Perang Badar versus Perang Uhud versus Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah (عَهْدُ الْحُدَيْبِيَةِ)
adalah peristiwa monumental pertama kalinya yang terjadi pasca hijrah
Rasulullah saw dari Negara Makkah (دَارُ
الْكُفْرِ) ke Negara Madinah (دَارُ الإِسْلاَمِ).
Realitas monumental Perjanjian Hudaibiyah terletak pada klausul perjanjian yang
faktanya memaksa aqal selu-ruh sahabat Nabi Muhammad saw yang hadir dalam
peristiwa itu untuk memutuskan bahwa seluruhnya adalah penghinaan sangat nista
dari kaum kufar Quraisy terhadap Islam. Lebih dari itu mereka men-dapati fakta
ternyata Rasulullah saw sendiri menerima begitu saja seluruh klausul penghinaan
tersebut. Inilah yang menggiring para sahabat yang dipimpin oleh Umar bin
Khaththab untuk menunjukkan pe-nolakan keras terhadap Perjanjian Hudaibiyah.
Imam Ahmad meriwayatkan peristiwa tersebut dalam hadits yang sangat panjang dan
bagian yang membuat para sahabat menolaknya adalah :
وَدَعَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتُبْ بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَقَالَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو لَا أَعْرِفُ هَذَا
وَلَكِنْ اكْتُبْ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اكْتُبْ بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ هَذَا مَا صَالَحَ
عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو فَقَالَ سُهَيْلُ بْنُ
عَمْرٍو لَوْ شَهِدْتُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ لَمْ أُقَاتِلْكَ وَلَكِنْ اكْتُبْ
هَذَا مَا اصْطَلَحَ عَلَيْهِ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَسُهَيْلُ بْنُ
عَمْرٍو عَلَى وَضْعِ الْحَرْبِ عَشْرَ سِنِينَ يَأْمَنُ فِيهَا النَّاسُ
وَيَكُفُّ بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ عَلَى أَنَّهُ مَنْ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَصْحَابِهِ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهِ
رَدَّهُ عَلَيْهِمْ وَمَنْ أَتَى قُرَيْشًا مِمَّنْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَرُدُّوهُ عَلَيْهِ وَإِنَّ بَيْنَنَا عَيْبَةً
مَكْفُوفَةً وَإِنَّهُ لَا إِسْلَالَ وَلَا إِغْلَالَ
وَكَانَ فِي شَرْطِهِمْ حِينَ كَتَبُوا الْكِتَابَ أَنَّهُ مَنْ أَحَبَّ أَنْ
يَدْخُلَ فِي عَقْدِ مُحَمَّدٍ وَعَهْدِهِ دَخَلَ فِيهِ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ
يَدْخُلَ فِي عَقْدِ قُرَيْشٍ وَعَهْدِهِمْ دَخَلَ فِيهِ
Dan Rasulullah
saw memanggil Ali bin Abi Thalib kemudian beliau berkata kepadanya : tulislah
oleh-mu بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ. Maka Suhail bin
‘Amrin berkata : aku tidak mengenal tulisan ini, oleh karena itu tulislah
olehmu بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ. Lalu Rasulullah saw pun berkata kepadanya
(Ali) tulislah : بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ, ini adalah perkara yang oleh Muhammad
Rasulullah gunakan sebagai perdamaian dengan Suhail bin ‘Amrin. Maka Suhail bin
‘Amrin pun berkata : andai aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, tentu
aku tidak akan memerangi engkau, oleh karena itu tulislah olehmu : ini adalah
pernyataan ber-sama Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin ‘Amrin untuk
menghentikan perang selama sepuluh ta-hun, yang dengan perjanjian itu seluruh
manusia akan aman dan satu sama lain akan saling menahan serangan. Ingatlah
bahwa siapa pun yang mendatangi Rasulullah saw dari sahabatnya (Suhail) tanpa
ijin walinya, maka dia (Muhammad) harus mengembalikannya kepada mereka dan siapa
saja yang mendatangi Quraisy dari orang-orang yang menyertai Rasulullah saw
maka mereka (Quraisy) tidak harus mengembalikannya kepada dia (Muhammad), dan
ingatlah di antara kami ada perjanjian yang sangat kuat, dan ingatlah juga
tidak boleh ada pencurian dan tidak boleh ada pengkhianatan apa pun. Dan juga ada
dalam syarat mereka ketika mereka menuliskan naskah perjanjian : ingatlah,
siapa saja yang menyukai untuk masuk ke dalam aqad Muhammad maupun
perjanjiannya maka masuklah dan siapa saja yang menyukai untuk masuk ke dalam
aqad Quraisy maupun perjanjian mereka maka ma-suklah.
Menyaksikan sikap
Rasulullah saw yang sepenuhnya menyetujui seluruh usulan yang didiktekan
kepa-da beliau oleh Suhail bin ‘Amrin (Wakil/Juru Runding pihak Quraisy), maka
Umar bin Khaththab pun sangat marah :
فَلَمَّا الْتَأَمَ الْأَمْرُ
وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا الْكِتَابُ وَثَبَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَأَتَى أَبَا
بَكْرٍ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَوَلَيْسَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَلَسْنَا بِالْمُسْلِمِينَ أَوَلَيْسُوا بِالْمُشْرِكِينَ
قَالَ بَلَى قَالَ فَعَلَامَ نُعْطِي الذِّلَّةَ فِي دِينِنَا فَقَالَ أَبُو
بَكْرٍ يَا عُمَرُ الْزَمْ غَرْزَهُ حَيْثُ كَانَ فَإِنِّي أَشْهَدُ أَنَّهُ
رَسُولُ اللَّهِ قَالَ عُمَرُ وَأَنَا أَشْهَدُ ثُمَّ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَسْنَا
بِالْمُسْلِمِينَ أَوَلَيْسُوا بِالْمُشْرِكِينَ قَالَ بَلَى قَالَ فَعَلَامَ
نُعْطِي الذِّلَّةَ فِي دِينِنَا فَقَالَ أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ لَنْ
أُخَالِفَ أَمْرَهُ وَلَنْ يُضَيِّعَنِي
Lalu ketika
perjanjian telah selesai dilakukan dan tidak ada lagi yang tersisa kecuali
naskah perjanji-an, maka Umar bin Khaththab bangkit dan bergegas menemui Abu
Bakar lalu berkata : wahai Abu Bakar, apakah dia (Muhammad) bukan lagi
Rasulullah saw ataukah kita yang bukan lagi kaum musli-min ataukah mereka
(Quraisy) yang bukan lagi kaum musyrikin. Dia (Abu Bakar) menjawab : tentu
sa-ja masih demikian. Dia (Umar) berkata lagi : lalu mengapa kita menimpakkan
kehinaan dalam agama kita? Lalu Abu Bakar berkata : wahai Umar, pegang teguhlah
ketetapannya apa adanya, karena sung-guh aku bersaksi bahwa dia (Muhammad)
adalah Rasulullah. Umar berkata : aku pun bersaksi demi-kian. Kemudian dia
mendatangi Rasulullah saw dan berkata : wahai Rasulullah, apakah kami bukan
lagi kaum muslimin ataukah mereka yang bukan lagi kaum musyrikin. Beliau
menjawab : tentu saja masih demikian. Dia (Umar) berkata lagi : lalu mengapa
kita menimpakan kehinaan dalam agama ki-ta? Mendengar tudingan itu, beliau
berkata : Aku adalah hamba Allah dan Rasul Nya, pasti Aku tidak akan pernah
menyalahi perintah Nya dan Dia (Allah SWT) tidak akan menyulitkanku.
Mendengar
penegasan Rasulullah saw tersebut, segera saja Umar menyadari kekeliruannya
yang sangat fatal :
ثُمَّ قَالَ عُمَرُ مَا زِلْتُ
أَصُومُ وَأَتَصَدَّقُ وَأُصَلِّي وَأَعْتِقُ مِنْ الَّذِي صَنَعْتُ مَخَافَةَ
كَلَامِي الَّذِي تَكَلَّمْتُ بِهِ يَوْمَئِذٍ حَتَّى رَجَوْتُ أَنْ يَكُونَ
خَيْرًا
Kemudian Umar
berkata : aku tidak akan berhenti shaum, zakat, shalat dan membebaskan budak
aki-bat yang telah kuperbuat, karena akau sangat khawatir dengan ucapanku yang
telah aku sampaikan kepada beliau hari itu hingga aku sangat berharap keadaan
beliau akan baik-baik saja
Penyesalan Umar
yang sangat mendalam tersebut dapat dimengerti sebab dia telah begitu berani
dan lancang menuding Muhammad saw sebagai bukan lagi Nabi dan Rasulullah.
Tudingan tersebut dalam riwayat Imam Bukhari sangat jelas sekali :
فَقَالَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَأَتَيْتُ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْتُ أَلَسْتَ نَبِيَّ اللَّهِ حَقًّا قَالَ بَلَى قُلْتُ أَلَسْنَا
عَلَى الْحَقِّ وَعَدُوُّنَا عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ بَلَى قُلْتُ فَلِمَ نُعْطِي
الدَّنِيَّةَ فِي دِينِنَا إِذًا قَالَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ
وَهُوَ نَاصِرِي
Lalu Umar bin
Khaththab berkata : aku mendatangi Nabiyallah saw dan aku berkata : apakah
engkau benar-benar bukan lagi Nabiyallah. Beliau menjawab : tentu saja masih
demikian. Aku berkata lagi : apakah kita tidak lagi berada dalam haq dan musuh
kita tidak lagi berada dalam bathil. Beliau men-jawab : tentu saja masih
demikian. Aku berkata lagi : lalu mengapa kita menimpakkan kehinaan dalam agama
kita. Beliau menjawab : sungguh Aku adalah Rasulullah dan Aku tidak akan pernah
maksiat kepada Nya dan Dia adalah Penolongku.
Dengan demikian
sangat jelas bahwa dalam Perjanjian Hudaibiyah tersebut, Nabi Muhammad saw
sa-ma sekali tidak melakukan musyawarah dengan satu orang pun sahabatnya bahkan
tidak ada satu pen-dapat (اَيَّ رَأْيٍ) atau pertimbangan (اَيَّ اِعْتِبَارٍ)
maupun pemikiran (اَيَّ فِكْرٍ) pun dari mereka termasuk dari Umar bin
Khaththab yang diperhatikan oleh Rasulullah saw apalagi diambil oleh beliau
lalu digunakan. Hal inilah yang memastikan bahwa semua yang beliau ucapkan (قَوْلاً), lakukan (فِعْلاً) dan tetapkan (تَقْرِيْرًا) dalam peristiwa
Hudaibiyah adalah ketentuan Allah SWT yang disampaikan kepada beliau melalui
wahyu. Sehingga apa pun tanggapan aqal manusia termasuk para sahabat khususnya
Umar adalah tidak ada artinya (لَيْسَ
لَهُ مَعْنًى) dan tidak ada nilainya
(لَيْسَتْ لَهُ قِيْمَةٌ)
dalam perkara tersebut, karena sepenuhnya berkenaan dengan penetapan hasan dan
qabih (اَلْحَسَنُ وَالْقَبِيْحُ) alias halal dan haram alias اَلتَّشْرِيْعُ.
Realitas inilah yang menyadarkan Umar dan sahabat lainnya setelah mereka
mendengar kepastian dari ucapan Rasulullah saw : أَنَا
عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ وَلَنْ يُضَيِّعَنِي atau إِنِّي
رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِيهِ وَهُوَ نَاصِرِي.
Lebih dari itu akhirnya aqal para sahabat pun sangat memahami mengapa bentuk
klausul Perjanjian Hudaibi-yah seperti itu dengan turunnya Surat Al-Fath di
tengah perjalanan pulang ke Madinah :
حَتَّى
إِذَا كَانَ بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فِي وَسَطِ الطَّرِيقِ فَنَزَلَتْ
سُورَةُ الْفَتْحِ (رواه احمد)
Sehingga ketika
beliau berada di tengah perjalanan antara Makkah dan Madinah, maka turunlah
Su-rah Al-Fath
Salah satu ayat
dalam surah tersebut merupakan penegasan dari Allah SWT kepada Rasulullah saw
ten-tang akan ditaklukkannya Negara Makkah :
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ
الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ فَعَلِمَ مَا
لَمْ تَعْلَمُوا فَجَعَلَ مِنْ دُونِ ذَلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا (الفتح : 27)
Lalu, bagaimana realitas pendapat dalam
Perang Badar? Apakah Nabi Muhammad saw mengam-bil pendapat mayoritas ataukah
minoritas atau justru tidak melakukan musyawarah apa pun? Ibnu Hi-syam dalam
Kitab Sirahnya menyampaikan riwayat berikut :
اِنَّهُ
عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ نَزَلَ عِنْدَ اَدْنَى مَاءٍ مِنْ بَدْرٍ لَمْ يَرْضَ
الْحَبَّابُ بْنُ الْمُنْذِرِ بِهَذَا الْمَنْزِلِ وَقَالَ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اَرَاَيْتَ هَذَا الْمَنْزِلَ
اَمَنْزِلاً اَنْزَلَكَهُ اللهُ لَيْسَ لَنَا اَنْ نَتَقَدَّمَهُ وَلاَ
نَتَأَخَّرَ عَنْهُ اَمْ هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ قَالَ بَلْ
هُوَ الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَإِنَّ
هَذَا لَيْسَ بِمَنْزِلٍ فَانْهَضْ بِالنَّاسِ حَتَّى نَأْتِيَ اَدْنَى مَاءٍ مِنَ
الْقَوْمِ فَنَنْزِلَهُ ثُمَّ نُغَوِّرُ مَا وَرَاءَهُ مِنَ الْقُلُبِ ثُمَّ
نَبْنِيْ عَلَيْهِ حَوْضًا فَنَمْلَؤُهُ مَاءً ثُمَّ نُقَاتِلُ الْقَوْمَ
فَنَشْرَبُ وَلاَ يَشْرَبُوْنَ فَقَالَ رَسُوْلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَقَدْ اَشَرْتَ بِالرَّأْيِ فَنَهَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ النَّاسِ فَسَارَ حَتَّى اِذَا اَتَى
اَدْنَى مَاءٍ مِنَ الْقَوْمِ نَزَلَ عَلَيْهِ ثُمَّ اَمَرَ بِالْقُلُبِ
فَغُوِّرَتْ وَبَنَى حَوْضًا عَلَى الْقَلِيْبِ الَّذِيْ نَزَلَ عَلَيْهِ فَمُلِئَ
مَاءٌ ثُمَّ قَذَفُوْهُ فِيْهِ الآنِيَةَ
Bahwa beliau as
ketika berhenti di cekungan air yang ada di Badar, ternyata Habbab bin Mundzir
ti-dak setuju dengan tempat pemberhentian tersebut dan dia pun berkata kepada
Rasulullah saw : wahai Rasulullah, apakah menurut Anda tempat ini adalah tempat
yang telah Allah tetapkan kepada Anda se-hingga kami tidak boleh merubahnya
sedikit pun, ataukah ini adalah pendapat, strategi perang dan ti-pudaya. Beliau
menjawab : benar sekali, ini adalah pendapat, strategi perang dan tipudaya.
Lalu dia (Habbab) berkata lagi : wahai Rasulullah, sungguh tempat ini bukanlah
tempat yang tepat, oleh kare-na itu ajaklah seluruh manusia untuk bergerak
kembali hingga kita tiba di cekungan air suatu kaum la-lu kita berhenti di sana
kemudian kita bendung semua mata air yang ada di dalamnya lalu kita bangun
bendungan dan kita isi bendungan itu dengan air hingga penuh. Setelah itu
barulah kita akan memera-ngi kaum tersebut, kita bisa minum sedangkan mereka
sama sekali tidak bisa. Maka Rasulullah saw pun berkata : sungguh telah kamu
tunjukkan pendapat yang sangat tepat. Kemudian Rasulullah saw bangkit bersama
dengan seluruh manusia yang bersama beliau, lalu berjalan hingga tiba di sebuah
cekungan air suatu kaum beliau pun berhenti di sana. Kemudian beliau
perintahkan untuk menginven-tarisir mata air yang ada lalu dibendung dan
membangun bendungan di tempat mata air yang beliau pilih untuk berhenti di sana.
Bendungan itu pun diisi penuh dengan air lalu mereka pun masuk ke da-lamnya
segera.
Perang Badar adalah perang besar yang diikuti oleh seluruh sahabat
besar termasuk Abu Bakar, Umar, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib (keempatnya
adalah bagian dari tim 14 yang dikhususkan oleh Nabi Muhammad saw dalam
aktivitas syura), namun demikian Rasulullah saw sama sekali tidak meng-ajak
mereka untuk musyawarah penentuan tempat berhenti (اَلْمَنْزِلُ)
alias barak pasukan alias base camp. Bahkan sahabat yang lainnya pun termasuk
Habbab bin Mundzir tidak diajak musyawarah ketika beli-au menetapkan tempat
berhenti عِنْدَ اَدْنَى مَاءٍ مِنْ بَدْرٍ.
Faktanya, seluruh sahabat yang lain sama sekali tidak memberikan
tanggapan apa pun terhadap penetapan tempat berhenti tersebut, namun Habbab bin
Mundzir secara spontan menunjukkan ketidak-setujuannya lalu menyampaikan usulan
kepada Rasulullah saw untuk memilih tempat lain bagi keper-luan barak pasukan
tersebut. Diamnya seluruh sahabat peserta Perang Badar kecuali Habbab bin
Mun-dzir terhadap pemilihan tempat berhenti tersebut, menunjukkan bahwa Habbab
bin Mundzir memang orang yang sangat paham tentang strategi maupun tipu daya
perang sekaligus dia adalah ahlinya (the expert). Realitas Habbab itu
semakin pasti ketika dia telah dengan sangat rinci menguraikan usulannya kepada
Nabi Muhammad saw berkenaan dengan tempat base camp yang sangat tepat
untuk keperluan الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ
وَالْمَكِيْدَةُ dalam Perang Badar.
Inilah yang ditunjukkan oleh tanggapan Rasulullah saw sen-diri terhadap usulan
Habbab : لَقَدْ اَشَرْتَ بِالرَّأْيِ juga oleh perbuatan beliau yang memutuskan
untuk me-ngambil sekaligus menggunakan seluruh usulan strategi Habbab tanpa
sedikit pun dirubah oleh beliau, serta tanpa disertai adanya permintaan dari
beliau kepada sahabat lainnya untuk memberikan pendapat mereka terhadap usulan
Habbab tersebut.
Lalu, mengapa Habbab memberanikan diri untuk
menyampaikan kritik terhadap penetapan tem-pat berhenti yang dilakukan oleh
Rasulullah saw sekaligus mengusulkan tempat yang lebih tepat? Hal itu tentu
saja akibat dia sangat memahami pernyataan Rasulullah saw seputar perang antara
lain :
الْحَرْبُ
خَدْعَةٌ (رواه البخاري ومسلم والترمذي وابو داود واحمد)
dari sinilah
munculnya tuntutan bahwa untuk :
اَلأُمُوْرُ الْفِكْرِيَّةُ
الَّتِيْ تَحْتَاجُ اِلَى بَحْثٍ وَاِنْعَامِ نَظَرٍ وَالأُمُوْرُ الْفَنِّيَّةُ
وَالْمَالِيَّةَ وَالْجَيْشُ وَالسِّيَاسَةُ الْخَارِجِيَّةُ
Perkara-perkara
pemikiran yang membutuhkan adanya pengkajian dan pandangan yang luas serta
perkara-perkara yang berhubungan dengan teknis, harta, pasukan dan politik luar
negeri
harus diserahkan oleh Khalifah penetapannya
(jika dia tidak mampu) kepada ahlinya yakni ulama, in-telijen (اَرْبَابُ الْخُبَرَةِ)
maupun para spesialis (اَهْلُ الإِخْتِصَاصِ).
Kualifikasi ulama, intelijen maupun spesialis sepenuhnya terwujud
dalam sosok diri Habbab bin Mundzir terutama untuk persoalan yang berhubungan
dengan الرَّأْيُ وَالْحَرْبُ وَالْمَكِيْدَةُ yang membutuhkan kemampuan dalam بَحْثٍ وَاِنْعَامِ نَظَرٍ.
Oleh karena itulah, Rasulullah saw memuji lalu menggunakan pen-dapat Habbab
sebab beliau sangat tahu bahwa sahabatnya tersebut memang memiliki kemampuan
riil dalam permasalahan yang tengah dihadapi yakni strategi perang.
Adapun dalam peristiwa Perang Uhud, Rasulullah saw dan para
sahabat senior berpendapat untuk tidak keluar dari Madinah melainkan
menyongsong musuh yakni pasukan Quraisy di dalam Madinah, sedangkan pendapat
sebagian besar sahabat terutama yang masih muda adalah keluar dari Madinah
un-tuk mencegat musuh di luar Madinah. Oleh karena itu, pendapat yang
berkembang saat itu adalah apa-kah akan keluar Madinah ataukah tidak. Lalu
ternyata akhirnya Rasulullah saw meninggalkan penda-patnya sendiri juga
pendapat sahabat senior dan mengambil pendapat mayoritas yakni keluar dari
Ma-dinah menuju Uhud untuk mencegah pasukan Quraisy di sana.
Keputusan Rasulullah saw untuk mengambil
pendapat mayoritas menunjukkan bahwa persoalan tersebut yakni apakah akan
berperang di dalam Madinah (atau tempat lainnya) ataukah di luar Madinah (atau
tempat lainnya) adalah terkategori perkara yang berhubungan dengan teknis
penyelenggaraan su-atu aktivitas dan tidak membutuhkan adanya proses berpikir (اَلتَّفْكِيْرُ),
pengkajian (اَلْبَحْثُ) maupun pan-dangan yang luas (اِنْعَامُ النَّظَرِ).
Persoalan tersebut adalah mubah secara mutlak yakni perang itu boleh di-lakukan
di dalam suatu tempat (termasuk Madinah) maupun di luar tempat tersebut, sama
halnya de-ngan apakah akan pergi ke Jakarta dari Surabaya dengan kendaraan bus,
atau kereta api, atau pesawat udara, atau kapal laut. Realitas tersebut sangat
nampak dari keputusan Rasulullah saw yang secara langsung mengambil pendapat
mayoritas untuk mencegat Quraisy di Uhud karena baik menunggu mu-suh dari dalam
Madinah maupun mencegatnya di luar Madinah, adalah sama saja yakni teknis
pelaksa-naan perang itu sendiri. Seluruhnya mubah dilakukan “begini” atau
“begitu”, siang atau malam, pagi atau sore, keluar atau di dalam dan
seterusnya. Rasulullah saw sendiri telah menyatakan :
إِنَّ
اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ (رواه مسلم)
Wal hasil, tiga peristiwa monumental dalam perjalanan kehidupan
Islami selama masih dipimpin oleh Nabi Muhammad saw sendiri yakni Perjanjian
Hudaibiyah, Perang Badar dan Perang Uhud me-nunjukkan dengan pasti bahwa
realitas pendapat mayoritas (رَأْيُ
الأَكْثَرِيَّةِ) masih dapat digunakan
dalam perkara yang berhubungan dengan teknis pelaksanaan suatu aktivitas yang
sama sekali tidak memerlu-kan adanya بَحْثٍ
وَاِنْعَامِ نَظَرٍ. Sedangkan
perkara-perkara penetapan syariah (اَلتَّشْرِيْعُ), strategi (الْفَنِّيَّةُ) mau-pun konsepsi atau pemikiran (الْفِكْرِيَّةُ)
yang membutuhkan adanya بَحْثٍ وَاِنْعَامِ نَظَرٍ, maka pertimbangannya (اَلْعِبْرَةُ)
adalah harus berdasarkan aspek benar (اَلصَّوَابُ) bukan aspek mayoritas (اَلأَكْثَرِيَّةُ)
maupun minori-tas (اَلأَقَلِّيَّةُ), sehingga wajib dikembalikan kepada ahlinya
(اَهْلُ الإِخْتِصَاصِ).
Contoh : perkara yang berhu-bungan dengan militer harus dikembalikan kepada
ahli kemiliteran (خُبَرَاءُ الْعَسْكَرِيِّيْنَ), perkara yang ber-kenaan dengan fiqih harus
dikembalikan kepada fuqaha dan mujtahidin, perkara yang berkaitan dengan
pengobatan harus dikembalikan kepada para dokter spesialis (اَلأُطَبَاءُ الْمُخْتَصِّيْنَ),
begitu juga tentang arsi-tektur harus dikembalikan kepada para arsitek andal (مَشَاهِيْرُ الْمُهَنْدِسِيْنَ),
tentang pemikiran harus dikem-balikan kepada para pemikir senior (كِبَارُ الْمُفَكِّرِيْنَ)
dan seterusnya.
Memahami hadits : لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا
Hadits tersebut menunjukkan pernyataan
Rasulullah saw kepada Abu Bakar dan Umar, seleng-kapnya adalah sebagai berikut
:
عَنِ ابْنِ غَنْمٍ الْأَشْعَرِيِّ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ
وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا
خَالَفْتُكُمَا (رواه احمد)
Oleh karena itu, upaya memahami hadits
tersebut harus dengan memperhatikan dua hal yang merupa-kan topik pembahasan (مَوْضُوْعُ الْبَحْثِ)
dari pernyataan Rasulullah saw itu sendiri, yakni realitas masyu-rah (فِي مَشُورَةٍ)
dan posisi Abu Bakar serta Umar ketika Nabi Muhammad saw menjadi Kepala Negara
Islam di Madinah.
Lafadz اَلشُّوْرَى adalah bentuk mashdar dari fi’il شَاوَرَ maknanya adalah طَلَبُ الرَّأْيِ مِنَ الْمُسْتَشَارِ
(men-cari pendapat dari seorang penasihat). Makna اَلشُّوْرَى وَالْمَشُوْرَةُ
dengan huruf ش yang dlommah adalah sama, begitu juga makna اَلْمَشْوَرَةُ
dengan huruf ش yang saknah. Kitab لِسَانُ الْعَرَبِ
menunjukkan :
يُقَالُ
فُلاَنٌ جَيِّدُ الْمَشُوْرَةِ وَالْمَشْوَرَةِ لُغَتَانِ
Al-Fara (اَلْفَرَاءُ) berkata : اَلْمَشُوْرَةُ اَصْلُهَا مَشْوَرَةٌ ثُمَّ نُقِلَتْ اِلَى
مَشُوْرَةٍ لِخِفْتِهَا (masyurah itu
asalnya adalah masy-warah kemudian berubah menjadi masyurah untuk
menghaluskannya). Al-Laits (اَللَّيْثُ) menyatakan bahwa :
اَلْمَشْوَرَةُ مَفْعَلَةٌ
اُشْتِقَ مِنَ الإِشَارَةِ وَيُقَالُ مَشُوْرَةٌ وَهِيَ الشُّوْرَى
وَالْمَشُوْرَةُ بِضَمِّ الشِّيْنِ وَكَذَلِكَ الْمَشْوَرَةُ وَتَقُوْلُ مِنْهُ
شَاوَرَتُهُ فِيْ الأَمْرِ وَاسْتَشَرَتُهُ بِمَعْنًى
al-masyurah
adalah bentuk maf’alah yang diturunkan dari al-isyarah dan dikatakan masyurah dan
itu artinya adalah asy-syura dan al-masyurah dengan huruf syin yang dlommah,
demikian juga al-masy-warah. Contohnya adalah anda menyatakan شَاوَرَتُهُ فِيْ الأَمْرِ
maka maknanya adalah اسْتَشَرَتُهُ
kitab مُخْتَارُ الصَّحَاحِ menyatakan :
اَلْمَشْوَرَةُ الشُّوْرَى وَكَذَا الْمَشُوْرَةُ بِضِمِّ الشِّيْنِ
نَقُوْلُ مِنْهُ شَاوَرَهُ فِيْ الأَمْرِ وَاسْتَشَارَهُ بِمَعْنًى
oleh karena itu
maksud pernyataan Rasulullah saw لَوْ
اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا
adalah :
لَوْ
اجْتَمَعْتُمَا فِي شُوْرَى مَا خَالَفْتُكُمَا
Hal itu tentu
saja demikian sehubungan dengan posisi Abu Bakar dan Umar adalah dua orang
wazir bagi Rasulullah saw dari kalangan penduduk bumi alias manusia :
مَا مِنْ
نَبِيٍّ إِلَّا لَهُ وَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ وَوَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ
الْأَرْضِ فَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ وَمِيكَائِيلُ
وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ (رواه
الترمذي)
Realitas tersebut
tentu saja merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada Abu
Ba-kar dan Umar bin Khaththab melalui lisan Nabi Muhammad saw sekaligus
keduanya ditempatkan se-bagai pembantu (اَلْوَزِيْرُ
مَعْنَاهُ اَلْمُعِيْنُ وَالْمُسَاعِدُ لُغَةً)
bagi beliau saw dalam hal syura (faktanya Abu Bakar dan Umar adalah bagian dari
tim 14 yang dijadikan oleh Rasulullah saw sebagai penasihat). Kepastiannya
adalah لَوْ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا
خَالَفْتُكُمَا tentu saja sepanjang
kesepakatan keduanya tidak menyalahi keten-tuan Allah SWT dan inilah maksud
dari pernyataan Rasulullah saw :
أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
Karena posisi sunnah Khulafa Rasyidun (سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ) disamakan dengan sunnah Rasulul-lah saw (سُنَّتِي) yakni sebagai دَلِيْلاً شَرْعِيًّا,
maka tentu saja sunnah Khulafa Rasyidun itu tidak boleh ber-tentangan dengan
atau harus dibenarkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Inilah mengapa para fuqaha
dan mujtahidin merumuskan qaidah bahwa Ijma Sahabat yang berposisi sebagai دَلِيْلاً شَرْعِيًّا
adalah ijma yang terjadi sepanjang Khulafa Rasyidun yakni hingga masa Khalifah
Ali bin Thalib saja. Hal itu kare-na mereka mendapati fakta (دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ)
bahwa hingga beberapa detik menjelang berakhirnya pemerinta-han Khalifah Ali
(karena diberontak oleh Muawiyah), maka sepanjang periode tersebut perjalanan
ke-hidupan umat Islam sepenuhnya sama persis dengan saat mereka masih dipimpin
dan diurus oleh Nabi Muhammad saw. Realitas aqliyah tersebut 100 persen sesuai
dengan pernyataan Rasulullah saw :
تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا
جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ
اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
Wal hasil, pernyataan Rasulullah saw لَوْ
اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا
adalah berlaku khusus bagi Abu Bakar dan Umar, sama sekali tidak berlaku umum
bagi umat Islam lainnya bahkan bagi dua orang Khulafa Rasyidun lainnya
sekalipun yakni Utsman dan Ali ucapan beliau saw tersebut adalah tidak berlaku.
Hal itu karena dalam hadits tersebut sama sekali tidak ada lafadz umum yang
menunjukkan berlakunya seruan bagi selain Abu Bakar dan Umar, bahkan justru
lafadz yang ada adalah memastikan seruan hanya kepada keduanya : لَوْ اجْتَمَعْتُمَا
dan مَا خَالَفْتُكُمَا.
Memahami hadits :
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
Hadits
tersebut selengkapnya adalah :
حَدَّثَنَا
الْعَبَّاسُ بْنُ عُثْمَانَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ
حَدَّثَنَا مُعَانُ بْنُ رِفَاعَةَ السَّلَامِيُّ حَدَّثَنِي أَبُو خَلَفٍ
الْأَعْمَى قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى
ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
(رواه ابن ماجه)
Lalu
sejak upaya pemantapan demokrasi sebagai sistema pemerintahan di Dunia Islam
semakin intensif termasuk di Indonesia, maka banyak kalangan (ormas, orpol
maupun perseorangan) yang mengklaim bahwa Islam mengakui bahkan mensyari’atkan
demokrasi tersebut dan itu ditunjukkan oleh pernyataan Rasulullah saw pada
bagian : فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ. Mereka
menganggap istilah السَّوَادُ الْأَعْظَمُ tiada lain
ada-lah رَأْيُ الأَكْثَرِيَّةِ yang menjadi
sifat mendasar dari demokrasi sekaligus sebagai kelengkapan dalam mu-syawarah
demokratis. Apakah klaim tersebut dapat dibenarkan?
Perkara yang tidak perlu
diperdebatkan lagi saat ini (اَلأُمُوْرُ
الَّتِيْ تَكَادُ بَدِيْهِيَّةً) adalah realitas kehidup-an seluruh
umat Islam di dunia sama sekali tidak Islami yakni tidak berada dalam wadah
pelaksanaan yang ditetapkan oleh Islam : Khilafah Islamiyah. Realitas itu
ditunjukkan oleh :
1.
keberhasilan United
Kingdom alias Inggris meruntuhkan Khilafah Islamiyah terakhir yakni
Utsma-niyah yang berpusat di Istambul pada tanggal 3 Maret 1924. Sejak itu
hingga kini yang telah ham-pir 86 tahun, belum ada sekelompok pun dari umat
Islam yang berhasil menegakkan kembali Khi-lafah tersebut.
2.
seluruh Dunia Islam
yang saat ini tercabik-cabik menjadi negara kebangsaan yang jumlahnya lebih
dari 50 negara, telah memberlakukan sistema pemerintahan demokrasi bahkan sejak
masuk abad ke-21 ini upaya pemantapan demokrasi sebagai satu-satunya sistem
pemerintahan semakin intensif dilakukan dengan tujuan agar seluruh manusia
terutama umat Islam semakin sepakat untuk mem-posisikan demokrasi sebagai harga
mati alias قَنَاعَتُهُمْ.
3.
aqidah sekularisme
telah 100 persen menggantikan aqidah Islamiyah sebagai asas berpikir maupun
kepemimpinan ideologis umat Islam, begitu juga pemikiran yang terpancar dari
sekularisme yakni demokrasi dan kapitalisme telah 99 persen menggantikan
kedudukan pemikiran Islami tentang ke-hidupan dalam otak umat Islam. Akibatnya
adalah dapat dipastikan yakni sikap mereka berubah to-tal dari sikap
menempatkan Islam sebagai رَأْسُ الأَمْرِ menjadi sikap
yang kacau dengan menempatkan sekularisme sebagai pengganti Islam tersebut.
Jika pun masih ada hingga saat beberapa pemikiran Islami yang digunakan maka
itu pun dalam rangka untuk menutupi kelemahan sekularisme, atau menyempurnakan
kekurangan sekularisme, atau justru untuk tujuan Islamisasi sekularisme itu
sen-diri.
4.
negara kebangsaan saat
ini telah dianggap bahkan disepakati sebagai tuntutan realitas (اَمْرُ الْوَاقِعِ) se-hingga wajib diterima dan
diberlakukan, sebab seluruh umat Islam mendapati tidak ada alternatif yang
sesuai dengan mind set sekularisme selain bentuk negara tersebut.
5.
kondisi pemikiran dan
sikap umat Islam yang diharamkan terjadi oleh Islam, justru saat ini
nyata-nyata telah terwujud riil, yakni hanya shalat yang masih diperhatikan
oleh mereka sedangkan pe-merintahan selain telah lama mereka tinggalkan juga
saat ini mereka sepakat menganggapnya se-bagai bukan bagian dari Islam. Padahal
Rasulullah saw telah mengingatkan hal itu sebagai tuntutan yang pasti untuk tidak
terjadi alias wajib dicegah. Rasulullah saw menyatakan :
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ
عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي
تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ (رواه احمد)
Inilah
hakikat kehidupan juga realitas orang per orang umat Islam saat ini yang sangat
dapat terindera dari pola pemikiran mereka yang kisruh maupun sikap mereka yang
kacau balau.
Tentu
saja fakta umat Islam kekinian tersebut adalah 100 persen diametral dengan
hakikat kehi-dupan maupun realitas orang per orang umat Islam ketika Nabi
Muhammad saw menyampaikan per-nyataan : إِنَّ
أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا
فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ. Banyak dalil lain baik ayat maupun
hadits yang menunjukkan hal serupa dengan hadits tersebut misalnya :
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ (آل عمران : 110)
خَيْرُ
أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ
عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ
إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا
يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ (رواه
البخاري)
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِي
السِّيَاحَةِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ سِيَاحَةَ
أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى (رواه ابو داود)
Apakah realitas كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ masih melekat pada umat Islam saat ini baik secara komunal
maupun indi-vidual? Jawabannya dipastikan tidak lagi. Apakah yang
menjadi pola kehidupan umat Islam saat ini berada dalam cakupan خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ataukah justru sebaliknya berada dalam arena إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ
وَيَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ
السِّمَنُ? Jawabannya juga pasti yakni seluruh umat Islam yang hidup saat
ini adalah tengah berada dalam semesta pemikiran maupun kehidupan yang
dimaksudkan oleh bagian pernyataan Rasulullah saw :
إِنَّ
بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا
يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ
Lalu,
apakah aktivitas wisata umat Islam saat ini adalah jihad ataukah justru sekedar
wisata naluriah termasuk yang saat ini dikenal dengan istilah wisata rohani?
Tentu saja jawabannya adalah ucapan Ra-sulullah saw إِنَّ
سِيَاحَةَ أُمَّتِي الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى tersebut saat ini
sama sekali tidak dapat direalisir sehu-bungan dengan tidak adanya Khalifah
yang diberi wewenang penuh oleh Allah SWT untuk memberla-kukan jihad dalam
rangka penyebarluasan Islam ke seluruh dunia.
Oleh
karena itu, hadits إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى
ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ tersebut harus
di-tentukan مَنَاطُ الْحُكْمِ yakni اَلْوَاقِعُ الَّذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ الْحُكْمُ (fakta yang
diberlakukan kepadanya hukum) yang dibidik oleh tarkib لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ maupun فَعَلَيْكُمْ
بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ. Dengan kata lain harus ditentukan sia-pa manusia
yang dimaksudkan oleh ucapan Rasulullah saw : إِنَّ
أُمَّتِي. Aspek مَنَاطُ الْحُكْمِ dari إِنَّ أُمَّتِي ditun-jukkan oleh banyak dalil baik
ayat maupun hadits, antara lain :
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ (آل عمران : 110)
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ (التوبة : 100)
أُوصِيكُمْ
بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ
وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه احمد)
خَيْرُ
أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ قَالَ
عِمْرَانُ فَلَا أَدْرِي أَذَكَرَ بَعْدَ قَرْنِهِ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ
إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ وَيَخُونُونَ وَلَا
يُؤْتَمَنُونَ وَيَنْذُرُونَ وَلَا يَفُونَ وَيَظْهَرُ فِيهِمْ السِّمَنُ (رواه
البخاري)
Keseluruhan
dalil tersebut juga lainnya masih sangat banyak memastikan bahwa مَنَاطُ الْحُكْمِ dari ucapan Nabi Muhammad saw إِنَّ أُمَّتِي adalah para sahabat yang hidup
sepanjang pemerintahan Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun. Hal itu semakin
dipastikan oleh pernyataan Rasulullah saw :
تَكُونُ
النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا
شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ
يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا
جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ
اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد)
Kepastiannya
adalah realitas تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ telah terjadi
yakni sepanjang Nabi Muhammad saw sebagai penguasa Islam di Madinah. Demikian
juga realitas ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى
مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ adalah telah terjadi yak-ni ketika umat Islam dipimpin dan
diurus oleh Khulafa Rasyidun pasca wafatnya Rasulullah saw. Ke-dua realitas
inilah yang semakin memastikan bahwa مَنَاطُ
الْحُكْمِ dari إِنَّ أُمَّتِي adalah para
sahabat yang hi-dup sepanjang pemerintahan Rasulullah saw dan Khulafa Rasyidun.
Hakikat
itulah yang mendasari jumhur fuqaha untuk menyatakan bahwa salah satu sumber
dalil dalam Islam selain Al-Quran dan As-Sunnah adalah Ijma Sahabat. Hal itu
karena baik Al-Quran mau-pun As-Sunnah banyak menunjukkan bahwa Ijma Sahabat
yang terjadi sepanjang periode النُّبُوَّةُ maupun periode خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ adalah memperoleh pujian dari Allah
SWT sehingga wajib diikuti alias wa-jib dijadikan dalil syar’iy. Jadi maksud
dari إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ
فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ adalah :
إِنَّ أُمَّتِي تَكُوْنُ حَيًّا
فِيْ عَصْرِ النُّبُوَّةِ وَعَصْرِ خِلَافَةٍ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ لَا
تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ فَإِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ
بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ اَيْ بِإِجْمَاعِهَا
Sungguh umatku yang hidup pada masa النُّبُوَّةِ dan masa خِلَافَةٍ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ tidak akan bersama-sama dalam
kesesatan, maka jika kalian mendapatkan adanya perbedaan maka wajib bagi kalian
berpegang teguh kepada opini besar yakni ijma mereka
Sehingga, opini besar, suara mayoritas maupun ijma umat
Islam yang terjadi pasca Khulafa Rasyidun hingga saat ini adalah tidak boleh
dijadikan (غَيْرُ مُعْتَبَرٍ) sebagai dalil
untuk mendasari dilakukan atau ti-dak dilakukannya
suatu perbuatan. Inilah mengapa ketika Imam Malik رَحِمَهُ
اللهُ
menetapkan bahwa ij-ma penduduk Madinah (اِجْمَاعُ
اَهْلِ الْمَدِيْنَةِ) pada masa beliau hidup adalah دَلِيْلاً
شَرْعِيًّا, maka sepakat jum-hur fuqaha (Imam Abu Hanifah, Imam As-Syafi’i
dan Imam Ahmad bin Hambal) menolak pendapat Imam Malik tersebut.
Oleh karena itu, bagaimana bisa dan mungkin opini besar, suara
mayoritas dan ijma umat Islam yang terjadi saat ini yakni demokrasi adalah
diakui dan dibenarkan oleh Islam, berpo-sisi sebagai asas atau acuan
atau dalil untuk menerima, mengambil, mendakwahkan dan
memberlaku-kan sistem kufur tersebut dalam kehidupan dunia saat ini. Allah SWT
menyatakan :
وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ
يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (الأنعام : 116)
Khatimah
Posisi pendapat mayoritas
dalam kehidupan Islami dengan wadah Khilafah Islamiyah adalah ha-nya bisa dan
boleh digunakan atau diberlakukan dalam perkara yang terkategori teknis
pelaksanaan su-atu perbuatan atau aktivitas, tegasnya dalam perbuatan atau
aktivitas yang hukumnya mubah. Pendapat mayoritas (bahkan ijma sekalipun) tidak
ada nilainya sama sekali untuk urusan atau perkara yang ma-suk dalam
cakupan realitas penetapan peraturan : اَلتَّشْرِيْعُ. Penetapan
peraturan seluruhnya diserahkan kepada Allah SWT yakni dikembalikan kepada
dalil syar’iy yang ditunjukkan oleh sumber-sumber Is-lam : Al-Quran, As-Sunnah,
Ijma Sahabat dan Qiyas. Artinya, penetapan peraturan (syariah Islamiyah) yakni
kepastian halal atau haram, hasan atau qabih, seluruhnya wajib
ditetapkan berdasarkan dalil yang terdapat dalam sumber-sumber Islam tersebut
dan haram ditetapkan berdasarkan hal lain seperti aspek
manfaat-madharat, atau kepentingan naluriah, atau pertimbangan baik-buruk
menurut aqal dan sebagai-nya. Inilah yang ditunjukkan oleh banyak dalil antara
lain pernyataan Rasulullah saw :
دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى
أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
No comments:
Post a Comment