Saturday, November 9, 2013

قِيْمَةُ رَأْيِ الأَكْثَرِيَّةِ فِيْ الْحَيَاةِ الإِسْلاَمِيَّة(NILAI PENDAPAT MAYORITAS DALAM KEHIDUPAN ISLAMI)



Perang Badar versus Perang Uhud versus Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah (عَهْدُ الْحُدَيْبِيَةِ) adalah peristiwa monumental pertama kalinya yang terjadi pasca hijrah Rasulullah saw dari Negara Makkah (دَارُ الْكُفْرِ) ke Negara Madinah (دَارُ الإِسْلاَمِ). Realitas monumental Perjanjian Hudaibiyah terletak pada klausul perjanjian yang faktanya memaksa aqal selu-ruh sahabat Nabi Muhammad saw yang hadir dalam peristiwa itu untuk memutuskan bahwa seluruhnya adalah penghinaan sangat nista dari kaum kufar Quraisy terhadap Islam. Lebih dari itu mereka men-dapati fakta ternyata Rasulullah saw sendiri menerima begitu saja seluruh klausul penghinaan tersebut. Inilah yang menggiring para sahabat yang dipimpin oleh Umar bin Khaththab untuk menunjukkan pe-nolakan keras terhadap Perjanjian Hudaibiyah. Imam Ahmad meriwayatkan peristiwa tersebut dalam hadits yang sangat panjang dan bagian yang membuat para sahabat menolaknya adalah :
وَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتُبْ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَقَالَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو لَا أَعْرِفُ هَذَا وَلَكِنْ اكْتُبْ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتُبْ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ هَذَا مَا صَالَحَ عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو فَقَالَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو لَوْ شَهِدْتُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ لَمْ أُقَاتِلْكَ وَلَكِنْ اكْتُبْ هَذَا مَا اصْطَلَحَ عَلَيْهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَسُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو عَلَى وَضْعِ الْحَرْبِ عَشْرَ سِنِينَ يَأْمَنُ فِيهَا النَّاسُ وَيَكُفُّ بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ عَلَى أَنَّهُ مَنْ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَصْحَابِهِ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ رَدَّهُ عَلَيْهِمْ وَمَنْ أَتَى قُرَيْشًا مِمَّنْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَرُدُّوهُ عَلَيْهِ وَإِنَّ بَيْنَنَا عَيْبَةً مَكْفُوفَةً وَإِنَّهُ لَا إِسْلَالَ وَلَا إِغْلَالَ وَكَانَ فِي شَرْطِهِمْ حِينَ كَتَبُوا الْكِتَابَ أَنَّهُ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَدْخُلَ فِي عَقْدِ مُحَمَّدٍ وَعَهْدِهِ دَخَلَ فِيهِ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَدْخُلَ فِي عَقْدِ قُرَيْشٍ وَعَهْدِهِمْ دَخَلَ فِيهِ
Dan Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi Thalib kemudian beliau berkata kepadanya : tulislah oleh-mu بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. Maka Suhail bin ‘Amrin berkata : aku tidak mengenal tulisan ini, oleh karena itu tulislah olehmu بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ. Lalu Rasulullah saw pun berkata kepadanya (Ali) tulislah : بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ, ini adalah perkara yang oleh Muhammad Rasulullah gunakan sebagai perdamaian dengan Suhail bin ‘Amrin. Maka Suhail bin ‘Amrin pun berkata : andai aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu aku tidak akan memerangi engkau, oleh karena itu tulislah olehmu : ini adalah pernyataan ber-sama Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin ‘Amrin untuk menghentikan perang selama sepuluh ta-hun, yang dengan perjanjian itu seluruh manusia akan aman dan satu sama lain akan saling menahan serangan. Ingatlah bahwa siapa pun yang mendatangi Rasulullah saw dari sahabatnya (Suhail) tanpa ijin walinya, maka dia (Muhammad) harus mengembalikannya kepada mereka dan siapa saja yang mendatangi Quraisy dari orang-orang yang menyertai Rasulullah saw maka mereka (Quraisy) tidak harus mengembalikannya kepada dia (Muhammad), dan ingatlah di antara kami ada perjanjian yang sangat kuat, dan ingatlah juga tidak boleh ada pencurian dan tidak boleh ada pengkhianatan apa pun. Dan juga ada dalam syarat mereka ketika mereka menuliskan naskah perjanjian : ingatlah, siapa saja yang menyukai untuk masuk ke dalam aqad Muhammad maupun perjanjiannya maka masuklah dan siapa saja yang menyukai untuk masuk ke dalam aqad Quraisy maupun perjanjian mereka maka ma-suklah.
Menyaksikan sikap Rasulullah saw yang sepenuhnya menyetujui seluruh usulan yang didiktekan kepa-da beliau oleh Suhail bin ‘Amrin (Wakil/Juru Runding pihak Quraisy), maka Umar bin Khaththab pun sangat marah :
فَلَمَّا الْتَأَمَ الْأَمْرُ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا الْكِتَابُ وَثَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَأَتَى أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَوَلَيْسَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَلَسْنَا بِالْمُسْلِمِينَ أَوَلَيْسُوا بِالْمُشْرِكِينَ قَالَ بَلَى قَالَ فَعَلَامَ نُعْطِي الذِّلَّةَ فِي دِينِنَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا عُمَرُ الْزَمْ غَرْزَهُ حَيْثُ كَانَ فَإِنِّي أَشْهَدُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ عُمَرُ وَأَنَا أَشْهَدُ ثُمَّ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَسْنَا بِالْمُسْلِمِينَ أَوَلَيْسُوا بِالْمُشْرِكِينَ قَالَ بَلَى قَالَ فَعَلَامَ نُعْطِي الذِّلَّةَ فِي دِينِنَا فَقَالَ أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ وَلَنْ يُضَيِّعَنِي
Lalu ketika perjanjian telah selesai dilakukan dan tidak ada lagi yang tersisa kecuali naskah perjanji-an, maka Umar bin Khaththab bangkit dan bergegas menemui Abu Bakar lalu berkata : wahai Abu Bakar, apakah dia (Muhammad) bukan lagi Rasulullah saw ataukah kita yang bukan lagi kaum musli-min ataukah mereka (Quraisy) yang bukan lagi kaum musyrikin. Dia (Abu Bakar) menjawab : tentu sa-ja masih demikian. Dia (Umar) berkata lagi : lalu mengapa kita menimpakkan kehinaan dalam agama kita? Lalu Abu Bakar berkata : wahai Umar, pegang teguhlah ketetapannya apa adanya, karena sung-guh aku bersaksi bahwa dia (Muhammad) adalah Rasulullah. Umar berkata : aku pun bersaksi demi-kian. Kemudian dia mendatangi Rasulullah saw dan berkata : wahai Rasulullah, apakah kami bukan lagi kaum muslimin ataukah mereka yang bukan lagi kaum musyrikin. Beliau menjawab : tentu saja masih demikian. Dia (Umar) berkata lagi : lalu mengapa kita menimpakan kehinaan dalam agama ki-ta? Mendengar tudingan itu, beliau berkata : Aku adalah hamba Allah dan Rasul Nya, pasti Aku tidak akan pernah menyalahi perintah Nya dan Dia (Allah SWT) tidak akan menyulitkanku.
Mendengar penegasan Rasulullah saw tersebut, segera saja Umar menyadari kekeliruannya yang sangat fatal :
ثُمَّ قَالَ عُمَرُ مَا زِلْتُ أَصُومُ وَأَتَصَدَّقُ وَأُصَلِّي وَأَعْتِقُ مِنْ الَّذِي صَنَعْتُ مَخَافَةَ كَلَامِي الَّذِي تَكَلَّمْتُ بِهِ يَوْمَئِذٍ حَتَّى رَجَوْتُ أَنْ يَكُونَ خَيْرًا
Kemudian Umar berkata : aku tidak akan berhenti shaum, zakat, shalat dan membebaskan budak aki-bat yang telah kuperbuat, karena akau sangat khawatir dengan ucapanku yang telah aku sampaikan kepada beliau hari itu hingga aku sangat berharap keadaan beliau akan baik-baik saja
Penyesalan Umar yang sangat mendalam tersebut dapat dimengerti sebab dia telah begitu berani dan lancang menuding Muhammad saw sebagai bukan lagi Nabi dan Rasulullah. Tudingan tersebut dalam riwayat Imam Bukhari sangat jelas sekali :
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَأَتَيْتُ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ أَلَسْتَ نَبِيَّ اللَّهِ حَقًّا قَالَ بَلَى قُلْتُ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَعَدُوُّنَا عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ بَلَى قُلْتُ فَلِمَ نُعْطِي الدَّنِيَّةَ فِي دِينِنَا إِذًا قَالَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي
Lalu Umar bin Khaththab berkata : aku mendatangi Nabiyallah saw dan aku berkata : apakah engkau benar-benar bukan lagi Nabiyallah. Beliau menjawab : tentu saja masih demikian. Aku berkata lagi : apakah kita tidak lagi berada dalam haq dan musuh kita tidak lagi berada dalam bathil. Beliau men-jawab : tentu saja masih demikian. Aku berkata lagi : lalu mengapa kita menimpakkan kehinaan dalam agama kita. Beliau menjawab : sungguh Aku adalah Rasulullah dan Aku tidak akan pernah maksiat kepada Nya dan Dia adalah Penolongku.
Dengan demikian sangat jelas bahwa dalam Perjanjian Hudaibiyah tersebut, Nabi Muhammad saw sa-ma sekali tidak melakukan musyawarah dengan satu orang pun sahabatnya bahkan tidak ada satu pen-dapat (اَيَّ رَأْيٍ) atau pertimbangan (اَيَّ اِعْتِبَارٍ) maupun pemikiran (اَيَّ فِكْرٍ) pun dari mereka termasuk dari Umar bin Khaththab yang diperhatikan oleh Rasulullah saw apalagi diambil oleh beliau lalu digunakan. Hal inilah yang memastikan bahwa semua yang beliau ucapkan (قَوْلاً), lakukan (فِعْلاً) dan tetapkan (تَقْرِيْرًا) dalam peristiwa Hudaibiyah adalah ketentuan Allah SWT yang disampaikan kepada beliau melalui wahyu. Sehingga apa pun tanggapan aqal manusia termasuk para sahabat khususnya Umar adalah tidak ada artinya (لَيْسَ لَهُ مَعْنًى) dan tidak ada nilainya (لَيْسَتْ لَهُ قِيْمَةٌ) dalam perkara tersebut, karena sepenuhnya berkenaan dengan penetapan hasan dan qabih (اَلْحَسَنُ وَالْقَبِيْحُ) alias halal dan haram alias اَلتَّشْرِيْعُ. Realitas inilah yang menyadarkan Umar dan sahabat lainnya setelah mereka mendengar kepastian dari ucapan Rasulullah saw : أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ وَلَنْ يُضَيِّعَنِي atau إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي. Lebih dari itu akhirnya aqal para sahabat pun sangat memahami mengapa bentuk klausul Perjanjian Hudaibi-yah seperti itu dengan turunnya Surat Al-Fath di tengah perjalanan pulang ke Madinah :
حَتَّى إِذَا كَانَ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فِي وَسَطِ الطَّرِيقِ فَنَزَلَتْ سُورَةُ الْفَتْحِ (رواه احمد)
Sehingga ketika beliau berada di tengah perjalanan antara Makkah dan Madinah, maka turunlah Su-rah Al-Fath
Salah satu ayat dalam surah tersebut merupakan penegasan dari Allah SWT kepada Rasulullah saw ten-tang akan ditaklukkannya Negara Makkah :
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا (الفتح : 27)
Lalu, bagaimana realitas pendapat dalam Perang Badar? Apakah Nabi Muhammad saw mengam-bil pendapat mayoritas ataukah minoritas atau justru tidak melakukan musyawarah apa pun? Ibnu Hi-syam dalam Kitab Sirahnya menyampaikan riwayat berikut :
اِنَّهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ نَزَلَ عِنْدَ اَدْنَى مَاءٍ مِنْ بَدْرٍ لَمْ يَرْضَ الْحَبَّابُ بْنُ الْمُنْذِرِ بِهَذَا الْمَنْزِلِ وَقَالَ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اَرَاَيْتَ هَذَا الْمَنْزِلَ اَمَنْزِلاً اَنْزَلَكَهُ اللهُ لَيْسَ لَنَا اَنْ نَتَقَدَّمَهُ وَلاَ نَتَأَخَّرَ عَنْهُ اَمْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ قَالَ بَلْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ بِمَنْزِلٍ فَانْهَضْ بِالنَّاسِ حَتَّى نَأْتِيَ اَدْنَى مَاءٍ مِنَ الْقَوْمِ فَنَنْزِلَهُ ثُمَّ نُغَوِّرُ مَا وَرَاءَهُ مِنَ الْقُلُبِ ثُمَّ نَبْنِيْ عَلَيْهِ حَوْضًا فَنَمْلَؤُهُ مَاءً ثُمَّ نُقَاتِلُ الْقَوْمَ فَنَشْرَبُ وَلاَ يَشْرَبُوْنَ فَقَالَ رَسُوْلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ اَشَرْتَ بِالرَّأْيِ فَنَهَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ النَّاسِ فَسَارَ حَتَّى اِذَا اَتَى اَدْنَى مَاءٍ مِنَ الْقَوْمِ نَزَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ اَمَرَ بِالْقُلُبِ فَغُوِّرَتْ وَبَنَى حَوْضًا عَلَى الْقَلِيْبِ الَّذِيْ نَزَلَ عَلَيْهِ فَمُلِئَ مَاءٌ ثُمَّ قَذَفُوْهُ فِيْهِ الآنِيَةَ
Bahwa beliau as ketika berhenti di cekungan air yang ada di Badar, ternyata Habbab bin Mundzir ti-dak setuju dengan tempat pemberhentian tersebut dan dia pun berkata kepada Rasulullah saw : wahai Rasulullah, apakah menurut Anda tempat ini adalah tempat yang telah Allah tetapkan kepada Anda se-hingga kami tidak boleh merubahnya sedikit pun, ataukah ini adalah pendapat, strategi perang dan ti-pudaya. Beliau menjawab : benar sekali, ini adalah pendapat, strategi perang dan tipudaya. Lalu dia (Habbab) berkata lagi : wahai Rasulullah, sungguh tempat ini bukanlah tempat yang tepat, oleh kare-na itu ajaklah seluruh manusia untuk bergerak kembali hingga kita tiba di cekungan air suatu kaum la-lu kita berhenti di sana kemudian kita bendung semua mata air yang ada di dalamnya lalu kita bangun bendungan dan kita isi bendungan itu dengan air hingga penuh. Setelah itu barulah kita akan memera-ngi kaum tersebut, kita bisa minum sedangkan mereka sama sekali tidak bisa. Maka Rasulullah saw pun berkata : sungguh telah kamu tunjukkan pendapat yang sangat tepat. Kemudian Rasulullah saw bangkit bersama dengan seluruh manusia yang bersama beliau, lalu berjalan hingga tiba di sebuah cekungan air suatu kaum beliau pun berhenti di sana. Kemudian beliau perintahkan untuk menginven-tarisir mata air yang ada lalu dibendung dan membangun bendungan di tempat mata air yang beliau pilih untuk berhenti di sana. Bendungan itu pun diisi penuh dengan air lalu mereka pun masuk ke da-lamnya segera.
Perang Badar adalah perang besar yang diikuti oleh seluruh sahabat besar termasuk Abu Bakar, Umar, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib (keempatnya adalah bagian dari tim 14 yang dikhususkan oleh Nabi Muhammad saw dalam aktivitas syura), namun demikian Rasulullah saw sama sekali tidak meng-ajak mereka untuk musyawarah penentuan tempat berhenti (اَلْمَنْزِلُ) alias barak pasukan alias base camp. Bahkan sahabat yang lainnya pun termasuk Habbab bin Mundzir tidak diajak musyawarah ketika beli-au menetapkan tempat berhenti عِنْدَ اَدْنَى مَاءٍ مِنْ بَدْرٍ.
Faktanya, seluruh sahabat yang lain sama sekali tidak memberikan tanggapan apa pun terhadap penetapan tempat berhenti tersebut, namun Habbab bin Mundzir secara spontan menunjukkan ketidak-setujuannya lalu menyampaikan usulan kepada Rasulullah saw untuk memilih tempat lain bagi keper-luan barak pasukan tersebut. Diamnya seluruh sahabat peserta Perang Badar kecuali Habbab bin Mun-dzir terhadap pemilihan tempat berhenti tersebut, menunjukkan bahwa Habbab bin Mundzir memang orang yang sangat paham tentang strategi maupun tipu daya perang sekaligus dia adalah ahlinya (the expert). Realitas Habbab itu semakin pasti ketika dia telah dengan sangat rinci menguraikan usulannya kepada Nabi Muhammad saw berkenaan dengan tempat base camp yang sangat tepat untuk keperluan الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ dalam Perang Badar. Inilah yang ditunjukkan oleh tanggapan Rasulullah saw sen-diri terhadap usulan Habbab : لَقَدْ اَشَرْتَ بِالرَّأْيِ juga oleh perbuatan beliau yang memutuskan untuk me-ngambil sekaligus menggunakan seluruh usulan strategi Habbab tanpa sedikit pun dirubah oleh beliau, serta tanpa disertai adanya permintaan dari beliau kepada sahabat lainnya untuk memberikan pendapat mereka terhadap usulan Habbab tersebut.
Lalu, mengapa Habbab memberanikan diri untuk menyampaikan kritik terhadap penetapan tem-pat berhenti yang dilakukan oleh Rasulullah saw sekaligus mengusulkan tempat yang lebih tepat? Hal itu tentu saja akibat dia sangat memahami pernyataan Rasulullah saw seputar perang antara lain :
الْحَرْبُ خَدْعَةٌ (رواه البخاري ومسلم والترمذي وابو داود واحمد)
dari sinilah munculnya tuntutan bahwa untuk :
اَلأُمُوْرُ الْفِكْرِيَّةُ الَّتِيْ تَحْتَاجُ اِلَى بَحْثٍ وَاِنْعَامِ نَظَرٍ وَالأُمُوْرُ الْفَنِّيَّةُ وَالْمَالِيَّةَ وَالْجَيْشُ وَالسِّيَاسَةُ الْخَارِجِيَّةُ
Perkara-perkara pemikiran yang membutuhkan adanya pengkajian dan pandangan yang luas serta perkara-perkara yang berhubungan dengan teknis, harta, pasukan dan politik luar negeri
harus diserahkan oleh Khalifah penetapannya (jika dia tidak mampu) kepada ahlinya yakni ulama, in-telijen (اَرْبَابُ الْخُبَرَةِ) maupun para spesialis (اَهْلُ الإِخْتِصَاصِ).
Kualifikasi ulama, intelijen maupun spesialis sepenuhnya terwujud dalam sosok diri Habbab bin Mundzir terutama untuk persoalan yang berhubungan dengan الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ yang membutuhkan kemampuan dalam بَحْثٍ وَاِنْعَامِ نَظَرٍ. Oleh karena itulah, Rasulullah saw memuji lalu menggunakan pen-dapat Habbab sebab beliau sangat tahu bahwa sahabatnya tersebut memang memiliki kemampuan riil dalam permasalahan yang tengah dihadapi yakni strategi perang.
Adapun dalam peristiwa Perang Uhud, Rasulullah saw dan para sahabat senior berpendapat untuk tidak keluar dari Madinah melainkan menyongsong musuh yakni pasukan Quraisy di dalam Madinah, sedangkan pendapat sebagian besar sahabat terutama yang masih muda adalah keluar dari Madinah un-tuk mencegat musuh di luar Madinah. Oleh karena itu, pendapat yang berkembang saat itu adalah apa-kah akan keluar Madinah ataukah tidak. Lalu ternyata akhirnya Rasulullah saw meninggalkan penda-patnya sendiri juga pendapat sahabat senior dan mengambil pendapat mayoritas yakni keluar dari Ma-dinah menuju Uhud untuk mencegah pasukan Quraisy di sana.
Keputusan Rasulullah saw untuk mengambil pendapat mayoritas menunjukkan bahwa persoalan tersebut yakni apakah akan berperang di dalam Madinah (atau tempat lainnya) ataukah di luar Madinah (atau tempat lainnya) adalah terkategori perkara yang berhubungan dengan teknis penyelenggaraan su-atu aktivitas dan tidak membutuhkan adanya proses berpikir (اَلتَّفْكِيْرُ), pengkajian (اَلْبَحْثُ) maupun pan-dangan yang luas (اِنْعَامُ النَّظَرِ). Persoalan tersebut adalah mubah secara mutlak yakni perang itu boleh di-lakukan di dalam suatu tempat (termasuk Madinah) maupun di luar tempat tersebut, sama halnya de-ngan apakah akan pergi ke Jakarta dari Surabaya dengan kendaraan bus, atau kereta api, atau pesawat udara, atau kapal laut. Realitas tersebut sangat nampak dari keputusan Rasulullah saw yang secara langsung mengambil pendapat mayoritas untuk mencegat Quraisy di Uhud karena baik menunggu mu-suh dari dalam Madinah maupun mencegatnya di luar Madinah, adalah sama saja yakni teknis pelaksa-naan perang itu sendiri. Seluruhnya mubah dilakukan “begini” atau “begitu”, siang atau malam, pagi atau sore, keluar atau di dalam dan seterusnya. Rasulullah saw sendiri telah menyatakan :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ (رواه مسلم)
Wal hasil, tiga peristiwa monumental dalam perjalanan kehidupan Islami selama masih dipimpin oleh Nabi Muhammad saw sendiri yakni Perjanjian Hudaibiyah, Perang Badar dan Perang Uhud me-nunjukkan dengan pasti bahwa realitas pendapat mayoritas (رَأْيُ الأَكْثَرِيَّةِ) masih dapat digunakan dalam perkara yang berhubungan dengan teknis pelaksanaan suatu aktivitas yang sama sekali tidak memerlu-kan adanya بَحْثٍ وَاِنْعَامِ نَظَرٍ. Sedangkan perkara-perkara penetapan syariah (اَلتَّشْرِيْعُ), strategi (الْفَنِّيَّةُ) mau-pun konsepsi atau pemikiran (الْفِكْرِيَّةُ) yang membutuhkan adanya بَحْثٍ وَاِنْعَامِ نَظَرٍ, maka pertimbangannya (اَلْعِبْرَةُ) adalah harus berdasarkan aspek benar (اَلصَّوَابُ) bukan aspek mayoritas (اَلأَكْثَرِيَّةُ) maupun minori-tas (اَلأَقَلِّيَّةُ), sehingga wajib dikembalikan kepada ahlinya (اَهْلُ الإِخْتِصَاصِ). Contoh : perkara yang berhu-bungan dengan militer harus dikembalikan kepada ahli kemiliteran (خُبَرَاءُ الْعَسْكَرِيِّيْنَ), perkara yang ber-kenaan dengan fiqih harus dikembalikan kepada fuqaha dan mujtahidin, perkara yang berkaitan dengan pengobatan harus dikembalikan kepada para dokter spesialis (اَلأُطَبَاءُ الْمُخْتَصِّيْنَ), begitu juga tentang arsi-tektur harus dikembalikan kepada para arsitek andal (مَشَاهِيْرُ الْمُهَنْدِسِيْنَ), tentang pemikiran harus dikem-balikan kepada para pemikir senior (كِبَارُ الْمُفَكِّرِيْنَ) dan seterusnya.

Memahami hadits : لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا
Hadits tersebut menunjukkan pernyataan Rasulullah saw kepada Abu Bakar dan Umar, seleng-kapnya adalah sebagai berikut :
عَنِ ابْنِ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا (رواه احمد)
Oleh karena itu, upaya memahami hadits tersebut harus dengan memperhatikan dua hal yang merupa-kan topik pembahasan (مَوْضُوْعُ الْبَحْثِ) dari pernyataan Rasulullah saw itu sendiri, yakni realitas masyu-rah (فِي مَشُورَةٍ) dan posisi Abu Bakar serta Umar ketika Nabi Muhammad saw menjadi Kepala Negara Islam di Madinah.
Lafadz اَلشُّوْرَى adalah bentuk mashdar dari fi’il شَاوَرَ maknanya adalah طَلَبُ الرَّأْيِ مِنَ الْمُسْتَشَارِ (men-cari pendapat dari seorang penasihat). Makna اَلشُّوْرَى وَالْمَشُوْرَةُ dengan huruf  ش yang dlommah adalah sama, begitu juga makna اَلْمَشْوَرَةُ dengan huruf  ش yang saknah. Kitab لِسَانُ الْعَرَبِ menunjukkan :
يُقَالُ فُلاَنٌ جَيِّدُ الْمَشُوْرَةِ وَالْمَشْوَرَةِ لُغَتَانِ
Al-Fara (اَلْفَرَاءُ) berkata : اَلْمَشُوْرَةُ اَصْلُهَا مَشْوَرَةٌ ثُمَّ نُقِلَتْ اِلَى مَشُوْرَةٍ لِخِفْتِهَا (masyurah itu asalnya adalah masy-warah kemudian berubah menjadi masyurah untuk menghaluskannya). Al-Laits (اَللَّيْثُ) menyatakan bahwa :
اَلْمَشْوَرَةُ مَفْعَلَةٌ اُشْتِقَ مِنَ الإِشَارَةِ وَيُقَالُ مَشُوْرَةٌ وَهِيَ الشُّوْرَى وَالْمَشُوْرَةُ بِضَمِّ الشِّيْنِ وَكَذَلِكَ الْمَشْوَرَةُ وَتَقُوْلُ مِنْهُ شَاوَرَتُهُ فِيْ الأَمْرِ وَاسْتَشَرَتُهُ بِمَعْنًى
al-masyurah adalah bentuk maf’alah yang diturunkan dari al-isyarah dan dikatakan masyurah dan itu artinya adalah asy-syura dan al-masyurah dengan huruf syin yang dlommah, demikian juga al-masy-warah. Contohnya adalah anda menyatakan شَاوَرَتُهُ فِيْ الأَمْرِ maka maknanya adalah اسْتَشَرَتُهُ
kitab مُخْتَارُ الصَّحَاحِ menyatakan :
اَلْمَشْوَرَةُ الشُّوْرَى وَكَذَا الْمَشُوْرَةُ بِضِمِّ الشِّيْنِ نَقُوْلُ مِنْهُ شَاوَرَهُ فِيْ الأَمْرِ وَاسْتَشَارَهُ بِمَعْنًى
oleh karena itu maksud pernyataan Rasulullah saw لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا adalah :
لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي شُوْرَى مَا خَالَفْتُكُمَا
Hal itu tentu saja demikian sehubungan dengan posisi Abu Bakar dan Umar adalah dua orang wazir bagi Rasulullah saw dari kalangan penduduk bumi alias manusia :
مَا مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا لَهُ وَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ وَوَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ (رواه الترمذي)
Realitas tersebut tentu saja merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada Abu Ba-kar dan Umar bin Khaththab melalui lisan Nabi Muhammad saw sekaligus keduanya ditempatkan se-bagai pembantu (اَلْوَزِيْرُ مَعْنَاهُ اَلْمُعِيْنُ وَالْمُسَاعِدُ لُغَةً) bagi beliau saw dalam hal syura (faktanya Abu Bakar dan Umar adalah bagian dari tim 14 yang dijadikan oleh Rasulullah saw sebagai penasihat). Kepastiannya adalah لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا tentu saja sepanjang kesepakatan keduanya tidak menyalahi keten-tuan Allah SWT dan inilah maksud dari pernyataan Rasulullah saw :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
Karena posisi sunnah Khulafa Rasyidun (سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ) disamakan dengan sunnah Rasulul-lah saw (سُنَّتِي) yakni sebagai دَلِيْلاً شَرْعِيًّا, maka tentu saja sunnah Khulafa Rasyidun itu tidak boleh ber-tentangan dengan atau harus dibenarkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Inilah mengapa para fuqaha dan mujtahidin merumuskan qaidah bahwa Ijma Sahabat yang berposisi sebagai دَلِيْلاً شَرْعِيًّا adalah ijma yang terjadi sepanjang Khulafa Rasyidun yakni hingga masa Khalifah Ali bin Thalib saja. Hal itu kare-na mereka mendapati fakta (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ) bahwa hingga beberapa detik menjelang berakhirnya pemerinta-han Khalifah Ali (karena diberontak oleh Muawiyah), maka sepanjang periode tersebut perjalanan ke-hidupan umat Islam sepenuhnya sama persis dengan saat mereka masih dipimpin dan diurus oleh Nabi Muhammad saw. Realitas aqliyah tersebut 100 persen sesuai dengan pernyataan Rasulullah saw :
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
Wal hasil, pernyataan Rasulullah saw لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا adalah berlaku khusus bagi Abu Bakar dan Umar, sama sekali tidak berlaku umum bagi umat Islam lainnya bahkan bagi dua orang Khulafa Rasyidun lainnya sekalipun yakni Utsman dan Ali ucapan beliau saw tersebut adalah tidak berlaku. Hal itu karena dalam hadits tersebut sama sekali tidak ada lafadz umum yang menunjukkan berlakunya seruan bagi selain Abu Bakar dan Umar, bahkan justru lafadz yang ada adalah memastikan seruan hanya kepada keduanya : لَوْ اجْتَمَعْتُمَا dan مَا خَالَفْتُكُمَا.

Memahami hadits : إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
Hadits tersebut selengkapnya adalah :
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عُثْمَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا مُعَانُ بْنُ رِفَاعَةَ السَّلَامِيُّ حَدَّثَنِي أَبُو خَلَفٍ الْأَعْمَى قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ (رواه ابن ماجه)
Lalu sejak upaya pemantapan demokrasi sebagai sistema pemerintahan di Dunia Islam semakin intensif termasuk di Indonesia, maka banyak kalangan (ormas, orpol maupun perseorangan) yang mengklaim bahwa Islam mengakui bahkan mensyari’atkan demokrasi tersebut dan itu ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw pada bagian : فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ. Mereka menganggap istilah السَّوَادُ الْأَعْظَمُ tiada lain ada-lah رَأْيُ الأَكْثَرِيَّةِ yang menjadi sifat mendasar dari demokrasi sekaligus sebagai kelengkapan dalam mu-syawarah demokratis. Apakah klaim tersebut dapat dibenarkan?
Perkara yang tidak perlu diperdebatkan lagi saat ini (اَلأُمُوْرُ الَّتِيْ تَكَادُ بَدِيْهِيَّةً) adalah realitas kehidup-an seluruh umat Islam di dunia sama sekali tidak Islami yakni tidak berada dalam wadah pelaksanaan yang ditetapkan oleh Islam : Khilafah Islamiyah. Realitas itu ditunjukkan oleh :
1.       keberhasilan United Kingdom alias Inggris meruntuhkan Khilafah Islamiyah terakhir yakni Utsma-niyah yang berpusat di Istambul pada tanggal 3 Maret 1924. Sejak itu hingga kini yang telah ham-pir 86 tahun, belum ada sekelompok pun dari umat Islam yang berhasil menegakkan kembali Khi-lafah tersebut.
2.       seluruh Dunia Islam yang saat ini tercabik-cabik menjadi negara kebangsaan yang jumlahnya lebih dari 50 negara, telah memberlakukan sistema pemerintahan demokrasi bahkan sejak masuk abad ke-21 ini upaya pemantapan demokrasi sebagai satu-satunya sistem pemerintahan semakin intensif dilakukan dengan tujuan agar seluruh manusia terutama umat Islam semakin sepakat untuk mem-posisikan demokrasi sebagai harga mati alias قَنَاعَتُهُمْ.
3.       aqidah sekularisme telah 100 persen menggantikan aqidah Islamiyah sebagai asas berpikir maupun kepemimpinan ideologis umat Islam, begitu juga pemikiran yang terpancar dari sekularisme yakni demokrasi dan kapitalisme telah 99 persen menggantikan kedudukan pemikiran Islami tentang ke-hidupan dalam otak umat Islam. Akibatnya adalah dapat dipastikan yakni sikap mereka berubah to-tal dari sikap menempatkan Islam sebagai رَأْسُ الأَمْرِ menjadi sikap yang kacau dengan menempatkan sekularisme sebagai pengganti Islam tersebut. Jika pun masih ada hingga saat beberapa pemikiran Islami yang digunakan maka itu pun dalam rangka untuk menutupi kelemahan sekularisme, atau menyempurnakan kekurangan sekularisme, atau justru untuk tujuan Islamisasi sekularisme itu sen-diri.
4.       negara kebangsaan saat ini telah dianggap bahkan disepakati sebagai tuntutan realitas (اَمْرُ الْوَاقِعِ) se-hingga wajib diterima dan diberlakukan, sebab seluruh umat Islam mendapati tidak ada alternatif yang sesuai dengan mind set sekularisme selain bentuk negara tersebut.
5.       kondisi pemikiran dan sikap umat Islam yang diharamkan terjadi oleh Islam, justru saat ini nyata-nyata telah terwujud riil, yakni hanya shalat yang masih diperhatikan oleh mereka sedangkan pe-merintahan selain telah lama mereka tinggalkan juga saat ini mereka sepakat menganggapnya se-bagai bukan bagian dari Islam. Padahal Rasulullah saw telah mengingatkan hal itu sebagai tuntutan yang pasti untuk tidak terjadi alias wajib dicegah. Rasulullah saw menyatakan :
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)
Inilah hakikat kehidupan juga realitas orang per orang umat Islam saat ini yang sangat dapat terindera dari pola pemikiran mereka yang kisruh maupun sikap mereka yang kacau balau.
Tentu saja fakta umat Islam kekinian tersebut adalah 100 persen diametral dengan hakikat kehi-dupan maupun realitas orang per orang umat Islam ketika Nabi Muhammad saw menyampaikan per-nyataan : إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ. Banyak dalil lain baik ayat maupun hadits yang menunjukkan hal serupa dengan hadits tersebut misalnya :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ (آل عمران : 110)
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ (رواه البخاري)
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِي السِّيَاحَةِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى (رواه ابو داود)
Apakah realitas كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ masih melekat pada umat Islam saat ini baik secara komunal maupun indi-vidual? Jawabannya dipastikan tidak lagi. Apakah yang menjadi pola kehidupan umat Islam saat ini berada dalam cakupan خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ataukah justru sebaliknya berada dalam arena إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ? Jawabannya juga pasti yakni seluruh umat Islam yang hidup saat ini adalah tengah berada dalam semesta pemikiran maupun kehidupan yang dimaksudkan oleh bagian pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ
Lalu, apakah aktivitas wisata umat Islam saat ini adalah jihad ataukah justru sekedar wisata naluriah termasuk yang saat ini dikenal dengan istilah wisata rohani? Tentu saja jawabannya adalah ucapan Ra-sulullah saw إِنَّ سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى tersebut saat ini sama sekali tidak dapat direalisir sehu-bungan dengan tidak adanya Khalifah yang diberi wewenang penuh oleh Allah SWT untuk memberla-kukan jihad dalam rangka penyebarluasan Islam ke seluruh dunia.
Oleh karena itu, hadits إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ tersebut harus di-tentukan مَنَاطُ الْحُكْمِ yakni اَلْوَاقِعُ الَّذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ الْحُكْمُ (fakta yang diberlakukan kepadanya hukum) yang dibidik oleh tarkib لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ maupun فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ. Dengan kata lain harus ditentukan sia-pa manusia yang dimaksudkan oleh ucapan Rasulullah saw : إِنَّ أُمَّتِي. Aspek مَنَاطُ الْحُكْمِ dari إِنَّ أُمَّتِي ditun-jukkan oleh banyak dalil baik ayat maupun hadits, antara lain :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ (آل عمران : 110)
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (التوبة : 100)
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ (رواه البخاري)
Keseluruhan dalil tersebut juga lainnya masih sangat banyak memastikan bahwa مَنَاطُ الْحُكْمِ dari ucapan Nabi Muhammad saw إِنَّ أُمَّتِي adalah para sahabat yang hidup sepanjang pemerintahan Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun. Hal itu semakin dipastikan oleh pernyataan Rasulullah saw :
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
Kepastiannya adalah realitas تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ telah terjadi yakni sepanjang Nabi Muhammad saw sebagai penguasa Islam di Madinah. Demikian juga realitas ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ adalah telah terjadi yak-ni ketika umat Islam dipimpin dan diurus oleh Khulafa Rasyidun pasca wafatnya Rasulullah saw. Ke-dua realitas inilah yang semakin memastikan bahwa مَنَاطُ الْحُكْمِ dari إِنَّ أُمَّتِي adalah para sahabat yang hi-dup sepanjang pemerintahan Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun.
Hakikat itulah yang mendasari jumhur fuqaha untuk menyatakan bahwa salah satu sumber dalil dalam Islam selain Al-Quran dan As-Sunnah adalah Ijma Sahabat. Hal itu karena baik Al-Quran mau-pun As-Sunnah banyak menunjukkan bahwa Ijma Sahabat yang terjadi sepanjang periode النُّبُوَّةُ maupun periode خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ adalah memperoleh pujian dari Allah SWT sehingga wajib diikuti alias wa-jib dijadikan dalil syar’iy. Jadi maksud dari إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ adalah :
إِنَّ أُمَّتِي تَكُوْنُ حَيًّا فِيْ عَصْرِ النُّبُوَّةِ وَعَصْرِ خِلَافَةٍ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ اَيْ بِإِجْمَاعِهَا
Sungguh umatku yang hidup pada masa النُّبُوَّةِ dan masa خِلَافَةٍ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ tidak akan bersama-sama dalam kesesatan, maka jika kalian mendapatkan adanya perbedaan maka wajib bagi kalian berpegang teguh kepada opini besar yakni ijma mereka
Sehingga, opini besar, suara mayoritas maupun ijma umat Islam yang terjadi pasca Khulafa Rasyidun hingga saat ini adalah tidak boleh dijadikan (غَيْرُ مُعْتَبَرٍ) sebagai dalil untuk mendasari dilakukan atau ti-dak dilakukannya suatu perbuatan. Inilah mengapa ketika Imam Malik رَحِمَهُ اللهُ menetapkan bahwa ij-ma penduduk Madinah (اِجْمَاعُ اَهْلِ الْمَدِيْنَةِ) pada masa beliau hidup adalah دَلِيْلاً شَرْعِيًّا, maka sepakat jum-hur fuqaha (Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal) menolak pendapat Imam Malik tersebut. Oleh karena itu, bagaimana bisa dan mungkin opini besar, suara mayoritas dan ijma umat Islam yang terjadi saat ini yakni demokrasi adalah diakui dan dibenarkan oleh Islam, berpo-sisi sebagai asas atau acuan atau dalil untuk menerima, mengambil, mendakwahkan dan memberlaku-kan sistem kufur tersebut dalam kehidupan dunia saat ini. Allah SWT menyatakan :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (الأنعام : 116)

Khatimah
Posisi pendapat mayoritas dalam kehidupan Islami dengan wadah Khilafah Islamiyah adalah ha-nya bisa dan boleh digunakan atau diberlakukan dalam perkara yang terkategori teknis pelaksanaan su-atu perbuatan atau aktivitas, tegasnya dalam perbuatan atau aktivitas yang hukumnya mubah. Pendapat mayoritas (bahkan ijma sekalipun) tidak ada nilainya sama sekali untuk urusan atau perkara yang ma-suk dalam cakupan realitas penetapan peraturan : اَلتَّشْرِيْعُ. Penetapan peraturan seluruhnya diserahkan kepada Allah SWT yakni dikembalikan kepada dalil syar’iy yang ditunjukkan oleh sumber-sumber Is-lam : Al-Quran, As-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas. Artinya, penetapan peraturan (syariah Islamiyah) yakni kepastian halal atau haram, hasan atau qabih, seluruhnya wajib ditetapkan berdasarkan dalil yang terdapat dalam sumber-sumber Islam tersebut dan haram ditetapkan berdasarkan hal lain seperti aspek manfaat-madharat, atau kepentingan naluriah, atau pertimbangan baik-buruk menurut aqal dan sebagai-nya. Inilah yang ditunjukkan oleh banyak dalil antara lain pernyataan Rasulullah saw :

دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)

No comments:

Post a Comment