Realitas maslahat dalam kehidupan kapitalistik
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara formal
konstitusional adalah negara kebang-saan (nation state) yang
memberlakukan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan kapitalisme seba-gai
sistem perekonomiannya. Bila berpatokan kepada tanggal 17 Agustus 1945 yang
menjadi waktu ke-lahiran NKRI, maka realitas NKRI sebagai negara kebangsaan
demokratis kapitalistik adalah telah ber-langsung 65 tahun. Artinya periode
waktu yang hampir tujuh dasawarsa tentu saja sudah cukup untuk mengantarkan
demokrasi maupun kapitalisme benar-benar berada dalam posisi settlement
alias mapan alias عَلَى قَنَاعَةٍ bagi rakyat Indonesia secara individual dan
komunal. Sehingga kedua sistema racikan ta-ngan manusia tersebut telah menjadi
asas pemikiran, perasaan sekaligus sikap dan perbuatan harian da-ri setiap
rakyat Indonesia dalam menjalani dan menjalankan kehidupan di dunia.
Namun demikian, realitas lainnya yang juga melekat erat pada
manusia Indonesia tentu saja ada yakni 88,1 persen dari mereka adalah umat
Islam dan entitas ke-Islaman tersebut jauh lebih tua dari umur NKRI sendiri,
yakni telah lebih dari satu abad. Oleh karena itu, walau memang demokrasi dan
kapitalisme telah mendarah, mendaging, mengurat dalam setiap insan Indonesia
namun faktanya tidak dapat begitu saja mengubur dan memusnahkan secara total
ke-Islaman mereka, sehingga tidaklah me-ngejutkan munculnya sikap-sikap berikut
:
1.
berusaha untuk mengabsahkan eksistensi demokrasi dan kapitalisme
dengan menggunakan Islam atau paling tidak dengan menjadikan nuansa Islam
sebagai asesorisnya. Tujuannya adalah supaya ketika menerima kedua sistema tersebut
tidak terkesan menerima sesuatu dari luar Islam melainkan tercitrakan sangat
kuat bahwa keduanya adalah bagian dari Islam atau minimal tidak dilarang oleh
Islam.
2.
menjadikan beberapa pemikiran dalam Islam sebagai bukti bahwa
dalam Islam nyata-nyata ada de-mokrasi atau ada realitas demokratis atau
demokrasi memang diakui oleh Islam. Misalnya, pemi-kiran Islam tentang syura,
atau realitas pelaksanaan shalat berjamaah yang dianggap sebagai sangat
demokratis, atau pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا (الحجرات : 13)
yang diklaim sebagai pengakuan terhadap bagian terpenting
dari konsepsi demokrasi yakni plura-lisme, atau لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (الكافرون : 6) maupun لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ (البقرة : 256), sebagai pengakuan Islam terhadap ide
toleransi dan kebebasan beragama.
3.
menggeret paksa pemikiran Islami tertentu misalnya perekonomian
kepada realitas kehidupan kapi-talistik dengan tentu saja pertimbangan manfaat
atau menguntungkan dan setelah itu diklaim seba-gai bukti bahwa Islam dengan
kapitalisme bisa berdampingan dalam pola co-existence. Inilah yang
digagas oleh MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) untuk membangun dual economy
system di In-donesia.
4.
merealisir objek yang dibidik oleh hukum (تَحْقِيْقُ مَنَاطِ الْحُكْمِ)
dalam semesta pembicaraan (جَوُّ الْكَلاَمِ) ushul fiqih dalam Islam kepada realitas
kehidupan saat ini yang sekularistik. Contohnya adalah pa-paran Hikmatul
Fitriyah seorang Pengajar Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri, Yogyakarta da-lam
tulisannya berjudul “Kaidah Maslahat” (Republika, Jumat 30 April 2010, OPINI,
halaman 4) :
Tidak hanya oleh mustafti (pihak yang diberi
fatwa), pertimbangan kemaslahatan, memang sering kali dipakai baik oleh seorang
mujtahid (penggali hukum) maupun mufti (pemberi fatwa) untuk menyampaikan
keputusan hukum. Karena sangat dimungkinkan terdapat perbedaan sudut pandang
pada setiap orang dalam melihat aspek kemaslahatan maka wajar jika hukum yang
diambil pun ber-beda-beda. Perbedaan tersebut tidak menjadi sederhana ketika
menyangkut urusan publik. Dari si-ni, kaidah maslahat relevan untuk dikaji
secara lebih mendalam ketika akan dijadikan pertimbang-an untuk mengeluarkan
ataupun menyikapi suatu produk hukum. Dalam konteks kajian ilmu Ushul Fiqh
dan Qawaid Fiqh, dua cabang ilmu yang bisa dikatakan sebagai filsafat
hukum Islam, teori tentang maslahat menjadi salah satu tema yang cukup menarik.
Izzuddin bin Abdissalam (wafat 660 H), seorang ulama besar dalam ilmu Qawaid
Fiqh, bahkan menyederhanakan pembahasan kai-dah fikih hanya dalam paradigma
I’tibaru al-mashalih wa dar’u al-mafasid, yang bermakna meng-ambil
kemaslahatan dan mencegah kerusakan (Abdullah bin Said Muhammad ‘Abbadi
al-Luhajji, Idhah Qawaid Fiqh, 1990: 8). Beberapa kaidah yang lahir dari
paradigma ini salah satunya adalah kaidah yang bisa dipakai dalam pengambilan
kebijakan, yakni Tasharruful imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bil al-mashlahah
(kebijakan penguasa atas rakyatnya bergantung pada kemaslahatan). Mengingat
dinamisasi kehidupan yang tidak bisa dihindari, tantangan untuk
mengaktualisasikan ajaran dalam Alquran dan sunah semakin besar. Tak jarang
fakta yang ada sekarang seakan menun-jukkan adanya kemaslahatan yang justru
bertentangan dengan teks hukum yang kita temukan. Ter-kait dengan hal ini,
kajian Ushul Fiqh pun menyentuh pada aspek pertentangan antara nas (teks
hu-kum) dan kemaslahatan yang ada pada fakta sekarang. Diskursus selanjutnya,
kalaupun aspek ke-maslahatan dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum,
tantangan yang ada adalah keharusan adanya pengkajian yang mendalam untuk
mencari kemaslahatan yang hakiki (al-mashlahah al-mu-haqqaqah). Untuk
itu, diperlukan pemahaman yang komprehensif mengenai fakta yang ada. Jika
kemaslahatan itu menyangkut ranah publik, kemaslahatan itu pun harus berupa
kemaslahatan um-um (al-maslahah al-ammah), tidak boleh hanya berlaku
untuk satu pihak.
Nampak sekali,
Pengajar Pondok Pesantren Nurul Ummah Putri Yogyakarta tersebut tengah
mela-kukan kesalahan yang sangat fatal yakni membawa paksa dan selanjutnya
memberlakukan bebera-pa kaidah ushul fiqih yang berhubungan dengan realitas
wewenang yang dimiliki atau berada da-lam genggaman Khalifah/Imam kepada
realitas kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah sekularis-tik yang berkuasa di
sebuah negara kebangsaan seperti NKRI. Kesalahan fatal yang tak layak
dito-lerir itu pun telah dimulai dengan menggeret paksa sebuah istilah dan
realitas yang hanya ada da-lam yaitu maslahah (اَلْمَصْلَحَةُ). Akibatnya adalah gagasan Izzuddin bin
Abdissalaam yang dirumus-kan dalam اِعْتِبَارُ
الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ اَيْ جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ
الْمَفَاسِدِ (realisasi mashalih
dan menghindari mafasid) berikut turunannya yakni تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ (pengelolaan Imam terhadap rakyat
dilakukan dengan pertimbangan maslahah), seolah menjadi sangat salah sebab
:
a.
realitas اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ maupun دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ yang dimaksudkan oleh Imam
Izzuddin adalah sama se-kali bukan yang diniscayakan oleh pola kehidupan
manusia saat ini yang sekularistik, melain-kan yang dituntut oleh kehidupan
Islami saat itu yakni pada masa pemerintahan Khilafah Sala-jiqah (468-656
H/1075-1258 M) hingga awal pemerintahan Khilafah Mamalik (660 H/1261 M).
Oleh karena itu,
walaupun : pertama, baik Khilafah Salajiqah maupun Mamalik adalah
pelanjut estafeta realitas pemerintahan Islami yang jauh menyimpang dari اَلْخِلاَفَةُ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (periode Khulafa Rasyidun) namun demikian
para Khalifah yang berkuasa tetap masih mempertahankan posisi Islam sebagai
pokok segala urusan di dunia (رَأْسُ
الأَمْرِ) dan mereka tidak pernah punya keberanian
untuk merubahnya dengan hal lain di luar Islam. Dengan demikian, realitas dari اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ
maupun دَرْءُ الْمَفَاسِدِ
tentu saja adalah perwujudan dari politik Islami (اَلسِّيَاسَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) yakni :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ
الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ
dan sama sekali bukan realitas politik saat ini seperti
yang terungkap gamblang dalam pernya-taan C. Calhoun (2002) : the ways in
which people gain, use, and lose power : suatu jalan di mana orang-orang
meraih, menggunakan dan kehilangan kekuasaan.
Kedua, walaupun gagasan Imam
Izzuddin : اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ
الْمَفَاسِدِ اَيْ جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ ternyata mengundang pro dan kontra alias banyak ulama maupun
fuqaha saat itu yang tidak se-pendapat namun kekeliruannya terletak pada hanya
karena dia menempatkan rumusan tersebut sebagai maksud Allah SWT dalam
menetapkan syariah Islamiyah yakni maksud Allah SWT menurunkan Islam ke dunia.
Namun demikian, justru kekeliruan tersebut memastikan bahwa Imam Izzuddin
menempatkan pembahasan tentang realitas الْمَصَالِحُ maupun الْمَفَاسِدُ dalam semes-ta pembicaraan (جَوُّ الْكَلاَمِ) Islam dan sama sekali bukan menurut kepentingan naluriah
dia sen-diri atau pihak lain yang dekat dengannya atau kepentingan
mainstream kekuasaaan saat itu (Khilafah Salajiqah dan Khilafah Mamalik)
yang memang sangat banyak menyalahi ketentuan Islam yakni menyimpang dari
realitas اَلْخِلاَفَةُ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ.
b.
adanya pemaksaan penerapan istilah الْمَصَالِحُ maupun الْمَفَاسِدُ pada realitas kehidupan sekularistik di dalam
negara kebangsaan saat ini, tentu saja telah merusak atau paling tidak
mereduksi mak-na sebenarnya yang terkandung dalam kedua istilah tersebut. Hal
itu karena ketika suatu istilah yang ada dalam Islam dipaksa untuk digunakan
dalam sistema kufur maka dapat dipastikan isti-lah tersebut akan tidak cocok,
tidak sesuai dan tidak menunjukkan makna haqiqinya. Akibatnya adalah supaya
menjadi cocok, sesuai dan tidak terganggu oleh ketidaksempurnaan makna
haqi-qinya, maka dilakukanlah upaya manipulatif dengan berbagai cara antara
lain dengan mengopi-nikan bahwa yang dimaksudkan oleh istilah itu adalah begini
dan begitu. Fakta inilah yang ter-jadi atas sejumlah istilah Islami seperti
syura (اَلشُّوْرَى),
musyawarah (اَلْمُشَاوَرَةُ), jihad (اَلْجِهَادُ), dakwah (اَلدَّعْوَةُ), ibadah (اَلْعِبَادَةُ), Islam (اَلإِسْلاَمُ), iman (اَلإِيْمَانُ), baik (اَلْخَيْرُ), buruk (اَلشَّرُّ), amal sha-leh (عَمَلٌ
صَالِحٌ), dan lainnya termasuk istilah maslahah (اَلْمَصْلَحَةُ)
dan mafsadah (اَلْمَفْسَدَةُ).
Sekali lagi, setiap istilah dalam Islam
mengandung pemikiran yang madlulnya selalu diperte-lakan oleh atau
dalam suatu fakta maupun realitas serta wajib diberlakukan dalam
realitas kehi-dupan itu sendiri. Oleh karena itu, setiap istilah Islami adalah
haqiqah (اَلْحَقِيْقَةُ هِيَ فِكْرٌ لَهُ وَاقِعٌ) dan bukan konsepsi imajiner (فِكْرَةٌ خَيَالِيَّةٌ).
Namun istilah Islami tersebut akan secara otomatis dan pasti kehilangan
sifatnya sebagai اَلْحَقِيْقَةُ ketika dibawa lalu diberlakukan secara paksa
dalam wadah yang bukan berasal dari Islam sendiri (Khilafah Islamiyah), seperti
yang tengah digalak-kan saat ini oleh berbagai pemangku kepentingan (stake
holder) maupun pembuat keputusan (decision maker) di negara-negara
kebangsaan termasuk apalagi NKRI. Sebagai contoh : demi untuk kepentingan
kokohnya eksistensi NKRI yang demokratis kapitalistik, maka dirancang se-buah
konspirasi besar untuk mendefiniskan Islam sebagai agama cinta damai anti
kekerasan dan moderat dan definisi konspiratif itu diopinikan sekaligus
dipropagandakan sebagai makna haqiqi dari pernyataan Allah SWT : وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء :
107).
Contoh lain : istilah اَلْمَصْلَحَةُ
yang dipadankan dalam bahasa Indonesia dengan istilah jejadian kemaslahatan
telah mengalami reduksi yang sangat banyak dari pemikiran orisinal yang
dikan-dungnya ketika digunakan dalam pola kehidupan saat ini. Istilah tersebut
kini khususnya di In-donesia bermakna kepentingan atau dayaguna.
Makna “asing” inilah yang tengah diperjuang-kan oleh Hikmatul Fitriyah untuk
semakin populer digunakan dalam arena kehidupan demokra-tis kapitalistik di
NKRI dan itu pun tetap dengan mengatasnamakan Islam : Sebagai contoh,
beberapa waktu lalu pewacanaan atas hukum haramnya riba termasuk di dalamnya
bunga bank yang digali dari nas-nas Alquran, dipandang sebagai suatu hal yang
berat untuk dijalan-kan dan kurang memberikan maslahat bagi masyarakat.
Beberapa contoh tersebut diharapkan semakin memperluas sudut pandang kita.
Sudah selayaknya saat ini dilakukan kajian secara objektif terhadap akar dari
seluruh problematika yang melingkupi masyarakat. Solusi yang di-tawarkan
seharusnya mengacu kemaslahatan yang bersifat komprehensif seraya tidak
meng-abaikan prinsip-prinsip agama. Bagaimanapun keyakinan kita terhadap agama
meniscayakan ketaatan kita terhadap aturan-aturan yang secara hakiki tertuang
dalam agama tersebut. Tidak mustahil, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang
besar dan mandiri bukan karena me-minggirkan agama (sekuler), melainkan karena
memegang prinsip agama dengan kuat dan mengaktualisasikannya dengan tepat.
Ungkapan … dan kurang memberikan maslahat
bagi masyarakat, atau … Solusi yang di-tawarkan seharusnya mengacu
kemaslahatan yang bersifat komprehensif seraya tidak meng-abaikan
prinsip-prinsip agama, memastikan bahwa pemikiran orisinal yang terkandung
dalam istilah اَلْمَصْلَحَةُ telah hilang sama sekali dan berganti dengan
makna “kegunaan/daya guna” atau “kepentingan”. Padahal pemikiran orisinal dari
istilah اَلْمَصْلَحَةُ
dalam Islam dan kehidupan Isla-mi berwadah
Khilafah Islamiyah adalah seperti yang dirumuskan dalam kadiah :
حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ
تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ
Kapan dan di mana pun syara ada dan berlaku maka di sana
dan saat itulah adanya maslahah
Kaidah tersebut dirumuskan berdasarkan اَلدَّلاَلَةُ dari sejumlah
dalil antara lain :
مَا
أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ لِتَشْقَى (طه : 2)
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي
فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (طه :
124)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا
يُحْيِيكُمْ (الأنفال : 24)
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ
أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ
أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي
لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ
الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا (الإسراء : 9)
Jadi, sia-sia belaka dan sama sekali tidak ada gunanya bagi Islam dan
umat Islam jika saat ini mengopinikan penolakan terhadap kehadiran Obama (atau
Presiden Amerika Serikat lain sebe-lumnya maupun sesudahnya) sementara itu
perkara yang menjadi penyebabnya yakni demokra-si sekularistik tetap
dipertahankan bahkan semakin dikokohkan pemberlakuannya dalam kehi-dupan dunia.
Kesia-siaan serupa juga terjadi ketika umat Islam mengkampanyekan haramnya
rokok, sementara sistema kapitalisme sekularistik yang menuntut diijinkannya
industri rokok karena sangat berpihak kepada kepentingan negara (porsi cukai
rokok adalah 30 persen dari keseluruhan penerimaan dari sektor pajak) tetap
dipertahankan bahkan semakin dikokohkan pemberlakuannya sebagai sistema
perekonomian.
Mengapa bersikap ngotot untuk mengimplementasikan ketentuan Islam yang
mengharamkan riba, sementara itu umat Islam sama sekali tidak peduli dan tidak
pernah berupaya serius untuk mengembalikan Khilafah Islamiyah sang pemegang
wewenang satu-satunya dalam memberla-kukan seluruh ketentuan Islam termasuk
haramnya riba? Di atas semua persoalan itu kasus per kasus, mengapa umat Islam
bersikap selalu menyalahkan Islam setiap kali munculnya persoal-an,
permasalahan, problematika dalam kehidupan mereka padahal kehidupan mereka sama
se-kali tidak Islami alias itu semua 100 persen bukan gara-gara Islam? Lalu,
mengapa mereka se-lalu meminta dengan sangat kepada Islam untuk menyelesaikan
persoalan, permasalahan, pro-blematika dalam kehidupan mereka, padahal
seluruhnya muncul akibat pemberlakuan sistema kufur demokrasi dan kapitalisme
sekularistik?
Mengapa umat Islam termasuk apalagi Hikmatul Fitriyah selalu membiarkan diri
mereka terje-bak dalam permainan dan kendali sistema kufur berikut aneka rupa
akibatnya, sementara itu pa-da saat bersamaan mereka bersikukuh mengklaim diri
sebagai tetap cinta kepada Islam sekali-gus terus berusaha mempraktikkannya
dalam kehidupan serta berharap meraih kemuliaan de-ngan Islam “seolah-olah”
tersebut, seperti yang terungkap pasti dan gamblang dalam artikulasi Hikmatul
Fitriyah : Bagaimanapun keyakinan kita terhadap agama meniscayakan ketaatan
kita terhadap aturan-aturan yang secara hakiki tertuang dalam agama tersebut.
Tidak mustahil, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar dan mandiri
bukan karena meminggirkan agama (sekuler), melainkan karena memegang prinsip
agama dengan kuat dan mengaktualisa-sikannya dengan tepat?
Artikulasi orang itu semakin memastikan bahwa
makna اَلْمَصْلَحَةُ
yang dimaksudkan adalah “ke-gunaan/daya guna” atau “kepentingan” yakni bangsa
Indonesia bisa menjadi bangsa yang be-sar dan mandiri, sama sekali bukan حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ (kapan
dan di mana pun syara ada dan berlaku maka di sana dan saat itulah adanya
maslahah). Artinya, dia adalah umat Is-lam yang kesekian ratus juta di
dunia yang secara riil setuju, sepakat sekaligus mengimplemen-tasikan اَلْقَاعِدَةُ الْبَاطِلَةُ
(kaidah ngawur) : لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِالتَّغَيُّرِ الزَّمَانِ
وَالْمَكَانِ (tidak diingkari
ada-nya perubahan hukum seiring dengan perubahan zaman dan tempat).
Padahal perubahan tersebut (اَلتَّغَيُّرُ)
sama sekali tidak pernah terjadi tidak hanya dalam realitas hukum syara’ alias
Islam bahkan dalam realitas antar syariah para Nabi sekali pun yakni antara
Islam dengan pendahulunya. Allah SWT memastikan tidak pernah terjadinya
perubahan terse-but dalam Al-Quran :
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا
وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ
إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا
فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي
إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ (الشورى : 13)
Bagian ayat شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ
lalu مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا lalu وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ
إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى
yang diikuti oleh bagian أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
memastikan bahwa tidak pernah terjadi perubahan apa pun dalam perjalanan
peraturan Allah SWT yang diturunkan kepada manusia di dunia, mulai dari syariah
Nabi Nuh, syariah Nabi Ibrahim, syariah Nabi Musa, syariah Nabi Isa hingga
syariah Nabi Muhammad saw (syariah Islamiyah). Hanya dengan informasi ayat ini
pun secara tekstual (مَنْطُوْقًا) sudah cukup untuk menolak dan membuang
jauh-jauh kaidah ngawur tersebut, apalagi ditambah dengan berbagai informasi
lain dari sumber Islam sendiri yang memastikan bahwa syariah Islamiyah itu
tidak akan pernah dan tidak boleh mengalami perubahan hingga tibanya akhir dari
kehidupan dunia (اَلسَّاعَةُ), antara lain :
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة : 3)
وَمَنْ
يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي
الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ
سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ
فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ
خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ
فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا
اسْتَرْعَاهُمْ (رواه البخاري)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِنَّ مَثَلِي وَمَثَلَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى
بَيْتًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ
فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا
وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ
النَّبِيِّينَ (رواه البخاري)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلِي وَمَثَلُ
الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ
وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَاهُ فَجَعَلَ
النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ
اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ (رواه مسلم)
Realitas Islam yang telah sempurna (أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ) lalu realitas di luar Islam yang
pasti dito-lak (فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ), lalu realitas
tidak akan lagi Nabi setelah Nabi Muhammad saw (وَإِنَّهُ
لَا نَبِيَّ بَعْدِي), lalu realitas Rasulullah saw yang berposisi sebagai
penyempurna bangunan syariah Allah SWT (فَأَنَا
اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ), seluruhnya adalah hal atau
perkara yang menolak dengan tegas, pasti dan gamblang
(tidak mungkin dilakukannya ta’wil apa pun) terhadap gagasan absurd
yang ditunjukkan oleh kaidah ngawur tersebut yakni : لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِالتَّغَيُّرِ الزَّمَانِ
وَالْمَكَانِ (tidak di-ingkari
adanya perubahan hukum seiring dengan perubahan zaman dan tempat).
Realitas maslahat dalam kehidupan Islami
Sekali lagi, realitas maslahat (وَاقِعُ الْمَصْلَحَةِ)
dalam Islam adalah keadaan kehidupan manusia di du-nia yang sepenuhnya sesuai
dengan atau dalam rangka memberlakukan ketentuan Islam :
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء : 107)
Lalu karena
kondisi رَحْمَةً
adalah sifat dari مَا أَرْسَلَ اللهُ بِهِ
مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(perkara yang menyertai diutusnya Nabi Muhammad saw oleh Allah SWT)
yakni risalah Islam alias syariah Islamiyah alias hu-kum syara’ (حُكْمٌ شَرْعِيٌّ),
maka berlakulah kaidah hubungan sebagai berikut :
حَيْثُمَا يَكُوْنُ الشَّرْعُ
تَكُوْنُ الْمَصْلَحَةُ اَيْ حَيْثُمَا يَكُوْنُ الإِسْلاَمُ مُطَبَّقًا فِيْ
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا تَكُوْنُ فِيْهَا الْمَصْلَحَةُ
kapan dan di mana pun syara ada dan berlaku maka di sana
dan saat itulah adanya maslahah, yakni kapan dan di mana pun Islam diberlakukan
dalam kehidupan dunia maka di sana dan saat itulah ter-wujud maslahah di
dalamnya
Maslahah tersebut dipastikan sebagai sifat dari Islam, yakni Islam
berlaku maka secara otomatis maslahah terwujud, sedangkan wewenang untuk
memberlakukan seluruh ketentuan Islam dalam arena kehidupan manusia di dunia
adalah sepenuhnya di tangan Khalifah yang mengendalikan Khilafah Isla-miyah
secara tunggal, sehingga ada dan tidak adanya, atau wujud
dan tidak wujudnya maslahah di dunia adalah tergantung ada dan
tidak adanya, atau wujud dan tidak wujudnya Khilafah
Islamiyah.
Realitas itulah yang dipahami secara sempurna oleh para sahabat
Nabi Muhammad saw ketika beliau wafat dan itu tergambar dari hadits sebagai
berikut :
عَنْ
هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ
بِالسُّنْحِ قَالَ إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ
وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ
وَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلَّا ذَاكَ
وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ
فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَبَّلَهُ قَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا ثُمَّ
خَرَجَ فَقَالَ أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ
جَلَسَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ أَلَا
مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ
مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا
يَمُوتُ وَقَالَ إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ وَقَالَ وَمَا مُحَمَّدٌ
إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ
انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ
يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ قَالَ فَنَشَجَ
النَّاسُ يَبْكُونَ قَالَ وَاجْتَمَعَتْ الْأَنْصَارُ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ
فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَقَالُوا مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ
فَذَهَبَ إِلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ
الْجَرَّاحِ فَذَهَبَ عُمَرُ يَتَكَلَّمُ فَأَسْكَتَهُ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ
عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِلَّا أَنِّي قَدْ هَيَّأْتُ
كَلَامًا قَدْ أَعْجَبَنِي خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْلُغَهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ
تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَتَكَلَّمَ أَبْلَغَ النَّاسِ فَقَالَ فِي كَلَامِهِ
نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ فَقَالَ حُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ
لَا وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ فَقَالَ أَبُو
بَكْرٍ لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ
الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا
عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَقَالَ عُمَرُ بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ
فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ
النَّاسُ (رواه البخاري)
Dari Hisyam bin Urwah berkata telah mengabarkan kepada saya
Urwah bin Zubair dari Aisyah ra is-tri Nabi saw bahwa Rasulullah saw telah
wafat dan Abu Bakar tengah ada di Sunhi, berkata Ismail yakni di ‘Aliyah
(tempat tinggal Bani Harits yang letaknya dari Masjid Nabawiy sejauh satu mil).
Lalu Umar berdiri dan berkata : demi Allah, Rasulullah saw sama sekali belum
mati. Dia (Aisyah) berkata : dan Umar berkata, demi Allah dalam diriku tidak
ada yang lain kecuali itu (Rasulullah saw sama sekali belum mati) dan sungguh
Allah akan membangkitkannya lagi lalu dia (Nabi Muhammad saw) pasti akan
memotong kedua tangan orang-orang itu berikut kaki mereka. Lalu Abu Bakar pun
tiba, dia membuka kain penutup jasad Rasulullah saw, menciumnya dan berkata :
demi bapak dan ibuku, eng-kau tetap sehat baik ketika hidup maupun mati dan
demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman Nya, Allah tidak akan menimpakkan
dua kematian kepada engkau selamanya. Kemudian dia keluar la-lu berkata : wahai
kawan-kawan tenangkan diri kalian dan jangan terburu-buru. Ketika Abu Bakar
te-ngah berbicara, maka Umar pun duduk. Kemudian Abu Bakar memuji Allah dan
menyanjung Nya se-raya berkata : siapa saja yang menghamba kepada Muhammad saw
maka sungguh Muhammad telah mati dan siapa saja yang menghamba kepada Allah
maka sungguh Allah itu hidup dan tidak akan per-nah mati. Dan dia berkata lagi
: sungguh engkau telah mati dan mereka pun (para Nabi sebelumnya) telah mati.
Dan dia berkata lagi : dan Muhammad itu tidak lain kecuali seorang Rasul, telah
berlalu sebelumnya para Rasul, apakah jika dia mati atau terbunuh kalian akan
kembali kepada masa lalu ka-lian dan siapa saja yang akan berbalik ke masa
lalunya maka itu tidak akan pernah membahayakan Allah sedikit pun dan Allah
pasti akan memberi balasan bagi orang-orang yang bersyukur. Dia (Ur-wah)
berkata : lalu manusia sama-sama menangis dengan keras. Dia (Urwah) berkata :
kaum Anshar berhimpun di sekitar Sa’ad bin ‘Ubadah di Saqiifah bani Saa’idah,
lalu mereka berkata : dari kami (Anshar) seorang Amir dan dari kalian
(Muhajirin) seorang Amir. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Abu
‘Ubaidah bin Al-Jarrah menemui mereka, lalu Umar mendahului berbicara
se-mentara Abu Bakar terdiam. Umar saat itu berkata : demi Allah, aku tidak
menginginkan itu kecuali bahwa aku telah mempersiapkan perkataan yang membuat
aku sendiri begitu terkejut, aku khawatir Abu Bakar tidak akan menyampaikannya.
Kemudian Abu Bakar berbicara dan dia berbicara dengan perkataan yang sangat
gamblang. Dia menyatakan dalam ucapannya : kami (Muhajirin) adalah uma-ra dan
kalian (Anshar) adalah wuzara. Maka Hubab bin Mundzir berkata : tidak, demi
Allah, kamu ja-ngan melakukan itu, tetap dari kami seorang Amir dan dari kalian
seorang Amir. Lalu Abu Bakar ber-kata : tidak, melainkan kami adalah umara dan
kalian adalah wuzara. Mereka (Muhajirin) adalah orang Arab yang tinggal di
bagian negeri paling mulia kedudukannya (Makkah) dan kedudukan mere-ka paling
tinggi di antara orang Arab lainnya, maka bai’atlah oleh kalian Umar atau Abu
‘Ubaidah. Lalu Umar berkata : bahkan kami akan membai’atmu karena kamu adalah
sayyid kami, orang terbaik di antara kami dan yang paling Rasulullah saw cintai
di antara kami. Kemudian Umar memegang ta-ngan dia (Abu Bakar) lalu
membai’atnya dan manusia pun membai’atnya
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ
أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى
عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ (آل
عمران : 144)
Pada kondisi yang sangat genting dan
krusial tersebut ternyata ada satu hal yang tetap mereka sadari yakni wafatnya
Rasulullah saw telah dengan pasti menjadikan umat Islam dan kehidupan Islami
yang selama sepuluh tahun dikendalikan langsung oleh beliau saw tengah berada
dalam ancaman mematikan bahkan kehancuran. Hal itu akibat pemegang wewenang
satu-satunya dalam memberlakukan Islam dan menjaga keutuhan umat Islam serta
memelihara keberlangsungan اَلدَّوْلَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ, telah wafat.
Perkara yang terkategori مَعْلُوْمٌ مِنَ
الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ
inilah yang menjadikan seluruh sahabat Nabi Muhammad saw se-pakat untuk segera
saja mencari siapa di antara mereka yang paling layak, pantas dan tepat untuk
me-ngisi posisi رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ yang kosong karena baru saja ditinggalkan oleh
pemilik sejatinya yakni Rasulul-lah saw. Walau dalam keadaan perasaan yang
masih sangat sedih dan kehilangan, Abu Bakar meng-gambarkan realitas paling
wajib tersebut dengan pernyataan :
اِنَّ
مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مِنْ يَقُوْمُ بِهِ
Opini yang diemban Abu Bakar tersebut ternyata tidak
sendirian melainkan disepakati oleh para saha-bat lainnya dan hakikat tersebut
ditunjukkan dengan gamblang oleh riwayat berikut :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ
حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ
يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ
يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
Oleh karena itu, seluruh sahabat Nabi Muhammad saw pada hari
wafatnya beliau saw dapat di-pastikan telah ijma terhadap persoalan kewajiban
adanya seseorang yang akan menggantikan posisi Ra-sulullah saw selaku اِيْمَامًا اَيْ اَمِيْرًا اَيْ سُلْطَانًا
dan tentu saja sebagai نَبِيًّا وَرَسُوْلاً, karena itu telah berakhir pada diri beliau
sendiri. Inilah mengapa, walaupun para sahabat tengah dirundung duka yang sangat
men-dalam yang belum pernah mereka alami sebelumnya, tapi segera saja mereka
baik Muhajirin maupun Anshar melakukan pertemuan sangat penting untuk
menentukan pengganti tersebut. Jadi pernyataan kaum Anshar : مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ, harus dipahamkan sebagai bentuk pemikiran
yang benar karena menun-jukkan bahwa mereka sangat bertanggungjawab terhadap
keberlangsungan Islam berikut umat Islam dan negara Islam. Demikian juga
pernyataan Abu Bakar نَحْنُ الْأُمَرَاءُ
وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ yang mewakili Muhajirin
adalah refleksi pasti dari tanggungjawab yang sama, bahkan ketika dibantah oleh
wakil Anshar yakni Hubab bin Munzdir : لَا
وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ, maka Abu Bakar semakin menegaskan realitas
yang haqiqi : بْنَ الْجَرَّاحِ لَا
وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا
وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ.
Dialog cukup keras antara Anshar dan
Muhajirin tentang siapa yang paling pantas layak untuk menjadi Amir umat Islam
memastikan bahwa mereka : (1) sepakat tentang wajib ada seseorang yang akan
mengisi posisi tersebut setelah ditinggalkan selamanya oleh Rasulullah saw dan
(2) berselisih ten-tang orang yang dimaksudkan (اَلشَّخْصُ
لِلأَمِيْرِ). Realitas tersebut
sangat dipahami oleh Abu Bakar dan ji-ka dibiarkan berlarut-larut maka akan
sangat membahayakan keutuhan جَمَاعَةُ
الْمُسلِمِيْنَ yang baru saja
ke-hilangan اِيْمَامُهُمْ. Itulah mengapa Abu segera saja memberikan
satu fakta kedudukan Muhajirin kepada Anshar : بْنَ
الْجَرَّاحِ لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ
الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا
فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ
(tidak, melainkan kami adalah umara dan kalian adalah wuzara. Mereka
(Muhajirin) adalah orang Arab yang tinggal di bagian negeri paling mulia
kedudukannya (Makkah) dan kedudukan mereka paling tinggi di antara orang Arab
lainnya, maka bai’atlah oleh kalian Umar atau Abu ‘Ubaidah). Kepastian
faktual ini bagai obat ampuh yang dapat dengan cepat memberikan pengaruh
kesadaran kepada semua sahabat terutama kalangan Anshar :
فَقَالَ عُمَرُ بَلْ
نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ
وَبَايَعَهُ النَّاسُ
Lalu
Umar berkata : bahkan kami akan membai’atmu karena kamu adalah sayyid kami,
orang terbaik di antara kami dan yang paling Rasulullah saw cintai di antara
kami. Kemudian Umar memegang ta-ngan dia (Abu Bakar) lalu membai’atnya dan
manusia pun membai’atnya
Upaya serius dan sungguh-sungguh para sahabat Nabi Muhammad saw
pada hari wafatnya beliau saw menunjukkan dengan pasti bahwa mereka sepakat
untuk selalu mempertahankan bagunan اَلْمَصْلَحَةُ yang telah dengan susah payah mereka
tegakkan bersama-sama Rasulullah saw selama 10 tahun. Pe-mahaman inilah yang
juga terungkap dari pernyataan Imam Izzuddin bin Abdissalam :
اِعْتِبَارُ
الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ اَيْ جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ
الْمَفَاسِدِ
yang berarti tetap mempertahankan
pemberlakukan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah supaya selalu terjamin
eksistensi الْمَصَالِحِ dan senantiasa terhindar dari الْمَفَاسِدِ.
Hal yang sama juga dimaksud-kan oleh Imam Izzuddin saat menyatakan :
تَصَرُّفُ
الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
artinya, apa pun
yang dilakukan oleh Khalifah atau Imam saat melakukan pengelolaan terhadap
rakyat (تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ) dalam rangka mengurus kepentingan mereka
adalah dilakukan dengan pertimba-ngan maslahah yakni tetap terjaminnya
pemberlakuan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah. Hal itu karena, mustahil
bagi Khalifah dapat merealisir pemenuhan seluruh urusan dan kebutuhan rakyat
Khi-lafah jika realitas الْمَصَالِحِ tidak terwujud dengan sempurna.
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ
أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ
أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (المؤمنون : 71)
Khatimah
Adalah kekisruhan pemikiran dan kekacauan sikap jika umat Islam
menggagas untuk membawa maslahat Islami ke dalam kehidupan kapitalistik!
Hal itu karena, ketika maslahat Islami dibawa ke dalam kehidupan kapitalistik
sekularistik maka dapat dipastikan realitas maslahah yang dituntut tidak akan
lagi sesuai dengan yang dimaksudkan maupun dituntut oleh Islam yakni tetap
mempertahankan pemberlakukan Islam dalam wadah Khilafah Islamiyah supaya,
melainkan pasti akan berubah secara mendasar dan diametral yakni
menjadi realitas yang dimaksudkan dan dituntut oleh kapitalisme
se-kularistik itu sendiri : tetap terjaminnya keberlangsungan
pemberlakuan sistema kufur tersebut da-lam kehidupan dunia khususnya di Dunia
Islam.
Ketika dimunculkan fatwa haramnya rokok, maka
dapat dipastikan fatwa itu tidak maslahah bagi seluruh pemangku kepentingan (stake
holders) seputar rokok : petani tambakau, industri rokok, buruh industri
rokok, pemerintah NKRI (Dirjen Pajak), pedagang besar, pedagang eceran bahkan
akhirnya para perokok yang telah memposisikan rokok sebagai makanan pokok.
Mengapa demikian? Hal itu ka-rena Ideologi Kapitalisme yang telah diberlakukan
di NKRI paling tidak sejak tahun 1945, telah mem-berikan standard اَلْقَنَاعَةُ الْجَدِيْدَةُ
(perkara baru yang akan dipertahankan hingga mati) bagi umat Islam
Indonesia yang menggantikan Islam yang mereka anggap telah usang dan wajib
disingkirkan dari pem-berlakuannya dalam arena kehidupan dunia. Realitas yang
sama dipastikan akan terjadi pada hukum/ ketentuan Islam mana pun dan berkait
dengan persoalan apa pun. Rasulullah saw menyatakan :
لَيُنْقَضَنَّ
عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ
النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ
الصَّلَاةُ (رواه احمد)
No comments:
Post a Comment