ
إِلَّا لِلَّهِ وَحَتَّى أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ
يَرْجِعَ إِلَى الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ وَحَتَّى يَكُونَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا (رواه
البخاري)
Seseorang tidak akan mendapatkan manisnya iman hingga dia
mencintai seseorang karena perintah Allah dan hingga dia lebih suka dilemparkan
ke dalam neraka daripada dia kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya
dan hingga dia lebih mencintai Allah dan Rasul Nya daripada selain-nya
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ
يَكُونَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
وَأَنْ يَكْرَهَ الْعَبْدُ أَنْ يَرْجِعَ عَنْ الْإِسْلَامِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ وَأَنْ يُحِبَّ الْعَبْدُ الْعَبْدَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا
لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (رواه احمد)
Tiga hal yang siapa saja ketiganya ada dalam dirinya, maka dengan
itu semuanya dia telah menda-patkan manisnya iman : adalah Allah ‘Azza wajalla
dan Rasul Nya lebih dia cintai daripada selainnya dan seseorang benci kembali
dari Islam seperti halnya dia benci dilemparkan ke dalam neraka dan se-seorang
mencintai seseorang lainnya karena perintah Allah ‘Azza wajalla
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ
اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
وَالرَّجُلُ يُحِبُّ الرَّجُلَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَالرَّجُلُ أَنْ
يُقْذَفَ فِي النَّارِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يَرْجِعَ يَهُودِيًّا أَوْ
نَصْرَانِيًّا (رواه احمد)
Tiga hal yang siapa saja
ketiganya ada dalam dirinya, maka dia telah mendapatkan manisnya iman : siapa
saja yang menjadikan Allah dan Rasul Nya lebih dia cintai daripada selainnya
dan seseorang mencintai seseorang yang lain karena perintah Allah dan seseorang
lebih suka dilemparkan ke dalam neraka daripada dia harus kembali sebagai
Yahudi atau Nashrani
Seluruh dalil tersebut menunjukkan bahwa :
1. realitas حَلاَوَةُ اْلإِيْمَانِ harus
dibuktikan dalam sikap dan perbuatan seorang muslim yakni dengan menjadikan
Allah SWT dan Rasul Nya sebagai paling dia cintai selama hidup di dunia dan
jika pun dia mencintai sesama manusia itu pun karena adanya perintah Allah
untuk melakukannya serta dia berupaya keras untuk tetap dalam Islam (اَلإِعْتِصَامُ بِالْإِسْلاَمِ) dengan
segala risiko yang harus dia hada-pi akibat keputusannya tersebut. Artinya, manisnya
iman bukanlah seperti manisnya gula yakni se-suatu yang harus
dirasakan melainkan harus dibuktikan melalui tiga sikap yang diungkap oleh
dalil lalu ketika ketiga sikap tersebut telah dapat dilaksanakan dengan
sempurna maka secara otomatis akan didapatkan manisnya iman : مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ
الْإِيمَانِ.
2. sikap أَنْ
يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ (dia benci kembali kepada
kekufuran seperti hal-nya dia benci dilemparkan ke dalam neraka) dan أَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ (dia mencintai seseorang karena perintah Allah semata) akan dapat dilakukan jika sikap
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا
سِوَاهُمَا (adalah
Allah dan Rasul Nya lebih dia cintai daripada selainnya)
telah dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya distorsi dari kepentingan
naluriah manusia sendiri. Artinya ada hubungan sebab akibat yakni
sikap أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا adalah
faktor sebab bagi dua sikap la-innya : وَأَنْ
يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.
3.
supaya dapat mengimplementasikan ketiga sikap tersebut, maka
realitas (اَلْمَنَاطُ) dari ketiganya ha-rus terlebih dahulu dipahami oleh aqal
manusia dengan menggunakan seluruh informasi tentang atau yang berkaitan
langsung dengan pembahasan itu sendiri. Sebagai contoh : realitas sikap yang
menjadi faktor sebab yakni أَنْ
يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا, dapat dipahami dengan mengguna-kan informasi dalam dalil lain
yang membahas tema tersebut :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (آل عمران : 31)
Sikap مَحَبَّةُ اللهِ (mencintai
Allah) yang dituntut oleh bagian ayat إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ wajib dibuktikan de-ngan sikap اِتِّبَاعُ الرَّسُوْلِ اَيْ اِتِّبَاعُ مَا جَاءَ بِهِ الرَّسُوْلِ
وَهُوَ الإِسْلاَمُ (mengikuti Rasul yakni mengikuti segala se-suatu yang datang
bersama Rasul yaitu Islam), lalu sikap اِتِّبَاعُ
الرَّسُوْلِ ini (فَاتَّبِعُونِي) dilakukan dengan
cara yang dituntut oleh pernyataan Allah SWT :
وَمَا
ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر : 7)
Dan segala hal
yang Rasul datangkan kepada kalian maka ambilah itu oleh kalian dan segala hal
yang dia larang kalian darinya maka tinggalkanlah itu oleh kalian
Salah satu sikap اَخْذُ مَا ءَاتَانَا بِهِ الرَّسُوْلُ وَانْتِهَاءُ مَا نَهَانَا
عَنْهُ ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
قُلْ
إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا
وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ
فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (التوبة : 24)
Artinya jika cinta manusia kepada orang tua, anak-anak, saudara,
istri, keluarga, harta, perdagangan dan tempat tinggal telah mengganggu
bahkan menghalangi sikap taat dia kepada Allah SWT dan Rasul Nya yang
di antaranya adalah pelaksanaan jihad dalam menyebarluaskan Islam, maka sikap
cinta seperti itu adalah haram dimiliki oleh yang bersangkutan. Sikap inilah
yang telah dilakukan oleh generasi umat Islam pertama seperti yang ditampakkan
oleh Sa’ad bin Abi Waqqash ketika menghadapi protes ibunya sendiri dengan cara
mogok makan saat sang ibu mengetahui anaknya tersebut telah masuk Islam :
تَعْلَمِيْنَ وَاللهِ يَا أُمَّاهُ لَوْ كَانَتْ لَكِ مِئَةُ نَفْسٍ
فَخَرَجَتْ نَفْسًا نَفْسًا مَا تَرَكْتُ دِيْنِيْ هَذَا فَكُلِيْ اِنْ شِئْتِ
اَوْ لاَ تَأْكُلِيْ
Demi Allah, ketahuilah wahai ibu andaikan anda memiliki 100
nyawa lalu keluar satu per satu, maka saya tidak akan meninggalkan agama saya
ini. Oleh karena itu, makanlah jika anda suka atau anda tidak usah makan
Sikap itu dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash bukan karena dia tidak
cinta atau tidak memu-liakan ibunya namun hal itu karena ibunya telah
menghalangi sikap taat dia kepada Allah SWT yakni memintanya untuk keluar
meninggalkan Islam. Sehingga Ibnu Waqqash telah berhasil mera-ih manisnya
iman dengan sikapnya seperti itu.
Wal hasil, realitas حَلاَوَةُ اْلإِيْمَانِ adalah :
كَوْنُ الشَّخْصِ الْمُسْلِمِ سَاكِنًا لِطَاعَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
عَلَى الإِطْلاَقِ فِيْ سَبِيْلِ مَحَبَّتِهِمَا
Keberadaan
pribadi muslim yang bersedia untuk taat kepada Allah dan Rasul Nya secara
mutlak da-lam rangka mencintai keduanya
Bersatunya
kekuasaan dan kesadaran : satunya-satunya keadaan untuk meraih حَلاَوَةُ اْلإِيْمَانِ
Mengapa para sahabat
bersepakat (اَجْمَعُوْا) untuk
mendahulukan upaya pencarian pengganti kedu-dukan Rasulullah saw selaku Kepala
Negara daripada aktivitas lainnya termasuk mengurus jenazah mulia beliau saw?
Penelusuran untuk mengetahui dan memahami alasan mereka dapat dimulai dengan
memperhatikan bentuk pemikiran para sahabat :
1.
Abu Bakar (bersama
dengan Umar) yang dijamin oleh Rasulullah saw bahwa pemikirannya adalah benar (أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي
بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا
خَالَفْتُكُمَا (رواه احمد)), saat mendapati kenyataan Rasulullah
saw telah wafat, berkata :
اِنَّ
مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Bagian وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ
مَنْ يَقُوْمُ بِهِ memastikan sebuah pemikiran bahwa selama umat Islam dipimpin
dan diurus oleh Rasulullah saw maka yang berkedudukan sebagai اَلسُّلْطَانُ يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَ الإِسْلاَمِ (pengua-sa
yang memberlakukan dinal Islam) adalah beliau saw. Sehingga ketika beliau
telah diwafatkan oleh Allah SWT maka pernyataan Abu Bakar tersebut juga
memastikan pemikiran bahwa kedudu-kan اَلسُّلْطَانُ
يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَ الإِسْلاَمِ wajib berlanjut oleh manusia biasa
dan yang pertama kali wajib meng-gantikan kedudukan itu adalah salah seorang
dari mereka. Inilah sebentuk pemahaman jernih Abu Bakar bahwa antara kesadaran
untuk berpegang teguh utuh kepada Islam (اَلإِدْرَاكُ
لِلْإِعْتِصَامِ بِدِيْنِ الإِسْلاَمِ) dengan kekuasaan yang bertugas utama
untuk memberlakukan syariah Islamiyah terhadap seluruh manusia, adalah harus
ada secara bersamaan persis seperti saat Rasulullah saw masih berada di
tengah-tengah mereka. Tentu saja pemahaman ini didasarkan kepada pernyataan
Rasulullah saw sendiri saat menjawab pertanyaan Hudzaifah bin Yaman (فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ) :
تَلْزَمُ
جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ (رواه البخاري)
2.
Imam Ibnu Jarir
Ath-Thabariy dalam Kitab At-Taarikh mengkisahkan :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ
زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ
نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ
وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
Amru bin Harits
bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya
Rasu-lullah saw?’ Dia (Sa’iid)
menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu
Bakar dibai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw,
sebab mereka sa-ngat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari namun
mereka tidak dalam kehidupan ja-maah
Bagian pernyataan كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ
وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ sangat memastikan bahwa para sahabat
telah berijma tentang kewajiban bersatunya antara kesadaran (اَلإِدْرَاكُ) dengan kekuasaan (اَلسُّلْطَانُ). Ijma sahabat tersebut menunjukkan
bahwa jika kesadaran tanpa disertai oleh kekuasaan maka posisinya akan sangat
rapuh bahkan dapat dipastikan tidak akan ada peran maupun pengaruhnya apa pun
da-lam realitas kehidupan manusia.
Dengan
demikian jelas sudah alasan syar’iy yang mendasari tindakan para
sahabat lebih menda-hulukan mempertahankan kesinambungan kekuasaan dengan
segera mencari pengganti kedudukan Ra-sulullah saw selaku Kepala Negara Islam
di Madinah, daripada aktivitas lainnya termasuk mengurus je-nazah mulia Nabi
Muhammad saw. Lalu ketika Umar menjadi Khalifah kedua setelah Abu Bakar maka
realitas tersebut semakin dikokohkan dengan ucapan :
يَا مَعْشَرَ
الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا
جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ
قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ
عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
wahai
masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Islam itu tidak
ada kecuali da-lam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya
imarah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja
yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasarkan pemahaman maka orang itu
adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mereka dan siapa saja yang dija-dikan
pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah
kehancuran ba-gi dirinya dan bagi mereka
Bersatunya
kekuasaan dengan kesadaran dalam wadah Khilafah Islamiyah yang dipimpin secara
tunggal oleh seorang Khalifah akan memastikan dapat dilaksanakannya seluruh
bentuk ketaatan umat Islam (juga seluruh manusia) seperti yang dituntut oleh
sejumlah dalil antara lain :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ (النساء : 59)
Wahai orang-orang yang beriman taatilah oleh kalian Allah,
Rasul dan penguasa kalian
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ
يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي
وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي (رواه مسلم)
Siapa saja yang mentaatiku maka pasti dia telah mentaati
Allah dan siapa saja yang membangkangku maka pasti dia telah membangkang kepada
Allah dan siapa saja yang mentaati Amir maka pasti dia te-lah mentaatiku dan
siapa saja yang membangkang Amir maka pasti dia telah membangkangku
Lalu karena realitas حَلاَوَةُ اْلإِيْمَانِ adalah :
كَوْنُ الشَّخْصِ الْمُسْلِمِ سَاكِنًا لِطَاعَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ
عَلَى الإِطْلاَقِ فِيْ سَبِيْلِ مَحَبَّتِهِمَا
dan
karena yang dapat merealisir dengan sempurna ketaatan kepada Allah SWT dan
Rasul Nya adalah wujudnya Khalifah yang menjadi jaminan manusiawi kesempurnaan
ketaatan tersebut, maka dapat di-pastikan bahwa satu-satunya keadaan
yang dapat mengantarkan seluruh umat Islam untuk meraih dan mendapatkan manisnya
iman adalah bersatunya kekuasaan dan kesadaran. Allah SWT menyatakan :
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا
وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور
: 55)
No comments:
Post a Comment