NU, Muhammadiyah dan orisinalitas Islam
Ketua PB NU KH Hasyim Muzadi saat melakukan peletakan batu pertama
Ponpes Al-Hikam 2 di Beji Depok Jawa Barat (Republika, 17 Juni 2009, halaman
12) menyatakan : bangsa ini membutuhkan cendekiawan yang tak memisahkan
antara ilmu agama dan ilmu umum. Seorang cendekiawan yang in-tegrated sciences,
memandang ilmu umum merupakan bagian dari agama, begitu juga sebaliknya.
Di-siplin keilmuan itu akan kita coba mengontekskannya dengan disiplin ilmu
pengetahuan yang ada. Me-ngontekskan ilmu itu dalam konteks ilmu kontemporer.
Misalnya, antara zikir dan psikologi, antara za-kat dan ilmu ekonomi, antara
imarah dan ilmu pemerintahan. Jika berhasil disambungkan, kemukjizat-an Alquran
tak hanya akan menjadi sesuatu keyakinan, namun bisa dibuktikan secara keilmuan
mau-pun praktik kehidupannya. Penyajian agama yang diajarkan pada Kuliyatul
Quran maupun pesantren mahasiswa adalah Islam yang utuh. Sehingga, para santri
tak akan terjebak pada ekstremitas dan libe-ralitas. Para santri juga akan
dibekali dengan civic education, sehingga kelak menjadi ulama dan cen-dekiawan
yang Qurani dalam wawasan kebangsaan Indonesia.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dalam diskusi
buku karyanya sendiri yang berjudul “Islam dalam Bingkai keindonesiaan dan
Kemanusiaan : Sebuah Refleksi Sejarah” di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta
(Kompas, 17 Juli 2009, halaman 4) menyatakan : saya berharap akan ada
pemikiran kreatif dari intelektual muda NU maupun Muhammadiyah. Banyak tokoh
muda se-benarnya memiliki pemikiran maju walaupun justru sering kali kurang
disenangi tokoh generasi tua. Jika anak-anak muda ini muncul dengan gagasan
orisinal yang asli dan otentik dalam bingkai iman dan dibenarkan ilmu
pengetahuan, saya rasa ada harapan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan akan
bersenyawa dalam satu napas yang kemudian akan muncul sebagai pelindung dan
mengayomi, bukan saja umat Islam, tetapi juga rekan-rekan Katolik, Kristen,
Hindu, Buddha, Konghucu dan mere-ka yang ateis sekali pun. Klaim besar Islam
dalam sejarah belum terwujud mendekati maksimal dalam lintas peradaban manusia.
Masih ada harapan untuk kita buktikan pada sejarah, Islam itu rahmatan lil
alamin (rahmat bagi semesta alam).
Sehubungan dengan pernyataan Syafii Maarif
tersebut, Dosen Filsafat Universitas Sanata Dhar-ma Yogyakarta Haryatmoko SJ
menilai : Syafii mendambakan Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah
Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberikan pemecahan terhadap
masalah be-sar bangsa, memberikan keadilan, kenyamanan dan perlindungan kepada
semua orang. Islam yang te-rus berjuang melawan kemiskinan.
Walau masih berupa gagasan namun sebagian sangat besarnya telah
terimplementasikan dalam fakta perjalanan kedua ormas Islam terbesar di
Indonesia tersebut, baik secara institusional maupun personal. Selama ini,
sejak Muhammadiyah didirikan tahun 1912 dan NU pada tahun 1926, keduanya selalu
dalam posisi menggugat eksistensi Islam maupun umat Islam dalam percaturan kehidupan
dunia yang berbasis sekularisme terutama di Indonesia. Kedua ormas tersebut
selalu mempersoalkan sejum-lah hal antara lain :
1.
realitas Islam yang memang muncul di Jazirah Arab dan dari
seseorang yang berkebangsaan Arab dianggap tidak seratus persen cocok, layak
dan pantas bagi pola pemikiran dan bentuk kehidupan yang telah lebih dahulu ada
serta dipraktikan di Asia Tenggara. Lebih dari itu, Islam ternyata bukan yang
pertama kali datang ke Asia Tenggara khususnya Jawa, melainkan yang kesekian
kalinya bah-kan mungkin yang paling akhir. Dengan demikian mereka berusaha
keras dan terus menerus untuk melakukan berbagai penyesuaian atau
bahkan perubahan terhadap realitas Islam tersebut sedemi-kian
rupa supaya tidak bertabrakan maupun berbenturan dengan budaya Jawa (secara
umum Asia Tenggara). Upaya inilah yang melahirkan sikap umat Islam saat ini di
Tanah Jawa dan ternyata itu ditunjukkan secara umum hampir di seluruh
nusantara.
2.
menolak secara sangat halus bagian syariah Islamiyah yang
dirasakan terlalu kasar, sadis bahkan brutal terutama terhadap kaum kufar,
yakni jihad, uqubat, kewajiban menutup aurat, jilbab dan se-putar kenegaraan
yakni Khilafah Islamiyah termasuk aturan interaksi antara umat Islam, ahlul
har-biyah, ahludz dzimmah dan Khalifah (syariah kharaj, jizyah, fai-iy). Inilah
yang mereka maksud-kan dengan ungkapan tidak humanis, eksklusif, tidak
mengindonesia, tidak membumi dan sebagai-nya. Jadi memang mereka tidak “berani
terang-terangan” menyatakan menolak jihad melainkan mereka merubah realitas orisinalnya
menjadi “bukan perang, tapi kesungguhan”. Mereka tidak me-nolak uqubat Islami,
tapi mereka pastikan bahwa sanksi penjara juga sudah cukup karena maksud dari
uqubat adalah memberikan efek jera. Mereka pun pastikan bahwa jilbab adalah
“lebih kental nuansa Arabnya” ketimbang Islamnya, sehingga yang penting bukan
jilbab tapi bagaimana caranya supaya aurat wanita itu tidak merangsang hasrat
pria. Mereka sangat marah saat mendapati kenya-taan sikap Islam terhadap kaum
kufar (yang disebut rekan-rekan oleh Syafii Maarif : Jika anak-anak muda ini
muncul dengan gagasan orisinal yang asli dan otentik dalam bingkai iman dan
di-benarkan ilmu pengetahuan, saya rasa ada harapan Islam, keindonesiaan dan
kemanusiaan akan bersenyawa dalam satu napas yang kemudian akan muncul sebagai
pelindung dan mengayomi, bu-kan saja umat Islam, tetapi juga rekan-rekan
Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan me-reka yang ateis sekali pun)
yakni mengelompokkan mereka dalam dua kubu besar اَهْلُ
الْحَربِيَّةِ (kaum kufar yang wajib
diperangi) dan اَهْلُ الذِّمَّةِ (kaum kufar yang haram diperangi karena
bersedia mem-bayar jizyah sebagai bukti ketundukkan mereka kepada Khilafah
Islamiyah). Mereka sangat marah terhadap realitas seperti itu dengan menyatakan
bahwa syariah tersebut tidak berpihak kepada ke-manusiaan alias tidak humanis,
sehingga harus ditolak atau harus diredefinisikan. Khilafah Islami-yah pun
mereka gugat lalu menolaknya dengan berbagai argumen seperti : Khilafah
Islamiyah bu-kan sunnah Nabi tapi hanya kesepakatan para sahabat atau Khilafah
Islamiyah itu tidak ada da-lilnya dalam Al-Quran sehingga harus ditolak
atau yang penting adalah negara dan pemerintahan yang Islami bukan harus
berbentuk negara Islam alias Khilafah Islamiyah atau lainnya yang seru-pa.
Seluruh argumen tersebut diatasnamakan kepada keindonesiaan dan kemanusiaan,
yakni mere-ka propagandakan bahwa Khilafah Islamiyah itu tidak meng-Indonesia
dan tidak berpihak kepada kemanusiaan.
Oleh karena itu, gagasan KH Hasyim Muzadi (Mengontekskan ilmu
itu dalam konteks ilmu kon-temporer. Misalnya, antara zikir dan psikologi,
antara zakat dan ilmu ekonomi, antara imarah dan il-mu pemerintahan. Jika
berhasil disambungkan, kemukjizatan Alquran tak hanya akan menjadi sesuatu keyakinan,
namun bisa dibuktikan secara keilmuan maupun praktik kehidupannya) maupun
Prof. Ah-mad Syafii Maarif (Jika anak-anak muda ini muncul dengan gagasan
orisinal yang asli dan otentik da-lam bingkai iman dan dibenarkan ilmu
pengetahuan, saya rasa ada harapan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan akan
bersenyawa dalam satu napas yang kemudian akan muncul sebagai pelindung dan
mengayomi, bukan saja umat Islam, tetapi juga rekan-rekan Katolik, Kristen,
Hindu, Buddha, Konghu-cu dan mereka yang ateis sekali pun) sepenuhnya
adalah ditujukan dan diarahkan kepada upaya untuk merumuskan sistema yang
sistemik guna melucuti realitas Islam yang terlalu : (a) kearaban
atau keti-mur tengahan yang identik dengan perangai keras serta kekerasan alias
anti perdamaian, (b) bersikap kasar, sadis, brutal terhadap agama lain berikut
para penganutnya dan (c) keras penentangannya terha-dap budaya-budaya lokal
Jawa atau nusantara. Upaya pelucutan tersebut sangat tergambar
jelas dan pasti dalam bagian ucapan :
1.
Penyajian agama yang diajarkan pada Kuliyatul Quran maupun
pesantren mahasiswa adalah Is-lam yang utuh. Sehingga, para santri tak akan
terjebak pada ekstremitas dan liberalitas. Para san-tri juga akan dibekali
dengan civic education, sehingga kelak menjadi ulama dan cendekiawan yang
Qurani dalam wawasan kebangsaan Indonesia (KH Hasyim Muzadi)
2.
Klaim besar Islam dalam sejarah belum terwujud mendekati maksimal
dalam lintas peradaban ma-nusia. Masih ada harapan untuk kita buktikan pada
sejarah, Islam itu rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) (Prof. Ahmad
Syafii Maarif)
Rencana dan gagasan sistemik tersebut tentu
saja sangat disambut dengan baik dan diapresiasi sangat tinggi oleh kaum
nasionalis maupun tokoh non muslim semisal Dosen Filsafat dari Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta Haryatmoko SJ yang memberikan penilaian bahwa : Syafii
mendambakan Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah,
terbuka, inklusif dan mampu memberikan pemecahan terhadap masalah besar bangsa,
memberikan keadilan, kenyamanan dan perlindungan ke-pada semua orang. Islam
yang terus berjuang melawan kemiskinan.
Wal hasil, ledakan bom paling “anyar” di
Jakarta (Jum’at, 17 Juli 2009) sangat mungkin (secara peta konstelatif dan
konspiratif) adalah aksi test case terhadap upaya sistemik pelucutan
realitas Islam radikal, kasar, brutal, sadis dan tidak humanis yang
selama ini telah dilakukan. Lalu, jika menilik re-aksi sebagian besar umat
Islam di Indonesia yang menolak dan mengutuk aksi teror bom tersebut di-tambah
adanya gelombang propaganda yang semakin kuat dan massif dari “barisan tokoh
lintas agama pro perdamaian anti kekerasan”, maka nampak sekali bahwa upaya
pelucutan jatidiri Islam telah ba-nyak mengalami kemajuan dan keberhasilan.
Realitas ini tidaklah mengejutkan sebab Allah SWT telah sejak lama memberikan
informasi berkenaan dengan fakta tersebut :
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ
حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا (البقرة : 217)
Dan
mereka (kaum kufar) akan selalu memerangi kalian (umat Islam) hingga mereka
berhasil membu-at kalian meninggalkan agama kalian sekuat kemampuan yang mereka
dapat lakukan
Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan
Kemanusiaan atau humanity atau اَلإِنْسَانِيَّةُ
adalah :
اَلنَّظْرَةُ اِلَى الإِنْسَانِ
كَمَا هُوَ وَمِنْ حَيْثُ هُوَ اِنْسَانٌ يَكُوْنُ فِيْهِ الْعَقْلُ
وَالْغَرَائِزُ وَالْحَاجَاتُ الْعُضَوِيَّةُ
Pandangan terhadap manusia apa adanya dan dari sisi dia
sebagai manusia yang dalam dirinya ada aqal, naluri serta kebutuhan pokok
Inilah
hakikat yang melekat pada manusia sejak manusia pertama (Adam) hingga yang
paling akhir se-saat menjelang terjadinya اَلسَّاعَةُ. Sifat fakta
manusia (وَصْفُ وَاقِعِ الإِتْسَانِ) tersebut dapat
dibuktikan de-ngan dalil aqliy maupun dalil naqliy, yakni :
1.
semua manusia saat
dilahirkan pasti menangis yang secara pasti menunjukkan adanya respon nalu-riah
terhadap perubahan lingkungan hidupnya yang terjadi secara radikal dan mendasar
yakni dari lingkungan rahim yang serba nyaman (bantalan empuk, suhu ideal,
kelembaban ideal, makanan siap serap) ke dalam lingkungan bumi yang bertolak
belakang dengan lingkungan rahim tersebut. Seiring dengan waktu, kebutuhan
pokoknya (makan dan minum) mendorong dia untuk meminta pemenuhan yakni juga
dengan cara menangis saat lapar maupun haus. Pada saat yang bersamaan,
naluriahnya pun berfungsi lebih lanjut yakni akan selalu dan pasti merespon segala
sesuatu yang mengancam atau bahkan menimpa dirinya : sakit, panas, dingin,
sehat, nyaman dan seterusnya. Ke-mudian pada usia yang terkategori dewasa
secara seksual (بَالِغًا), maka tubuhnya menunjukkan res-pon
terhadap lawan jenis (langsung maupun tidak). Lalu fakta adanya sikap animisme
dan dinamis-me maupun paganisme memastikan bahwa naluri mencari Tuhan alias
naluri beragama (غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ) memang ada
dalam diri manusia. Inilah seluruh realitas manusiawi yang terindera dan
tersaksikan sehingga aqal manusia dapat memutuskan ketetapannya (حُكْمُهُ) terhadap realitas tersebut (dalil aq-liy alias دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ).
2.
dalil naqliy
menyatakan :
وَاللَّهُ
أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل
: 78)
Allah SWT
memastikan bahwa ketika dilahirkan semua manusia sama saja yakni tidak membawa
serta informasi (pengetahuan alias knowledge alias اَلْمَعْرِفَةُ) apa pun dari rahim
ibunya : لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا. Hal ini berarti apa
pun atau reaksi apa pun atau respon apa pun
yang ditampakkan atau ditunjuk-kan oleh manusia saat itu, seluruhnya bukan
disebabkan oleh adanya informasi yang sampai kepada otaknya melalui indera,
melainkan semata dorongan naluriah dan kebutuhan pokoknya. Hal itu ka-rena,
walau telinga dan mata terbawa serta dari rahim namun fungsinya yakni mendengar
(السَّمْعَ)
dan melihat (الْأَبْصَارَ) sama sekali belum
terwujud. Sehingga realitas ini pun semakin menjadi bukti aqliy berdasarkan
informasi naqliy bahwa seluruh gerak gerik manusia saat baru dilahirkan dan
se-belum sampai pada usia عَاقِلاً
بَالِغًا,
adalah sepenuhnya dikendalikan oleh naluri dan kebutuhan po-koknya yang juga
ada serta terjadi secara identik pada hewan. Informasi naqliy lainnya yang
me-nunjukkan hal yang sama adalah :
وَقُلْنَا يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا
مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا
مِنَ الظَّالِمِينَ (البقرة : 35)
Bagian ayat يَاآدَمُ
اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ menunjukkan bahwa karena Adam (juga
istrinya) tidak dila-hirkan melainkan diciptakan dari tanah dan langsung
menjelma sebagai sosok manusia عَاقِلاً بَالِغًا, maka tentu saja mereka berdua
membutuhkan makanan, minuman dan tempat tinggal. Oleh karena itulah Allah SWT
menyatakan : يَاآدَمُ
اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا (wahai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di الْجَنَّةَ dan makanlah oleh kalian berdua makanan apa pun yang kali-an sukai). Lalu karena mereka berdua
telah pada kondisi عَاقِلَيْنِ maka Allah SWT
menetapkan peraturan sederhana berupa larangan tertentu : وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ
الشَّجَرَةَ disertai informasi tentang akibat yang akan mereka terima jika
melanggar larangan tersebut. Seluruh realitas tentang Adam dan is-trinya yang
ditunjukkan oleh ayat tersebut memastikan bahwa hal itu diberlakukan oleh Allah
SWT terhadap mereka (perintah dan larangan) karena keduanya bukan bayi yang
dilahirkan dalam keadaan لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا, melainkan sosok
manusia عَاقِلَيْنِ yang aqalnya telah dapat memahami
perintah dan larangan alias peraturan yang mengatur perbuatan mereka (melakukan
atau meninggalkan se-suatu). Artinya, jika Adam dan istrinya ditaqdirkan dalam
keadaan yang sama dengan manusia be-rikutnya yakni dilahirkan maka tentu saja
tidak akan pernah diberlakukan terhadap mereka adanya peraturan tersebut.
Inilah manusia berikut kemanusiaannya yang tidak terbatasi oleh etnis
maupun bangsa, yakni se-mua manusia di dunia dengan ragam etnis dan
kebangsaannya adalah sama saja dalam dirinya ada aqal, naluri dan kebutuhan
pokok. Jika pun ada manusia yang menyimpang dari realitas orisinal ter-sebut,
maka itu hanya terjadi pada aspek aqal yakni memang faktanya ada sejumlah manusia
yang ditaqdirkan tidak memiliki aqal. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan
peraturan termasuk Is-lam sebagai yang terakhir adalah untuk manusia supaya
digunakan oleh mereka dalam mengelola perjalanan kehidupannya selama di dunia.
Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة : 21)
Wahai manusia, taatlah kalian kepada Rab kalian yang telah
menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, dengan demikian kalian akan
taqwa
Keindonesiaan adalah istilah yang menunjukkan realitas bangsa
Indonesia yang mencakup pola kehidupan maupun bentuk interaksi mereka, baik
sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indo-nesia (NKRI) maupun
sesudahnya. Artinya, keberadaan NKRI tidaklah penting sebab merupakan fak-tor
atau entitas berikutnya dari keindonesiaan dan yang penting serta mendasar
adalah pola kehidupan dan bentuk interaksi yang terjadi di antara manusia
anggota “bangsa Indonesia”. Pola kehidupan bang-sa Indonesia terbentuk dari
adanya kepentingan bersama selaku sesama bangsa yang intinya adalah
ke-sepakatan informal di antara sesama anggota bangsa Indonesia untuk saling
menjaga, membela dan mempertahankan diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Ikrar
pada peristiwa 20 Mei 1908 atau pada sa-at Sumpah Pemuda tahun 1928, keduanya
hanya sebagai penegasan terhadap kepentingan bersama se-laku bangsa Indonesia.
Adapun bentuk interaksi yang berlangsung di antara sesama anggota bangsa
In-donesia terbentuk secara otomatis dan alami ketika setiap orang dari mereka
berusaha untuk memenuhi kebutuhan pokok maupun tuntutan naluriahnya.
Faktanya, pola kehidupan suatu bangsa dan
bentuk interaksi di antara manusia anggota bangsa tersebut adalah berlaku dan
berlangsung sama saja pada bangsa-bangsa lainnya yang berbeda di selu-ruh
dunia. Artinya, pola kehidupan bangsa Indonesia dan bentuk interaksi di antara
anggotanya adalah sama persis dengan yang berlangsung pada bangsa Amerika,
Eropa, China, Hindustan, Afrika, Arab, Latin, Yunani, Jepang, dan seterusnya.
Hal itu karena semua bangsa (termasuk sub bangsa yang dike-nal sebagai suku
bangsa) adalah terbentuk dari unsur individual yang sama yakni manusia yang
dalam dirinya ada aqal, naluri serta kebutuhan pokok. Jadi, sebagai contoh
tidak ada perbedaan yang menda-sar antara bangsa Arab di Jazirah Arabia dengan
bangsa Indonesia (Melanesia) di Asia Tenggara dan jika pun ada perbedaan maka
itu hanya perbedaan bentuk tubuh (rambut, warna kulit, tinggi badan, postur
tubuh, bentuk hidung, bentuk mata dan lainnya) dan kebiasaan aksi-aksi cabang
kehidupan se-perti cara makan, jenis makanan, cara penyiapan dan penyajian
makanan, cara berpakaian dan seterus-nya. Di luar itu semua, seluruh bangsa
yang ada di dunia adalah sama saja yakni sama-sama manusia yang memiliki aqal,
naluri dan kebutuhan pokok. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT
maupun Rasulullah saw :
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
(الحجرات :13)
وَمِنْ
ءَايَاتِهِ خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (الروم : 22)
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا
لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ
وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا
بِالتَّقْوَى (رواه أحمد)
Karena seluruh manusia yang telah, tengah dan akan ada di
dunia berasal dari satu orang manusia pria (Adam) dan satu orang manusia wanita
(istri Adam) : إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَى dan وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ, sehingga walau
berikutnya terbentuk diferensiasi antar manusia yakni manusia berada dalam
keragaman bangsa, suku, bahasa dan warna kulit : وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ atau وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ
وَأَلْوَانِكُمْ namun yang pasti kera-gaman tersebut tidak akan pernah merubah
manusia menjadi berbeda secara mendasar dengan manusia pendahulunya. Oleh
karena itulah Allah SWT tidak menjadikan realitas keragaman manusia tersebut
sebagai permasalahan yang harus diselesaikan dengan peraturan, sebab hakikatnya
tidak seharusnya ja-di persoalan antar manusia dalam kehidupan mereka bahkan
sebaliknya justru akan mendorong mereka untuk berinteraksi satu sama lain saat
berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing individu terlepas dari aspek
keragaman tersebut : لِتَعَارَفُوا. Persoalan yang
pasti muncul adalah ketika mereka berinteraksi satu sama lain dan realitas itu
memerlukan peraturan yang bukan berasal dari entitas internal manusia-wi (aqal,
naluri, kebutuhan pokok), sebab jika dipaksakan peraturan itu dari manusia
sendiri maka pasti akan terjadi konflik kepentingan (conflict of interest)
yang akan mendominasi produk peraturan terse-but. Konflik kepentingan tidak
mungkin dapat dihindari sebab setiap manusia memiliki kemampuan aqal yang
berbeda (akibat kekuatan penginderaan dan akses terhadap informasi yang
berbeda), begitu juga dorongan naluriah dan upaya untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya adalah berbeda. Inilah perka-ra yang diniscayakan oleh aqal manusia
sendiri (مَا يُحَتِّمُهُ عَقْلُ الإِنْسَانِ نَفْسُهُ) bahwa peraturan
itu harus berasal dari Allah SWT. Sehingga terjadilah kepuasan aqal saat sampai
kepadanya informasi langit dari pernyataan Allah SWT : إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ dan dari Rasulullah
saw :
أَلَا لَا
فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا
لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
Wal
hasil, Islam diturunkan untuk mengatur interaksi manusia dengan Allah SWT, diri
mereka sendiri dan dengan sesama manusia selama hidup di dunia. Aqal manusia
sama sekali tidak dipaksa untuk menerima realitas Islam begitu saja (dogmatis
maupun doktrin), melainkan justru aqal sendirilah yang memutuskan bahwa Islam
adalah jawaban bagi yang dituntut atau diniscayakan oleh aqal. Lalu karena aqal
terpuaskan secara pasti oleh Islam yang secara otomatis menjadikan perasaan
manusia te-nang tenteram (terpenuhi tuntutan naluri beragamanya), maka dapat
dipastikan ucapan, sikap maupun perbuatan mereka akan sepenuhnya menyesuaikan
diri dengan Islam dan hanya memberlakukan yang ditetapkan oleh Islam. Artinya
pernyataan Allah SWT dalam Al-Quran berikut ini adalah informasi tentang sebuah
hakikat bukan khayalan :
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(النور : 51)
Hanya
sesungguhnya ucapan kaum mukmin itu ketika mereka diseru kepada Allah dan Rasul
Nya un-tuk memberlakukan hukum (Islam) di antara mereka, pastilah mereka akan
berucap : kami mendengar dan kami mentaati. Dan itulah orang-orang yang
berhasil gemilang.
Integrated
science vs co-science dan aspek mukjizat Al-Quran
KH Hasyim Muzadi menyatakan yang dimaksud dengan istilah integrated
science adalah cara pandang yang memandang ilmu umum merupakan
bagian dari agama, begitu juga sebaliknya. Sehing-ga seorang cendekiawan
yang integrated sciences, adalah yang memandang ilmu umum merupakan
ba-gian dari agama, begitu juga sebaliknya. Istilah sebaliknya adalah co-science
yakni cara pandang yang memisahkan ilmu umum dari agama dan sebaliknya. Lalu,
apakah benar ilmu itu ada dua macam yakni ilmu umum dan ilmu agama? Apakah itu
ilmu, pengetahuan dan kebudayaan?
Fakta kehidupan manusia menunjukkan bahwa ada dua istilah yang
telah lazim digunakan oleh mereka yakni :
1.
ilmu atau اَلْعِلْمُ atau science yakni :
اَلْمَعْرِفَةُ
الَّتِيْ تُؤْخَذُ عَنْ طَرِيْقِ الْمُلاَحَظَةِ وَالتَّجَرُّبَةِ
وَالإِسْتِنْتَاجِ مِثْلُ عِلْمِ الطَّبِيْعَةِ وَعِلْمِ الْكِيْمِيَاءِ وَسَائِرِ
الْعُلُوْمِ التَّجْرِيْبِيَّةِ
Pengetahuan yang diperoleh melalui metode pengamatan,
eksperimen dan pengujian, seperti ilmu tentang alam, ilmu kimia dan seluruh
ilmu eksperimental
2.
kebudayaan atau اَلثَّقَافَةُ atau culture yakni :
اَلْمَعْرِفَةُ
الَّتِيْ تُؤْخَذُ عَنْ طَرِيْقِ الإِخْبَارِ وَالتَّلَقِّيِّ وَالإِسْتِنْبَاطِ
مِثْلُ التَّارِيْخِ وَاللُّغَةِ وَالْفِقْهِ وَالْفَلْسَفَةِ وَسَائِرِ
الْمَعَارِفِ غَيْرِ التَّجْرِيْبِيَّةِ
Pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitaan,
perjumpaan dan penggalian, seperti se-jarah, bahasa, fiqih, filsafat dan
seluruh pengetahuan yang bukan eksperimental
Menurut Ibnu Khaldun dalam Kitabnya اَلْمُقَدِّمَةُ
:
اَلْعُلُوْمُ صِنْفَانِ صِنْفٌ
طَبِيْعِيٌّ لِلإِنْسَانِ اَنْ يَّهْتَدِيَ اِلَيْهِ بِفِكْرِهِ وَصِنْفٌ
نَقْلِيٌّ يَأْخُذُهُ عَمَّنْ وَضَعَهُ
Ilmu itu ada dua kelompok, yakni kelompok alami yang dapat
diraih oleh manusia dengan pemikiran-nya dan kelompok naqliy yang dapat
diperoleh manusia dari seseorang/pihak yang membuatnya
Sehingga yang dimaksudkan oleh Ibnu Khaldun dengan صِنْفٌ طَبِيْعِيٌّ adalah ilmu atau اَلْعِلْمُ atau science, sedangkan صِنْفٌ
نَقْلِيٌّ adalah kebudayaan atau اَلثَّقَافَةُ atau culture. Dengan demikian realitas pengetahuan atau knowledge
atau اَلْمَعْرِفَةُ adalah :
يَجْمَعُ
فِيْهَا بَيْنَ الْعِلْمِ وَالثَّقَافَةِ لِذَلِكَ تَكُوْنُ مَعْرِفَةً
عِلْمِيَّةً وَمَعْرِفَةً ثَقَافِيَّةً حَسَبَ الطَّرِيْقَةِ الَّتِيْ تُؤْخَذُ
عَنْهَا تِلْكَ الْمَعْرِفَةُ
Berkumpul di dalamnya antara ilmu dan kebudayaan, sehingga
ada pengetahuan tentang ilmu dan ada pengetahuan tentang kebudayaan sesuai
dengan metode yang digunakan untuk diperolehnya pengeta-huan tersebut
Itulah
realitas ilmu, kebudayaan dan pengetahuan yang faktanya dapat diindera oleh
manusia, sehingga hakikat tersebut berlaku secara umum (bukan bagi pihak atau
orang tertentu) dan normalnya tidak akan terjadi perbedaan dalam penetapannya.
Jadi yang diklaim oleh Ketua PBNU sebagai ilmu umum adalah ilmu atau اَلْعِلْمُ atau science,
sedangkan yang dimaksudkan dengan ilmu agama adalah kebudayaan atau اَلثَّقَافَةُ
atau culture. Inilah salah satu contoh fakta dari ketidak mampuan
seseorang dalam membedakan antara ilmu atau اَلْعِلْمُ atau science dengan kebudayaan atau اَلثَّقَافَةُ
atau culture. Padahal realitas dan haki-at untuk masing-masing sangat
terpampang jelas di hadapan indera setiap orang termasuk KH Hasyim Muzadi.
Lalu, adakah realitas dari ungkapan integrated science
atau co-science seperti yang disodorkan oleh Hasyim Muzadi? Adalah mungkin
saja dalam diri seseorang berkumpul kedua jenis pengetahuan tersebut yakni baik
tentang ilmu maupun tentang kebudayaan. Namun demikian adalah
tidak mungkin menyatukan atau mengasimilasikan atau
menjadikan yang satu sebagai sub lainnya atau “mengon-tekskan”
keduanya (seperti yang digagas oleh Ketua PBNU), sebab realitas masing-masing
dari kedua pengetahuan tersebut adalah berbeda bahkan sangat mungkin
bertentangan baik secara bagian per bagi-an maupun secara keseluruhannya. Jadi
rencana KH Hasyim Muzadi untuk Mengontekskan ilmu itu da-lam konteks ilmu
kontemporer. Misalnya, antara zikir dan psikologi, antara zakat dan ilmu
ekonomi, antara imarah dan ilmu pemerintahan. Jika berhasil disambungkan,
kemukjizatan Alquran tak hanya akan menjadi sesuatu keyakinan, namun bisa
dibuktikan secara keilmuan maupun praktik kehidupan-nya, adalah selain
telah menyalahi realitas dari masing-masing pengetahuan (ilmu dan kebudayaan)
ju-ga dapat saja dituding sebagai memiliki rencana terselubung alias hidden
agenda yakni agenda untuk melucuti orisinalitas dan otentisitas
kebudayaan Islami (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dengan cara mengkisruhkannya dengan
sejumlah kebudayaan dan atau ilmu dari luar Islam yang secara mendasar
bertentangan dengan اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ tersebut. Tudingan ini sangat beralasan
mengingat sang kiyai begitu beraninya menyam-paikan rencana untuk mengontekskan
ilmu itu dalam konteks ilmu kontemporer, misalnya antara zikir dan psikologi,
antara zakat dan ilmu ekonomi, antara imarah dan ilmu pemerintahan. Bahkan
dia ber-obsesi jika rencananya tersebut berhasil (Jika berhasil disambungkan)
maka dia menyakini bahwa ke-mukjizatan Alquran tak hanya akan menjadi
sesuatu keyakinan, namun bisa dibuktikan secara keilmu-an maupun praktik
kehidupannya. Lalu, bagaimana realitas إِعْجَازُ
الْقُرْآنِ, apakah bagian dari
aqidah atau-kah sifat yang melekat pada Al-Quran itu sendiri?
Al-Quran adalah salah satu mukjizat yang
dimiliki Nabi Muhammad saw (I مُعْجِزَةٌ لِلنَّبِيِّ
مُحَمَّدٍ) yang memiliki
keistimewaan dibandingkan dengan mukjizat beliau lainnya yakni hanya Al-Quran
yang digunakan oleh Rasulullah saw untuk melakukan aktivitas penantangan (اَلتَّحَدِّيُ)
terhadap kaum kufar yang bersikap menolak Al-Quran. Aktivitas penantangan
dengan hanya menggunakan Al-Quran terse-but telah secara pasti menjadikan
bangsa Arab benar-benar tidak berdaya untuk membuat yang serupa dengan
Al-Quran. Inilah yang digambarkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَإِنْ
كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ
مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
(البقرة : 23)
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (يونس : 38)
أَمْ
يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ
وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (هود :
13)
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ
وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ
بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا (الإسراء : 88)
Oleh karena
itulah, Al-Quran adalah mukjizat Nabi Muhammad saw yang memastikan risalah
beliau (Islam) sejak Al-Quran diturunkan kepadanya hingga saat tibanya اَلسَّاعَةُ. Mukjizat Al-Quran yang
men-jadikan kaum kufar Arab tidak berdaya tersebut adalah dalil aqliy yang
memastikan jawaban bantahan kepada mereka yang selama ini menuding bahwa
Al-Quran bukan diturunkan oleh Allah SWT melain-kan hanya buatan tangan
Muhammad sendiri. Realitas inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Walid bin
Mughirah (Raja ahli sya’ir bangsa Arab) :
وَاللهِ
مَا مِنْكُمْ رَجُلٌ اَعْرَفُ بِالأَشْعَارِ مِنِّيْ وَلاَ اَعْلَمُ بِرَجَزِهِ
وَقَصِيْدِهِ مِنِّيْ وَاللهِ مَا يُشَبِّهُ الَّذِيْ يَقُوْلُهُ شَيْئًا مِنْ
هَذَا وَاللهِ اِنَّ لِقَوْلِهِ الَّذِيْ يَقُوْلُهُ لَحَلاَوَةً وَاِنَّ عَلَيْهِ
لَطَلاَوَةً وَاِنَّهُ لَمَوْرُقٌ اَعْلاَهُ مُغْدَفٌ اَسْفَلَهُ وَاِنَّهُ
لَيَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ
Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang
lebih mengenal tentang sya’ir daripada aku dan tidak ada seorang pun yang lebih
tahu tentang sya’irnya dan sajaknya daripada aku. Demi Allah tidak ada sesuatu
pun yang menyerupai yang dia (Muhammad) ucapkan daripada ini (Al-Quran). De-mi
Allah sungguh perkataan yang dia ucapkan itu memiliki keindahan dan padanya
melekat kagungan dan sungguh itu (Al-Quran) adalah tulisan di atasnya, permata
di bawahnya dan sungguh itu (Al-Qur-an) adalah tinggi dan tidak ada yang dapat
menyamainya
Harus diingat
bahwa sikap penantangan dari Al-Quran tersebut tidak khusus ditujukan kepada
bangsa Arab yang hidup pada masa Nabi Muhammad saw atau hanya kepada bangsa
Arab yang hidup di mana pun dan kapan pun, melainkan ditujukan kepada seluruh
manusia hingga tibanya اَلسَّاعَةُ. Artinya Al-Quran itu adalah :
مُعْجِزٌ
لِلنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ لاَ فَرْقَ فِيْ ذَلِكَ بَيْنَ قَبِيْلٍ وَقَبِيْلٍ لأَنَّ
الْخِطَابَ بِهِ لِلنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ
Bersifat melemahkan (mukjizat) terhadap seluruh manusia,
tidak ada perbedaan dalam hal itu di anta-ra qabilah-qabilah yang ada karena
seruannya kepada seluruh manusia.
Realitas tersebut ditunjukkan oleh ungkapan tantangan itu
sendiri yakni وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ atau وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ atau وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ
ظَهِيرًا, sehingga berlaku kaidah :
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Penetapan pemahaman itu (اَلْعِبْرَةُ) berdasarkan keumuman lafadz bukan
berdasarkan khususnya sebab
Jadi secara makro (جُمْلَةً) :
تَكُوْنُ
مُعْجِزَةُ الْقُرْآنِ بُرْهَانًا قَاطِعًا اَنَّ الْقُرْآنَ مُنَزَّلٌ مِنْ
عِنْدِ اللهِ تَعَالَى وَلَيْسَ مِنْ نَفْسِ مُحَمَّدٍ وَلاَ مِنْ غَيْرِهِ مِنَ
الْبَشَرِ
Mukjizat Al-Quran itu adalah bukti yang pasti bahwa
Al-Quran diturunkan dari sisi Allah SWT dan bukan berasal dari diri Muhammad
serta bukan pula dari manusia lain selain beliau
Sehingga
mukjizat Al-Quran itu terindera oleh indera manusia (مَحْسُوْسٌ بِحِسِّ الإِنْسَانِ) dan menjadi dalil aqliy (دَلِيْلاً عَقْلِيًّا) bagi keputusan manusia untuk
mengimani Al-Quran sebagai كَلاَمُ اللهِ, dengan kata
lain iman kepada Al-Quran (اَلإِيْمَانُ بِالْقُرْآنِ) dalilnya adalah
dalil aqliy yakni mukjizat Al-Quran itu sendiri. Mukjizat Al-Quran secara
rincian (تَفْصِيْلاً) sangat nampak dalam hal :
1.
فُصْحَتُهُ وَبَلاَغَتُهُ
وَارْتِفَاعُهُ اِلَى دَرَجَةٍ مُدْهَشَةٍ
(fushhahnya, balaghahnya dan ketinggiannya hingga derajat tertinggi)
dan itu muncul dari اُسْلُوْبُ الْقُرْآنِ الْمُعْجِزِ (uslub
Al-Quran yang mukjiz) yang di dalamnya ada kegamblangan (اَلْوُضُوْحُ), kekuatan (اَلْقُوَّةُ) dan keindahan (اَلْجَمَالُ) yang seluruhnya
mampu men-jadikan manusia tidak berdaya untuk dapat menyamainya. Realitas itu
ditunjukkan antara lain oleh ayat :
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ
مُنِيرٍ ثَانِيَ عِطْفِهِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ (الحج : 8-9)
هَذَانِ
خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ
ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ يُصْهَرُ بِهِ مَا
فِي بُطُونِهِمْ وَالْجُلُودُ وَلَهُمْ مَقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍ كُلَّمَا أَرَادُوا
أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا مِنْ غَمٍّ أُعِيدُوا فِيهَا وَذُوقُوا عَذَابَ
الْحَرِيقِ (الحج : 19-22)
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ
اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ
الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ
(الحج : 73)
2.
realitas Al-Quran
adalah :
طِرَازٌ خَاصٌّ مِنَ التَّعْبِيْرِ
وَنُظُمُهُ لَيْسَ عَلَى مِنْهَاجِ الشَّعْرِ الْمَوْزُوْنِ الْمُقَفِّى وَلاَ
هُوَ عَلَى مِنْهَاجِ النَّثْرِ الْمُرْسَلِ وَلاَ هُوَ مِنْهَاجُ النَّثْرِ
الْمَزْدُوْجِ اَوِ النَّثْرِ الْمَسْجُوْعِ وَاِنَّمَا هُوَ مِنْهَاجٌ قَائِمٌ
بِذَاتِهِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَرَبِ عَهْدٌ بِهِ وَلاَ مَعْرِفَةٌ مِنْ قَبْلُ
Pola pengungkapan yang khusus dan tatanannya bukan dalam bentuk
sya’ir tertimbang tertumpu-kan, bukan pula dalam bentuk natsar mursal, bukan
pula dalam bentuk natsar mazduj atau pun na-tsar masju’, melainkan dia
(Al-Quran) adalah bentuk yang berdiri sendiri yang belum pernah dika-ji dan
dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya
Oleh karena
itulah, bangsa Arab menganggap pola Al-Quran tersebut sebagai ucapan ahli
sya’ir bahkan mereka menuding sebagai ucapan dukun. Hal itu akibat mereka tidak
berdaya menangkal keterpengaruhan oleh Al-Quran sehingga mereka menganggapnya
terkena mantera sihir. Allah SWT menggambarkan keadaan mereka :
أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ
أَنْ أَنْذِرِ النَّاسَ وَبَشِّرِ الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ
عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ الْكَافِرُونَ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ (يونس : 2)
Apakah manusia merasa heran dengan adanya Kami mewahyukan kepada
seseorang dari mereka untuk supaya dia memberikan peringatan kepada manusia dan
memberikan kabar gembira kepada orang-orang beriman bahwa bagi mereka ada
tempat kembali yang kokoh di sisi Rab mereka. Ka-um kufar berkata : sungguh ini
adalah tukang sihir yang sebenarnya
3.
realitas Al-Quran
adalah : طِرَازٌ خَاصٌّ وَنَسِيْجٌ مُنْفَرِدٌ وَاضِحٌ
فِيْهِ كُلَّ الْوُضُوْحِ (pola khusus dan susunan ter-sendiri yang di
dalamnya ada kejelasan yang sangat jelas) yang lebih merupakan natsar
daripada sya’ir. Misalnya pernyataan Allah SWT :
وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ
عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ (التوبة : 14)
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ (آل عمران : 92)
Jika kedua ayat itu disusun secara aturan sya’ir maka bentuknya adalah :
وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ
عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ
صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ
لَنْ تَنَـالُوا
الْبِرَّ حَتَّى تُنْـفِقـُوا مِمَّـا
تُحِبُّونَ
Namun demikian keduanya bukanlah sebuah sya’ir melainkan satu jenis dari
natsar yang unik.
4.
Al-Quran selalu
menjaga saat penempatan huruf satu sama lainnya yakni suara-suara yang muncul
dari huruf-huruf tersebut saat keluar dari tempat keluarnya (عِنْدَ خُرُوْجِهَا مِنْ مَخَارِجِهَا). Lalu menjadikan huruf-huruf yang
berdekatan secara makhraj ditempatkan secara berdekatan pula dalam sebuah ka-ta
(فِيْ الْكَلِمَةِ) dan jika makhraj huruf-huruf itu
berjauhan maka ditempatkan pemisah dengan satu huruf yang memudahkan untuk
melakukan perpindahan.
Demikianlah realitas إِعْجَازُ
الْقُرْآنِ dan seluruhnya
memastikan bahwa إِعْجَازُ الْقُرْآنِ itu adalah bukan bagian dari perkara aqidah
melainkan justru hakikat yang terindera oleh indera manusia dan selanjut-nya
berposisi sebagai dalil aqliy untuk membuktikan bahwa Al-Quran adalah كَلاَمُ اللهِ قَطْعًا.
Wal hasil, ucapan KH Hasyim Muzadi yakni : Jika berhasil disambungkan,
kemukjizatan Alquran tak hanya akan menjadi sesuatu keyakinan, namun bisa
dibuktikan secara keilmuan maupun praktik kehidupannya, adalah selain
sebentuk agenda terselubung untuk melucuti orisinalitas dan otentisitas
kebudayaan Isla-mi (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) melainkan juga telah menyalahi realitas
dari kemukjizatan Al-Quran itu sendiri.
Islam : bagaimana memposisikan agama lain
berikut penganutnya?
Mendiang Jenderal (Purn) Rudini saat menjadi Menteri Dalam Negeri
melontarkan komentar si-nis terhadap isyu Negara Islam yang ketika itu semakin
mengemuka di masyarakat : jika Indonesia di-jadikan Negara Islam, lalu mau
dikemanakan orang-orang Hindu di Pulau Bali? Suara yang sama sekarang
kembali diteriakkan kepada khalayak walau dengan artikulasi gagasan yang
sedikit berbeda :
Jika anak-anak muda ini muncul dengan gagasan
orisinal yang asli dan otentik dalam bingkai iman dan dibenarkan ilmu
pengetahuan, saya rasa ada harapan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan akan
bersenyawa dalam satu napas yang kemudian akan muncul sebagai pelindung dan
mengayomi, bukan saja umat Islam, tetapi juga rekan-rekan Katolik, Kristen,
Hindu, Buddha, Konghucu dan mere-ka yang ateis sekali pun (Prof. Ahmad
Syafii Maarif).
Perbedaannya adalah jika mendiang Rudini secara terus terang
menafikan bahkan menolak kei-nginan mendirikan Negara Islam di Indonesia, maka
Syafii Maarif tengah berusaha keras untuk men-senyawakan Islam
dengan entitas keindonesiaan dan kemanusiaan. Namun maksud dari keduanya sa-ma
saja yakni menempatkan gagasan atau keinginan mewujudkan Negara Islam di
Indonesia sebagai mustahil dan bertentangan dengan realitas pluralitas
keindonesiaan maupun hakikat kemanusiaan. Ha-nya saja Syafii Maarif tidak
berhenti pada titik “memustahilkan dan menolak” ide tersebut tapi dia
me-lanjutkan langkahnya ke arah perancangan konsep pensenyawaan Islam,
keindonesiaan dan kemanusia-an dengan sebuah tujuan agar Islam menjelma sebagai
pelindung dan mengayomi, bukan saja umat Is-lam, tetapi juga rekan-rekan
Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan mereka yang ateis sekali pun.
Sebenarnya, KH Hasyim Muzadi pun memiliki pemikiran yang identik dengan kedua
orang tersebut walau dia lontarkan dengan amat sangat manipulatif : Para
santri juga akan dibekali dengan civic education, sehingga kelak menjadi ulama
dan cendekiawan yang Qurani dalam wawasan ke-bangsaan Indonesia. Artinya,
Ketua PBNU itu tengah merancang kurikulum pesantren yang akan dike-lolanya
untuk menggiring umat Islam supaya tidak lagi mempersoalkan eksistensi kebangsaan
dan ne-gara kebangsaan yang ada di Indonesia.
Lalu, bagaimana aturan Islam dalam memposisikan agama lain berikut
kaum kufar para penga-nutnya? Sebenarnya, umat Islam tidak perlu repot bersusah
payah merancang konsep yang akan diber-lakukan dalam realitas interaksi antara
Islam dengan agama lain berikut antara umat Islam dengan para penganut agama
lain alias kaum kufar. Aturan main untuk interaksi tersebut telah tersedia
lengkap dan komprehensif dalam syariah Islamiyah bahkan telah diimplementasikan
dalam arena kehidupan manu-sia sejak Nabi Muhammad saw hijrah ke Negeri Madinah
lalu menjadi Kepala Negara Pertama (secara formal tercantum dalam Piagam
Madinah), hingga awal abad ke-20 (3 Maret 1924 M). Namun, seiring dengan
diruntuhkannya Khilafah Islamiyah lalu umat Islam hingga kini belum
pernah lagi menjalani kehidupan mereka dalam wadah Khilafah tersebut,
maka secara otomatis aturan main Islami tentang in-teraksi antara Islam dan
agama lain serta antara umat Islam dan kaum kufar tidak pernah lagi diberla-kukan
sebab wadah kehidupan mereka telah berubah total dari Khilafah Islamiyah
menjadi negara ke-bangsaan, termasuk di negeri Indonesia.
Islam menempatkan semua agama lain sebagai
salah dan klaim ini sangat sesuai dengan dalil aq-liy yang memang menuntut
adanya penetapan dari Allah SWT yang akan memastikan mana peraturan yang benar
dan mana yang salah. Sehingga tidak ada satu pun aturan main interaksi antara
Islam de-ngan agama lainnya maupun antara kaum muslim dengan kaum kufar yang
ditolak oleh sisi kemanusia-an manusia itu sendiri yakni aqal mereka. Artinya
aqal sangat dapat menerima ketetapan yang ada da-lam pernyataan Allah SWT
maupun ucapan Rasulullah saw :
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ (الأنفال : 39)
Dan perangilah
mereka (kaum kufar) hingga tidak ada lagi kekufuran dan din itu seluruhnya
hanya milik Allah
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ (التوبة : 29)
Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir
dan mere-ka tidak mengharamkan apa-apa yang telah Allah dan Rasul Nya haramkan
dan mereka juga tidak beragama dengan agama yang haq (Islam) yakni mereka itu
adalah orang-orang yang diberikan kepa-da mereka kitab, hingga mereka bersedia
membayar jizyah melalui tangan mereka sendiri dalam kea-daan tunduk patuh
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ
أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ
الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ
مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ
مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى
الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ
ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ
وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ
وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ
الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ
يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ
فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا
فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ (رواه مسلم)
Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya berkata :
Rasulullah saw itu ketika beliau menugaskan se-orang Amir untuk jaisy maupun
sariyah, pastilah beliau berwasiat kepadanya secara khusus berkena-an dengan
taqwa kepada Allah dan kaum muslim yang menyertainya. Kemudian beliau berkata :
ber-peranglah بِاسْمِ
اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ, perangilah siapa pun yang bersikap
kufur kepada Allah, berperanglah dan janganlah bersikap اَلْغُلُوْلُ (diam-diam mengambil ghanimah sebelum
dilakukan pembagian oleh Rasulullah saw), janganlah bertindak اَلْغَدْرُ (membatalkan perjanjian), janganlah
melakukan اَلْمَثْلَةُ (membakar
jasad musuh sebelum atau sesudah membunuhnya) dan janganlah membunuh anak-anak.
Jika engkau bertemu dengan musuh dari kalangan kaum musyrik maka serulah mereka
kepada tiga pilihan atau seruan, lalu manapun dari seruan itu yang mereka
penuhi maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka
kepada Islam, lalu jika mereka memenuhinya maka terimalah dan tahanlah tangan
dari mereka. Kemudian serulah mereka untuk berpindah dari negara mereka ke
negara Muhajirin dan bertahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka melakukan
hal itu, maka hak mereka sama dengan hak kaum Muhajirin dan kewajiban mereka
sama dengan kewajiban kaum Muhajirin. Lalu jika mereka menolak untuk berpindah
dari negara mereka, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka berstatus
sama dengan kaum muslim Arab lainnya yakni berlaku hukum Allah atas mereka yang
juga diberlakukan atas kaum mukmin dan mereka tidak akan memperoleh gha-nimah
maupun fai-iy kecuali jika mereka jihad bersama dengan kaum muslim. Lalu jika
mereka meno-laknya maka mintalah dari mereka jizyah dan jika mereka memenuhinya
maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Lalu jika mereka menolak
(membayar jizyah) maka mintalah tolong kepada Allah dan perangilah mereka
maupun lainnya
dari dalil-dalil yang berkenaan dengan atau membahas tentang tema pola
interaksi an-tara Islam dengan agama lain dan antara umat Islam dengan kaum kufar.
Sekali lagi, persoalannya te-lah diselesaikan dengan benar, tepat dan lumrah
oleh Allah SWT melalui Islam, sehingga tidak ada lagi yang perlu
apalagi harus dilakukan secara susah payah oleh umat Islam
(bahkan seluruh manusia) ke-cuali berucap dan bersikap :
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(النور : 51)
Hanya
sesungguhnya ucapan kaum mukmin itu ketika mereka diseru kepada Allah dan Rasul
Nya un-tuk memberlakukan hukum (Islam) di antara mereka, pastilah mereka akan
berucap : kami mendengar dan kami mentaati. Dan itulah orang-orang yang
berhasil gemilang
No comments:
Post a Comment