Saturday, November 9, 2013

MODERASI IDEOLOGIS : ADAKAH?


Realitas trans ideologis : keniscayaan Ideologi Kapitalisme!
Yusuf Wibisono (Staf Pengajar FEUI) dalam tulisan berjudul “Refleksi Islam Politik” (Republi-ka, 26 Juni 2009, OPINI) menyatakan : dalam satu dekade terakhir, partai-partai Islam tidak mampu menarik dukungan publik yang lebih luas. Mengapa Islam politik pasca reformasi mengalami kegagal-an? Dalam rentang enam dekade terakhir, terjadi transformasi politik Islam di Indonesia. Di era 1950-an, hanya ada partai Islam (Islamist parties) dengan agenda negara Islam dan penerapan syariat. Pascareformasi di akhir 1990-an, tidak hanya terdapat partai Islam dengan agenda tunggal penera-pan syariat, namun juga terdapat partai Islam-inklusif dan partai sekuler-inklusif dengan agenda yang lebih umum, yaitu masuknya nilai dan moral Islam dalam kebijakan negara dan pembangunan. Secara umum, partai Islam di Indonesia tampil semakin moderat dan dengan agenda yang semakin pragmatis. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara Muslim besar-demokratis lain-nya, yaitu Turki. Banyak pakar percaya bahwa keterlibatan dalam proses politik, baik secara demo-kratis maupun tidak, akan membawa pemimpin partai Islam menjadi moderat secara ideologis, seperti beralih dari teokrasi ke demokrasi. Kehadiran partai Islam di pentas demokrasi dengan isu yang se-makin moderat, membuktikan adanya proses political learning. Moderasi ini hanya terjadi setelah in-teraksi panjang antara pemimpin partai dengan negara dan konstituen, yang membuat partai menda-pat informasi lebih banyak tentang preferensi pemilih dan kendala-kendala dari negara. Dalam kasus Indonesia, moderasi ideologis terlihat jelas pada kasus PKS. Setelah mengalami kegagalan pada Pe-milu 1999, PKS tampil di Pemilu 2004 dengan memperluas citra modernis dan moderat partai dengan slogan ‘bersih dan peduli’. Moderasi ideologis yang berjalan beriringan dengan kinerja partai di ting-kat akar rumput, mampu mendongkrak raihan suara PKS secara signifikan. Moderasi PKS terus ber-lanjut hingga Pemilu 2009, bahkan dengan derajat yang semakin tinggi. Namun, moderasi signifikan ini tidak berbuah membesarnya dukungan publik pada PKS. Raihan suara PKS stagnan. Political learning partai-partai Islam adalah fenomena umum. Namun, di Indonesia, partai-partai Islam gagal menampilkan diferensiasi dan kemampuan partai dalam mengelola pemerintahan. Menurunnya duku-ngan terhadap partai-partai Islam terlihat disebabkan oleh semakin meningkatnya persepsi kesenjang-an antara idealitas Islam partai dan kompromi-kompromi politik di lapangan. Pemimpin partai Islam juga gagal memunculkan creative action yang mengizinkan mereka mempertahankan orisinalitasnya dan pada saat yang sama, memperluas daya tarik mereka terhadap konstituen. Partai-partai Islam dilihat publik semakin pragmatis dan berorientasi pada kekuasaan semata. Dalam rangka meraih kekuasaan dan mengumpulkan dana, partai-partai Islam masuk ke banyak koalisi cair dengan partai-partai sekuler, baik di tingkat nasional maupun lokal. Beberapa kasus besar juga tercatat oleh publik yang memperlihatkan pragmatisme jangka pendek dan bergesernya orientasi kerakyatan partai-partai Islam, seperti kasus impor beras, kenaikan harga BBM, blok Cepu, BLBI, dan lain-lain. Secara jelas kita melihat bahwa kunci kemenangan partai Islam adalah keberpihakan pada rakyat, kemampuan mengelola pemerintahan, dan citra antikorupsi, bukan moderasi ideologis semata. Citra pemerintahan bersih dan prorakyat ini justru mampu dimunculkan pada sosok SBY, yang kemudian menjadi faktor kunci kemenangan PD pada Pemilu 2009 ini. Kinerja partai di ranah publik adalah kunci kemenangan di pentas demokrasi. Partai-partai Islam yang mencoba memperluas dukungan publik dengan hanya semata-mata mengandalkan moderasi ideologis, secara jelas mengalami kegagalan. Kinerja partai di lembaga legislatif maupun eksekutif menjadi parameter keberhasilan yang secara mudah dilihat pu-blik.
Koran Republika (26 Juni 2009, HUKUM) memuat secara eksklusif iklan pernyataan PKS ten-tang delapan (8) alasan berkoalisi dengan SBY-Boediono :
1.       Koalisi dengan SBY merupakan keputusan Majelis Syuro PKS ke XI 24-25 April 2009. Majelis Syuro sebagai lembaga tertinggi partai telah memberikan legitimasi kuat untuk koalisi.
2.       Aspirasi kader dan konstituen. Lebih dari 70 % kader dan konstituen menghendaki PKS berkoalisi dengan SBY.
3.       PKS hanya ingin koalisi dengan partai reformis. Kader-kader menolak koalisi dengan kelompok-kelompok bermental ‘orde baru’.
4.       SBY pro perubahan. Sudah banyak hasil dicapai selama PKS berkoalisi dengan SBY pada periode 2004-2009. Seperti swasembada pangan, keamanan, ekonomi, bantuan orang miskin, pemberantas-an korupsi dan lainnya.
5.       SBY akomodatif terhadap usulan platform PKS dalam rangka menangani solusi bangsa.
6.       Pengalaman koalisi dalam pilkada. PKS tidak ingin lagi sekadar jadi kuda tunggangan partai lain. Di beberapa pilkada, PKS sudah berjuang habis-habisan, setelah koalisi menang PKS ditinggal. PKS tidak ingin ditipu lagi. Inilah salah satu bentuk manifestasi “mental orde baru”.
7.       Pengalaman koalisi pilpres 2004-2009. Koalisi PD, PKS, PBB dan PKPI sukses mengantarkan SBY-JK menjadi presiden. Tetapi datang partai yang tidak berkeringat bergabung minta jatah di kabinet, lalu ingin menggeser PKS dari koalisi.
8.       SBY disukai dan didukung oleh rakyat. Terbukti tingginya dukungan rakyat dalam hasil survey.
Yusuf Wibisono menyodorkan sejumlah istilah yang realitasnya dia indera dari perjalanan kiprah partai politik (Islam dan sekuler) di Indonesia selama lebih dari 50 tahun :
1.       Islam politik, yakni sikap umat Islam yang bersedia secara sadar dan aktif untuk berperan dalam kancah politik praktis mulai dari partai politik, pemilu, badan legislatif, eksekutif dan lainnya.
2.       transformasi politik Islam, yakni perubahan bentuk atau format sikap politik maupun tujuan atau agenda politik dari partai politik Islam.
3.       partai Islam (Islamist party), yakni partai politik yang didirikan, dikendalikan dan dikelola oleh umat Islam serta berasas Islam dengan tujuan atau agenda untuk mendirikan negara Islam dan pe-nerapan syariah Islamiyah.
4.       partai Islam-inklusif, yakni partai politik yang didirikan, dikendalikan dan dikelola oleh umat Islam serta berasas Islam dengan tujuan atau agenda untuk memasukkan nilai dan moral Islam dalam ke-bijakan negara dan pembangunan. Partai ini sama sekali tidak pernah bertujuan untuk mendirikan negara Islam dan penerapan syariah Islamiyah.
5.       partai sekuler-inklusif, yakni partai politik yang didirikan, dikendalikan dan dikelola oleh sekelom-pok orang tanpa mencirikan identitas apa pun terutama agama. Asas partai adalah sekularisme de-ngan agenda utamanya adalah berperan aktif dalam mempertahankan pemberlakuan sekularisme di Indonesia namun tanpa harus membenci atau memusuhi kaum agamawan maupun Islam politik.
6.       moderasi ideologis, yakni proses perubahan (transformasi) sikap partai politik dari konsistensi idea-lisme ideologi ke arah sikap moderat dan pragmatis. Moderasi ideologis adalah hasil dari proses political learning dalam periode waktu yang ekstensif dan muncul sebagai respon strategis terha-dap berbagai hambatan institusional serta pengalaman demokrasi untuk memperoleh kekuasaan. Moderasi ideologis tersebut hanya terjadi setelah interaksi panjang antara pemimpin partai dengan negara dan konstituen, yang membuat partai mendapat informasi lebih banyak tentang preferensi pemilih dan kendala-kendala dari negara. Perubahan dari partai Islam dengan agenda untuk mendi-rikan negara Islam dan penerapan syariah Islamiyah menjadi partai Islam-inklusif, adalah contoh moderasi ideologis. Moderasi ideologis ditunjukkan secara praktis oleh kompromi politik, pragma-tisme, orientasi hanya kepada kekuasaan, membentuk koalisi cair dengan partai sekuler dan seba-gainya. Proses moderasi dilakukan untuk meningkatkan dukungan publik terhadap partai (contoh partai Islam) alias upaya perluasan konstituen partai (tidak hanya umat Islam).
Adapun kedelapan alasan PKS untuk berkoalisi dengan SBY-Boediono dapat dipastikan (karena diputuskan oleh Majelis Syuro dan didukung oleh minimal 70 persen kader dan konstituen) sebagai proses transformasi PKS untuk menjadi partai Islam-inklusif atau bahkan partai sekuler-inklusif. Hal itu ditunjukkan oleh tidak ada satu pun dari seluruh alasan tersebut yang mempertelakan realitas partai Islam baik menurut Yusuf Wibisono maupun apalagi menurut Islam sendiri. Mungkin mereka (PKS) masih bersikukuh mengaku diri sebagai partai Islam dengan argumen adanya agenda abadi mereka un-tuk memasukkan nilai dan moral Islam dalam kebijakan negara dan pembangunan. Namun justru ar-gumen tersebut semakin mengukuhkan PKS sebagai bukan partai Islam hakiki, melainkan hanya partai Islam-inklusif yang tiada lain tiada bukan adalah partai sekuler-inklusif.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa semua partai yang pada awal keberadaannya mengaku diri sebagai partai Islam namun kemudian perlahan tapi pasti mengalami (akibat tuntutan sistemik) atau melakukan (akibat tuntutan internal) perubahan ke arah partai sekuler, akan lebih tepat dikatakan seba-gai partai berideologi trans. Artinya perjalanan partai-partai tersebut berlangsung dengan asas campur-an sejumlah ideologi dan untuk kasus di Dunia Islam termasuk Indonesia, mereka berjalan dengan lan-dasan Ideologi Islam (mungkin tidak lebih dari 1 persen) dan Ideologi Kapitalisme (minimal 99 per-sen). Porsi Ideologi Islam dapat dipastikan sangat kecil yakni maksimal satu persen dan itu pun sama sekali bukan bagian dari Islam yang mendasar dan utama (aqidah aqliyah) melainkan bagian dari syari-ah Islamiyah yang dapat dengan mudah dijadikan sebagai asesoris serta hiasan pemanis bagi dan ti-dak bersifat berbenturan dengan Ideologi Kapitalisme : humanisme, keadilan, keberpihakan kepada rakyat kecil, pengentasan kemiskinan maupun lainnya yang berada dalam cakupan spiritualisme ritua-lisme. Keputusan pengambilan porsi sangat besar dari kapitalisme tentu saja berdasarkan kepada ke-niscayaan sistemik yakni kehidupan kapitalistik yang secara formal konstitusional tengah diberlakukan dalam suatu negara kebangsaan, termasuk NKRI. Sedangkan porsi sangat kecil yang diambil dari Ideo-logi Islam dilakukan bukan untuk alasan yang mendasar melainkan :
a.       hanya untuk menghindari pertanyaan kegelisahan dari publik maupun konstituen yang notabene adalah umat Islam berkenaan dengan berbagai keputusan, sikap maupun aksi yang telah, tengah dan akan dilakukan (perhatikan alasan nomor satu dan dua dari delapan alasan PKS berkoalisi de-ngan SBY-Boediono).
b.       hanya sebagai perisai bermerek “Islami” untuk menutupi jatidiri sebenarnya yakni sebagai kaum loyalis kapitalisme sekularistik, sekaligus untuk menahan serangan maupun tudingan dari kaum muslim non konstituen yang akan selalu mengarah kepada mereka berkenaan dengan eksistensi mereka dalam sistem demokrasi sekularistik.
Dengan demikian, realitas dari moderasi ideologis sama sekali tidak ada dalam fakta kehidupan umat Islam di Dunia Islam mana pun saat ini termasuk Indonesia. Hal itu karena :
1.       seluruh partai politik yang menyatakan diri sebagai partai Islam tersebut, ternyata sama sekali tidak memenuhi kualifikasi realitas partai Islam (حِزْبٌ إِسْلاَمِيٌّ) yang ditetapkan dalam syariah Islamiyah. Islam menetapkan bahwa partai Islam wajib menjadikan hanya Islam sebagai ideologinya (مَبْدَؤُهُ) serta wajib menjadikan seluruh pemikiran (اَفْكَارُهُ), ide (اَرَاءُهُ) maupun hukum (اَحْكَامُهُ) yang diadopsi-nya (تَبَنَّاهَا الْحِزْبُ) berasal dari (تُؤْخَذُ مِنْ) atau digali dari (تُسْتَنْبَطُ مِنْ) sumber-sumber Islam : Al-Quran dan As-Sunnah. Lalu tujuan partai (غَايَتُهُ) adalah upaya serius dan sungguh-sungguh untuk melanjut-kan kembali kehidupan Islami melalui penegakkan lagi Khilafah Islamiyah. Inilah yang ditunjuk-kan oleh sejumlah dalil berikut :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
Realisasi وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ adalah Partai Politik (حِزْبٌ سِيَاسِيٌ) lalu aktivitas يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ telah dilakukan secara riil oleh Rasulullah saw seperti yang dipertelakan oleh banyak hadits antara lain :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Bagian hadits دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ memastikan telah dilakukannya aktivitas يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ oleh Nabi Muhammad saw sejak beliau tiba di Negeri Madinah (Ubadah bin Shamit adalah bagian dari kaum Anshar, beliau wafat tahun 34 H). Sehingga realitas dakwah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw (دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) lalu ditanggapi oleh para sahabat : فَبَايَعْنَاهُ, adalah upaya serius dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kehidupan Islami di dunia dalam bentuk Khilafah Islamiyah :
فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Lalu beliau memberitahukan dalam hal apa beliau mewajibkan kami hingga beliau dapat membai-’at kami untuk didengar dan ditaati yaitu dalam keadaan kami suka, benci, kesulitan, kemudahan dan dalam berbagai marabahaya yang menimpa kami dan kami tidak akan merampas pemerintah-an dari pemiliknya kecuali (kata beliau) kalian telah melihat كُفْرًا بَوَاحًا yang dapat kalian buktikan dari sisi Allah
Inilah realitas hubungan antara warga negara dengan penguasa dalam sistem pemerintahan Islam dan secara gamblang hal itu telah diimplementasikan oleh kepala negara Islam pertama : Rasulul-lah saw. Kenyataan kehidupan Islami untuk pertama kalinya tersebut digambarkan dengan sangat jelas oleh Hudzaifah bin Al-Yaman :
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ (رواه البخاري)
Biasanya orang-orang pada bertanya kepada Rasulullah saw tentang الْخَيْرِ sedangkan saya akan bertanya kepada beliau tentang الشَّرِّ karena khawatir hal itu akan menimpa saya. Lalu saya berka-ta : wahai Rasulullah, sungguh kami dulu dalam kehidupan jahiliyah dan الشَّرِّ, kemudian Allah mendatangkan kepada kami الْخَيْرِ ini.
Kepastiannya adalah Hudzaifah bin Al-Yaman pernah mengalami dua pola kehidupan yakni saat Islam belum diturunkan dan sesudah berdirinya Negara Islam Madinah. Sehingga realitas الْخَيْرِ ten-tu saja hanya Islam bukan yang lain, karena kebalikan dari realitas كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ alias pola kehi-dupan berbasis kekufuran. Lagipula, dia sendiri memberikan indikasi tentang الْخَيْرِ itu dengan ung-kapan فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ yang memastikan realitas dari الْخَيْرِ itu sendiri yakni Islam. Oleh karena itu, aktivitas dakwah يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ adalah menyeru seluruh manusia yang tengah dalam kehidupan ber-basis sistem kufur untuk merubah secara revolusioner (اِنْقِلاَبِيًا) pola kehidupan mereka tersebut men-jadi kehidupan Islami (اَلْحَيَاةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dalam wadah pelaksanaan Khilafah Islamiyah. Lalu, adakah saat ini partai politik yang memenuhi tuntutan dan kualifikasi Islami tersebut? Jawabannya adalah pernah ada dan satu-satunya yakni حِزْبُ التَّحْرِيْرِ namun hakikatnya saat ini sangat diragukan setelah mereka sangat lama berinteraksi dengan berbagai aksi maupun gagasan kompromi politik dengan sejumlah gerakan dan forum yang hidup dan berkembang di NKRI (FUI, aksi sejuta umat pendu-kung RUU APP, aksi menuntut pembubaran Ahmadiyah dan sebagainya). Sementara itu, selain Hizbut Tahrir dapat dengan mudah dipastikan bahwa seluruhnya adalah partai politik yang tidak hanya tidak memenuhi kualifikasi Islami tersebut bahkan hakikatnya mereka adalah sekedar partai politik sekularistik yang berbaju dan berlabel Islam (PKS, PBB, PKB, PKNU, PPP, PAN atau Re-fah di Turki, Fatah di Tepi Barat, HAMAS di Ghaza, Asy-Syabab di Somalia dan sebagainya).
2.       seluruh partai politik bermerek Islam atau terlahir dari suatu ormas Islam atau berbasis massa umat Islam yang ada saat ini di Dunia Islam mana pun termasuk di NKRI, didirikan lalu berkiprah dalam realitas kehidupan berasas sistem kufur (sekularisme) pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah tanggal 3 Maret 1924. Fakta ini memastikan bahwa Ideologi Islam itu tidak ada (لاََ يَكُوْنُ), tidak ber-diri (لاَ يَقُوْمُ) dan tidak berlaku (لاَ يَنْطَبِقُ), sehingga secara dalil aqliy dapat ditetapkan bahwa partai politik yang ada seluruhnya adalah mustahil menjadikan Ideologi Islam sebagai mabda mereka dan akibatnya adalah mustahil mereka mengadopsi pemikiran, ide maupun hukum yang berasal dan di-gali dari sumber-sumber Islam. Jika pun ada fakta yang menunjukkan seolah mereka mengambil beberapa bagian dari syariah Islamiyah, maka itu pun bukan untuk alasan pelaksanaan segala hal yang dituntut oleh Ideologi Islam melainkan hanya untuk asesoris dan tujuan legitimasi.
Wal hasil, andai pun dipaksakan penggunaan istilah moderasi ideologis maka itu hanya tepat di-gunakan untuk menggambarkan realitas yang terjadi pada perjalanan Khilafah Islamiyah sejak dipim-pin oleh Muawiyah hingga Khalifah terakhir dari Khilafah Ustmaniyah : Abdul Hamid II. Hal itu kare-na perjalanan Khilafah Islamiyah sepanjang 1.248 tahun tersebut (12 abad lebih) memang selalu diser-tai dengan penyimpangan dari Ideologi Islam maupun syariah Islamiyah bahkan seiring dengan waktu moderasi ideologis makin parah dan mencapai puncak paling buruk yakni pada tanggal 3 Maret 1924 ketika umat Islam sedunia membiarkan Inggris melalui anteknya Musthafa Kamal Pasha membubarkan Khilafah Islamiyah di Istambul Turki.

Realitas keutuhan ideologis : keniscayaan Ideologi Islam!
Ketika para fuqaha dan mujtahidin memutuskan bahwa realitas ijma sahabat hanya terjadi se-panjang periode Khulafa Rasyidun, maka itu menunjukkan keseriusan mereka untuk selalu menjaga dan mempertahankan otentisitas, kemurnian serta keutuhan syariah Islamiyah. Sikap mereka tersebut tentu saja berdasarkan pernyataan Rasulullah saw berkenaan dengan posisi Khulafa Rasyidun :
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ (رواه أحمد)
Bagian ucapan Nabi Muhammad saw فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ memastikan bah-wa posisi Khulafa Rasyidun adalah sama dengan posisi Rasulullah saw, hanya saja mereka tidak mem-peroleh wahyu dari Allah SWT. Sehingga ketika terjadi ijma sahabat terhadap suatu tindakan atau ke-putusan atau sikap dari salah satu Khulafa Rasyidun, maka itu adalah ijma sahabat yang posisinya sama dengan Al-Quran maupun As-Sunnah yakni sebagai دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ.
Lalu, ketika Nabi Muhammad saw wafat dan terjadi pertemuan sebagian sangat besar sahabat di Saqifah Bani Saa’idah yang berlangsung hingga tiga hari dengan hasil akhir adalah dibai’atnya Abu Bakar sebagai Khalifah untuk pertama kalinya pasca Rasulullah saw wafat, maka sikap dan tindakan mereka itu memastikan bahwa telah terjadi ijma sahabat berkenaan dengan harus segera mencari peng-ganti Nabi Muhammad saw selaku Imam yang selama ini يَسُوْسُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ : memimpin dan mengu-rus jamaah kaum muslim. Hal itu mereka lakukan karena mereka sangat memahami kewajiban dan urgensi menjaga serta memeliharan kemurnian berikut keutuhan pemberlakuan Ideologi Islam di dunia. Inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah pernyataan sahabat antara lain :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
Amru bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid) menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah
قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ يَوْمَ مَاتَ فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ
Abu Bakar berkata pada hari wafatnya Rasulullah saw : sungguh Muhammad telah wafat dan harus ada bagi agama ini (Islam) seseorang yang akan memberlakukannya
Demikian juga ketika Khalifah Umar memutuskan waktu tiga hari (وَلاَ يَأْتِيَنَّ الْيَوْمُ الرَّابِعُ اِلاَّ وَعَلَيْكُمْ اَمِيْرٌ مِنْكُمْ) kepada Tim Enam (اَهْلُ السِّتَّةِ) yakni Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ab-durrahman bin Auf, Zubair bin ‘Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah dalam upaya mereka menetapkan calon Khalifah pengganti dirinya, atau keputusan Khalifah Ustman untuk menghadapi sendiri para pimpinan pemberontak yang berakibat beliau terbunuh dalam persoalan tersebut atau keputusan Khali-fah Ali untuk menumpas pemberontakan Muawiyah di Syam, seluruhnya dilakukan oleh Khulafa Ra-syidun adalah demi terjaga dan terpeliharanya keutu-han Ideologi Islam serta keberlangsungan pember-lakuannya dalam arena kehidupan manusia. Adapun yang terjadi sejak Muawiyah jadi Khalifah hingga berakhirnya Khilafah Islamiyah yang berpusat di Istambul tentu saja adalah moderasi ideologis serta penyimpangan dari syariah Islamiyah itu sendiri. Keduanya jelas bertentangan dengan ketentuan Islam yang ditunjukkan oleh seluruh dalil yang membahas tema tersebut, antara lain :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي (رواه احمد)
dari Jabir bin Abdillah bahwa Nabi saw berkata kepada Ka’ab bin ‘Ujrah : aku mohonkan perlin-dungan bagimu kepada Allah dari imarah sufaha. Dia (Ka’ab) bertanya : apakah itu imarah sufaha? Beliau berkata : yakni para Amir yang akan ada sepeninggalku, mereka memimpin manusia bukan de-ngan hidayahku dan memberlakukan aturan kepada manusia bukan dengan sunnahku. Lalu siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan mendukung kezhaliman mereka, maka orang itu bukan bagian dari aku dan aku bukan bagian dari mereka dan mereka pun jangan berharap memperoleh al-haudl (نَهْرُ الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ) dariku. Dan siapa saja yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan ti-dak mendukung kezhaliman mereka, maka orang itu adalah bagian dari aku dan aku bagian dari me-reka dan mereka dapat berharap memperoleh al-haudl (نَهْرُ الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ) dariku.
Itulah mengapa Khalifah Umar mengingatkan seluruh umat Islam yang saat itu menjadi warga negara Khilafah Islamiyah agar mereka selalu mengikatkan diri dengan jamaah, imarah dan ketaatan, sebab ji-ka ketiga hal tersebut selalu terelaborasikan dalam kehidupan mereka, maka secara otomatis Islam akan selalu ada, tegak berdiri dan berlaku di dunia. Khalifah Umar menyatakan :
يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
Wahai masyarakat Arab, tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Islam itu tidak ada kecuali dalam bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya imarah dan imarah itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya berdasar-kan pemahaman maka orang itu adalah kehidupan bagi dirinya dan bagi mereka dan siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehancuran bagi dirinya dan bagi mereka

Khatimah
Moderasi ideologis memang terjadi dalam kehidupan Islami yakni sejak Khilafah Islamiyah di-pimpin secara tidak sah oleh Muawiyah hingga berakhirnya Khilafah Utsmaniyah di Istambul tanggal 3 Maret 1924. Tentu saja hal itu terjadi akibat para Khalifah sudah tidak lagi bersikap عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ (berpegang teguh utuh kepada Islam).
Adapun yang terjadi pada seluruh partai politik bermerek Islam saat ini pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah, tentu saja bukan moderasi ideologis melainkan mereka menggunakan asas trans ideologis yakni campuran antara ideologi kapitalisme sekularistik (99 persen) dan sebagian sangat kecil dari sya-riah Islamiyah (maksimal 1 persen).


وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)
Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal shalih di antara kalian yakni Allah pasti akan memberikan kekuasaan kepada mereka di bumi seperti telah Dia berikan kepada orang-orang sebelum mereka dan Dia pun akan mengokohkan din mereka yang telah Dia ridlai bagi mereka lalu pasti Dia akan menggantikan bagi mereka keadaan penuh ketakutan dengan keamanan. Hal itu karena mereka benar-benar taat kepada Ku dan tidak bersikap musyrik sedikit pun kepada Ku. Dan siapa pun yang bersikap kufur setelah itu, maka orang-orang itulah kaum fasiqun




No comments:

Post a Comment