Sunday, November 3, 2013

MASLAHAT


Realitas maslahat dalam kehidupan kapitalistik
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara formal konstitusional adalah negara kebang-saan (nation state) yang memberlakukan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan kapitalisme seba-gai sistem perekonomiannya. Bila berpatokan kepada tanggal 17 Agustus 1945 yang menjadi waktu ke-lahiran NKRI, maka realitas NKRI sebagai negara kebangsaan demokratis kapitalistik adalah telah ber-langsung 65 tahun. Artinya periode waktu yang hampir tujuh dasawarsa tentu saja sudah cukup untuk mengantarkan demokrasi maupun kapitalisme benar-benar berada dalam posisi settlement alias mapan alias عَلَى قَنَاعَةٍ bagi rakyat Indonesia secara individual dan komunal. Sehingga kedua sistema racikan ta-ngan manusia tersebut telah menjadi asas pemikiran, perasaan sekaligus sikap dan perbuatan harian da-ri setiap rakyat Indonesia dalam menjalani dan menjalankan kehidupan di dunia.
Namun demikian, realitas lainnya yang juga melekat erat pada manusia Indonesia tentu saja ada yakni 88,1 persen dari mereka adalah umat Islam dan entitas ke-Islaman tersebut jauh lebih tua dari umur NKRI sendiri, yakni telah lebih dari satu abad. Oleh karena itu, walau memang demokrasi dan kapitalisme telah mendarah, mendaging, mengurat dalam setiap insan Indonesia namun faktanya tidak dapat begitu saja mengubur dan memusnahkan secara total ke-Islaman mereka, sehingga tidaklah me-ngejutkan munculnya sikap-sikap berikut :
1.       berusaha untuk mengabsahkan eksistensi demokrasi dan kapitalisme dengan menggunakan Islam atau paling tidak dengan menjadikan nuansa Islam sebagai asesorisnya. Tujuannya adalah supaya ketika menerima kedua sistema tersebut tidak terkesan menerima sesuatu dari luar Islam melainkan tercitrakan sangat kuat bahwa keduanya adalah bagian dari Islam atau minimal tidak dilarang oleh Islam.
2.       menjadikan beberapa pemikiran dalam Islam sebagai bukti bahwa dalam Islam nyata-nyata ada de-mokrasi atau ada realitas demokratis atau demokrasi memang diakui oleh Islam. Misalnya, pemi-kiran Islam tentang syura, atau realitas pelaksanaan shalat berjamaah yang dianggap sebagai sangat demokratis, atau pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا (الحجرات : 13)
yang diklaim sebagai pengakuan terhadap bagian terpenting dari konsepsi demokrasi yakni plura-lisme, atau لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (الكافرون : 6) maupun لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (البقرة : 256), sebagai pengakuan Islam terhadap ide toleransi dan kebebasan beragama.
3.       menggeret paksa pemikiran Islami tertentu misalnya perekonomian kepada realitas kehidupan kapi-talistik dengan tentu saja pertimbangan manfaat atau menguntungkan dan setelah itu diklaim seba-gai bukti bahwa Islam dengan kapitalisme bisa berdampingan dalam pola co-existence. Inilah yang digagas oleh MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) untuk membangun dual economy system di In-donesia.
4.       merealisir objek yang dibidik oleh hukum (تَحْقِيْقُ مَنَاطِ الْحُكْمِ) dalam semesta pembicaraan (جَوُّ الْكَلاَمِ) ushul fiqih dalam Islam kepada realitas kehidupan saat ini yang sekularistik. Contohnya adalah pa-paran Hikmatul Fitriyah seorang Pengajar Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri, Yogyakarta da-lam tulisannya berjudul “Kaidah Maslahat” (Republika, Jumat 30 April 2010, OPINI, halaman 4) :
Tidak hanya oleh mustafti (pihak yang diberi fatwa), pertimbangan kemaslahatan, memang sering kali dipakai baik oleh seorang mujtahid (penggali hukum) maupun mufti (pemberi fatwa) untuk menyampaikan keputusan hukum. Karena sangat dimungkinkan terdapat perbedaan sudut pandang pada setiap orang dalam melihat aspek kemaslahatan maka wajar jika hukum yang diambil pun ber-beda-beda. Perbedaan tersebut tidak menjadi sederhana ketika menyangkut urusan publik. Dari si-ni, kaidah maslahat relevan untuk dikaji secara lebih mendalam ketika akan dijadikan pertimbang-an untuk mengeluarkan ataupun menyikapi suatu produk hukum. Dalam konteks kajian ilmu Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqh, dua cabang ilmu yang bisa dikatakan sebagai filsafat hukum Islam, teori tentang maslahat menjadi salah satu tema yang cukup menarik. Izzuddin bin Abdissalam (wafat 660 H), seorang ulama besar dalam ilmu Qawaid Fiqh, bahkan menyederhanakan pembahasan kai-dah fikih hanya dalam paradigma I’tibaru al-mashalih wa dar’u al-mafasid, yang bermakna meng-ambil kemaslahatan dan mencegah kerusakan (Abdullah bin Said Muhammad ‘Abbadi al-Luhajji, Idhah Qawaid Fiqh, 1990: 8). Beberapa kaidah yang lahir dari paradigma ini salah satunya adalah kaidah yang bisa dipakai dalam pengambilan kebijakan, yakni Tasharruful imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bil al-mashlahah (kebijakan penguasa atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan). Mengingat dinamisasi kehidupan yang tidak bisa dihindari, tantangan untuk mengaktualisasikan ajaran dalam Alquran dan sunah semakin besar. Tak jarang fakta yang ada sekarang seakan menun-jukkan adanya kemaslahatan yang justru bertentangan dengan teks hukum yang kita temukan. Ter-kait dengan hal ini, kajian Ushul Fiqh pun menyentuh pada aspek pertentangan antara nas (teks hu-kum) dan kemaslahatan yang ada pada fakta sekarang. Diskursus selanjutnya, kalaupun aspek ke-maslahatan dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum, tantangan yang ada adalah keharusan adanya pengkajian yang mendalam untuk mencari kemaslahatan yang hakiki (al-mashlahah al-mu-haqqaqah). Untuk itu, diperlukan pemahaman yang komprehensif mengenai fakta yang ada. Jika kemaslahatan itu menyangkut ranah publik, kemaslahatan itu pun harus berupa kemaslahatan um-um (al-maslahah al-ammah), tidak boleh hanya berlaku untuk satu pihak.
Nampak sekali, Pengajar Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri Yogyakarta tersebut tengah mela-kukan kesalahan yang sangat fatal yakni membawa paksa dan selanjutnya memberlakukan bebera-pa kaidah ushul fiqih yang berhubungan dengan realitas wewenang yang dimiliki atau berada da-lam genggaman Khalifah/Imam kepada realitas kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah sekularis-tik yang berkuasa di sebuah negara kebangsaan seperti NKRI. Kesalahan fatal yang tak layak dito-lerir itu pun telah dimulai dengan menggeret paksa sebuah istilah dan realitas yang hanya ada da-lam yaitu maslahah (اَلْمَصْلَحَةُ). Akibatnya adalah gagasan Izzuddin bin Abdissalaam yang dirumus-kan dalam اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ اَيْ جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ (realisasi mashalih dan menghindari mafasid) berikut turunannya yakni تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ (pengelolaan Imam terhadap rakyat dilakukan dengan pertimbangan maslahah), seolah menjadi sangat salah sebab :
a.       realitas اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ maupun دَرْءُ الْمَفَاسِدِ yang dimaksudkan oleh Imam Izzuddin adalah sama se-kali bukan yang diniscayakan oleh pola kehidupan manusia saat ini yang sekularistik, melain-kan yang dituntut oleh kehidupan Islami saat itu yakni pada masa pemerintahan Khilafah Sala-jiqah (468-656 H/1075-1258 M) hingga awal pemerintahan Khilafah Mamalik (660 H/1261 M).
Oleh karena itu, walaupun : pertama, baik Khilafah Salajiqah maupun Mamalik adalah pelanjut estafeta realitas pemerintahan Islami yang jauh menyimpang dari اَلْخِلاَفَةُ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (periode Khulafa Rasyidun) namun demikian para Khalifah yang berkuasa tetap masih mempertahankan posisi Islam sebagai pokok segala urusan di dunia (رَأْسُ الأَمْرِ) dan mereka tidak pernah punya keberanian untuk merubahnya dengan hal lain di luar Islam. Dengan demikian, realitas dari اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ maupun دَرْءُ الْمَفَاسِدِ tentu saja adalah perwujudan dari politik Islami (اَلسِّيَاسَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) yakni :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
dan sama sekali bukan realitas politik saat ini seperti yang terungkap gamblang dalam pernya-taan C. Calhoun (2002) : the ways in which people gain, use, and lose power : suatu jalan di mana orang-orang meraih, menggunakan dan kehilangan kekuasaan.
Kedua, walaupun gagasan Imam Izzuddin : اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ اَيْ جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ ternyata mengundang pro dan kontra alias banyak ulama maupun fuqaha saat itu yang tidak se-pendapat namun kekeliruannya terletak pada hanya karena dia menempatkan rumusan tersebut sebagai maksud Allah SWT dalam menetapkan syariah Islamiyah yakni maksud Allah SWT menurunkan Islam ke dunia. Namun demikian, justru kekeliruan tersebut memastikan bahwa Imam Izzuddin menempatkan pembahasan tentang realitas الْمَصَالِحُ maupun الْمَفَاسِدُ dalam semes-ta pembicaraan (جَوُّ الْكَلاَمِ) Islam dan sama sekali bukan menurut kepentingan naluriah dia sen-diri atau pihak lain yang dekat dengannya atau kepentingan mainstream kekuasaaan saat itu (Khilafah Salajiqah dan Khilafah Mamalik) yang memang sangat banyak menyalahi ketentuan Islam yakni menyimpang dari realitas اَلْخِلاَفَةُ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ.
b.      adanya pemaksaan penerapan istilah الْمَصَالِحُ maupun الْمَفَاسِدُ pada realitas kehidupan sekularistik di dalam negara kebangsaan saat ini, tentu saja telah merusak atau paling tidak mereduksi mak-na sebenarnya yang terkandung dalam kedua istilah tersebut. Hal itu karena ketika suatu istilah yang ada dalam Islam dipaksa untuk digunakan dalam sistema kufur maka dapat dipastikan isti-lah tersebut akan tidak cocok, tidak sesuai dan tidak menunjukkan makna haqiqinya. Akibatnya adalah supaya menjadi cocok, sesuai dan tidak terganggu oleh ketidaksempurnaan makna haqi-qinya, maka dilakukanlah upaya manipulatif dengan berbagai cara antara lain dengan mengopi-nikan bahwa yang dimaksudkan oleh istilah itu adalah begini dan begitu. Fakta inilah yang ter-jadi atas sejumlah istilah Islami seperti syura (اَلشُّوْرَى), musyawarah (اَلْمُشَاوَرَةُ), jihad (اَلْجِهَادُ), dakwah (اَلدَّعْوَةُ), ibadah (اَلْعِبَادَةُ), Islam (اَلإِسْلاَمُ), iman (اَلإِيْمَانُ), baik (اَلْخَيْرُ), buruk (اَلشَّرُّ), amal sha-leh (عَمَلٌ صَالِحٌ), dan lainnya termasuk istilah maslahah (اَلْمَصْلَحَةُ) dan mafsadah (اَلْمَفْسَدَةُ).
Sekali lagi, setiap istilah dalam Islam mengandung pemikiran yang madlulnya selalu diperte-lakan oleh atau dalam suatu fakta maupun realitas serta wajib diberlakukan dalam realitas kehi-dupan itu sendiri. Oleh karena itu, setiap istilah Islami adalah haqiqah (اَلْحَقِيْقَةُ هِيَ فِكْرٌ لَهُ وَاقِعٌ) dan bukan konsepsi imajiner (فِكْرَةٌ خَيَالِيَّةٌ). Namun istilah Islami tersebut akan secara otomatis dan pasti kehilangan sifatnya sebagai اَلْحَقِيْقَةُ ketika dibawa lalu diberlakukan secara paksa dalam wadah yang bukan berasal dari Islam sendiri (Khilafah Islamiyah), seperti yang tengah digalak-kan saat ini oleh berbagai pemangku kepentingan (stake holder) maupun pembuat keputusan (decision maker) di negara-negara kebangsaan termasuk apalagi NKRI. Sebagai contoh : demi untuk kepentingan kokohnya eksistensi NKRI yang demokratis kapitalistik, maka dirancang se-buah konspirasi besar untuk mendefiniskan Islam sebagai agama cinta damai anti kekerasan dan moderat dan definisi konspiratif itu diopinikan sekaligus dipropagandakan sebagai makna haqiqi dari pernyataan Allah SWT : وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء : 107).
Contoh lain : istilah اَلْمَصْلَحَةُ yang dipadankan dalam bahasa Indonesia dengan istilah jejadian kemaslahatan telah mengalami reduksi yang sangat banyak dari pemikiran orisinal yang dikan-dungnya ketika digunakan dalam pola kehidupan saat ini. Istilah tersebut kini khususnya di In-donesia bermakna kepentingan atau dayaguna. Makna “asing” inilah yang tengah diperjuang-kan oleh Hikmatul Fitriyah untuk semakin populer digunakan dalam arena kehidupan demokra-tis kapitalistik di NKRI dan itu pun tetap dengan mengatasnamakan Islam : Sebagai contoh, beberapa waktu lalu pewacanaan atas hukum haramnya riba termasuk di dalamnya bunga bank yang digali dari nas-nas Alquran, dipandang sebagai suatu hal yang berat untuk dijalan-kan dan kurang memberikan maslahat bagi masyarakat. Beberapa contoh tersebut diharapkan semakin memperluas sudut pandang kita. Sudah selayaknya saat ini dilakukan kajian secara objektif terhadap akar dari seluruh problematika yang melingkupi masyarakat. Solusi yang di-tawarkan seharusnya mengacu kemaslahatan yang bersifat komprehensif seraya tidak meng-abaikan prinsip-prinsip agama. Bagaimanapun keyakinan kita terhadap agama meniscayakan ketaatan kita terhadap aturan-aturan yang secara hakiki tertuang dalam agama tersebut. Tidak mustahil, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar dan mandiri bukan karena me-minggirkan agama (sekuler), melainkan karena memegang prinsip agama dengan kuat dan mengaktualisasikannya dengan tepat.
Ungkapan … dan kurang memberikan maslahat bagi masyarakat, atau … Solusi yang di-tawarkan seharusnya mengacu kemaslahatan yang bersifat komprehensif seraya tidak meng-abaikan prinsip-prinsip agama, memastikan bahwa pemikiran orisinal yang terkandung dalam istilah اَلْمَصْلَحَةُ telah hilang sama sekali dan berganti dengan makna “kegunaan/daya guna” atau “kepentingan”. Padahal pemikiran orisinal dari istilah اَلْمَصْلَحَةُ dalam Islam dan kehidupan Isla-mi berwadah Khilafah Islamiyah adalah seperti yang dirumuskan dalam kadiah :
حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ
Kapan dan di mana pun syara ada dan berlaku maka di sana dan saat itulah adanya maslahah
Kaidah tersebut dirumuskan berdasarkan اَلدَّلاَلَةُ dari sejumlah dalil antara lain :
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ لِتَشْقَى (طه : 2)
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (طه : 124)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ (الأنفال : 24)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا (الإسراء : 9)
Jadi, sia-sia belaka dan sama sekali tidak ada gunanya bagi Islam dan umat Islam jika saat ini mengopinikan penolakan terhadap kehadiran Obama (atau Presiden Amerika Serikat lain sebe-lumnya maupun sesudahnya) sementara itu perkara yang menjadi penyebabnya yakni demokra-si sekularistik tetap dipertahankan bahkan semakin dikokohkan pemberlakuannya dalam kehi-dupan dunia. Kesia-siaan serupa juga terjadi ketika umat Islam mengkampanyekan haramnya rokok, sementara sistema kapitalisme sekularistik yang menuntut diijinkannya industri rokok karena sangat berpihak kepada kepentingan negara (porsi cukai rokok adalah 30 persen dari keseluruhan penerimaan dari sektor pajak) tetap dipertahankan bahkan semakin dikokohkan pemberlakuannya sebagai sistema perekonomian.
Mengapa bersikap ngotot untuk mengimplementasikan ketentuan Islam yang mengharamkan riba, sementara itu umat Islam sama sekali tidak peduli dan tidak pernah berupaya serius untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah sang pemegang wewenang satu-satunya dalam memberla-kukan seluruh ketentuan Islam termasuk haramnya riba? Di atas semua persoalan itu kasus per kasus, mengapa umat Islam bersikap selalu menyalahkan Islam setiap kali munculnya persoal-an, permasalahan, problematika dalam kehidupan mereka padahal kehidupan mereka sama se-kali tidak Islami alias itu semua 100 persen bukan gara-gara Islam? Lalu, mengapa mereka se-lalu meminta dengan sangat kepada Islam untuk menyelesaikan persoalan, permasalahan, pro-blematika dalam kehidupan mereka, padahal seluruhnya muncul akibat pemberlakuan sistema kufur demokrasi dan kapitalisme sekularistik?
Mengapa umat Islam termasuk apalagi Hikmatul Fitriyah selalu membiarkan diri mereka terje-bak dalam permainan dan kendali sistema kufur berikut aneka rupa akibatnya, sementara itu pa-da saat bersamaan mereka bersikukuh mengklaim diri sebagai tetap cinta kepada Islam sekali-gus terus berusaha mempraktikkannya dalam kehidupan serta berharap meraih kemuliaan de-ngan Islam “seolah-olah” tersebut, seperti yang terungkap pasti dan gamblang dalam artikulasi Hikmatul Fitriyah : Bagaimanapun keyakinan kita terhadap agama meniscayakan ketaatan kita terhadap aturan-aturan yang secara hakiki tertuang dalam agama tersebut. Tidak mustahil, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar dan mandiri bukan karena meminggirkan agama (sekuler), melainkan karena memegang prinsip agama dengan kuat dan mengaktualisa-sikannya dengan tepat?
Artikulasi orang itu semakin memastikan bahwa makna اَلْمَصْلَحَةُ yang dimaksudkan adalah “ke-gunaan/daya guna” atau “kepentingan” yakni bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang be-sar dan mandiri, sama sekali bukan حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ (kapan dan di mana pun syara ada dan berlaku maka di sana dan saat itulah adanya maslahah). Artinya, dia adalah umat Is-lam yang kesekian ratus juta di dunia yang secara riil setuju, sepakat sekaligus mengimplemen-tasikan اَلْقَاعِدَةُ الْبَاطِلَةُ (kaidah ngawur) :  لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِالتَّغَيُّرِ الزَّمَانِ وَالْمَكَانِ (tidak diingkari ada-nya perubahan hukum seiring dengan perubahan zaman dan tempat).
Padahal perubahan tersebut (اَلتَّغَيُّرُ) sama sekali tidak pernah terjadi tidak hanya dalam realitas hukum syara’ alias Islam bahkan dalam realitas antar syariah para Nabi sekali pun yakni antara Islam dengan pendahulunya. Allah SWT memastikan tidak pernah terjadinya perubahan terse-but dalam Al-Quran :
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ (الشورى : 13)
Bagian ayat شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ lalu مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا lalu وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى yang diikuti oleh bagian أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ memastikan bahwa tidak pernah terjadi perubahan apa pun dalam perjalanan peraturan Allah SWT yang diturunkan kepada manusia di dunia, mulai dari syariah Nabi Nuh, syariah Nabi Ibrahim, syariah Nabi Musa, syariah Nabi Isa hingga syariah Nabi Muhammad saw (syariah Islamiyah). Hanya dengan informasi ayat ini pun secara tekstual (مَنْطُوْقًا) sudah cukup untuk menolak dan membuang jauh-jauh kaidah ngawur tersebut, apalagi ditambah dengan berbagai informasi lain dari sumber Islam sendiri yang memastikan bahwa syariah Islamiyah itu tidak akan pernah dan tidak boleh mengalami perubahan hingga tibanya akhir dari kehidupan dunia (اَلسَّاعَةُ), antara lain :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة : 3)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ (رواه البخاري)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَاهُ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ (رواه مسلم)
Realitas Islam yang telah sempurna (أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ) lalu realitas di luar Islam yang pasti dito-lak (فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ), lalu realitas tidak akan lagi Nabi setelah Nabi Muhammad saw (وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي), lalu realitas Rasulullah saw yang berposisi sebagai penyempurna bangunan syariah Allah SWT (فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ), seluruhnya adalah hal atau perkara yang menolak dengan tegas, pasti dan gamblang (tidak mungkin dilakukannya ta’wil apa pun) terhadap gagasan absurd yang ditunjukkan oleh kaidah ngawur tersebut yakni : لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِالتَّغَيُّرِ الزَّمَانِ وَالْمَكَانِ (tidak di-ingkari adanya perubahan hukum seiring dengan perubahan zaman dan tempat).

Realitas maslahat dalam kehidupan Islami
Sekali lagi, realitas maslahat (وَاقِعُ الْمَصْلَحَةِ) dalam Islam adalah keadaan kehidupan manusia di du-nia yang sepenuhnya sesuai dengan atau dalam rangka memberlakukan ketentuan Islam :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء : 107)
Lalu karena kondisi رَحْمَةً adalah sifat dari مَا أَرْسَلَ اللهُ بِهِ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (perkara yang menyertai diutusnya Nabi Muhammad saw oleh Allah SWT) yakni risalah Islam alias syariah Islamiyah alias hu-kum syara’ (حُكْمٌ شَرْعِيٌّ), maka berlakulah kaidah hubungan sebagai berikut :
حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ اَيْ حَيْثُمَا يَكُوْنُ الإِسْلاَمُ مُطَبَّقًا فِيْ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا تَكُوْنُ فِيْهَا الْمَصْلَحَةُ
kapan dan di mana pun syara ada dan berlaku maka di sana dan saat itulah adanya maslahah, yakni kapan dan di mana pun Islam diberlakukan dalam kehidupan dunia maka di sana dan saat itulah ter-wujud maslahah di dalamnya
Maslahah tersebut dipastikan sebagai sifat dari Islam, yakni Islam berlaku maka secara otomatis maslahah terwujud, sedangkan wewenang untuk memberlakukan seluruh ketentuan Islam dalam arena kehidupan manusia di dunia adalah sepenuhnya di tangan Khalifah yang mengendalikan Khilafah Isla-miyah secara tunggal, sehingga ada dan tidak adanya, atau wujud dan tidak wujudnya maslahah di dunia adalah tergantung ada dan tidak adanya, atau wujud dan tidak wujudnya Khilafah Islamiyah.
Realitas itulah yang dipahami secara sempurna oleh para sahabat Nabi Muhammad saw ketika beliau wafat dan itu tergambar dari hadits sebagai berikut :
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ بِالسُّنْحِ قَالَ إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ وَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلَّا ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلَهُ قَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ أَلَا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ وَقَالَ إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ وَقَالَ وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ قَالَ فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ قَالَ وَاجْتَمَعَتْ الْأَنْصَارُ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَقَالُوا مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ فَذَهَبَ إِلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فَذَهَبَ عُمَرُ يَتَكَلَّمُ فَأَسْكَتَهُ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِلَّا أَنِّي قَدْ هَيَّأْتُ كَلَامًا قَدْ أَعْجَبَنِي خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْلُغَهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَتَكَلَّمَ أَبْلَغَ النَّاسِ فَقَالَ فِي كَلَامِهِ نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ فَقَالَ حُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ لَا وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَقَالَ عُمَرُ بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ النَّاسُ (رواه البخاري)
Dari Hisyam bin Urwah berkata telah mengabarkan kepada saya Urwah bin Zubair dari Aisyah ra is-tri Nabi saw bahwa Rasulullah saw telah wafat dan Abu Bakar tengah ada di Sunhi, berkata Ismail yakni di ‘Aliyah (tempat tinggal Bani Harits yang letaknya dari Masjid Nabawiy sejauh satu mil). Lalu Umar berdiri dan berkata : demi Allah, Rasulullah saw sama sekali belum mati. Dia (Aisyah) berkata : dan Umar berkata, demi Allah dalam diriku tidak ada yang lain kecuali itu (Rasulullah saw sama sekali belum mati) dan sungguh Allah akan membangkitkannya lagi lalu dia (Nabi Muhammad saw) pasti akan memotong kedua tangan orang-orang itu berikut kaki mereka. Lalu Abu Bakar pun tiba, dia membuka kain penutup jasad Rasulullah saw, menciumnya dan berkata : demi bapak dan ibuku, eng-kau tetap sehat baik ketika hidup maupun mati dan demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman Nya, Allah tidak akan menimpakkan dua kematian kepada engkau selamanya. Kemudian dia keluar la-lu berkata : wahai kawan-kawan tenangkan diri kalian dan jangan terburu-buru. Ketika Abu Bakar te-ngah berbicara, maka Umar pun duduk. Kemudian Abu Bakar memuji Allah dan menyanjung Nya se-raya berkata : siapa saja yang menghamba kepada Muhammad saw maka sungguh Muhammad telah mati dan siapa saja yang menghamba kepada Allah maka sungguh Allah itu hidup dan tidak akan per-nah mati. Dan dia berkata lagi : sungguh engkau telah mati dan mereka pun (para Nabi sebelumnya) telah mati. Dan dia berkata lagi : dan Muhammad itu tidak lain kecuali seorang Rasul, telah berlalu sebelumnya para Rasul, apakah jika dia mati atau terbunuh kalian akan kembali kepada masa lalu ka-lian dan siapa saja yang akan berbalik ke masa lalunya maka itu tidak akan pernah membahayakan Allah sedikit pun dan Allah pasti akan memberi balasan bagi orang-orang yang bersyukur. Dia (Ur-wah) berkata : lalu manusia sama-sama menangis dengan keras. Dia (Urwah) berkata : kaum Anshar berhimpun di sekitar Sa’ad bin ‘Ubadah di Saqiifah bani Saa’idah, lalu mereka berkata : dari kami (Anshar) seorang Amir dan dari kalian (Muhajirin) seorang Amir. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrah menemui mereka, lalu Umar mendahului berbicara se-mentara Abu Bakar terdiam. Umar saat itu berkata : demi Allah, aku tidak menginginkan itu kecuali bahwa aku telah mempersiapkan perkataan yang membuat aku sendiri begitu terkejut, aku khawatir Abu Bakar tidak akan menyampaikannya. Kemudian Abu Bakar berbicara dan dia berbicara dengan perkataan yang sangat gamblang. Dia menyatakan dalam ucapannya : kami (Muhajirin) adalah uma-ra dan kalian (Anshar) adalah wuzara. Maka Hubab bin Mundzir berkata : tidak, demi Allah, kamu ja-ngan melakukan itu, tetap dari kami seorang Amir dan dari kalian seorang Amir. Lalu Abu Bakar ber-kata : tidak, melainkan kami adalah umara dan kalian adalah wuzara. Mereka (Muhajirin) adalah orang Arab yang tinggal di bagian negeri paling mulia kedudukannya (Makkah) dan kedudukan mere-ka paling tinggi di antara orang Arab lainnya, maka bai’atlah oleh kalian Umar atau Abu ‘Ubaidah. Lalu Umar berkata : bahkan kami akan membai’atmu karena kamu adalah sayyid kami, orang terbaik di antara kami dan yang paling Rasulullah saw cintai di antara kami. Kemudian Umar memegang ta-ngan dia (Abu Bakar) lalu membai’atnya dan manusia pun membai’atnya
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (آل عمران : 144)
Pada kondisi yang sangat genting dan krusial tersebut ternyata ada satu hal yang tetap mereka sadari yakni wafatnya Rasulullah saw telah dengan pasti menjadikan umat Islam dan kehidupan Islami yang selama sepuluh tahun dikendalikan langsung oleh beliau saw tengah berada dalam ancaman mematikan bahkan kehancuran. Hal itu akibat pemegang wewenang satu-satunya dalam memberlakukan Islam dan menjaga keutuhan umat Islam serta memelihara keberlangsungan اَلدَّوْلَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ, telah wafat. Perkara yang terkategori مَعْلُوْمٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ inilah yang menjadikan seluruh sahabat Nabi Muhammad saw se-pakat untuk segera saja mencari siapa di antara mereka yang paling layak, pantas dan tepat untuk me-ngisi posisi رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ yang kosong karena baru saja ditinggalkan oleh pemilik sejatinya yakni Rasulul-lah saw. Walau dalam keadaan perasaan yang masih sangat sedih dan kehilangan, Abu Bakar meng-gambarkan realitas paling wajib tersebut dengan pernyataan :
اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مِنْ يَقُوْمُ بِهِ
Opini yang diemban Abu Bakar tersebut ternyata tidak sendirian melainkan disepakati oleh para saha-bat lainnya dan hakikat tersebut ditunjukkan dengan gamblang oleh riwayat berikut :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
Oleh karena itu, seluruh sahabat Nabi Muhammad saw pada hari wafatnya beliau saw dapat di-pastikan telah ijma terhadap persoalan kewajiban adanya seseorang yang akan menggantikan posisi Ra-sulullah saw selaku اِيْمَامًا اَيْ اَمِيْرًا اَيْ سُلْطَانًا dan tentu saja sebagai نَبِيًّا وَرَسُوْلاً, karena itu telah berakhir pada diri beliau sendiri. Inilah mengapa, walaupun para sahabat tengah dirundung duka yang sangat men-dalam yang belum pernah mereka alami sebelumnya, tapi segera saja mereka baik Muhajirin maupun Anshar melakukan pertemuan sangat penting untuk menentukan pengganti tersebut. Jadi pernyataan kaum Anshar : مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ, harus dipahamkan sebagai bentuk pemikiran yang benar karena menun-jukkan bahwa mereka sangat bertanggungjawab terhadap keberlangsungan Islam berikut umat Islam dan negara Islam. Demikian juga pernyataan Abu Bakar نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ yang mewakili Muhajirin adalah refleksi pasti dari tanggungjawab yang sama, bahkan ketika dibantah oleh wakil Anshar yakni Hubab bin Munzdir : لَا وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ, maka Abu Bakar semakin menegaskan realitas yang haqiqi : بْنَ الْجَرَّاحِ لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ.
Dialog cukup keras antara Anshar dan Muhajirin tentang siapa yang paling pantas layak untuk menjadi Amir umat Islam memastikan bahwa mereka : (1) sepakat tentang wajib ada seseorang yang akan mengisi posisi tersebut setelah ditinggalkan selamanya oleh Rasulullah saw dan (2) berselisih ten-tang orang yang dimaksudkan (اَلشَّخْصُ لِلأَمِيْرِ). Realitas tersebut sangat dipahami oleh Abu Bakar dan ji-ka dibiarkan berlarut-larut maka akan sangat membahayakan keutuhan جَمَاعَةُ الْمُسلِمِيْنَ yang baru saja ke-hilangan اِيْمَامُهُمْ. Itulah mengapa Abu segera saja memberikan satu fakta kedudukan Muhajirin kepada Anshar : بْنَ الْجَرَّاحِ لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ (tidak, melainkan kami adalah umara dan kalian adalah wuzara. Mereka (Muhajirin) adalah orang Arab yang tinggal di bagian negeri paling mulia kedudukannya (Makkah) dan kedudukan mereka paling tinggi di antara orang Arab lainnya, maka bai’atlah oleh kalian Umar atau Abu ‘Ubaidah). Kepastian faktual ini bagai obat ampuh yang dapat dengan cepat memberikan pengaruh kesadaran kepada semua sahabat terutama kalangan Anshar :
فَقَالَ عُمَرُ بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ النَّاسُ
Lalu Umar berkata : bahkan kami akan membai’atmu karena kamu adalah sayyid kami, orang terbaik di antara kami dan yang paling Rasulullah saw cintai di antara kami. Kemudian Umar memegang ta-ngan dia (Abu Bakar) lalu membai’atnya dan manusia pun membai’atnya
Upaya serius dan sungguh-sungguh para sahabat Nabi Muhammad saw pada hari wafatnya beliau saw menunjukkan dengan pasti bahwa mereka sepakat untuk selalu mempertahankan bagunan اَلْمَصْلَحَةُ yang telah dengan susah payah mereka tegakkan bersama-sama Rasulullah saw selama 10 tahun. Pe-mahaman inilah yang juga terungkap dari pernyataan Imam Izzuddin bin Abdissalam :
اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ اَيْ جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ
yang berarti tetap mempertahankan pemberlakukan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah supaya selalu terjamin eksistensi الْمَصَالِحِ dan senantiasa terhindar dari الْمَفَاسِدِ. Hal yang sama juga dimaksud-kan oleh Imam Izzuddin saat menyatakan :
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
artinya, apa pun yang dilakukan oleh Khalifah atau Imam saat melakukan pengelolaan terhadap rakyat (تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ) dalam rangka mengurus kepentingan mereka adalah dilakukan dengan pertimba-ngan maslahah yakni tetap terjaminnya pemberlakuan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah. Hal itu karena, mustahil bagi Khalifah dapat merealisir pemenuhan seluruh urusan dan kebutuhan rakyat Khi-lafah jika realitas الْمَصَالِحِ tidak terwujud dengan sempurna.
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)

Khatimah
Adalah kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap jika umat Islam menggagas untuk membawa maslahat Islami ke dalam kehidupan kapitalistik! Hal itu karena, ketika maslahat Islami dibawa ke dalam kehidupan kapitalistik sekularistik maka dapat dipastikan realitas maslahah yang dituntut tidak akan lagi sesuai dengan yang dimaksudkan maupun dituntut oleh Islam yakni tetap mempertahankan pemberlakukan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah supaya, melainkan pasti akan berubah secara mendasar dan diametral yakni menjadi realitas yang dimaksudkan dan dituntut oleh kapitalisme se-kularistik itu sendiri : tetap terjaminnya keberlangsungan pemberlakuan sistema kufur tersebut da-lam kehidupan dunia khususnya di Dunia Islam.
Ketika dimunculkan fatwa haramnya rokok, maka dapat dipastikan fatwa itu tidak maslahah bagi seluruh pemangku kepentingan (stake holders) seputar rokok : petani tambakau, industri rokok, buruh industri rokok, pemerintah NKRI (Dirjen Pajak), pedagang besar, pedagang eceran bahkan akhirnya para perokok yang telah memposisikan rokok sebagai makanan pokok. Mengapa demikian? Hal itu ka-rena Ideologi Kapitalisme yang telah diberlakukan di NKRI paling tidak sejak tahun 1945, telah mem-berikan standard اَلْقَنَاعَةُ الْجَدِيْدَةُ (perkara baru yang akan dipertahankan hingga mati) bagi umat Islam Indonesia yang menggantikan Islam yang mereka anggap telah usang dan wajib disingkirkan dari pem-berlakuannya dalam arena kehidupan dunia. Realitas yang sama dipastikan akan terjadi pada hukum/ ketentuan Islam mana pun dan berkait dengan persoalan apa pun. Rasulullah saw menyatakan :
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)




No comments:

Post a Comment