Realitas trans ideologis : keniscayaan Ideologi Kapitalisme!
Yusuf Wibisono (Staf Pengajar FEUI) dalam tulisan berjudul
“Refleksi Islam Politik” (Republi-ka, 26 Juni 2009, OPINI) menyatakan : dalam
satu dekade terakhir, partai-partai Islam tidak mampu menarik dukungan
publik yang lebih luas. Mengapa Islam politik pasca reformasi mengalami
kegagal-an? Dalam rentang enam dekade terakhir, terjadi transformasi politik
Islam di Indonesia. Di era 1950-an, hanya ada partai Islam (Islamist parties)
dengan agenda negara Islam dan penerapan syariat. Pascareformasi di akhir
1990-an, tidak hanya terdapat partai Islam dengan agenda tunggal penera-pan
syariat, namun juga terdapat partai Islam-inklusif dan partai sekuler-inklusif
dengan agenda yang lebih umum, yaitu masuknya nilai dan moral Islam dalam
kebijakan negara dan pembangunan. Secara umum, partai Islam di Indonesia tampil
semakin moderat dan dengan agenda yang semakin pragmatis. Fenomena ini tidak
hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara Muslim besar-demokratis
lain-nya, yaitu Turki. Banyak pakar percaya bahwa keterlibatan dalam proses
politik, baik secara demo-kratis maupun tidak, akan membawa pemimpin partai
Islam menjadi moderat secara ideologis, seperti beralih dari teokrasi ke
demokrasi. Kehadiran partai Islam di pentas demokrasi dengan isu yang se-makin
moderat, membuktikan adanya proses political learning. Moderasi ini hanya
terjadi setelah in-teraksi panjang antara pemimpin partai dengan negara dan konstituen,
yang membuat partai menda-pat informasi lebih banyak tentang preferensi pemilih
dan kendala-kendala dari negara. Dalam kasus Indonesia, moderasi ideologis
terlihat jelas pada kasus PKS. Setelah mengalami kegagalan pada Pe-milu 1999,
PKS tampil di Pemilu 2004 dengan memperluas citra modernis dan moderat partai
dengan slogan ‘bersih dan peduli’. Moderasi ideologis yang berjalan beriringan
dengan kinerja partai di ting-kat akar rumput, mampu mendongkrak raihan suara
PKS secara signifikan. Moderasi PKS terus ber-lanjut hingga Pemilu 2009, bahkan
dengan derajat yang semakin tinggi. Namun, moderasi signifikan ini tidak
berbuah membesarnya dukungan publik pada PKS. Raihan suara PKS stagnan.
Political learning partai-partai Islam adalah fenomena umum. Namun, di
Indonesia, partai-partai Islam gagal menampilkan diferensiasi dan kemampuan
partai dalam mengelola pemerintahan. Menurunnya duku-ngan terhadap
partai-partai Islam terlihat disebabkan oleh semakin meningkatnya persepsi
kesenjang-an antara idealitas Islam partai dan kompromi-kompromi politik di
lapangan. Pemimpin partai Islam juga gagal memunculkan creative action yang
mengizinkan mereka mempertahankan orisinalitasnya dan pada saat yang sama,
memperluas daya tarik mereka terhadap konstituen. Partai-partai Islam dilihat
publik semakin pragmatis dan berorientasi pada kekuasaan semata. Dalam rangka
meraih kekuasaan dan mengumpulkan dana, partai-partai Islam masuk ke banyak
koalisi cair dengan partai-partai sekuler, baik di tingkat nasional maupun
lokal. Beberapa kasus besar juga tercatat oleh publik yang memperlihatkan
pragmatisme jangka pendek dan bergesernya orientasi kerakyatan partai-partai
Islam, seperti kasus impor beras, kenaikan harga BBM, blok Cepu, BLBI, dan
lain-lain. Secara jelas kita melihat bahwa kunci kemenangan partai Islam adalah
keberpihakan pada rakyat, kemampuan mengelola pemerintahan, dan citra
antikorupsi, bukan moderasi ideologis semata. Citra pemerintahan bersih dan
prorakyat ini justru mampu dimunculkan pada sosok SBY, yang kemudian menjadi
faktor kunci kemenangan PD pada Pemilu 2009 ini. Kinerja partai di ranah publik
adalah kunci kemenangan di pentas demokrasi. Partai-partai Islam yang mencoba
memperluas dukungan publik dengan hanya semata-mata mengandalkan moderasi
ideologis, secara jelas mengalami kegagalan. Kinerja partai di lembaga
legislatif maupun eksekutif menjadi parameter keberhasilan yang secara mudah
dilihat pu-blik.
Koran Republika (26 Juni 2009, HUKUM) memuat
secara eksklusif iklan pernyataan PKS ten-tang delapan (8) alasan berkoalisi
dengan SBY-Boediono :
1.
Koalisi dengan SBY merupakan keputusan Majelis Syuro PKS ke XI
24-25 April 2009. Majelis Syuro sebagai lembaga tertinggi partai telah
memberikan legitimasi kuat untuk koalisi.
2.
Aspirasi kader dan konstituen. Lebih dari 70 % kader dan
konstituen menghendaki PKS berkoalisi dengan SBY.
3.
PKS hanya ingin koalisi dengan partai reformis. Kader-kader
menolak koalisi dengan kelompok-kelompok bermental ‘orde baru’.
4.
SBY pro perubahan. Sudah banyak hasil dicapai selama PKS
berkoalisi dengan SBY pada periode 2004-2009. Seperti swasembada pangan,
keamanan, ekonomi, bantuan orang miskin, pemberantas-an korupsi dan lainnya.
5.
SBY akomodatif terhadap usulan platform PKS dalam rangka menangani
solusi bangsa.
6.
Pengalaman koalisi dalam pilkada. PKS tidak ingin lagi sekadar
jadi kuda tunggangan partai lain. Di beberapa pilkada, PKS sudah berjuang
habis-habisan, setelah koalisi menang PKS ditinggal. PKS tidak ingin ditipu
lagi. Inilah salah satu bentuk manifestasi “mental orde baru”.
7.
Pengalaman koalisi pilpres 2004-2009. Koalisi PD, PKS, PBB dan
PKPI sukses mengantarkan SBY-JK menjadi presiden. Tetapi datang partai yang
tidak berkeringat bergabung minta jatah di kabinet, lalu ingin menggeser PKS
dari koalisi.
8.
SBY disukai dan didukung oleh rakyat. Terbukti tingginya dukungan
rakyat dalam hasil survey.
Yusuf Wibisono menyodorkan sejumlah istilah yang realitasnya dia
indera dari perjalanan kiprah partai politik (Islam dan sekuler) di Indonesia
selama lebih dari 50 tahun :
1.
Islam politik, yakni sikap umat Islam yang bersedia secara sadar
dan aktif untuk berperan dalam kancah politik praktis mulai dari partai
politik, pemilu, badan legislatif, eksekutif dan lainnya.
2.
transformasi politik Islam, yakni perubahan bentuk atau format
sikap politik maupun tujuan atau agenda politik dari partai politik Islam.
3.
partai Islam (Islamist party), yakni partai politik yang
didirikan, dikendalikan dan dikelola oleh umat Islam serta berasas Islam dengan
tujuan atau agenda untuk mendirikan negara Islam dan pe-nerapan syariah Islamiyah.
4.
partai Islam-inklusif, yakni partai politik yang didirikan,
dikendalikan dan dikelola oleh umat Islam serta berasas Islam dengan tujuan
atau agenda untuk memasukkan nilai dan moral Islam dalam ke-bijakan negara dan
pembangunan. Partai ini sama sekali tidak pernah bertujuan untuk mendirikan
negara Islam dan penerapan syariah Islamiyah.
5.
partai sekuler-inklusif, yakni partai politik yang didirikan,
dikendalikan dan dikelola oleh sekelom-pok orang tanpa mencirikan identitas apa
pun terutama agama. Asas partai adalah sekularisme de-ngan agenda utamanya
adalah berperan aktif dalam mempertahankan pemberlakuan sekularisme di Indonesia namun
tanpa harus membenci atau memusuhi kaum agamawan maupun Islam politik.
6.
moderasi ideologis, yakni proses perubahan (transformasi) sikap
partai politik dari konsistensi idea-lisme ideologi ke arah sikap moderat dan
pragmatis. Moderasi ideologis adalah hasil dari proses political learning
dalam periode waktu yang ekstensif dan muncul sebagai respon strategis
terha-dap berbagai hambatan institusional serta pengalaman demokrasi untuk
memperoleh kekuasaan. Moderasi ideologis tersebut hanya terjadi setelah
interaksi panjang antara pemimpin partai dengan negara dan konstituen, yang
membuat partai mendapat informasi lebih banyak tentang preferensi pemilih dan
kendala-kendala dari negara. Perubahan dari partai Islam dengan agenda untuk
mendi-rikan negara Islam dan penerapan syariah Islamiyah menjadi partai
Islam-inklusif, adalah contoh moderasi ideologis. Moderasi ideologis ditunjukkan
secara praktis oleh kompromi politik, pragma-tisme, orientasi hanya kepada
kekuasaan, membentuk koalisi cair dengan partai sekuler dan seba-gainya. Proses
moderasi dilakukan untuk meningkatkan dukungan publik terhadap partai (contoh
partai Islam) alias upaya perluasan konstituen partai (tidak hanya umat Islam).
Adapun kedelapan alasan PKS untuk berkoalisi dengan SBY-Boediono
dapat dipastikan (karena diputuskan oleh Majelis Syuro dan didukung oleh
minimal 70 persen kader dan konstituen) sebagai proses transformasi PKS untuk
menjadi partai Islam-inklusif atau bahkan partai sekuler-inklusif. Hal itu
ditunjukkan oleh tidak ada satu pun dari seluruh alasan tersebut yang
mempertelakan realitas partai Islam baik menurut Yusuf Wibisono maupun apalagi
menurut Islam sendiri. Mungkin mereka (PKS) masih bersikukuh mengaku diri
sebagai partai Islam dengan argumen adanya agenda abadi mereka un-tuk
memasukkan nilai dan moral Islam dalam kebijakan negara dan pembangunan. Namun
justru ar-gumen tersebut semakin mengukuhkan PKS sebagai bukan partai Islam
hakiki, melainkan hanya partai Islam-inklusif yang tiada lain tiada bukan
adalah partai sekuler-inklusif.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa semua partai yang pada awal
keberadaannya mengaku diri sebagai partai Islam namun kemudian perlahan tapi
pasti mengalami (akibat tuntutan sistemik) atau melakukan (akibat tuntutan
internal) perubahan ke arah partai sekuler, akan lebih tepat dikatakan seba-gai
partai berideologi trans. Artinya perjalanan partai-partai tersebut berlangsung
dengan asas campur-an sejumlah ideologi dan untuk kasus di Dunia Islam termasuk
Indonesia, mereka berjalan dengan lan-dasan Ideologi Islam (mungkin tidak lebih
dari 1 persen) dan Ideologi Kapitalisme (minimal 99 per-sen). Porsi Ideologi
Islam dapat dipastikan sangat kecil yakni maksimal satu persen dan itu pun sama
sekali bukan bagian dari Islam yang mendasar dan utama (aqidah aqliyah)
melainkan bagian dari syari-ah Islamiyah yang dapat dengan mudah dijadikan
sebagai asesoris serta hiasan pemanis bagi dan ti-dak bersifat berbenturan
dengan Ideologi Kapitalisme : humanisme, keadilan, keberpihakan kepada
rakyat kecil, pengentasan kemiskinan maupun lainnya yang berada dalam cakupan
spiritualisme ritua-lisme. Keputusan pengambilan porsi sangat besar dari kapitalisme
tentu saja berdasarkan kepada ke-niscayaan sistemik yakni kehidupan
kapitalistik yang secara formal konstitusional tengah diberlakukan dalam suatu
negara kebangsaan, termasuk NKRI. Sedangkan porsi sangat kecil yang diambil
dari Ideo-logi Islam dilakukan bukan untuk alasan yang mendasar melainkan :
a.
hanya untuk menghindari pertanyaan kegelisahan dari publik maupun
konstituen yang notabene adalah umat Islam berkenaan dengan berbagai keputusan,
sikap maupun aksi yang telah, tengah dan akan dilakukan (perhatikan alasan
nomor satu dan dua dari delapan alasan PKS berkoalisi de-ngan SBY-Boediono).
b.
hanya sebagai perisai bermerek “Islami” untuk menutupi jatidiri
sebenarnya yakni sebagai kaum loyalis kapitalisme sekularistik, sekaligus untuk
menahan serangan maupun tudingan dari kaum muslim non konstituen yang akan
selalu mengarah kepada mereka berkenaan dengan eksistensi mereka dalam sistem
demokrasi sekularistik.
Dengan demikian, realitas dari moderasi ideologis
sama sekali tidak ada dalam fakta kehidupan umat Islam di Dunia Islam mana pun
saat ini termasuk Indonesia.
Hal itu karena :
1.
seluruh partai politik yang menyatakan diri sebagai partai Islam
tersebut, ternyata sama sekali tidak memenuhi kualifikasi realitas partai Islam
(حِزْبٌ إِسْلاَمِيٌّ) yang ditetapkan dalam syariah Islamiyah. Islam menetapkan
bahwa partai Islam wajib menjadikan hanya Islam sebagai ideologinya (مَبْدَؤُهُ) serta wajib menjadikan seluruh pemikiran (اَفْكَارُهُ), ide (اَرَاءُهُ) maupun hukum (اَحْكَامُهُ) yang diadopsi-nya (تَبَنَّاهَا
الْحِزْبُ) berasal dari (تُؤْخَذُ
مِنْ) atau digali dari (تُسْتَنْبَطُ
مِنْ) sumber-sumber Islam : Al-Quran dan As-Sunnah. Lalu tujuan
partai (غَايَتُهُ) adalah upaya serius
dan sungguh-sungguh untuk melanjut-kan kembali kehidupan Islami melalui
penegakkan lagi Khilafah Islamiyah. Inilah yang ditunjuk-kan oleh sejumlah
dalil berikut :
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : 104)
Realisasi وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
adalah Partai Politik (حِزْبٌ سِيَاسِيٌ) lalu aktivitas يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ telah dilakukan
secara riil oleh Rasulullah saw seperti yang dipertelakan oleh banyak hadits
antara lain :
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي
أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ
قُلْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ حَدِّثْ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ
مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعَانَا النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ
عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا
وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ
الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ
فِيهِ بُرْهَانٌ (رواه البخاري)
Bagian
hadits دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ memastikan telah
dilakukannya aktivitas يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ oleh Nabi Muhammad saw sejak beliau tiba di Negeri Madinah
(Ubadah bin Shamit adalah bagian dari kaum Anshar, beliau wafat tahun 34 H).
Sehingga realitas dakwah yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw (دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) lalu ditanggapi oleh para sahabat : فَبَايَعْنَاهُ, adalah upaya
serius dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kehidupan Islami di dunia dalam
bentuk Khilafah Islamiyah :
فَقَالَ
فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي
مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ
لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا
عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Lalu
beliau memberitahukan dalam hal apa beliau mewajibkan kami hingga beliau dapat
membai-’at kami untuk didengar dan ditaati yaitu dalam keadaan kami suka,
benci, kesulitan, kemudahan dan dalam berbagai marabahaya yang menimpa kami dan
kami tidak akan merampas pemerintah-an dari pemiliknya kecuali (kata beliau)
kalian telah melihat كُفْرًا بَوَاحًا yang dapat kalian buktikan dari sisi Allah
Inilah
realitas hubungan antara warga negara dengan penguasa dalam sistem pemerintahan
Islam dan secara gamblang hal itu telah diimplementasikan oleh kepala negara
Islam pertama : Rasulul-lah saw. Kenyataan kehidupan Islami untuk pertama kalinya
tersebut digambarkan dengan sangat jelas oleh Hudzaifah bin Al-Yaman :
كَانَ
النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ
بِهَذَا الْخَيْرِ (رواه البخاري)
Biasanya
orang-orang pada bertanya kepada Rasulullah saw tentang الْخَيْرِ sedangkan saya
akan bertanya kepada beliau tentang الشَّرِّ karena khawatir hal itu akan menimpa saya. Lalu saya berka-ta :
wahai Rasulullah, sungguh kami dulu dalam kehidupan jahiliyah dan الشَّرِّ, kemudian Allah
mendatangkan kepada kami الْخَيْرِ ini.
Kepastiannya
adalah Hudzaifah bin Al-Yaman pernah mengalami dua pola kehidupan yakni saat
Islam belum diturunkan dan sesudah berdirinya Negara Islam Madinah. Sehingga
realitas الْخَيْرِ
ten-tu saja hanya Islam bukan yang lain, karena kebalikan dari realitas كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ
alias pola kehi-dupan berbasis kekufuran. Lagipula, dia sendiri memberikan
indikasi tentang الْخَيْرِ itu dengan ung-kapan فَجَاءَنَا
اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ yang memastikan
realitas dari الْخَيْرِ itu sendiri yakni Islam. Oleh karena itu, aktivitas dakwah يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
adalah menyeru seluruh manusia yang tengah dalam kehidupan ber-basis sistem
kufur untuk merubah secara revolusioner (اِنْقِلاَبِيًا) pola kehidupan mereka tersebut men-jadi kehidupan Islami (اَلْحَيَاةُ الإِسْلاَمِيَّةُ)
dalam wadah pelaksanaan Khilafah Islamiyah. Lalu, adakah saat ini partai
politik yang memenuhi tuntutan dan kualifikasi Islami tersebut? Jawabannya
adalah pernah ada dan satu-satunya yakni حِزْبُ التَّحْرِيْرِ namun hakikatnya
saat ini sangat diragukan setelah mereka sangat lama berinteraksi dengan
berbagai aksi maupun gagasan kompromi politik dengan sejumlah gerakan dan forum
yang hidup dan berkembang di NKRI (FUI, aksi sejuta umat pendu-kung RUU APP,
aksi menuntut pembubaran Ahmadiyah dan sebagainya). Sementara itu, selain
Hizbut Tahrir dapat dengan mudah dipastikan bahwa seluruhnya
adalah partai politik yang tidak hanya tidak memenuhi kualifikasi Islami
tersebut bahkan hakikatnya mereka adalah sekedar partai politik sekularistik
yang berbaju dan berlabel Islam (PKS, PBB, PKB, PKNU, PPP, PAN atau Re-fah di
Turki, Fatah di Tepi Barat, HAMAS di Ghaza, Asy-Syabab di Somalia dan
sebagainya).
2.
seluruh partai politik bermerek Islam atau terlahir
dari suatu ormas Islam atau berbasis massa umat Islam yang ada saat ini di
Dunia Islam mana pun termasuk di NKRI, didirikan lalu berkiprah dalam realitas
kehidupan berasas sistem kufur (sekularisme) pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah
tanggal 3 Maret 1924. Fakta ini memastikan bahwa Ideologi Islam itu tidak ada (لاََ يَكُوْنُ), tidak ber-diri (لاَ
يَقُوْمُ) dan tidak berlaku (لاَ
يَنْطَبِقُ), sehingga secara dalil aqliy dapat ditetapkan bahwa partai
politik yang ada seluruhnya adalah mustahil menjadikan Ideologi
Islam sebagai mabda mereka dan akibatnya adalah mustahil mereka
mengadopsi pemikiran, ide maupun hukum yang berasal dan di-gali dari
sumber-sumber Islam. Jika pun ada fakta yang menunjukkan seolah
mereka mengambil beberapa bagian dari syariah Islamiyah, maka itu pun bukan
untuk alasan pelaksanaan segala hal yang dituntut oleh Ideologi
Islam melainkan hanya untuk asesoris dan tujuan legitimasi.
Wal hasil, andai pun dipaksakan penggunaan istilah moderasi
ideologis maka itu hanya tepat di-gunakan untuk menggambarkan realitas
yang terjadi pada perjalanan Khilafah Islamiyah sejak dipim-pin oleh Muawiyah
hingga Khalifah terakhir dari Khilafah Ustmaniyah : Abdul Hamid II. Hal itu
kare-na perjalanan Khilafah Islamiyah sepanjang 1.248 tahun tersebut (12 abad
lebih) memang selalu diser-tai dengan penyimpangan dari Ideologi
Islam maupun syariah Islamiyah bahkan seiring dengan waktu moderasi
ideologis makin parah dan mencapai puncak paling buruk yakni pada
tanggal 3 Maret 1924 ketika umat Islam sedunia membiarkan Inggris melalui
anteknya Musthafa Kamal Pasha membubarkan Khilafah Islamiyah di Istambul Turki.
Realitas keutuhan ideologis : keniscayaan
Ideologi Islam!
Ketika para fuqaha dan mujtahidin memutuskan
bahwa realitas ijma sahabat hanya terjadi se-panjang periode Khulafa Rasyidun,
maka itu menunjukkan keseriusan mereka untuk selalu menjaga dan mempertahankan
otentisitas, kemurnian serta keutuhan syariah Islamiyah. Sikap mereka tersebut
tentu saja berdasarkan pernyataan Rasulullah saw berkenaan dengan posisi
Khulafa Rasyidun :
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى
الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا
عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ
بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ (رواه
أحمد)
Bagian
ucapan Nabi Muhammad saw فَعَلَيْكُمْ بِمَا
عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ memastikan bah-wa posisi Khulafa Rasyidun adalah sama dengan
posisi Rasulullah saw, hanya saja mereka tidak mem-peroleh wahyu dari Allah
SWT. Sehingga ketika terjadi ijma sahabat terhadap suatu tindakan atau ke-putusan
atau sikap dari salah satu Khulafa Rasyidun, maka itu adalah ijma sahabat yang
posisinya sama dengan Al-Quran maupun As-Sunnah yakni sebagai دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ.
Lalu, ketika Nabi Muhammad saw wafat dan
terjadi pertemuan sebagian sangat besar sahabat di Saqifah Bani Saa’idah yang
berlangsung hingga tiga hari dengan hasil akhir adalah dibai’atnya Abu Bakar
sebagai Khalifah untuk pertama kalinya pasca Rasulullah saw wafat, maka sikap
dan tindakan mereka itu memastikan bahwa telah terjadi ijma sahabat berkenaan
dengan harus segera mencari peng-ganti Nabi Muhammad saw selaku Imam yang
selama ini يَسُوْسُ جَمَاعَةَ
الْمُسْلِمِيْنَ : memimpin dan mengu-rus jamaah kaum muslim. Hal itu
mereka lakukan karena mereka sangat memahami kewajiban dan urgensi menjaga
serta memeliharan kemurnian berikut keutuhan pemberlakuan Ideologi Islam di
dunia. Inilah yang ditunjukkan oleh sejumlah pernyataan sahabat antara lain :
قَالَ عَمْرُوْ بْنُ
حَرِيْثٍ لِسَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ أَشَهِدْتَ وَفَاةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَتَى بُوْيِعَ اَبُوْ بَكْرٍ؟ قَالَ
يَوْمَ مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, كَرِهُوْا اَنْ
يَبْقُوْا بَعْضَ يَوْمٍ وَلَيْسُوْا فِيْ جَمَاعَةٍ (رواه الطبري في التاريخ)
Amru
bin Harits bertanya kepada Sa’iid bin Zaid : ‘apakah engkau menyaksikan
wafatnya Rasulullah saw?’ Dia (Sa’iid) menjawab : ya, tentu
saja. Dia (Amru) bertanya lagi : ‘lalu kapan Abu Bakar di-bai’at?’ Dia (Sa’iid)
menjawab : pada hari kematian Rasulullah saw, sebab mereka sangat membenci
tetap hidup walau dalam setengah hari namun mereka tidak dalam kehidupan jamaah
قَالَ اَبُوْ
بَكْرٍ يَوْمَ مَاتَ فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ
يَقُوْمُ بِهِ
Abu
Bakar berkata pada hari wafatnya Rasulullah saw : sungguh Muhammad telah wafat
dan harus ada bagi agama ini (Islam) seseorang yang akan memberlakukannya
Demikian
juga ketika Khalifah Umar memutuskan waktu tiga hari (وَلاَ
يَأْتِيَنَّ الْيَوْمُ الرَّابِعُ اِلاَّ وَعَلَيْكُمْ اَمِيْرٌ مِنْكُمْ)
kepada Tim Enam (اَهْلُ السِّتَّةِ) yakni Ali bin Abi
Thalib, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ab-durrahman bin Auf, Zubair
bin ‘Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah dalam upaya mereka menetapkan calon
Khalifah pengganti dirinya, atau keputusan Khalifah Ustman untuk menghadapi
sendiri para pimpinan pemberontak yang berakibat beliau terbunuh dalam
persoalan tersebut atau keputusan Khali-fah Ali untuk menumpas pemberontakan
Muawiyah di Syam, seluruhnya dilakukan oleh Khulafa Ra-syidun adalah demi
terjaga dan terpeliharanya keutu-han Ideologi Islam serta keberlangsungan
pember-lakuannya dalam arena kehidupan manusia. Adapun yang terjadi sejak
Muawiyah jadi Khalifah hingga berakhirnya Khilafah Islamiyah yang berpusat di
Istambul tentu saja adalah moderasi ideologis serta penyimpangan
dari syariah Islamiyah itu sendiri. Keduanya jelas bertentangan dengan
ketentuan Islam yang ditunjukkan oleh seluruh dalil yang membahas tema
tersebut, antara lain :
عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لِكَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ
وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ
بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ
وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ
وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ
يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا
عَلَيَّ حَوْضِي (رواه احمد)
dari
Jabir bin Abdillah bahwa Nabi saw berkata kepada Ka’ab bin ‘Ujrah : aku
mohonkan perlin-dungan bagimu kepada Allah dari imarah sufaha. Dia (Ka’ab)
bertanya : apakah itu imarah sufaha? Beliau berkata : yakni para Amir yang akan
ada sepeninggalku, mereka memimpin manusia bukan de-ngan hidayahku dan
memberlakukan aturan kepada manusia bukan dengan sunnahku. Lalu siapa saja yang
membenarkan kebohongan mereka dan mendukung kezhaliman mereka, maka orang itu
bukan bagian dari aku dan aku bukan bagian dari mereka dan mereka pun jangan
berharap memperoleh al-haudl (نَهْرُ الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ)
dariku. Dan siapa saja yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan ti-dak
mendukung kezhaliman mereka, maka orang itu adalah bagian dari aku dan aku
bagian dari me-reka dan mereka dapat berharap memperoleh al-haudl (نَهْرُ
الْكَوْثَرِ فِيْ الْجَنَّةِ) dariku.
Itulah mengapa Khalifah Umar
mengingatkan seluruh umat Islam yang saat itu menjadi warga negara Khilafah
Islamiyah agar mereka selalu mengikatkan diri dengan jamaah, imarah dan
ketaatan, sebab ji-ka ketiga hal tersebut selalu terelaborasikan dalam
kehidupan mereka, maka secara otomatis Islam akan selalu ada, tegak berdiri dan
berlaku di dunia. Khalifah Umar menyatakan :
يَا مَعْشَرَ
الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا بِجَمَاعَةٍ وَلَا
جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ فَمَنْ سَوَّدَهُ
قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ
عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (رواه الدارمي)
Wahai masyarakat Arab,
tanah itu akan tetaplah tanah, namun sungguh Islam itu tidak ada kecuali dalam
bentuk jamaah dan jamaah itu tidak ada kecuali dengan adanya imarah dan imarah
itu tidak ada kecuali dengan wujudnya ketaatan. Siapa saja yang dijadikan
pemimpin oleh kaumnya berdasar-kan pemahaman maka orang itu adalah kehidupan
bagi dirinya dan bagi mereka dan siapa saja yang dijadikan pemimpin oleh
kaumnya bukan berdasarkan pemahaman maka orang itu adalah kehancuran bagi
dirinya dan bagi mereka
Khatimah
Moderasi ideologis memang terjadi dalam kehidupan Islami yakni
sejak Khilafah Islamiyah di-pimpin secara tidak sah oleh Muawiyah hingga
berakhirnya Khilafah Utsmaniyah di Istambul tanggal 3 Maret 1924. Tentu saja
hal itu terjadi akibat para Khalifah sudah tidak lagi bersikap عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ (berpegang teguh utuh
kepada Islam).
Adapun yang terjadi pada seluruh partai politik bermerek Islam
saat ini pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah, tentu saja bukan moderasi
ideologis melainkan mereka menggunakan asas trans ideologis yakni campuran
antara ideologi kapitalisme sekularistik (99 persen) dan sebagian sangat kecil
dari sya-riah Islamiyah (maksimal 1 persen).
وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي
الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ
دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ
أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور : 55)
Dan Allah telah
menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal shalih di antara kalian
yakni Allah pasti akan memberikan kekuasaan kepada mereka di bumi seperti telah
Dia berikan kepada orang-orang sebelum mereka dan Dia pun akan mengokohkan din
mereka yang telah Dia ridlai bagi mereka lalu pasti Dia akan menggantikan bagi
mereka keadaan penuh ketakutan dengan keamanan. Hal itu karena mereka
benar-benar taat kepada Ku dan tidak bersikap musyrik sedikit pun kepada Ku.
Dan siapa pun yang bersikap kufur setelah itu, maka orang-orang itulah kaum
fasiqun
No comments:
Post a Comment