Saturday, November 9, 2013

ORISINALITAS ISLAM : SEMAKIN DILUCUTI!


NU, Muhammadiyah dan orisinalitas Islam
Ketua PB NU KH Hasyim Muzadi saat melakukan peletakan batu pertama Ponpes Al-Hikam 2 di Beji Depok Jawa Barat (Republika, 17 Juni 2009, halaman 12) menyatakan : bangsa ini membutuhkan cendekiawan yang tak memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Seorang cendekiawan yang in-tegrated sciences, memandang ilmu umum merupakan bagian dari agama, begitu juga sebaliknya. Di-siplin keilmuan itu akan kita coba mengontekskannya dengan disiplin ilmu pengetahuan yang ada. Me-ngontekskan ilmu itu dalam konteks ilmu kontemporer. Misalnya, antara zikir dan psikologi, antara za-kat dan ilmu ekonomi, antara imarah dan ilmu pemerintahan. Jika berhasil disambungkan, kemukjizat-an Alquran tak hanya akan menjadi sesuatu keyakinan, namun bisa dibuktikan secara keilmuan mau-pun praktik kehidupannya. Penyajian agama yang diajarkan pada Kuliyatul Quran maupun pesantren mahasiswa adalah Islam yang utuh. Sehingga, para santri tak akan terjebak pada ekstremitas dan libe-ralitas. Para santri juga akan dibekali dengan civic education, sehingga kelak menjadi ulama dan cen-dekiawan yang Qurani dalam wawasan kebangsaan Indonesia.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif dalam diskusi buku karyanya sendiri yang berjudul “Islam dalam Bingkai keindonesiaan dan Kemanusiaan : Sebuah Refleksi Sejarah” di Gedung Muhammadiyah Yogyakarta (Kompas, 17 Juli 2009, halaman 4) menyatakan : saya berharap akan ada pemikiran kreatif dari intelektual muda NU maupun Muhammadiyah. Banyak tokoh muda se-benarnya memiliki pemikiran maju walaupun justru sering kali kurang disenangi tokoh generasi tua. Jika anak-anak muda ini muncul dengan gagasan orisinal yang asli dan otentik dalam bingkai iman dan dibenarkan ilmu pengetahuan, saya rasa ada harapan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan akan bersenyawa dalam satu napas yang kemudian akan muncul sebagai pelindung dan mengayomi, bukan saja umat Islam, tetapi juga rekan-rekan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan mere-ka yang ateis sekali pun. Klaim besar Islam dalam sejarah belum terwujud mendekati maksimal dalam lintas peradaban manusia. Masih ada harapan untuk kita buktikan pada sejarah, Islam itu rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam).
Sehubungan dengan pernyataan Syafii Maarif tersebut, Dosen Filsafat Universitas Sanata Dhar-ma Yogyakarta Haryatmoko SJ menilai : Syafii mendambakan Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberikan pemecahan terhadap masalah be-sar bangsa, memberikan keadilan, kenyamanan dan perlindungan kepada semua orang. Islam yang te-rus berjuang melawan kemiskinan.
Walau masih berupa gagasan namun sebagian sangat besarnya telah terimplementasikan dalam fakta perjalanan kedua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut, baik secara institusional maupun personal. Selama ini, sejak Muhammadiyah didirikan tahun 1912 dan NU pada tahun 1926, keduanya selalu dalam posisi menggugat eksistensi Islam maupun umat Islam dalam percaturan kehidupan dunia yang berbasis sekularisme terutama di Indonesia. Kedua ormas tersebut selalu mempersoalkan sejum-lah hal antara lain :
1.       realitas Islam yang memang muncul di Jazirah Arab dan dari seseorang yang berkebangsaan Arab dianggap tidak seratus persen cocok, layak dan pantas bagi pola pemikiran dan bentuk kehidupan yang telah lebih dahulu ada serta dipraktikan di Asia Tenggara. Lebih dari itu, Islam ternyata bukan yang pertama kali datang ke Asia Tenggara khususnya Jawa, melainkan yang kesekian kalinya bah-kan mungkin yang paling akhir. Dengan demikian mereka berusaha keras dan terus menerus untuk melakukan berbagai penyesuaian atau bahkan perubahan terhadap realitas Islam tersebut sedemi-kian rupa supaya tidak bertabrakan maupun berbenturan dengan budaya Jawa (secara umum Asia Tenggara). Upaya inilah yang melahirkan sikap umat Islam saat ini di Tanah Jawa dan ternyata itu ditunjukkan secara umum hampir di seluruh nusantara.
2.       menolak secara sangat halus bagian syariah Islamiyah yang dirasakan terlalu kasar, sadis bahkan brutal terutama terhadap kaum kufar, yakni jihad, uqubat, kewajiban menutup aurat, jilbab dan se-putar kenegaraan yakni Khilafah Islamiyah termasuk aturan interaksi antara umat Islam, ahlul har-biyah, ahludz dzimmah dan Khalifah (syariah kharaj, jizyah, fai-iy). Inilah yang mereka maksud-kan dengan ungkapan tidak humanis, eksklusif, tidak mengindonesia, tidak membumi dan sebagai-nya. Jadi memang mereka tidak “berani terang-terangan” menyatakan menolak jihad melainkan mereka merubah realitas orisinalnya menjadi “bukan perang, tapi kesungguhan”. Mereka tidak me-nolak uqubat Islami, tapi mereka pastikan bahwa sanksi penjara juga sudah cukup karena maksud dari uqubat adalah memberikan efek jera. Mereka pun pastikan bahwa jilbab adalah “lebih kental nuansa Arabnya” ketimbang Islamnya, sehingga yang penting bukan jilbab tapi bagaimana caranya supaya aurat wanita itu tidak merangsang hasrat pria. Mereka sangat marah saat mendapati kenya-taan sikap Islam terhadap kaum kufar (yang disebut rekan-rekan oleh Syafii Maarif : Jika anak-anak muda ini muncul dengan gagasan orisinal yang asli dan otentik dalam bingkai iman dan di-benarkan ilmu pengetahuan, saya rasa ada harapan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan akan bersenyawa dalam satu napas yang kemudian akan muncul sebagai pelindung dan mengayomi, bu-kan saja umat Islam, tetapi juga rekan-rekan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan me-reka yang ateis sekali pun) yakni mengelompokkan mereka dalam dua kubu besar اَهْلُ الْحَربِيَّةِ (kaum kufar yang wajib diperangi) dan اَهْلُ الذِّمَّةِ (kaum kufar yang haram diperangi karena bersedia mem-bayar jizyah sebagai bukti ketundukkan mereka kepada Khilafah Islamiyah). Mereka sangat marah terhadap realitas seperti itu dengan menyatakan bahwa syariah tersebut tidak berpihak kepada ke-manusiaan alias tidak humanis, sehingga harus ditolak atau harus diredefinisikan. Khilafah Islami-yah pun mereka gugat lalu menolaknya dengan berbagai argumen seperti : Khilafah Islamiyah bu-kan sunnah Nabi tapi hanya kesepakatan para sahabat atau Khilafah Islamiyah itu tidak ada da-lilnya dalam Al-Quran sehingga harus ditolak atau yang penting adalah negara dan pemerintahan yang Islami bukan harus berbentuk negara Islam alias Khilafah Islamiyah atau lainnya yang seru-pa. Seluruh argumen tersebut diatasnamakan kepada keindonesiaan dan kemanusiaan, yakni mere-ka propagandakan bahwa Khilafah Islamiyah itu tidak meng-Indonesia dan tidak berpihak kepada kemanusiaan.
Oleh karena itu, gagasan KH Hasyim Muzadi (Mengontekskan ilmu itu dalam konteks ilmu kon-temporer. Misalnya, antara zikir dan psikologi, antara zakat dan ilmu ekonomi, antara imarah dan il-mu pemerintahan. Jika berhasil disambungkan, kemukjizatan Alquran tak hanya akan menjadi sesuatu keyakinan, namun bisa dibuktikan secara keilmuan maupun praktik kehidupannya) maupun Prof. Ah-mad Syafii Maarif (Jika anak-anak muda ini muncul dengan gagasan orisinal yang asli dan otentik da-lam bingkai iman dan dibenarkan ilmu pengetahuan, saya rasa ada harapan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan akan bersenyawa dalam satu napas yang kemudian akan muncul sebagai pelindung dan mengayomi, bukan saja umat Islam, tetapi juga rekan-rekan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghu-cu dan mereka yang ateis sekali pun) sepenuhnya adalah ditujukan dan diarahkan kepada upaya untuk merumuskan sistema yang sistemik guna melucuti realitas Islam yang terlalu : (a) kearaban atau keti-mur tengahan yang identik dengan perangai keras serta kekerasan alias anti perdamaian, (b) bersikap kasar, sadis, brutal terhadap agama lain berikut para penganutnya dan (c) keras penentangannya terha-dap budaya-budaya lokal Jawa atau nusantara. Upaya pelucutan tersebut sangat tergambar jelas dan pasti dalam bagian ucapan :
1.       Penyajian agama yang diajarkan pada Kuliyatul Quran maupun pesantren mahasiswa adalah Is-lam yang utuh. Sehingga, para santri tak akan terjebak pada ekstremitas dan liberalitas. Para san-tri juga akan dibekali dengan civic education, sehingga kelak menjadi ulama dan cendekiawan yang Qurani dalam wawasan kebangsaan Indonesia (KH Hasyim Muzadi)
2.       Klaim besar Islam dalam sejarah belum terwujud mendekati maksimal dalam lintas peradaban ma-nusia. Masih ada harapan untuk kita buktikan pada sejarah, Islam itu rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) (Prof. Ahmad Syafii Maarif)
Rencana dan gagasan sistemik tersebut tentu saja sangat disambut dengan baik dan diapresiasi sangat tinggi oleh kaum nasionalis maupun tokoh non muslim semisal Dosen Filsafat dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Haryatmoko SJ yang memberikan penilaian bahwa : Syafii mendambakan Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberikan pemecahan terhadap masalah besar bangsa, memberikan keadilan, kenyamanan dan perlindungan ke-pada semua orang. Islam yang terus berjuang melawan kemiskinan.
Wal hasil, ledakan bom paling “anyar” di Jakarta (Jum’at, 17 Juli 2009) sangat mungkin (secara peta konstelatif dan konspiratif) adalah aksi test case terhadap upaya sistemik pelucutan realitas Islam radikal, kasar, brutal, sadis dan tidak humanis yang selama ini telah dilakukan. Lalu, jika menilik re-aksi sebagian besar umat Islam di Indonesia yang menolak dan mengutuk aksi teror bom tersebut di-tambah adanya gelombang propaganda yang semakin kuat dan massif dari “barisan tokoh lintas agama pro perdamaian anti kekerasan”, maka nampak sekali bahwa upaya pelucutan jatidiri Islam telah ba-nyak mengalami kemajuan dan keberhasilan. Realitas ini tidaklah mengejutkan sebab Allah SWT telah sejak lama memberikan informasi berkenaan dengan fakta tersebut :
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا (البقرة : 217)
Dan mereka (kaum kufar) akan selalu memerangi kalian (umat Islam) hingga mereka berhasil membu-at kalian meninggalkan agama kalian sekuat kemampuan yang mereka dapat lakukan

Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan
Kemanusiaan atau humanity atau اَلإِنْسَانِيَّةُ adalah :
اَلنَّظْرَةُ اِلَى الإِنْسَانِ كَمَا هُوَ وَمِنْ حَيْثُ هُوَ اِنْسَانٌ يَكُوْنُ فِيْهِ الْعَقْلُ وَالْغَرَائِزُ وَالْحَاجَاتُ الْعُضَوِيَّةُ
Pandangan terhadap manusia apa adanya dan dari sisi dia sebagai manusia yang dalam dirinya ada aqal, naluri serta kebutuhan pokok
Inilah hakikat yang melekat pada manusia sejak manusia pertama (Adam) hingga yang paling akhir se-saat menjelang terjadinya اَلسَّاعَةُ. Sifat fakta manusia (وَصْفُ وَاقِعِ الإِتْسَانِ) tersebut dapat dibuktikan de-ngan dalil aqliy maupun dalil naqliy, yakni :
1.       semua manusia saat dilahirkan pasti menangis yang secara pasti menunjukkan adanya respon nalu-riah terhadap perubahan lingkungan hidupnya yang terjadi secara radikal dan mendasar yakni dari lingkungan rahim yang serba nyaman (bantalan empuk, suhu ideal, kelembaban ideal, makanan siap serap) ke dalam lingkungan bumi yang bertolak belakang dengan lingkungan rahim tersebut. Seiring dengan waktu, kebutuhan pokoknya (makan dan minum) mendorong dia untuk meminta pemenuhan yakni juga dengan cara menangis saat lapar maupun haus. Pada saat yang bersamaan, naluriahnya pun berfungsi lebih lanjut yakni akan selalu dan pasti merespon segala sesuatu yang mengancam atau bahkan menimpa dirinya : sakit, panas, dingin, sehat, nyaman dan seterusnya. Ke-mudian pada usia yang terkategori dewasa secara seksual (بَالِغًا), maka tubuhnya menunjukkan res-pon terhadap lawan jenis (langsung maupun tidak). Lalu fakta adanya sikap animisme dan dinamis-me maupun paganisme memastikan bahwa naluri mencari Tuhan alias naluri beragama (غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ) memang ada dalam diri manusia. Inilah seluruh realitas manusiawi yang terindera dan tersaksikan sehingga aqal manusia dapat memutuskan ketetapannya (حُكْمُهُ) terhadap realitas tersebut (dalil aq-liy alias دَلِيْلٌ عَقْلِيٌّ).
2.       dalil naqliy menyatakan :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (النحل : 78)
Allah SWT memastikan bahwa ketika dilahirkan semua manusia sama saja yakni tidak membawa serta informasi (pengetahuan alias knowledge alias اَلْمَعْرِفَةُ) apa pun dari rahim ibunya : لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا. Hal ini berarti apa pun atau reaksi apa pun atau respon apa pun yang ditampakkan atau ditunjuk-kan oleh manusia saat itu, seluruhnya bukan disebabkan oleh adanya informasi yang sampai kepada otaknya melalui indera, melainkan semata dorongan naluriah dan kebutuhan pokoknya. Hal itu ka-rena, walau telinga dan mata terbawa serta dari rahim namun fungsinya yakni mendengar (السَّمْعَ) dan melihat (الْأَبْصَارَ) sama sekali belum terwujud. Sehingga realitas ini pun semakin menjadi bukti aqliy berdasarkan informasi naqliy bahwa seluruh gerak gerik manusia saat baru dilahirkan dan se-belum sampai pada usia عَاقِلاً بَالِغًا, adalah sepenuhnya dikendalikan oleh naluri dan kebutuhan po-koknya yang juga ada serta terjadi secara identik pada hewan. Informasi naqliy lainnya yang me-nunjukkan hal yang sama adalah :
وَقُلْنَا يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (البقرة : 35)
Bagian ayat يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ menunjukkan bahwa karena Adam (juga istrinya) tidak dila-hirkan melainkan diciptakan dari tanah dan langsung menjelma sebagai sosok manusia عَاقِلاً بَالِغًا, maka tentu saja mereka berdua membutuhkan makanan, minuman dan tempat tinggal. Oleh karena itulah Allah SWT menyatakan : يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا (wahai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di الْجَنَّةَ dan makanlah oleh kalian berdua makanan apa pun yang kali-an sukai). Lalu karena mereka berdua telah pada kondisi عَاقِلَيْنِ maka Allah SWT menetapkan peraturan sederhana berupa larangan tertentu : وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ disertai informasi tentang akibat yang akan mereka terima jika melanggar larangan tersebut. Seluruh realitas tentang Adam dan is-trinya yang ditunjukkan oleh ayat tersebut memastikan bahwa hal itu diberlakukan oleh Allah SWT terhadap mereka (perintah dan larangan) karena keduanya bukan bayi yang dilahirkan dalam keadaan لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا, melainkan sosok manusia عَاقِلَيْنِ yang aqalnya telah dapat memahami perintah dan larangan alias peraturan yang mengatur perbuatan mereka (melakukan atau meninggalkan se-suatu). Artinya, jika Adam dan istrinya ditaqdirkan dalam keadaan yang sama dengan manusia be-rikutnya yakni dilahirkan maka tentu saja tidak akan pernah diberlakukan terhadap mereka adanya peraturan tersebut.
Inilah manusia berikut kemanusiaannya yang tidak terbatasi oleh etnis maupun bangsa, yakni se-mua manusia di dunia dengan ragam etnis dan kebangsaannya adalah sama saja dalam dirinya ada aqal, naluri dan kebutuhan pokok. Jika pun ada manusia yang menyimpang dari realitas orisinal ter-sebut, maka itu hanya terjadi pada aspek aqal yakni memang faktanya ada sejumlah manusia yang ditaqdirkan tidak memiliki aqal. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan peraturan termasuk Is-lam sebagai yang terakhir adalah untuk manusia supaya digunakan oleh mereka dalam mengelola perjalanan kehidupannya selama di dunia. Allah SWT menyatakan :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة : 21)
Wahai manusia, taatlah kalian kepada Rab kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, dengan demikian kalian akan taqwa
Keindonesiaan adalah istilah yang menunjukkan realitas bangsa Indonesia yang mencakup pola kehidupan maupun bentuk interaksi mereka, baik sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indo-nesia (NKRI) maupun sesudahnya. Artinya, keberadaan NKRI tidaklah penting sebab merupakan fak-tor atau entitas berikutnya dari keindonesiaan dan yang penting serta mendasar adalah pola kehidupan dan bentuk interaksi yang terjadi di antara manusia anggota “bangsa Indonesia”. Pola kehidupan bang-sa Indonesia terbentuk dari adanya kepentingan bersama selaku sesama bangsa yang intinya adalah ke-sepakatan informal di antara sesama anggota bangsa Indonesia untuk saling menjaga, membela dan mempertahankan diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Ikrar pada peristiwa 20 Mei 1908 atau pada sa-at Sumpah Pemuda tahun 1928, keduanya hanya sebagai penegasan terhadap kepentingan bersama se-laku bangsa Indonesia. Adapun bentuk interaksi yang berlangsung di antara sesama anggota bangsa In-donesia terbentuk secara otomatis dan alami ketika setiap orang dari mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan pokok maupun tuntutan naluriahnya.
Faktanya, pola kehidupan suatu bangsa dan bentuk interaksi di antara manusia anggota bangsa tersebut adalah berlaku dan berlangsung sama saja pada bangsa-bangsa lainnya yang berbeda di selu-ruh dunia. Artinya, pola kehidupan bangsa Indonesia dan bentuk interaksi di antara anggotanya adalah sama persis dengan yang berlangsung pada bangsa Amerika, Eropa, China, Hindustan, Afrika, Arab, Latin, Yunani, Jepang, dan seterusnya. Hal itu karena semua bangsa (termasuk sub bangsa yang dike-nal sebagai suku bangsa) adalah terbentuk dari unsur individual yang sama yakni manusia yang dalam dirinya ada aqal, naluri serta kebutuhan pokok. Jadi, sebagai contoh tidak ada perbedaan yang menda-sar antara bangsa Arab di Jazirah Arabia dengan bangsa Indonesia (Melanesia) di Asia Tenggara dan jika pun ada perbedaan maka itu hanya perbedaan bentuk tubuh (rambut, warna kulit, tinggi badan, postur tubuh, bentuk hidung, bentuk mata dan lainnya) dan kebiasaan aksi-aksi cabang kehidupan se-perti cara makan, jenis makanan, cara penyiapan dan penyajian makanan, cara berpakaian dan seterus-nya. Di luar itu semua, seluruh bangsa yang ada di dunia adalah sama saja yakni sama-sama manusia yang memiliki aqal, naluri dan kebutuhan pokok. Inilah yang dimaksudkan oleh pernyataan Allah SWT maupun Rasulullah saw :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ (الحجرات :13)
وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (الروم : 22)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى (رواه أحمد)
Karena seluruh manusia yang telah, tengah dan akan ada di dunia berasal dari satu orang manusia pria (Adam) dan satu orang manusia wanita (istri Adam) : إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى dan وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ, sehingga walau berikutnya terbentuk diferensiasi antar manusia yakni manusia berada dalam keragaman bangsa, suku, bahasa dan warna kulit : وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ atau وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ namun yang pasti kera-gaman tersebut tidak akan pernah merubah manusia menjadi berbeda secara mendasar dengan manusia pendahulunya. Oleh karena itulah Allah SWT tidak menjadikan realitas keragaman manusia tersebut sebagai permasalahan yang harus diselesaikan dengan peraturan, sebab hakikatnya tidak seharusnya ja-di persoalan antar manusia dalam kehidupan mereka bahkan sebaliknya justru akan mendorong mereka untuk berinteraksi satu sama lain saat berupaya memenuhi kebutuhan masing-masing individu terlepas dari aspek keragaman tersebut : لِتَعَارَفُوا. Persoalan yang pasti muncul adalah ketika mereka berinteraksi satu sama lain dan realitas itu memerlukan peraturan yang bukan berasal dari entitas internal manusia-wi (aqal, naluri, kebutuhan pokok), sebab jika dipaksakan peraturan itu dari manusia sendiri maka pasti akan terjadi konflik kepentingan (conflict of interest) yang akan mendominasi produk peraturan terse-but. Konflik kepentingan tidak mungkin dapat dihindari sebab setiap manusia memiliki kemampuan aqal yang berbeda (akibat kekuatan penginderaan dan akses terhadap informasi yang berbeda), begitu juga dorongan naluriah dan upaya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya adalah berbeda. Inilah perka-ra yang diniscayakan oleh aqal manusia sendiri (مَا يُحَتِّمُهُ عَقْلُ الإِنْسَانِ نَفْسُهُ) bahwa peraturan itu harus berasal dari Allah SWT. Sehingga terjadilah kepuasan aqal saat sampai kepadanya informasi langit dari pernyataan Allah SWT : إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ dan dari Rasulullah saw :
أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى
Wal hasil, Islam diturunkan untuk mengatur interaksi manusia dengan Allah SWT, diri mereka sendiri dan dengan sesama manusia selama hidup di dunia. Aqal manusia sama sekali tidak dipaksa untuk menerima realitas Islam begitu saja (dogmatis maupun doktrin), melainkan justru aqal sendirilah yang memutuskan bahwa Islam adalah jawaban bagi yang dituntut atau diniscayakan oleh aqal. Lalu karena aqal terpuaskan secara pasti oleh Islam yang secara otomatis menjadikan perasaan manusia te-nang tenteram (terpenuhi tuntutan naluri beragamanya), maka dapat dipastikan ucapan, sikap maupun perbuatan mereka akan sepenuhnya menyesuaikan diri dengan Islam dan hanya memberlakukan yang ditetapkan oleh Islam. Artinya pernyataan Allah SWT dalam Al-Quran berikut ini adalah informasi tentang sebuah hakikat bukan khayalan :
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (النور : 51)
Hanya sesungguhnya ucapan kaum mukmin itu ketika mereka diseru kepada Allah dan Rasul Nya un-tuk memberlakukan hukum (Islam) di antara mereka, pastilah mereka akan berucap : kami mendengar dan kami mentaati. Dan itulah orang-orang yang berhasil gemilang.

Integrated science vs co-science dan aspek mukjizat Al-Quran
KH Hasyim Muzadi menyatakan yang dimaksud dengan istilah integrated science adalah cara pandang yang memandang ilmu umum merupakan bagian dari agama, begitu juga sebaliknya. Sehing-ga seorang cendekiawan yang integrated sciences, adalah yang memandang ilmu umum merupakan ba-gian dari agama, begitu juga sebaliknya. Istilah sebaliknya adalah co-science yakni cara pandang yang memisahkan ilmu umum dari agama dan sebaliknya. Lalu, apakah benar ilmu itu ada dua macam yakni ilmu umum dan ilmu agama? Apakah itu ilmu, pengetahuan dan kebudayaan?
Fakta kehidupan manusia menunjukkan bahwa ada dua istilah yang telah lazim digunakan oleh mereka yakni :
1.       ilmu atau اَلْعِلْمُ atau science yakni :
اَلْمَعْرِفَةُ الَّتِيْ تُؤْخَذُ عَنْ طَرِيْقِ الْمُلاَحَظَةِ وَالتَّجَرُّبَةِ وَالإِسْتِنْتَاجِ مِثْلُ عِلْمِ الطَّبِيْعَةِ وَعِلْمِ الْكِيْمِيَاءِ وَسَائِرِ الْعُلُوْمِ التَّجْرِيْبِيَّةِ
Pengetahuan yang diperoleh melalui metode pengamatan, eksperimen dan pengujian, seperti ilmu tentang alam, ilmu kimia dan seluruh ilmu eksperimental
2.       kebudayaan atau اَلثَّقَافَةُ atau culture yakni :
اَلْمَعْرِفَةُ الَّتِيْ تُؤْخَذُ عَنْ طَرِيْقِ الإِخْبَارِ وَالتَّلَقِّيِّ وَالإِسْتِنْبَاطِ مِثْلُ التَّارِيْخِ وَاللُّغَةِ وَالْفِقْهِ وَالْفَلْسَفَةِ وَسَائِرِ الْمَعَارِفِ غَيْرِ التَّجْرِيْبِيَّةِ
Pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitaan, perjumpaan dan penggalian, seperti se-jarah, bahasa, fiqih, filsafat dan seluruh pengetahuan yang bukan eksperimental
Menurut Ibnu Khaldun dalam Kitabnya اَلْمُقَدِّمَةُ :
اَلْعُلُوْمُ صِنْفَانِ صِنْفٌ طَبِيْعِيٌّ لِلإِنْسَانِ اَنْ يَّهْتَدِيَ اِلَيْهِ بِفِكْرِهِ وَصِنْفٌ نَقْلِيٌّ يَأْخُذُهُ عَمَّنْ وَضَعَهُ
Ilmu itu ada dua kelompok, yakni kelompok alami yang dapat diraih oleh manusia dengan pemikiran-nya dan kelompok naqliy yang dapat diperoleh manusia dari seseorang/pihak yang membuatnya
Sehingga yang dimaksudkan oleh Ibnu Khaldun dengan صِنْفٌ طَبِيْعِيٌّ adalah ilmu atau اَلْعِلْمُ atau science, sedangkan صِنْفٌ نَقْلِيٌّ adalah kebudayaan atau اَلثَّقَافَةُ atau culture. Dengan demikian realitas pengetahuan atau knowledge atau اَلْمَعْرِفَةُ adalah :
يَجْمَعُ فِيْهَا بَيْنَ الْعِلْمِ وَالثَّقَافَةِ لِذَلِكَ تَكُوْنُ مَعْرِفَةً عِلْمِيَّةً وَمَعْرِفَةً ثَقَافِيَّةً حَسَبَ الطَّرِيْقَةِ الَّتِيْ تُؤْخَذُ عَنْهَا تِلْكَ الْمَعْرِفَةُ
Berkumpul di dalamnya antara ilmu dan kebudayaan, sehingga ada pengetahuan tentang ilmu dan ada pengetahuan tentang kebudayaan sesuai dengan metode yang digunakan untuk diperolehnya pengeta-huan tersebut
Itulah realitas ilmu, kebudayaan dan pengetahuan yang faktanya dapat diindera oleh manusia, sehingga hakikat tersebut berlaku secara umum (bukan bagi pihak atau orang tertentu) dan normalnya tidak akan terjadi perbedaan dalam penetapannya. Jadi yang diklaim oleh Ketua PBNU sebagai ilmu umum adalah ilmu atau اَلْعِلْمُ atau science, sedangkan yang dimaksudkan dengan ilmu agama adalah kebudayaan atau اَلثَّقَافَةُ atau culture. Inilah salah satu contoh fakta dari ketidak mampuan seseorang dalam membedakan antara ilmu atau اَلْعِلْمُ atau science dengan kebudayaan atau اَلثَّقَافَةُ atau culture. Padahal realitas dan haki-at untuk masing-masing sangat terpampang jelas di hadapan indera setiap orang termasuk KH Hasyim Muzadi.
Lalu, adakah realitas dari ungkapan integrated science atau co-science seperti yang disodorkan oleh Hasyim Muzadi? Adalah mungkin saja dalam diri seseorang berkumpul kedua jenis pengetahuan tersebut yakni baik tentang ilmu maupun tentang kebudayaan. Namun demikian adalah tidak mungkin menyatukan atau mengasimilasikan atau menjadikan yang satu sebagai sub lainnya atau “mengon-tekskan” keduanya (seperti yang digagas oleh Ketua PBNU), sebab realitas masing-masing dari kedua pengetahuan tersebut adalah berbeda bahkan sangat mungkin bertentangan baik secara bagian per bagi-an maupun secara keseluruhannya. Jadi rencana KH Hasyim Muzadi untuk Mengontekskan ilmu itu da-lam konteks ilmu kontemporer. Misalnya, antara zikir dan psikologi, antara zakat dan ilmu ekonomi, antara imarah dan ilmu pemerintahan. Jika berhasil disambungkan, kemukjizatan Alquran tak hanya akan menjadi sesuatu keyakinan, namun bisa dibuktikan secara keilmuan maupun praktik kehidupan-nya, adalah selain telah menyalahi realitas dari masing-masing pengetahuan (ilmu dan kebudayaan) ju-ga dapat saja dituding sebagai memiliki rencana terselubung alias hidden agenda yakni agenda untuk melucuti orisinalitas dan otentisitas kebudayaan Islami (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) dengan cara mengkisruhkannya dengan sejumlah kebudayaan dan atau ilmu dari luar Islam yang secara mendasar bertentangan dengan اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ tersebut. Tudingan ini sangat beralasan mengingat sang kiyai begitu beraninya menyam-paikan rencana untuk mengontekskan ilmu itu dalam konteks ilmu kontemporer, misalnya antara zikir dan psikologi, antara zakat dan ilmu ekonomi, antara imarah dan ilmu pemerintahan. Bahkan dia ber-obsesi jika rencananya tersebut berhasil (Jika berhasil disambungkan) maka dia menyakini bahwa ke-mukjizatan Alquran tak hanya akan menjadi sesuatu keyakinan, namun bisa dibuktikan secara keilmu-an maupun praktik kehidupannya. Lalu, bagaimana realitas إِعْجَازُ الْقُرْآنِ, apakah bagian dari aqidah atau-kah sifat yang melekat pada Al-Quran itu sendiri?
Al-Quran adalah salah satu mukjizat yang dimiliki Nabi Muhammad saw (I مُعْجِزَةٌ لِلنَّبِيِّ مُحَمَّدٍ) yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan mukjizat beliau lainnya yakni hanya Al-Quran yang digunakan oleh Rasulullah saw untuk melakukan aktivitas penantangan (اَلتَّحَدِّيُ) terhadap kaum kufar yang bersikap menolak Al-Quran. Aktivitas penantangan dengan hanya menggunakan Al-Quran terse-but telah secara pasti menjadikan bangsa Arab benar-benar tidak berdaya untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran. Inilah yang digambarkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة : 23)
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (يونس : 38)
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (هود : 13)
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا (الإسراء : 88)
Oleh karena itulah, Al-Quran adalah mukjizat Nabi Muhammad saw yang memastikan risalah beliau (Islam) sejak Al-Quran diturunkan kepadanya hingga saat tibanya اَلسَّاعَةُ. Mukjizat Al-Quran yang men-jadikan kaum kufar Arab tidak berdaya tersebut adalah dalil aqliy yang memastikan jawaban bantahan kepada mereka yang selama ini menuding bahwa Al-Quran bukan diturunkan oleh Allah SWT melain-kan hanya buatan tangan Muhammad sendiri. Realitas inilah yang ditunjukkan oleh pernyataan Walid bin Mughirah (Raja ahli sya’ir bangsa Arab) :
وَاللهِ مَا مِنْكُمْ رَجُلٌ اَعْرَفُ بِالأَشْعَارِ مِنِّيْ وَلاَ اَعْلَمُ بِرَجَزِهِ وَقَصِيْدِهِ مِنِّيْ وَاللهِ مَا يُشَبِّهُ الَّذِيْ يَقُوْلُهُ شَيْئًا مِنْ هَذَا وَاللهِ اِنَّ لِقَوْلِهِ الَّذِيْ يَقُوْلُهُ لَحَلاَوَةً وَاِنَّ عَلَيْهِ لَطَلاَوَةً وَاِنَّهُ لَمَوْرُقٌ اَعْلاَهُ مُغْدَفٌ اَسْفَلَهُ وَاِنَّهُ لَيَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى عَلَيْهِ
Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian yang lebih mengenal tentang sya’ir daripada aku dan tidak ada seorang pun yang lebih tahu tentang sya’irnya dan sajaknya daripada aku. Demi Allah tidak ada sesuatu pun yang menyerupai yang dia (Muhammad) ucapkan daripada ini (Al-Quran). De-mi Allah sungguh perkataan yang dia ucapkan itu memiliki keindahan dan padanya melekat kagungan dan sungguh itu (Al-Quran) adalah tulisan di atasnya, permata di bawahnya dan sungguh itu (Al-Qur-an) adalah tinggi dan tidak ada yang dapat menyamainya
Harus diingat bahwa sikap penantangan dari Al-Quran tersebut tidak khusus ditujukan kepada bangsa Arab yang hidup pada masa Nabi Muhammad saw atau hanya kepada bangsa Arab yang hidup di mana pun dan kapan pun, melainkan ditujukan kepada seluruh manusia hingga tibanya اَلسَّاعَةُ. Artinya Al-Quran itu adalah :
مُعْجِزٌ لِلنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ لاَ فَرْقَ فِيْ ذَلِكَ بَيْنَ قَبِيْلٍ وَقَبِيْلٍ لأَنَّ الْخِطَابَ بِهِ لِلنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ
Bersifat melemahkan (mukjizat) terhadap seluruh manusia, tidak ada perbedaan dalam hal itu di anta-ra qabilah-qabilah yang ada karena seruannya kepada seluruh manusia.
Realitas tersebut ditunjukkan oleh ungkapan tantangan itu sendiri yakni وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ atau وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ atau وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا, sehingga berlaku kaidah :
اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Penetapan pemahaman itu (اَلْعِبْرَةُ) berdasarkan keumuman lafadz bukan berdasarkan khususnya sebab
Jadi secara makro (جُمْلَةً) :
تَكُوْنُ مُعْجِزَةُ الْقُرْآنِ بُرْهَانًا قَاطِعًا اَنَّ الْقُرْآنَ مُنَزَّلٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ تَعَالَى وَلَيْسَ مِنْ نَفْسِ مُحَمَّدٍ وَلاَ مِنْ غَيْرِهِ مِنَ الْبَشَرِ
Mukjizat Al-Quran itu adalah bukti yang pasti bahwa Al-Quran diturunkan dari sisi Allah SWT dan bukan berasal dari diri Muhammad serta bukan pula dari manusia lain selain beliau
Sehingga mukjizat Al-Quran itu terindera oleh indera manusia (مَحْسُوْسٌ بِحِسِّ الإِنْسَانِ) dan menjadi dalil aqliy (دَلِيْلاً عَقْلِيًّا) bagi keputusan manusia untuk mengimani Al-Quran sebagai كَلاَمُ اللهِ, dengan kata lain iman kepada Al-Quran (اَلإِيْمَانُ بِالْقُرْآنِ) dalilnya adalah dalil aqliy yakni mukjizat Al-Quran itu sendiri. Mukjizat Al-Quran secara rincian (تَفْصِيْلاً) sangat nampak dalam hal :
1.       فُصْحَتُهُ وَبَلاَغَتُهُ وَارْتِفَاعُهُ اِلَى دَرَجَةٍ مُدْهَشَةٍ  (fushhahnya, balaghahnya dan ketinggiannya hingga derajat tertinggi) dan itu muncul dari اُسْلُوْبُ الْقُرْآنِ الْمُعْجِزِ (uslub Al-Quran yang mukjiz) yang di dalamnya ada kegamblangan (اَلْوُضُوْحُ), kekuatan (اَلْقُوَّةُ) dan keindahan (اَلْجَمَالُ) yang seluruhnya mampu men-jadikan manusia tidak berdaya untuk dapat menyamainya. Realitas itu ditunjukkan antara lain oleh ayat :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ ثَانِيَ عِطْفِهِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ (الحج : 8-9)
هَذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ يُصْهَرُ بِهِ مَا فِي بُطُونِهِمْ وَالْجُلُودُ وَلَهُمْ مَقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍ كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا مِنْ غَمٍّ أُعِيدُوا فِيهَا وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ (الحج : 19-22)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ (الحج : 73)
2.       realitas Al-Quran adalah :
طِرَازٌ خَاصٌّ مِنَ التَّعْبِيْرِ وَنُظُمُهُ لَيْسَ عَلَى مِنْهَاجِ الشَّعْرِ الْمَوْزُوْنِ الْمُقَفِّى وَلاَ هُوَ عَلَى مِنْهَاجِ النَّثْرِ الْمُرْسَلِ وَلاَ هُوَ مِنْهَاجُ النَّثْرِ الْمَزْدُوْجِ اَوِ النَّثْرِ الْمَسْجُوْعِ وَاِنَّمَا هُوَ مِنْهَاجٌ قَائِمٌ بِذَاتِهِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَرَبِ عَهْدٌ بِهِ وَلاَ مَعْرِفَةٌ مِنْ قَبْلُ
Pola pengungkapan yang khusus dan tatanannya bukan dalam bentuk sya’ir tertimbang tertumpu-kan, bukan pula dalam bentuk natsar mursal, bukan pula dalam bentuk natsar mazduj atau pun na-tsar masju’, melainkan dia (Al-Quran) adalah bentuk yang berdiri sendiri yang belum pernah dika-ji dan dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya
Oleh karena itulah, bangsa Arab menganggap pola Al-Quran tersebut sebagai ucapan ahli sya’ir bahkan mereka menuding sebagai ucapan dukun. Hal itu akibat mereka tidak berdaya menangkal keterpengaruhan oleh Al-Quran sehingga mereka menganggapnya terkena mantera sihir. Allah SWT menggambarkan keadaan mereka :
أَكَانَ لِلنَّاسِ عَجَبًا أَنْ أَوْحَيْنَا إِلَى رَجُلٍ مِنْهُمْ أَنْ أَنْذِرِ النَّاسَ وَبَشِّرِ الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ قَالَ الْكَافِرُونَ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ مُبِينٌ (يونس : 2)
Apakah manusia merasa heran dengan adanya Kami mewahyukan kepada seseorang dari mereka untuk supaya dia memberikan peringatan kepada manusia dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang beriman bahwa bagi mereka ada tempat kembali yang kokoh di sisi Rab mereka. Ka-um kufar berkata : sungguh ini adalah tukang sihir yang sebenarnya
3.       realitas Al-Quran adalah : طِرَازٌ خَاصٌّ وَنَسِيْجٌ مُنْفَرِدٌ وَاضِحٌ فِيْهِ كُلَّ الْوُضُوْحِ (pola khusus dan susunan ter-sendiri yang di dalamnya ada kejelasan yang sangat jelas) yang lebih merupakan natsar daripada sya’ir. Misalnya pernyataan Allah SWT :
وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ (التوبة : 14)
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ (آل عمران : 92)
Jika kedua ayat itu disusun secara aturan sya’ir maka bentuknya adalah :
وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ                  وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ
لَنْ   تَنَـالُوا   الْبِرَّ   حَتَّى          تُنْـفِقـُوا  مِمَّـا  تُحِبُّونَ
Namun demikian keduanya bukanlah sebuah sya’ir melainkan satu jenis dari natsar yang unik.
4.       Al-Quran selalu menjaga saat penempatan huruf satu sama lainnya yakni suara-suara yang muncul dari huruf-huruf tersebut saat keluar dari tempat keluarnya (عِنْدَ خُرُوْجِهَا مِنْ مَخَارِجِهَا). Lalu menjadikan huruf-huruf yang berdekatan secara makhraj ditempatkan secara berdekatan pula dalam sebuah ka-ta (فِيْ الْكَلِمَةِ) dan jika makhraj huruf-huruf itu berjauhan maka ditempatkan pemisah dengan satu huruf yang memudahkan untuk melakukan perpindahan.
Demikianlah realitas إِعْجَازُ الْقُرْآنِ dan seluruhnya memastikan bahwa إِعْجَازُ الْقُرْآنِ itu adalah bukan bagian dari perkara aqidah melainkan justru hakikat yang terindera oleh indera manusia dan selanjut-nya berposisi sebagai dalil aqliy untuk membuktikan bahwa Al-Quran adalah كَلاَمُ اللهِ قَطْعًا. Wal hasil, ucapan KH Hasyim Muzadi yakni : Jika berhasil disambungkan, kemukjizatan Alquran tak hanya akan menjadi sesuatu keyakinan, namun bisa dibuktikan secara keilmuan maupun praktik kehidupannya, adalah selain sebentuk agenda terselubung untuk melucuti orisinalitas dan otentisitas kebudayaan Isla-mi (اَلثَّقَافَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ) melainkan juga telah menyalahi realitas dari kemukjizatan Al-Quran itu sendiri.

Islam : bagaimana memposisikan agama lain berikut penganutnya?
Mendiang Jenderal (Purn) Rudini saat menjadi Menteri Dalam Negeri melontarkan komentar si-nis terhadap isyu Negara Islam yang ketika itu semakin mengemuka di masyarakat : jika Indonesia di-jadikan Negara Islam, lalu mau dikemanakan orang-orang Hindu di Pulau Bali? Suara yang sama sekarang kembali diteriakkan kepada khalayak walau dengan artikulasi gagasan yang sedikit berbeda :
Jika anak-anak muda ini muncul dengan gagasan orisinal yang asli dan otentik dalam bingkai iman dan dibenarkan ilmu pengetahuan, saya rasa ada harapan Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan akan bersenyawa dalam satu napas yang kemudian akan muncul sebagai pelindung dan mengayomi, bukan saja umat Islam, tetapi juga rekan-rekan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan mere-ka yang ateis sekali pun (Prof. Ahmad Syafii Maarif).
Perbedaannya adalah jika mendiang Rudini secara terus terang menafikan bahkan menolak kei-nginan mendirikan Negara Islam di Indonesia, maka Syafii Maarif tengah berusaha keras untuk men-senyawakan Islam dengan entitas keindonesiaan dan kemanusiaan. Namun maksud dari keduanya sa-ma saja yakni menempatkan gagasan atau keinginan mewujudkan Negara Islam di Indonesia sebagai mustahil dan bertentangan dengan realitas pluralitas keindonesiaan maupun hakikat kemanusiaan. Ha-nya saja Syafii Maarif tidak berhenti pada titik “memustahilkan dan menolak” ide tersebut tapi dia me-lanjutkan langkahnya ke arah perancangan konsep pensenyawaan Islam, keindonesiaan dan kemanusia-an dengan sebuah tujuan agar Islam menjelma sebagai pelindung dan mengayomi, bukan saja umat Is-lam, tetapi juga rekan-rekan Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu dan mereka yang ateis sekali pun. Sebenarnya, KH Hasyim Muzadi pun memiliki pemikiran yang identik dengan kedua orang tersebut walau dia lontarkan dengan amat sangat manipulatif : Para santri juga akan dibekali dengan civic education, sehingga kelak menjadi ulama dan cendekiawan yang Qurani dalam wawasan ke-bangsaan Indonesia. Artinya, Ketua PBNU itu tengah merancang kurikulum pesantren yang akan dike-lolanya untuk menggiring umat Islam supaya tidak lagi mempersoalkan eksistensi kebangsaan dan ne-gara kebangsaan yang ada di Indonesia.
Lalu, bagaimana aturan Islam dalam memposisikan agama lain berikut kaum kufar para penga-nutnya? Sebenarnya, umat Islam tidak perlu repot bersusah payah merancang konsep yang akan diber-lakukan dalam realitas interaksi antara Islam dengan agama lain berikut antara umat Islam dengan para penganut agama lain alias kaum kufar. Aturan main untuk interaksi tersebut telah tersedia lengkap dan komprehensif dalam syariah Islamiyah bahkan telah diimplementasikan dalam arena kehidupan manu-sia sejak Nabi Muhammad saw hijrah ke Negeri Madinah lalu menjadi Kepala Negara Pertama (secara formal tercantum dalam Piagam Madinah), hingga awal abad ke-20 (3 Maret 1924 M). Namun, seiring dengan diruntuhkannya Khilafah Islamiyah lalu umat Islam hingga kini belum pernah lagi menjalani kehidupan mereka dalam wadah Khilafah tersebut, maka secara otomatis aturan main Islami tentang in-teraksi antara Islam dan agama lain serta antara umat Islam dan kaum kufar tidak pernah lagi diberla-kukan sebab wadah kehidupan mereka telah berubah total dari Khilafah Islamiyah menjadi negara ke-bangsaan, termasuk di negeri Indonesia.
Islam menempatkan semua agama lain sebagai salah dan klaim ini sangat sesuai dengan dalil aq-liy yang memang menuntut adanya penetapan dari Allah SWT yang akan memastikan mana peraturan yang benar dan mana yang salah. Sehingga tidak ada satu pun aturan main interaksi antara Islam de-ngan agama lainnya maupun antara kaum muslim dengan kaum kufar yang ditolak oleh sisi kemanusia-an manusia itu sendiri yakni aqal mereka. Artinya aqal sangat dapat menerima ketetapan yang ada da-lam pernyataan Allah SWT maupun ucapan Rasulullah saw :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ (الأنفال : 39)
Dan perangilah mereka (kaum kufar) hingga tidak ada lagi kekufuran dan din itu seluruhnya hanya milik Allah
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (التوبة : 29)
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir dan mere-ka tidak mengharamkan apa-apa yang telah Allah dan Rasul Nya haramkan dan mereka juga tidak beragama dengan agama yang haq (Islam) yakni mereka itu adalah orang-orang yang diberikan kepa-da mereka kitab, hingga mereka bersedia membayar jizyah melalui tangan mereka sendiri dalam kea-daan tunduk patuh
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللَّهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ أَوْ خِلَالٍ فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ إِلَى دَارِ الْمُهَاجِرِينَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَا لِلْمُهَاجِرِينَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِرِينَ فَإِنْ أَبَوْا أَنْ يَتَحَوَّلُوا مِنْهَا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ يَكُونُونَ كَأَعْرَابِ الْمُسْلِمِينَ يَجْرِي عَلَيْهِمْ حُكْمُ اللَّهِ الَّذِي يَجْرِي عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَكُونُ لَهُمْ فِي الْغَنِيمَةِ وَالْفَيْءِ شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يُجَاهِدُوا مَعَ الْمُسْلِمِينَ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمْ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ (رواه مسلم)
Dari Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya berkata : Rasulullah saw itu ketika beliau menugaskan se-orang Amir untuk jaisy maupun sariyah, pastilah beliau berwasiat kepadanya secara khusus berkena-an dengan taqwa kepada Allah dan kaum muslim yang menyertainya. Kemudian beliau berkata : ber-peranglah بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ, perangilah siapa pun yang bersikap kufur kepada Allah, berperanglah dan janganlah bersikap اَلْغُلُوْلُ (diam-diam mengambil ghanimah sebelum dilakukan pembagian oleh Rasulullah saw), janganlah bertindak اَلْغَدْرُ (membatalkan perjanjian), janganlah melakukan اَلْمَثْلَةُ (membakar jasad musuh sebelum atau sesudah membunuhnya) dan janganlah membunuh anak-anak. Jika engkau bertemu dengan musuh dari kalangan kaum musyrik maka serulah mereka kepada tiga pilihan atau seruan, lalu manapun dari seruan itu yang mereka penuhi maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka kepada Islam, lalu jika mereka memenuhinya maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Kemudian serulah mereka untuk berpindah dari negara mereka ke negara Muhajirin dan bertahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka melakukan hal itu, maka hak mereka sama dengan hak kaum Muhajirin dan kewajiban mereka sama dengan kewajiban kaum Muhajirin. Lalu jika mereka menolak untuk berpindah dari negara mereka, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka berstatus sama dengan kaum muslim Arab lainnya yakni berlaku hukum Allah atas mereka yang juga diberlakukan atas kaum mukmin dan mereka tidak akan memperoleh gha-nimah maupun fai-iy kecuali jika mereka jihad bersama dengan kaum muslim. Lalu jika mereka meno-laknya maka mintalah dari mereka jizyah dan jika mereka memenuhinya maka terimalah dan tahanlah tangan dari mereka. Lalu jika mereka menolak (membayar jizyah) maka mintalah tolong kepada Allah dan perangilah mereka
maupun lainnya dari dalil-dalil yang berkenaan dengan atau membahas tentang tema pola interaksi an-tara Islam dengan agama lain dan antara umat Islam dengan kaum kufar. Sekali lagi, persoalannya te-lah diselesaikan dengan benar, tepat dan lumrah oleh Allah SWT melalui Islam, sehingga tidak ada lagi yang perlu apalagi harus dilakukan secara susah payah oleh umat Islam (bahkan seluruh manusia) ke-cuali berucap dan bersikap :
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (النور : 51)
Hanya sesungguhnya ucapan kaum mukmin itu ketika mereka diseru kepada Allah dan Rasul Nya un-tuk memberlakukan hukum (Islam) di antara mereka, pastilah mereka akan berucap : kami mendengar dan kami mentaati. Dan itulah orang-orang yang berhasil gemilang

No comments:

Post a Comment