Sunday, November 3, 2013

MENCARI KEKUASAAN : HARAMKAH?


Asketisme dan kekuasaan (اَلسُّلْطَاتُ)
Prof. Dr. M. Solihin, MAg. (Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Bandung) dalam tulisannya berjudul “Fatwa MUI versus Asketisme Politik” dengan sangat lantang menunjukkan kegalauannya terhadap realitas percaturan politik di Indonesia, terutama menjelang pemilu tahun 2009. Dia menyatakan :
1.       fenomena aktual sekarang ini menunjukkan bahwa wajah demokrasi diterjemahkan oleh para politi-kus sebagai kebebasan menghadirkan cara pandang kapitalisme. Terlihat adanya fenomena bahwa politik berselingkuh dengan kapitalisme, modal, pasar, dan industri media massa.
2.       tampak di permukaan perebutan kursi-kursi kekuasaan dengan modal yang besar seraya menang-galkan moralitas. Mentalitas kesederhanaan telah berubah menjadi adu ketangguhan uang dan ke-kuatan massa. Sikap-sikap kerendahan hati dan kejujuran berubah menjadi keangkuhan dan kemu-nafikan. Fragmentasi sikap-sikap materialis, hedonis, dan pragmatis dalam merebut kekuasaan di kalangan politisi begitu mencuat. Mereka melihat materi dan kekuasaan bagaikan ‘boneka’ bagi anak kecil.
3.       perkembangan politik bangsa ini tidak berbanding lurus dengan perbaikan kesejahteraan rakyat dan kesalehan iklim politik. Politik seolah berkembang menjadi bebas nilai, terutama ketika unsur ke-munafikan dan jani-janji pemanis bibir ditonjolkan. Perilaku sebagian elite politik kian bermuncu-lan, yang semuanya diakibatkan oleh perilaku mereka yang terkesan menghamburkan uang, gla-mor, serta meninggalkan kesahajaan dan kearifan.
4.       upaya mengampanyekan asketisme politik menjadi lebih signifikan untuk dilakukan oleh lembaga-lembaga agama, termasuk MUI, ketimbang memberi fatwa haram golput. Asketisme mendudukkan peran-peran politik dalam porsi yang sebenarnya. Sikap kesederhanaan dan keikhlasan menjadi mentalitas yang tumbuh menyertainya. Dengan sendirinya, ambisi kekuasaan, kesewenang-wena-ngan, dan cinta dunia yang ditampilkan sebagian politisi semakin tereliminasi. Nilai-nilai asketisme dapat memayungi seluruh gerak perpolitikan sehingga menimbulkan semangat patriotisme dan ke-relaan berkorban buat orang banyak seraya menafikan ambisi kekuasaan dan kekayaan duniawi. Para politikus cukup untuk disebut asketis jika ia berpolitik secara bersahaja dan tidak berlebihan meskipun secara otoritatif mungkin saja ia berhak dan mampu melakukannya. Berpolitik secara as-ketis dapat diwujudkan dengan tidak menjadikan semua hal sebagai alat komoditas politik.
5.       lembaga-lembaga agama dan MUI lebih penting menggarap proyek menyalehkan perilaku politik dengan sikap asketis. Hidup asketis di dunia politik tidak mesti disamakan dengan penyangkalan terhadap fasilitas atau upah kerja politik. Substansi asketisme politik bukanlah menyangkal jabatan politis, tetapi lebih memilih atau mengalihkan dirinya kepada aktivitas yang diyakini memiliki nilai keutamaan di hadapan Allah ataupun rakyat. Politikus asketis tidak menjauhi dunia dan barang-barang duniawi. Kekayaan dari hasil jerih payah memperjuangkan rakyat tidak ditolak, tetapi tidak pula dibanggakannya. Tujuannya bukan mengeruk kekayaan, tetapi kekayaan menjadi bekal untuk memperbaiki nasib rakyat.
Apakah itu asketisme? Istilah asketisme ada dalam bahasa Yunani yakni ascesis yang dalam ba-hasa Indonesia sepadan dengan latihan keras, disiplin diri atau pengendalian diri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Joeleonhart, 2008 : 7), asketisme dipadankan dengan paham yang memprak-tikkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. Oleh karena itulah, Solihin memaksakan realitas asketisme tersebut sebagai sama dengan istilah zuhud dalam arena tasawuf, bahkan akhirnya dia dengan sangat berani benar-benar menyamakannya : asketisme (zuhud) dalam kamus al-Munawwir (1984 : 626) berarti raghaba an syai’in wa tarakahu (tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggal-kannya) atau zahada fi al-dunya (menahan diri dari kesenangan dunia).
Lebih jauh lagi, dia memberikan contoh sikap asketisme dari Dunia Islam : terkadang, seorang itu kaya. Tapi, di saat yang sama dia pun zahid (asketis). Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf (sahabat Rasul) adalah para hartawan, tapi adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki. Lalu, apakah penyamaan realitas dari istilah asketisme (filsafat Yunani) dengan istilah zuhud yang merupa-kan istilah dalam Islam dapat dibenarkan?
Istilah zuhud (اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ) hanya terungkap dalam As-Sunnah serta pernyataan sejumlah fuqaha namun tidak terdapat dalam Al-Quran :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدَيْ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ (رواه الترمذي)
Dari Abi Dzar dari Nabi saw berkata : ‘az-zahadah di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan mencampakkan harta, tetapi az-zahadah di dunia adalah kamu tidak menjadikan segala hal yang kamu kuasai lebih kamu utamakan daripada yang ada di tangan Allah dan saat kamu ditimpa musibah maka keberadaanmu dalam pahala musibah itu lebih kamu harapkan bah-kan kamu berharap andai musibah itu hanya ditetapkan bagimu’
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا فِي إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنْ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ مِنْكَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ (رواه ابن ماجه)
Dari Abi Dzar dari Nabi saw berkata : ‘az-zahadah di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan pula dengan mencampakkan harta, tetapi az-zahadah di dunia adalah kamu tidak menjadikan segala hal yang kamu kuasai lebih kamu utamakan daripada yang ada di tangan Allah dan saat kamu ditimpa musibah maka keberadaanmu dalam pahala musibah itu lebih kamu harapkan bah-kan kamu berharap andai musibah itu hanya ditetapkan bagimu’
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا فِطْرُ بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ دِينَارٍ يَقُولُ يَقُولُ النَّاسُ مَالِكُ بْنُ دِينَارٍ يَعْنِي مَالِكَ بْنَ دِينَارٍ زَاهِدٌ إِنَّمَا الزَّاهِدُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ الَّذِي أَتَتْهُ الدُّنْيَا فَتَرَكَهَا (رواه احمد)
Telah bercerita kepada kami Abdullah telah bercerita kepada kami Fithr bin Hammad telah bercerita kepada kami Bapak saya dan berkata saya telah mendengar Malik bin Dinar berkata : ‘manusia pada berkata bahwa Malik bin Dinar adalah seorang zahid, padahal yang zahid itu hanyalah Umar bin Abdil Aziz yang telah didatangi oleh dunia (harta) lalu dia tinggalkan semuanya’.
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ حَدَّثَنَا الْمُبَارَكُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَخِيهِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ عِمْرَانَ الْمِنْقَرِيِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ يَوْمًا فِي شَيْءٍ قَالَهُ يَا أَبَا سَعِيدٍ لَيْسَ هَكَذَا يَقُولُ الْفُقَهَاءُ فَقَالَ وَيْحَكَ وَرَأَيْتَ أَنْتَ فَقِيهًا قَطُّ إِنَّمَا الْفَقِيهُ الزَّاهِدُ فِي الدُّنْيَا الرَّاغِبُ فِي الْآخِرَةِ الْبَصِيرُ بِأَمْرِ دِينِهِ الْمُدَاوِمُ عَلَى عِبَادَةِ رَبِّهِ (رواه الدارمي)
Telah bercerita kepada kami Hasan bin ‘Arafah telah bercerita kepada kami Mubarak bin Sa’iid dari saudaranya Sufyan Ats-Tsauriy dari ‘Imran Al-Minqariy berkata : ‘suatu hari saya bertanya kepada Hasan dalam perkara yang pernah dia ucapkan, wahai Aba Sa’iid bukan begitu yang dikatakan para fuqaha’. Lalu dia berkata :’bagaimana kamu ini dan kamu menganggap dirimu seorang faqih, ingatlah orang faqih lagi zahid itu adalah orang yang berharap sangat kepada akhirah, dia seorang yang memahami urusan agamanya dan terus menerus dalam mantaati Rabnya’
Pernyataan Rasulullah saw dalam hadits tersebut (Tirmidzi dan Ibnu Majah) menetapkan realitas dari istilah اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ yakni :
كَوْنُ الْمُسلِمِ مُدَاوِمًا عَلَى طَاعَةِ اللهِ بِإِحْلاَلِ مَا اَحَلَّهُ اللهُ وَبِتَحْرِيْمِ مَا حَرَّمَهُ وَكَانَ آخِذَ الْمَالِ حَسَبَ مَالاَ بُدَّ اَنْ يَكُوْنَ عَلَيْهِ الْمَالُ وَهُوَ يَصْبِرُ اِذَا أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ وَيُرْغِبُ ثَوَابَهَا مَادَامَ فِيْهَا فَإِذَنْ كَوْنُهُ هَذَا كَوْنَ الْمُتَّقِيْنَ
Realitas seorang muslim yang terus menerus dalam taat kepada Allah dengan menghalalkan semua yang telah Allah halalkan dan mengharamkan semua yang telah Allah haramkan dan dia mengambil harta sesuai dengan peruntukkannya serta dia shabar ketika musibah menimpanya dan sangat berha-rap pahala akibat musibah itu selama dia berada dalam musibah. Dengan demikian realitas muslim tersebut adalah realitas orang-orang taqwa
Inilah realitas seorang muslim yang telah digambarkan oleh Malik bin Dinar benar-benar terwujud da-lam diri Amirul Mukminin Umar bin Abdil Aziz. Tentu saja, akan pasti lebih terwujud lagi dalam diri para sahabat Rasulullah saw terutama generasi اَلسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ, termasuk Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Lagipula jika Malik bin Dinar menggambarkan Umar bin Abdil Aziz sebagai salah seorang zahid, maka tentu saja dalam pikiran dia adalah kedudukan yang lebih tinggi lagi bagi sahabat Nabi Muhammad saw yang ada dalam barisan Khulafa Rasyidun : Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Oleh karena itu, upaya paksa Prof. Solihin untuk menyamakan realitas zuhud dengan realitas as-ketisme adalah kesalahan fatal, sebab :
a.       realitas asketisme adalah filsafat yang dirumuskan oleh para filosof Yunani yang saat itu selalu be-rada dalam kondisi pertentangan dengan para Kaisar atau setidaknya selalu menjadi objek peman-faatan para Kaisar untuk melegitimasikan segala tindakan mereka yang menindas rakyat. Posisi para filosof itu memang sangat menyakitkan, namun mereka tidak bisa berbuat apa pun di hadapan para Kaisar sebab kekuasaan para Kaisar adalah absolut atas semua orang. Itulah mengapa mereka merumuskan realitas asketisme (bahasa Yunani : ascesis) dengan latihan keras, disiplin diri atau pengendalian diri atau paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan ber-korban. Tentu saja keseluruhan makna dari istilah asketisme tersebut adalah sebentuk antithesis ter-hadap keabsolutan posisi para Kaisar saat itu.
b.       realitas اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ adalah ditetapkan oleh Islam yakni berdasarkan pernyataan Rasulullah saw lalu telah dipraktikkan secara riil oleh beliau sendiri maupun para sahabat. Kedudukan Rasulullah saw adalah selaku penguasa (اَلسُّلْطَانُ) masyarakat Islami pertama yang pernah ada di dunia dan ber-pusat di Madinah Al-Munawwarah, sehingga benar-benar berbeda dengan para filosof Yunani yang hanya sebagai rakyat dan itu pun mereka selalu dimanfaatkan oleh para Kaisar. Lalu ketika Nabi Muhammad saw wafat, maka barisan penguasa pengganti beliau yakni Khulafa Rasyidun secara pasti melanjutkan aktualisasi اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ dalam kapasitas mereka selaku اَلسُّلْطَانُ dan bukan seke-dar rakyat (اَلرَّعِيَّةُ). Tentu saja posisi Khulafa Rasyidun tersebut adalah diametral dengan para filosof Yunani yang hanya bagian dari rakyat yang selalu ditindas oleh para penguasanya.
Inilah perbedaan realitas antara asketisme dalam filsafat Yunani dengan اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ dalam pemikiran Islam yang tidak pernah dipahami maupun disadari oleh Prof. Solihin, sehingga dia begitu ceroboh dan sembarangan menyamakan secara paksa asketisme dengan zuhud. Nampaknya, penyebab kecerobohan dia itu adalah karena dia sangat punya kepentingan yakni keinginannya untuk merubah realitas praktik perpolitikan demokratis para politisi saat ini terutama menjelang pemilu baik legislatif maupun presi-den. Inilah yang dia maksudkan dengan gagasannya : lembaga-lembaga agama dan MUI lebih penting menggarap proyek menyalehkan perilaku politik dengan sikap asketis. Hidup asketis di dunia politik tidak mesti disamakan dengan penyangkalan terhadap fasilitas atau upah kerja politik. Substansi as-ketisme politik bukanlah menyangkal jabatan politis, tetapi lebih memilih atau mengalihkan dirinya ke-pada aktivitas yang diyakini memiliki nilai keutamaan di hadapan Allah ataupun rakyat. Politikus as-ketis tidak menjauhi dunia dan barang-barang duniawi. Kekayaan dari hasil jerih payah memper-juangkan rakyat tidak ditolak, tetapi tidak pula dibanggakannya. Tujuannya bukan mengeruk kekaya-an, tetapi kekayaan menjadi bekal untuk memperbaiki nasib rakyat.
Dengan demikian, Solihin adalah orang yang kesekian kalinya muncul ke permukaan untuk me-lakukan peracunan pemikiran (اَلتَّسْمِيْمُ الْفِكْرِيُّ) dalam Islam dengan cara mempersamakan antara yang berasal dari Islam yakni اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ dengan yang berasal dari filsafat Yunani yaitu asketisme, atau se-baliknya dia mencoba melakukan Islamisasi filsafat asketisme dengan realitas اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ dalam Is-lam. Bahkan dia pun telah melangkah lebih jauh yakni menggunakan istilah اَلصَّالِحَةُ dalam Islam untuk memoles dan menutupi berbagai aspek, sisi maupun wajah buruk nan kejam dari realitas politik demo-kratis. Dia menyatakan : lembaga-lembaga agama dan MUI lebih penting menggarap proyek menya-lehkan perilaku politik dengan sikap asketis.
Berkenaan dengan kesimpulan Solihin tentang : terlihat adanya fenomena bahwa politik berse-lingkuh dengan kapitalisme, modal, pasar, dan industri media massa, maka seharusnya saat dia mela-kukan pembahasan tersebut terlebih dahulu memisahkan politik dari kapitalisme, modal, pasar, dan in-dustri media massa.  Kemudian dia memutuskan apakah realitas politik yang akan dibahas adalah po-litik dalam Ideologi Kapitalisme sekularistik ataukah politik dalam Ideologi Islam. Prosedur ini wajib dilakukan sebab realitas politik dalam kedua ideologi tersebut mustahil dipersamakan bahkan perbe-daan keduanya adalah pokok dan mendasar. Rinciannya sebagai berikut :
1.       bila politik yang Solihin maksudkan adalah politik kapitalisme sekularistik maka dia harus konsis-ten dengan jatidiri politik tersebut, yakni : the ways in which people gain, use, and lose power (C. Calhoun, 2002) : suatu jalan di mana orang-orang memperoleh, menggunakan dan kehilangan ke-kuasaan. Selanjutnya dia pun harus rela menerima kenyataan bahwa antara realitas politik tersebut dengan seluruh konsepsi pokok kapitalisme adalah tidak mungkin dipisahkan bahkan konsepsi po-kok itulah sebenarnya yang menentukan realitas politik itu sendiri. Kapitalisme mengeksploitasi aspek kepentingan yang menjadi asas terwujudnya interaksi di antara anggota masyarakat dan lalu menterjemahkannya sebagai standard perbuatan yakni manfaat (usefulness) bahkan secara lebih teknis lagi dirumuskan dalam prinsip ekonomi, yaitu the least the cost the highest the profit (biaya serendah mungkin, keuntungan setinggi mungkin). Prinsip inilah yang selalu harus diimplementasi-kan dalam seluruh aspek kehidupan atau perbuatan manusia di dunia, sehingga seharusnya siapa pun termasuk Solihin tidak perlu kaget, terkejut apalagi gelisah geram terhadap fenomena sepak terjang para politisi di arena perpolitikan tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia, yang men-jadikan politik sebagai industri modal sangat besar yang berada dalam mekanisme sinergetik de-ngan pasar maupun industri lainnya seperti industri media massa.
Jadi, mekanisme tersebut bukanlah sebuah “perselingkuhan” alias penyimpangan melainkan reali-tas yang memang harus terjadi dan normal atau bahkan selalu akan terjadi secara otomatis dan ala-mi mengingat seluruhnya berada dalam konstelasi sebab dan akibat, yakni ideologi kapitalisme adalah entitas penyebab sedangkan lainnya termasuk politik, arena perpolitikan, para politisi dan industri berada dalam lini akibat. Sehingga munculnya fragmentasi sikap-sikap materialis, hedonis dan pragmatis dalam merebut kekuasaan adalah hal yang lazim, wajar, normal, legal dan sama se-kali bukan perbuatan tercela yang menyimpang dari main stream yang ada yakni kapitalisme.
2.       bila yang dimaksudkan oleh Solihin adalah realitas politik dalam Ideologi Islam (walau nampaknya dipastikan bukan) maka tentu saja jatidirinya bersifat diametral dengan perpolitikan dalam kapita-lisme. Politik dalam Islam (اَلسِّيَاسَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ
“mengurus kepentingan rakyat atau umat baik dalam maupun luar negeri dengan menggunakan hukum syara (Islam)”.
Nampak jelas, politik dalam Islam diarahkan dan ditujukan bagi mengurus seluruh kepentingan dan kebutuhan rakyat (warga negara Khilafah Islamiyah) baik dari kalangan kaum muslim maupun  ka-fir dzimmiy. Implementasi politik Islami tersebut adalah : (a) di dalam negeri berupa pemberlakuan seluruh ketentuan Islam (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) terhadap seluruh warga negara tanpa kecuali dan (b) di lu-ar negeri berupa penyebarluasan risalah Islam ke seluruh pelosok dunia dengan dakwah dan jihad. Dengan demikian, politik (اَلسِّيَاسَةُ) dan kekuasaan (اَلسُّلْطَاتُ) dalam Ideologi Islam adalah dua perka-ra yang berbeda dan tidak berada dalam konstelasi sebab – akibat, yakni seseorang menjadi pengu-asa (اَلسُّلْطَانُ) sama sekali bukan melalui politik dan politik sama sekali bukan jalan bagi seseorang untuk sampai kepada atau untuk meraih kekuasaan. Seseorang menjadi penguasa (Khalifah atau Imam atau Amirul Mukminin atau Sulthan) dalam Ideologi Islam adalah melalui metode khas satu-satunya yakni bai’at (اَلْبَيْعَةُ) dari umat Islam untuk mewakili mereka (يَنُوْبُ عَنْهَا) dalam kekuasaan dan pemerintahan. Inilah yang ditunjukkan oleh banyak dalil antara lain :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Dari Junadah bin Abi Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah sakit, lalu kami berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits tersebut yang engkau telah dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi saw telah menyeru kami lalu kami pun membai’at be-liau, lalu beliau pun memberitahukan dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar didengar dan ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan maupun adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan supaya kami tidak mere-but kekuasaan dari tangan pemiliknya kecuali (kata beliau) : kalian melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian dari Allah.
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا (رواه مسلم)
“Jika dibai’at dua orang Khalifah maka bunuhlah oleh kalian yang kedua dari mereka itu”.
Setelah dia sah memimpin Khilafah Islamiyah (تَنْعَقِدُ لَهُ الْخِلاَفَةُ بِبَيْعَةِ الْمُسْلِمِيْنَ لَهُ), barulah dia memberla-kukan politik baik di dalam maupun di luar negeri Khilafah Islamiyah. Sehingga tidak akan pernah dan mustahil terjadi dalam Ideologi Islam realitas politik yang sangat merisaukan Solihin yakni : politik seolah berkembang menjadi bebas nilai, terutama ketika unsur kemunafikan dan jani-janji pemanis bibir ditonjolkan, atau : fragmentasi sikap-sikap materialis, hedonis, dan pragmatis da-lam merebut kekuasaan di kalangan politisi begitu mencuat. Hal itu karena, sekali lagi, politik da-lam Islam bukan penyebab tergenggamnya kekuasaan pada tangan seseorang, melainkan justru politik menjadi kewajiban utama seseorang saat dia telah sah menjadi penguasa (Khalifah) melalui bai’at dari umat Islam yang diberikan kepadanya. Khalifah (penguasa) wajib menjadi yang pertama kalinya dalam melekatkan sikap اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ dalam dirinya sebelum rakyat yang mana pun, sebab seluruh otoritas (اَلصَّلاَحِيَّاتُ) kekuasaan maupun pemerintahan secara mutlak berada dalam kendali-nya termasuk harta (اَلْمَالُ), peradilan (اَلْقَضَاءُ) dan militer (اَلْجَيْشُ).
Wal hasil, asketisme dan اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ adalah tidak sama dan haram dipaksa untuk sama, sebab masing-masing memiliki realitas yang berbeda secara mendasar juga berasal dari kebudayaan (اَلثَّقَافَةُ alias culture) yang berbeda yakni asketisme dari filsafat Yunani sedangkan اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ adalah bagian dari Islam. Bila ada seseorang (apalagi mengaku muslim) yang mempersamakan keduanya maka sikap orang tersebut adalah bukti pasti dari adanya tuntutan kepentingan Machiavelian dalam dirinya.


Mencari kekuasan dalam Islam : haramkah?
Ada sebuah ide hermeneutis yang berkembang sangat kuat dalam benak umat Islam berkaitan de-ngan kekuasaan (اَلسُّلْطَاتُ) dan pemerintahan (اَلْحُكْمُ), yakni seorang muslim haram mencari kekuasaan maupun meminta jabatan dalam kekuasaan. Lalu benarkah anggapan tersebut?
Suatu saat Abu Dzar Al-Ghifari mendatangi Rasulullah saw dan terjadilah dialog seperti yang di-tunjukkan oleh hadits berikut :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا (رواه مسلم)
Dari Abi Dzar berkata, saya berkata wahai Rasulullah apakah anda tidak akan memberikan jabatan kepada saya? Maka beliau menepuk bahu saya lalu berkata : ‘wahai Aba Dzar sungguh kamu ini le-mah dan sungguh jabatan itu adalah amanah dan di hari kiamah jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi siapa saja yang mengambilnya sesuai dengan peruntukkannya dan melak-sanakan segala sesuatu yang wajib dilakukan di dalamnya’.
Bagian hadits يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي dan يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ memberikan pemahaman tentang alasan (اَلْعِلَّةُ) mengapa Rasulullah saw mengharamkan Aba Dzar meminta jabatan kepada beliau saw, yakni karena realitas Abi Dzar yang lemah (ضَعِيفٌ) dan tidak memenuhi kualifikasi (أَمَانَةُ) yang dituntut harus ada oleh jabatan itu sendiri. Oleh karena itu pengharaman meminta jabatan tersebut (تَحْرِيْمُ طَلَبِ الإِمَارَةِ) adalah khusus bagi Abi Dzar dan bagi siapa pun yang serupa tipikal dengan Abi Dzar. Adapun bagi siapa pun yang mampu (قَادِرٌ) melaksanakan seluruh kewajiban yang ada dalam jabatan dan memenuhi semua kua-lifikasi yang dituntut harus ada oleh jabatan tersebut (أَمَانَةُ), maka halal (اِبَاحَةٌ) baginya untuk meminta ja-batan dalam pemerintahan dan kekuasaan. Pemahaman ini oleh para mujtahid dirumuskan dengan :
اَلْعِلَّةُ تَدُوْرُ مَعَ مَعْلُوْلِهَا وُجُوْدًا وَعَدَمًا اَيْ اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ وُجُوْدًا وَعَدَمًا
‘illat itu beredar bersama dengan ma’lulnya baik ada maupun tidak ada, atau hukum itu beredar ber-sama dengan ‘illatnya baik ada maupun tidak ada.
اَلْعِلَّةُ tentang pengharaman meminta jabatan ternyata wujud (وُجُوْدًا) dalam diri Abi Dzar sehingga otoma-tis hukum haram (مَعْلُوْلِهَا) tersebut berlaku bagi Abi Dzar. Sedangkan bagi orang lain yang tidak didapati dalam dirinya ‘illat tersebut (عَدَمًا), maka pengharaman meminta jabatan otomatis tidak berlaku baginya dan dia halal meminta jabatan. Inilah yang juga ditunjukkan oleh bagian hadits :
إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
kecuali bagi siapa saja yang mengambilnya sesuai dengan peruntukkannya dan melaksanakan segala sesuatu yang wajib dilakukan di dalamnya.

Ketidaklayakkan Abu Dzar untuk menduduki jabatan dalam kekuasaan dan pemerintahan lebih dijelas-kan lagi dalam hadits berikut :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ (رواه مسلم)
Dari Abi Dzar bahwa Rasulullah saw berkata : ‘wahai Aba Dzar sungguh aku melihatmu adalah orang yang lemah dan sungguh aku menginginkan bagimu segala hal yang aku inginkan bagi diriku (yakni ridla Allah SWT), maka janganlah kamu menjadi amir untuk dua urusan (kekuasaan mengurus dunia dan din) dan jangan pula kamu menjadi wali yang mengurus harta anak yatim’
Bagian hadits لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ bermakna :
فَلاَ تُسَلِّطُنَّ وَلاَ تَصِيْرُنَّ أَمِيْرًا كَانَ مِنْ اَعْبَائِهِ مُرَاعَاةَ مَصَالِحِ رَعِيَّتِهِ الدُنْيَوِيَّةِ وَالدِّيْنِيَّةِ
Maka janganlah kamu menduduki dan menjadi amir yang tugasnya adalah memelihara kemaslahatan rakyatnya baik itu berkenaan dengan dunia (kebutuhan mereka selama hidup di dunia) maupun de-ngan din (pelaksanaan mereka terhadap ketentuan Islam)
Bagian hadits مَالَ يَتِيمٍ لَا تَوَلَّيَنَّ bermakna :  لاَ تَكُنْ مُتَوَلِّيًا عَلَى وِلاَيَةِ مَالِ اْلأَيْتَامِ: janganlah kamu menjadi pe-nguasa untuk urusan harta anak-anak yatim. Artinya, Abu Dzar adalah orang yang tidak layak (haram) untuk menjadi penguasa yang di antara tugas utamanya adalah memelihara kemaslahatan rakyat mau-pun mengelola harta anak-anak yatim. Namun bagi para sahabat lainnya yang memang sangat layak untuk menjadi penguasa di masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw, maka sama sekali tidak ada la-rangan menduduki jabatan tersebut, baik dengan cara memintanya maupun tidak, sama saja dibolehkan. Hal itu karena persoalannya bukan pada adanya permintaan ataukah tidak, melainkan pada kelayakkan. Inilah yang dapat disaksikan sepanjang kepemimpinan beliau saw : Mua’dz bin Jabal (wali di Yaman), Ali bin Abi Thalib (wali di Yaman), Abu Bakar dan Umar bin Khaththab (keduanya sebagai wazir bagi Nabi Muhammad saw) dan sebagainya. Rasulullah saw menyatakan :
مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا لَهُ وَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ وَوَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ (رواه الترمذي)
Tidak ada seorang Nabi pun kecuali baginya ada dua wazir dari penduduk langit dan dua wazir dari penduduk bumi. Adapun dua wazirku dari penduduk langit adalah Jibril dan Mikail, sedangkan dua wazirku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar

Khatimah
Mencari kekuasaan (طَلَبُ السُّلْطَاتِ) dalam kehidupan berbasis kekufuran seperti saat ini tidak dira-gukan lagi adalah haram, bahkan pelakunya secara otomatis telah menjadikan sistema kufur tersebut sebagai pengganti Islam dan akibatnya Islam benar-benar tersingkirkan dari realitas kehidupan manu-sia. Inilah yang akan selalu terjadi jika umat Islam terus menerus memposisikan diri mereka sebagai lo-yalis sejati kaum kufar berikut kekufurannya.
Mencari kekuasaan dalam kehidupan Islami (Khilafah Islamiyah) dipastikan adalah halal asal memenuhi kualifikasi Islami : إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا. Anggapan yang mengharamkan men-cari kekuasaan adalah sekedar ide hermeneutis yang muncul dari begitu kuatnya kooptasi dan dominasi filsafat Yunani maupun muatan lokal yang telah lebih dahulu menjadi standard baik dan buruk maupun benar dan salah. Selain itu, anggapan tersebut membuktikan bahwa si penggagas sangat tidak sadar ter-hadap realitas perbedaan mendasar antara kehidupan Islami dengan kehidupan berbasis kekufuran.

No comments:

Post a Comment