Aqal, kepentingan naluriah dan sikap manusia
Aqal (اَلْعَقْلُ), kepentingan naluriah (اَلْهَوَى) dan sikap manusia (مَوْقِفُ الإِنْسَانِ) adalah gambaran apa adanya dari manusia itu sendiri, yakni ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan konstelatif pada diri manusia. Ketika aqal manusia belum berfungsi (غَيْرُ عَاقِلٍ), maka yang berperan se-cara penuh (dominan) pada sikapnya adalah kepentingan naluriah : غَرِيْزَةُ الْبَقَاءِ وَالنَّوْعِ. Inilah yang nam-pak jelas dan pasti pada anak-anak. Kemudian seiring dengan usia mereka yang bertambah, maka pada diri mereka pun mulai nampak (pelan tapi pasti) pengaruh dari dorongan “mensakralkan sesuatu di luar dirinya” (يَكُوْنُ هُوَ مُقَدِّسٌ شَيْئًا خَارِجَ نَفْسِهِ) yakni غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ dan itu berlangsung bersamaan dengan sampai-nya mereka pada keadaan “dewasa secara seksual” (بَالِغًا) dan aqalnya berfungsi (عَاقِلاً). Pada realitas ma-nusia inilah, sikap mereka benar-benar dikendalikan sepenuhnya oleh seluruh jenis kepentingan naluri-ah (غَرِيْزَةُ الْبَقَاءِ وَالنَّوْعِ وَالتَّدَيُّنِ) dan aqal. Apakah : (a) peran aqal dan kepentingan naluriah dalam mengen-dalikan sikap manusia selamanya seimbang dan sejalan atau (b) peran aqal dan kepentingan naluriah ti-dak pernah seimbang apalagi sejalan melainkan dalam posisi dominan-mendominasi saat mengenda-likan sikap manusia atau (c) peran aqal dan kepentingan naluriah adalah berdiri sendiri-sendiri dan ti-dak saling berkaitan saat mengendalikan sikap manusia?
Realitas perjalanan hidup manusia memastikan bahwa
ketika mereka anak-anak (غَيْرُ عَاقِلٍ وَلاَ
بَالِغٍ) dan saat
mereka telah lepas dari kondisi umur tersebut (عَاقِلاً وَبَالِغًا), ternyata
sikap mereka sangat berbe-da bahkan menunjukkan adanya pertentangan dan
kontradiksi. Perbedaan tersebut juga dipastikan aki-bat adanya perbedaan faktor
pengendali terhadap sikap mereka, yakni saat anak-anak yang memiliki peran
dominan bahkan sepenuhnya adalah kepentingan naluriah sedangkan aqal sama
sekali belum ber-peran atau jika pun telah punya andil maka itu sangat kecil
dan dapat diabaikan (karena terdominasi oleh peran kepentingan naluriah).
Ketika manusia telah lepas dari masa anak-anak dan menjadi manu-sia seutuhnya,
maka dominasi peran kepentingan naluriah sedikit demi sedikit (pelan tapi
pasti) akan terkurangi oleh peran aqal. Pada tahapan proses ini ada satu
perkara yang sangat krusial (اَهَمِّيَّةٌ
جِدًّا) bagi
realitas manusia selanjutnya, yakni karena benar atau salahnya
keputusan aqal sepenuhnya ditentu-kan
oleh benar atau salahnya informasi yang
sampai ke dalam otak melalui indera (terutama pengli-hatan dan pendengaran)
maka itu berarti realitas informasi tersebut adalah harus dijamin 100
persen benar dan tidak boleh sama
sekali mengandung kemungkinan salah sekecil
apa pun. Realitas informasi seperti itu dipastikan berdasarkan : (1)
kesesuaiannya dengan fakta (مُطَابَقُ
الْمَعْلُوْمَاتِ لِلْوَاقِعِ) atau (2)
sum-bernya (مَصْدَرُ الْمَعْلُوْمَاتِ) yakni bila dipastikan oleh aqal berasal
dari Allah SWT maka itu adalah infor-masi yang dijamin 100 persen benar. Fase
tersebut dikatakan sangat krusial, karena menentukan secara pasti benar
atau salahnya sikap manusia selanjutnya
(selama hidup di dunia) ketika peran aqal telah berada pada posisi dominan
dalam pengendalian sikap mereka tersebut.
Para petani di negeri Indonesia tidak akan
pernah menanam bibit padi di lahan sawah
mereka pada rentang waktu antara bulan April dan Oktober, karena informasi yang
mereka peroleh baik itu dari realitas perjalanan hidup mereka selama ini maupun
dari informasi ilmiah (misal dari BMG) memasti-kan bahwa pada saat itu adalah
musim kemarau (dry season) sehingga akan
sangat kekurangan air pa-dahal aktivitas penanaman padi sangat membutuhkan air
dalam jumlah yang sangat banyak. Sikap para petani tersebut adalah 100 persen
benar, akibat keputusan aqal mereka juga benar dan itu dapat terjadi dengan
pasti karena informasi yang masuk ke dalam otak mereka juga 100 persen benar.
Umat Islam dari sejak masih dipimpin oleh Nabi
Muhammad saw sebagai kepala negara mereka yang pertama kalinya hingga
kepemimpinan Khalifah terakhir yang pernah ada dalam kehidupan mere-ka yaitu
Sultan Abdul Hamid II, selalu menempatkan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai musuh
sejati mereka dan sikap abadi itu diambil karena mereka memperoleh informasi
dari Allah SWT maupun Rasulullah saw bahwa :
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ
الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى
اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ
مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (البقرة : 120)
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ
الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمْ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ
الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوْ
الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ
فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ (رواه مسلم)
Namun, pasca runtuhnya Khilafah yakni tanggal 3 Maret 1924 hingga saat
ini telah terjadi perubahan sikap umat Islam yang sangat mendasar terhadap
eksistensi kaum Yahudi maupun Nasrani yaitu tidak lagi bahkan sama
sekali tidak mau alias menolak keras informasi
dari Allah SWT maupun Rasulullah saw berkenaan dengan sikap asli kedua kaum
kufar tersebut. Sikap umat Islam tersebut ditunjukkan se-cara gamblang dengan
semakin intensif dan gencarnya seruan untuk melakukan dialog antar agama (in-terfaith
dialogue) berikut antar umatnya, menolak aksi
kekerasan (perang) atas nama atau berlatar aga-ma, membuang jauh-jauh sikap
mengklaim paling benar dan seruan untuk mengembangkan sikap tole-ransi maupun
pluralis. Inilah yang telah dilakukan oleh umat Islam di New York, Jakarta dan
Makkah, bahkan secara spesifik sejumlah orang yang diklaim sebagai pemuka umat
Islam telah menyatakan du-kungan penuh alias setuju 100 persen terhadap seruan
untuk dialog, menolak aksi kekerasan, menolak klaim paling benar, mendukung
sikap toleransi maupun bersikap pluralis :
1.
Sekretaris
Jenderal (Sekjen) رَابِطَةُ الْعَالَمِ
الإِسْلاَمِيِّ Abdullah
Abdul Muhsin At-Turuki menyatakan : tujuan muktamar (مُعْتَمَرُ
الْعَالَمِ الإِسْلاَمِيِّ لِلْحِوَارِ) adalah untuk mencari masukan bagaimana seharusnya Islam
berdialog dengan penganut agama lain. Dialog merupakan cara yang efektif untuk
mengha-dapi kekuatan yang selama ini merongrong Islam yang sering menimbulkan
pelecehan dan peno-daan terhadap simbol-simbol keagamaan.
2.
Raja Kerajaan
Saudi Arabia (KSA) : Abdullah bin Abdil Aziz As-Sa’ud menyatakan : muktamar
ini merupakan kesempatan terbaik untuk menunjukkan kepada dunia nilai-nilai
keislaman yang pe-nuh dengan semangat toleransi, sikap bijak serta dialog atas
dasar keadilan. Marilah kita berkata lantang kepada dunia bahwa kita adalah
pendukung keadilan, pendukung kemanusiaan, pendu-kung kedamaian dan
keharmonisan. Kita menolak terorisme.
3.
Prof. Dr. Yusuf
Qaradhawi menegaskan : dialog bukan hanya dibutuhkan juga merupakan
kewaji-ban. Kitab suci Al-Quran menyerukan umat Islam untuk berdialog dengan
siapa pun. Kepada ahli kitab maupun yang musyrik, kecuali yang berlaku dzalim.
Sebagai bukti bahwa Islam sangat terbu-ka adalah Islam mengakui eksistensi
agama-agama lain, mengakui nabi mereka, mengakui juga kitab mereka. Namun yang
menjadi masalah, tidak sedikit dari orang-orang yang bukan Islam, tidak pernah
mau mengakui nabi dan kitab suci umat Islam. Sebutan yang digunakan Al-Quran
terhadap mereka yang bukan muslim, sangat kooperatif misalnya dengan kata-kata
“yaa ayyuhan-nas”, “yaa bani Adam” dan tidak menggunakan kata-kata “yaa ayyuhal
musyrikun”, kecuali di satu surat yakni surat Al-Kafirun karena konteknya
membutuhkan itu. Penyelesaian konflik melalui dialog hendaknya berangkat dari
titik persamaan, bukan dari titik perbedaan”.
4.
Menteri Agama RI
Muhammad Maftuh Basyuni menyatakan : dialog yang konstruktif dan terarah
memberikan kontribusi besar bagi upaya menghilangkan batas-batas pemisah yang
muncul karena adanya kesalahpahaman dari berbagai pihak. Pada level internal
umat Islam misalnya kita melihat umat Islam sekarang ini ada pertikaian, ada
perang saudara. Ini semua menuntut adanya dialog dan upaya saling memahami
antara pihak-pihak yang bertikai”.
5.
Prof. Dr. Amir
Santoso (pengamat politik UI) menyatakan : semua persoalan bukan tidak
bisa diselesaikan, semua persoalan bisa diselesaikan dengan berdiskusi dan
dialog”.
6.
Prof. Dr. Imam
Suprayogo (Rektor Universitas Islam Negeri/UIN Malang) menyatakan : kerukun-an
bukan saja problem Indonesia tapi juga problem dunia. Sekarang ini,
sesungguhnya kesadaran atas pentingnya berdialog sudah dimiliki dan dirasakan
oleh umat untuk membangun sebuah kese-jahteraan dan perdamaian”.
7.
Ketua MPR RI :
Dr. Hidayat Nurwahid menyatakan : Islam adalah agama yang mengedepankan
dialog. Islam siap berada di tengah pluralitas masyarakat, siap untuk
bersama-sama mengem-bangkan peradaban yang berkeunggulan, menghormati
kemanusiaan. Tapi juga merealisasikan beragama merupakan prinsip-prinsip yang
universal. Inilah saatnya kita berdialog, selain berba-siskan pada
prinsip-prinsip Islam, juga pengalaman konkrit yang dilakukan oleh kelompok
Islam di seluruh penjuru dunia”.
8.
Prof. Dr.
Mohammad Sayyid Thanthawi (Grand Syekh Al-Azhar) menyatakan : dialog
merupakan sunah dari sunah Allah yang diberikan kepada makhluk-Nya : manusia.
Bagaimana pentingnya dialog bisa dilihat dari begitu banyaknya ayat suci
Al-Quran yang menyerukan perlunya dialog. Al-Quran mengisahkan dialog para
Rasul dengan umatnya. Saya tidak ingin berkata insya Allah, karena bagi mereka
yang membaca ayat-ayat suci Al-Quran, akan mendapatkan sepertiga dari ayat-ayat
suci Al-Quran berisi tentang dialog. Dalam Al-Quran begitu banyak warna dan
contoh berbagai dialog. Yang menarik, ungkapan dialog yang ada dalam kitab suci
Al-Quran beragam bentuknya. Kadang menggunakan kata “qaaluu”, “qaala” atau dengan
kata-kata “qul”. Menggu-nakan kata-kata “qaaluu” tak kurang dari 500 kali
Al-Quran menyebutkan. Sedangkan mengguna-kan kata-kata “qaala” dan “qul” ada
sebanyak 300 kali Al-Quran menyebutkan. Di antara bentuk dialog yang kita
inginkan adalah tidak menggunakan kekerasan. Kitab suci Al-Quran dengan tegas
mengingatkan dalam surat Ali Imran ayat 159”.
Kedelapan
orang yang dianggap pemuka Islam tersebut sepakat dan juga disepakati oleh 700
orang ulama dan cendekiawan lainnya (yang sama-sama hadir di Kota Makkah : 4-6
Juni 2008) bahwa Islam adalah agama dialog dan tak ada
agama yang memberikan begitu banyak kesempatan untuk dialog selain agam Islam.
Mereka pun dengan sekuat tenaga berusaha keras untuk memperbaiki
gam-baran yang salah terhadap Islam terutama yang ada di kalangan orang-orang
Barat yang selama ini benak mereka menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang
penuh dengan darah dan te-rorisme. Selain itu, mereka pun berupaya
serius untuk menampakkan kebaikan akan kemanusiaan dan kedamaian yang ada
dalam Islam yang selama ini tertutup di benak orang-orang Barat.
Hal itu berarti bagi mereka informasi Allah SWT
dalam Al-Quran dan Rasulullah saw dalam As-Sunnah tentang posisi dan eksistensi
kaum kufar (terutama Yahudi dan Nasrani) yakni :
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ
الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى
اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ
مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (البقرة : 120)
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ
الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمْ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ
الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوْ
الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ خَلْفِي فَتَعَالَ
فَاقْتُلْهُ إِلَّا الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ (رواه مسلم)
Termasuk juga
bentuk penyelesaian praktis-konkrit yang wajib dilakukan oleh umat Islam
terhadap ka-um Yahudi dan Nasrani tersebut :
قَاتِلُوا الَّذِينَ
لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا
حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
(التوبة : 29)
sama sekali : (a) tidak ada gunanya karena tidak sesuai
dengan realitas konstelatif kehidupan dunia saat ini, (b) tidak aplikatif
karena baik itu klaim sebagai paling benar maupun aksi perang adalah dua
ben-tuk pemikiran yang benar-benar tidak populer serta tidak berpihak kepada
kemanusiaan alias a-huma-nisme dan (c) tidak menguntungkan bagi realitas posisi
dan eksistensi umat Islam saat ini yang tengah berada dalam cengkeraman
dominasi Dunia Barat.
Tentu saja,
seluruh sikap umat Islam yang diwakili oleh 700 orang lebih para pemuka maupun
cendekiawan tersebut adalah bukti pasti dan tak terbantahkan
tentang telah terjadinya keputusan aqal yang salah akibat otak mereka
menerima dan menggunakan informasi yang salah. Mengapa
yang mereka pergunakan adalah informasi yang salah tentang kaum kufar, apakah
mereka tidak mendapati informasi yang benar tentang kaum kufar ataukah mereka
sama sekali tidak peduli dengan informasi yang benar tersebut karena
tidak menguntungkan bagi kepentingan naluriah mereka sendiri?
Adalah
mustahil (يَسْتَحِيْلُهُ
الْعَقْلُ) apabila mereka sama sekali tidak memiliki akses kepada
informasi yang benar tentang atau seputar posisi maupun eksistensi kaum kufar,
karena pernyataan salah seorang dari mereka yakni Grand Syekh Al-Azhar : saya
tidak ingin berkata insya Allah, karena bagi mereka yang membaca ayat-ayat suci
Al-Quran, akan mendapatkan sepertiga dari ayat-ayat suci Al-Quran berisi
tentang dialog, memastikan bahwa dia juga yang lainnya mempunyai akses yang
sangat luas ter-hadap informasi yang benar berkenaan dengan kaum kufar tersebut
(Yahudi dan Nasrani) yang datang dari Allah SWT. Terlebih seluruh informasi tentang kaum kufar
baik yang ada dalam Al-Quran mau-pun As-Sunnah bentuknya jelas dan gamblang (مُحْكَمَةً
وَصَرَاحَةً) sehingga dapat diakses informasinya se-cara مَنْطُوْقًا
tidak perlu dengan cara مَفْهُوْمًا. Andai pun informasi
tentang dan seputar kaum kufar itu ter-nyata harus diakses dengan cara مَفْهُوْمًا, maka seharusnya itu
pun tidak perlu menjadi kesulitan besar yang menghalangi mereka untuk
memperolehnya.
Oleh
karena itu jelas sudah yang menjadi persoalannya adalah bukan karena
mereka tidak memi-liki akses untuk memperoleh informasi yang benar
tentang dan seputar kaum kufar (wahyu dari Allah) melainkan mereka justru
menghindarinya bahkan membuangnya jauh-jauh karena benar-benar
mem-bahayakan kepentingan naluriah mereka. Kesimpulan ini sangat relevan dengan
bahkan dikuatkan oleh tujuan mereka mengadakan muktamar itu sendiri yakni :
untuk memperbaiki gambaran yang salah ter-hadap Islam terutama yang ada di
kalangan orang-orang Barat yang selama ini benak mereka meng-gambarkan bahwa
Islam adalah agama yang penuh dengan darah dan terorisme. Selain
itu, mereka pun berupaya serius untuk menampakkan kebaikan akan kemanusiaan
dan kedamaian yang ada dalam Islam yang selama ini tertutup di benak
orang-orang Barat. Lalu, mengapa mereka begitu mengingin-kan
supaya Dunia Barat merubah gambaran mereka tentang Islam dan Dunia Islam? Tentu
saja demi-kian, karena mereka ingin diberi kedudukan yang sejajar
dengan Dunia Barat oleh Dunia Barat sendiri dan mereka tidak ingin
selalu diposisikan sebagai warga dunia kelas ketiga alias Dunia Ketiga oleh
Dunia Barat. Inilah kepentingan naluriah mereka yang telah mengambil alih
sepenuhnya peran aqal da-lam mengendalikan sikap mereka, yakni peran اَهْوَاءُهُمْ
telah mendominasi kendali sikap mereka.
Wal hasil, pentas sikap manusia memastikan bahwa
peran aqal dan kepentingan naluriah itu tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan
bersifat saling berhubungan dalam mengendalikan sikap manusia alias konstelatif.
Peran aqal dan kepentingan naluriah tidak pernah seimbang dan apalagi sejalan
bila dibiar-kan begitu saja berlangsung secara alami, yakni tidak ada upaya
“sengaja” dari manusia sendiri. Apa yang dimaksudkan dengan upaya
sengaja tersebut? Karena yang lebih dahulu berperan dalam
mengen-dalikan sikap manusia adalah kepentingan naluriah dan itu bersifat
bawaan sejak lahir, maka bila dibi-arkan begitu saja dalam sepanjang hidup
manusia tentu saja mereka akan selalu dikendalikan sepenuh-nya alias didominasi
oleh peran kendali dari sifat bawaan tersebut. Ini adalah hakikat manusiawi dan
inilah pula yang diungkapkan oleh pernyataan Nabi Yusuf as. :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ
لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
(يوسف : 53)
Sehingga upaya sengaja yang dimaksud adalah
menempatkan peran kepentingan naluriah manusia tersebut sesuai dengan maksud
Allah SWT menciptakannya dalam diri mereka, yaitu supaya mereka dapat bertahan
hidup atau mempertahankan eksistensi kehidupannya di dunia. Artinya setiap
manusia wajib menghalangi terjadinya pelebaran peran اَهْوَاءُهُمْ
ke arena sikap mereka dan itu dilakukan dengan cara menjadikan aqal saja yang
berperan penuh dalam mengendalikan sikap mereka itu. Dengan kata lain, peran
aqal harus diposisikan menjadi dominan bahkan satu-satunya dalam mengendalikan
sikap manusia dan itu dapat dilakukan serta berlangsung sempurna bila informasi
yang digunakan oleh aqal untuk memutuskan bentuk atau jenis sikap tertentu itu
adalah terjamin 100 persen benar yakni sesuai dengan faktanya
atau berasal dari Allah SWT, sehingga otomatis menjadi قَاعِدَةً
فِكْرِيَّةً لَهُمْ.
Orang kuat dan orang lemah dalam pandangan Islam
Orang kuat (الْكَيِّسُ) adalah kebalikan
dari orang lemah (الْعَاجِزُ) dan realitas
masing-masing ditun-jukkan oleh dalil berupa pernyataan Rasulullah saw :
الْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ
نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ قَالَ قَالَ وَمَعْنَى قَوْلِهِ مَنْ
دَانَ نَفْسَهُ يَقُولُ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا قَبْلَ أَنْ يُحَاسَبَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيُرْوَى عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ حَاسِبُوا
أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ
وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ
فِي الدُّنْيَا وَيُرْوَى عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ قَالَ لَا يَكُونُ
الْعَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ مِنْ
أَيْنَ مَطْعَمُهُ وَمَلْبَسُهُ (رواه الترمذي)
yang
menunjukkan bahwa :
1.
istilah الْكَيِّسُ adalah :
اَلْعَاقِلُ الْمُتَبَصِّرُ فِيْ الأُمُوْرِ
اَلنَّاظِرُ فِيْ الْعَوَاقِبِ اَيْ اَلْفَطَنَةُ وَالذُّكَاءُ اَيْ عَاقِلٌ
مُتَّزِنٌ سَرِيْعُ الْفَهْمِ
“seorang yang beraqal
dan jeli dalam mengkaji berbagai urusan/perkara yang akan dilakukan ser-ta
memperhatikan dengan serius akibat-akibatnya atau seseorang yang pandai dan cerdas
atau se-seorang yang beraqal cerdas sehingga sangat cepat memahami”
sedangkan
istilah الْعَاجِزُ
adalah :
اَلْمُقْصِرُ فِيْ الأُمُوْرِ اَيْ اَلسَّفِيْهُ الرَّأْيُ
“seseorang yang sangat terbatas
kemampuannya dalam mengkaji berbagai urusan/perkara atau seseorang yang
kemampuan pikirannya sangat dungu”
Kemudian sifat yang
dilekatkan kepada الْكَيِّسُ maupun الْعَاجِزُ ditunjukkan oleh bagian اَلْخَبَرُ dari
ha-dits tersebut yakni :
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ
لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ
Makna (دَلاَلَةُ اللَّفْظِ) yang diwakili oleh bagian hadits مَنْ دَانَ نَفْسَهُ adalah :
حَاسَبَهَا وَأَذَلَّهَا
وَاسْتَعْبَدَهَا وَقَهَّرَهَا حَتَّى صَارَتْ مُطِيْعَةً مُنْقَادَةً
“menghitungnya, menundukkannya,
mengendalikannya dan menaklukannya sehingga menjadi taat dan dapat
dikendalikan”
lalu bagian hadits وَعَمِلَ لِمَا
بَعْدَ الْمَوْتِ
menunjukkan makna :
هُوَ يَعْمَلُ مَادَامَ حَيًّا فِيْ
الدُّنْيَا سَيْرًا وَاسْتِجَابًا بِأَوَامِرِ اللهِ وَتَرْكًا وَاجْتِنَابًا
نَوَاهِيَهُ ذَلِكَ ِلأَنَّهُ يَفْهَمُ اَنَّ الْمَوْتَ عَاقِبَةُ أَمْرِ
الدُّنْيَا
“dia selalu berbuat selama hidup di dunia
sesuai dengan dan memenuhi perintah-perintah Allah serta meninggalkan dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Hal itu karena dia memahami bahwa maut adalah
akibat dari urusan dunia”
Bagian اَلْخَبَرُ dari الْعَاجِزُ yakni مَنْ
أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ maknanya adalah :
مِنَ الإِتِّبَاعِ أَيْ
جَعَلَهَا تَابِعَةً لِهَوَاهَا أَيْ يَكُوْنُ الَّذِيْ غَلَبَتْ عَلَيْهِ
نَفْسُهُ وَعَمِلَ مَا أَمَرَتْهُ بِهِ نَفْسُهُ فَصَارَ عَاجِزًا لِنَفْسِهِ
فَأَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَأَعْطَاهَا مَا اشْتَهَتْهُ وَتَمَنَّى عَلَى
اللهِ اْلأَمَانِيَّ فَهُوَ مَعَ تَفْرِيْطِهِ فِيْ طَاعَةِ رَبِّهِ وَاتِّبَاعِ
شَهَوَاتِهِ لاَ يَعْتَذِرُ بَلْ يَتَمَنَّى عَلَى اللهِ اْلأَمَانِيَّ أَنْ
يَعْفُوَ عَنْهُ أَيْ هُوَ يَذْنَبُ وَيَتَمَنَّى الْجَنَّةَ مِنْ غَيْرِ
اْلإِسْتِغْفَارِ وَالتَّوْبَةِ
“mengikutinya atau menjadikannya mengikuti
kepentingan naluriah atau dia adalah seseorang yang didominasi oleh kepentingan
naluriahnya dan melakukan apa pun yang diperintahkan kepa-danya oleh
kepentingan naluriahnya tersebut, sehingga jadilah dia lemah dalam menghadapi
ke-pentingan naluriahnya itu lalu dia biarkan dirinya mengikuti kepentingan
naluriahnya serta mem-berikan kepadanya apa pun yang sangat dihasratkannya,
kemudian dia berangan-angan kepada Allah yakni dalam keadaan dirinya yang
sangat sedikit sikap taat kepada Rabnya serta mengikuti tuntutan kepentingan
naluriahnya ternyata dia sama sekali tidak merasa bermasalah bahkan
ber-angan-angan kepada Allah bahwa Allah akan mengampuni dirinya atau dia
melakukan banyak do-sa lalu berangan-angan masuk surga tanpa adanya upaya untuk
memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah SWT”
2. bagian
hadits مَنْ
دَانَ نَفْسَهُ selain
sebagai اَلْخَبَرُ
yang menjelaskan sifat yang melekat pada الْكَيِّسُ,
juga berkedudukan sebagai pujian (اَلْمَدْحُ) bagi الْكَيِّسُ
itu sendiri sehingga memberikan makna secara مَنْطُوْقًا
(مَدْلُوْلُ
اللَّفْظِ) bahwa Islam telah mewajibkan umat Islam untuk
mensifati dirinya dengan mak-na yang diwakili oleh istilah الْكَيِّسُ
berikut realitas dari sifat الْكَيِّسُ itu. Demikian juga
halnya dengan bagian hadits وَعَمِلَ
لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ menunjukkan bahwa sikap itu wajib
dilakukan oleh umat Islam.
3.
bagian hadits مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ
هَوَاهَا selain sebagai اَلْخَبَرُ yang menjelaskan
sifat yang melekat pada الْعَاجِزُ, juga berkedudukan
sebagai celaan (اَلذَّمُّ) bagi الْعَاجِزُ
itu sendiri sehingga memberikan makna secara مَنْطُوْقًا
(مَدْلُوْلُ
اللَّفْظِ) bahwa Islam telah mengharamkan umat Islam
mensifati dirinya dengan makna yang diwakili oleh istilah الْعَاجِزُ
berikut realitas dari sifat الْعَاجِزُ itu. Demikian juga
halnya dengan ba-gian hadits وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
menunjukkan bahwa sikap itu haram dilakukan oleh umat Islam.
Jadi, umat
Islam wajib menjadikan diri mereka sebagai اَلْكَيِّسُوْنَ
yakni komunitas manusia yang kuat dalam dua aspek : (a) kuat dalam proses
berpikir (اَلْقُوَّةُ
فِيْ تَفْكِيْرِهِمْ) dan (b) kuat dalam memberlakukan seluruh
ketentuan Allah SWT (Islam) selama mereka hidup di dunia dan itu dapat muncul
dalam diri mereka akibat adanya kekuatan proses berpikir dalam diri mereka :
قُوَّتُهُمْ فِيْ انْطِبَاقِ كُلِّ مَا
حَدَّدَهُ اللهُ تَعَالَى يَعْنِيْ الإِسْلاَمَ مَادَمُوْا حَيًّا فِيْ الدُّنْيَا
وَتَكُوْنُ تِلْكَ الْقُوَّةُ مُنْسَجَمَةً فِيْ اَنْفُسِهِمْ كَنَتِيْجَةٍ مِنْ
قُوَّةِ تَفْكِيْرِهِمْ عِنْدَهُمْ
Sebaliknya, Islam mengharamkan kaum
muslim menjelma menjadi komunitas manusia yang lemah la-gi dungu (اَلْعَاجِزُ
السَّفِيْهُ) dan kondisi tersebut dipastikan
oleh : (a) proses berpikir mereka yang sangat le-mah (اَلضَّعْفُ الشَّدِيْدُ فِيْ
تَفْكِيْرِهِمْ) serta (b) sikap mereka yang
seluruhnya dikendalikan oleh kepentingan naluriahnya, sehingga selalu menentang
semua ketentuan Allah SWT kecuali yang sejalan dengan ke-pentingan tersebut :
يَكُوْنُ مَوْقِفُهُمْ مُنْضَبَطًا
كُلَّهُ بِمَا تَتَطَلَّبُ بِهِ اَهْوَاءُهُمْ فَيَكُوْنُوْا عَاصِيْنَ بِكُلِّ
مَا حَدَّدَهُ اللهُ تَعَالَى يَعْنِيْ الإِسْلاَمَ اِلاَّ مَايَكُوْنُ مِنْهُ
سَيْرًا مَعَ تَطَلُّبِ اَهْوَاءِهِمْ
Apabila
realitas الْكَيِّسُ
dan اَلْعَاجِزُ
dipetakan kepada seluruh pemuka Islam yang 700 orang di anta-ranya sama-sama
hadir di Kota Makkah pada tanggal 4-6 Juni 2008, maka pemetaan tersebut
memberi-kan kepastian bahwa mereka itu seluruhnya adalah orang-orang
lemah lagi dungu : اَلْعَاجِزُوْنَ السُّفَهَاءُ.
Me-reka tidak hanya sangat lemah pemikirannya bahkan dapat dipastikan
benar-benar tidak melakukan proses berpikir sedikit pun saat mereka akan
mensikapi sesuatu. Sikap mereka seluruhnya adalah hanya tanggap naluriah semata
(تَمْيِيْزٌ
غَرِيْزِيٌّ بَحْتَةٌ) sehingga tidak memiliki perbedaan secuil
pun dengan sikap segerombolan besar binatang dari jenis apa pun. Betapa tidak,
mereka bersedia rela dikumpulkan untuk “disembelih” oleh kaum kufar (Dunia Barat)
melalui tangan salah satu anteknya yang paling setia di dunia yaitu Raja KSA : Abdullah
bin Abdil Aziz As-Sa’ud. Mereka sama sekali tidak memiliki kesadar-an
sedikit pun bahwa kesediaan mereka untuk dikumpulkan tersebut
tidak lain dan tidak bukan adalah bukti pasti tak terbantahkan bahwa mereka
tengah menyerahkan seluruh “nyawa” umat Islam sedunia kepada Dunia
Barat sekaligus mempersilahkan kaum kufar itu untuk semakin menghinakan
Allah SWT, Rasulullah saw dan Islam
itu sendiri.
Khatimah
Rasulullah
saw menyatakan :
مَا
مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا لَهُ وَزِيرَانِ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ وَوَزِيرَانِ مِنْ
أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ السَّمَاءِ فَجِبْرِيلُ
وَمِيكَائِيلُ وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الْأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
(رواه الترمذي)
Abu Ghanmin
Al-‘Asy’ariy menyampaikan :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَوْ
اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا (رواه احمد)
Kedua pernyataan Rasulullah
saw tersebut ditujukan kepada dua orang shahabat beliau yang sangat is-timewa :
Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Al-Khaththab رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا. Dengan demikian kedua orang mulia tersebut adalah representasi
pasti dari اَلْمُسْلِمُ الْكَيِّسُ yang diwajibkan oleh Islam untuk disi-fati
oleh seluruh umat Islam di luar mereka berdua. Oleh karena itu adalah sangat
pantas dan layak bagi kedua orang shahabat Rasulullah saw itu untuk
berucap :
اِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَلاَ
بُدَّ لِهَذَا الدِّيْنِ مَنْ يَقُوْمُ بِهِ (قَالَهُ اَبُوْ بَكْرٍ يَوْمَ مَاتَ
فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ I)
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ
تُحَاسَبُوا وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الْأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا (يُرْوَى عَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ)
يَا
مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الْأَرْضَ الْأَرْضَ إِنَّهُ لَا إِسْلَامَ إِلَّا
بِجَمَاعَةٍ وَلَا جَمَاعَةَ إِلَّا بِإِمَارَةٍ وَلَا إِمَارَةَ إِلَّا بِطَاعَةٍ
فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفِقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ وَمَنْ
سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلَاكًا لَهُ وَلَهُمْ (يُرْوَى
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ كَمَا رَوَاهُ الدَّارِمِيُّ)
قوله
: ( الكيس ) أي العاقل المتبصر في الأمور الناظر في العواقب ( من دان نفسه ) أي
حاسبها وأذلها واستعبدها وقهرها حتى صارت مطيعة منقادة ( وعمل لما بعد الموت ) قبل
نزوله ليصير على نور من ربه فالموت عاقبة أمر الدنيا ,
فالكيس من أبصر العاقبة ( والعاجز ) المقصر في الأمور ( من أتبع نفسه هواها ) من
الاتباع أي جعلها تابعة لهواها فلم يكفها عن الشهوات ولم يمنعها عن مقارنة المحرمات
( وتمنى على الله ) وفي الجامع الصغير وتمنى على الله الأماني فهو مع تفريطه في
طاعه ربه واتباع شهواته لا يعتذر بل يتمنى على الله الأماني أن يعفو عنه . قال
الطيبي رحمه الله : والعاجز الذي غلبت عليه نفسه وعمل ما أمرته به نفسه فصار عاجزا
لنفسه فاتبع نفسه هواها وأعطاها ما اشتهته , قوبل الكيس بالعاجز والمقابل الحقيقي
للكيس السفيه الرأي وللعاجز القادر ليؤذن بأن الكيس هو القادر , والعاجز هو السفيه
وتمنى على الله أي يذنب ويتمنى الجنة من غير الاستغفار والتوبة . ( حاسبوا ) بكسر
السين أمر من المحاسبة ( قبل أن تحاسبوا ) بصيغة المجهول ( وتزينوا ) الظاهر أن
المراد به استعدوا وتهيئوا ( للعرض الأكبر ) أي يوم تعرضون على ربكم للحساب (
وإنما يخف ) بكسر الخاء المعجمة من باب ضرب بضرب أي يصير خفيفا ويسيرا (تُحْفَةُ
الأَحْوَذِيِّ بِشَرْحِ جَامِعِ التِّرْمِذِيِّ)
الْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ
نَفْسَهُ هَوَاهَا ثُمَّ تَمَنَّى عَلَى اللَّهِ (رواه ابن ماجه)
الْكَيِّسُ
= اَلْفَطَنَةُ وَالذُّكَاءُ
قوله
( من دان نفسه ) أي أذلها واستعبدها وقيل حاسبها ( من اتبع نفسه هواها ) أي جعل
نفسه تابعة لهواها يعطيها كلما تهوى وتشتهي ( ثم تمني على الله ) بأنه كريم غفور
رحيم غني عنه وعن عمله فلا يعاقبه بل يدخل الجنة ويعطيه ما يشتهي (شَرْحُ سُنَنِ
ابْنِ مَاجَهٍ لِلسَّنَدِيِّ)
الْكَيِّسُ
مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ
نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ (رواه احمد)
الْكَيِّسُ
= عَاقِلٌ مُتَّزِنٌ سَرِيْعُ الْفَهْمِ
No comments:
Post a Comment