Saturday, November 9, 2013

PANCASILA ANTARA ISLAM DAN DEMOKRASI : BENARKAH?


Kekisruhan di atas kekisruhan (غَلْطٌ عَلَى غَلْطٍ)
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (KaBIN) pada periode 2001-2004 : Abdullah Mahmud Hendropriyono (Kompas, 4 Agustus 2009, POLITIK & HUKUM, halaman 4) menyatakan : terorisme terbukti membuat orang sulit memperoleh dan menikmati kesejahteraannya, terutama karena tidak ada jaminan keamanan. Terorisme tidak mengenal sasaran. Bahkan pelakunya bersedia mengorbankan di-ri. Siapa saja bisa tiba-tiba terbunuh dan kehilangan segalanya. Sulit menjelaskan terorisme secara konsisten karena ia bisa diinterpretasi dan didefinisikan secara berbeda, dengan elemen waktu dan keadaan yang juga berbeda. Pada satu waktu, mereka bisa menjadi pahlawan. Contohnya, kelompok teroris Yahudi, Palmach (1940) dan Irgun (1944), dengan tokohnya Yitzhak Shamir dan Menachem Begin. Pada masanya, mereka sangat dibenci Inggris dan dunia internasional. Jika sampai tertangkap bukan tidak mungkin mereka dihukum mati. Namun, semua berbalik ketika Israel berdiri. Mereka men-jadi pahlawan, bahkan menjabat Perdana Menteri Israel. Lewat filsafat bisa mendapat penjelasan ba-gaimana terorisme terbentuk dari dua ideologi besar saat ini. Secara eksplisit, teror yang selama ini dilakukan jaringan teroris global Al Qaeda pasca serangan 11 September 2001 terhadap menara kem-bar WTC dan Pentagon terjadi akibat penolakan terhadap modernitas dan sekularisasi yang muncul akibat ideologi demokrasi. Filsafat demokrasi yang kini masih digandrungi masyarakat non-Barat se-jak abad XX, sayangnya, tidak selalu bisa menghadirkan komitmen damai. Pada masa pemerintahan George W. Bush, Amerika Serikat (AS) sebagai penjuru demokrasi justru memicu kebangkitan funda-mentalisme Islam, yang mencoba melawan kebijakan AS untuk menerapkan kekuasaan keras (hard po-wer). AS memaksa agar demokrasi diterapkan dan diterima semua orang dengan cara apa pun. Pada-hal, kebaikan sekalipun tidak boleh dipaksakan, apalagi menghalalkan segala cara. Perlawanan fun-damentalisme Islam dilakukan secara semesta dengan menggunakan dalih patriotisme dan spirit kea-gamaan. Buat Al Qaeda, dengan tokohnya, Osama bin Laden, demokrasi adalah keyakinan tolol. Dari kondisi itu, sampai kapan pun kedua ideologi itu tidak akan pernah mencapai perdamaian. Padahal, seharusnya keduanya bisa saling mengoreksi sehingga proses dialektika berjalan dan kedamaian ter-cipta. Pelaku teror bukan orang gila. Mereka mengalami kegalatan kategori (category mistakes) se-hingga tidak mampu membedakan mana yang benar dan yang salah serta cenderung hanya menggu-nakan cara, ungkapan dan bahasa sendiri sebagai pembenaran. Teroris adalah sosok yang mengalami kepribadian terbelah (split personality), salah satunya tampak dari bahasa yang digunakan, baik Osa-ma bin Laden maupun George W. Bush. Mereka sama-sama mencampuradukkan bahasa “mengan-cam” dengan bahasa “berdoa”. Osama bilang, bunuh semua orang Yahudi dan AS, termasuk warga sipil, baik orang tua maupun anak-anak. Mereka bertanggungjawab telah memilih presiden yang menggunakan mesin perang untuk membunuh kaum Muslimin di Afghanistan. Hal serupa juga dilaku-kan Bush yang mengatakan, siapa saja yang menerima dan membantu Osama adalah musuh AS dan harus membayar mahal. Dengan klaim itu, mereka mengebom Afghanistan dan membunuh rakyatnya. Mereka juga mengklaim apa yang dilakukan itu direstui dan diberkati Tuhan. Dalam konteks Indone-sia, ideologi Pancasila bisa menjadi antitesis dari kedua tesis yang saling bertentangan tadi. Setiap bangsa memiliki ideologi masing-masing. Sekarang tinggal kita koreksi dan ambil yang bagus serta to-lak yang buruk dari ideologi luar tadi. Pancasila bisa menjadi filter. Dengan begitu, sebagai bagian dari negara dan bangsa di dunia ini, kita bisa sama-sama berdiri berdampingan. Koeksistensi secara damai seperti di masa Perang Dingin. Namun, kalau kita memilih ikut salah satu, kita bisa jadi bagian perbenturan tadi.
Seluruh pemikiran mantan KaBIN yang termuat dalam disertasi doktoralnya berjudul Terorisme dalam Filsafat Analitika, Relevansi dengan Ketahanan Nasional tersebut menunjukkan kekisruhan yang sangat parah (غَلْطٌ عَلَى غَلْطٍ) berkenaan dengan sejumlah realitas (وَصْفُ وَاقِعِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ) :
1.       dia menyimpulkan terorisme sebagai sulit menjelaskan terorisme secara konsisten karena ia bisa diinterpretasi dan didefinisikan secara berbeda, dengan elemen waktu dan keadaan yang juga ber-beda. Pada satu waktu, mereka bisa menjadi pahlawan, secara induktif berdasarkan kasus kelom-pok teroris Yahudi Palmach (1940) dan Irgun (1944) dengan tokohnya Yitzhak Shamir dan Mena-chem Begin. Padahal semua orang juga sangat tahu bahwa berdirinya Negara Israel pada tahun 1949 adalah bagian dari kelanjutan grand design United Kingdom alias Britania Raya alias Inggris untuk semakin memecah belah dan menghancurkan bangunan Dunia Islam yang telah mereka awa-li dengan meruntuhkan Khilafah Islamiyah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924. Koran اَلْقَبْسُ الْكُوَيْتِيَّةُ edi-si Muharram 1401 H/November 1980 M memuat pengakuan Kerajaan Inggris bahwa mereka telah berhasil meruntuhkan Khilafah Islamiyah Utsmaniyah seperti yang dinyatakan oleh Alex Douglas Hyome (Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Inggris era akhir 70-an) :
اِنَّ بَرِيْطَانِيَا كَانَ لَهَا الدَّوْرُ الْفَعَّالُ فِيْ اِسْقَاطِ الْخِلاَفَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ الْعُثْمَانِيَّةِ بِمُسَاعِدَةِ الشَّرِيْفِ حُسَيْنٍ وَقَالَ لَوْ لاَ مُسَاعِدَةُ بَرِيْطَانِيَا لَمَا سَقَطَتِ الْخِلاَفَةُ
Bahwa Inggris memiliki peran menentukan dalam peruntuhan Khilafah Islamiyah Utsmaniyah de-ngan bantuan Syarif Husain. Lalu dia (Alex) menyatakan : seandainya tidak ada campur tangan Inggris pastilah Khilafah tidak akan runtuh
Oleh karena itu, realitas kelompok teroris Yahudi Palmach (1940) dan Irgun (1944) dengan tokoh-nya Yitzhak Shamir dan Menachem Begin sama sekali bukan realitas sebenarnya (as a matter of fact) melainkan realitas rekayasa (engineered reality) yang sengaja dihadirkan oleh Inggris dan lalu dikamuflasekan di hadapan pandangan umat Islam dan Dunia Islam sebagai kelompok yang sangat dibenci oleh Inggris sendiri, seperti yang juga menjadi pemikiran mantan KaBIN : Pada masanya, mereka sangat dibenci Inggris dan dunia internasional. Jika sampai tertangkap bukan tidak mung-kin mereka dihukum mati.
2.       dia tidak mampu mengindera realitas demokrasi dan sekularisme bahkan benar-benar menjadikan keduanya sangat kacau seperti yang tampak jelas dalam pernyataan : Secara eksplisit, teror yang selama ini dilakukan jaringan teroris global Al Qaeda pasca serangan 11 September 2001 terha-dap menara kembar WTC dan Pentagon terjadi akibat penolakan terhadap modernitas dan sekula-risasi yang muncul akibat ideologi demokrasi.
Penyebutan modernitas dan sekularisasi sebagai akibat dari ideologi demokrasi, memastikan bah-wa dia sama sekali tidak memahami realitas ideologi, sekularisme, sekularisasi dan demokrasi. Pa-dahal ketiganya sudah sangat jelas bagi semua orang baik secara konsep maupun secara empirik penerapannya dalam kehidupan manusia hingga saat ini :
a.       sekularisme adalah sebuah thesis yang muncul dari pertentangan dan benturan (pemikiran dan fisik) yang berlangsung sangat panjang di Benua Eropa pada abad pertengahan, antara kubu ko-laborasi Kaisar dan rohaniwan gereja dengan rakyat yang dimotori oleh para pemikir maupun filosof. Thesis sekularisme bukan bentuk kemenangan dari salah satu kubu melainkan justru realitas jalan buntu yang ada di hadapan keduanya sehingga mereka sepakat untuk mengambil jalan kompromi (اَلْحَلُّ الْوَسْطُ) dengan rumusan konsep : Give The God His Right and Give The Emperor His Right Too. Artinya aturan Tuhan yang berwujud agama wajib untuk dipisahkan dan dijauhkan dari ruang publik yakni negara dan politik dan wajib hanya diberlakukan di wila-yah otoritas Tuhan sendiri yakni rumah-rumah keagamaan : gereja. Kesepakatan kompromistik ini tentu saja menuntut adanya peraturan yang bukan berasal dari Tuhan untuk diberlakukan da-lam kehidupan mereka yakni yang hanya berasal dari atau dibuat oleh manusia sendiri (vox populi vox dei) : from people by people and for people yang memastikan bahwa kedaulatan (sovereignty) di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Inilah demokrasi yang se-cara otomatis muncul sebagai pengganti sistem pemerintahan dan kekuasaan absolut para kai-sar dengan dukungan penuh para rohaniwan gereja.
b.       sekularisasi adalah proses atau upaya terencana untuk menjadikan perjalanan kehidupan ma-nusia di dunia berdasarkan sekularisme yakni memisahkan dan menjauhkan agama dan Tuhan dari kehidupan manusia di luar rumah-rumah keagamaan (politik dan negara). Sekularisasi me-nuntut posisi agama hanya sebagai urusan pribadi yang tidak boleh diatur oleh negara dan tidak boleh berperan dalam negara. Inilah yang terjadi sangat hitam putih di Turki pasca diruntuh-kannya Khilafah Islamiyah 3 Maret 1924, atau yang tertuangkan secara verbal dalam salah satu pasal Konstitusi AS yang memastikan bahwa AS adalah negara sekuler yang memisahkan aga-ma dari ruang publik.
c.       ideologi harus dilihat dari realitas apa adanya dan sudah bukan saatnya lagi ditelusuri secara bahasa. Oleh karena itu tidak boleh merumuskan definisi ideologi tanpa terkait dengan fakta-nya, yakni definisi tersebut harus ditunjukkan oleh realitas yang ada dalam fakta kehidupan itu sendiri. Realitas ideologi yang ditunjukkan secara pasti oleh Islam, Kapitalisme dan Sosialisme, adalah sebuah konsep yang tersusun dari asas (اَلْعَقِيْدَةُ) dan peraturan (اَلنِّظَامُ) yang terpancar dari asas itu sendiri. Islam adalah ideologi dengan asas اَلْعَقِيْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ (iman kepada Allah, malaikat, kitab, para Rasul, hari akhir) dan peraturan yakni syariah Islamiyah. Kapitalisme adalah ideolo-gi dengan asas sekularisme dan peraturan perekonomian kapitalistik serta pemerintahan demo-krasi. Sosialisme adalah ideologi dengan asas materialisme dan peraturan yang bersumber dari perkembangan materi itu sendiri serta bertujuan untuk mewujudkan komunisme. Inilah hakikat ideologi yang terindera dan tersaksikan oleh setiap orang, ada yang pernah berlaku dalam ke-hidupan mereka (Islam dan Sosialisme) dan ada yang hingga kini masih diberlakukan yakni Kapitalisme. Jadi, negara kebangsaan mana pun termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memberlakukan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya dan kapitalisme se-bagai sistem perekonomiannya, maka dapat dipastikan negara itu adalah negara sekuler (nega-ra yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya) dan telah terjadi sekularisasi di negara yang tersebut. Wal hasil, demokrasi bukan ideologi tapi peraturan yang ada dalam sebuah ideologi (kapitalisme) dan bukan penyebab terjadinya modernitas maupun sekularisasi melainkan seba-liknya demokrasi itu ada dan berlaku dalam sebuah negara yang menjadikan sekularisme seba-gai asasnya. Seluruh negara kebangsaan saat ini yang jumlahnya hampir 200 negara adalah ne-gara sekuler dengan sistem perekonomian kapitalisme dan sistem pemerintahan demokrasi.
3.       pernyataan mantan KaBIN bahwa AS memaksa agar demokrasi diterapkan dan diterima semua orang dengan cara apa pun, adalah benar karena sesuai dengan realitas sikap negara adidaya itu sendiri selama ini terlepas dari siapa yang menjadi presidennya.  Namun tatkala dia berkata : Pada-hal, kebaikan sekalipun tidak boleh dipaksakan, apalagi menghalalkan segala cara, maka terjadi-lah kekisruhan keputusan aqal dirinya yakni di satu sisi dia menyadari bahwa negara AS telah ber-sikap yang salah karena memaksakan demokrasi dengan segala cara, tapi dia sama sekali tidak per-nah menyadari realitas demokrasi itu sendiri yakni berkenaan dengan mengapa AS memaksa dunia untuk menerima dan menerapkan demokrasi tersebut. Di sinilah seharusnya mantan KaBIN mem-buka penginderaannya secara netral untuk mencari tahu apakah alasan AS bersikap seperti itu, bukannya justru sepakat dengan AS bahwa demokrasi adalah sebuah realitas yang terkategori seba-gai kebaikan.
Tentu saja, jika suatu kekuatan apalagi sekaliber AS bersikap sangat keras dalam memaksakan de-mokrasi kepada seluruh dunia, dapat dipastikan adanya kesadaran di pihak AS sendiri bahwa de-mokrasi itu memang sangat mungkin atau bahkan pasti akan ditolak oleh sebagian besar manusia, kecuali jika :
a.       dipaksakan dengan cara apa pun baik itu kekuatan militer (kasus Afghanistan dan Iraq) atau tekanan politik (kasus Iran, Myanmar, Korea Utara dan sebagian besar negara Amerika Latin) atau tekanan ekonomi (kasus Kuba, Libya, Sudan, China)
b.       terlebih dahulu dikemas dengan sejumlah konsep keagamaan yang dianut oleh mayoritas pen-duduk suatu negara atau kawasan, seperti yang diberlakukan terhadap Dunia Islam termasuk negeri-negeri Arab maupun Indonesia
Kedua cara tersebut tidak dapat disangkal lagi sebagai upaya manipulatif AS untuk mengelabui alias menipu kesadaran umat manusia terhadap realitas demokrasi yang memang tidak sesuai de-ngan fitrah manusia serta pasti akan ditolak oleh aqal mereka yang berfungsi normal.
4.       jika pun benar Al-Qaeda dan Osama bin Laden menyatakan bahwa demokrasi adalah keyakinan tolol, maka mereka semua telah sangat keliru dalam menempatkan demokrasi sebagai keyakinan. Hal itu karena demokrasi adalah sebuah peraturan (اَلنِّظَامُ) yang terpancar dari atau dibangun di atas sebuah keyakinan : aqidah sekularisme. Artinya demokrasi bukan pemikiran dasar (اَلْفِكْرُ الأَسَاسِيُ) melainkan pemikiran cabang (اَلْفِكْرُ الْفَرْعِيُ) dari pemikiran dasarnya yakni sekularisme. Andaikan mereka berkata demokrasi adalah pemikiran tolol dan imajinatif maka itu adalah sebuah pemi-kiran yang sangat tepat karena sesuai dengan realitas demokrasi. Jadi sangat disayangkan ternyata umat Islam (Osama bin Laden dan kawan-kawannya di Al-Qaeda maupun mantan KaBIN) sama sekali tidak memiliki pemahaman yang jernih tentang demokrasi seperti halnya tentang Islam.
5.       kesimpulan mantan KaBIN bahwa sampai kapan pun kedua ideologi itu tidak akan pernah menca-pai perdamaian, tentu saja adalah pemikiran yang benar karena memang antara ideologi Islam dan ideologi Kapitalisme sekularistik tidak akan pernah berdamai yakni tidak akan pernah bersatu da-lam satu keadaan di satu waktu. Artinya jika ideologi kapitalisme ada dan berlaku maka secara otomatis Islam tidak ada dan tidak berlaku (seperti saat ini), demikian juga sebaliknya (seperti saat Khilafah Islamiyah masih berdiri tegak). Namun lagi-lagi, dia mempertontonkan kekisruhan yang sangat hebat dengan menyatakan : Padahal, seharusnya keduanya bisa saling mengoreksi se-hingga proses dialektika berjalan dan kedamaian tercipta. Pemikiran ini selain menyalahi realitas masing-masing ideologi juga menunjukkan inkonsistensi sikap yang bersangkutan.
Jika dia konsisten dengan sikapnya bahwa sampai kapan pun kedua ideologi itu tidak akan pernah mencapai perdamaian, maka cara apa pun dan keadaan bagaimana pun tidak akan pernah dapat memfasilitasi dan menjembatani realitas diametral antara ideologi Islam dan Kapitalisme. Tentu sa-ja inkonsistensi sikap mantan KaBIN tersebut bukan tanpa tujuan, melainkan justru untuk melum-puhkan dan melucuti Islam ketika Islam berhasil “didamaikan” dengan kapitalisme. Hal itu karena hakikat yang bersifat جَامِعًا مَانِعًا (menghimpun seluruh yang berasal dari Islam dan menolak seluruh yang bukan berasal dari Islam) hanyalah Islam, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
Artinya اِنَّمَا يَقْبَلُ اللهُ الإِسْلاَمَ مِنَ النَّاسِ وَلَنْ يَّقْبَلَ مِنْهُمْ غَيْرَهُ : hanya sesungguhnya Allah akan menerima Islam dari manusia dan tidak akan pernah menerima selainnya dari mereka. Sedangkan kapita-lisme telah terbukti baik secara konsep maupun empirik, dapat dengan mudah menerima apa pun dari luar dirinya bahkan akan selalu mencari dari luar dirinya apa pun yang dianggap akan mampu merealisir manfaat sebagai rumusan standard perbuatan manusia.
Tujuan sangat tersembunyi dari mantan KaBIN tersebut serta merta menjadi terbuka menganga ke-tika dia menyatakan : Dalam konteks Indonesia, ideologi Pancasila bisa menjadi antitesis dari ke-dua tesis yang saling bertentangan tadi. Artinya, Abdullah Mahmud Hendropriyono memastikan bahwa Pancasila adalah yang paling ideal, layak dan pantas bagi umat Islam yang hidup di NKRI serta akan dapat mengantarkan mereka kepada kesejahteraan hidup di dunia. Hal itu karena hanya Pancasila yang dapat memberikan jaminan keamanan dan kedamaian dunia : Pancasila bisa menja-di filter. Dengan begitu, sebagai bagian dari negara dan bangsa di dunia ini, kita bisa sama-sama berdiri berdampingan. Koeksistensi secara damai seperti di masa Perang Dingin. Namun, kalau kita memilih ikut salah satu, kita bisa jadi bagian perbenturan tadi.
Demikianlah realitas غَلْطٌ عَلَى غَلْطٍ yang melekat erat pada sosok mantan KaBIN dan tentu saja ke-adaan tersebut tidak hanya milik dia melainkan dimiliki oleh sebagian sangat besar umat Islam. Allah SWT menyatakan :
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة : 111)
Mereka (kaum kufar) berkata : tidak akan pernah masuk الْجَنَّةَ kecuali siapa saja yang mengaku dirinya sebagai Yahudi atau Nashara. Itulah angan-angan kosong mereka, katakanlah (olehmu Muhammad) : berikanlah bukti kalian jika kalian memang benar.


Adakah kontribusi Islam untuk Pancasila?
Ada beberapa hal yang selama ini dianggap oleh umat Islam Indonesia sebagai kontribusi Islam untuk Pancasila yakni :
1.       pernyataan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 : atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan …
2.       Sila Pertama dari Pancasila sendiri : Ketuhanan Yang Maha Esa, atau rumusan Pancasila yang ter-cantum dalam Piagam Jakarta dengan Sila Pertama : Ketuhanan Dan Kewajiban Melaksanakan Syariat Islam Bagi Pemeluknya
3.       Pasal 29 ayat 1 dan 2 dari Batang Tubuh UUD 1945
Lalu, apakah anggapan tersebut dapat dibenarkan dan apakah ketiga fakta itu merupakan bukti atau dalil bahwa Islam telah berkontribusi sangat berarti untuk Pancasila sehingga Pancasila itu Islami?
Ungkapan atas berkat rahmat Allah atau dengan pertolongan Allah atau Allah pencipta langit dan bumi atau Allah Penguasa Semesta Alam atau semua yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah semata atau lainnya yang serupa, ternyata telah lama dan lazim diucapkan oleh kaum kufar Jazi-rah Arab jauh sebelum Islam diturunkan oleh Allah SWT. Artinya pernyataan yang melibatkan lafadz atau nama اَللهُ sama sekali bukan ciri khas Islam atau Islam yang pertama kali menggunakannya mela-inkan bagian dari realitas umum manusia termasuk kaum kufar (penduduk Jazirah Arab, Yahudi dan Nashara). Oleh karena itulah Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengeksplo-rasi realitas tersebut agar beliau memperoleh penginderaan yang jelas tentang mana yang hanya dari Is-lam dan mana yang faktanya berlaku secara umum atas umat manusia. Inilah yang dapat dipahamkan dari informasi Al-Quran berikut :
قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84)  سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (85)  قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86)  سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ (87)  قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (المؤمنون : 84-89)
Pertanyaan tentang siapa pemilik bumi dan manusia yang ada di dalamnya (لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا), siapa Rab langit tujuh dan ‘arasy yang agung (مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ) maupun siapa yang me-nguasai kerajaan segala sesuatu (مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ), seluruhnya adalah berhubu-ngan dengan ketidak berdayaan manusia dan kemustahilan bagi mereka untuk berperan dalam realitas tersebut. Sehingga adalah tidak mengejutkan jika semua manusia di luar Nabi Muhammad saw akan menjawab yang sama persis dengan beliau sendiri, yakni mengerucut kepada اَللهُ. Artinya secara naluri-ah (غَرِيْزَةُ التَّدَيُّنِ) manusia akan menyadari bahwa di luar dirinya ada kekuatan yang Maha Segalanya bah-kan mereka pun berada dalam genggaman kekuatan tersebut. Namun dengan sikap naluriah tersebut ternyata manusia belum dapat terantarkan kepada pemahaman dan kesadaran untuk memastikan siapa Kekuatan Yang Maha Segalanya tersebut. Oleh karena itulah jawaban mereka selalu disambut dengan pertanyaan penyadaran aqliyah : أَفَلَا تَذَكَّرُونَ atau أَفَلَا تَتَّقُونَ atau فَأَنَّى تُسْحَرُونَ. Singkat kata sekedar menun-jukkan bahwa Allah SWT adalah pencipta, pengurus dan pemilik dunia seutuhnya tentu saja bukan per-kara yang menyulitkan dan memberatkan manusia sebab dalam diri mereka telah dibekali oleh Allah SWT sendiri dengan qadar yang mampu mendukung sikap tersebut berupa naluri beragama yang eks-presinya adalah اَلتَّقْدِيْسُ. Dengan demikian, pernyataan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan …, sama sekali bukan bukti maupun dalil bah-wa Pembukaan tersebut (yang sering dianggap sebagai sumber hukum paling tinggi di NKRI) adalah Islami atau bersumber dari Islam atau mencerminkan Islam walau hanya sebagian atau adanya kontribusi dari Islam.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila tidak bisa dan tidak boleh diklaim sebagai terje-mahan pernyataan Allah SWT : قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (الإخلاص : 4), se-bab :
1.       ungkapan Ketuhanan Yang Maha Esa sama sekali tidak dapat mewakili pemikiran yang ada dalam ayat اَللَّهُ أَحَدٌ, karena ayat tersebut tidak boleh dipisahkan dari keseluruhan ayat lainnya yang semu-anya memberikan informasi tentang صِفَةُ اللهِ. Artinya Allah SWT bukan hanya أَحَدٌ melainkan الصَّمَدُ, لَمْ يَلِدْ, لَمْ يُولَدْ dan لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ. Lebih dari itu pengakuan sadar aqliy tersebut wajib ditindak lan-juti dengan sikap dan perbuatan yang sesuai dengan tuntutan dari pengakuan itu sendiri yakni ha-nya taat kepada Allah SWT dengan melaksanakan semua ketentuan Nya (Islam). Allah SWT me-nyatakan :
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (الأعراف : 158)
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (الكهف : 110)
Bagian وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (الأعراف : 158) dan فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (الكهف : 110) adalah sama yakni menunjukkan tuntutan yang pasti kepada siapa saja yang mengakui secara sadar aqliy bahwa لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ untuk bersedia memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT (Islam) dalam kehidupan mereka selama di dunia.
2.       pada perjalanan empirisnya, sila pertama Pancasila tersebut selalu dilanggar oleh semua pihak teru-tama para penguasa sejak Orde Lama hingga saat ini yakni dengan sikap pembiaran mereka terha-dap para penganut agama yang nyata-nyata secara verbal vulgar menyalahi sila tersebut. Kaum Kristiani menyatakan secara lantang Trinity alias Tri Tunggal dan sikap mereka dibiarkan walau sangat jelas bertentangan atau menyalahi sila pertama. Demikian juga para penganut agama Hindu yang mengklaim Trimurti, menerima sikap pembiaran yang sama dengan kaum Kristiani. Inilah fakta empiris bahwa sila pertama tersebut tidak pernah implementatif.
Padahal dalam Islam pengakuan هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ wajib diikuti dengan sikap hanya mentaati Allah SWT sebagai bentuk implementasi dari pengakuan itu sendiri :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي (طه : 14)
Lalu bagaimana dengan Piagam Jakarta yang menyatakan Ketuhanan Dan Kewajiban Melaksanakan Syariat Islam Bagi Pemeluknya? Harus diingat bahwa Piagam Jakarta itu dirumuskan dalam kerangka NKRI yakni sebuah negara kebangsaan sekularistik dan bukan dalam wadah Khilafah Islamiyah. Reali-tas tersebut adalah perkara yang krusial, sebab apa pun yang diberlakukan di dalam NKRI dapat dipas-tikan tidak akan pernah keluar atau menyimpang atau meleset dari kerangka tersebut. Justru itulah sila pertama dari rumusan Piagam Jakarta semakin menegaskan bahwa NKRI adalah negara sekularistik yang wajib menempatkan agama termasuk Islam sebagai urusan pribadi yang terlepas bebas dari ruang publik yakni dari politik dan negara. Selain itu, bagian pernyataan Dan Kewajiban Melaksanakan Sya-riat Islam Bagi Pemeluknya, adalah gagasan yang menyalahi realitas Islam sendiri yang wajib diberla-kukan kepada seluruh umat manusia bukan hanya terhadap umat Islam. Rasulullah saw menyatakan :
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
Diberikan kepadaku lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Aku dito-long dengan munculnya ketakutan (pada pihak musuh) dalam perjalanan sebulan dan dijadikan bumi itu bagiku sebagai masjid dan suci maka siapa pun dari umatku yang tiba kepadanya waktu shalat ma-ka shalatlah dan dihalalkan bagiku ghanimah yang belum pernah dihalalkan kepada seorang pun se-belumku dan diberikan kepadaku syafaah dan seorang Nabi diutus kepada kaumnya saja sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia
Oleh karena itu antara Sila Pertama Pancasila dengan Piagam Jakarta adalah sama saja yakni ekspresi praktis dari perjalanan sebuah negara kebangsaan berbasis sekularisme dan sama sekali tidak ada hubu-ngannya dengan Islam serta Islam tidak berkontribusi apa pun kepada Pancasila tersebut, sebagian apa-lagi seluruhnya. Kemudian karena UUD 1945 (baik yang asli maupun hasil empat kali amandemen di era rezim reformasi) adalah konstitusi NKRI yang ditetapkan sebagai wujud pelaksanaan dari Pancasila itu sendiri, maka tentu saja UUD 1945 adalah perundangan sekuler yang tidak ada kaitannya apa pun dengan agama mana pun termasuk apalagi dengan Islam yang bertentangan dengan sekularisme. Pasal 29 ayat 1 dan 2 dari UUD 1945 bukan kontribusi dari Islam dan tidak boleh dianggap sebagai mewakili Islam. Hal itu karena keberadaan pasal tersebut justru sebagai bentuk penegasan dan kepastian bahwa negara kebangsaan yang berdiri di Indonesia (NKRI) adalah negara sekuler.

Realitas hubungan demokrasi dan Pancasila
NKRI adalah negara kebangsaan yang menganut dan memberlakukan demokrasi yang oleh rezim Orde Baru dikukuhkan sebagai Demokrasi Pancasila. Tentu saja pengukuhan gelaran tersebut sangat dipaksakan, sebab : (a) menyalahi realitas demokrasi itu sendiri yang tidak mengenal pensifatan apa pun baik itu Demokrasi Pancasila atau Demokrasi Religius maupun lainnya dan (b) Pancasila dan de-mokrasi adalah dua hal yang tidak layak untuk digandengkan baik secara istilah maupun secara empi-ris. Lagipula, jauh sebelum rumusan Pancasila ditetapkan yang kemudian dijadikan sebagai dasar dan falsafah NKRI, ternyata NKRI telah lebih dahulu diproklamasikan sebagai negara demokrasi dan itu ditunjukkan secara pasti oleh adanya implementasi konsep kedaulatan di tengan rakyat serta Trias Po-litica : eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sehingga pelekatan sifat Pancasila terhadap demokrasi adalah tidak benar sebab faktanya memastikan bagian mana dari seluruh konsep demokrasi yang berasal dari atau disifati oleh Pancasila. Bahkan justru sebaliknya Pancasila lah yang menerima banyak dari demo-krasi (termasuk kapitalisme) berupa sejumlah konsep :
1.       penempatan Tuhan dan agama terbatas di wilayah keagamaan dan hanya dielaborasikan oleh indi-vidu. Inilah ciri khas dari asas demokrasi sendiri yakni sekularisme yang tidak mengingkari kebera-daan Tuhan namun tidak membolehkan Tuhan dengan aturan Nya yang bernama agama keluar dari wilayah otoritas Nya yakni manusia secara pribadi dan rumah keagamaan. Pancasila menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa dan itu realisasinya adalah di internal pemeluk agama masing-masing serta dipraktikan secara terbatas di rumah-rumah keagamaan.
2.       demokrasi sangat mengedepankan kebebasan menyeluruh (general freedom alias اَلْحُرِّيَّةُ الْعَامَّةُ) yang lebih populer dengan sebutan HAM (Hak Asasi Manusia alias The Human Rights) yakni kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berkepemilikan dan kebebasan berekspresi alias ke-pribadian yang bebas. Seluruhnya dialamatkan kepada dan diatasnamakan kemanusiaan atau huma-nisme, tegasnya manusia itu layak disebut sebagai manusia jika mereka memiliki keleluasaan da-lam merealisir hak asasinya selaku manusia. Pancasila menyatakan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dan ini bukti otentik dari sumbangan demokrasi bagi Pancasila dan bukan sebaliknya.
3.       demokrasi hanya dapat diberlakukan dengan baik dalam negara kebangsaan seperti NKRI, AS dan lainnya yang jumlahnya saat ini hampir 200 negara, sehingga sila ketiga Pancasila : Persatuan In-donesia adalah realitas yang dituntut oleh demokrasi supaya dapat berlaku dengan sempurna.
4.       Pancasila menyatakan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa-ratan/perwakilan, merupakan terjemahan dari dua konsep pokok demokrasi yakni kedaulatan di ta-ngan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Jadi sila keempat Pancasila adalah bentuk adopsi secara murni dari konsep pokok demokrasi dan itu diimplementasikan dalam NKRI berupa adanya MPR dan DPR.
5.       sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki tema pokok keadilan sosial yang me-rupakan pemikiran pokok dalam Ideologi Sosialisme dan tidak dikenal dalam Ideologi Kapitalisme maupun demokrasi. Namun demikian, ternyata para pengusung kapitalisme mengadopsi pemikiran tersebut dengan tujuan untuk menutupi kesadisan yang merupakan sifat orisinal ideologinya yang hanya berpihak kepada para kapitalis alias para konglomerat. Konsep keadilan sosial diterjemahkan oleh kapitalisme dalam bentuk subsidi atau pemberian pelayanan murah bahkan gratis untuk aspek-aspek kehidupan tertentu misal kesehatan, pendidikan, panti jompo, panti anak terlantar dan lain-nya. Lalu baik subsidi maupun pelayanan murah atau gratis itu adalah ditujukan bagi rakyat miskin, gelandangan dan orang-orang terlantar. Realitas tersebut telah dan tengah diberlakukan hampir di seluruh negara kebangsaan baik yang terkategori maju (negara-negara G-8) maupun berkembang, seperti NKRI dan lainnya.
Singkat kata, Pancasila “wajib banyak berterimakasih” kepada kapitalisme, demokrasi dan sosia-lisme yang telah secara bersama-sama memberikan “belas kasihan” dengan merelakan sejumlah kon-sepnya untuk dijadikan sebagai rumusan sila-sila dalam Pancasila.


Khatimah
Pernyataan mantan KaBIN bahwa Dalam konteks Indonesia, ideologi Pancasila bisa menjadi an-titesis dari kedua tesis yang saling bertentangan tadi (yakni demokrasi dan Islam), tentu saja sangat salah dari dua aspek yakni :
a.       pengkategorian Pancasila sebagai ideologi, padahal faktanya Pancasila sama sekali bukan ideologi melainkan rumusan “gado-gado” dari sejumlah konsep yang berasal dari Ideologi Kapitalisme, So-sialisme dan Demokrasi.
b.       adanya klaim sangat keliru yang menganggap Pancasila adalah jalan tengah atau bentuk kompromi dari dua kutub yang selama ini saling bertentangan dan berbenturan yakni demokrasi dan Islam. Padahal faktanya hanya demokrasi yang sangat banyak berkontribusi kepada Pancasila, sedangkan Islam sama sekali tidak berhubungan dengan Pancasila dan tidak memiliki kontribusi apa pun ke-pada Pancasila. Jadi, inilah keanehan dan kekisruhan seorang Abdullah Mahmud Hendropriyono yang memposisikan Pancasila sebagai jalan tengah atau bentuk kompromi antara Islam dan de-mokrasi dengan tujuan agar NKRI tidak terlibat dalam perbenturan keduanya yang tak berkesudah-an : Namun, kalau kita memilih ikut salah satu, kita bisa jadi bagian perbenturan tadi.
Wal hasil, kaum kufar dan antek-anteknya dari kalangan umat Islam sendiri tak pernah berhenti berusaha untuk menghancurkan Islam dengan segala cara dan yang paling mutakhir adalah gagasan da-ri mantan KaBIN yakni dengan menuding Islam telah memberikan kontribusi kepada Pancasila bersa-ma-sama dengan demokrasi. Ini jelas tudingan imajinatif sebab fakta memastikan bahwa Pancasila ti-dak sedikit pun memuat atau mengandung ide, pemikiran maupun konsep dari Islam, melainkan sepe-nuhnya merupakan ramuan “es teler” dari kapitalisme, sosialisme dan demokrasi.



وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الإسراء : 36)

No comments:

Post a Comment