Kekisruhan di atas kekisruhan (غَلْطٌ عَلَى غَلْطٍ)
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (KaBIN)
pada periode 2001-2004 : Abdullah Mahmud Hendropriyono (Kompas, 4 Agustus 2009,
POLITIK & HUKUM, halaman 4) menyatakan : terorisme terbukti membuat
orang sulit memperoleh dan menikmati kesejahteraannya, terutama karena tidak
ada jaminan keamanan. Terorisme tidak mengenal sasaran. Bahkan pelakunya
bersedia mengorbankan di-ri. Siapa saja bisa tiba-tiba terbunuh dan kehilangan
segalanya. Sulit menjelaskan terorisme secara konsisten karena ia bisa
diinterpretasi dan didefinisikan secara berbeda, dengan elemen waktu dan
keadaan yang juga berbeda. Pada satu waktu, mereka bisa menjadi pahlawan. Contohnya,
kelompok teroris Yahudi, Palmach (1940) dan Irgun (1944), dengan tokohnya
Yitzhak Shamir dan Menachem Begin. Pada masanya, mereka sangat dibenci Inggris
dan dunia internasional. Jika sampai tertangkap bukan tidak mungkin mereka
dihukum mati. Namun, semua berbalik ketika Israel berdiri. Mereka men-jadi
pahlawan, bahkan menjabat Perdana Menteri Israel. Lewat filsafat bisa mendapat
penjelasan ba-gaimana terorisme terbentuk dari dua ideologi besar saat ini.
Secara eksplisit, teror yang selama ini dilakukan jaringan teroris global Al
Qaeda pasca serangan 11 September 2001 terhadap menara kem-bar WTC dan Pentagon
terjadi akibat penolakan terhadap modernitas dan sekularisasi yang muncul
akibat ideologi demokrasi. Filsafat demokrasi yang kini masih digandrungi
masyarakat non-Barat se-jak abad XX, sayangnya, tidak selalu bisa menghadirkan
komitmen damai. Pada masa pemerintahan George W. Bush, Amerika Serikat (AS)
sebagai penjuru demokrasi justru memicu kebangkitan funda-mentalisme Islam,
yang mencoba melawan kebijakan AS untuk menerapkan kekuasaan keras (hard
po-wer). AS memaksa agar demokrasi diterapkan dan diterima semua orang dengan
cara apa pun. Pada-hal, kebaikan sekalipun tidak boleh dipaksakan, apalagi
menghalalkan segala cara. Perlawanan fun-damentalisme Islam dilakukan secara
semesta dengan menggunakan dalih patriotisme dan spirit kea-gamaan. Buat Al
Qaeda, dengan tokohnya, Osama bin Laden, demokrasi adalah keyakinan tolol. Dari
kondisi itu, sampai kapan pun kedua ideologi itu tidak akan pernah mencapai
perdamaian. Padahal, seharusnya keduanya bisa saling mengoreksi sehingga proses
dialektika berjalan dan kedamaian ter-cipta. Pelaku teror bukan orang gila.
Mereka mengalami kegalatan kategori (category mistakes) se-hingga tidak mampu
membedakan mana yang benar dan yang salah serta cenderung hanya menggu-nakan
cara, ungkapan dan bahasa sendiri sebagai pembenaran. Teroris adalah sosok yang
mengalami kepribadian terbelah (split personality), salah satunya tampak dari
bahasa yang digunakan, baik Osa-ma bin Laden maupun George W. Bush. Mereka
sama-sama mencampuradukkan bahasa “mengan-cam” dengan bahasa “berdoa”. Osama
bilang, bunuh semua orang Yahudi dan AS, termasuk warga sipil, baik orang tua
maupun anak-anak. Mereka bertanggungjawab telah memilih presiden yang
menggunakan mesin perang untuk membunuh kaum Muslimin di Afghanistan. Hal
serupa juga dilaku-kan Bush yang mengatakan, siapa saja yang menerima dan
membantu Osama adalah musuh AS dan harus membayar mahal. Dengan klaim itu,
mereka mengebom Afghanistan dan membunuh rakyatnya. Mereka juga mengklaim apa
yang dilakukan itu direstui dan diberkati Tuhan. Dalam konteks Indone-sia,
ideologi Pancasila bisa menjadi antitesis dari kedua tesis yang saling
bertentangan tadi. Setiap bangsa memiliki ideologi masing-masing. Sekarang
tinggal kita koreksi dan ambil yang bagus serta to-lak yang buruk dari ideologi
luar tadi. Pancasila bisa menjadi filter. Dengan begitu, sebagai bagian dari
negara dan bangsa di dunia ini, kita bisa sama-sama berdiri berdampingan.
Koeksistensi secara damai seperti di masa Perang Dingin. Namun, kalau kita
memilih ikut salah satu, kita bisa jadi bagian perbenturan tadi.
Seluruh pemikiran mantan KaBIN yang termuat dalam disertasi
doktoralnya berjudul Terorisme dalam Filsafat Analitika, Relevansi dengan
Ketahanan Nasional tersebut menunjukkan kekisruhan yang sangat parah (غَلْطٌ عَلَى غَلْطٍ) berkenaan dengan sejumlah realitas (وَصْفُ وَاقِعِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ) :
1.
dia menyimpulkan terorisme sebagai sulit menjelaskan terorisme
secara konsisten karena ia bisa diinterpretasi dan didefinisikan secara
berbeda, dengan elemen waktu dan keadaan yang juga ber-beda. Pada satu waktu,
mereka bisa menjadi pahlawan, secara induktif berdasarkan kasus kelom-pok
teroris Yahudi Palmach (1940) dan Irgun (1944) dengan tokohnya Yitzhak Shamir
dan Mena-chem Begin. Padahal semua orang juga sangat tahu bahwa berdirinya
Negara Israel pada tahun 1949 adalah bagian dari kelanjutan grand design
United Kingdom alias Britania Raya alias Inggris untuk semakin memecah belah
dan menghancurkan bangunan Dunia Islam yang telah mereka awa-li dengan
meruntuhkan Khilafah Islamiyah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924. Koran اَلْقَبْسُ
الْكُوَيْتِيَّةُ edi-si Muharram
1401 H/November 1980 M memuat pengakuan Kerajaan Inggris bahwa mereka telah
berhasil meruntuhkan Khilafah Islamiyah Utsmaniyah seperti yang dinyatakan oleh
Alex Douglas Hyome (Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Inggris era
akhir 70-an) :
اِنَّ بَرِيْطَانِيَا كَانَ لَهَا
الدَّوْرُ الْفَعَّالُ فِيْ اِسْقَاطِ الْخِلاَفَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ
الْعُثْمَانِيَّةِ بِمُسَاعِدَةِ الشَّرِيْفِ حُسَيْنٍ وَقَالَ لَوْ لاَ
مُسَاعِدَةُ بَرِيْطَانِيَا لَمَا سَقَطَتِ الْخِلاَفَةُ
Bahwa
Inggris memiliki peran menentukan dalam peruntuhan Khilafah Islamiyah
Utsmaniyah de-ngan bantuan Syarif Husain. Lalu dia (Alex) menyatakan :
seandainya tidak ada campur tangan Inggris pastilah Khilafah tidak akan runtuh
Oleh karena itu, realitas kelompok teroris Yahudi Palmach (1940) dan
Irgun (1944) dengan tokoh-nya Yitzhak Shamir dan Menachem Begin sama
sekali bukan realitas sebenarnya (as a matter of fact) melainkan
realitas rekayasa (engineered reality) yang sengaja dihadirkan oleh
Inggris dan lalu dikamuflasekan di hadapan pandangan umat Islam dan Dunia Islam
sebagai kelompok yang sangat dibenci oleh Inggris sendiri, seperti yang juga
menjadi pemikiran mantan KaBIN : Pada masanya, mereka sangat dibenci Inggris
dan dunia internasional. Jika sampai tertangkap bukan tidak mung-kin mereka
dihukum mati.
2.
dia tidak mampu
mengindera realitas demokrasi dan sekularisme bahkan benar-benar menjadikan
keduanya sangat kacau seperti yang tampak jelas dalam pernyataan : Secara eksplisit,
teror yang selama ini dilakukan jaringan teroris global Al Qaeda pasca serangan
11 September 2001 terha-dap menara kembar WTC dan Pentagon terjadi akibat
penolakan terhadap modernitas dan sekula-risasi yang muncul akibat ideologi
demokrasi.
Penyebutan modernitas
dan sekularisasi sebagai akibat dari ideologi demokrasi, memastikan
bah-wa dia sama sekali tidak memahami realitas ideologi, sekularisme,
sekularisasi dan demokrasi. Pa-dahal ketiganya sudah sangat jelas bagi semua orang
baik secara konsep maupun secara empirik penerapannya dalam kehidupan manusia
hingga saat ini :
a.
sekularisme adalah sebuah thesis yang muncul dari pertentangan dan
benturan (pemikiran dan fisik) yang berlangsung sangat panjang di Benua Eropa
pada abad pertengahan, antara kubu ko-laborasi Kaisar dan rohaniwan gereja
dengan rakyat yang dimotori oleh para pemikir maupun filosof. Thesis
sekularisme bukan bentuk kemenangan dari salah satu kubu melainkan justru
realitas jalan buntu yang ada di hadapan keduanya sehingga mereka sepakat untuk
mengambil jalan kompromi (اَلْحَلُّ الْوَسْطُ) dengan rumusan konsep
: Give The
God His Right and Give The Emperor His Right Too. Artinya aturan Tuhan yang
berwujud agama wajib untuk dipisahkan dan dijauhkan dari ruang publik yakni
negara dan politik dan wajib hanya diberlakukan di wila-yah otoritas Tuhan
sendiri yakni rumah-rumah keagamaan : gereja. Kesepakatan kompromistik ini
tentu saja menuntut adanya peraturan yang bukan berasal dari Tuhan untuk
diberlakukan da-lam kehidupan mereka yakni yang hanya berasal dari
atau dibuat oleh manusia sendiri (vox populi vox dei) : from
people by people and for people yang memastikan bahwa kedaulatan (sovereignty)
di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Inilah demokrasi yang
se-cara otomatis muncul sebagai pengganti sistem pemerintahan dan kekuasaan
absolut para kai-sar dengan dukungan penuh para rohaniwan gereja.
b.
sekularisasi adalah proses
atau upaya terencana untuk menjadikan perjalanan kehidupan ma-nusia di
dunia berdasarkan sekularisme yakni memisahkan dan menjauhkan agama dan Tuhan
dari kehidupan manusia di luar rumah-rumah keagamaan (politik dan negara).
Sekularisasi me-nuntut posisi agama hanya sebagai urusan pribadi yang tidak
boleh diatur oleh negara dan tidak boleh berperan dalam negara. Inilah yang
terjadi sangat hitam putih di Turki pasca diruntuh-kannya
Khilafah Islamiyah 3 Maret 1924, atau yang tertuangkan secara verbal dalam
salah satu pasal Konstitusi AS yang memastikan bahwa AS adalah negara sekuler
yang memisahkan aga-ma dari ruang publik.
c.
ideologi harus dilihat
dari realitas apa adanya dan sudah bukan saatnya lagi ditelusuri secara bahasa.
Oleh karena itu tidak boleh merumuskan definisi ideologi tanpa terkait dengan
fakta-nya, yakni definisi tersebut harus ditunjukkan oleh realitas yang ada
dalam fakta kehidupan itu sendiri. Realitas ideologi yang ditunjukkan secara
pasti oleh Islam, Kapitalisme dan Sosialisme, adalah sebuah konsep yang
tersusun dari asas (اَلْعَقِيْدَةُ) dan peraturan (اَلنِّظَامُ) yang terpancar dari asas itu sendiri. Islam adalah ideologi
dengan asas اَلْعَقِيْدَةُ الإِسْلاَمِيَّةُ (iman kepada Allah, malaikat, kitab, para Rasul, hari akhir)
dan peraturan yakni syariah Islamiyah. Kapitalisme adalah ideolo-gi dengan asas
sekularisme dan peraturan perekonomian kapitalistik serta pemerintahan
demo-krasi. Sosialisme adalah ideologi dengan asas materialisme dan peraturan
yang bersumber dari perkembangan materi itu sendiri serta bertujuan untuk
mewujudkan komunisme. Inilah hakikat ideologi yang terindera dan tersaksikan
oleh setiap orang, ada yang pernah berlaku dalam ke-hidupan
mereka (Islam dan Sosialisme) dan ada yang hingga kini masih diberlakukan
yakni Kapitalisme. Jadi, negara kebangsaan mana pun termasuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang memberlakukan demokrasi sebagai sistem
pemerintahannya dan kapitalisme se-bagai sistem perekonomiannya, maka dapat
dipastikan negara itu adalah negara sekuler (nega-ra yang menjadikan
sekularisme sebagai asasnya) dan telah terjadi sekularisasi di negara yang
tersebut. Wal hasil, demokrasi bukan ideologi tapi peraturan yang
ada dalam sebuah ideologi (kapitalisme) dan bukan penyebab
terjadinya modernitas maupun sekularisasi melainkan seba-liknya demokrasi itu ada
dan berlaku dalam sebuah negara yang menjadikan sekularisme seba-gai
asasnya. Seluruh negara kebangsaan saat ini yang jumlahnya hampir 200 negara
adalah ne-gara sekuler dengan sistem perekonomian kapitalisme dan sistem
pemerintahan demokrasi.
3.
pernyataan mantan
KaBIN bahwa AS memaksa agar demokrasi diterapkan dan diterima semua orang
dengan cara apa pun, adalah benar karena sesuai dengan realitas sikap
negara adidaya itu sendiri selama ini terlepas dari siapa yang menjadi
presidennya. Namun tatkala dia
berkata : Pada-hal, kebaikan sekalipun tidak boleh dipaksakan, apalagi
menghalalkan segala cara, maka terjadi-lah kekisruhan keputusan aqal
dirinya yakni di satu sisi dia menyadari bahwa negara AS telah
ber-sikap yang salah karena memaksakan demokrasi dengan segala cara, tapi dia
sama sekali tidak per-nah menyadari realitas demokrasi itu sendiri yakni berkenaan
dengan mengapa AS memaksa dunia untuk menerima dan menerapkan
demokrasi tersebut. Di sinilah seharusnya mantan KaBIN mem-buka penginderaannya
secara netral untuk mencari tahu apakah alasan AS bersikap seperti itu,
bukannya justru sepakat dengan AS bahwa demokrasi adalah sebuah realitas yang
terkategori seba-gai kebaikan.
Tentu saja, jika suatu kekuatan apalagi sekaliber AS
bersikap sangat keras dalam memaksakan de-mokrasi kepada seluruh dunia, dapat
dipastikan adanya kesadaran di pihak AS sendiri bahwa de-mokrasi itu memang sangat
mungkin atau bahkan pasti akan ditolak oleh sebagian
besar manusia, kecuali jika :
a.
dipaksakan dengan cara
apa pun baik itu kekuatan militer (kasus Afghanistan dan Iraq) atau tekanan
politik (kasus Iran, Myanmar, Korea Utara dan sebagian besar negara Amerika
Latin) atau tekanan ekonomi (kasus Kuba, Libya, Sudan, China)
b.
terlebih dahulu
dikemas dengan sejumlah konsep keagamaan yang dianut oleh mayoritas pen-duduk
suatu negara atau kawasan, seperti yang diberlakukan terhadap Dunia Islam
termasuk negeri-negeri Arab maupun Indonesia
Kedua cara tersebut tidak dapat disangkal lagi sebagai upaya
manipulatif AS untuk mengelabui alias menipu kesadaran
umat manusia terhadap realitas demokrasi yang memang tidak sesuai de-ngan fitrah
manusia serta pasti akan ditolak oleh aqal mereka yang
berfungsi normal.
4.
jika pun benar
Al-Qaeda dan Osama bin Laden menyatakan bahwa demokrasi adalah keyakinan
tolol, maka mereka semua telah sangat keliru dalam menempatkan
demokrasi sebagai keyakinan. Hal itu karena demokrasi adalah
sebuah peraturan (اَلنِّظَامُ) yang terpancar dari atau dibangun di atas sebuah keyakinan :
aqidah sekularisme. Artinya demokrasi bukan pemikiran dasar (اَلْفِكْرُ الأَسَاسِيُ) melainkan pemikiran
cabang (اَلْفِكْرُ الْفَرْعِيُ) dari pemikiran
dasarnya yakni sekularisme. Andaikan mereka berkata demokrasi adalah
pemikiran tolol dan imajinatif maka itu adalah sebuah pemi-kiran yang
sangat tepat karena sesuai dengan realitas demokrasi. Jadi sangat disayangkan
ternyata umat Islam (Osama bin Laden dan kawan-kawannya di Al-Qaeda maupun
mantan KaBIN) sama sekali tidak memiliki pemahaman yang jernih
tentang demokrasi seperti halnya tentang Islam.
5.
kesimpulan mantan
KaBIN bahwa sampai kapan pun kedua ideologi itu tidak akan pernah menca-pai
perdamaian, tentu saja adalah pemikiran yang benar karena memang antara
ideologi Islam dan ideologi Kapitalisme sekularistik tidak akan pernah berdamai
yakni tidak akan pernah bersatu da-lam satu keadaan di satu waktu. Artinya jika
ideologi kapitalisme ada dan berlaku maka secara otomatis Islam tidak
ada dan tidak berlaku (seperti saat ini), demikian juga sebaliknya
(seperti saat Khilafah Islamiyah masih berdiri tegak). Namun lagi-lagi, dia
mempertontonkan kekisruhan yang sangat hebat dengan menyatakan : Padahal,
seharusnya keduanya bisa saling mengoreksi se-hingga proses dialektika berjalan
dan kedamaian tercipta. Pemikiran ini selain menyalahi realitas
masing-masing ideologi juga menunjukkan inkonsistensi sikap yang bersangkutan.
Jika dia konsisten dengan sikapnya bahwa sampai kapan pun
kedua ideologi itu tidak akan pernah mencapai perdamaian, maka cara
apa pun dan keadaan bagaimana pun tidak akan pernah dapat
memfasilitasi dan menjembatani realitas diametral antara ideologi Islam dan
Kapitalisme. Tentu sa-ja inkonsistensi sikap mantan KaBIN tersebut bukan tanpa
tujuan, melainkan justru untuk melum-puhkan dan melucuti Islam ketika Islam
berhasil “didamaikan” dengan kapitalisme. Hal itu karena hakikat yang bersifat جَامِعًا مَانِعًا (menghimpun seluruh yang berasal dari Islam dan menolak
seluruh yang bukan berasal dari Islam) hanyalah Islam, seperti yang
ditunjukkan oleh pernyataan Allah SWT :
وَمَنْ
يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي
الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (آل عمران : 85)
Artinya اِنَّمَا يَقْبَلُ اللهُ الإِسْلاَمَ مِنَ النَّاسِ وَلَنْ يَّقْبَلَ
مِنْهُمْ غَيْرَهُ : hanya
sesungguhnya Allah akan menerima Islam dari manusia dan tidak akan pernah
menerima selainnya dari mereka. Sedangkan kapita-lisme telah terbukti baik
secara konsep maupun empirik, dapat dengan mudah menerima apa pun
dari luar dirinya bahkan akan selalu mencari dari luar dirinya
apa pun yang dianggap akan mampu merealisir manfaat sebagai rumusan standard
perbuatan manusia.
Tujuan
sangat tersembunyi dari mantan KaBIN tersebut serta merta menjadi terbuka
menganga ke-tika dia menyatakan : Dalam konteks Indonesia, ideologi Pancasila
bisa menjadi antitesis dari ke-dua tesis yang saling bertentangan tadi. Artinya,
Abdullah Mahmud Hendropriyono memastikan bahwa Pancasila adalah yang paling
ideal, layak dan pantas bagi umat Islam yang hidup di NKRI serta akan dapat
mengantarkan mereka kepada kesejahteraan hidup di dunia. Hal itu karena hanya
Pancasila yang dapat memberikan jaminan keamanan dan kedamaian dunia : Pancasila
bisa menja-di filter. Dengan begitu, sebagai bagian dari negara dan bangsa di
dunia ini, kita bisa sama-sama berdiri berdampingan. Koeksistensi secara damai
seperti di masa Perang Dingin. Namun, kalau kita memilih ikut salah satu, kita
bisa jadi bagian perbenturan tadi.
Demikianlah
realitas غَلْطٌ عَلَى غَلْطٍ
yang melekat erat pada sosok mantan KaBIN dan tentu saja ke-adaan tersebut
tidak hanya milik dia melainkan dimiliki oleh sebagian sangat besar umat Islam.
Allah SWT menyatakan :
وَقَالُوا
لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ
أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة :
111)
Mereka
(kaum kufar) berkata : tidak akan pernah masuk الْجَنَّةَ kecuali siapa saja yang mengaku dirinya sebagai Yahudi atau
Nashara. Itulah angan-angan kosong mereka, katakanlah (olehmu Muhammad) :
berikanlah bukti kalian jika kalian memang benar.
Adakah kontribusi Islam untuk Pancasila?
Ada beberapa hal yang selama ini dianggap oleh umat Islam
Indonesia sebagai kontribusi Islam untuk Pancasila yakni :
1.
pernyataan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 : atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan …
2.
Sila Pertama dari Pancasila sendiri : Ketuhanan Yang Maha Esa,
atau rumusan Pancasila yang ter-cantum dalam Piagam Jakarta dengan Sila Pertama
: Ketuhanan Dan Kewajiban Melaksanakan Syariat Islam Bagi Pemeluknya
3.
Pasal 29 ayat 1 dan 2 dari Batang Tubuh UUD 1945
Lalu, apakah anggapan tersebut dapat
dibenarkan dan apakah ketiga fakta itu merupakan bukti atau dalil
bahwa Islam telah berkontribusi sangat berarti untuk Pancasila sehingga
Pancasila itu Islami?
Ungkapan atas berkat rahmat Allah atau dengan
pertolongan Allah atau Allah pencipta langit dan bumi atau Allah
Penguasa Semesta Alam atau semua yang ada di langit dan bumi adalah
milik Allah semata atau lainnya yang serupa, ternyata telah lama dan
lazim diucapkan oleh kaum kufar Jazi-rah Arab jauh sebelum Islam
diturunkan oleh Allah SWT. Artinya pernyataan yang melibatkan lafadz atau nama اَللهُ sama sekali bukan ciri khas Islam atau Islam yang
pertama kali menggunakannya mela-inkan bagian dari realitas umum
manusia termasuk kaum kufar (penduduk Jazirah Arab, Yahudi dan Nashara). Oleh
karena itulah Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Allah SWT untuk
mengeksplo-rasi realitas tersebut agar beliau memperoleh penginderaan yang
jelas tentang mana yang hanya dari Is-lam dan mana yang faktanya berlaku secara
umum atas umat manusia. Inilah yang dapat dipahamkan dari informasi Al-Quran
berikut :
قُلْ
لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (84) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا
تَذَكَّرُونَ (85) قُلْ مَنْ رَبُّ
السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (86) سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
(87) قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ
شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (88)
سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ (المؤمنون : 84-89)
Pertanyaan tentang siapa pemilik bumi dan
manusia yang ada di dalamnya (لِمَنِ
الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا), siapa Rab langit tujuh dan ‘arasy yang agung (مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ) maupun siapa yang
me-nguasai kerajaan segala sesuatu (مَنْ
بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ), seluruhnya adalah
berhubu-ngan dengan ketidak berdayaan manusia dan kemustahilan
bagi mereka untuk berperan dalam realitas tersebut. Sehingga adalah tidak
mengejutkan jika semua manusia di luar Nabi Muhammad saw akan menjawab yang
sama persis dengan beliau sendiri, yakni mengerucut kepada اَللهُ. Artinya secara naluri-ah (غَرِيْزَةُ
التَّدَيُّنِ) manusia akan menyadari bahwa di luar dirinya ada kekuatan yang
Maha Segalanya bah-kan mereka pun berada dalam genggaman kekuatan tersebut.
Namun dengan sikap naluriah tersebut ternyata manusia belum dapat terantarkan
kepada pemahaman dan kesadaran untuk memastikan siapa Kekuatan Yang Maha
Segalanya tersebut. Oleh karena itulah jawaban mereka selalu disambut dengan
pertanyaan penyadaran aqliyah : أَفَلَا
تَذَكَّرُونَ atau أَفَلَا تَتَّقُونَ atau فَأَنَّى تُسْحَرُونَ. Singkat kata sekedar menun-jukkan bahwa Allah SWT adalah
pencipta, pengurus dan pemilik dunia seutuhnya tentu saja bukan per-kara yang
menyulitkan dan memberatkan manusia sebab dalam diri mereka telah dibekali oleh
Allah SWT sendiri dengan qadar yang mampu mendukung sikap tersebut berupa
naluri beragama yang eks-presinya adalah اَلتَّقْدِيْسُ. Dengan demikian,
pernyataan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa dan …, sama sekali bukan bukti maupun
dalil bah-wa Pembukaan tersebut (yang sering dianggap sebagai sumber hukum
paling tinggi di NKRI) adalah Islami atau bersumber dari
Islam atau mencerminkan Islam walau hanya sebagian atau adanya
kontribusi dari Islam.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila tidak bisa dan
tidak boleh diklaim sebagai terje-mahan pernyataan Allah SWT : قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ
يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (الإخلاص : 4), se-bab :
1.
ungkapan Ketuhanan Yang Maha Esa sama sekali tidak dapat
mewakili pemikiran yang ada dalam ayat اَللَّهُ
أَحَدٌ, karena ayat tersebut tidak boleh dipisahkan dari keseluruhan
ayat lainnya yang semu-anya memberikan informasi tentang صِفَةُ اللهِ. Artinya Allah SWT bukan hanya أَحَدٌ melainkan الصَّمَدُ, لَمْ يَلِدْ, لَمْ يُولَدْ dan لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ. Lebih dari itu pengakuan
sadar aqliy tersebut wajib ditindak lan-juti dengan sikap dan perbuatan yang
sesuai dengan tuntutan dari pengakuan itu sendiri yakni ha-nya taat kepada
Allah SWT dengan melaksanakan semua ketentuan Nya (Islam). Allah SWT
me-nyatakan :
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي
رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ
وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (الأعراف : 158)
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (الكهف : 110)
Bagian وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ (الأعراف : 158) dan فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ
أَحَدًا (الكهف : 110) adalah sama
yakni menunjukkan tuntutan yang pasti kepada siapa saja yang mengakui secara
sadar aqliy bahwa لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ untuk bersedia memberlakukan seluruh ketentuan Allah SWT
(Islam) dalam kehidupan mereka selama di dunia.
2.
pada perjalanan empirisnya, sila pertama Pancasila tersebut selalu
dilanggar oleh semua pihak teru-tama para penguasa sejak Orde Lama hingga saat
ini yakni dengan sikap pembiaran mereka terha-dap para penganut agama yang
nyata-nyata secara verbal vulgar menyalahi sila tersebut. Kaum Kristiani
menyatakan secara lantang Trinity alias Tri Tunggal dan sikap mereka dibiarkan
walau sangat jelas bertentangan atau menyalahi sila pertama. Demikian juga para
penganut agama Hindu yang mengklaim Trimurti, menerima sikap pembiaran yang
sama dengan kaum Kristiani. Inilah fakta empiris bahwa sila pertama tersebut
tidak pernah implementatif.
Padahal dalam Islam pengakuan هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ wajib diikuti dengan sikap hanya mentaati Allah SWT sebagai
bentuk implementasi dari pengakuan itu sendiri :
إِنَّنِي
أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
لِذِكْرِي (طه : 14)
Lalu bagaimana
dengan Piagam Jakarta yang menyatakan Ketuhanan Dan Kewajiban Melaksanakan
Syariat Islam Bagi Pemeluknya? Harus diingat bahwa Piagam Jakarta itu
dirumuskan dalam kerangka NKRI yakni sebuah negara kebangsaan sekularistik dan
bukan dalam wadah Khilafah Islamiyah. Reali-tas tersebut adalah perkara yang
krusial, sebab apa pun yang diberlakukan di dalam NKRI dapat dipas-tikan tidak
akan pernah keluar atau menyimpang atau meleset dari kerangka tersebut. Justru
itulah sila pertama dari rumusan Piagam Jakarta semakin menegaskan bahwa NKRI
adalah negara sekularistik yang wajib menempatkan agama termasuk Islam sebagai
urusan pribadi yang terlepas bebas dari ruang publik yakni dari politik dan
negara. Selain itu, bagian pernyataan Dan Kewajiban Melaksanakan Sya-riat
Islam Bagi Pemeluknya, adalah gagasan yang menyalahi realitas Islam sendiri
yang wajib diberla-kukan kepada seluruh umat manusia bukan hanya terhadap umat
Islam. Rasulullah saw menyatakan :
أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ
يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي
الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ
الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي
وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً
وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري)
Diberikan
kepadaku lima hal yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Aku
dito-long dengan munculnya ketakutan (pada pihak musuh) dalam perjalanan
sebulan dan dijadikan bumi itu bagiku sebagai masjid dan suci maka siapa pun
dari umatku yang tiba kepadanya waktu shalat ma-ka shalatlah dan dihalalkan
bagiku ghanimah yang belum pernah dihalalkan kepada seorang pun se-belumku dan
diberikan kepadaku syafaah dan seorang Nabi diutus kepada kaumnya saja
sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia
Oleh karena itu antara Sila Pertama Pancasila
dengan Piagam Jakarta adalah sama saja yakni ekspresi praktis dari perjalanan sebuah
negara kebangsaan berbasis sekularisme dan sama sekali tidak ada hubu-ngannya
dengan Islam serta Islam tidak berkontribusi apa pun kepada Pancasila tersebut,
sebagian apa-lagi seluruhnya. Kemudian karena UUD 1945 (baik yang asli maupun
hasil empat kali amandemen di era rezim reformasi) adalah konstitusi NKRI yang
ditetapkan sebagai wujud pelaksanaan dari Pancasila itu sendiri, maka tentu
saja UUD 1945 adalah perundangan sekuler yang tidak ada kaitannya apa pun
dengan agama mana pun termasuk apalagi dengan Islam yang bertentangan dengan
sekularisme. Pasal 29 ayat 1 dan 2 dari UUD 1945 bukan kontribusi dari Islam
dan tidak boleh dianggap sebagai mewakili Islam. Hal itu karena keberadaan
pasal tersebut justru sebagai bentuk penegasan dan kepastian bahwa negara
kebangsaan yang berdiri di Indonesia (NKRI) adalah negara sekuler.
Realitas hubungan demokrasi dan Pancasila
NKRI adalah negara kebangsaan yang menganut dan memberlakukan
demokrasi yang oleh rezim Orde Baru dikukuhkan sebagai Demokrasi Pancasila. Tentu
saja pengukuhan gelaran tersebut sangat dipaksakan, sebab : (a) menyalahi
realitas demokrasi itu sendiri yang tidak mengenal pensifatan apa pun baik itu
Demokrasi Pancasila atau Demokrasi Religius maupun lainnya dan (b) Pancasila
dan de-mokrasi adalah dua hal yang tidak layak untuk digandengkan baik secara
istilah maupun secara empi-ris. Lagipula, jauh sebelum rumusan Pancasila
ditetapkan yang kemudian dijadikan sebagai dasar dan falsafah NKRI, ternyata
NKRI telah lebih dahulu diproklamasikan sebagai negara demokrasi dan itu
ditunjukkan secara pasti oleh adanya implementasi konsep kedaulatan di
tengan rakyat serta Trias Po-litica : eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Sehingga pelekatan sifat Pancasila terhadap demokrasi
adalah tidak benar sebab faktanya memastikan bagian mana dari seluruh konsep
demokrasi yang berasal dari atau disifati oleh Pancasila. Bahkan justru
sebaliknya Pancasila lah yang menerima banyak dari demo-krasi (termasuk
kapitalisme) berupa sejumlah konsep :
1.
penempatan Tuhan dan agama terbatas di wilayah keagamaan dan hanya
dielaborasikan oleh indi-vidu. Inilah ciri khas dari asas demokrasi sendiri
yakni sekularisme yang tidak mengingkari kebera-daan Tuhan namun tidak
membolehkan Tuhan dengan aturan Nya yang bernama agama keluar dari wilayah
otoritas Nya yakni manusia secara pribadi dan rumah keagamaan. Pancasila
menyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa dan itu realisasinya adalah di
internal pemeluk agama masing-masing serta dipraktikan secara terbatas di
rumah-rumah keagamaan.
2.
demokrasi sangat mengedepankan kebebasan menyeluruh (general
freedom alias اَلْحُرِّيَّةُ الْعَامَّةُ) yang lebih populer
dengan sebutan HAM (Hak Asasi Manusia alias The Human Rights) yakni
kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berkepemilikan dan
kebebasan berekspresi alias ke-pribadian yang bebas. Seluruhnya dialamatkan
kepada dan diatasnamakan kemanusiaan atau huma-nisme, tegasnya manusia itu
layak disebut sebagai manusia jika mereka memiliki keleluasaan da-lam
merealisir hak asasinya selaku manusia. Pancasila menyatakan Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab dan ini bukti otentik dari sumbangan demokrasi bagi
Pancasila dan bukan sebaliknya.
3.
demokrasi hanya dapat diberlakukan dengan baik dalam negara
kebangsaan seperti NKRI, AS dan lainnya yang jumlahnya saat ini hampir 200
negara, sehingga sila ketiga Pancasila : Persatuan In-donesia adalah
realitas yang dituntut oleh demokrasi supaya dapat berlaku dengan sempurna.
4.
Pancasila menyatakan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawa-ratan/perwakilan, merupakan terjemahan dari
dua konsep pokok demokrasi yakni kedaulatan di ta-ngan rakyat dan rakyat adalah
sumber kekuasaan. Jadi sila keempat Pancasila adalah bentuk adopsi secara murni
dari konsep pokok demokrasi dan itu diimplementasikan dalam NKRI berupa adanya
MPR dan DPR.
5.
sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki
tema pokok keadilan sosial yang me-rupakan pemikiran pokok dalam Ideologi
Sosialisme dan tidak dikenal dalam Ideologi Kapitalisme maupun demokrasi. Namun
demikian, ternyata para pengusung kapitalisme mengadopsi pemikiran tersebut
dengan tujuan untuk menutupi kesadisan yang merupakan sifat orisinal
ideologinya yang hanya berpihak kepada para kapitalis alias para konglomerat.
Konsep keadilan sosial diterjemahkan oleh kapitalisme dalam bentuk subsidi atau
pemberian pelayanan murah bahkan gratis untuk aspek-aspek kehidupan tertentu
misal kesehatan, pendidikan, panti jompo, panti anak terlantar dan lain-nya.
Lalu baik subsidi maupun pelayanan murah atau gratis itu adalah ditujukan bagi
rakyat miskin, gelandangan dan orang-orang terlantar. Realitas tersebut telah
dan tengah diberlakukan hampir di seluruh negara kebangsaan baik yang
terkategori maju (negara-negara G-8) maupun berkembang, seperti NKRI dan
lainnya.
Singkat kata, Pancasila “wajib banyak berterimakasih” kepada
kapitalisme, demokrasi dan sosia-lisme yang telah secara bersama-sama
memberikan “belas kasihan” dengan merelakan sejumlah kon-sepnya untuk dijadikan
sebagai rumusan sila-sila dalam Pancasila.
Khatimah
Pernyataan mantan KaBIN
bahwa Dalam konteks Indonesia, ideologi Pancasila bisa menjadi
an-titesis dari kedua tesis yang saling bertentangan tadi (yakni demokrasi
dan Islam), tentu saja sangat salah dari dua aspek yakni :
a.
pengkategorian Pancasila sebagai ideologi, padahal faktanya
Pancasila sama sekali bukan ideologi melainkan rumusan “gado-gado” dari
sejumlah konsep yang berasal dari Ideologi Kapitalisme, So-sialisme dan
Demokrasi.
b.
adanya klaim sangat keliru yang menganggap Pancasila adalah jalan
tengah atau bentuk kompromi dari dua kutub yang selama ini saling bertentangan
dan berbenturan yakni demokrasi dan Islam. Padahal faktanya hanya demokrasi
yang sangat banyak berkontribusi kepada Pancasila, sedangkan Islam sama sekali
tidak berhubungan dengan Pancasila dan tidak memiliki kontribusi apa pun
ke-pada Pancasila. Jadi, inilah keanehan dan kekisruhan seorang Abdullah Mahmud
Hendropriyono yang memposisikan Pancasila sebagai jalan tengah atau
bentuk kompromi antara Islam dan de-mokrasi dengan tujuan agar NKRI tidak
terlibat dalam perbenturan keduanya yang tak berkesudah-an : Namun, kalau
kita memilih ikut salah satu, kita bisa jadi bagian perbenturan tadi.
Wal hasil, kaum kufar dan antek-anteknya dari kalangan umat Islam
sendiri tak pernah berhenti berusaha untuk menghancurkan Islam dengan segala
cara dan yang paling mutakhir adalah gagasan da-ri mantan KaBIN yakni dengan
menuding Islam telah memberikan kontribusi kepada Pancasila bersa-ma-sama
dengan demokrasi. Ini jelas tudingan imajinatif sebab fakta memastikan bahwa
Pancasila ti-dak sedikit pun memuat atau mengandung ide, pemikiran maupun
konsep dari Islam, melainkan sepe-nuhnya merupakan ramuan “es teler” dari
kapitalisme, sosialisme dan demokrasi.
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الإسراء : 36)
No comments:
Post a Comment