Asketisme dan kekuasaan (اَلسُّلْطَاتُ)
Prof. Dr. M. Solihin, MAg. (Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Bandung) dalam tulisannya berjudul “Fatwa
MUI versus Asketisme Politik” dengan sangat lantang menunjukkan kegalauannya
terhadap realitas percaturan politik di Indonesia, terutama menjelang pemilu
tahun 2009. Dia menyatakan :
1.
fenomena aktual sekarang ini menunjukkan bahwa wajah
demokrasi diterjemahkan oleh para politi-kus sebagai kebebasan menghadirkan
cara pandang kapitalisme. Terlihat adanya fenomena bahwa politik berselingkuh
dengan kapitalisme, modal, pasar, dan industri media massa.
2.
tampak di permukaan perebutan kursi-kursi kekuasaan
dengan modal yang besar seraya menang-galkan moralitas. Mentalitas
kesederhanaan telah berubah menjadi adu ketangguhan uang dan ke-kuatan massa.
Sikap-sikap kerendahan hati dan kejujuran berubah menjadi keangkuhan dan
kemu-nafikan. Fragmentasi sikap-sikap materialis, hedonis, dan pragmatis dalam
merebut kekuasaan di kalangan politisi begitu mencuat. Mereka melihat materi
dan kekuasaan bagaikan ‘boneka’ bagi anak kecil.
3.
perkembangan politik bangsa ini tidak berbanding lurus
dengan perbaikan kesejahteraan rakyat dan kesalehan iklim politik. Politik
seolah berkembang menjadi bebas nilai, terutama ketika unsur ke-munafikan dan
jani-janji pemanis bibir ditonjolkan. Perilaku sebagian elite politik kian
bermuncu-lan, yang semuanya diakibatkan oleh perilaku mereka yang terkesan
menghamburkan uang, gla-mor, serta meninggalkan kesahajaan dan kearifan.
4.
upaya mengampanyekan asketisme politik menjadi lebih
signifikan untuk dilakukan oleh lembaga-lembaga agama, termasuk MUI, ketimbang
memberi fatwa haram golput. Asketisme mendudukkan peran-peran politik dalam
porsi yang sebenarnya. Sikap kesederhanaan dan keikhlasan menjadi mentalitas
yang tumbuh menyertainya. Dengan sendirinya, ambisi kekuasaan,
kesewenang-wena-ngan, dan cinta dunia yang ditampilkan sebagian politisi
semakin tereliminasi. Nilai-nilai asketisme dapat memayungi seluruh gerak
perpolitikan sehingga menimbulkan semangat patriotisme dan ke-relaan berkorban
buat orang banyak seraya menafikan ambisi kekuasaan dan kekayaan duniawi. Para
politikus cukup untuk disebut asketis jika ia berpolitik secara bersahaja dan
tidak berlebihan meskipun secara otoritatif mungkin saja ia berhak dan mampu
melakukannya. Berpolitik secara as-ketis dapat diwujudkan dengan tidak
menjadikan semua hal sebagai alat komoditas politik.
5. lembaga-lembaga
agama dan MUI lebih penting menggarap proyek menyalehkan perilaku politik
dengan sikap asketis. Hidup asketis di dunia politik tidak mesti disamakan
dengan penyangkalan terhadap fasilitas atau upah kerja politik. Substansi
asketisme politik bukanlah menyangkal jabatan politis, tetapi lebih memilih atau
mengalihkan dirinya kepada aktivitas yang diyakini memiliki nilai keutamaan di
hadapan Allah ataupun rakyat. Politikus asketis tidak menjauhi dunia dan
barang-barang duniawi. Kekayaan dari hasil jerih payah memperjuangkan rakyat
tidak ditolak, tetapi tidak pula dibanggakannya. Tujuannya bukan mengeruk
kekayaan, tetapi kekayaan menjadi bekal untuk memperbaiki nasib rakyat.
Apakah itu asketisme? Istilah asketisme ada dalam
bahasa Yunani yakni ascesis yang dalam ba-hasa Indonesia sepadan dengan latihan
keras, disiplin diri atau pengendalian diri. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Joeleonhart, 2008 : 7), asketisme dipadankan dengan paham yang
memprak-tikkan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban. Oleh karena
itulah, Solihin memaksakan realitas asketisme tersebut sebagai sama dengan
istilah zuhud dalam arena tasawuf, bahkan akhirnya dia dengan sangat berani
benar-benar menyamakannya : asketisme (zuhud) dalam kamus al-Munawwir (1984
: 626) berarti raghaba an syai’in wa tarakahu (tidak tertarik terhadap sesuatu
dan meninggal-kannya) atau zahada fi al-dunya (menahan diri dari kesenangan
dunia).
Lebih jauh lagi, dia memberikan contoh sikap
asketisme dari Dunia Islam : terkadang, seorang itu kaya. Tapi, di saat yang
sama dia pun zahid (asketis). Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf (sahabat
Rasul) adalah para hartawan, tapi adalah para zahid dengan harta yang mereka
miliki. Lalu, apakah penyamaan realitas dari istilah asketisme (filsafat
Yunani) dengan istilah zuhud yang merupa-kan istilah dalam Islam dapat
dibenarkan?
Istilah zuhud (اَلزُّهْدُ اَوِ
الزَّهَادَةُ) hanya
terungkap dalam As-Sunnah serta pernyataan sejumlah fuqaha namun tidak terdapat
dalam Al-Quran :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا لَيْسَتْ
بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنَّ الزَّهَادَةَ فِي
الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِمَّا فِي يَدَيْ
اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أَنْتَ أُصِبْتَ بِهَا
أَرْغَبَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ (رواه الترمذي)
Dari Abi Dzar dari Nabi saw
berkata : ‘az-zahadah di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan
bukan pula dengan mencampakkan harta, tetapi az-zahadah di dunia adalah kamu
tidak menjadikan segala hal yang kamu kuasai lebih kamu utamakan daripada yang
ada di tangan Allah dan saat kamu ditimpa musibah maka keberadaanmu dalam
pahala musibah itu lebih kamu harapkan bah-kan kamu berharap andai musibah itu
hanya ditetapkan bagimu’
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الزَّهَادَةُ فِي الدُّنْيَا
بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا فِي إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنْ الزَّهَادَةُ فِي
الدُّنْيَا أَنْ لَا تَكُونَ بِمَا فِي يَدَيْكَ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِ
اللَّهِ وَأَنْ تَكُونَ فِي ثَوَابِ الْمُصِيبَةِ إِذَا أُصِبْتَ بِهَا أَرْغَبَ
مِنْكَ فِيهَا لَوْ أَنَّهَا أُبْقِيَتْ لَكَ (رواه ابن ماجه)
Dari Abi Dzar dari Nabi saw
berkata : ‘az-zahadah di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan
bukan pula dengan mencampakkan harta, tetapi az-zahadah di dunia adalah kamu
tidak menjadikan segala hal yang kamu kuasai lebih kamu utamakan daripada yang
ada di tangan Allah dan saat kamu ditimpa musibah maka keberadaanmu dalam
pahala musibah itu lebih kamu harapkan bah-kan kamu berharap andai musibah itu
hanya ditetapkan bagimu’
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا فِطْرُ
بْنُ حَمَّادٍ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ دِينَارٍ يَقُولُ
يَقُولُ النَّاسُ مَالِكُ بْنُ دِينَارٍ يَعْنِي مَالِكَ بْنَ دِينَارٍ زَاهِدٌ
إِنَّمَا الزَّاهِدُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ الَّذِي أَتَتْهُ الدُّنْيَا
فَتَرَكَهَا (رواه احمد)
Telah bercerita kepada kami
Abdullah telah bercerita kepada kami Fithr bin Hammad telah bercerita kepada
kami Bapak saya dan berkata saya telah mendengar Malik bin Dinar berkata :
‘manusia pada berkata bahwa Malik bin Dinar adalah seorang zahid, padahal yang
zahid itu hanyalah Umar bin Abdil Aziz yang telah didatangi oleh dunia (harta)
lalu dia tinggalkan semuanya’.
أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ
حَدَّثَنَا الْمُبَارَكُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَخِيهِ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ
عِمْرَانَ الْمِنْقَرِيِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ يَوْمًا فِي شَيْءٍ قَالَهُ يَا
أَبَا سَعِيدٍ لَيْسَ هَكَذَا يَقُولُ الْفُقَهَاءُ فَقَالَ وَيْحَكَ وَرَأَيْتَ
أَنْتَ فَقِيهًا قَطُّ إِنَّمَا الْفَقِيهُ الزَّاهِدُ فِي الدُّنْيَا الرَّاغِبُ
فِي الْآخِرَةِ الْبَصِيرُ بِأَمْرِ دِينِهِ الْمُدَاوِمُ عَلَى عِبَادَةِ رَبِّهِ
(رواه الدارمي)
Telah
bercerita kepada kami Hasan bin ‘Arafah telah bercerita kepada kami Mubarak bin
Sa’iid dari saudaranya Sufyan Ats-Tsauriy dari ‘Imran Al-Minqariy berkata :
‘suatu hari saya bertanya kepada Hasan dalam perkara yang pernah dia ucapkan,
wahai Aba Sa’iid bukan begitu yang dikatakan para fuqaha’. Lalu dia berkata
:’bagaimana kamu ini dan kamu menganggap dirimu seorang faqih, ingatlah orang
faqih lagi zahid itu adalah orang yang berharap sangat kepada akhirah, dia
seorang yang memahami urusan agamanya dan terus menerus dalam mantaati Rabnya’
Pernyataan
Rasulullah saw dalam hadits tersebut (Tirmidzi dan Ibnu Majah) menetapkan
realitas dari istilah اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ yakni :
كَوْنُ الْمُسلِمِ مُدَاوِمًا عَلَى طَاعَةِ
اللهِ بِإِحْلاَلِ مَا اَحَلَّهُ اللهُ وَبِتَحْرِيْمِ مَا حَرَّمَهُ وَكَانَ
آخِذَ الْمَالِ حَسَبَ مَالاَ بُدَّ اَنْ يَكُوْنَ عَلَيْهِ الْمَالُ وَهُوَ
يَصْبِرُ اِذَا أَصَابَتْهُ مُصِيبَةٌ وَيُرْغِبُ ثَوَابَهَا مَادَامَ فِيْهَا
فَإِذَنْ كَوْنُهُ هَذَا كَوْنَ الْمُتَّقِيْنَ
Realitas
seorang muslim yang terus menerus dalam taat kepada Allah dengan menghalalkan
semua yang telah Allah halalkan dan mengharamkan semua yang telah Allah haramkan
dan dia mengambil harta sesuai dengan peruntukkannya serta dia shabar ketika
musibah menimpanya dan sangat berha-rap pahala akibat musibah itu selama dia
berada dalam musibah. Dengan demikian realitas muslim tersebut adalah realitas
orang-orang taqwa
Inilah realitas seorang
muslim yang telah digambarkan oleh Malik bin Dinar benar-benar terwujud da-lam
diri Amirul Mukminin Umar bin Abdil Aziz. Tentu saja, akan pasti lebih terwujud
lagi dalam diri para sahabat Rasulullah saw terutama generasi اَلسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ, termasuk Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Lagipula
jika Malik bin Dinar menggambarkan Umar bin Abdil Aziz sebagai salah seorang
zahid, maka tentu saja dalam pikiran dia adalah kedudukan yang lebih tinggi
lagi bagi sahabat Nabi Muhammad saw yang ada dalam barisan Khulafa Rasyidun :
Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Oleh karena itu, upaya paksa Prof. Solihin untuk
menyamakan realitas zuhud dengan realitas as-ketisme adalah kesalahan fatal,
sebab :
a.
realitas asketisme adalah filsafat yang dirumuskan oleh
para filosof Yunani yang saat itu selalu be-rada dalam kondisi pertentangan
dengan para Kaisar atau setidaknya selalu menjadi objek peman-faatan para
Kaisar untuk melegitimasikan segala tindakan mereka yang menindas rakyat.
Posisi para filosof itu memang sangat menyakitkan, namun mereka tidak bisa
berbuat apa pun di hadapan para Kaisar sebab kekuasaan para Kaisar adalah
absolut atas semua orang. Itulah mengapa mereka merumuskan realitas asketisme
(bahasa Yunani : ascesis) dengan latihan keras, disiplin diri atau
pengendalian diri atau paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran
dan kerelaan ber-korban. Tentu saja keseluruhan makna dari istilah asketisme
tersebut adalah sebentuk antithesis ter-hadap keabsolutan posisi para Kaisar
saat itu.
b. realitas
اَلزُّهْدُ
اَوِ الزَّهَادَةُ adalah
ditetapkan oleh Islam yakni berdasarkan pernyataan Rasulullah saw lalu telah
dipraktikkan secara riil oleh beliau sendiri maupun para sahabat. Kedudukan
Rasulullah saw adalah selaku penguasa (اَلسُّلْطَانُ) masyarakat Islami pertama yang pernah ada
di dunia dan ber-pusat di Madinah Al-Munawwarah, sehingga benar-benar berbeda
dengan para filosof Yunani yang hanya sebagai rakyat dan itu pun mereka selalu
dimanfaatkan oleh para Kaisar. Lalu ketika Nabi Muhammad saw wafat, maka
barisan penguasa pengganti beliau yakni Khulafa Rasyidun secara pasti
melanjutkan aktualisasi اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ dalam kapasitas mereka selaku اَلسُّلْطَانُ dan bukan seke-dar rakyat (اَلرَّعِيَّةُ). Tentu saja posisi Khulafa Rasyidun
tersebut adalah diametral dengan para filosof Yunani yang hanya bagian dari
rakyat yang selalu ditindas oleh para penguasanya.
Inilah perbedaan realitas
antara asketisme dalam filsafat Yunani dengan اَلزُّهْدُ اَوِ
الزَّهَادَةُ dalam
pemikiran Islam yang tidak pernah dipahami maupun disadari oleh Prof. Solihin,
sehingga dia begitu ceroboh dan sembarangan menyamakan secara paksa asketisme
dengan zuhud. Nampaknya, penyebab kecerobohan dia itu adalah karena dia sangat
punya kepentingan yakni keinginannya untuk merubah realitas praktik
perpolitikan demokratis para politisi saat ini terutama menjelang pemilu baik
legislatif maupun presi-den. Inilah yang dia maksudkan dengan gagasannya : lembaga-lembaga
agama dan MUI lebih penting menggarap proyek menyalehkan perilaku politik
dengan sikap asketis. Hidup asketis di dunia politik tidak mesti disamakan
dengan penyangkalan terhadap fasilitas atau upah kerja politik. Substansi
as-ketisme politik bukanlah menyangkal jabatan politis, tetapi lebih memilih
atau mengalihkan dirinya ke-pada aktivitas yang diyakini memiliki nilai
keutamaan di hadapan Allah ataupun rakyat. Politikus as-ketis tidak menjauhi
dunia dan barang-barang duniawi. Kekayaan dari hasil jerih payah
memper-juangkan rakyat tidak ditolak, tetapi tidak pula dibanggakannya.
Tujuannya bukan mengeruk kekaya-an, tetapi kekayaan menjadi bekal untuk
memperbaiki nasib rakyat.
Dengan demikian, Solihin adalah orang yang kesekian
kalinya muncul ke permukaan untuk me-lakukan peracunan pemikiran (اَلتَّسْمِيْمُ
الْفِكْرِيُّ) dalam Islam
dengan cara mempersamakan antara yang berasal dari Islam yakni اَلزُّهْدُ
اَوِ الزَّهَادَةُ dengan
yang berasal dari filsafat Yunani yaitu asketisme, atau se-baliknya dia mencoba
melakukan Islamisasi filsafat asketisme dengan realitas اَلزُّهْدُ
اَوِ الزَّهَادَةُ dalam
Is-lam. Bahkan dia pun telah melangkah lebih jauh yakni menggunakan istilah اَلصَّالِحَةُ dalam Islam untuk memoles dan menutupi
berbagai aspek, sisi maupun wajah buruk nan kejam dari realitas politik
demo-kratis. Dia menyatakan : lembaga-lembaga agama dan MUI lebih penting
menggarap proyek menya-lehkan perilaku politik dengan sikap asketis.
Berkenaan dengan kesimpulan Solihin tentang : terlihat
adanya fenomena bahwa politik berse-lingkuh dengan kapitalisme, modal, pasar,
dan industri media massa, maka seharusnya saat dia mela-kukan pembahasan
tersebut terlebih dahulu memisahkan politik dari kapitalisme, modal, pasar, dan
in-dustri media massa. Kemudian dia
memutuskan apakah realitas politik yang akan dibahas adalah po-litik dalam
Ideologi Kapitalisme sekularistik ataukah politik dalam Ideologi Islam.
Prosedur ini wajib dilakukan sebab realitas politik dalam kedua ideologi
tersebut mustahil dipersamakan bahkan perbe-daan keduanya adalah pokok dan
mendasar. Rinciannya sebagai berikut :
1. bila
politik yang Solihin maksudkan adalah politik kapitalisme sekularistik maka dia
harus konsis-ten dengan jatidiri politik tersebut, yakni : the ways in which people
gain, use, and lose power
(C. Calhoun, 2002) : suatu jalan di mana orang-orang memperoleh, menggunakan
dan kehilangan ke-kuasaan. Selanjutnya dia pun harus rela menerima
kenyataan bahwa antara realitas politik tersebut dengan seluruh konsepsi pokok
kapitalisme adalah tidak mungkin dipisahkan bahkan konsepsi po-kok itulah
sebenarnya yang menentukan realitas politik itu sendiri. Kapitalisme
mengeksploitasi aspek kepentingan yang menjadi asas terwujudnya interaksi di
antara anggota masyarakat dan lalu menterjemahkannya sebagai standard perbuatan
yakni manfaat (usefulness) bahkan secara lebih teknis lagi
dirumuskan dalam prinsip ekonomi, yaitu the least the cost the highest the
profit (biaya serendah mungkin, keuntungan setinggi mungkin). Prinsip inilah
yang selalu harus diimplementasi-kan dalam seluruh aspek kehidupan atau
perbuatan manusia di dunia, sehingga seharusnya siapa pun termasuk Solihin
tidak perlu kaget, terkejut apalagi gelisah geram terhadap fenomena sepak
terjang para politisi di arena perpolitikan tidak hanya di Indonesia tapi di
seluruh dunia, yang men-jadikan politik sebagai industri modal sangat besar
yang berada dalam mekanisme sinergetik de-ngan pasar maupun industri lainnya
seperti industri media massa.
Jadi, mekanisme
tersebut bukanlah sebuah “perselingkuhan” alias penyimpangan melainkan
reali-tas yang memang harus terjadi dan normal atau bahkan selalu akan terjadi
secara otomatis dan ala-mi mengingat seluruhnya berada dalam konstelasi
sebab dan akibat, yakni ideologi kapitalisme adalah entitas penyebab
sedangkan lainnya termasuk politik, arena perpolitikan, para politisi dan
industri berada dalam lini akibat. Sehingga munculnya fragmentasi
sikap-sikap materialis, hedonis dan pragmatis dalam merebut kekuasaan
adalah hal yang lazim, wajar, normal, legal dan sama se-kali bukan perbuatan
tercela yang menyimpang dari main stream yang ada yakni kapitalisme.
2. bila
yang dimaksudkan oleh Solihin adalah realitas politik dalam Ideologi Islam
(walau nampaknya dipastikan bukan) maka tentu saja jatidirinya bersifat
diametral dengan perpolitikan dalam kapita-lisme. Politik dalam Islam (اَلسِّيَاسَةُ
الإِسْلاَمِيَّةُ) adalah :
رِعَايَةُ شُؤُوْنِ
الرَّعِيَّةِ اَيِ الأُمَّةِ دَاخِلِيَّةً وَخَارِجِيَّةً بِالأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَّةِ
“mengurus
kepentingan rakyat atau umat baik dalam maupun luar negeri dengan menggunakan
hukum syara (Islam)”.
Nampak jelas, politik dalam Islam diarahkan dan ditujukan
bagi mengurus seluruh kepentingan dan kebutuhan rakyat (warga negara Khilafah
Islamiyah) baik dari kalangan kaum muslim maupun ka-fir dzimmiy. Implementasi politik Islami
tersebut adalah : (a) di dalam negeri berupa pemberlakuan seluruh ketentuan
Islam (اَلشَّرِيْعَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ)
terhadap seluruh warga negara tanpa kecuali dan (b) di lu-ar negeri berupa
penyebarluasan risalah Islam ke seluruh pelosok dunia dengan dakwah dan jihad.
Dengan demikian, politik (اَلسِّيَاسَةُ) dan
kekuasaan (اَلسُّلْطَاتُ) dalam
Ideologi Islam adalah dua perka-ra yang berbeda dan tidak berada dalam
konstelasi sebab – akibat, yakni seseorang menjadi pengu-asa (اَلسُّلْطَانُ) sama sekali bukan melalui politik dan politik
sama sekali bukan jalan bagi seseorang untuk sampai kepada
atau untuk meraih kekuasaan. Seseorang menjadi penguasa (Khalifah
atau Imam atau Amirul Mukminin atau Sulthan) dalam Ideologi Islam adalah
melalui metode khas satu-satunya yakni bai’at (اَلْبَيْعَةُ) dari umat Islam untuk mewakili mereka (يَنُوْبُ
عَنْهَا) dalam kekuasaan dan pemerintahan. Inilah yang ditunjukkan oleh
banyak dalil antara lain :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ
دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ
اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ
بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا
وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا
أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه
البخاري)
Dari Junadah bin Abi
Umayyah berkata kami menemui Ubadah bin Shamit yang tengah sakit, lalu kami
berkata kepadanya : Allah akan segera menyembuhkanmu, ceritakanlah kepada kami
sebuah hadits yang Allah memberikan manfaat kepadamu lewat hadits tersebut yang
engkau telah dengar dari Nabi saw. Dia (Ubadah) berkata : Nabi saw telah
menyeru kami lalu kami pun membai’at be-liau, lalu beliau pun memberitahukan
dalam perkara apa saja beliau mengambil bai’at dari kami agar didengar dan
ditaati yakni dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan maupun
adanya berbagai bahaya yang menimpa kami. Beliau pun memerintahkan supaya kami
tidak mere-but kekuasaan dari tangan pemiliknya kecuali (kata beliau) : kalian
melihat kekufuran yang nyata yang ada buktinya di sisi kalian dari Allah.
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا
الْآخَرَ مِنْهُمَا (رواه مسلم)
“Jika dibai’at dua orang Khalifah maka
bunuhlah oleh kalian yang kedua dari mereka itu”.
Setelah dia sah
memimpin Khilafah Islamiyah (تَنْعَقِدُ لَهُ الْخِلاَفَةُ بِبَيْعَةِ
الْمُسْلِمِيْنَ لَهُ),
barulah dia memberla-kukan politik baik di dalam maupun di luar negeri Khilafah
Islamiyah. Sehingga tidak akan pernah dan mustahil terjadi dalam Ideologi Islam
realitas politik yang sangat merisaukan Solihin yakni : politik seolah
berkembang menjadi bebas nilai, terutama ketika unsur kemunafikan dan jani-janji
pemanis bibir ditonjolkan, atau : fragmentasi sikap-sikap
materialis, hedonis, dan pragmatis da-lam merebut kekuasaan di kalangan
politisi begitu mencuat. Hal itu karena, sekali lagi, politik da-lam Islam
bukan penyebab tergenggamnya kekuasaan pada tangan seseorang,
melainkan justru politik menjadi kewajiban utama seseorang saat dia telah sah
menjadi penguasa (Khalifah) melalui bai’at dari umat Islam yang diberikan
kepadanya. Khalifah (penguasa) wajib menjadi yang pertama kalinya dalam
melekatkan sikap اَلزُّهْدُ اَوِ الزَّهَادَةُ dalam dirinya sebelum rakyat yang mana
pun, sebab seluruh otoritas (اَلصَّلاَحِيَّاتُ) kekuasaan maupun pemerintahan secara mutlak berada dalam
kendali-nya termasuk harta (اَلْمَالُ), peradilan (اَلْقَضَاءُ) dan militer (اَلْجَيْشُ).
Wal hasil, asketisme dan اَلزُّهْدُ
اَوِ الزَّهَادَةُ adalah
tidak sama dan haram dipaksa untuk sama, sebab masing-masing
memiliki realitas yang berbeda secara mendasar juga berasal dari kebudayaan (اَلثَّقَافَةُ alias culture) yang berbeda yakni
asketisme dari filsafat Yunani sedangkan اَلزُّهْدُ اَوِ
الزَّهَادَةُ adalah bagian
dari Islam. Bila ada seseorang (apalagi mengaku muslim) yang mempersamakan
keduanya maka sikap orang tersebut adalah bukti pasti dari adanya tuntutan kepentingan
Machiavelian dalam dirinya.
Mencari kekuasan dalam
Islam : haramkah?
Ada sebuah ide hermeneutis yang berkembang
sangat kuat dalam benak umat Islam berkaitan de-ngan kekuasaan (اَلسُّلْطَاتُ) dan pemerintahan (اَلْحُكْمُ), yakni seorang muslim haram
mencari kekuasaan maupun meminta jabatan dalam kekuasaan. Lalu benarkah
anggapan tersebut?
Suatu saat Abu Dzar
Al-Ghifari mendatangi Rasulullah saw dan terjadilah dialog seperti yang
di-tunjukkan oleh hadits berikut :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ
قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ
عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا
أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ
أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا (رواه مسلم)
Dari
Abi Dzar berkata, saya berkata wahai Rasulullah apakah anda tidak akan
memberikan jabatan kepada saya? Maka beliau menepuk bahu saya lalu berkata :
‘wahai Aba Dzar sungguh kamu ini le-mah dan sungguh jabatan itu adalah amanah
dan di hari kiamah jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali
bagi siapa saja yang mengambilnya sesuai dengan peruntukkannya dan
melak-sanakan segala sesuatu yang wajib dilakukan di dalamnya’.
Bagian
hadits يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي dan يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ memberikan pemahaman tentang alasan (اَلْعِلَّةُ) mengapa Rasulullah saw mengharamkan Aba
Dzar meminta jabatan kepada beliau saw, yakni karena realitas Abi Dzar yang
lemah (ضَعِيفٌ) dan tidak memenuhi kualifikasi (أَمَانَةُ) yang dituntut harus ada oleh jabatan itu
sendiri. Oleh karena itu pengharaman meminta jabatan tersebut (تَحْرِيْمُ
طَلَبِ الإِمَارَةِ) adalah
khusus bagi Abi Dzar dan bagi siapa pun yang serupa tipikal dengan Abi Dzar.
Adapun bagi siapa pun yang mampu (قَادِرٌ) melaksanakan seluruh kewajiban yang ada dalam jabatan dan
memenuhi semua kua-lifikasi yang dituntut harus ada oleh jabatan tersebut (أَمَانَةُ), maka halal (اِبَاحَةٌ) baginya untuk meminta ja-batan dalam
pemerintahan dan kekuasaan. Pemahaman ini oleh para mujtahid dirumuskan dengan
:
اَلْعِلَّةُ تَدُوْرُ
مَعَ مَعْلُوْلِهَا وُجُوْدًا وَعَدَمًا اَيْ اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ
وُجُوْدًا وَعَدَمًا
‘illat itu beredar bersama dengan
ma’lulnya baik ada maupun tidak ada, atau hukum itu beredar ber-sama dengan
‘illatnya baik ada maupun tidak ada.
اَلْعِلَّةُ tentang pengharaman meminta jabatan
ternyata wujud (وُجُوْدًا)
dalam diri Abi Dzar sehingga otoma-tis hukum haram (مَعْلُوْلِهَا) tersebut berlaku bagi Abi Dzar. Sedangkan
bagi orang lain yang tidak didapati dalam dirinya ‘illat tersebut (عَدَمًا), maka pengharaman meminta jabatan
otomatis tidak berlaku baginya dan dia halal meminta jabatan. Inilah yang juga
ditunjukkan oleh bagian hadits :
إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا
بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
kecuali bagi siapa saja
yang mengambilnya sesuai dengan peruntukkannya dan melaksanakan segala sesuatu
yang wajib dilakukan di dalamnya.
Ketidaklayakkan
Abu Dzar untuk menduduki jabatan dalam kekuasaan dan pemerintahan lebih
dijelas-kan lagi dalam hadits berikut :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ
إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا
تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ (رواه مسلم)
Dari
Abi Dzar bahwa Rasulullah saw berkata : ‘wahai Aba Dzar sungguh aku melihatmu
adalah orang yang lemah dan sungguh aku menginginkan bagimu segala hal yang aku
inginkan bagi diriku (yakni ridla Allah SWT), maka janganlah kamu menjadi amir
untuk dua urusan (kekuasaan mengurus dunia dan din) dan jangan pula kamu
menjadi wali yang mengurus harta anak yatim’
Bagian
hadits لَا
تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ
bermakna :
فَلاَ تُسَلِّطُنَّ
وَلاَ تَصِيْرُنَّ أَمِيْرًا كَانَ مِنْ اَعْبَائِهِ مُرَاعَاةَ مَصَالِحِ
رَعِيَّتِهِ الدُنْيَوِيَّةِ وَالدِّيْنِيَّةِ
Maka
janganlah kamu menduduki dan menjadi amir yang tugasnya adalah memelihara
kemaslahatan rakyatnya baik itu berkenaan dengan dunia (kebutuhan mereka selama
hidup di dunia) maupun de-ngan din (pelaksanaan mereka terhadap ketentuan
Islam)
Bagian hadits مَالَ
يَتِيمٍ لَا تَوَلَّيَنَّ bermakna : لاَ تَكُنْ مُتَوَلِّيًا
عَلَى وِلاَيَةِ مَالِ اْلأَيْتَامِ: janganlah kamu menjadi pe-nguasa untuk urusan harta
anak-anak yatim. Artinya, Abu Dzar adalah orang yang tidak layak (haram)
untuk menjadi penguasa yang di antara tugas utamanya adalah memelihara
kemaslahatan rakyat mau-pun mengelola harta anak-anak yatim. Namun bagi para
sahabat lainnya yang memang sangat layak untuk menjadi penguasa di masa
kepemimpinan Nabi Muhammad saw, maka sama sekali tidak ada la-rangan menduduki
jabatan tersebut, baik dengan cara memintanya maupun tidak, sama saja
dibolehkan. Hal itu karena persoalannya bukan pada adanya permintaan ataukah
tidak, melainkan pada kelayakkan. Inilah yang dapat disaksikan sepanjang
kepemimpinan beliau saw : Mua’dz bin Jabal (wali di Yaman), Ali bin Abi Thalib
(wali di Yaman), Abu Bakar dan Umar bin Khaththab (keduanya sebagai wazir bagi
Nabi Muhammad saw) dan sebagainya. Rasulullah saw menyatakan :
مَا مِنْ نَبِيٍّ
إِلَّا لَهُ وَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ وَوَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ
الْأَرْضِ فَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ
وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ (رواه
الترمذي)
Tidak ada seorang Nabi
pun kecuali baginya ada dua wazir dari penduduk langit dan dua wazir dari
penduduk bumi. Adapun dua wazirku dari penduduk langit adalah Jibril dan
Mikail, sedangkan dua wazirku dari penduduk bumi adalah Abu Bakar dan Umar
Khatimah
Mencari kekuasaan (طَلَبُ السُّلْطَاتِ) dalam kehidupan berbasis kekufuran
seperti saat ini tidak dira-gukan lagi adalah haram, bahkan
pelakunya secara otomatis telah menjadikan sistema kufur tersebut sebagai
pengganti Islam dan akibatnya Islam benar-benar tersingkirkan dari realitas
kehidupan manu-sia. Inilah yang akan selalu terjadi jika umat Islam terus
menerus memposisikan diri mereka sebagai lo-yalis sejati kaum kufar berikut
kekufurannya.
Mencari kekuasaan dalam kehidupan Islami (Khilafah
Islamiyah) dipastikan adalah halal asal memenuhi kualifikasi
Islami : إِلَّا
مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا. Anggapan yang mengharamkan men-cari
kekuasaan adalah sekedar ide hermeneutis yang muncul dari begitu kuatnya
kooptasi dan dominasi filsafat Yunani maupun muatan lokal yang telah lebih
dahulu menjadi standard baik dan buruk maupun benar dan salah. Selain itu,
anggapan tersebut membuktikan bahwa si penggagas sangat tidak sadar ter-hadap
realitas perbedaan mendasar antara kehidupan Islami dengan kehidupan berbasis
kekufuran.
No comments:
Post a Comment