Adnan Buyung Nasution vs MUI : adakah perbedaannya?
Pengacara senior : Adnan Buyung Nasution dalam
tulisannya berjudul “Konstitusionalisme Vs Fundamentalisme” menyatakan : belakangan
ini timbul berbagai ancaman terkait fundamentalisme agama. Pertama, kemunculan
berbagai peraturan daerah syariat yang diskriminatif dan melanggar hak asasi
manusia. Kedua, desakan untuk menggolkan RUU tentang Pornografi yang amat
antiperem-puan (misogynist) dan tidak mampu melindungi anak. Ketiga, tindak
kekerasan yang dilakukan kelom-pok fundamental terhadap pemeluk agama dan
kepercayaan minoritas, rakyat kecil marjinal, juga akti-vis pejuang kebebasan
beragama. Ancaman itu menjadi kian serius saat berbagai kelompok fundamen-tal
mulai menghembuskan isu mayoritas vis a vis minoritas ke ruang publik. Simak
tuntutan pembuba-ran Ahmadiyah yang selalu dikaitkan pandangan mainstream
kelompok Islam. Demikian pula dengan rencana pengesahan RUU Pornografi yang
kabarnya sebagai hadiah Ramadhan bagi mayoritas. Cela-kanya, aspirasi
fundamentalistik yang dikesankan mendapat dukungan mayoritas itu membuat
cabang-cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) seolah
kehilangan pegangan dan tidak berdaya. Insiden Monas 1 Juni 2008 seharusnya
dapat menyadarkan banyak kalangan tentang kondisi demokrasi kita yang masih
mengidap penyakit kronis. Virus perusak demokrasi itu dibawa oleh berba-gai
kelompok fundamental yang mengotori keadaban publik dengan menggunakan
cara-cara kekeras-an pada sesama warga. Tindakan premanisme seharusnya dapat
diatasi sebelumnya jika saja negara tidak ragu-ragu dalam menegakkan hukum dan
konstitusi, terutama untuk menindak pelaku dan melin-dungi kelompok-kelompok
minoritas, yang marjinal, lemah dan terancam. Akhirnya, saya ingin
sung-guh-sungguh meyakinkan segenap bangsa ini, ancaman fundamentalisme agama
ini nyata dan berba-haya karena bertujuan menciptakan negara berdasarkan agama.
Sejauh ini berbagai kelompok funda-mental itu telah menyorong penyelenggara negara
hingga tersudut di tepian jurang inkonstitusionali-tas.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
KH. Amidhan yang didampingi oleh Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI M.
Said Budairy saat mengadakan jumpa pers tentang RUU Pornografi di Kantor MUI
Kamis 9 Oktober 2008 mendesak DPR RI segera mengesahkan RUU Porno-grafi untuk
membangun moral bangsa sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Lebih lanjut MUI
ber-sama dengan FUI (Forum Ukhuwah Islamiyah : Muslimat Nahdlatul Ulama,
Nasyatul Aisyiyah, Wani-ta Islam, Fatayat NU, Alumni Timur Tengah, Kohati,
Forum Umat Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia) menyatakan : menuntut sikap
kenegarawanan anggota DPR yang terus menunda-nunda pengesahan Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pornografi akibat tekanan kalangan industri pornografi.
Pertemu-an MUI-FUI tersebut juga menghasilkan pernyataan sikap MUI-FUI yaitu :
1.
menyesalkan sikap DPR yang kembali mengulur waktu
pengesahan dengan mengadakan uji sahih di tiga daerah (Bali, Sulawesi Utara,
Yogyakarta).
2.
mendesak DPR agar segera mengesahkan RUU Pornografi.
3.
merebaknya kejahatan pornografi, baik cetak maupun
elektronik dan beredarnya VCD porno, sa-ngat memprihatinkan kita semua. Oleh
karena itu, melalui UU ini, diimbau kepada segenap kompo-nen bangsa untuk
menyelamatkan bangsa dan negara dari kehancuran dan keterpurukan moral.
4.
Forum Ukhuwah Islamiyah MUI mendukung adanya muatan
positif dalam RUU Pornografi demi terbangunnya nilai-nilai etika dan moral
bangsa.
5.
sudah saatnya menempatkan masyarakat sebagai pelapor
dan penggugat dalam pelaksanaan UU Pornografi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
6. mengimbau
pada media massa untuk mengedepankan idealisme dan tanggungjawab jurnalisme
ser-ta memberikan kepada masyarakat informasi yang seimbang dalam rangka
mendukung RUU Por-nografi.
Nampak jelas dalam perkembangan mutakhir maupun
dalam tulisan tersebut serta pernyataan si-kap MUI-FUI, baik Adnan Buyung
maupun MUI-FUI menjadikan isyu pengesahan RUU Pornografi, eksistensi Ahmadiyah
plus AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakin-an) dan
keberlangsungan demokrasi di Indonesia (yang ditandai pasti oleh Pancasila dan
UUD 1945), sebagai objek yang menjadi fokus perhatian mereka. Rincian sikap
mereka sebagai berikut :
1.
pada persoalan RUU Pornografi, Adnan Buyung menolak
tegas rencana pengesahannya menjadi UU Pornografi dengan berbagai alasan.
Sedangkan MUI-FUI selain sangat pro RUU Pornografi ju-ga mendesak DPR untuk segera
mengesahkannya menjadi UU Pornografi dengan berbagai alasan.
2.
pada persoalan Ahmadiyah plus AKKBB, Adnan Buyung
adalah salah satu dari sekian banyak to-koh yang selain menolak tegas
upaya pembubaran Ahmadiyah juga berposisi sebagai aktivis sejati dari AKKBB.
Sedangkan MUI-FUI selama ini adalah “motor” paling kuat dan lugas dalam
men-desak pemerintah NKRI untuk membubarkan Ahmadiyah berikut AKKBB (pasca
insiden Monas 1 Juni 2008, AKKBB diduga kuat adalah bentuk jelmaan baru alias
“jejadian” dari Ahmadiyah sen-diri).
3. pada
persoalan keberlangsungan demokrasi di NKRI, ternyata baik itu Adnan Buyung
maupun MUI-FUI sama-sama sepakat untuk selalu mempertahankan eksistensi
demokrasi tersebut sekali-gus menjaganya supaya selalu diberlakukan dengan
sesempurna mungkin dalam kehidupan bernegara di NKRI.
Realitas persoalan RUU
Pornografi dan Ahmadiyah plus AKKBB-nya adalah dimunculkan oleh reali-tas
diberlakukannya demokrasi dengan seluruh pemikiran cabang dan turunannya di
NKRI. Hubungan-nya adalah pemberlakuan demokrasi di NKRI merupakan sebab,
sedangkan persoalan RUU Porno-grafi, Ahmadiyah, AKKBB dan sebagainya
adalah akibat dari diberlakukannya demokrasi tersebut. Dari sinilah
pertanyaan ekspresi kebingungan muncul : apakah antara Adnan Buyung dan
MUI-FUI itu saling bertentangan ataukah justru tidak sama sekali?
Apabila perhatian dibatasi hanya kepada RUU
Pornografi dan Ahmadiyah plus AKKBB-nya, ma-ka nampak sangat jelas terjadi
pertentangan diametral antara Adnan Buyung dan MUI-FUI, yakni yang satu menolak
disahkannya RUU Pornografi maupun dibubarkannya Ahmadiyah sekaligus sebagai
akti-vis sejati dari AKKBB. Sedangkan MUI-FUI sangat mendesak DPR
untuk segera mensahkan RUU Pornografi, sangat mendesak Presiden
NKRI untuk membubarkan Ahmadiyah dan bersikap bersebera-ngan dengan AKKBB.
Namun bila perhatian diarahkan kepada realitas pemberlakuan demokrasi dan
keberlangsungannya dalam NKRI, maka keduanya sangat sepakat untuk
tetap memberlakukan demo-krasi sekaligus mempertahankan
keberlangsungannya di NKRI. Tegasnya, bila diterapkan kepada reali-tas tersebut
istilah halal dan haram, maka rinciannya adalah :
1.
Adnan Buyung Nasution memvonis haram
untuk : (a) mensahkan RUU Pornografi jadi UU, (b) membubarkan Ahmadiyah dan (c)
melakukan tindak kekerasan kepada atau memusuhi AKKBB. Sedangkan untuk
pemberlakuan demokrasi serta menjaga keberlangsungannya di NKRI, maka Ad-nan
Buyung menetapkan vonis wajib (halal).
2. MUI-FUI
memvonis wajib (halal) untuk : (a) segera mensahkan RUU
Pornografi jadi UU, (b) sege-ra membubarkan Ahmadiyah dan (c) menempatkan AKKBB
sebagai musuh umat Islam. Demikian juga untuk pemberlakuan demokrasi serta
menjaga keberlangsungannya di NKRI, maka MUI-FUI menetapkan vonis wajib
(halal).
Lalu, sikap siapakah yang
benar menurut standard : (a) demokrasi berbasis sekularisme dan (b)
Islam?
Demokrasi menetapkan bahwa pornografi maupun
pornoaksi adalah dua perkara yang halal bah-kan wajib dibiarkan
terjadi di tengah-tengah kehidupan publik, karena hal itu merupakan bagian dari
kebebasan berekspresi dan berkepribadian yang sangat dijamin eksistensinya oleh
demokrasi. Demiki-an juga keberadaan Ahmadiyah wajib dibiarkan
atau dipertahankan karena dijamin oleh kebebasan ber-agama dalam demokrasi.
Eksistensi AKKBB adalah sangat sesuai dengan kebebasan beragama dan berekspresi
yang dijamin dalam demokrasi. Oleh karena itu, menurut demokrasi sikap Adnan
Buyung Nasution adalah yang benar karena sesuai 100 persen dengan
standard yang ditetapkan dalam demo-krasi sendiri. Artinya, secara otomatis
demokrasi memvonis bersalah terhadap sikap MUI-FUI karena telah
menentang konsep kebebasan beragama, berekspresi dan berkepribadian yang
dijamin penuh oleh demokrasi. Namun begitu, demokrasi sangat membenarkan
bahkan menghargai sikap MUI-FUI yang sepakat dengan Adnan Buyung untuk
tetap memberlakukan demokrasi sekaligus menjaga keberlang-sungannya di NKRI.
Dengan kata lain, demokrasi menganggap telah terjadi perbedaan pendapat
yang dapat diabaikan dan tidak mendasar antara Adnan Buyung dan MUI-FUI dalam
persoalan RUU Porno-grafi, Ahmadiyah dan AKKBB, karena terjadi hanya dalam
perkara cabang atau turunan dari demokra-si itu sendiri. Hal itu dibuktikan
oleh sikap keduanya yang sangat sepakat untuk tetap memberlakukan demokrasi
sekaligus menjaga keberlangsungannya di NKRI. Lalu, bagaimana
menurut Islam, siapakah yang benar?
Sikap Adnan Buyung baik
itu yang terungkap eksplisit dalam tulisannya (“Konstitusionalisme Vs
Fundamentalisme”) maupun yang berupa sepak terjang kesehariannya selama ini, seluruhnya
dalam pandangan Islam adalah salah karena bertentangan dengan (مُتَنَاقِضًا)
dan atau menyalahi (مُتَخَالِفًا) Islam mulai dari
aqidah hingga pemikiran cabang maupun turunannya. Hal itu dapat terjadi atas
diri Adnan Buyung karena sejak awal dia telah menjadikan sekularisme beserta
demokrasi dan kapitalisme sebagai satu-satunya asas berpikirnya bahkan
sekaligus sebagai kepemimpinan ideologis dirinya. Jadi adalah ti-dak
mengherankan bila dia begitu kasar, sadis, brutal sikap
penghujatannya terhadap Islam dan pada saat yang sama dia begitu loyal
kepada serta membela mati-matian demokrasi. Artinya, seluruh
sikap Adnan Buyung adalah wajar, pantas dan lumrah karena dia berusaha kuat
untuk jujur dan konsisten kepada asas berpikir maupun kepemimpinan idelogis
yang dia miliki : sekularisme. Inilah yang dimak-sudkan dan dibidik oleh
pernyataan Allah SWT :
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا
لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْءَانِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاسِ
إِلَّا كُفُورًا وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ
الْأَرْضِ يَنْبُوعًا أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ
فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيرًا أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا
زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ قَبِيلًا
أَوْيَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ
نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ
سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا (الإسراء : 93-89)
Rangkaian ayat tersebut
menunjukkan bahwa kaum kufar yang menempati posisi sebagian sangat besar dari
populasi manusia pasti akan menolak seluruh informasi yang mereka dapati dalam
atau sampai ke-pada mereka dari Al-Quran, walaupun seluruhnya sangat dapat
dengan mudah dipahami oleh aqal ma-nusia mana pun termasuk mereka : وَلَقَدْ
صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْءَانِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَى أَكْثَرُ
النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا. Bahkan untuk membuat semua penolakan mereka terhadap Islam itu
seolah legitimate alias sah, maka mereka pun menetapkan berbagai syarat kepada
Nabi Muhammad saw yang harus dipenuhi oleh beliau dan bila beliau tidak dapat
memenuhinya maka mereka memastikan tidak akan pernah iman kepada beliau hing-ga
kapan pun :
وَقَالُوا لَنْ
نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعًا أَوْ تَكُونَ لَكَ
جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيرًا
أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ
بِاللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ قَبِيلًا أَوْيَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ
تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا
كِتَابًا نَقْرَؤُهُ
Demikianlah realitas Adnan Buyung Nasution dan manusia
lainnya yang simetris serta tipikal dengan-nya dalam pandangan Islam yang juga
diklaim sebagai agama mereka. Lalu, bagaimana halnya dengan sikap umat Islam
yang berhimpun dalam MUI-FUI?
Sikap MUI-FUI yang anti pornografi pornoaksi karena
diharamkan oleh Islam adalah benar me-nurut Islam. Sikap mereka
yang bertekad untuk membubarkan Ahmadiyah berikut pendukung fanatik-nya yakni
AKKBB, juga benar dalam pandangan Islam. Namun sangat disayangkan
sikap mereka yang sudah benar tersebut ternyata berubah menjadi nyata-nyata
salah (menurut Islam) saat mereka me-nyandarkan seluruh sikapnya kepada
kekuasaan dan pemerintahan kufur NKRI, yaitu dengan cara men-desak dan menuntut
pemerintah NKRI (Presiden) untuk membubarkan Ahmadiyah dan DPR untuk se-gera
mengesahkan RUU Pornografi menjadi UU. Sikap mereka yang sangat salah
tersebut menjadi lebih fatal lagi tatkala mereka sama sekali tidak
mempersoalkan apalagi menolak pemberlakuan demo-krasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan NKRI, bahkan nyata sekali mereka sepenuhnya setuju dan mendukung
pemberlakuan demokrasi maupun upaya untuk menjamin keberlangsungannya di NKRI.
Jadi, benar-benar sangat sempurna ketidakjujuran sikap mereka yakni : (a) tidak
jujur terhadap status mereka sebagai umat Islam dan (b) tidak jujur terhadap
keberpihakan mereka kepada demokrasi. Lalu, apa status yang paling pantas bagi
realitas sikap mereka, apakah : (a) sebagai pengemban dan pembela Islam ataukah
(b) sebagai pengusung dan pembela kekufuran (demokrasi)?
Islam mewajibkan setiap
muslim yang عَاقِلاً بَالِغًا يَفْهَمُ الْخِطَابَ
untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya asas berpikir mereka (قَاعِدَتُهُمُ
الْفِكْرِيَّةُ) sehingga akan secara otomatis menjadi
satu-satunya stan-dard tingkah laku mereka (مِقْيَاسٌ مُعَيَّنٌ
ِلأَعْمَالِهِمْ) selama hidup di dunia. Artinya Islam
bersifat hanya menghimpun (جَامِعًا) yang berasal dari
Islam saja dan pada saat yang bersamaan menolak (مَانِعًا)
semua hal yang bukan dari Islam (kekufuran : اَلْكُفْرُ).
Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة : 208)
Juga pernyataan Rasulullah
saw :
رَأْسُ الْأَمْرِ
الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ (رواه
الترمذي)
Sehingga
walaupun MUI-FUI seolah tengah mengemban Islam dengan menolak beberapa hal yang
di-haramkan oleh Islam sendiri : pornografi, pornoaksi, Ahmadiyah, AKKBB, miras
dan bentuk maksiat lainnya, namun karena رَأْسُ الْأَمْرِ
عِنْدَهُمْ لَيْسَ اْلإِسْلاَمُ بَلِ الْكُفْرُ (pokok segala
urusan bagi mereka adalah bu-kan Islam melainkan kekufuran), maka sikap
penolakan mereka itu sama sekali bukan berawal dari ke-sadaran
terhadap hubungan dirinya dengan Allah SWT (اِدْرَاكُهُمْ صِلَتَهُمْ
بِاللهِ) yakni karena seluruhnya di-haramkan oleh Allah, tapi karena
pertimbangan lainnya : manfaat bagi terpeliharanya moral bangsa (kasus
pornografi pornoaksi), manfaat bagi pemeliharaan aqidah umat Islam (kasus
Ahmadiyah) dan seterusnya. Dengan demikian sikap mereka tersebut sama
sekali bukan bukti bahwa mereka selama ini tengah mengemban dan membela
Islam, namun sebaliknya mereka tengah mengusung, membela serta mengokohkan
kekufuran (demokrasi) paling tidak di negeri Indonesia. Bahkan sikap MUI-FUI
yang menyerahkan penyelesaian persoalan hidup di dunia (pornografi, pornoaksi,
Ahmadiyah, AKKBB, mi-ras dan bentuk maksiat lainnya) kepada negara kufur NKRI
adalah bentuk penolakan mereka yang pa-ling nyata terhadap
ketentuan Islam yang mengharamkan tindakan tersebut (اَلتَّحَاكُمُ
بِالْكُفْرِ وَالْكُفَّارِ). Allah SWT menyatakan :
أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا
أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ
أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا
بَعِيدًا (النساء : 60)
Akibat dari sikap dan
tindakan seperti itu adalah luar biasa mengerikannya, yakni status iman mereka
hanyalah pengakuan alias klaim bukan hakiki : أَلَمْ تَرَ إِلَى
الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا
أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ. Wal hasil, adakah perbedaan
antara sikap Adnan Buyung Nasution dengan MUI-FUI dalam pandangan Islam? Jawabannya
adalah mereka itu sama saja dalam pandangan Islam, yakni
sama-sama telah ke luar dari Islam secara sadar dan terencana : يُرِيدُونَ
أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ.
Juga, mere-ka itu sama-sama secara sadar dan terencana tengah menjauhkan Islam
dari realitas kehidupan dunia dengan membangun citra baru bagi wajah kekufuran
melalui metode Islamisasi kekufuran.
Sikap yang benar menurut
Islam
Islam mewajibkan kaum
muslim untuk memastikan (عَلَى قَاطِعٍ وَجَازِمٍ)
terhadap segala perkara, rea-litas, fakta, persoalan, yakni mana sebab
(اَلسَّبَبُ)
dan mana akibat (اَلْمُسَبَّبُ اَيِ الْعَاقِبَةُ)
dari perkara, reali-tas, fakta, persoalan tersebut. Hal itu (secara aqliy)
supaya mereka dapat menyelesaikan perkara, rea-litas, fakta, persoalan tersebut
dengan benar, tepat dan akurat sesuai dengan hakikat keberadaannya apa adanya.
Sehingga tidak akan pernah terjadi upaya menyelesaikan suatu persoalan ternyata
menimbul-kan persoalan lain yang pada gilirannya upaya tersebut sama
sekali bukan sebuah solusi bagi persoalan itu melainkan menambah rumit
atau memperbanyak cabang persoalannya. Inilah yang telah dengan sempurna
dilakukan oleh para shahabat saat Nabi Muhammad saw wafat. Mereka sangat
memahami dengan benar bahwa wafatnya beliau saw akan secara pasti menjadi اَلسَّبَبُ
kehancuran bangunan Islam dan kaum muslim yang telah dengan susah payah
dibangun oleh Rasulullah saw bersama-sama mereka. Oleh karena itulah, mereka
memutuskan untuk lebih mendahulukan upaya mencari pengganti posisi Nabi
Muhammad saw selaku رَئِيْسُ الدَّوْلَةِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ
الْحَقِيْقِيَّةِ, daripada melaksanakan kewajiban kifayah
atas mereka yakni mengurus jenazah mulia Rasulullah saw hingga sempurna
dikuburkan. Sekali lagi, inilah keputusan monumental yang selain sangat
berharga bagi Islam dan umat Islam juga sangat tepat dan akurat, sehingga
keutuhan dan keberlangsungan wadah politis pelaksanaan Islam di dunia dapat
terjaga sempurna sesuai dengan pernyataan Rasulullah saw :
مَنْ
أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ
عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ (رواه مسلم)
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa ancaman dan bahaya
dari kaum kufar yang selalu berupaya untuk menghancurkan Islam dan Khilafah (يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ
جَمَاعَتَكُمْ) selalu ada bahkan saat ke-hidupan kaum
muslim di dunia riil di bawah kepemimpinan Khalifah (وَأَمْرُكُمْ
جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ). Oleh karena itu ancaman tersebut akan
semakin kuat dan berbahaya luar biasa ketika kaum muslim tengah ti-dak dipimpin
oleh اَلإِمَامُ اَيِ
الْخَلِيْفَةُ alias dalam keadaan : وَأَمْرُكُمْ
جَمِيعٌ لَيْسَ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ, seperti saat
wafat-nya Rasulullah saw. Pemahaman yang benar dan tepat dari para shahabat
saat Rasulullah saw wafat tersebut tergambar dengan gamblang dalam riwayat Ibnu Jarir Ath-Thabariy dalam
اَلتَّارِيْخُ :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ
حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ
يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ
يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ
“Amru
bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan
wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru)
bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada
hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci tetap hidup walau
hanya setengah hari namun tidak dalam kehidupan jamaah”.
Kemudian secara naqliy
banyak dalil yang menuntut umat Islam untuk mensikapi segala perkara, realitas,
fakta, persoalan dengan terlebih dahulu mencari informasi selengkap mungkin (عِلْمٌ)
tentang perkara, realitas, fakta, persoalan tersebut termasuk segala informasi
yang berhubungan dengannya ba-ik itu langsung maupun tidak. Inilah yang
dimaksudkan oleh Allah SWT dalam pernyataan :
وَلَا تَقْفُ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الإسراء : 36)
Jadi, pendengaran (اَلسَّمْعُ),
penglihatan (اَلْبَصَرُ) dan pemikiran (اَلْفُؤَادُ)
pasti akan dimintai pertanggungja-wabannya apakah benar ataukah salah
dan benar atau salahnya sepenuhnya ditentukan oleh informasi tentang suatu
perkara, realitas, fakta, persoalan termasuk segala informasi yang berhubungan
dengan-nya baik itu langsung maupun tidak, yang sampai ke dalam otak melalui
indera terutama pendengaran dan penglihatan. Lalu, sikap yang ditetapkan
terhadap perkara, realitas, fakta, persoalan tersebut tentu saja ditentukan
oleh hasil berpikir dengan memilah informasi yang ada dalam otak yakni mana اَلسَّبَبُ
dan mana اَلْمُسَبَّبُ,
sehingga terwujudlah sikap yang benar sesuai dengan hakikat perkara, realitas,
fakta, persoalan yang tengah dihadapi. Tegasnya ayat tersebut bukan
mengharamkan bersikap melainkan me-wajibkan bersikap yang benar sesuai dengan
hakikat dari suatu perkara, realitas, fakta, persoalan.
Dalil lain yang
menunjukkan tuntutan yang sama adalah pernyataan Allah SWT berkenaan de-ngan
realitas sikap kaum kufar terhadap dakwah Islam yang dilakukan oleh Rasulullah
saw :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
(البقرة : 6)
Ayat tersebut memberikan
informasi yang pasti kepada Rasulullah saw bahwa realitas sikap kaum ku-far
adalah : إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَا يُؤْمِنُونَ. Artinya mereka tidak
akan pernah menerima Islam walau telah sam-pai kepada mereka seluruh
informasinya melalui dakwah yang dilakukan langsung oleh Rasulullah saw
sendiri. Lalu, apakah yang jadi sebab mereka bersikap begitu? Apakah taqdir
Allah SWT yang berlaku secara paksa atas mereka?
Informasi dari Allah SWT
tentang penyebab kaum kufar bersikap menolak Islam adalah terung-kap مَفْهُوْمًا
dalam bagian ayat سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ
تُنْذِرْهُمْ, yakni dakwah Islamiyah yang dilakukan Ra-sulullah saw sama
sekali tidak ada hubungannya dengan penolakan mereka itu sebab Nabi mendakwahi
mereka atau pun tidak sama sekali maka sikap mereka tetap saja : menolak Islam.
Oleh karena itu, pe-nyebab sikap mereka itu adalah keputusan mereka sendiri (اِصْرَارُهُمْ)
untuk menolak Islam, baik itu aqal mereka dapat memahami Islam dengan benar
apalagi tidak : لَا يُؤْمِنُونَ. Informasi مَفْهُوْمًا
ini ternyata sesuai dengan informasi مَنْطُوْقًا
yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا
لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْءَانِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاسِ
إِلَّا كُفُورًا وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ
الْأَرْضِ يَنْبُوعًا أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ
فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيرًا أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا
زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ قَبِيلًا
أَوْيَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ
نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ
سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا بَشَرًا رَسُولًا (الإسراء : 93-89)
Mereka
(kaum kufar) tidak akan pernah menerima Islam (لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ)
kecuali Nabi Muhammad saw da-pat memenuhi sejumlah syarat yang mereka ajukan
kepada beliau :
حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا
مِنَ الْأَرْضِ يَنْبُوعًا أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ
فَتُفَجِّرَ الْأَنْهَارَ خِلَالَهَا تَفْجِيرًا أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا
زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ قَبِيلًا
أَوْيَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ
نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنَزِّلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ
Namun
Allah SWT Maha Mengetahui bahwa pengajuan syarat itu hanyalah sebagai alasan
basa-basi mereka, sebab jika pun Nabi Muhammad saw memenuhi seluruhnya (amat
sangat mudah bagi Allah SWT) namun sikap mereka akan tetap saja yakni menolak
Islam : لَنْ
نُؤْمِنَ لَكَ. Oleh karena itu Allah SWT menyuruh beliau
saw untuk menjawab semua syarat itu dengan pernyataan yang membidik kesa-daran
aqal mereka sendiri : قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلَّا
بَشَرًا رَسُولًا. Keadaan yang serupa diungkap oleh
per-nyataan Allah SWT :
الَّذِينَ قَالُوا
إِنَّ اللَّهَ عَهِدَ إِلَيْنَا أَلَّا نُؤْمِنَ لِرَسُولٍ حَتَّى يَأْتِيَنَا
بِقُرْبَانٍ تَأْكُلُهُ النَّارُ قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي
بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالَّذِي قُلْتُمْ فَلِمَ قَتَلْتُمُوهُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
(آل عمران : 183)
Bahkan Allah SWT menyuruh
Nabi Muhammad saw untuk menjawab anggapan kaum kufar tersebut : إِنَّ
اللَّهَ عَهِدَ إِلَيْنَا أَلَّا نُؤْمِنَ لِرَسُولٍ حَتَّى يَأْتِيَنَا
بِقُرْبَانٍ تَأْكُلُهُ النَّارُ dengan mengajak mereka melakukan kilas balik kepa-da masa lalu mereka yang juga
bersikap sama terhadap para Rasul sebelum beliau saw :
قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ
رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالَّذِي قُلْتُمْ فَلِمَ قَتَلْتُمُوهُمْ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Oleh karena itu, berdasarkan
seluruh kabar wahyu tersebut jelas sudah yang menjadi sebab kaum kufar menolak
Islam yaitu keputusan mereka sendiri untuk menolak Islam terlepas
apakah aqal mereka da-pat memahami informasi tentang Islam maupun tidak.
Artinya realitas sikap kaum kufar yang selalu akan menolak Islam إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَا يُؤْمِنُونَ adalah bukan taqdir
Allah SWT (seperti yang dipahamkan se-cara salah dari ayat : خَتَمَ
اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ
وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (البقرة: 7)) melain-kan pilihan
keputusan mereka sendiri yang dilakukan dengan sadar dan terencana, sehingga
Allah SWT memastikan bahwa hingga kapa pun mereka tidak akan pernah menerima
Islam dan inilah maksud dari pernyataan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 7
tersebut.
Wal hasil, sikap yang benar menurut
Islam yang wajib menjadi sikap seluruh kaum muslim ada-lah ketika umat Islam
menghadapi suatu perkara, realitas, fakta, persoalan maka mereka wajib
menen-tukan mana اَلسَّبَبُ dan mana اَلْمُسَبَّبُ
dari perkara, realitas, fakta, persoalan tersebut. Sebagai contoh pada
persoalan pornografi, pornoaksi, Ahmadiyah, AKKBB, perjudian, pelacuran,
eksploitasi kewanitaan, eksploitasi kejantanan pria dan sebagainya seluruhnya adalah
realitas yang dimunculkan atau disebab-kan (اَلْمُسَبَّبُ)
oleh suatu sebab (اَلسَّبَبُ) yakni pemberlakuan
demokrasi dalam penyelenggaraan pemerin-tahan NKRI serta sistem kapitalisme
dalam perekonomiannya. Berdasarkan pemahaman ini maka akan sangat mudah dan
sederhana untuk menyelesaikan persoalan pornografi, pornoaksi, Ahmadiyah,
AKK-BB, perjudian, pelacuran, eksploitasi kewanitaan, eksploitasi kejantanan
pria dan sebagainya tersebut yakni dengan menghentikan secara total dan
sekaligus pemberlakuan demokrasi maupun perekono-mian kapitalistik
tersebut, lalu menjadikan Indonesia sebagai salah satu negeri awal tempat
didirikan-nya kembali Khilafah yang ditandai pasti dengan dibai’atnya seorang
Khalifah oleh kaum muslim mi-nimal yang bermukim di negeri Jawa. Jadi,
seharusnya umat Islam yang berkumpul dalam forum gabu-ngan MUI-FUI tersebut hanya
melakukan satu hal yakni menyerukan kesadaran kepada umat Islam
Indonesia untuk bersepakat menghentikan pemberlakuan demokrasi
dan kapitalisme di negeri Indone-sia dan selanjutnya bersepakat untuk membai’at
seseorang menjadi Khalifah yang akan didengar dan ditaati dalam rangka
pemberlakuan syariah Islamiyah di seluruh dunia dan berawal dari negeri ini.
Se-kali lagi, inilah yang wajib dilakukan oleh umat Islam di mana pun termasuk
di Indonesia dan bila yang dilakukan adalah aksi-aksi aneh yang
justru diharamkan oleh Islam (seperti kasus MUI-FUI) maka itu sama sekali
bukan menyelesaikan persoalan melainkan semakin memperumit persoalan yang telah
ada dan menambah persoalan baru. Aksi-aksi aneh nan haram itu pun akan semakin
menjadikan Islam ter-lucuti dari realitas kehidupan seiring dengan perjalanan
waktu. Rasulullah saw menyatakan :
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى
الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ
النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ
الصَّلَاةُ (رواه احمد)
No comments:
Post a Comment